BUCINLICIOUS 4

6
0
Deskripsi

Rae semakin yakin kalau Ningrum memang ada apa-apa dengan Mas Gading. Sedang untuk Rae sendiri, entah kenapa, Prasetya tampaknya semakin sibuk saja.

Rae menang tentu saja. Mereka berdua berakhir di mobil Gading menuju ke rumah sakit.

“Sakit apa, Rum?” tanya Gading seraya matanya tidak lepas dari jalanan yang cukup padat.

Ningrum yang memilih duduk sendirian di belakang, menoleh, tidak menyangka akan mendapat pertanyaan.

“Sakit biasa,” jawabnya cepat. 

Rae yang duduk di depan, sebelah Gading, melirik sepupunya dari kaca dashboard. Dan Rumi langsung melotot, memberi tanda agar sepupunya itu diam. Namun ternyata tanda tidak digubris.

“Dia kena infeksi saluran…”

“Rae, nanti makan siang apa kita?” cepat, Ningrum memotong ucapan sepupunya. Dia segera menulis pesan kepada sepupuya via WA.

“Ningrum, kita mau ke dokter kalau-kalau kamu lupa…kenapa jadi makan siang sih. Jadi Mas Gading, Ningrum itu sakit…” ucapan Rae kembali terpotong. 

Kali ini oleh sebuah pesan WA. Pesan singkat dari Ningrum.

“JANGAN!”

Rae menatap pesan itu lalu menoleh ke belakang dan mendapati sepupunya membuat gerakan dengan bibirnya, tanpa suara.

“JANGAN BERANI-BERANI!”

Rae berani namun melihat kesungguhan di mata Ningrum, dia sadar melawan sepupunya kali ini bukanlah ide yang baik. Diliriknya Gading yang tampak tenang menyetir dan menyadari lelaki itu sebenarnya tidak terlalu peduli. Mungkin saja dia bertanya hanya untuk basa-basi belaka. Lalu sebuah kesadaran yang aneh muncul di benak Rae, membuat matanya langsung melotot. Cepat, dia membalikkan badan, kembali menatap sepupunya.

Jangan-jangan, Ningrum…

“Apa?” hardik Ningrum setengah berbisik ketika melihat Rae melotot menatapnya.

Alih-alih menjawab, Rae buru-buru menjawab melalui pesan WA.

 

“Rum, kamu cinta bertepuk sebelah tangan ya sama Mas Gading?”

Dan reaksi Ningrum ketika membaca pesan itu sungguh mengagetkan. Gadis itu spontan berteriak.

“SEMBARANGAN! KAYAK GA ADA LAKI-LAKI LAIN SAJA!”

Gading menoleh kaget, lelaki itu langsung menatap Ningrum dari kaca dashboard.

“Ada apa, ya?” tanyanya bingung. 

Menatap tepat di mata Ningrum yang berapi-api, Rae tahu dugaannya dia benar. Jelas, Ningrum memang punya rasa dengan Mas Gading.

~*~

Ningrum kesal, marah lebih tepatnya. Dia mendiamkan Rae, bahkan setelah mereka kembali ke rumah. Bahkan setelah hari berganti. Dan itu membuat Rae semakin curiga. Ningrum itu ga jelas, suka ngawur, dan sering bikin kesal juga, tetapi menyimpan kekesalan lebih dari satu kali rotasi bumi SUungguh bukan Ningrum sekali. Dan itu hanya semakin menegaskan bahwa sepupunya itu memang memiliki sesuatu kepada Mas Gading. Sungguh aneh Ningrum bisa setidak suka itu tanpa alasan.

Akhirnya dia memutuskan untuk menunggu satu kali waktu rotasi bumi lagi sebelum lapor pak RT, karena segala sesuatu yang lebih dari 2x24 jam harus dilaporkan kepada pak RT. Rae kemudian kembali fokus dengan pekerjaannya namun matanya kembali melirik ke layar ponsel untuk kesekian kali. Sejak membatalkan piknik mereka kemarin, Prasetya belum juga menghubunginya. Pesan Rae pun belum dijawab.

Mungkin dia memang benar-benar sibuk dengan pekerjaan.

Menyingkirkan pikiran tentang Prasetya dari benaknya, Rae pun tenggelam dalam pekerjaannya. Saking tenggelamnya sampai-sampai dia tidak menyadari kehadiran Paksi. Lelaki itu berdiri di depan mejanya tanpa mengatakan apapun. Apalagi Rae memakai earphone di salah satu telinganya, yang sebenarnya tidak boleh dan tidak akan dia lakukan kalau saja dia tahu bosnya sudah berada di kantor. Sedari pagi bosnya itu keluar untuk bertemu klien dan menyelesaikan beberapa urusan dan Rae berpikir lelaki itu baru akan kembali paling tidak setelah jam makan siang. Ternyata dia salah.

 

Go and fix your make up, Girl, It’s just a break up. Run and hide your crazy and start acting like a lady. Cause I raised you better, gotta keep it together even when you fall apart. But this ain’t my mama’s broken heart…”

Sambil menggoyang-goyang badannya, Rae bersenandung.

“Masih lama ga latihan vokalnya?”

Rae hampir terjungkal dari kursi ketika mendengar suara bosnya dan lebih kaget lagi ketika melihat lelaki itu sudah berdiri di hadapannya dengan kedua tangan di saku celana. Ditambah lagi dia menatap tajam kepada Rae. Sejenak dia hanya balas menatap bosnya sebelum kemudian segera melepaskan earphone-nya dan berdiri.

“Sudah, Pak. Maaf,” ucap Rae dengan sepenuh hati seraya menunduk.

“Tidak makan siang?”

“Heh? Makan siang? Oh, saya sudah minum yakult, Pak. Dua.”

“Saya tidak tahu kalau kamu bekerja sambilan sebagai sales yakult. Saya tanya makan siang, bukan tentang kamu sudah minum yakult atau belum.”

“Ya itu makan siang saya, Pak. Yakult dua.”

“Kenyang?”

“Saya malas ke bawah, Pak.”

“Oh, malas ya…padahal tadinya saya mau traktir kamu makan siang. Ya sudah kalau malas.”

Mata Rae langsung berbinar mendengar kata traktir. Walau dia sedang tidak bokek, belum, tetapi bukan berarti dia akan menolak traktiran makan siang bosnya.

“Lamien, Pak?” tanyanya, merujuk ke restoran Lamien di lantai dasar gedung ini, yang kelezatannya menembus langit. 

Rae yakin kalau Deipneus itu memang ada, maka Dewa makanan itu akan turun ke bumi hanya untuk sekedar mencicipi lamien itu.

“Mungkin.”

“Kalau begitu, saya sudah tidak malas lagi, Pak,” ucap Rae dengan keyakinan penuh.

Tidak mengatakan apapun lagi, Paksi berjalan menuju lift dan mau tidak tidak tersenyum ketika mendengar suara sepatu Rae yang setengah berlari menyusul langkahnya.

Sekretarisku yang sering konyol namun sayangnya sangat kompeten.

~*~

“Oh, palu Blackpink-nya sudah datang Pak?” Rae membuka percakapan sembari menunggu pesanan lamien mereka datang.

Makan siang bersama Paksi bukan hal yang istimewa. Rae sering melakukannya. Entah ketika dia diminta untuk menemani makan siang seraya bertemu kliekn atau di saat seperti ini, saat bosnya itu yang entah mendapat pencerahan dari mana tiba-tiba menjadi sangat dermawan.

“Sudah.”

“Wah, bagaimana reaksi Feyra?”

“Tidak tahu. Saya masih di kantor ketika paket datang. Tetapi yang jelas dia cengar-cengir ketika malamnya saya sampai rumah.”

Tanpa sadar Rae tersenyum.

“Dia pasti bahagia. Saya tahu bagaimana rasanya.”

Paksi yang sedang menatap layar iPad-nya mengangkat wajah, menatap Rae.

“Kamu suka palu Blackpink juga?” tanyanya.

“Hah? Oh tidak. Saya bukan Blink. Ya suka dengar satu dua lagu Blackpink, tetapi tidak sampai jadi fans. Maksud saya saya tahu perasaan Feyra mendapatkan benda dari idola. Saya ngefans sekali dengan Manny Pacquiao. Suatu kali teman saya membelikan sarung tinju yang ada tanda tangan dia. Rasanya saya seperti terbang ke awan.”

“Kamu suka tinju?”

“Hanya menonton. Bapak juga?”

“Tidak.”

“Oh. Kirain.”

Lalu Paksi mengembalikan perhatiannya ke iPad. Dan karena merasa tidak nyaman hanya duduk diam tanpa melakukan apapun, Rae akhirnya memilih untuk mengeluarkan notes kecil dan pensil yang selalu ada di pouch yang dia bawa. Wanita itu kemudian mulai membuat coretan-coretan asal seraya kepalanya mengangguk-angguk mengikuti lagu yang terdengar dari pengeras suara restoran.

“Am I lying to myself again when I say you’re not the best I’ve ever had. Am I lying to myself again when I say that I’m not missing you so bad…” tanpa sadar Rae bersenandung mengikuti “Love You Anymore” milik Michael Buble yang sedang diputar.

Paksi, yang hendak mengambil botol air mineral, tertegun ketika melihat sekretarisnya. Untuk sesaat dia merasa Rae yang biasanya merepotkan itu jadi tampak berbeda. Namun segera dia sadar dan mengerjapkan mata.

“Papa…”

Baik Paksi dan Rae menoleh kepada sosok gadis muda yang muncul.

“Feyra?!” sapa Rae tidak bisa menyembunyikan rasa terkejut.

Wanita itu lalu tersenyum lebar. Alih-alih menjawab, gadis yang masih memakai seragam sekolah itu menoleh kepada ayahnya.

“Sedang apa kamu di sini?” tanya Paksi seraya celingak-celinguk mencari Pak Sapri, supir anaknya.

“Aku ke kantor Papa, tapi ga ada orang. Karena lapar aku mau makan siang di sini dulu sebelum pulang.”

“Ke kantor Papa? Untuk?”

Tidak langsung menjawab, Feyra malah menggigit bibirnya, terlihat cemas.

“Ah, Feyra mau makan Lamien, juga?” tanya Rae, menangkap kegelisahan Feyra.

Namun alih-alih berterima kasih, gadis itu malah menatap Rae dengan tatapan aneh.

“Memangnya di sini jual kerak telor?” tanyanya, membuat Rae menelan ludah keki, “umph, kalau Papa sedang sibuk, nanti malam saja. Aku makan di tempat lain saja…”

“Tunggu, kalau kamu lapar kenapa harus mencari tempat lain,” dengan sigap Rae bangkit dan meraih lengan Feyra, “Lamien saya dibungkus saja, Pak, biar saya makan di atas.”

“Mana enak lamien dibungkus, yang ada melar kemana-mana. Di sini ada empat kursi, normalnya ya cukup untuk duduk kita bertiga. Kecuali kalau kalian berdua mau makan sambil rebahan.”

Mendengar ucapan Paksi, Rae dan Feyra hanya bisa menelan ludah bersamaan, tidak bisa menjawab. Lalu keduanya duduk bersebelahan.

“Ada apa mencari Papa?” tanya Paksi, bahkan tidak memberi waktu untuk putrinya memesan makanan.

“Boleh aku pesan makanan dulu?” tanya Feyra dengan senyum manis yang dibuat-buat.

Namun bahkan setelah memesan makanan, gadis itu bukannya langsung menanggapi pertanyaan ayahnya, alih-alih dia melirik ke notes kecil Rae.

“Wah, sketsanya keren,” gumamnya membuat Rae yang terdiam, mengamati interaksi bapak dan anak di hadapannya, menoleh.

“Oh, hanya iseng,” jawab Rae seraya melirik sketsa gambar seekor anjing dan kucing yang asal dia buat.

“Ck, kalau mau humble bragging itu ya jangan terlalu kentara, Tante,” ucap Feyra yang spontan membuat Rae mengerjap bingung.

Humble bragging? Siapa juga yang sedang humble bragging? Ini anak sama bapak kok mirip ya…kalau nyeletuk seenaknya.

“Feyra…”

“Iya, Pa, iya. Ga sabaran banget,” memotong ucapan ayahnya, Feyra mengambil sebuah amplop dari tasnya lalu menyodorkan kepada Paksi.

“Lagi?” tanya Paksi seraya menaikkan sebelah alisnya.

“Budayakan membaca dulu, Pa, sebelum menarik kesimpulan. Jadilah manusia yang melek literasi.”

Rae hampir tersedak karena menahan tertawa mendengar ucapan Feyra. Paksi membuka amplop dari sekolah anaknya dan membacanya dengan cepat. Bukan surat panggilan karena melakukan kenakalan seperti yang dia pikirkan tetapi surat ijin untuk mengikuti kegiatan sekolah.

“Tidak,” jawab Paksi tanpa menatap putrinya.

“Tapi…Pa, cuma ke Bogor doang,” Feyra, yang sudah menduga jawaban ayahnya, mencoba untuk bernegosiasi.

“Tidak ada acara menginap. Bahkan kalau itu di sebelah rumah kita sekalipun.”

“Papa konyol…”

“Feyra!”

“Tapi Papa benar-benar tidak masuk akal. Itu acara camping bersama. Semua anak di kelasku ikut.”

“Semua anak di kelasmu bukan anak Papa.”

“Beruntung sekali mereka. Papa sadar ga kalau aku ini dibilang aneh karena tidak bisa ikut acara-acara sekolah atau sekedar ngumpul sama teman-teman karena aturan Papa yang tidak masuk akal?”

“Tidak. End of the discussion.”

Tidak sanggup lagi menahan kekesalan, Feyra bangkit dan beranjak pergi.

“Eh, tunggu…dia belum makan, Pak,” ucap Rae seraya spontan ikut berdiri dan menyusul Feyra, mengabaikan tatapan Paksi.

“Feyra, tunggu…” Rae, yang akhirnya bisa menyusul Feyra di depan restoran, menarik pelan tangan remaja yang tampak ingin menangis karena kesal itu, “makan siang dulu, ya?”

“Aku sudah ga lapar lagi.”

Tepat setelah mengatakan itu, perut Feyra berbunyi, mengkhianati mulutnya. Rae berusaha tidak tersenyum. Dengan lembut dia menepuk pundak Feyra.

“Makan dulu, yuk.”

“Nggak. Papa nyebelin!”

“Umph…makan dulu, baru nanti dipikirkan lagi bagaimana cara membujuk Papamu.”

“Memang bisa?”

“Bisa apa?”

“Papa dibujuk?”

Kali ini Rae yang menelan ludah.

“Nah kan! Aku pulang saja,” jawab Feyra ketika melihat reaksi Rae.

“Eh tunggu, kenapa tidak dicoba dulu?”

“Tante pernah berhasil membujuk Papa?”

“Belum sih, tetapi selalu ada yang pertama untuk semua hal, iya kan?”

Sekali lagi perut Feyra berbunyi, membuat gadis remaja itu akhirnya setuju untuk kembali ke dalam restoran Lamien.

Paksi mengamati dari tempat dia duduk interaksi antara putri dan sekretarisnya. Dan terkesima ketika melihat Feyra bersedia kembali ke restoran. Bukan hal yang mudah untuk membujuk putri yang sangat keras kepala itu. Dia sudah tahu bahwa Rae adalah sekretaris yang handal namun tidak disangka wanita itu juga pandai menghadapi anak remaja. Dan dia semakin terkesima ketika melihat putrinya tersenyum mendengar sesuatu yang dikatakan oleh Rae selama mereka berjalan kembali ke restoran. Mungkin dia harus mempertimbangkan untuk menambah bonus sekretarisnya itu.

~*~

Dan sepertinya Paksi memang harus menambah bonus Rae.

“Kamu ikut camping juga?” tanya Paksi dengan tatapan tak percaya kepada sekretarisnya. 

Berusaha untuk tampak bersemangat, Rae mengangguk.

“Dengar, Rae, kamu saya bayar untuk jadi sekretaris saya bukan pengasuhnya Feyra.”

“Pak, saya melakukannya bukan sebagai pengasuhnya Feyra maupun sebagai sekretaris Bapak. Saya melakukannya sebagai sahabatnya Feyra,” jawab Rae mantap.

“Sahabat? Omong kosong. Umur Feyra separoh umurmu. Mana ada sahabat dengan rentang usia begitu?”

“Pa…”

“Pak…”

“Sudah, jangan aneh-aneh!”

“Pak, saya melakukannya di hari Sabtu, hari libur saya. Ya kalau bukan sebagai sahabat anggap saja sebagai tantenya.”

“Kalian ini…”

“Pa, itu…”

“Fey, kamu cuci tangan dulu, gih,” Rae memberi tanda kepada bocah remaja yang sudah akan kembali menangis untuk memberi dia kesempatan membujuk ayahnya. 

Feyra yang mengerti kode dari Rae, menurut. Setelah dia beranjak menuju wastafel, Rae menatap bosnya.

“Apa?” tanya Paksi, jelas menyadari Rae ingin membicarakan sesuatu.

“Bapak baca dengan seksama tidak surat edaran tadi?”

“Sudah.”

“Yakin?”

“Rae…”

“Pak, camping yang diadakan itu sebenarnya kegiatan orangtua dan anak.”

Paksi yang sudah mau memotong ucapan sekretarisnya langsung tertegun. Dengan cepat dia meraih kertas edaran yang masih ada di atas meja lalu membaca lagi dengan lebih teliti. Rae benar. ini kegiatan camping siswa dan orang tua mereka. Dan ada sekelebat rasa bersalah menyusup di hatinya.

“Sama saja, tetap tidak bisa. Sabtu di tanggal itu aku berada di Singapura.”

“Saya bersedia menemani dia, Pak.”

Paksi terdiam sejenak sebelum kemudian menggeleng.

“Itu bukan tanggung jawab kamu. Bukan urusan kamu sama sekali.”

“Memang. Tetapi Bapak pernah membayangkan tidak kalau menjadi Feyra? Semua anak di kelasnya hadir, hanya dia yang tidak. Sebenarnya tadi dia tidak berharap bapak datang juga. Cukup memberi dia ijin datang pun sudah membuatnya bahagia. Putri Bapak ini tidak banyak menuntut, lho.”

Sebelah alis Paksi terangkat.

“Kamu sedang mengajari saya tentang Feyra? Dia putri saya kalau-kalau kamu lupa.”

“Tidak mengajari, Pak. Hanya…Pak, saya pernah jadi remaja juga seperti dia. Bapak saya mungkin tidak memberi saya banyak materi seperti Bapak, tetapi dia selalu ada di saat dia harus ada untuk saya. Dan kenangan itu yang saya ingat sampai sekarang, bahkan setelah dia tiada. Bapak mau diingat Feyra sebagai Papa yang tidak pernah ada untuk dia?”

Kali ini kedua alis Paksi terangkat.

 

“Kamu benar-benar menceramahi saya?”

“Tidak…iya…mungkin…intinya, Pak, waktu tidak bisa diputar ulang. Feyra tidak akan selamanya remaja. Dia akan menjadi dewasa. Sangat sayang kalau dia tumbuh dengan jarak yang semakin jauh dari orang tuanya.”

“Kamu terdengar seperti…ibunya!” ucap Paksi seraya matanya tak lepas menatap Rae.

Rae spontan terbatuk.

Feyra yang baru kembali dari wastafel, berdiri, terpaku sejenak mendengar ucapan ayahnya.

~*~

~Jakarta, 16-04-2023~

Yavianti

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BUCINLICIOUS 5
8
0
Untuk meredakan kemarahan Ningrum, Rae mentraktir sepupunya itu makan steak sultan. Namun tidak disangka, dia melihat kekasihnya di sana bersama seorang wanita.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan