
Bab 1 -5
Bab 1 : Sah
"Gue gak peduli lo nikahin gue karena alasan apa. Gak penting. Yang gue tau, setelah kata sah terucap dari bibir para saksi nikah, lo milik gue seutuhnya. Jadi jangan coba-coba lagi mikirin mantan. Apalagi nyebut namanya di depan hidung gue. Haram."
--Ayana--
"Puas lo sekarang."
Sapaan awal yang sangat manis bukan? Dari seseorang yang baru saja bergelar sebagai suami Ayana. Manis untuk dikunyah-kunyah gadis itu lalu dilepehin se-ampas-ampasnya.
Ayana yang tengah duduk di depan meja rias langsung memutar tubuh. Menatap pria tampan nggak ada akhlak dengan tatapan ingin mengulitinya hidup-hidup. Tubuh Arfan yang menjulang tinggi di depan pintu kamar pun menunjukkan wajah sama tidak bersahabatnya.
"Maksudnya apa nih?" tanya Ayana datar. Berusaha tidak terprovokasi dengan sikap Arfan.
Jika lelaki itu berpikir pernikahan mereka terjadi atas kemauan Ayana, maka ia salah besar. Ayana memang menyukainya, sejak dulu. Bahkan rela menolak beberapa orang pemuda hanya demi menunggu suatu saat Arfan akan peka terhadap rasa yang ia miliki.
Namun berpikir untuk menjadi istri pemuda itu dengan cara yang licik? Jelas bukan dia banget. Bahkan membuat Arfan sadar kalau Ayana menyukainya saja tidak pernah terpikirkan oleh gadis itu.
"Gue ingatin ya, pernikahan ini hanya status. Jadi jangan coba-coba mengatur ruang gerak gue," ujar Arfan lagi dengan angkuh.
Mengatur? Dahi Ayana mengernyit. Artinya laki-laki itu cukup tau aturan dalam sebuah rumah tangga. Hanya saja dia tidak ingin terikat di dalamnya.
Baguslah, batin gadis itu.
Arfan melanjutkan langkah setelah menutup pintu kamar rapat.
"Hmmm ... gitu?" Ayana mengangkat kedua alis. Jawabannya jelas bermaksud meremehkan.
Arfan mendengkus.
"Lo belum lupa, 'kan apa alasan kita menikah?" sahutnya sinis.
Tentu saja tidak. Lagi-lagi Ayana membatin.
Pernikahan ini terjadi karena ayah pemuda yang sekarang seharusnya menjadi pria yang paling dia hormati itu tengah sekarat. Dan dia yang menginginkan pernikahan ini karena takut tak punya kesempatan lagi untuk menyaksikan putra kesayangannya bersanding di pelaminan.
"Karena Papa lo mau mati, 'kan?" sahut Ayana acuh. Hatinya sudah terlanjur sakit dengan sikap arogan laki-laki itu.
Arfan mendekat dengan gigi gemelatuk. Ada kilat kemarahan dalam tatapan itu.
"Jaga omongan lo!" desisnya sambil mencengkeram dagu Ayana.
Namun dengan cepat gadis itu menepis.
Kalau Arfan pikir sikapnya membuat nyali Ayana ciut, pemuda itu salah besar.
"Kenapa? Lo sakit hati?" Gadis itu malah menantangnya.
Rahang yang ditumbuhi bulu-bulu halus itu kian menajam. Bahkan kedua pelipisnya tampak bergerak. Menahan emosi pasti.
"Jadi cuma seperti ini akhlak gadis yang dibanggakan Papa? Kalau ia dengar omongan lo barusan pasti ia akan menyesali keputusan memaksakan pernikahan ini," balasnya sengit.
Lalu salah satu sudut bibir itu sedikit terangkat. Sinis.
Pasti menyakitkan baginya mendengar kata-kata Ayana. Arfan sangat menyayangi papanya. Ayana tahu itu. Itu jugalah alasan gadis itu memilih membawa nama sang ayah mertua dalam pertengkarannya. Meski jauh di lubuk hati ia sangat menyesali hal ini.
Maafin Ayana, Om.
"Sebelum itu terjadi, percayalah lo yang akan kena getok duluan," sahut Ayana santai. Lalu kembali memutar tubuh menghadap meja rias.
Arfan mengeram terluka dan menatap tajam Ayana melalui kaca besar.
"Lo masih ingat hukum Newton?" lanjut Ayana tak peduli. Sesaat tatapan mereka bertemu dari balik cermin.
"Gak akan ada reaksi tanpa aksi." Ia melanjutkan.
Arfan mendengkus. Lalu mengitari punggung gadis itu untuk bisa menyandarkan pinggulnya di meja rias. Dengan kedua tangan yang dilipat ke dada, ia menatap Ayana, mengintimidasi.
Berada dalam jarak sedekat itu, membuat Ayana mati-matian menahan agar debar jantungnya tidak disadari Arfan.
"Oiya gue lupa. Lo dari jaman SMA kan dah bangor, atau mungkin sampai sekarang? Mana ngerti lo soal pelajaran. Kalau disuruh ngapalin nama cewek cantik, baru lo tau." Sepertinya Ayana belum puas, meskipun berusaha bersikap se biasa mungkin, jelas ada kemarahan besar yang menguasai batin gadis itu.
Arfan tertawa sinis.
"Jadi selama ini lo mantau gue?"
Ayana mendongak. Menatap wajah Arfan dengan sebelah alis terangkat.
"Mantau? Penting amat," sahutnya kemudian.
Arfan menggeleng pelan.
Ayana makin kelimpungan karena merasa sikap Arfan seolah menelanjanginya.
Gadis itu kian meradang karenanya. Kalau pun ada orang yang perlu Arfan sesali atas pernikahan ini, itu jelas bukan dia.
Persahabatan yang erat antara papa mereka sejak jaman putih abu-abu, menjadikan mereka layaknya saudara. Bahkan saat masing-masing menikah, para istrinya pun dilibatkan.
Karena itulah sejak kecil Ayana dan Arfan sudah saling mengenal. Namun mereka tak pernah akrab. Setiap kali bertemu yang ada saling cuek seolah tak saling mengenal.
Dan keputusan kedua orang tuanya beberapa waktu lalu cukup membuat Ayana menelan ludah.
"Kalian sudah ditunangkan sejak kamu dalam kandungan. Sekarang karena Om Ardi sering sakit-sakitan, ia ingin melihat kalian menikah selagi ia masih kuat."
"Maksudnya, Pa?"
"Saat Mama kalian sama-sama hamil, iseng Om Ardi ngomong gini, 'andai anak kita beda jenis kelamin, kita besanan aja ya? Biar ikatan kekeluargaan kita makin kuat' dan Papa pun setuju," ujar Papa Ayana.
"Ucapan itu kembali diingatkan oleh Om Ardi saat Arfan lahir, 'mudah-mudahan anak kalian cewek ya?' katanya, dan dua bulan kemudian kamu lahir sesuai dengan harapannya," lanjut Papanya lagi.
Kini sang sahabat menagih janji itu. Keluarganya, terutama Ayana sudah berbaik hati menerima semua keputusan. Lalu kenapa sekarang di mata Arfan semua jadi salah dia?
Meski sejujurnya Ayana menyukai Arfan diam-diam, dia tetap tahu diri.
Mereka berdua jarang tegur sapa, sekalinya interaksi lebih mirip Tom and Jerry.
Ayana bukan tidak mencoba menolak. Dia masih ingat bagaimana caranya mendebat kedua orang tuanya.
"Si kulkas itu?" tanyanya gusar waktu itu.
"Hust ... gak boleh gitu." Mamanya yang sedari tadi diam menyela. "Anak perawan kok mulutnya gitu?"
"Lha, Mama liat sendiri kan, kami gak pernah saling sapa."
"Ya salah sendiri. Padahal kami selalu berusaha mendekatkan kalian dari dulu."
Ayana terdiam. Saat ngobrol orang tua mereka memang seolah sengaja mengajak Arfan dan Ayana masuk dalam obrolan, terutama sejak meningkat remaja.
Sayangnya gadis itu terlanjur ilfil karena tau bagaimana sikap Arfan pada cewek di luar sana, manis banget. Tapi mendadak kek orang gagu saat berhadapan dengannya.
"Tapi kan aku masih kuliah, Pa." Ayana kembali berdalih.
Lagipula kalau ternyata Arfan menolak, mau ditaruh di mana mukanya. Sebelum hal itu terjadi akan lebih baik ia duluan yang menolak.
"Gak masalah. Gak ada aturan kan harus berhenti kuliah setelah nikah," sahut Papanya lagi yang pada akhirnya membuat Ayana menyerah.
Hingga terjadilah peristiwa yang seharusnya sakral tapi malah penuh sandiwara ini.
Bagaimana tidak?
Tadi di depan ratusan undangan yang memenuhi ballroom hotel, mereka terlihat pasangan paling bahagia dan serasi. Bibir keduanya tak henti menebar senyum.
Tapi sekarang lihatlah!
Hanya butuh hitungan menit setelah acara usai, keadaan berbalik 180°.
Super duper menyebalkan. Terutama bagi Ayana tentunya. Pria itu terang-terangan menunjukkan sikap permusuhan.
"Gak penting? Trus ngapain lo liatin gue gitu."
Ayana tersentak. Lalu membuang pandang dengan wajah yang menghangat.
"Sadar ya lo kalau gue memang mempesona?" lanjut Arfan lagi pongah.
Ayana menatap dengan sebelah alis terangkat. Lalu tersenyum sinis.
"Ya, gue sadar lo itu sangat tidak tau diri."
Setelah mengatakan itu ia bangkit berdiri. Namun baru hendak melangkahkan kaki, Arfan menyambar pergelangan tangannya dan menyentak kasar.
Dengan kain batik panjang yang melilit dari pinggang hingga mata kaki, tentu saja gadis itu dengan mudah kehilangan keseimbangan. Sedari tadi dia jalan saja sudah mirip putri duyung tanpa ekor.
Eeelaah, gini amat ribetnya jadi pengantin. Mana sama suami nggak dianggap pula. Boro-boro pujian, yang ada langsung kena semprot. Ngenes banget kan idup gue. Ayana mendumel, meski hanya dalam hati.
Tanpa basa basi ia terjerembab dalam pelukan pemuda itu. Bergantung di pangkal lengan kokoh Arfan supaya ia tidak terjatuh.
"Hhh ... modus banget sih. Kalau mau peluk bilang aja." Arfan tersenyum sinis.
Mata Ayana membulat dengan mulut sedikit ternganga. Sungguh demi apa pun dia tidak mengharapkan Arfan mengalami amnesia, jelas-jelas tadi laki-laki itu yang menarik tangannya hingga ia terjerembab.
"Gue?" Ayana menatap lekat. Buru-buru melepaskan diri dan menatap pemuda itu sengit.
"Mau peluk lo?" tanyanya lagi mengulang ucapan Arfan dengan nada meremehkan.
"Ngaca sana! Tuh belakang lo," lanjutnya menunjuk meja rias, lalu melangkah pergi sambil menyambar tas pakaian yang masih tergeletak di sudut meja rias. Ia takkan pernah sudi berganti pakaian di depan pemuda tersebut.
"Asal lo tau ya? Di luar sana banyak yang antri ma gue," teriak Arfan geram.
Gue tau keleus. Nggak usah pamer juga. Tentu saja kata ini hanya ada dalam hati Ayana. Mengungkapkan sama saja dengan menjatuhkan harga dirinya.
Ingin membantah, sayangnya apa yang dikatakan Arfan benar.
"Gak nanya." Gadis itu melengos pergi.
"Dasar jutek. Pantas nggak punya pacar."
Ayana yang sudah berada di depan pintu kamar mandi berbalik.
"Nah, ketahuan kan sekarang, siapa yang mantau siapa?" sahutnya menyunggingkan senyum penuh ejekan.
Wajah Arfan memerah.
"Gue bukan mantau, hanya ngingetin biar lo sadar diri."
Kok makin pedas ya tuh mulut. Tapi nggak masalah sih. Terpenting sekarang lo sudah berada dalam genggaman gue, Mas Ganteng. Kita liat saja nanti siapa yang lebih dulu menyerah.
Apa?
Mas ganteng?
Mendadak Ayana mules dengan jalan pikirannya sendiri.
"Hueeek!" cibir Ayana.
"Kenapa? Lo dah pengen ngerasain ngidam ya? Bilang aja. Kalau cuma untuk melakukan 'itu', tanpa rasa pun keknya gue bisa," sahut Arfan sembari membuat tanda kutip dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kanannya.
"Najis," sahut Ayana. Lantas menutup pintu kamar mandi dengan kasar.
Eh, apa maksudnya bisa melakukan itu tanpa rasa? Jangan-jangan nanti saat aku tertidur....
Mata gadis itu membulat.
"Gimana ini?" gumamnya, panik.
Bab 2 : Malam Pertama
Ayana mengobrak-abrik isi tas. Tak percaya dengan apa yang ia lihat. Ini nggak salah? batinnya. Jelas-jelas kemarin piyama panjang yang ia masukan dalam tas ini sebagai baju tidur, kenapa sekarang berubah jadi lingerie?
Lagipula sebelumnya Ayana tidak punya pakaian kurang bahan seperti itu. Ayana terus saja mencari pakaian yang ia inginkan. Berharap ada keajaiban, lingerie tersebut berubah jadi busana tidur yang lebih pantas.
Nihil.
Selain lingerie hanya ada sepotong gaun yang pas dipakai buat acara resmi. Dan satu potong kemeja berikut celana jeans. Tak satupun pakaian yang dipilih Ayana kemarin tersisa di dalamnya.
Sesaat gadis itu hanya tertegun dengan tubuh yang kian menggigil. Tiba-tiba suhu udara di kamar mandi hotel makin membuat kulit putihnya mengkerut kedinginan. Atau mungkin juga karena ia mulai panik.
Gadis itu tak bisa membayangkan ia akan berlenggak lenggok di depan Arfan dengan busana seminim itu. Terlebih setelah mendengar apa yang diucapkan Arfan tadi.
Mau ditaruh di mana mukanya jika sampai Arfan berpikir ia sengaja menggoda. Tapi kalau bukan lingerie, masa iya harus pakai gaun?
Astaga Mama. Bayangan wanita itu terlintas di benak Ayana. Nggak salah lagi. Ini pasti kerjaan wanita itu. Niat banget ngerjain anaknya.
"Mamaaa!" Tanpa sadar Ayana berteriak tertahan. Lalu buru-buru membekap mulutnya karena tak ingin Arfan mendengarkan.
Sekarang ia tidak punya pilihan. Mau tidak mau ia harus mengenakan salah satu lingerie yang menurutnya paling sopan. Celana pendek sepaha dengan atasan tank top.
Mayanlah, batinnya.
Wajahnya memerah melihat bayangan diri di dalam cermin. Pakaian dalamnya menerawang di balik pakaian yang transparan itu.
Namun setidaknya model celana itu sedikit membuatnya merasa lebih nyaman. Yang ia pikirkan sekarang bagaimana cara menghadapi Arfan yang pasti akan meledeknya habis-habisan jika laki-laki itu mengetahui dan menuduh ia sengaja menggoda? Atau lebih buruk Arfan terpancing dan memaksa melakukannya. Hanya karena nafsu.
Ayana menghela napas panjang.
Dia memang mencintai Arfan. Entah sejak kapan rasa itu bersemayam. Tapi dia tak akan sudi disentuh laki-laki itu jika hanya untuk sekedar menunaikan tanggung jawab karena ia tahu persis seperti apa laki-laki itu memandangnya selama ini.
"Lama banget sih? Lo beranak ya?"
Ayana mengatupkan rahang rapat. Namun dengan cepat melapisi lingerie tersebut dengan kimono handuk. Hanya itu satu-satunya cara agar tubuhnya tidak terekspos.
"Awas aja Mama," geramnya sambil melangkah keluar.
Arfan yang tengah duduk di bibir ranjang menatapnya lekat. Mendeteksi tubuh gadis itu dari atas sampai bawah. Lalu melihat ke tangan Ayana yang menenteng tas pakaian dengan dahi mengernyit.
"Berubah pikiran? Pasti lo mikir, ganti baju di depan gue bukanlah ide yang buruk. Baiklah. Akan gue pertimbangkan apakah gue tergoda atau nggak."
Tatapan tajam Ayana sama sekali tidak membawa pengaruh apa-apa baginya. Laki-laki itu malah melanjutkan, "Sekarang coba buka kimononya."
Ayana mengatupkan rahangnya rapat.
"Geer banget lo," sahutnya.
Senyum miring menghiasi sudut bibir pemuda itu.
"Ooh bukan ya?" Pertanyaan yang lebih bernada ejekan.
Wajah Ayana kian memanas. Sikap Arfan benar-benar menyentil harga dirinya.
Andaikan mamanya tau, bahwa apa yang telah dia lakukan hanya akan mempermalukan anak gadisnya sendiri.
Arfan bangkit dari ranjang. Melangkah ke depan lemari pakaian yang terletak persis di depan pintu kamar mandi. Ia malah sengaja menyenggol pundak gadis itu saat mereka berpapasan. Tak peduli dengan tatapan tajam Ayana yang seolah ingin mengulitinya.
Jemari pemuda itu mulai melepas kancing kemeja satu persatu.
"Ngapain lo buka baju di sini. Sana masuk. Tadi aja teriak-teriak," sentak Ayana.
Ia buru-buru membelakangi Arfan yang telah bertelanjang dada. Lalu melanjutkan langkah ke bibir ranjang. Gadis itu merutuk kenapa tadi tidak memaksa pulang dengan orang tuanya.
"Lo tergoda?"
"Gue? Jan ngelindur."
"Kalau gitu apa masalahnya?"
"Lo gak sopan."
"Sopan?"
Pemuda itu berbalik.
"Dengan berpakaian seperti itu lo bicara tentang kesopanan?"
"Gue ...."
Ayana kian merapatkan kimono dan menggenggam kedua sisinya erat di depan dada saat pemuda itu kian mendekat. Tanpa sadar ia mundur hingga terdesak di bibir ranjang.
Dengan santai Arfan melepas ikat pinggang, lalu kancing celana. Otot-otot perutnya yang memang telah terbuka tampak mengencang. Seketika suhu ruangan mendadak terasa panas oleh Ayana.
"Fan, apa yang lo lakuin?" Sebesar apa pun usahanya agar terlihat biasa, tetap saja suaranya terdengar bergetar.
"Yang seharusnya dilakukan pasangan suami istri." Arfan semakin mendekat. Meraih pinggang gadis itu. Dalam satu kali sentakan tubuh Ayana sudah berada dalam pelukannya.
"Fan, gue mo ...."
Ucapan Ayana terputus karena Arfan lebih dulu membungkamnya. Ia menekan bibir gadis itu kuat dengan permukaan bibirnya. Sengaja memberi hukuman karena bibir itu telah berkali-kali mengeluarkan kata-kata tajam.
Tapi ada apa ini?
Dadanya bergemuruh. Perlawanan gadis itu justru menimbulkan gelenyar tersendiri. Ciumannya yang tadi penuh amarah perlahan berubah. Ia buru-buru melepaskan tubuh Ayana sebelum ia sendiri yang terbakar.
"Gue mau mandi."
Dari bayangan kaca yang memenuhi hampir seluruh dinding kamar hotel, Ayana dapat melihat Arfan melangkah ke kamar mandi tergesa hanya dengan menggunakan celana boxer. Entah kapan celana panjangnya melorot dan kini teronggok di karpet.
Gadis itu mulai gelisah.
Gelisah akan rasa yang baru untuk pertama kali ia rasakan. Arfan baru saja mengajarinya sesuatu yang baru, lalu laki-laki itu pun dengan sengaja menghindar. Ayana tahu persis itu.
Tapi kenapa?
Apa ia seburuk itu sehingga Arfan mati-matian menolak apa yang laki-laki itu sendiri coba tawarkan?
Tanpa sadar bening mengambang di sudut mata Ayana. Namun ia buru-buru menghapus.
Kenapa Ay? Bukannya dari dulu lo dah tau Arfan tak pernah suka sama lo? Dia hanya tengah menunjukkan bakti sebagai anak. Jangan pernah lupakan itu.
Dengan perasaan berkecamuk, Ayana membenahi diri. Duduk di depan meja rias sambil menghapus sisa air di sudut mata. Ia menyentuh bibirnya yang sedikit bengkak akibat perbuatan Arfan tadi. Darahnya kembali bergejolak saat membayangkan bagaimana Arfan mengakhiri.
Gadis itu langsung berlari dan meringkuk di bawah selimut begitu mendengar gagang pintu diputar dari dalam. Lantas pura-pura tidur. Berharap benar-benar tertidur meski ia penasaran setengah mati dengan apa yang akan dilakukan Arfan.
Tubuhnya membeku saat merasakan seseorang akan berbagi ranjang dengannya. Beruntung sebelum pura-pura tidur ia telah membuat pembatas dari guling yang ditumpuk. Setidaknya saat tidur kulit mereka tidak akan saling bersinggungan.
***
Arfan melangkah ragu saat keluar dari kamar mandi. Ia habis-habisan merutuk diri sendiri. Apa yang ia lakukan?
Seharusnya ia tidak terpancing dengan kata tajam gadis itu. Bukankah ia sudah sangat mengenal Ayana? Harusnya yang ia lakukan menganggap gadis itu tak pernah ada. Dan selama ini sikap demikian cukup efektif untuk membuat mereka saling menjaga jarak.
Arfan menarik napas lega saat melihat gadis itu sudah tidur. Meski ia tak sepenuhnya yakin Ayana benar-benar tertidur.
Apa yang sekarang menghantui pikirannya adalah penampilan Ayana. Mungkinkah gadis itu sengaja menggodanya dengan hanya mengenakan kimono saat keluar dari kamar mandi? Padahal jelas-jelas ia membawa tas pakaiannya ke sana.
Mengingat bagaimana dinginnya gadis itu selama ini, sepertinya hal itu mustahil. Lalu jika tidak, kenapa?
Berpikir hal itu Arfan yang baru saja merebahkan diri di sisi gadis itu menoleh.
"Gue tau lo belum tidur," desisnya.
Tak ada sahutan.
"Ayana."
Masih tak ada sahutan.
"Baik. Jika lo masih bungkam, gue gak jamin selanjutnya akan baik-baik saja."
Selimut yang menutupi seluruh tubuh gadis itu dibuka kasar. Wajahnya menyembul di balik selimut. Bukan itu saja. Ayana lantas bangkit, menatap Arfan nanar. Tanpa disadari kimononya tersingkap hingga memperlihatkan lingerie tipis yang membalut tubuhnya.
Sadar ke mana tatapan lelaki itu, Ayana buru-buru merapikan kembali kimono tersebut dengan wajah memanas.
"Jaga mata lo."
"Kenapa berpakaian seperti itu? Lo sengaja ya?"
"Jan ngarep. Gue gak tau siapa yang punya kerjaan. Tapi sumpah. Kemarin saat membenahi apa saja yang gue perlukan, pakaian sialan ini gak ada di tas gue. Seseorang telah menukarnya dengan pakaian tidur yang gue siapin."
Arfan terdiam. Namun dalam hati ia percaya akan apa yang dikatakan gadis itu.
"Ya sudah. Gue cuma mau bilang, maaf atas kejadian tadi. Sekarang tidurlah. Gue janji hal menyebalkan tadi tidak akan terulang."
Ayana menatap sesaat.
Menyebalkan katanya. Berarti Arfan menganggap apa yang sudah seharusnya mereka nikmati adalah suatu kesalahan.
"Terima kasih. Gue percaya sama lo."
Setelah mengatakan itu, Ayana kembali merebahkan diri. Ia memunggungi Arfan. Memejamkan mata seiring kelopaknya yang kian memanas.
Ia menahan tangis untuk rasa yang ... entah.
Bukankah harusnya ia senang dengan sikap yang ditunjukkan Arfan? Tapi kenapa jadinya malah sesakit ini?
Bab 3 : Lo Nggak Tergoda, Benarkah?
Arfan membalikkan tubuh entah untuk yang keberapa kali. Membenamkan wajahnya di bantal. Membujuk diri agar bisa terlelap.
Namun sayang usahanya sia-sia. Kehadiran Ayana di sisinya sungguh membuat konsentrasi pemuda itu pecah. Menyukai atau tidak, melihat tubuh indah seorang wanita yang tergolek pasrah di sisinya adalah godaan paling menyiksa.
Arfan mulai menyesali keadaan. Harusnya ia menolak untuk menginap di hotel ini setelah resepsi. Harusnya mereka menghabiskan malam di kamar masing-masing agar bisa beristirahat dengan total.
Tapi mungkinkah keluarga mereka akan membiarkan?
Ah tega sekali mereka melakukan siksaan ini. Arfan membatin.
Siksaan?
Mereka menyuguhkan madu, Arfan. Lo gak liat betapa moleknya tubuh gadis itu. Tanpa sadar ia pun menoleh ke samping.
Ayana tampak tidur pulas seperti bayi. Baru Arfan menyadari ternyata gadis itu punya kulit sehalus sutra. Putih bersih bak porselen.
Arfan terkesiap ketika sang gadis menggeliat hingga kimononya tersingkap pada bagian pundak sampai dada. Memperlihatkan pangkal leher yang jenjang. Arfan makin merutuk diri saat tatapannya beralih ke bagian dada gadis itu.
Brengsek!
Ia memaki diri sendiri. Benci dengan pikirannya yang menerawang ke mana-mana. Berdiam di sisi gadis itu hanya akan membuat ia meledak dengan sendirinya.
Pemuda itu lantas bangkit dan melangkah ke kamar mandi. Mengguyur kepalanya dengan air dingin. Untuk beberapa lama ia hanya tertegun di sana.
***
Ayana membuka mata. Dingin suhu kamar membuat tubuhnya menggigil. Gadis itu menggeliat. Saat itulah dia sadar bagian tubuhnya sebelah atas tidak berselimut.
Seperti baru menyadari sesuatu, mata Ayana membelalak. Ia serta merta menarik selimut hingga menutupi sebatas leher. Dengan cepat ia menoleh ke samping.
Mendapati ranjang sebelahnya kosong tak berpenghuni, Ayana menarik napas lega. Namun hanya sesaat, sebelum pikiran buruk merasuki benaknya.
Bagaimana kalau lelaki itu mengambil kesempatan saat ia tertidur tadi. Makanya sekarang dia pergi karena rasa bersalah. Kalau saja hal itu terjadi, Arfan benar-benar nggak bisa dipercaya.
Ayana melompat turun dari ranjang setelah merapikan kembali kimononya. Iya melirik jam tangan. Pukul 3 dini hari.
"Biasanya seorang laki-laki itu gampang bangun menjelang pagi."
Ayana teringat kata Maudy tempo hari beberapa bulan yang lalu saat ia dan beberapa temannya menodong wanita itu perihal malam pertamanya.
"Bangun?" tanya Sheren waktu itu.
"Iya. Itunya." Maudy terkekeh dengan pipi merona malu-malu. "Padahal niat gue cuma bangunin buat sholat malam."
"Hah, masa segitunya?" sambut Ayana. Tanpa sadar ia menelan ludah.
"Makanya kalian segeralah menikah. Nikah itu enak. Anggap aja pacaran halal. Dan satu lagi aku kasih tau ya?" Maudy mencondongkan tubuh. Hingga mereka yang duduk semeja dengannya reflek mengikuti, "bercinta menjelang subuh itu punya sensasi yang berbeda," bisiknya.
Mengingat kata-kata itu tubuh Ayana menegang. Ia tiba-tiba jadi kebelet pipis.
Bisa jadi kimononya yang terbuka itu akibat perbuatan Arfan. Atau jangan-jangan ....
Ayana memeriksa bagian tubuhnya yang tadi terbuka. Ia sedikit bernapas lega saat tak ada apa pun yang dirasa janggal di sana.
Tapi bagaimana kalau laki-laki itu tidak meninggalkan jejak. Karena tidak sanggup melawan diri sendiri, lalu ia memutuskan pergi. Tapi pergi ke mana? Bukankah ini masih terlalu pagi untuk keluyuran?
Keluar dari kamar mandi, pandangan Ayana menangkap kain gorden yang sedikit melambai tertiup angin.
Balkon.
Perlahan Ayana mengintip. Ternyata benar. Pandangan matanya menangkap keberadaan Arfan yang tengah menumpukan kedua siku pada pagar pembatas sambil menatap keluar area hotel.
Apa pria itu tidak tidur semalaman? Ayana membatin.
Saat akan berbalik tanpa sadar kakinya menendang dinding kaca. Arfan menoleh. Laki-laki itu tersenyum samar. Lalu perlahan melangkah kembali masuk ke kamar.
Ia menatap Ayana dengan pandangan penuh tanda tanya setelah kembali menutup pintu balkon dan merapatkan tirai. Ayana membuang muka dengan wajah memerah karena aksi mengintipnya yang ketahuan. Tapi bukan Ayana namanya jika tidak bisa menguasai keadaan.
"Lo kangen ya ma gue?"
Ayana mendelik.
"Gue hanya takut aja kalau tiba-tiba lo loncat dari balkon, makanya gue nyariin," ujar Ayana sambil merapatkan kimono dan memeluk tubuhnya sendiri erat.
Udara pagi ini benar-benar membuat tubuh gadis itu nyaris membeku.
"Ooh jadi benar lo nyariin gue?"
"Ya, gimana ya? Secara kalau sesuatu terjadi ma lo kan orang pertama yang ditanyain itu gue."
Arfan menghempaskan pinggul pada kursi di depan meja kecil. Mengabaikan ucapan sinis Ayana.
"Btw, kenapa lo gak tidur?"
"Bukan urusan lo."
Ayana duduk di bibir ranjang. Menatap punggung laki-laki itu yang tengah menyeduh kopi.
"Gue curiga lo gak bisa tidur karena takut tergoda ma gue."
Arfan menuangkan air panas dengan hati-hati ke cangkir yang telah berisi bubuk kopi dan gula. Setelah merasa cukup ia meletakkan kembali teko listrik tersebut ke tempat semula.
Tanpa diduga Ayana, Arfan mendekat. Reflek gadis itu merapatkan kimono dan memegangnya erat.
"Sejujurnya iya. Karena gue lelaki normal." Arfan berbisik. Lalu meniup pangkal leher Ayana hingga membuat bulu kuduk gadis itu merinding.
"Sayangnya pesona lo gak sebanding dengan Viola. Jadi lo mau tampil seperti apa pun gak akan membuat gue tergoda." Arfan berkata dengan sinis sambil kembali bangkit menjauhi gadis itu.
Sakit hati dengan sikap Arfan, Ayana meraih bantal dan melemparkannya ke punggung laki-laki itu.
"Brengsek. Lo laki-laki paling kurang ajar yang pernah gue kenal."
"Gue gak peduli."
Ayana ingin menangis. Namun itu tak akan terjadi karena ia tau memang itu yang diinginkan Arfan. Ia tidak boleh terlihat lemah di hadapan pemuda kurang binaan tersebut.
Dengan pongah Ayana pun mengangkat wajah. Menatap lelaki yang sudah hampir dua puluh jam itu menjadi suaminya.
"Baik. Lo pikir gue peduli ma lo?"
Arfan membalas tatapan Ayana datar.
"Gak!" Ayana menjawab sendiri pertanyaan.
"Bagus. Artinya mulai sekarang kita bebas melakukan apa pun yang kita suka. Kecuali di depan orang tua kita masing-masing. Kita tetap harus jaga sikap."
"Masih mikirin mereka juga lo?" sahut Ayana sinis.
"Kita harus terlihat mesra di depan mereka."
"Gue gak janji."
"Tapi gue yakin lo akan ngelakuin itu demi mereka."
Ayana menatap Arfan tajam.
"Itu pun bukan urusan lo."
Sejujurnya ia sangat sakit hati dengan Arfan. Wanita mana yang sudi dibandingkan dengan perempuan lain justru pada malam pengantin mereka? Kalau memikirkan ego tentu Ayana ingin mereka bercerai sekarang juga.
Namun demi mengingat empat orang tua yang sangat ia sayangi, emosi Ayana meluruh seketika.
Tak ada gunanya ia meladeni sikap keras kepala Arfan. Seharusnya ia menyediakan air ketika lelaki itu menyemburkan api. Bukan malah menyiramkan bensin.
Tapi bagaimana caranya?
Secara mulut Arfan begitu pedas memancing emosinya.
Baiklah. Turunkan ego lo Ayana, sedikit saja.
Gadis itu bangkit dari ranjang setelah mengikat rambut panjangnya asal.
"Masih ada air panasnya?" Ia mendekati Arfan yang tengah mengaduk kopinya. Berdiri di sisi kanan pemuda itu.
"Mau ngopi?" Ternyata Arfan tak setega yang ia bayangkan. Ia pikir lelaki itu akan kembali menyemprotkan kata-kata tajam. Ternyata ia malah disambut dengan baik.
"Teh aja," sahut Ayana. Ia mencondongkan tubuh menjangkau gelas bersih yang terletak di pojok meja bar itu.
Aroma shampoo yang lembut menusuk indera penciuman Arfan saat kepala gadis itu berada tepat di depan hidungnya.
Hell.
Kenapa harus sedekat ini sih? Pemuda itu membatin. Ia benci pikiran kotor yang melanglang buana karena keberadaan gadis itu. Namun ia terlalu gengsi untuk menjauh.
"Aww." Pekikan kecil Ayana membuyarkan angannya.
"Hati-hati dong."
Arfan meraih dengan cepat telapak tangan gadis itu dan mengisap telunjuk Ayana yang terkena air panas. Tubuh gadis itu seketika membeku. Ketika mendongak, dari dalam kaca ia mendapati Arfan pun tengah menatapnya. Sesaat netra mereka bertemu. Ayana kembali menunduk.
"Terima kasih," ujarnya. Menarik perlahan telapak tangannya yang masih berada dalam genggaman pemuda itu.
"Dasar anak manja. Nyeduh teh aja kena air panas. Udah gitu sok-sok an mau nyeduh sendiri."
Ayana hanya diam. Ia malah meniup pelan telunjuknya yang sedikit memerah.
"Masih sakit?" Suara Arfan kembali melunak.
"Sedikit."
"Lain kali minta tolong kalau gak bisa."
Ayana menatap Arfan. Lama.
"Kenapa?"
"Ternyata lo baik juga ya?"
"Lo pikir gue patung yang gak punya perasaan."
Ayana tak menjawab. Ia malah meraih cangkir teh dan meneguk isinya perlahan. Saat mencuri lirik ke kaca besar di depan mereka, Arfan lagi-lagi tertangkap basah tengah menatapnya. Entah apa arti tatapan itu.
Seperti sebuah tarikan magnet, Ayana memutar kepala perlahan dengan cangkir teh yang masih menempel di permukaan bibirnya.
Netra mereka bertemu. Dengan jarak yang begitu dekat. Sehingga gadis itu bisa mendengar napas Arfan yang dibuang kasar.
Pemuda itu meraih cangkir Ayana dan meletakkannya kembali ke meja. Bagai kerbau dicucuk hidung, gadis itu tak berkutik. Begitu terkesima dengan apa yang dilakukan Arfan. Ia memejamkan mata ketika wajah Arfan kian mendekat, semakin dekat.
Lo bilang gak bakal tergoda. Ini apa, Fan? Beluman juga gue goda.
Bab 4 : Luka
Arfan menggeram puas bersamaan suara alarm penunjuk masuknya waktu subuh yang bergema dari ponsel Ayana. Sesaat pemuda itu hanya terpana.
Di sampingnya Ayana tergolek lemas tak berdaya dengan mata terpejam.
Sekelumit sesal tiba-tiba memenuhi rongga kepala pemuda itu. Tanpa mengatakan apa pun ia melompat dari ranjang. Memunguti pakaiannya yang berserakan di lantai, lalu berlalu cepat ke kamar mandi.
Ia menyandarkan tubuh di daun pintu begitu kamar mandi tertutup rapat.
"Maaf, Vi." Ia mendesis.
Arfan tidak bisa membayangkan apa yang akan dilakukan Viola jika tau ia telah melepas keperjakaan bukan dengannya.
Minggu lalu nyaris aja ia tergoda melakukannya dengan Viola. Namun Arfan berhasil menguasai diri dan menghentikan di saat yang tepat.
Hal itu tentu saja membuat Viola uring-uringan. Gairah yang sudah berada di ubun-ubun dengan terpaksa harus kembali ia redam.
"Kenapa, Fan?" tanyanya dengan mata berkaca-kaca. Memijat kepalanya yang mendadak berdenyut nyeri.
"Kita akan melakukannya, Vi. Tapi nanti setelah kita saling terikat satu sama lain." Arfan menyahut tegas sembari merapikan kembali pakaian yang berantakan.
"Maaf, tadi gue kebablasan." Ia menatap gadis itu menyesal.
Perjodohan yang tiba-tiba menjadi topik pembahasan malam itu membuat Arfan kalap. Ia meninggalkan meja makan dan mengendarai motornya seperti orang kesurupan menuju kos kosan kekasihnya.
Mendapati gadis itu dalam pakaian tidur super mini menggoda imannya. Ia mencintai Viola. Hanya gadis itu yang berhak atas dirinya. Itu yang ia pikir sebelum kesadaran akhirnya kembali menguasai akal sehat Arfan.
"Kurang terikat apa lagi? Kita saling mencintai, Fan. Dan hubungan kita juga telah berjalan lama." Viola meradang.
"Benar, tapi yang aku maksud ikatan yang sah."
"Lo jangan munafik, Fan. Lo yang datang sendiri. Dan gue sudah memberi kesempatan karena gue juga sayang sama lo. Tapi kenapa begini?"
Isak tertahan gadis itu kembali memenuhi kepala Arfan. Dan itu membuatnya merasa jadi lelaki paling buruk di dunia. Ia gagal menjaga arti sebuah kesetiaan.
Yang ia tak mengerti, saat bersama Viola ia dengan mudah bisa membentengi diri. Tapi kenapa tidak saat bersama Ayana? Ia merasa hasrat yang ia miliki telah menjelma menjadi sebongkah bola api yang kian membesar dan siap meledak jika tidak segera ia salurkan.
Arfan merosot di pintu, lalu terhenyak di lantai kamar mandi. Wajah kecewa Viola menari-nari di pelupuk mata dan luruhlah hatinya.
Ini semua salah Ayana.
Andai saja ia tidak berpenampilan seperti itu. Andai saja tadi ia tidak berdiri begitu dekat hingga kulit mereka bersentuhan berkali-kali. Andai saja gadis itu lebih berhati-hati saat menyeduh teh. Namun di antara semua, yang paling ia sesali, untuk apa ia peduli? Harusnya apa pun yang Ayana lakukan bukan hal penting baginya.
"Haaah."
Arfan meremas rambutnya kasar seiring sesal yang kian menggunung.
Di tempatnya Ayana masih termangu. Sama sekali tak menyangka akan reaksi Arfan. Sikapnya mendadak berubah 180 derajat. Ia pikir lelaki itu sangat menikmati kebersamaan mereka tadi. Arfan memperlakukannya dengan begitu manis dan lembut hingga ia pun terlena. Seolah ia seorang kekasih yang sangat dicintai pria itu.
Nyatanya apa yang Ayana dapat kini begitu menyakitkan.
Arfan melambungkan harapan gadis itu setinggi-tingginya lalu menghempaskan sekuat tenaga tanpa perasaan.
Dari cara Arfan menatap, lelaki itu menyesali apa yang baru saja terjadi. Ayana sangat yakin itu. Persembahan terbaik yang ia berikan sama sekali tidak membuat dirinya menjadi istimewa di hadapan suami sendiri. Dan itu sangat menyakiti hati Ayana.
Tanpa sadar gadis itu terisak. Betapapun bersikap acuh tak acuh, nyatanya ia terluka.
Kenapa Ayana? Kamu tidak perlu menyesali apa yang memang sudah seharusnya terjadi. Jangan berpikir kamu kalah. Kamu menang Ayana. Ia menghibur diri.
Baiklah!
Dengan cepat ia menyapu air mata. Segudang rencana kini telah memenuhi kepalanya.
***
Lima belas menit kemudian Arfan keluar dari kamar mandi. Membuang muka saat tanpa sengaja tatapan mereka bertemu.
Ayana menarik napas panjang. Ia menahan diri untuk tidak berkomentar sekalipun dadanya terasa mau meledak.
Seenaknya saja laki-laki itu bersikap demikian setelah membuat seluruh tubuhnya nyaris remuk.
Namun tak sepatah kata pun keluar dari bibir gadis itu. Seolah tak pernah ada sesuatu pun yang terjadi, Ayana melangkah menuju lemari. Mengambil semua yang ia butuhkan, lalu melangkah ke kamar mandi.
Ayana merasa ada yang janggal dengan caranya berjalan. Tertatih, meski ia telah berusaha berjalan sebagaimana biasa.
Dalam hati gadis itu mengumpat.
Di mana enaknya sih? Jalan aja rasanya udah kek bebek begini. Mana kaki gemeteran pula. Awas aja tuh si Maudy.
Sebelum menutup kamar mandi, tak sengaja pandangan Ayana menangkap bayangan Arfan yang tengah mencuri lirik melalui kaca besar di belakangnya.
Ia mencoba mengartikan tatapan itu setelah pintu kamar mandi tertutup rapat. Arfan terkesimakah karena telah berhasil membuktikan betapa perkasanya dia atau tengah menyesali?
Ah, bodo amat dengan apa yang laki-laki itu pikirkan.
Tapi kan ini nyesak.
Perlahan Ayana melepas kimono yang membalut tubuhnya secara asal itu. Sesaat ia tertegun mendapati jejak Arfan yang tertinggal di pangkal leher dan beberapa di area sekitar dada. Semua itu untuk apa? Kenyataannya sekarang Arfan seolah menyesali.
Dengan tangan gemetar Ayana menyalakan keran. Ia menengadahkan wajah. Membiarkan air dari shower menghantam wajahnya agar air mata itu ikut melebur dan luruh secara bersamaan.
Entah berapa lama gadis itu berendam di sana. Ia tak peduli dengan ketukan Arfan yang telah beberapa kali pada pintu kamar mandi.
Kenapa ia masih peduli?
***
"Mau ke mana?" tanya Arfan saat ia kembali dari balkon mendapati Ayana yang tengah beberes.
Gadis yang baru keluar dari kamar mandi setelah hampir satu jam itu tak menggubris. Ia sibuk mengumpulkan semua pakaian dan memasukkannya kembali ke dalam koper. Setelah itu ia meraih tas make up lalu kembali lagi ke kamar mandi.
Merasa diabaikan, rahang Arfan mengeras. Namun ia tidak melakukan apa pun selain hanya diam.
"Tadi Mama nelpon," ujarnya pelan begitu Ayana kembali keluar.
Gadis itu tetap tak menjawab sekalipun penasaran dengan apa yang ingin dikatakan mertuanya itu pagi-pagi sekali. Hatinya terlanjur sakit.
"Mama bilang kita bisa cek out lusa."
Ayana menoleh sesaat.
"Kita? Lo aja kali. Gue mau pulang sekarang."
"Jangan aneh-aneh Ayana!" Arfan menatapnya tajam.
Ayana meraih tas tangan yang tergeletak di meja samping ranjang.
"Terserah," ujarnya. Lalu berbalik.
Matanya membulat saat wajahnya menubruk sesuatu. Sesuatu yang mana telinga gadis itu dapat menangkap jelas detak jantung di baliknya.
Ya. Wajah Ayana membentur dada Arfan karena saat berbalik ia sedang dalam posisi sedikit membungkuk.
"Jangan jadi pengecut," desis Arfan tajam.
Pengecut?
Sebelah alis Ayana sedikit terangkat. Ia mendongak. Membalas tatapan itu tak kalah tajam.
"Kalau lo marah dengan apa yang terjadi, biar gue jelasin agar lo paham."
Arfan menghentikan ucapan. Lalu mundur beberapa langkah dan menyandarkan punggungnya di dinding samping ranjang yang jadi pembatas kamar mandi. Ia melipat kedua tangan di dada.
"Kita berdua punya andil," lanjutnya lagi.
"Itu takkan terjadi kalau kita bisa mengontrol diri. Nyatanya tidak kan? Gue menyesal, tapi gue gak akan minta maaf untuk itu. Jadi lupakan. Anggap saja itu hanya mimpi buruk."
"Mimpi buruk?" Ayana tertawa sinis.
"Lo benar. Karena mengenal lo aja udah jadi mimpi paling buruk dalam hidup gue. Sayangnya ego gue kalah oleh hati nurani."
Ayana menelan ludah yang terasa kian pahit. Kelopak matanya kembali memanas.
"Bilang ma orang tua lo, menantu tersayangnya ini takkan pernah membuat mereka kecewa. Ia akan dengan senang hati mendampingi putranya yang gak berguna ini."
"Ayana!!" Arfan menggeram. Menatap lekat gadis itu. Jika mengikuti amarah, ia ingin membungkam mulutnya agar tak lagi bisa berkata-kata.
"Nah, sekarang lo mau apa lagi dari gue?" tanya gadis itu tajam.
Ayana kembali melemparkan tas tangannya begitu saja ke ranjang.
"Lo boleh berbangga diri karena bisa mendapatkan segalanya dengan mudah," lanjutnya dengan suara bergetar.
Ia membalikkan tubuh, melangkah cepat menuju balkon. Meninggalkan laki-laki itu yang masih tertegun. Biar bagaimanapun Arfan tidak boleh melihat telaga di pelupuk matanya yang sudah nyaris tumpah.
Ayana mengedarkan pandang. Suramnya pagi ini selaras dengan suasana hati dan harinya. Bahkan mungkin juga masa depannya.
Melihat sikap Arfan yang seperti itu akankah ada cinta untuknya? Atau sesungguhnya saat ini Ayana tengah mendedikasikan diri untuk sebuah kehancuran?
Bab 5 : Tamu Istimewa
"Bangun hei!"
Ayana mengucek mata berkali-kali sambil menguap.
"Kita di jalan gak lebih dari setengah jam, dan lo dah molor segitu pulasnya? Aneh banget nih orang." Arfan ngedumel.
"Suka gue lah. Daripada mata gue mpet liat lo, mending tidur sekalian," sahut Ayana keki.
Demi kavling yang dijual dengan slogan bebas banjir, tapi tiang papan reklamenya kelelep hingga pinggang, dia sama sekali tidak pernah berpikir akan berjodoh dengan pria menyebalkan itu.
Arfan mendengkus. Lalu tanpa mengatakan apa pun lagi ia bergegas turun.
Ayana mengedarkan pandang. Seketika matanya membulat sempurna.
"Arfan, lo bawa gue ke mana?" teriaknya sembari membuka pintu mobil dan segera melompat turun. Buru-buru menyusul pria itu yang sudah lebih dulu mencapai pintu masuk.
"Buka mata lo lebar-lebar. Dan liat, ini rumah." Arfan menyahut tanpa menoleh.
'Iyalah. Masa kandang ayam.'
"Maksud gue, ini rumah siapa?"
"Gue."
Ayana menelan ludah.
"Tapi Mama bilang setelah menikah kita tetap tinggal di rumah masing-masing sampai kita saling bisa nerima satu sama lain."
Sebenarnya Ayana sendiri bingung mengaplikasikan 'nerima' yang mereka maksudkan itu seperti apa. Bukankah mereka malah sudah ihik ihik meski melakukannya antara sadar dan nggak sadar?
Mengingat hal itu wajah Ayana memerah dan ia segera buang muka saat Arfan menatap lekat.
"Lo pikir ini mau gue?"
"Kalau gitu anterin gue pulang."
Arfan tak menggubris. Ia malah sibuk mengeluarkan koper miliknya dan tas pakaian Ayana dari bagasi.
"Punya gue gak usah dikeluarin." Gadis itu menahan.
"Ya udah. Nanti kalau lo butuh jangan coba minta gue yang ngeluarin," sahut Arfan sarkastis sambil kembali meletakkan tas tersebut.
"Gue gak akan membutuhkannya di sini."
"Yakin?"
"Gue mau pulang."
"Ya udah pulang sana."
'Dasar laki gak ada akhlak. Gak punya perasaan.'
"Kunci mobil?" Gadis itu menadahkan tangan.
"Gue nggak ngijinin. Kalau lo nekat, silakan, tapi jangan pakai mobil gue." Bukannya memberikan pada Ayana, Arfan malah memasukkannya ke dalam kantong.
"What? Lo suruh gue jalan kaki?" jerit tertahan gadis itu.
"Itu urusan lo."
"Lo ...." Sebelah tangan Ayana menggantung di udara, dan turun perlahan membentuk kepalan.
Arfan membalikkan badan tiba-tiba. Nyaris saja tubuh mereka saling bertubrukan kalau Ayana tidak segera mundur beberapa langkah.
"Ooh ya satu lagi. Kalau mereka mempertanyakan kenapa lo pulang, jangan coba-coba libatkan gue," ujarnya tajam.
"Apa maksud lo?"
"Dengar ya Ayana, gue lebih suka ribut seharian ma lo daripada dicecar mereka dengan berbagai pertanyaan."
Ayana terdiam.
'Benar juga sih.'
Tapi kenapa dicecar? Bukankah telah disepakati sejak awal?
"Lo pasti bo'ong."
"Terserah."
Arfan kembali melangkah masuk tanpa mempedulikan Ayana lagi. Gadis itu mengeluarkan telepon genggam dari tas tangannya. Mencari kontak sang bunda.
"Ma."
"Gimana bulan madunya, Sayang?"
Ayana memutar bola mata. Bulan madu apaan? Dua hari di sana, hampir dua pertiga dari waktunya mereka habiskan dengan berdebat, jika tidak ingin disebut berantem. Itulah kenapa tadi ia masih sangat mengantuk.
Hal yang sempat terjadi sekali itu pun mereka anggap suatu kesalahan.
"Ma, Mama bilang aku ...."
"Kalian dah sampai di rumah Arfan? Eh, maksud Mama sekarang sudah jadi rumahmu juga. Gimana rumahnya? Kamu suka? Mertuamu bilang ...."
"Ma, perjanjian kita kan ...?"
"Kenapa, Sayang?"
Ayana terdiam. Kalau dipikir-pikir untuk apa dia maksa harus pulang ke rumah mamanya? Bukankah begini akan jauh lebih bagus? Ia punya kesempatan lebih untuk mendapatkan hati pria itu. Tapi bagaimana caranya jika lelaki itu sendiri yang tidak memberikan kesempatan?
"Ay?"
"Ya udah ya, Ma. Aya kebelet."
Saat menutup telepon tak sengaja pandangan matanya menangkap Arfan yang tersenyum sinis. Laki-laki itu berhenti di ruang tengah ketika mendengar Ayana berbicara di telepon. Dia menyandarkan tubuh di dinding dengan kedua tangan bersidekap di depan dada.
Dengan kaki yang dihentakkan ke lantai, gadis itu melangkah masuk tanpa memperdulikan Arfan.
Matanya langsung dimanjakan dengan penataan ruang tamu berdinding kombinasi hijau pastel dengan aksen klasik. Satu set kursi tamu warna senada makin menyejukkan pandangan. Selera laki-laki itu boleh juga, batin Ayana. Seketika moodnya membaik.
Melangkah lebih jauh, ruang tengah yang 'diblend' dengan ruang makan terlihat begitu apik. Dindingnya didominasi warna putih. Sepasang sofa berwarna abu-abu dan karpet tebal di lantai jadi pelengkap. Di ujung menuju dapur terdapat satu set meja makan minimalis.
Mata Ayana menatap sekeliling. Dahi gadis itu mengernyit tiba-tiba. Hanya ada satu kamar tidur di rumah ini. Dan itu pasti kamar Arfan. Lelaki itu sekarang telah lebih dulu masuk ke sana.
Lalu ia akan tidur di mana?
Dengan ragu Ayana membuka pintu kamar tersebut. Bibirnya langsung cemberut melihat Arfan yang sudah tertidur dengan pulas. Melintang hingga menguasai hampir sebagian besar ranjang.
'Dia ini sengaja atau bagaimana? Ngantuk sih ngantuk, tapi ya mbok jangan jadi diktator gitu.'
Mereka memang baru saja melewati malam pengantin yang aneh. Pasangan mana coba yang sama-sama tersiksa pada saat seharusnya mereka menikmati indahnya madu pernikahan?
Ingin ikut berbaring di samping laki-laki itu tapi ia terlalu gengsi. Lagipula ia tidak mau saat Arfan terbangun nanti, laki-laki itu akan meledeknya macam-macam.
Dia kan kurang akhlak.
Namun jika tidak, ia mau tidur di mana?
Ruang tengah?
Meski tak terima, gadis itu kembali menutup pintu kamar. Bergegas ke pintu depan dan memastikan terkunci rapat. Lalu ia merebahkan diri di sofa depan televisi. Jemarinya memainkan remote control. Tak satupun acara yang menarik perhatiannya. Hingga akhirnya Ayana malah ikut tertidur pulas.
***
Arfan terbangun karena perutnya keroncongan. Iya meraba ponsel yang tergeletak di sisi kepala. Sebelum tertidur tadi ia sempat nge-WA Viola. Mengabari gadis itu kalau ia baru saja pulang dari luar kota bersama keluarga. Kebohongan yang sudah direncanakan tentunya.
Ia menatap layar ponsel sekilas. Sudah hampir jam empat sore. Pantas ia kelaparan. Pasti Ayana juga. Hanya sarapan pagi tadi yang baru masuk perut. Mereka keburu cek out sebelum makan siang.
Ingat gadis itu serta merta tangannya meraba ke samping. Nihil. Gadis itu tidak ada di ranjangnya.
Ya mana mungkin ia mau? Bukankah perselisihan mereka yang berulang-ulang di hotel karena mereka tak sudi tidur seranjang? Alhasil mereka tidur bergantian.
Dengan cepat Arfan bangkit. Mungkinkah gadis itu nekat pulang ke rumah ibunya saat dirinya tertidur? Gegas Arfan melangkah keluar kamar. Ingin memastikan. Dan menarik napas lega saat melihat gadis itu pulas di depan televisi.
Ia mendekat. Maksudnya ingin membangunkan Ayana dan menyuruh gadis itu pindah ke kamar. Mungkin mulai malam ini lebih baik dia yang tidur di sofa.
Baru juga ingin menyentuh pundak gadis itu, Ayana telah lebih dulu terbangun.
"Mo ngapain lo?" tanyanya begitu melihat wajah Arfan yang terpampang di depan mukanya dengan posisi menunduk. Reflek tangan gadis itu meraih bantal kursi dan memukul tubuh Arfan.
"Lo tu nyari kesempatan banget ya?"
"Siapa yang nyari kesempatan? Gue cuma mo bangunin lo suruh pindah tidur. Mulai malam ini biar gue yang tidur di sofa," sahut Arfan bersungut-sungut setelah menangkap bantal kursi itu dan melemparkannya kembali ke sofa.
'Kenapa kita gak tidur bareng aja sih? Dah halal pun.'
"Oke."
"Ingat, gue ngelakuinnya karena azas kepatutan. Jadi gak usah ge-er."
"Siapa juga yang ge-er. Pede banget lo."
"Bagus. Kita tetap bukan siapa-siapa, kecuali di depan orang tua kita."
"Deal."
Bunyi cacing di perut Arfan memutus perjanjian aneh itu.
"Lo bisa masak?"
"Bisa."
"Gue lapar."
"Terus?"
"Ya masak dong. Di kulkas ada banyak bahan makanan yang bisa diolah."
"Lo nyuruh gue?" Ayana bertanya dengan sebelah alis terangkat.
"Lo belum lupa kan dengan apa yang baru saja lo ucapin? Kita hanya suami istri jika ada Papa Mama."
"Tapi kan :..?"
"Bye Arfan." Ayana melenggang menuju kamar.
Lelaki itu mengatupkan rahang rapat. Mau tidak mau akhirnya dia sendiri yang melangkah ke dapur.
Saat tengah berkutat dengan bumbu, bel berbunyi. Arfan menghentikan aktifitasnya dan bergegas menuju pintu.
Arfan mundur beberapa langkah begitu pintu terbuka. Seketika wajahnya pias demi melihat siapa yang datang.
"Siapa, Fan?"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
