BIMA 1 (Bukan Pandawa Lima)

7
2
Deskripsi

Cerita kedua dari kelima bersaudara. 

Cerita tentang kasih sayang orang tua yang buta, yang justru yang menciptakan neraka. 

Bima adalah pengingat tentang cinta yang tidak bijaksana. 

Ruangan VIP itu disewa atas nama Anggara Wibisana, pengusaha kaya yang disegani di kota ini. Dan karena kekuatan nama itu, tidak ada satu pun yang berani untuk ikut campur dengan apapun yang terjadi di dalamnya. Bahkan manajer klub pun memilih tutup mata ketika alih-alih sosok Anggara Wibisana yang memakai ruangan, justru putri pengusaha itu muncul bersama empat orang temannya. Toh kartu identitas mereka menunjukkan mereka sudah cukup umur untuk menjadi pengunjung klub. Dan mereka sama sekali tidak mencurigai apapun ketika satu gadis lagi datang menyusul dengan cara berpakaian yang sama sekali berbeda dengan lima yang datang awal. 

Awalnya Ratih tidak mau untuk datang ketika Mala dan keempat sahabatnya mengajak untuk pergi ke klub malam ini. Dia tetap tidak menanggapi ketika kelompok yang cukup terkenal di kampus itu terus membujuknya untuk datang. Dia tidak pernah ada dalam lingkar pertemanan mereka jadi aneh rasanya ketika tiba-tiba mereka mengajaknya main bersama. Dia tidak suka membuat keributan atau masalah. Tujuan hidup utamanya saat ini adalah lulus secepat mungkin lalu bisa bekerja untuk membantu keluarganya. Namun dengan cepat, keputusannya berubah ketika salah satu dari kelima gadis itu mengirimkan foto adik perempuannya yang masih bersekolah di SMP sedang bersama beberapa pemuda dan merokok. 

Dari situ akhirnya dia sadar mereka tidak mengundangnya untuk sekedar menghabiskan waktu dan bermain-main. Ketika bujukan tidak mempan, mereka akhirnya secara terus terang mengancamnnya. Semula dia bingung mengapa mereka begitu bersikeras untuk mengajaknya bertemu. Dia mencoba intropeksi diri lagi, kalau-kalau tanpa sengaja dia menyinggung mereka. Nihil, bahkan dia merasa tidak pernah berinteraksi langsung dengan kelima gadis itu. Kalau hanya sekedar kenal, satu kampus juga rata-rata tahu siapa mereka, terutama Mala. Sampai akhirnya ingatannya melayang kepada Bima. Seniornya di kampus itu beberapa hari yang lalu memborong habis semua risol yang dia jual untuk Danus, tiga kali berturut-turut. 

Sialnya, Bima adalah lelaki yang disukai Mala.

Andai saja memiliki pilihan lain, tak akan dia datang. Ibunya adalah orang tua tunggal yang bekerja menjadi ART dan hanya pulang seminggu sekali. Hanya ada nenek yang sudah tua di rumah, menemani dia dan ketiga adiknya. Dia tidak ingin bertikai, tidak pula ingin memperpanjang masalah. Hanya agar foto itu tidak tersebar di sekolah adiknya dia datang, itu saja. Dia akan menjelaskan kepada Mala bahwa dia tidak pernah bicara sama sekali dengan Bima sebelum transaksi risol itu dan dia tidak tertarik sama sekali untuk menjalin hubungan apapun dengan Bima. Dia juga akan berjanji akan menghindari Bima ke depannya. Apapun untuk menghindari masalah.

“Vi, aku mau berangkat ketemuan sama Mala sekarang di The Dawn. Bisa ga dirimu nyusul temani aku setelah acara arisan keluargamu selesai? Justin case aku butuh tumpangan pulang. Thanks.”

Itu pesan yang Ratih kirimkan untuk sahabatnya, Silvi, sebelum menjalankan motornya menuju The Dawn, klub malam tempat dia dan Mala akan bertemu. Sempat sebelum memasuki ruang VIP, dia menghidupkan alat perekam kecil, benda kenang-kenangan dari sang ayah yang dulu adalah wartawan sebuah surat kabar semasa hidupnya. Sadar, bahwa di dalam nanti pasti akan ada kekerasan dan perundungan. Dia ingin menjadikan itu barang bukti jika diperlukan untuk melapor. Pun begitu, dia sama sekali tidak takut. Bagaimanapun Mala seusia dengannya, tidak akan mungkin mereka mampu melakukan hal yang di luar batas. Sedikit penghinaan dan cacian, mungkin pukulan, bisalah dia terima. 

Sama sekali dia tidak pernah berpikir bahwa anak pejabat satu ini tidak pernah diajarkan tentang batas oleh orang tuanya. Mala hanya tahu, siapapun yang membuatnya kesal, layak untuk disingkirkan. 

Ratih tidak pernah menyangka, manusia bisa sebinatang itu dalam menyiksa. 

~*~

Pesan Ratih baru dibaca oleh Silvi satu jam kemudian, ketika acara keluarganya selesai. Ada perasaannya tidak enak di hati ketika membaca nama Mala dalam pesan itu. Dia tahu Mala. Hampir semua anak di kampus tahu siapa gadis itu dan bagaimana tingkah lakunya. Walau termasuk salah satu yang bagus dan bergengsi, kampusnya tidak benar-benar bersih dari kasus perundungan. Memang tidak separah ataupun seviral kasus-kasus kampus-kampus lain, tetapi tetap ada. Dan Mala adalah salah satu pelaku perundungan yang selalu lolos dari hukuman karena nama keluarganya. Gadis itu dan keempat dayang-dayangnya, selalu bertingkah layaknya mahasiswi eksklusif, gang top tier, tidak tersentuh. Beberapa hari yang lalu dia mendengar selentingan bahwa Mala kesal dengan Ratih. 

Beberapa kali dayang-dayangnya berusaha memancing keributan dengan sahabatnya itu, tetapi gagal. Ratih sama sekali tidak menanggapi. Dia hanya peduli dengan kuliahnya, harus lulus secepatnya dan bisa mendapatkan pekerjaan untuk membantu keluarga. Apalagi alasan Mala kesal sangat sepele dan tidak masuk akal. Gadis itu cemburu tanpa alasan kepada Ratih yang dianggap keganjenan terhadap lelaki yang dia sukai. Tidak masuk akal karena Ratih bahkan tidak kenal dekat dengan lelaki itu. Semua kehebohan Mala hanya dikarenakan oleh satu hal, lelaki itu memborong risol untuk danus yang dijual Ratih. Hanya itu. 

Silvi sampai di The Dawn tepat dengan ambulans datang dengan sirene meraung-raung. Setelah memarkir motornya, dia berjalan cepat menuju ke klub, bertepatan dengan beberapa petugas kesehatan membawa seseorang dengan tandu dari pintu klub menuju ambulans. Dan jantung Silvi serasa berhenti ketika melihat wajah sahabatnya yang terbaring tidak sadarkan diri. 

“Ratih!” teriaknya spontan.

~*~

Berangkat ke kampus seperti biasa, Bima sama sekali tidak menyangka bahwa namanya menjadi topik hangat hari. Dia sama sekali tidak memiliki firasat apa-apa sampai ketika makan siang, seorang gadis bersama empat temannya datang mendekatinya di kantin. Dia lupa nama gadis itu, tetapi memang merasa kalau seringkali mereka berpapasan dan gadis itu suka tersenyum dan menyapa. Biasanya Bima akan membalas sapaannya dengan senyuman. Siang ini pun sama. Gadis itu dan keempat temannya mendekat, menyapanya. 

“Hai Kak Bima.”

Tidak menjawab, Bima hanya mengangguk dan tersenyum, lalu terus berjalan, mencari tempat untuk makan siang. Namun tidak seperti biasanya yang hanya sampai menyapa, kali ini kelima gadis itu mengikuti Bima sampai dia menemukan sudut kantin yang kosong. Kening lelaki itu berkerut ketika duduk dan menyadari kelima gadis itu mengikutinya.

“Kak, boleh kami duduk di sini?” tanya salah satu dari mereka.

Alih-alih langsung menjawab, Bima mengedarkan pandangan ke sekeliling, seakan memberitahu bahwa masih banyak tempat kosong. Ketika kelimanya tampak tidak peka dengan maksud tatapannya, Bima menarik napas, tampak malas.

“Masih ada meja lain yang kosong, kan?” ucapnya.

Belum sempat ada jawaban, tiba ada dua gadis lagi medekat.

“Kamu benar-benar bukan manusia, Mala!” 

Ucapan salah satu dari gadis yang mendekat membuat kelima gadis yang ada di situ menoleh. Muka mereka yang semula penuh senyum langsung berubah menjadi waspada. Bima yang benar-benar malas harus berurusan dengan konflik antar gadis berniat untuk diam-diam beranjak pergi. Namun segera niat itu dipatahkan oleh gadis berwajah berani yang baru datang itu.

“Jangan lari bajingan!”

Gertakan yang menghentikan langkah Bima dan membuat lelaki itu menoleh, melihat dengan jelas siapa yang baru saja memanggilnya dengan makian. Lalu dengan bingung dia menunjuk dadanya sendiri, seakan memastikan bahwa “bajingan” yang dimaksud benar dirinya. 

“Ajarin pacarmu untuk jadi manusia, jangan kayak binatang birahi yang ga pakai otak. Ga semua cewek kepikiran buat deketin kamu apalagi ganjen sama kamu!” cerocos si gadis berbadan mungil  yang semakin membuat Bima bingung.

“Pacar siapa?”

“Kamu siapa sih? Jangan bicara sembarangan kalau bicara! Kalau ada masalah denganku kita bicara di tempat lain, ga usah bawa-bawa Kak Bima...” si gadis, salah satu dari yang berlima, membalas ucapan si mungil yang menyerang Bima. 

“Jangan bertingkah sok manis, bikin mual. Bicara dengan kalian berlima? Yakin bicara? Nggak pengen menghajarku sampai koma di rumah sakit seperti yang kalian lakukan kepada Ratih? Ga semua gadis kegatelan sama pacarmu ini!”

Penjelasan yang membuat Bima melotot. 

“Tunggu, pacar siapa?” tanya Bima lagi kali ini dengan nada suara lebih keras, tidak peduli dengan berpasang-pasang mata yang sekarang menatap ke arahnya.

“Kak, jangan percaya...”

“Diam dulu,” potong Bima sedikit kasar kepada gadis yang tadi ngotot mau duduk semeja dengannya, seraya matanya masih menatap si mungil, “jelaskan.”

Tidak langsung menjawab, si mungil mengutak-atik ponselnya lalu menunjukkan sebuah foto. 

“Ini adalah?” tanya Bima tidak paham seraya mengamati sosok gadis terbaring, tampak sekarat, di tempat tidur rumah sakit.

“Kamu tidak tahu siapa dia?” tanya si mungil seakan Bima sedang pura-pura tidak tahu.

Dan itu membuat Bima kesal. Dengan suara gusar, dia akhirnya membentak. 

“Dengar, aku tidak punya pacar dan tidak tahu kenapa aku harus ada di dalam konflik ini. Kenapa aku jadi lelaki bajingan? Siapa wanita itu, jelaskan semua jangan balik bertanya lagi, ini mengesalkan, tahu?”

Mengerjap kaget, si mungil sejenak kaget dengan reaksi Bima namun kemudian dia mulai paham apa yang sebenarnya terjadi. Dengan geram dia menoleh kepada lima gadis yang sekarang tampak salah tingkah.

“Kalian benar-benar binatang,” desisnya sebelum kemudian kembali menatap Bima lalu bicara dengan suara yang sengaja dia keraskan, “gadis yang terbaring sekarat ini namanya Ratih, anak FIB. Semalam kelima binatang ini mengajaknya bertemu dan menghajarnya sampai sekarat seperti ini. Tahu alasannya? Karena kamu, Bima, memborong risol yang dia jual untuk danus selama tiga kali berturut-turut. Dia, Mala, berpikir bahwa kamu melakukan itu karena Ratih keganjenan sama kamu.”

Terdengar gumaman dan makian marah dari beberapa pengunjung kantin. Dan Bima,untuk sesaat lelaki itu tertegun kaget, lalu dengan cepat dia melihat lagi ke layar foto di layar ponsel si mungil. Rasa muak membuat emosinya naik. Tidak pernah sekalipun dia berpikir bahwa dirinya akan jadi alasan perundungan. 

“Aku bukan pacar dia,” ujar Bima sengaja dengan suara setengah berteriak seraya menunjuk ke Mala yang tadi ditunjuk oleh si mungil, “tahu namanya saja tidak. Siapa tadi namamu? Mala? Dengar, salah satu hal yang paling menjijikan buatku adalah perundungan. Berhenti berlagak seolah-olah kita punya hubungan, sekarang aku jadi jijik sama kamu.”

Sekali lagi terjad keheningan di dalam kantin. 

“Di rumah sakit mana Ratih dirawat?” tanya Bima kepada si mungil.

Mala yang mukanya sudah pias karena rasa malu dan kesal, berusaha membela diri.

“Kak Bima, dia berbohong. Aku bukan seperti itu dan...”

“Berisik!” hardik Bima kasar.

Lelaki itu lalu menarik tangan si mungil.

“Antar aku ke rumah sakit tempat Ratih dirawat,” pintanya. 

Di sisi lain, si mungil sejenak merasa bingung, tidak mengira Bima bahkan tidak mengenal Mala. Namun melihat sorot mata Bima, entah mengapa dia percaya. Sebelum menanggapi Bima, dia berbalik menatap Mala yang mukanya makin pias.

“Ternyata bukan hanya keji, kamu juga suka halusinasi. Kirain beneran pacaran sama Bima, ternyata cuma merasa sendiri. Apa? Tidak terima? Mau mengeroyok aku juga? Dengar ya, Mala dan kalian berempat, aku bersumpah aku membawa kasus penganiayaan ini ke jalur hukum. Persetan dengan keluargamu. Ayo kita adu, keluargamu atau keluargaku.”

Mala tampak benar-benar marah, bahkan tubuhnya sampai bergetar. Tanpa mengatakan apapun dia berbalik pergi, meninggalkan kantin, diikuti oleh keempat dayang-dayangnya. Seketika kantin sedikit gaduh, para mahasiswa yang ada di situ mulai menyoraki kelima gadis itu, bahkan ada yang bertepuk tangan melihat keberanian si Mungil. 

“Kamu benar ingin tahu?” tanya si mungil kepada Bima yang menjawab dengan anggukan. 

“Tapi sebelumnya, siapa namamu?” tanya Bima.

“Kenes. Ini Silvi, sahabat Ratih, dia meminta bantuanku soal penganiayaan Ratih. Aku lapar, makan dulu baru aku bawa kamu ke rumah sakit.”

~*~

Pertama kali dalam hidupnya, Anggara Wibisana melihat putri semata wayangnya seperti saat ini, terbaring tidak berdaya di ranjang rumah sakit. Lengan yang dia gores sendiri tampak dibalut perban. Dunianya berasa runtuh ketika salah satu pembantu rumah tangganya menjerit menemukan Mala terbaring tidak sadarkan diri di bak untuk berendam yang airnya sudah memerah karena darah yang keluar dari pergelangan tangan yang disayat. Beruntung masih belum terlambat. Sayatan tidak sampai memutus nadi dan Mala ditemukan sebelum kehabisan darah. Hati Anggara semakin terasa bagai diremas ketika melihat anaknya menangis keras begitu sadar seraya meneriakan nama Bima dengan amarah. 

Segera dia meminta asistennya untuk menyelediki. Dia tahu kenakalan yang dilakukan anaknya kepada salah satu temannya di kampus beberapa hari lalu, tetapi yakin bukan itu penyebab Mala sampai melakukan hal bodoh seperti itu. Toh, ini bukan kenakalannya yang pertama. Bukan masalah besar juga, semua akan reda dan beres dalam beberapa hari. Laporan asistennya yang sudah menyelidiki melalui keempat teman dekat Mala menghasilkan satu nama, Bima. Anaknya dipermalukan seorang pemuda di kampusnya bernama Bima di tengah kantin yang penuh orang. Tangan Anggara terkepal penuh amarah. Asistennya sudah menunjukkan seperti apa sosok Bima melalui sebuah foto. 

“Dia harus mendapatkan balasannya,” gumam lelaki itu kepada si asisten, “buat dia menyesal telah membuat Mala seperti ini. Aku tidak ingin dia mati, tidak juga hidup.”

“Baik, dimengerti, Bos.”

~*~

Satu kesalahan Anggara Wibisana adalah tidak mencari tahu siapa di belakang Bima sebelum menghajar pemuda itu sampai babak belur. Dia hanya tahu kalau Bima yatim piatu dan keluarga yang dia miliki adalah empat saudara kandung. Satu kesalahan namun fatal. Bima sedang makan di angkringan langganannya sendirian, karena keempat saudaranya sibuk semua dengan urusan masing-masing, ketika sekelompok orang tiba-tiba datang menghajarnya. Sekuat apapun dia melawan, percuma karena jumlah mereka terlalu banyak untuk dihadapi sendirian. Beruntung, walau sedikit terlambat, anak buah keluarga Salim datang menyelamatkan. Begitu penyerangnya bisa dibubarkan, Bima segera dibawa ke rumah sakit. 

Babak belur, patah tulang, paru-paru luka karena benturan berat, organ vital lain aman, begitu laporan dokter yang diterima oleh ketiga “ayah angkat” yang langsung datang ke rumah sakit. Mengepalkan tangan, Dewabrata Salim menatap sosok yang sudah dianggap anaknya, berbaring di ranjang rumah sakit. Di sebelahnya Pedro dan Christian juga tampak sama marahnya.

“Wibisana?” tanya Dewa memastikan. 

“Ya, Anggara Wibisana,” jawab Christian, “pemain kemarin sore. Satu-satu kelebihannya hanyalah dia dekat dengan orang-orang di Senayan.” 

“Tuhan Maha Pengampun, aku tidak. Aku mau mereka habis, benar-benar habis, Chris. Tidak ada damai. Tidak ada,” suara Dewa pelan, namun diucapkan dengan penuh penekanan karena rasa amarah. 

Tidak menjawab, Christian hanya mengangguk. 

Tidak ada yang boleh menyakiti anak-anak Rayakan Hidup, selama Salim masih ada. Tidak ada.

~*~

Ini terlalu mudah. 

Mau tidak mau, Kenes harus mengakui ada kekuatan lain selain dari keluarganya yang membantu kasus penganiayaan yang dilakukan Mala bisa tersebar dengan begitu cepat. Memang dialah yang memulai dengan membuat utas dan mengedarkan di sosial media rekaman suara dari perundungan yang dilakukan Mala Anitta, yang menyebabkan korbannya koma di rumah sakit. Dia mendapatkan itu dari alat perekam yang ditemukan dalam tas Ratih. Kemarahan publik memang terpancing dengan cepat, namun dia tidak menduga akan secepat ini. Banyak akun besar yang mendadak terlibat dan ikut menyebarkan utasnya. Lalu mendadak semua kasus perundungan yang dilakukan Mala bersama empat orang temannya naik ke permukaan. Bahkan kasus-kasus kenakalan yang kelewat batas ketika dia di bangku SMA pun tiba-tiba menyeruak muncul. Ternyata sejak remaja Mala terbiasa melakukan penyiksaan kepada kenalan atau seseorang yang membuatnya dia kesal dan keluarganya yang selalu membereskan. 

Semula dia sudah berencana meminta bantuan kakeknya yang cukup punya kekuatan di kota ini untuk melawan Anggara Wibisana, namun ternyata dia tidak memerlukan itu. Dalam waktu beberapa hari keluarga yang selama ini tampak tidak tersentuh itu tiba-tiba menjadi musuh masyarakat. Ada kekuatan lain yang sedang menyerang keluarga Wibisana. Keluarga yang bahkan kemungkinan lebih punya kuasa daripada keluarga kakeknya. 

Bima?

Lelaki itu tidak muncul selama beberapa hari di kampus dan mendadak mengajukan cuti. Menghilang. 

Siapa sebenarnya Bima?

~*~

Pembalasan dari keluarga Salim datang bagai amukan badai, keras dan bertubi-tubi. Dimulai dengan sebuah rekaman percakapan Anggara Wibisana dengan salah satu pemerintahan mengenai impor gula yang bermasalah. Lalu disusul rumor beredar bahwa perusahan Wibisana yang menjadi tempat pencucian uang. Semua media sosial tiba-tiba ramai oleh rumor itu sampai para tokoh politik dan pengamat sosial serta tokoh masyarakat ikut berbicara. Tidak lama kemudian, seorang pejabat kantor perpajakan tiba-tiba tertangkap kasus korupsi besar-besaran dan menyeret nama Anggara Wibisana. Tidak berhenti di situ, sebuah pabrik milik keluarga Wibisana terbakar tanpa tahu siapa pelakunya. Lalu kasus pembuangan limbah yang selama tidak terkuak karena pengaruh dari pejabat rekanan Anggara, naik ke permukaan. Restoran milik istirnya juga tidak luput dari serangan. Gaji dan waktu kerja serta keselamatan karyawan yang tidak layak tiba-tiba diangkat ke media sosial. Masyarakat dibuat marah dan muak dengan keluarga itu. Borok mereka dikorek semua, citra mereka dibuat hancur berkeping-keping. Lalu kasus-kasus putri semata wayang mereka yang gemar melakukan perundungan tersebar luas, semakin memperburuk keadaan. Bahkan setelah kasus pengadilan untuk kasus-kasus itu berjalan, serangan belum berhenti, satu persatu properti milik mereka mengalami pengrusakan dan vandalisme. 

Tidak menduga akan berakhir seperti itu, Anggara Wibisana akhirnya mengemis untuk bertemu dengan seorang Dewabrata Salim. Setelah menerima tiga kali penolakan, akhirnya pertemuan terjadi juga di ruangan privat Salim Hotel.

“Tolong lepaskan aku dan keluargaku. Kami sudah habis,” Anggara memohon. 

Beberapa saat tidak ada jawaban dari Dewa. Lelaki itu bahkan tidak mau memandang kepada lawan bicaranya, membuat Anggara makin cemas. 

“Apa yang kami lakukan padamu?” tanya Dewa setelah keheningan yang cukup lama.

“Aku akan melakukan apapun syaratnya.”

“Aku bertanya, apa yang kami lakukan kepadamu? Kami tidak melakukan apapun. Apakah aku begitu perkasa sampai bisa melakukan semua ini kepadamu? Itu anggapan yang berlebihan.”

Tanpa sadar, Anggara menelan ludah gugup. Jelas terlihat bahasa tubuh lawan bicara masih belum melunak. 

“Aku benar-benar tidak tahu pemuda itu anakmu.”

“Kalau begitu sama, aku juga tidak ada urusan dengan semua kejadian yang menimpa keluargamu. Itu bukan urusanku.”

Tiba-tiba tanpa memikirkan harga dirinya, Anggara bangkit dan menjatuhkan dirinya di hadapan Dewabrata Salim. Dia sama sekali tidak peduli akan tatapan anak buahnya maupun anak buah Salim yang berjaga di ruangan. 

“Lepaskan kami, kumohon.”

Sejenak, Dewa akhirnya mau menatap lelaki yang tampak menyedihkan itu. 

“Melepaskanmu? Bagaimana? Sudah sebesar ini, mustahil untuk lepas. Kasusmu sudah menumpuk dan tidak ada lagi yang mau manjadi badan untuk melindungimu.”

“Aku akan menghadapinya, tetapi tolong lepaskan anak dan istriku, kumohon.”

“Anak? Aaah gadis yang membuat anakku terbaring di rumah sakit? Kakinya patah, tubuhnya babak belur, tulung rahangnya geser, bahkan paru-parunya luka. Dan kamu masih berani memintaku melepaskan anakmu? Apakah aku tampak seperti lelucon untukmu?”

Terkesiap, Anggara kembali bersujud.

“Dia masih kecil dan bodoh, tolong kali ini saja lepaskan dia.”

“Melepaskannya? Dan kemudian membiarkannya tetap nyaman dengan semua uangmu yang masih tersimpan di banyak tempat? Sedangkan anakku harus memakai logam di kakinya dan memiliki paru-paru bermasalah seumur hidup? Adilkah itu?” 

“Kumohon, kumohon, apapun, katakan apapun yang dibutuhkan untuk kompensasi, akan kulakukan, kumohon.”

“Apapun?”

“Apapun.”

“Mata balas mata.”

Mata Anggara terbelalak.

“Tidak...”

“Tidak? Katamu apapun?”

“Ambil kakiku sebagai gantinya.”

“Untuk apa? Aku ingin kamu merasakan apa yang kurasakan, melihat anakmu dihajar seperti sampah. Mata dibalas mata.”

Wajah Anggara memucat. 

“Jangan...maksudku, kumohon, bisakah yang lain?”

“Kamu yang menolak. Pembicaraan selesai.”

Kembali terbelalak, Anggara buru-buru menarik kaki Dewabrata yang sudah berdiri hendak beranjak pergi. Dia tahu, kalau Salim tidak menghentikan serangan mereka, keluarganya akan benar-benar habis. Semua uang yang masih dia simpan di tempat-tempat yang tidak terendus aparat bisa terbongkar semua. Mereka tidak akan memiliki sisa sama sekali. 

“Baik, baik. Mata balas mata. Kalian lakukan lah apa yang kami lakukan kepada anakmu.”

Urung beranjak, Dewabrata kembali duduk. 

“Patahkan kakinya, hanya itu. Aku masih punya belas kasihan, tidak akan menghajar anakmu seperti binatang, seperti yang kamu lakukan kepada Bima kami. Kamu menghajarnya layaknya binatang buas. Satu pemuda dihajar lima belas orang. Itu binatang. Kalau aku lakukan hal yang sama, anakmu akan mati. Aku tidak ingin melepaskannya semudah itu. Cukup patah kaki, seperti Bima. Hanya itu.”

Anggara Wibisana menelungkupkan mukanya ke lantai, lemas. Andai saja waktu bisa diputar. Andai saja dia tidak tergesa dan lebih hati-hati.

Nasi sudah menjadi bubur.

~*~

Yogya Istimewa, 14-02-2025

Semoga Bima bisa menjadi teman kalian semua.

Katakan tidak kepada perundungan.

Xoxo, 

Yavianti

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya BIMA 2 (Bukan Pandawa Lima)
6
0
Seseorang mendekat membawa ember berisi air dan menyiramkannya ke tubuh si gadis yang tidak bereaksi sama sekali. Bahkan setelah guyuran ketiga, masih tidak ada tanda-tanda gadis itu akan bangun. “Ck, padahal lagi seru tadi,” gerutunya. “Ga bangun?” tanya pemuda yang menyuruh untuk mengguyur air, “ck, buang ajalah. Ga seru.”Salah seorang dari ketiga pemuda itu melakukan panggilan telepon, memberi perintah untuk membereskan “boneka” serta arena bermain mereka yang berantakan.Seperti biasa.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan