Suamiku Kuli Terhormat Bab 1-3

1
0
Deskripsi

Bab 1 Pesta Yang Berantakan 
Bab 2 Pernikahan Kilat 
Bab 3 Bau Kemiskinan


Prolog 
Di sinilah Gea akhirnya. Berdiri di depan kantor KUA, karena telah menikahi seorang pria yang baru saja ditemuinya beberapa menit lalu. Seorang pria yang masih mengenakan pakaian kuli bangunan. Ia mencermati nama pria itu di buku nikah. Keningnya mengerut karena nama itu terasa familiar, tapi di mana? 
Kembali ia mengeja nama pria. Seketika ia ingat sebuah nama yang sangat terkenal di kota itu. Namun, ia segera menggeleng...

Bab 1 Pesta Yang Berantakan

Malam tadi Gea telah melangsungkan pesta pertunangan mewah di sebuah hotel elit. Senyum bahagia tak kunjung berhenti di bibir Gea dalam menyambut tamu satu persatu. 

"Aku mau menyapa teman-temanku. Tak apa kutinggal sendirian?" tanya Bei Prayoga, tunangannya yang memiliki darah Tiongkok. 

Gea menggeleng. "Tak apa. Tinggalkanlah." Sedikit pun Gea tidak memiliki firasat buruk pada pria tampan yang telah menemaninya beberapa tahun.

Bei menjauh. Gea mengambil segelas minuman berwarna merah. Mendekat wanita muda dengan mengenakan gaun putih, berhiaskan mutiara di tali gaun itu menambah kecantikan sang pemakai. 

Gea menatap dari atas sampai bawah dengan tersenyum. Adik tirinya itu memang selalu ingin lebih cantik dari dirinya. Asal mula gaun itu miliknya, tetapi adiknya bersikeras mengambil dengan bantuan sang tunangan. Gea memilih menghindar berdebat. Akhirnya ia memilih gaun standar di bawah dari sang adik. 

"Berhenti menatapku seperti itu," ancam sang adik, Sinta.

"Memang aku menatapmu seperti apa?" jawabnya cuek, kemudian menyesap minumannya. 

Sang adik meradang. "Dari gaun ini, tidakkah Kakak sadar diri, Kak Bei lebih mengutamakan aku dari pada Kakak.”

"Silakan mengoceh, aku tak peduli," sahut Gea sambil berbalik. Namun, langkahnya terhenti karena lengannya ditarik sang adik. 

"Sampai kapan Kakak menutup mata. Jelas-jelas Kak Bei lebih mencintaiku daripada Kakak."

"Dik, berhentilah bermimpi. Aku dan Bei sudah menjalin hubungan lima tahun. Susah senang dilalui bersama. Menurutmu akan hancur dengan ocehanmu itu?"

Sinta tersenyum miring. Ia menyerahkan dua lembar foto kepada Gea. 

Gea tersentak. Menyaksikan foto Bei dengan mata terpejam di atas ranjang bersama Sinta. Melihatnya Sinta tersenyum penuh kemenangan. Ia terus maju sehingga membuat Gea masih syok termundur. 

"Hentikan. Jangan rusak pesta ini. Nanti kita  selesaikan setelah pesta."

Sinta tertawa. 

"Tak perlu menunggu selesai pesta. Sekarang bisa kita buktikan lagi bahwa Bei tak pernah mencintaimu. Lihatlah siapa yang akan diselamatkan Bei jika kita sama-sama terjatuh." 

Gea masih berselimut syok. Ia hanya termundur tanpa menyadari di belakangnya ada kolam. 

"Apa yang kau lakukan?"

Sinta hanya membalas dengan tatapan licik. Ia terus maju, hingga sampai di bibir kolam kedua tangannya mendorong Gea hingga terdengar pekikan. 

Semua mata memandang ke arah kolam. Sinta langsung melemparkan diri ke kolam. Keduanya berteriak meminta tolong. Melihat itu tamu hanya saling berbisik. Hubungan buruk kedua saudara beda ibu itu sudah bukan rahasia lagi. 

Bei berlari ke arah kolam sambil melepaskan jasnya. Ia melompat ke kolam dan langsung menyelamatkan Sinta. 

"Kak Bei, Kak Gea masih di kolam," ucap Sinta terdengar lemah ketika sudah di tepi kolam. 

"Jangan khawatirkan dia."

Di belakang Gea berjuang muncul ke permukaan, tetapi kepanikan membuat tubuhnya semakin tak berdaya di antara dalamnya kolam itu. Ia terus mengulurkan tangan, tetapi tidak ada yang peduli. Sang tunangan sudah menaruh adiknya ke sebuah kursi kolam renang. Pada titik itu ia putus asa. Ia memejamkan mata tanpa berani berharap ada keajaiban. 

Di kumpulan lain seorang pria mulai cemas melihat Gea yang tak lagi berteriak.

"Gawat. Aku dengar Gea tidak bisa berenang," kata seorang tamu. 

Seketika pria itu langsung berlari dan menceburkan diri ke kolam. Ia bergegas meraih tubuh Gea yang sudah lemas dengan mata terpejam. 

"Kau tidak apa-apa?"

Tidak ada lagi sahutan.


 

***

Perlahan Gea membuka mata. Samar terlihat langit-langit putih. Ini bukan langit-langit kamarnya. Ia memijat pelipisnya sambil berusaha mengingat apa yang terjadi. 

"Sudah bangun?"

Gea tersentak. 

"Sinta?"

Gea mengedarkan pandangannya. Nampak ruang rawat inap beserta peralatannya. 

"Kau mau apa lagi?" lirih cuek. 

Sinta tertawa. "Tidak ada lagi. Aku cuma ingin melihatmu bagaimana setelah siuman dan menyadari semuanya telah hancur."

"Hancur?" Ia tersenyum sinis. Bagaimana mungkin Gea yang telah kuliah di luar negeri dan berjuang sendirian sekian tahun hancur dalam satu malam?

"Kau lupa reputasimu telah hancur. Lihatlah media sosial. Seorang Gea yang sombong diabaikan tunangannya meski nyaris mati."

Mendadak Gea meradang. Bagaimana ia bisa melupakan dirinya yang nyaris mati masih harus menyaksikan tunangannya menyelamatkan adik tirinya. 

"Jika Kakak mau, aku bisa membersihkannya dalam satu jari."

Mata Gea menyala. 

"Tidak usah marah begitu. Syaratnya tidak susah kok. Kakak cuma membersihkan sepatuku dengan wajah Kakak yang memuakkan itu."

"Keluar!" teriak Gea sambil melemparkan bantal.

Sinta termundur. Bertepatan Bei muncul dari balik pintu.

"Kak Bei, lihat. Aku ke sini cuma ingin minta maaf, tapi dia malah mengusirku."

"Gea, berhenti berbuat onar!" tegur Bei.

Gea tersenyum getir. "Berbuat onar? Apa kualifikasimu mengatakan aku berbuat onar?" 

"Dia datang minta maaf, kau malah seperti ini," sembur Bei. 

Sinta menggamit lengan Bei. "Kak Bei mau menikahimu itu sudah keberuntungan. Dengan reputasimu sekarang, siapa yang mau menikahimu?" 

"KELUAR! Siapa yang mau menikah dengan laki-laki lembut seperti dia? Pertunangan dibatalkan," teriak Gea sambil mencari sesuatu yang bisa dilempar. 

"Gea, aku benar-benar muak dengan kesombonganmu. Baik, aku kabulkan maumu," cecar Bei.

"Kak Bei, jangan impulsif," bujuk Sinta. 

"Keluar!" teriak Gea. 

"Lihat saja, kau pasti menyesal," ancam Bei, kemudian menarik Sinta keluar ruangan. 

Gea berjuang menahan emosinya yang sudah di ubun-ubun, bercampur dengan sakit yang mendera hati. Perlahan air matanya mengalir. 

"Nak, jangan tangisi orang seperti dia." Muncul seorang laki-laki tua yang menggunakan tongkat dan gelang pasien di tangan. 

"Anda?" tanya Gea. 

"Nak, kamu lupa kemarin pagi di taman?" Pak Tua itu balik bertanya. 

Sesaat Gea memutar memorinya. Terkenang saat ia melihat seorang pria tua yang tiba-tiba memegang dada sambil menahan sakit dan hampir tumbang. Ia bergegas menahan badan pria tua, tetapi terlambat. Pria tua itu telah pingsan dan jatuh ke tanah karena kekuatannya tak berimbang. 

"Jadi Kakek kemarin. Bagaimana keadaan Kakek sekarang? Sudah baikan?" tanya Gea. 

Laki-laki tua itu duduk di sampingnya. 

"Sudah agak baikan. Tadi … aku lewat dan tidak sengaja mendengar …."

"Maaf, Kakek telah melihat drama memalukan." Mendadak wajah Gea murung kembali.

Laki-laki tua itu tersenyum. "Jangan bersedih. Jangan biarkan air matamu jatuh untuk pria seperti dia."

Gea hanya bisa mengangguk. Nyatanya, sakit sebuah rasa yang tak mampu ia tepis. Bagaimana tidak sedih, hubungan dijaga selama lima tahun akhirnya kandas juga. 

"Bukankah seharusnya kamu bersyukur?"

"Bersyukur?" 
 

Bab 2 Pernikahan Kilat

"Bersyukur?" 

"Iya, karena kamu tahu sifatnya lebih awal? Coba bayangkan, bagaimana kalau kalian terlanjur menikah dan baru tahu sekarang sifat aslinya? Tentu akan lebih sakit dan lebih sulit lagi melepaskan diri." 

Gea menghela napasnya. "Kakek benar. Seharusnya aku bersyukur telah putus dari laki-laki seperti dia."

***

Di rumah sakit yang sama dua orang laki-laki berjalan cepat. Seorang mengenakan setelan jas dan satunya berseragam kuli berwarna biru dengan helm di tangan.

"Tuan Muda, tidakkah ganti pakaian dulu sebelum menemui Tuan Besar?"

"Tidak perlu. Akan lebih praktis setelah sini kita langsung meluncur ke lokasi konstruksi."

"Baik, Tuan Muda."

"Kamu pergilah. Biasanya kakek cerewet dan akan memakan waktu."

"Baik, Tuan Muda."

****

Gea mengantar kakek ke ruang rawat inap dengan menggandeng lengan.

"Kakek sudah tua. Jagalah kesehatan, jangan berkeliaran sendirian," pesan Gea sambil membuka pintu dan membimbing kakek sampai ke ranjang. 

Kakek mendesah. "Heh, Kakek tua ini menghabiskan hari sendirian. Punya seorang cucu terlalu sibuk dengan pekerjaannya. Tidak mempedulikan Kakek lagi."

Gea tersenyum. Ia menyentuh punggung tangan telah keriput itu. "Kakek bilang cucu Kakek sibuk bekerja, itu artinya dia peduli dengan Kakek. Lihatlah, Kakek dapat dirawat di ruang VIP, itu artinya dia ingin memberikan yang terbaik buat Kakek."

Kakek merengut. "Tetap saja, Kakek kesepian."

Kali ini Gea tersenyum. Ia sedikit kagum dengan barusan apa yang dialaminya. Mengapa tiba-tiba ia begitu akrab dengan laki-laki tua asing, padahal di rumah orang tuanya sendiri tiada hari tanpa pertengkaran. 

"Kek." Pintu terbuka diiringi dengan kemunculan seorang pria muda berpakaian kuli bangunan. 

Spontan Gea berdiri. 

"Ahsin, kamu datang?" sambut Kakek. 

Pria yang dipanggil Ahsin itu mendekat. 

"Ahsin, Kakek kenalkan dia Gea. Penyelamat Kakek kemarin."

Ahsin mengulurkan tangannya ke arah Gea. "Bertemu lagi."

Gea mengangkat tangannya dengan bingung. "Kita pernah bertemu?"

"Malam tadi di GB, aku yang mengeluarkanmu dari kolam," sahut Ahsin. 

Kening Gea makin mengerut tajam. Ia tidak tahu siapa penyelamatnya malam tadi. Jika benar, laki-laki di depannya, bagaimana ia bisa menemui kebetulan seperti ini?

"Kalian pernah bertemu?" sela Kakek. 

Ahsin mengangguk. Gea masih berselimut kebingungan. Sewaktu di kolam ia sudah tidak sadarkan diri. Ia tidak tahu siapa yang menyelamatkannya juga mengantar ke rumah sakit. Tanpa pengakuan pria di depannya, ia mengira Sinta atau Bei yang mengantarnya ke rumah sakit. Mendadak dadanya berdenyut nyeri. Setega itukah kedua orang itu padanya? Apakah mereka benar-benar mengharapkan kematiannya?

"Sepertinya obrolan kalian cocok. Kalian ngobrollah. Kakek mau mencari udara segar dulu," ucap Kakek sambil berlalu dengan mengabaikan reaksi mereka.

Seketika keduanya menjadi canggung. 

"Soal malam tadi … terima kasih." Gea membuka suara dengan jari yang tak bisa diam. 

Ahsin hanya membalas dengan anggukan dan bunyi tidak jelas. 

"Kamu bekerja di hotel GB?" tanya Gea berusaha memecah kecanggungan. Lagipula tidak salah jika dia menebak karena terlihat Hotel GB lagi sedang menambah bangunan baru di belakang. 

"Iya," jawab Ahsin singkat. 

Gea masih meremas kedua tangannya. Ia tidak tahu lagi harus bagaimana ngobrol apa. 

Sesaat hening. 

Keheningan dipecah oleh bunyi dering ponsel Ahsin yang tersimpan di saku pakaian kerjanya. Ia mengangkat ponselnya. Baru menggeser ikon panggilan berwarna hijau sudah terdengar cecaran suara Kakek. 

"Ahsin, Kakek sudah membuka jalan untukmu. Dasar bocah nakal. Usia sudah 28 tahun masih belum menikah. Awas saja. Jangan harap Kakek pulang ke rumah, jika kamu tidak membawa menantu Kakek." Panggilan dimatikan.

Ahsin meringis ketika menyadari Gea pasti mendengar titah kakeknya. 

"Mmm …. Jika ada perkataan Kakek yang tidak masuk akal, mohon jangan dimasukkan ke hati."

Gea mengibas kedua tangannya. "Tidak … tidak. Kakek orang baik. Dia tidak mengatakan perkataan buruk." 

Ahsin mengangguk. "Kalau begitu …."

Gea teringat ucapan Sinta padanya barusan. "Reputasi Kakak buruk, di kota ini siapa yang akan menikahi Kakak?"

"Ahsin, namamu Ahsin?"

"Mmm," jawab Ahsin sambil mengangguk. Tangannya masih memegang helm. 

"Bolehkah saya bertanya padamu?" 

"Silakan."

"Kamu dipaksa keluargamu menikah?"

"Mmm." Ahsin kembali mengangguk. 

"Sudah punya pacar?" tanya Gea dengan kedua tangan masih saling meremas.

"Belum," jawab Ahsin.

"Maukah kau mempertimbangkan menikah denganku?"

Ahsin tersentak. "Kamu serius?"

"Serius. Kamu pria yang menyelamatkanku tadi malam."

"Tapi …."

"Perkenalkan," potong Gea. "Namaku Gea Mas'ud. Usia 25 tahun. Lulusan Universitas Canterbury. Punya tempat tinggal dan mobil. Gaji 25 juta perbulan. Jika kamu bersedia menikah denganku, aku akan memberimu 5 juta perbulan. Terserah apa kamu mau bekerja atau tinggal di rumah. Aku akan mencukupimu. Kontrak selama setahun. Terserah apakah nanti mau dilanjutkan atau tidak. Jika kau mempunyai seseorang yang kau sukai, bilang saja, aku akan membebaskanmu."

Gea menghela napas panjangnya. Seakan baru saja menghirup oksigen. Dadanya berdegup kencang. Ia memang terlalu impulsif, tetapi terlambat untuk mundur. 

Ahsin terdiam dengan mata terbuka lebar. Baru pertama kali ia bertemu seorang gadis yang bersedia menanggung hidupnya. 

"Baiklah."

Gea tersentak. "Kamu setuju?"

"Iya. Kapan kita ke KUA?"

"Kapan kamu siap?" tanya Gea balik. 

"Aku sibuk sekali. Bagaimana kalau sekarang?"

"Sekarang?" pekik Gea. 

***

Gea membuka buku nikahnya setengah tidak percaya. Tiba-tiba saja ia telah menikah dengan laki-laki yang baru dikenal. Ia menatap fotonya bersanding dengan seorang laki-laki tanpa berkedip. 

Di belakangnya Ahsin setengah berlari membawa payung dan memberi naungan padanya. Spontan wajahnya tengadah.

Syok kembali menyelimutinya. Ia baru menyadari pria yang sekarang jadi suaminya ternyata sangat tampan. 

"Mulai gerimis."

Gea mengerjap. Seakan rohnya baru kembali. 

"Mmm … Aku mau kerja dulu. Masukkan nomor telponmu," ucapnya sambil menyerahkan ponsel. 

Ahsin menyambutnya, kemudian memasukkan nomor telponnya tanpa menyimpan nama. 

"Namamu?" tanya Gea. 

Ahsin mengerutkan kening. 

"Oh maaf. Aku sedikit linglung hari ini," ucapnya sambil menutupi rasa malu dengan mengetikkan beberapa huruf. Nyatanya ia memang tidak bisa mengingat nama laki-laki yang telah menjadi suaminya. Ia berinisiatif memberi nama suamiku. Setidaknya panggilan itu akan menyadarkannya kalau ia telah bersuami. 

"Aku mau kerja dulu. Nanti aku kirim alamat dan sandi apartemenku. Kalau Kakek?"

"Kakek sudah punya rumah," jawab Ahsin. 

"Baiklah. Aku akan usahakan menjenguk Kakek seminggu sekali … aku pergi dulu," ucapnya canggung. 

"Tunggu!" Ahsin menaruh gagang payung ke tangannya. "Bawalah payung ini. Jaga kesehatanmu. Jangan sampai sakit."

"Mmm …," jawabnya sambil mengangguk. Ia berbalik dengan masih berbalut syok. Kembali ia membuka buku nikah dan mengeja nama suaminya. 

"Ahsin Buana. Kenapa namanya terasa familiar? Buana? Apa dia pewaris grup Buana?" Ia berbalik. Nyatanya Ahsin yang masih berdiri di belakangnya hanyalah mengenakan baju buruh bangunan. "Benar. Dia hanya seorang kuli. Nggak mungkin pewaris Grup Buana." 

Ponsel di tangannya berdering. Ia hanya bisa menghela napas panjang begitu melihat nama yang tertera. 

***

Plak. 

Sebuah tamparan mendarat di pipi Gea. 

"Adikmu bilang kau putus dengan Bei? Dia datang secara baik-baik, kau malah mengusirnya," tuding papanya, Lyman. 

"Apa Papa sudah tanyakan pada putri kesayanganmu mengapa kami putus?" tanya Gea dengan sedikit menahan rasa kecewanya. 

Sinta terkesiap. Malika maju. 

"Pa, Gea baru pulang. Bicaralah baik-baik."

"Pa, mungkin tadi Kak Gea tidak sengaja. Aku tidak peduli. Tidak memasukkan ke hati."

"Kau memang tidak peduli. Kau kacaukan pesta pertunanganku, curi tunanganku, kau dorong aku sampai nyaris mati."

"Kak Gea, aku dan Kak Bei cuma berteman," bela Sinta sambil memegang tangan ibunya. 

Gea tersenyum sinis. 

"Sudahlah. Kamu tidak boleh putus dengan Bei Prayoga. Bagaimanapun aliran dana dari Prayoga sangat berarti buat perusahaan kita," titah bapaknya.

"Kenapa tidak nikahkan saja dengan Sinta?" sahut Gea. 

"Mana mungkin aku merebut dari Kakak," kilah Sinta dengan menahan senyumnya. 

"Tidak bisa. Reputasimu telah buruk. Adikmu masih memiliki masa depan cerah. Ia dapat melakukan misinya dengan pewaris Buana."

"Bagaimana dengan Sinta? Ibuku baru meninggal dan Papa datang membawa Sinta usianya hampir sama denganku. Bukankah reputasinya lebih buruk?"

"Pa, bagaimana dia bisa bicara begitu pada adiknya," bela Malika. 

"Memang benar 'kan?" tukas Gea. 

"Pa!" rengek Sinta. 

"Sudahlah. Kau harus menikah dengan Bei. Karena tidak mungkin pewaris Buana menyukaimu."

"Aku tidak akan menikah dengan Bei," sahut Gea sambil berbalik.

"Kau!" tunjuk Lyman. Mendadak dadanya terasa sakit. Badannya sedikit limbung, beruntung langsung disambut oleh istrinya. 

Gea cuek. Ia berpaling badan dan melangkah.

"Berhenti." 

Langkah Gea terhenti. 

"Berhenti membuat masalah!" perintahnya sambil memegang dada yang terasa sakit. 

Gea tersenyum getir. "Di mata Papa aku hanya seorang pembuat masalah?"

"Kalau tidak? Apa yang akan kau lakukan jika putus dengan Bei? Kau masih bekerja dengannya?" cecar Lyman. 

"Jangan khawatir. Aku akan mengambil perusahaan ibuku," sahut Gea cuek.

"Papa, dia bisa apa? Hubungannya saja hancur, bagaimana mengurus perusahaan?" sela ibu tirinya yang masih duduk di sofa sambil mengelus dada Lyman. 

Sinta membenarkan dengan anggukan. 

"Setidaknya aku tidak seperti anakmu yang kerjanya hanya membuat masalah di perusahaan," sahut Gea. 

"Pa!" bela Sinta. 

"Jangan kira Papa bisa menekanku lagi," teriak Gea. "Papa jangankan menunaikan kewajibannya seorang ayah, bahkan hakku sebagai salah satu pemilik saham tidak dia tunaikan. Aku tidak akan diam lagi."

"Bagaimana kau bicara begitu? Bukankah Papa sudah berjuang demi keluarga?" sahut Malika. 

"Apa kalian menganggapku keluarga?" sahut Gea. "Aku tidak akan diam lagi. Dan kau Sinta, aku memberimu waktu seminggu. Jika aku masuk ke perusahaan, aku tidak akan menoleran kekacauan yang selalu kau buat."

Lyman yang kesakitan dada semakin tertekan dengan sahut menyahut anggota keluarganya.

"Sudahlah. Sesuai wasiat ibumu. Kau bisa mengambil perusahaan Zurra jika sudah menikah. Jadi menikahlah dengan Bei jika ingin mengambil alih perusahaan."

Gea membuka tasnya dan memperlihatkan buku nikah. "Aku sudah menikah."


 

Bab 3 Bau Kemiskinan

"Sudahlah. Sesuai wasiat ibumu. Kau bisa mengambil perusahaan Zurra jika sudah menikah. Jadi jangan putus dari Bei jika ingin mengambil alih perusahaan."

Gea membuka tasnya dan memperlihatkan buku nikah. "Aku sudah menikah."

Sontak Sinta berdiri dan merampas buku nikah itu. Ia membuka buku itu dan sesaat terkejut ketika melihat nama suami kakaknya. Beberapa detik kemudian ia tersenyum kemenangan. "Kakak tak perlu membuat buku nikah palsu hanya karena ingin putus dengan Kak Bei."

Gea merangsek maju dan mengambil buku nikahnya. "Kamu lupa aku putus dengan Bei karena trik norakmu."

"Mengapa kau selalu mengintimidasi adikmu?" sela Malika sambil mengelus dada Lyman.

"Menginditimasi? Heh."

"Pa, lihat putrimu! Dia semakin melonjak," adu Malika. "Gea, apa kau tidak malu. Baru putus dengan Bei, langsung menikah dengan pria entah berantah."

"Malu? Hah? Bagaimana dengan Sinta yang sangat lengket dengan calon tunangan kakaknya. Oh aku lupa, dia memang genetik darimu. Belum genap ibuku meninggal, kamu membawa anak yang usianya hampir sama denganku. Siapa seharusnya yang lebih malu?" tukas Gea. 

"Kau!" Malika menggigil menahan amarahnya. 

"Sudahlah. Kalau memang sudah menikah, panggillah dia sekarang," sela Lyman.

***

Ahsin sedang menaiki proyek yang baru dibangun. Baru menaiki lantai ke lima tiba-tiba ponselnya berdering. 

"Ahsin, bisa kau datang kemari sekarang? Papa ingin bertemu denganmu."

"Bisa. Tapi aku belum ganti pakaian," jawab Ahsin sambil mengedarkan pandangannya. Sekretaris Ferry dan beberapa rekan berdiri di dekatnya. 

"Tidak perlu. Kemarilah. Akan kukirim alamatnya." 

"Hari ini sampai di sini dulu. Aku mau pergi dulu," ucap Ahsin setelah menutup ponselnya. "Ferry, kita pergi dulu."

"Lalu mereka …." Ferry menunjukkan kepala kontrak proyek.

"Tidak apa. Tinggalkan saja jika memang penting. Nanti kita lanjutkan lagi," sahut pria paruh baya yang juga mengenakan pakaian kuli bangun lengkap dengan helm.

"Terima kasih. Ayo Ferry." 

***

Gea bergegas menyambut Ahsin dan menggandeng lengannya. "Perkenalkan, dia suamiku, Ahsin.” Gea memperkenalkan suaminya yang masih mengenakan pakaian kuli dengan bangga. 

"Gila, dimana Kakak menemukan pria setampan ini? Kak Bei kalah jauh," pekik Sinta dalam batin. "Tapi melihat pakaiannya, dia malang sekali."

Malika menatap remeh. Lyman semakin merasakan nyeri di dadanya melihat pakaian Ahsin. 

"Mengapa kau menikah dengan sembarang orang?" sesalnya sambil memegang dada. "Baru mengangkat bata? Ceraikan dia! Bei seribu lebih bagus dari dia."

"Tidak akan," sahut Gea tegas. Ia semakin mengeratkan pegangannya. Ahsin menoleh cepat, menatap perempuan yang baru dinikahinya. Baru kali ini ia merasakan rasa yang sulit dijabarkan. Haru, tapi kenapa terasa sesak. Bibir tersenyum, tapi kenapa matanya memanas. 

"Kak Gea, lihat pakaiannya. Apa yang kau harapkan dari dia? Dia tak mampu memberimu apa-apa. Kau akan menderita," sela Sinta. 

"Jangan khawatir, aku bahagia. Soal penghidupan, jangan kira semua orang seperti kalian suka mengandalkan orang lain demi mendapatkan kehidupan hedonis."

"Kau!" suara Sinta tertahan. Mendadak kumpulan kata manisnya menguap.

"Gea, lihatlah dia datang tidak beradab. Begitukah pertama kali bertemu dengan keluarga istri? Jangankan memberi mahar dan hadiah pernikahan, berganti pakaian lebih layak pun tidak," timpal Malika. 

"Sudahlah. Kalau kau mau bersamanya silakan, tapi setelah pergi dari sini, kau tidak akan mendapatkan apa-apa," ancam Lyman. 

"Jangan khawatir. Aku memang tidak menginginkan apa-apa. Namun, cepat atau lambat aku akan mengambil apa yang memang seharusnya menjadi milikku."

"Kita lihat saja," tantang Lyman. 

"Ayo, kita pergi dari sini," ajak Gea. 

Ahsin mengangguk. Ia mengalihkan pegangan Gea, kemudian menggenggam telapak tangan kecil mulus itu. "Aku akan ingat perlakuan kalian pada Gea. Ke depannya, aku tidak akan diam jika melihatnya lagi." 

Mereka berbalik keluar. 

"Piuh," umpat Malika. "Memang dia siapa. Buruh imigran." 

Sinta beralih duduk di samping papanya. "Pa, bagaimana kalau Sinta menggantikan Gea menikahi Kak Bei?" 

"Jangan. Soal Bei, nanti aku bicara padanya. Kamu dengan Grup Buana?"

"Grup Buana? Terkaya di kota ini, salah satu terkaya di Indonesia dan sepuluh besar di Asia bahkan perusahaan More, sudah memasuki daftar 100 teratas di dunia."

Lyman mengangguk. "Kamu benar. Keluarga Buana memang luar biasa. Aku dengar putra mereka sudah kembali ke Indonesia. Belum menikah dan tak lama mereka akan mengadakan pesta tahunan. Papa sudah mendapatkan undangan. Pada pesta itu, kau harus bisa meraih hati putra itu."

"Pa, percayalah. Aku akan menikahi putra Buana dan memberi banyak kemewahan untuk Papa dan Mama." 

Lyman dan Malika tersenyum puas. "Kamu memang anak berbakti," puji Lyman.

"Tapi … tadi Sinta lihat nama suami Kak Gea, Buana …."

"Mungkin kamu salah lihat. Kalau pun benar, mungkin hanya namanya sama. Mana mungkin putra Buana berpakaian buruh," sahut Lyman.

"Papamu benar. Dia muncul saja, dari sini sudah tercium bau kemiskinan," tambah Malika.

Sinta semakin bersemangat. "Baik, Pa, Ma. Sinta pasti akan mendapatkan putra Buana."

*** 

Di luar Ahsin kembali membuka payungnya dan sebelahnya tangannya memegang pundak Gea. 

"Hari ini cuaca tidak baik. Aku akan mengantarmu pulang. Kau istirahatlah," bujuk Ahsin begitu melihat mendung menyelimuti wajah Gea. 

"Ahsin, maaf atas perlakuan keluargaku padamu tadi."

"Abaikan mereka. Aku tidak menghormati orang yang menganiaya kamu, meski mereka orang tuamu." Ahsin menyentuh pipinya. "Abaikan sikap mereka, ya. Sekarang kau punya aku." 

Gea menatap Ahsin. Bagaimana ia bisa mengandalkan pria asing yang baru menikahinya?

"Hidungmu berdarah," pekik Ahsin. 

Gea menengadahkan wajahnya. Ahsin mengeluarkan sapu tangan di sakunya. Gea menolak. Ia mengambil selembar tisu di tasnya. Ahsin langsung mengambil tisu itu dan menyapu ke hidung Gea. 

"Kita ke rumah sakit, ya."

"Tidak perlu. Ini sudah biasa."

"Sudah biasa?" Ahsin semakin khawatir.

"Hidungku akan berdarah jika Papa menamparku. Lama kelamaan aku terbiasa dan akan sembuh sendirinya sebelum sampai ke rumah sakit." Gea mengambil tisu lagi, melipatnya menjadi kecil dan meletakkan di lubang hidungnya. 

Ahsin teringat kejadian malam tadi. Ia yang mengantar Gea ke rumah sakit dan satu orang keluarga pun tidak ada yang muncul. Bei sibuk mengurus adik ipar. Karena penasaran, ia menyuruh Ferry menyelidiki latar belakang Gea. 

"Nona Gea menjalani kehidupan yang sangat sulit," lapor Ferry. "Ibunya Atmiati Mas'ud pendiri perusahaan Zurra. Ibunya meninggal saat Nona Gea berusia 6 tahun. Setahun kemudian ayahnya menikah dengan membawa Sinta yang usianya hanya selisih beberapa bulan. Usia 14 tahun Nona Gea dikirim ke luar negeri. Nona Gea bertemu dengan tunangannya saat di luar negeri, kemudian pulang ke Jakarta karena saat itu kondisi perusahaan Prayoga memburuk."

Ahsin menatap perempuan yang tidak sadarkan diri itu. Meski orang asing, ia dapat merasakan bagaimana sulitnya berjuang di luar negeri, apalagi Gea dikirim saat usia masih muda. Dia beruntung dikirim saat usia kuliah dan tentu uang saku lebih dari cukup dibanding Gea. 

"Nona Gea dan Bei bekerjasama mengelola perusahaan Prayoga hingga sampai sekarang Prayoga memiliki nilai pasar di atas rata-rata. Dan barusan diadakan pesta pertunangan …."

"Cukup!" Mendadak ia merasakan luapan emosi yang membuat Ferry kebingungan.

Pikiran Ahsin kembali. Ia menatap lembut perempuan pingsan malam tadi yang sekarang menjadi istrinya. 

"Mulai sekarang, aku akan melindungimu. Siapapun tidak boleh ada yang menganiaya kamu."

Gea tersenyum. "Terima kasih. Jangan khawatir. Aku bisa melindungi diri sendiri. Aku bukan Gea yang dulu lagi. Aku sudah muak dengan sikap mereka."

Ahsin mengelus pelan rambut Gea. "Aku percaya kamu. Namun, aku juga ingin menjadi orang yang diandalkan." 

Gea membuka mulutnya, tetapi tertahan karena dering ponsel Ahsin. 

"Tua muda, sertifikat villa di puncak sudah siap dikirim." 

"Tidak perlu. Batalkan." Ahsin menutup ponselnya. 

"Ayo, kita pulang!"

"Gea!" Tiba-tiba Bei muncul dengan wajah marahnya.


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Suamiku Kuli Terhormat Bab 4-6
0
0
Bab 4 Biarkan Semuanya BerprosesBab 5 Gadis Virtual Bab 6 Jadi Mantu Kesayangan
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan