The Joker and The Queen (2)

5
2
Deskripsi

Sampai juga ke bagian kedua kisah cinta Ucup. 

Enjoy!

"Jamming?" Ucup menatap Yama dengan tatapan curiga. Sudah bukan rahasia lagi kalau keempat manusia pemilik The Lil's ini terkadang bisa menawarkan jebakan mematikan dengan wajah sedatar pantat wajan Teflon baru.

"Iya. Daripada hanya bolak-balik kasbon untuk nongkrong di sini, kalian sekalian saja kerja. Kami berencana bikin jamming session seminggu dua kali. Gimana kalau kalian aja yang main? Akan ada bayarannya plus kalian boleh nongkrong pakai wifi gratis di sini, ga perlu harus ngutang kopi. Tetapi kalau mau minum kopi ya tetap bayar," jelas Yama.

"Jamming session? Emang café ini masih kurang rame, ya, sampai musti ditambahin pakai jamming session segala?" sahut Randi seraya matanya jelalatan menikmati wajah-wajah manis yang tersebar di dalam ruangan café.

"Ga mau? Yaudah akhir bulan ini tolong diberesin hutang kalian," ucap Yama, masih dengan wajah dan intonasi datar yang sama.

Panjul yang semula tampak mengantuk langsung membuka mata lebar-lebar dan membekap mulut Randi.

"Ini serius?" tanya Ucup masih ragu.

"Serius. Bagaimana? Mau?"

"Kami sih mau, tapi kemampuan bermusik kami ini pas-pasan lho," gumam Panjul.

"Ya kalau sering-sering latihan lama-lama juga lebih dari pas-pasan. Kami berempat juga tadinya ga bisa berbisnis café. Masih mending kalian berempat tahu musik. Kalian bicarakan dulu, dengan Dimas juga. Oh, kalau kalian setuju, hutang-hutang kalian akan kami anggap lunas," ucap Yama seraya ngeloyor pergi, meninggalkan ketiga lelaki yang melongo kaget mendengar kemungkinan hutang mereka bisa lunas tanpa membayar.

"Dia tadi itu serius ga sih?" tanya Randi.

,"Kalau Bumi atau Damar yang bicara begitu, bisa jadi bercanda. Kalau Yama sepertinya kok serius, ya?" gumam Ucup.

"Jadi bagaimana? Kita terima ga nih?" tanya Panjul yang entah mengapa jadi tidak mengantuk sama sekali. Kesempatan untuk dapat uang dan hutang lunas benar-benar membuatnya bangun sebangun-bangunnya.

"Sebenarnya emang pas sih ya...kamu di keyboard, Njul. Randi di bass, Dimas gitar sekaligus vokalis, aku di drum," gumam Ucup.

"Tunggu, Cup, kenapa bukan aku yang di vokal?" Randi protes.

"Ren, di mana-mana yang merangkap jadi vokalis itu kalau ga gitaris ya pemain keyboard, mana ada vokalis sambil maen bass."

"Ya udah, kalau gitu aku aja yang maen gitar sekaligus jadi vokal."

"Ren, sadar diri kenapa? Suara kamu itu kayak suara kucing yang habis operasi amandel. Lagian secara muka, lebih menjual Dimas!"

"Heh, Cup, kalau lihat itu pakai mata jangan pakai dengkul, bagaimana bisa muka Dimas menjual? Muka biasa-biasa aja gitu."

"Ya masih mending dari pada muka kamu, Ren. Kamu masih jauh di bawah biasa-biasa saja."

"Halah kayak kamu ganteng aja, Cup. Si Puri pasti katarak sampai mau-maunya nyium kamu," sahut Randi, lalu seperti tersadar, dia mencari-cari sosok Puri, "Ga masuk ya dia? Si Puri? Cup?"

"Mana aku tahu,"jawab Ucup, tampak jengah.

"Nah itu satu lagi bukti kalau kamu memang payah, Cup. Masak sudah dicium di depan publik gitu, hubungan kalian ga kemana-mana juga? Sudah kubilang berulang kali kan, Cup, kalau butuh bantuan konsultasi percintaan, jangan sungkan-sungkan tanya ahlinya, yaitu aku."

"Ahli percintaan kok jomblo," gumam Ucup seraya untuk kesekian kalinya melihat ke dapur atau tangga, berharap Puri tiba-tiba muncul.

Randi ada benarnya, sejak ciuman mereka waktu itu, hubungannya dengan Puri tidak beranjak kemana-mana. Gadis itu tampak biasa saja, menghindar tidak, menjauh juga tidak. Biasa saja. Seakan ciuman waktu itu tidak pernah terjadi.

"Lha, ini ditawarin bantuan malah menghina..."

"Sudah! kita bicarakan soal band kalau Dimas sudah di sini. Ran, Dimas ga bisa main Bass. Dia lebih bagus di gitar," Panjul menengahi perdebatan yang tidak penting itu.

Randi hendak membantah ucapan Panjul ketika pintu terbuka dan Bumi masuk bersama Gendhis. Keduanya tampak basah.

"Ckckck, akhirnya keadilan tegak juga. Yang punya mobil mahal aja bisa kehujanan, sampai kuyup malah," gumam Randi seraya pandangannya mengikuti Bumi yang berjalan mendekati Yama yang sibuk dengan laptopnya.

"Damar mana?" tanya Bumi seraya melepas jaket kulitnya yang basah.

"Belum datang. Kamu bikin lantai basah, Bum!" tegur Yama seraya menatap air yang menetes dari jaket Bumi.

"Kasih tahu Damar, jangan main tiktok lagi! Pertama kali dia main tiktok, malemnya hujan deras, bahkan banjir di mana-mana. Kapan lalu dia bikin video tiktok lagi, hujan lagi seharian. Semalam dia main tiktok lagi, lihat kan? Hujan deras ga reda-reda sedari pagi. Curiga aku, konten tiktoknya itu ritual memanggil hujan!" gerutu Bumi, mengabaikan teguran Yama.

Masih menatap air yang makin tergenang di kaki Bumi, Yama menjawab dengan tenang,
"Bum, serius, airnya makin banyak di kakimu."

Alih-alih langsung ke pergi untuk ganti baju, Bumi malah ikutan menatap kakinya.

"Iya ya...berdiri sejam di sini, jadi kolam kecil deh, tinggal dikasih cupang."

Kali ini Yama mendongak, menatap Bumi sambil menaikkan sebelah alis.

"Iya, habis itu kamu kena pneumonia. Sana, ganti baju! Lagian udah tahu pakai motor, bukannya nungguin hujan reda, malah main terabas."

"Aku tadi lagi jemput Gendhis, yakin kamu nyuruh aku nunggu sampai hujan reda berduaan sama dia di kontrakan sempit itu? Plus pagi-pagi gini, sebelah-sebelahnya kosong, pada kerja dan kuliah."

Kali ini Yama bukan hanya menarik sebelah alis, dia juga membuang napas panjang.

"Kalau ga yakin, mending jangan deh, gitu kata eyangku," lanjut Bumi seraya akhirnya ngeloyor pergi ke atas untuk ganti baju, meninggalkan Yama yang juga langsung berdiri, beranjak mengambil kain pel.

Di mejanya Ucup menatap konter kopi dengan tatapan merana. Hanya Gendhis, yang sudah ganti baju, yang ada di sana.

"Puri libur lagi kah?" gumamnya lebih kepada diri sendiri.

"Kayaknya nggak, itu baru datang," jawab Randi seraya menunjuk ke luar café di mana Puri keluar dari sebuah mobil dengan payung di tangan. Gadis itu lalu berjalan menuju ke café, diikuti oleh seorang lelaki yang keluar dari mobil yang sama.

Ucup yang semula sumringah mendengar kalau Puri datang langsung berubah, wajahnya tampak merana ketika melihat Puri masuk ke café bersama seorang lelaki.

Keduanya tampak tertawa-tawa. Lelaki itu lalu mengambil tempat duduk di salah satu sudut café, sedangkan Puri menuju ke tempat Yama. Mereka berbicara sejenak sebelum gadis itu menghampiri si lelaki yang mengantarnya, mereka bicara sebentar, lalu tertawa bersama, baru kemudian Puri bergegas ke ruang belakang, bersiap dengan celemeknya.

Dia benar-benar mengabaikan Ucup.

"Cup, kok dia cuek gitu sama kamu?" tanya Randi, heran.

Tidak menjawab, Ucup hanya membuang napas nelangsa. Dia juga sama herannya kenapa Puri tetap bisa cuek setelah insiden ciuman waktu itu. Padahal Ucup masih ingat dengan jelas bagaimana ciuman mereka. Itu bukan hanya menempelkan bibir, tetap ciuman yang dalam. Bukankah jenis ciuman seperti itu biasanya dilakukan oleh seseorang yang memang punya perasaan tertentu? Minimal rasa suka lah. Tetapi nyatanya, boro-boro kelihatan suka, Puri malah seakan menganggap Ucup tidak terlihat, astral. Padahal hati Ucup benar-benar kebat-kebit. Hampir setiap malam dia tidak bisa tidur. Ciuman waktu itu terus menghantui pikirannya.

"Cup, dengar ga sih aku nanya?" cetus Randi gemas.

"Mboh, Ran, bawelmu itu dah kayak simbok-simbok di pasar," gerutu Ucup seraya bangkit, beranjak ke toilet.

~*~

Ucup benar-benar dibuat salah tingkah oleh sikap cuek Puri. Setiap kali datang ke The Lil's, yang dia cari hanya gadis itu seorang. Dan kalau Puri tidak ada, semangat Ucup akan langsung jatuh ke titik minus. Sebaliknya, ketika Puri ada, dia malah blingsatan tidak karuan, berulang kali menoleh ke arah gadis itu.

Seperti siang ini, ketika dia dan Randi menunggu Dimas dan Panjul.

"Cup, sudah! kebanyakan nengok nanti lehermu salah urat, kapok!" cetus Randi jengkel karena leher Ucup bolak-balik nengok ke arah yang sama, macam kipas angin.

"Puri itu kenapa ya kok jadi cuek sama aku?" gumam Ucup dengan nada nelangsa.

"Lha bukannya sudah dari dulu dia memang cuek sama kamu," jawab Randi.

"Terus kenapa waktu itu dia mencium aku?" tanya Ucup sambil menatap Puri yang sibuk membuat kopi.

"Ya mungkin dia pengen tahu aja gimana rasanya mencium orang jelek."

Spontan buku di tangan Ucup melayang ke kepala Randi. Matanya masih tidak lepas dari Puri yang tampak beranjak dari konter. Ucup melongo tak percaya ketika Puri menghampiri meja mereka. Randi apalagi.

"Ada apa, ya?" tanya Puri tanpa basa-basi begitu sampai di depan Ucup.

"Hah? Ada...ada apa, gimana?" jawab Ucup terbata.

"Kamu melihatku dari tadi. Ada yang bisa dibantu?"

Ucup tergagap, kehilangan kata-kata. Dia hanya bisa menatap Puri dengan jengah. Untuk beberapa saat Puri hanya terdiam sambil tersenyum, menunggu.

"Oh, nggak ada apa-apa..." ucap Ucup akhirnya.

"Yakin? Okay, aku balik ke sana, kalau ada yang bisa dibantu, bilang aja."

Dan Puri pun berlalu seraya meninggalkan senyuman manis.
Dan Ucup masih tertegun, debar jantungnya meningkat drastis.
Dan Randi masih jomblo.
Dan kucing liar gendut yang suka mampir di depan café masih belum bisa menggonggong juga.

~*~

Seperti yang sudah diduga, Ucup dan ganknya menerima tawaran Yama. Dan hari ini mereka datang ke café, menemui Yama dan Bumi untuk membahas lebih lanjut tentang hal itu. Mereka baru memasuki café ketika tiba-tiba ada sekumpulan gadis menerobos masuk, bahkan salah satu menabrak Panjul sampai sempoyongan, hampir jatuh.

"Mana bosnya? Suruh keluar yang namanya Puri!" teriak salah seorang dari para gadis itu, memecah keheningan café yang masih sepi karena baru buka.

Yama dan Bumi yang sedang menyiapkan kontrak kerja buat Ambyar Band, nama band Ucup dan ganknya, segera bangkit dan menatap sumber suara teriakan. Mikaela yang sedang di dapur langsung keluar. Tabitha yang baru akan mengucapkan selamat datang, hanya terdiam, tertegun. Gendhis yang sedang menyiapkan cangkir kopi, bahkan sampai terlonjak tanpa sadar.
Merasa tidak ada jawaban, si gadis yang berteriak-teriak itu mendekati Tabitha dan menggebrak meja kasir.

"Mana Bosmu?" gertaknya.
Bukannya menjawab Tabitha hanya mengerjap. Suasana hatinya sedang tidak baik. Ini hari pertama dia masuk setelah seminggu ngendon di rumah. Plus, dia hampir tidak pernah dibentak seumur hidupnya. Apalagi oleh seseorang yang bahkan tidak dia kenal. Setelah membuang napas lelah, Tabitha mengepalkan tinju lalu melayangkannya ke hidung mancung penggertaknya.

Chaos!

Si penggertak yang mimisan langsung berteriak dan gerombolannya dengan kalap mendekati Tabitha yang dengan sigap langsung ditarik ke dapur oleh Mikaela dan Gendhis. Yama dan Bumi langsung berdiri dan dengan cepat menjadi tameng.

"Kami bosnya," ucap Bumi. Dia dan Yama berusaha tetap tenang, seumur hidup mereka belum pernah harus melawan anak perempuan.

Dan gerombolan para gadis itu sejenak tertegun, menatap Bumi dan Yama.

"Ah, kalian bosnya? Suruh keluar Si Puri yang kegatelan itu!" perintah si mimisan.

"Puri..." ucapan Bumi dipotong oleh seseorang yang baru masuk café.

"Aku di sini."

Semua gadis penyerbu itu berbalik dan langsung mendekati Puri.

"Heh kamu, dasar cewek kegatelan tukang ngembat pacar orang!" si penggertak yang mimisan langsung mengomel seraya memegang tisu di hidungnya.

"Sudah ga usah banyak bacot sama dia, langsung hajar saja!" teriak gadis yang lain.

"STOP!" tiba-tiba Ucup sudah berada di depan Puri yang sedikit pun tidak merasa gentar. Lelaki itu merentangkan kedua tangan, "STOP! Apa-apaan ini main keroyokan di café orang?" teriak Ucup.

"Heh, termos Tupperware, minggir deh, kita ga ada urusan sama kamu!" teriak salah seorang dari gadis itu kepada Ucup.

"Heh, situ, ngomong yang bener dulu. Yang benar kami bukan kita. Kita digunakan ketika yang diajak bicara ikut melakukan predikat," karena gugup, tanpa sadar Ucup ngelantur.

"Lha, ini si termos ngapain juga malah kasih pelajaran Bahasa. Udah, minggir!"

"Kalian ini siapa dan mau apa?" Puri maju. Tidak tampak sedikit rasa takut di wajahnya.

"Aku pacarnya Kak Angga! Kamu, cewek kegatelan, jauhi Kak Angga!" jawab si mimisan.

"Angga? Angga siapa?"

"Dasar pelakor, pinter main pura-pura! Udah jelas kamu suka nempel-nempel kegatelan sama Kak Angga, nebeng-nebeng ke mobilnya juga," jawab gadis yang lain.

Puri terdiam sejenak, mencoba berpikir siapa Angga si biang kerok ini. Setelah beberapa saat baru dia sadar.

"Maksudmu si Bodoh itu? Dwipangga?" tanya Puri keheranan.

"Heh, bacot dijaga ya. Belum pernah digaplok pakai sepatu tuh bacot?" si mimisan maju seraya berusaha menarik rambut Puri dengan sebelah tangannya yang tidak memegang tisu.

Puri dengan cepat berkelit.

"Heh, kamu sadar dong, Kak Angga itu aslinya memang ramah, jangan kamunya terus kegatelan!" salah satu dari gerombolan penyerbu itu maju dan menampar Puri namun Ucup dengan sigap menarik gadis itu ke belakang punggungnya dan menerima tamparan di wajahnya.

"Heh kamu, termos Tupperware, ga usah ikut-ikutan!" teriak gadis yang lain, bersiap ikut menyerang Ucup.

"STOP!" kali ini gantian Puri yang berteriak, dengan tenang gadis itu mengeluarkan ponsel dari saku celana jeansnya, lalu menghubungi nomor yang dia simpan dengan nama stupid brother.

"Heh, kereta eksekutif, ini ada cewek yang ngaku pacarmu ngelabrak aku di café. Ck, ngerepotin bener sih kamu jadi manusia!" ucap Puri begitu panggilan teleponnya diterima, "mana ini masih pagi. Kalau sampai bosku minta ganti rugi, kamu yang urus ya..."

Ruangan yang semula ribut mendadak hening. Semua gadis yang heboh itu tampak tertegun, tidak menyangka Puri akan menelepon Kak Angga, bahkan tampak akrab sekali.

"Nih, ada yang mau bicara sama si bodoh Kak Angga?" tanya Puri seraya mengulurkan telepon.

Sejenak tidak ada yang menjawab sampai si mimisan maju ke depan, menarik telepon Puri, mematikan sambungan dan membanting benda itu ke lantai. Spontan Puri melotot.

Sial, iPhone baruku...

"Kamu jangan sok dekat ya! Siapa yang kasih ijin buat nelepon Kak Angga? Hah?"

Menatap ponsel barunya yang tergeletak tak berdaya, amarah Puri bangkit. Dengan kesal, dia mendongak, mendekati si mimisan, membuat gadis itu mundur karena kaget.

"Dengar ya kalian gadis-gadis ga tahu aturan. Jangankan menelepon, kalian bahkan ga berhak melarang aku untuk tidur di kamarnya!"

"Dasar wanita murahan. Ini peringatan ya, jauhi Kak Angga atau kamu tanggung akibatnya."

"Jauhi si bodoh itu? ooh dengan senang hati. Sok atuh, bicara sama papa atau mamaku, minta mereka mengusir dia dari rumah!!"

Gerombolan itu mendadak hening.

"Maksudnya apa ya?" si Mimisan bertanya, nada suaranya sudah tidak segarang semula.

"Ya maksudnya Argo Dwipangga, si kereta eksekutif itu, adik aku!" teriak Puri kesal seraya memungut ponselnya.

"Hah...jangan becanda ya..."

"Heh, idung bertisu, munduran dikit, begomu kelewatan. Ngaku pacarnya kok ga tahu kalau Dwipangga punya kakak! Plus, bukan niat aku buat nebeng mobil dia. Boro-boro juga dia punya mobil, jajan pilus garuda aja uangnya masih minta Mama. Itu mobil Papa dan dia boleh pakai dengan syarat harus antar aku, kakaknya! Ngerti ga kalian?"

Seketika suasana berubah. Gerombolan yang tadi beringas mendadak jadi ketakutan.

"Jadi sekarang kalian semua minggat atau aku lapor polisi karena menganggu usaha orang!" ancam Puri.

"Tapi...tunggu, Kak...aku beneran minta maaf, aku ga tahu kalau kakak itu kakaknya Kak Angga dan...please jangan bilang ke Kak Angga apa yang barusan terjadi...aku benar-benar minta maaf. Aku janji akan melakukan apapun yang kakak minta sebagai permintaan maaf dan..." ucapan si mimisan terpotong oleh teriakan Puri.

"MINGGAT! KELUAR SEMUA! JANGAN PERNAH DATANG LAGI KE SINI!"

Gerombolan itu bubar, keluar dari café dengan terburu-buru. Yama dan Bumi yang sedari tadi bersidekap di depan pintu dapur, langsung berjalan mendekat.

"Jangan pernah datang lagi ke sini? Ck, kamu baru saja membuang sekitar 10 orang calon pelanggan," gumam Bumi, "café kita ini perlu diruwat kayaknya, Yam. Dari kasus narkoba, gulat si kembar, pengeroyokan, sampai diserbu cewek-cewek beringas."

"Maaf sekali, Bos, pagi-pagi sudah bikin ribut di cafe," jawab Puri

"Cup, kamu berdarah..." ucap Yama yang sedari tadi memperhatikan Ucup, mengabaikan Puri.

"Hah?" Ucup yang sedari tadi tertegun melihat bagaimana Puri mengatasi gerombolan gadis perusuh itu seperti disadarkan.

"Pipimu..." ucap Puri seraya mendekat dan melihat pipi Ucup yang tergores, "kena cincin kayaknya."

Ucup meraba pipi kanannya dan baru menyadari rasa sedikit perih di sana.

"Ada kotak obat di lantai atas," ucap Yama.

"Ayo, aku obatin. Ijin 10 menit ya, Bos," ucap Puri seraya menarik tangan Ucup, membawanya ke lantai atas.

Seperti kerbau dicucuk hidungnya, Ucup, yang masih kaget karena tangannya tiba-tiba digandeng Puri, hanya menurut saja.

"Sebenarnya kan bisa ya kotak obatnya dibawa ke bawah? Ngapain juga musti berduaan di atas?" gumam Bumi.

"Kenapa? Kamu kuatir? Gih, susul sana!" jawab Yama seraya menuju ke dapur, mendekati Mikaela dan Gendhis yang sudah melepaskan cekalan mereka di tangan Tabitha. Dia jelas melihat sepupunya sedang punya masalah. Tabitha tampak uring-uringan, ditambah dia baru saja masuk setelah seminggu meliburkan diri.

"Tabby, ada apa? Kamu ada masalah?"
Yang ditanya bukannya menjawab malah mewek dan menubruk tubuh Yama dan menangis. Mikaela memberi tanda agar Yama tidak bertanya lebih lanjut dulu dan membiarkan Tabitha menumpahkan emosinya.

"Lha ini kenapa lagi?" cetus Bumi yang baru masuk ke dapur, menyusul Yama.

Bukannya menjawab, tangisan Tabitha malah semakin keras di pelukan Yama.

~*~

"Nah udah," gumam Puri setelah mengoleskan salep ke luka di wajah Ucup.

Lalu bukannya langsung menjauh, gadis itu malah mendekatkan mukanya dan meniup-niup luka itu. spontan Ucup mundur dan langsung berdiri, jengah. Jantungnya sudah ga karuan, Ucup takut tiba-tiba meledak, bisa repot urusan.

"Anu...makasih..."

"Sama-sama," sahut Puri seraya tersenyum dan ikut bangkit, "Oh iya, Cup, kamu beneran tidak ada hal yang mau disampaikan? Beberapa hari terakhir ini aku sering lihat kamu bolak-balik menatapku. Kayak punya sesuatu buat diomongin."

Kali ini Ucup menelan ludah gugup, spontan dia menggeleng, namun kemudian mengangguk.

"Yang mana? Geleng atau angguk?" tanya Puri seraya bersidekap, menunggu.

Ditembak seperti itu, Ucup langsung gelagapan. Dia hampir menggeleng lagi ketika melihat mata teduh Puri dan menyadari, inilah kesempatannya untuk berjuang.

"Ada...sebenarnya memang ada sesuatu yang ingin aku bicarakan."

"Okay. Aku mendengarkan. Tapi jangan lama-lama ya, aku harus bekerja."

Tidak langsung menjawab, Ucup mengambil napas panjang, berusaha mengumpulkan keberanian.

"Anu, ini masalah...ciuman waktu itu...umph, kamu...maksudku, apa kamu tidak merasakan apa-apa...maksudku apa kamu tidak punya perasaan apa-apa...bukan itu, maksudku..."

"Maksudmu, apa aku suka kamu sampai menciummu waktu itu?" potong Puri cepat, mencoba membantu Ucup.

Tertegun sejenak, Ucup kemudian mengangguk.

"Iya, itu intinya."

Kali ini Puri yang tercenung sejenak. Tampak gadis itu memikirkan apa yang akan diucapkan.

"Sepertinya aku memang berutang maaf sama kamu, Cup. Bahkan aku sama sekali tidak memberi penjelasan apapun. Maaf, aku tidak peka. Aku pikir kamu sudah mengerti bahwa aku melakukan itu selain karena jijik dengan kelakuan cewek setan itu, juga karena ingin membantumu. Lagipula...aku tidak pernah berpikir kamu akan suka sama aku..."

"Tapi aku suka sama…" ucapan Ucup terhenti.

Sejenak ada keheningan di antara mereka. Puri menatap tidak percaya kepada Ucup.

"Kamu suka sama aku, Cup?"

"Ah itu...iya sepertinya begitu..."

"Karena ciuman itu? atau sejak sebelum ciuman itu?"

"Heh? Umph...sejak ciuman itu aku terus memikirkanmu."

"Berarti sebelumnya tidak?"

Kali ini Ucup tidak langsung menjawab, dia memberanikan diri menatap Puri.

"Mana aku berani. Kamu yang yang seperti itu, mana berani aku menyukaimu. Kalaupun memang aku berani memangnya akan ada harapan? Aku tidak berani berpikir sejauh itu. Kenapa setelah ciuman itu baru berani? Karena menurut logikaku, orang tidak akan berciuman seperti itu kalau tidak memiliki perasaan apa-apa. Itu baru memberiku harapan, bahwa mungkin saja gadis sepertimu peduli kepadaku. Tapi ya kamu tidak perlu percaya dengan logikaku, lah wong dosen pembimbingku saja juga sangsi kok dengan logikaku, makanya skripsiku revisi melulu."

Kaget, Puri mengerjapkan mata. Dia sungguh tidak mengantisipasi pengakuan Ucup yang sederhana tapi anehnya benar-benar menyentuh hati. Sejujurnya dia memang tidak memiliki perasaan apa-apa kepada Ucup. Dia hanya marah dengan wanita tidak tahu aturan yang berlaku semena-mena kepada lelaki itu. Tidak ada manusia di manapun yang layak diperlakukan seperti itu. Rasa marah itu memancing rasa kasihan, dan kemudian membuatnya bertindak spontan. Setelahnya, dia berencana menjelaskan kepada Ucup namun hari berganti, dia tidak masuk kerja. Lalu hari berikutnya Ucup yang tidak muncul di café. Tanpa sadar waktu berlalu, diapun lupa. Toh selama ini Ucup tidak menampakan tanda-tanda sedikitpun peduli kepadanya. Jadi dia berpikir kalau Ucup sudah lupa akan insiden itu, sama seperti dirinya yang menganggap masalah itu bukan hal besar yang perlu dibicarakan. Tidak disangka dugaannya salah. Ucup serius menanggapi ciuman mereka.

"Kalau...kalau aku jujur kepadamu, bagaimana?"

"Jujur bahwa kamu melakukan itu hanya karena kasihan?"

"Jujur bahwa niatku waktu itu hanya ingin membantu dan aku tidak memiliki perasaan suka kepadamu lebih dari sekedar kenalan?"

Walau sedih mendengarnya, Ucup merasa sedikit lega, paling tidak dia tidak lagi bertanya-tanya.

"Terima kasih sudah jujur."

"Maaf."

Ucup menggeleng lalu tersenyum. Jauh di lubuk hatinya, dia sudah merasa kalau mustahil Puri benar-benar menyukainya.

"Tidak apa...aku tahu kok."

"Tapi, kalau...kalau aku ingin mengenal kamu lebih dekat, bolehkah? Ya kalaupun kita ga berakhir jadi pacar, kita bisa jadi sahabat, kan?"

"Hah?"

"Umph...kamu tidak mau ya? Hahaha, gapapa, aku paham kok, kamu pasti berpikir kalau aku keterlaluan, sudah seenaknya menciummu, mengaku tidak punya perasaan apapun, sekarang malah mengajak sahabatan. Well, lupakan saja. Umph, aku musti turun kayaknya."

"Tunggu..." kali ini Ucup yang menarik tangan Puri, "tunggu...itu...kamu serius mau lebih dekat mengenalku? Maksudku, tidak apa-apa kalau aku menyapamu atau mengajakmu mengobrol?"

"Hah? Hahahhaa, ya gapapa lah. Okay, aku beneran harus turun. Umph...bagaimana kalau nanti sore aku traktir makan nasi goreng langgananku? Kita bisa ngobrol."

"Hah?"

"Mau atau tidak?"

"Iya, mau, tentu saja mau."

"Okay. Ayo turun!"

Lagi-lagi bagai kerbau dicucuk hidungnya, Ucup mengikuti Puri turun ke bawah. Tanpa sadar senyuman lebar terbentuk di bibirnya. Walau mereka tidak berakhir dengan hubungan percintaan, entah mengapa Ucup sudah cukup merasa bahagia. Mungkin benar kata pepatah, tidak semua cinta adalah cinta pandangan pertama. Bisa saja itu harus dimulai dari proses pertemanan. Dalam kasusnya, dimulai dari sebuah ciuman, lalu pertemanan lalu... entah ke depannya akan seperti apa, yang pasti Ucup tidak sabar untuk menikmati prosesnya.

~*~

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya The Joker and The Queen (3)
5
2
Masih lanjutan cerita Ucup. Mampukah kali ini Ucup mengejar cintanya? Cukup beranikah dia untuk memperjuangkan apa yang dia rasakan? Enjoy.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan