
"Dia pasti kedinginan," dengan suara terputus-putus oleh tangisnya. “Saya berharap saya bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya. Tapi saya tidak bisa. Saya merasa begitu tidak berdaya!”
Pagi yang tenang
Di tepi danau yang sunyi, terdapat sebuah gubuk kecil yang telah menjadi rumah bagi seorang gadis kecil berusia delapan tahun bernama Lill. Gubuk itu tersembunyi di antara pepohonan rimbun, dengan pemandangan yang menakjubkan namun sedikit mendung karena awan yang berkumpul di langit. Di dalam gubuk itu, Lill duduk di kursi tua dengan lembut, berbaring di pangkuan seorang kakek bijaksana bernama Jacob.
Lill adalah gadis kecil yang penuh dengan keceriaan dan keingintahuan. Dia sering menghabiskan waktunya di gubuk kecil itu, menjelajahi keajaiban alam di sekitarnya dan menemukan kedamaian dalam keheningan danau. Di sampingnya, Jacob adalah sumber kebijaksanaan dan kasih sayang. Dia adalah kakek yang selalu siap mendengarkan dan memberikan nasihat yang bijaksana kepada Lill.
Saat ini, Lill sedang terbaring di pangkuan Jacob, memandang ke langit yang mendung dengan tatapan penuh kekhawatiran. Dia memegang boneka kesayangannya, tetapi bahkan mainan itu tidak bisa membuatnya melupakan kekhawatiran yang menghantuinya. Jacob, dengan lembut membelai rambutnya, mencoba menenangkan gadis kecil itu.
"Lill, apa yang mengganggumu, sayang?" tanya Jacob dengan suara lembutnya yang tenang.
Lill menghela nafas, menatap Jacob dengan mata yang penuh dengan kegelisahan. "Kakek, aku khawatir tentang masa depan danau ini. Aku takut bahwa awan mendung ini adalah pertanda buruk bagi kehidupan di sini."
Jacob tersenyum lembut. "Lill, kadang-kadang awan mendung adalah bagian alami dari kehidupan. Mereka datang dan pergi, seperti halnya kesulitan dan cobaan dalam hidup kita. Yang penting adalah bagaimana kita menghadapinya."
Lill memandang Jacob dengan rasa ingin tahu. "Apa yang bisa kita lakukan, kakek?"
Jacob merenung sejenak sebelum menjawab. "Kita bisa melakukan bagian kita untuk menjaga danau ini tetap bersih dan sehat. Kita bisa membersihkan sampah-sampah yang ada di sekitarnya, dan kita bisa belajar tentang cara menjaga lingkungan alamiahnya."
Mendengar kata-kata itu, Lill merasa lega. Meskipun dia masih merasa cemas tentang masa depan danau, dia tahu bahwa dia tidak sendirian. Bersama dengan Jacob dan masyarakat di sekitarnya, dia bisa berkontribusi untuk menjaga danau itu tetap indah dan berkelanjutan.
Dalam keheningan gubuk kecil itu, Lill dan Jacob duduk bersama, merenungkan keindahan alam di sekitar mereka dan merenungkan kata-kata bijak yang telah mereka bagikan satu sama lain. Meskipun langit masih terlihat mendung, di hati mereka, ada sinar harapan yang terus bersinar. Dengan kekuatan bersama dan tekad yang kuat, mereka yakin bahwa mereka dapat mengatasi segala rintangan yang mungkin menghadang, dan menjaga keindahan danau itu tetap abadi.
Aku Takut
Lill segera meloncat dari kursi dan berlari ke arah Jacob, memeluknya erat-erat. Dia merasa aman saat merangkul kakeknya yang hangat dan berpegangan pada pakaiannya. "Aku takut, kakek," bisiknya dengan gemetar.
Jacob membalas pelukan Lill dengan lembut, mencoba menenangkan gadis kecil itu. "Aku di sini, sayang. Kita akan aman di dalam gubuk ini."
Saat mereka berdua berada di dalam gubuk, hujan semakin deras dan petir semakin sering menyambar. Suasana di dalam gubuk menjadi tegang, tetapi Jacob berusaha untuk tetap tenang dan penuh perhatian terhadap Lill. Dia mencoba mengalihkan perhatian gadis kecil itu dengan bercerita tentang petualangan mereka di danau, tetapi Lill masih merasa gelisah.
Tiba-tiba, kilatan petir menyambar di dekat gubuk, diikuti oleh suara dentuman yang keras. Lill mengerang ketakutan, dan Jacob segera melindunginya dengan merangkulnya erat-erat. Dia mengarahkan Lill ke arah dinding gubuk yang paling jauh dari jendela dan pintu, mencoba melindunginya dari bahaya.
"Jangan khawatir, Lill. Kita akan melalui ini bersama-sama," kata Jacob dengan suara tenang, meskipun hatinya juga berdebar-debar.
Sementara hujan terus turun dengan derasnya, Jacob mengambil langkah untuk menutup pintu gubuk dengan rapat, memastikan bahwa mereka aman dari ancaman cuaca buruk di luar. Meskipun situasinya mencekam, kehadiran Jacob memberikan Lill sedikit ketenangan dan keamanan.
Ketika badai akhirnya mereda, Lill dan Jacob duduk bersama di dalam gubuk, merenungkan pengalaman yang menegangkan yang baru saja mereka alami. Meskipun hujan dan petir telah membuat mereka ketakutan, mereka merasa lega karena mereka berhasil melalui masa sulit itu bersama-sama. Sambil merangkul Lill dengan lembut, Jacob menjanjikan bahwa dia akan selalu ada untuknya, tidak peduli apa pun yang terjadi. Dan di dalam gubuk kecil di tepi danau, mereka menghabiskan sisa hari dengan rasa syukur dan cinta yang mendalam satu sama lain.
Aku tak bisa tidur
Di sebuah gubuk tua yang terletak di tepi hutan, suasana sore hari terasa sunyi dan tenang. Namun, ketenangan itu terganggu oleh suara langkah kaki yang mendekat perlahan. Itulah langkah kaki seorang nenek tua bernama Susan, yang datang jalan kaki dari desa terdekat untuk mengunjungi gubuk tua itu.
Ketika Susan akhirnya tiba di depan pintu gubuk, dia menghela nafas lega. Dia memandang ke arah langit yang mulai menjadi gelap, menunjukkan bahwa senja sudah tiba. Dengan langkah lelah, dia membuka pintu gubuk dan masuk ke dalam.
Di ruang tamu yang sederhana, terdapat seorang gadis kecil bernama Lill. Lill hampir saja terlelap di sofa tua itu, tetapi terbangun ketika Susan masuk. Dia memandang Susan dengan mata mengantuk, masih teringat akan mimpi-mimpi indahnya.
Susan memasuki ruang tamu dengan muka sedikit marah. Dia meletakkan tas bawaannya di lantai dan duduk di kursi yang berlawanan dengan Lill. "Lill, kamu sudah bangun dari tidurmu yang panjang?" tanyanya dengan suara sedikit keras.
Lill menggosok-gosok mata mengantuknya dan menatap Susan dengan rasa heran. "Maaf, nenek Susan. Aku tadi hampir saja tertidur. Apa yang nenek bawa?" tanyanya, mencoba mengalihkan perhatian dari kemarahannya.
Susan mengeluarkan beberapa kantong dari dalam tasnya dan meletakkannya di atas meja di depan Lill. "Aku membawa makanan untuk kita malam ini. Aku berjalan cukup jauh dari desa ke sini, dan kamu di sini hanya tiduran saja sepanjang hari!" ujarnya dengan nada yang tajam.
Lill merasa sedikit bersalah karena membuat neneknya marah. Dia tahu bahwa neneknya telah berjalan jauh untuk sampai ke gubuk itu, dan seharusnya dia membantu dengan tugas-tugas rumah tangga atau setidaknya menyambut kedatangannya dengan lebih antusias.
"Saya minta maaf, nenek Susan. Saya akan membantu Anda dengan makanan," kata Lill dengan suara yang rendah, mencoba meredakan kemarahan neneknya.
Susan menatap Lill dengan ekspresi yang agak tak senang. Dia merasa tak menyesal karena telah mengeluarkan kemarahannya pada gadis kecil itu. Namun Susan sedikit menghela nafas dan berkata: "Baiklah, Lill. Mari kita bersama-sama menyiapkan makan malam," ujarnya dengan suara yang lebih lembut.
Kemudian, Susan dan Lill bekerja sama untuk menyusun makan malam dengan cepat. Namun Susan selalu menyalahkan Lill dalam pekerjaan rumahnya.
Susan selalu menatap Lill saat makan dengan penuh rasa tak senang.
Membawa tas nenek Susan
Sore hari telah tiba, dan langit mulai gelap ketika jam menunjukkan pukul 7 malam. Di tepi rumah yang terletak di tengah hutan, terdapat sebuah keheningan yang menghiasi udara. Namun, suasana itu diwarnai oleh kehadiran seorang nenek tua yang masih terlihat marah, yang duduk di kursi dekat jendela.
Nenek itu adalah Susan, yang wajahnya masih menampilkan ekspresi ketidakpuasan. Di hadapannya, duduk seorang gadis kecil bernama Lill, yang merasa cemas dan takut akan kemarahan neneknya. Lill merasa seperti dia telah melakukan kesalahan, meskipun dia tidak tahu apa yang telah dia lakukan.
Susan menatap Lill dengan tatapan tajam. "Lill, ambil tas bawaanku dan ikutlah bersamaku ke luar," katanya dengan suara yang dingin, membuat Lill merasa gemetar.
Lill segera menuruti perintah neneknya dan mengambil tas bawaannya. Dia mengikuti Susan keluar dari rumah, mencoba menahan air matanya yang hampir menetes. Di luar, mereka berjalan ke arah samping rumah, di mana terdapat dua makam tua yang tersembunyi di antara pepohonan.
Saat mereka sampai di depan makam-makam itu, Susan menarik napas dalam-dalam. Dia memandang Lill dengan tatapan yang tajam dan serius. "Lill, aku membawa bunga-bunga ini untuk makam ini. Aku ingin kamu menaburkan bunga-bunga ini di atas makam ini," ujarnya dengan suara yang bergetar karena emosi.
Lill merasa hatinya terasa berat. Dia tidak pernah menyukai kunjungan ke makam, dan melihat wajah serius neneknya membuatnya merasa takut. Namun, dia tahu bahwa dia harus menuruti perintah neneknya.
Dengan gemetar, Lill mengambil bunga-bunga dari tas Susan dan mulai menaburkannya di atas makam. Air matanya mulai menetes saat dia melihat nama-nama yang terukir di batu nisan. Dia merasa sedih dan takut, tetapi dia mencoba untuk tetap kuat di depan neneknya.
Sementara itu, Susan hanya tersenyum dengan ekspresi yang tidak senang. Dia melihat Lill menangis dan merasa puas karena gadis kecil itu akhirnya menunjukkan penyesalan atas kesalahannya. Baginya, ini adalah cara yang tepat untuk mengajarkan Lill sebuah pelajaran.
Setelah selesai menaburkan bunga, Susan dan Lill kembali ke rumah dengan perasaan yang berat di hati mereka. Meskipun suasana di sekitar mereka gelap dan tegang, mereka berdua tahu bahwa ini adalah bagian dari perjalanan mereka sebagai nenek dan cucu. Mungkin, suatu hari nanti, mereka akan bisa melihat ke belakang dan tersenyum, mengetahui bahwa setiap momen sulit telah membentuk mereka menjadi pribadi yang lebih baik.
Kembali ke gubuk tua
Di tepi danau yang tenang, Kakek Jacob tertidur dengan nyenyak di atas kursi lipatnya, sementara senar pancingnya masih terjulur ke dalam air. Suasana damai itu tiba-tiba terganggu oleh suara keras dari temannya, Sam, yang berteriak, "Tarik Jacob, tarik! Kami harus mendapatkan ikan hari ini!"
Kakek Jacob terbangun dari tidurnya dengan terkejut, dan segera merasakan ketegangan pada senar pancingnya. Dengan gerakan cepat, dia mulai menarik senar tersebut, merasakan tarikan yang kuat dari bawah permukaan air. Sam berdiri di sampingnya dengan penuh harapan, mengamati dengan antusias saat mereka berdua berjuang untuk menangkap ikan yang mungkin menjadi hadiah pertama mereka hari itu.
Saat ikan akhirnya tertarik dan muncul ke permukaan, Sam tidak bisa menyembunyikan kegembiraannya. Dia melompat ke atas dan memeluk Kakek Jacob dengan sukacita. "Kita berhasil, Jacob! Kita mendapatkan ikan!" serunya dengan penuh semangat.
Namun, Kakek Jacob tidak sepenuhnya merasakan kegembiraan yang sama dengan Sam. Meskipun dia senang telah berhasil menangkap ikan, pikirannya masih terhanyut oleh lamunan yang dia alami ketika tertidur tadi.
Setelah beberapa saat, mereka memutuskan untuk kembali ke gubuk tua mereka. Mereka membawa ikan yang mereka tangkap dengan mereka dan berinisiatif untuk membakarnya di depan gubuk, sambil menikmati secangkir kopi yang hangat.
Saat mereka duduk di depan api unggun, Sam memperhatikan ekspresi serius Kakek Jacob. "Ada apa, Jacob? Kamu terlihat sedikit terpikirkan," tanyanya dengan penuh perhatian.
Kakek Jacob menghela nafas dalam-dalam sebelum menjawab. "Saat aku tertidur tadi, aku bermimpi tentang masa lalu. Aku merindukan orang-orang yang pernah ada dalam hidupku, terutama mereka yang sudah pergi," ujarnya dengan suara yang terdengar penuh rasa.
Sam mengangguk dengan pengertian. Dia tahu bahwa Kakek Jacob memiliki kenangan yang dalam tentang masa lalunya, dan kadang-kadang, mereka kembali menghantuinya dalam mimpi. "Kau pasti merindukan mereka, Jacob," kata Sam dengan lembut. "Tapi ingatlah, mereka selalu ada di hatimu, bahkan jika mereka tidak lagi bersama kita."
Kakek Jacob menatap Sam dengan mata penuh air mata. Dia merasa lega bahwa dia memiliki teman seperti Sam yang selalu ada di sisinya, memberikan dukungan dan pengertian dalam saat-saat sulit seperti ini. Bersama-sama, mereka berdua berdiri dan berjalan ke arah dua makam tua di samping gubuk mereka.
Di dekat makam-makam itu, Kakek Jacob menangis, membiarkan air mata mengalir sebagai ungkapan dari perasaannya yang dalam. Sam berdiri di sampingnya, memeluknya erat-erat, menawarkan kehadiran dan dukungan dalam saat-saat yang sulit itu. Meskipun mereka telah kehilangan orang-orang yang dicintai, mereka tahu bahwa kenangan dan cinta akan tetap hidup selamanya di dalam hati mereka.
Lill dan Susan
Di sebuah gubuk tua yang terletak di tengah hutan belantara, Kakek Jacob duduk di kursi kayu tua, wajahnya dipenuhi dengan ekspresi sedih dan kekhawatiran. Sore itu, dia ditemani oleh temannya, Sam, yang mendengarkan dengan penuh perhatian saat Jacob mulai menceritakan kisah sedih tentang seorang gadis kecil bernama Lill.
"Lill adalah gadis kecil yang cantik namun malang," Jacob mulai bercerita dengan suara gemetar. "Dia datang ke gubuk ini beberapa bulan yang lalu, setelah kehilangan orang tuanya dalam kecelakaan tragis. Saya menganggapnya seperti cucu sendiri."
Jacob terus bercerita tentang kebaikan dan ketulusan Lill, tentang bagaimana dia selalu ceria meskipun hidupnya penuh dengan kesulitan. Namun, saat Jacob mencapai bagian tentang kepergiannya yang tragis, tangisnya tak terbendung lagi.
"Saat itu, badai besar melanda gubuk ini," ucap Jacob dengan suara serak. "Saya tidak bisa melupakan saat itu. Lill terjebak di dalam gubuk ini, sendirian. Dan Susan, neneknya, pergi mencari bantuan ke desa yang jaraknya enam jam dari sini. Dia meninggalkan Lill sendirian."
Jacob menutup wajahnya dengan kedua tangannya, mencoba menahan kesedihan yang begitu mendalam. Sam hanya bisa menatap dengan simpati, merasakan kepedihan yang dirasakan oleh temannya.
"Dia pasti kedinginan," kata Jacob dengan suara terputus-putus oleh tangisnya. "Saya berharap saya bisa melakukan sesuatu untuk menyelamatkannya. Tapi saya tidak bisa. Saya merasa begitu tidak berdaya!"
Sam mencoba menghibur Jacob dengan memeluknya erat-erat. "Kakek Jacob, Anda telah melakukan yang terbaik yang Anda bisa. Anda telah menjadi tempat perlindungan bagi Lill dan memberinya cinta dan perhatian. Tidak ada yang bisa menyalahkan Anda."
Jacob terus menangis, menghadapi rasa bersalah dan kehilangan yang begitu besar. Dia merindukan Lill dengan segenap hatinya dan berharap dia bisa kembali dan memberinya pelukan hangat. Namun, kenyataan pahit yang dia hadapi adalah bahwa Lill telah pergi untuk selamanya, meninggalkan dirinya dalam kepedihan dan kesedihan yang mendalam.
Di dalam gubuk tua yang sunyi, Jacob dan Sam duduk bersama, merenungkan kisah sedih yang baru saja mereka dengar. Mereka tahu bahwa meskipun Lill telah pergi.
Tiba-tiba Sam dengan lirih berkata: “kenapa kamu tidak ingin melihat makam sebelahnya.."
Aku seperti tempat itu
"Sudahlah, Sam," ucap Jacob dengan suara serak. "Dia meninggal karena penyesalannya sendiri."
Sam menatap Jacob dengan tatapan terkejut. "Apa maksudmu, Jacob?" tanyanya dengan heran.
Jacob menghela nafas dalam-dalam sebelum menjawab. "Susan, nenek Lill, dia merasa sangat bersalah atas kematian Lill. Dia merasa bahwa karena dia meninggalkan kami sendiri di gubuk saat badai datang, itulah sebabnya Lill meninggal," ucap Jacob dengan suara yang penuh duka.
Sam terdiam sejenak, mencerna kata-kata Jacob dengan hati yang berat. Dia tahu bahwa penyesalan adalah beban yang sangat berat untuk dipikul, terutama ketika itu berkaitan dengan kematian seseorang yang dicintai.
Setelah beberapa saat, Jacob melanjutkan, "Aku pergi setelah pemakaman Lill. Aku ingin Susan tahu bahwa karena dia, Lill meninggal. Tapi dia tidak bisa menanggung beban penyesalannya. Dia mengakhiri hidupnya sendiri dengan terjun ke danau."
Sam menatap Jacob dengan kebingungan dan kepedihan. Dia merasa terpukul oleh berita yang baru saja dia dengar. "Ini begitu tragis, Jacob," ucapnya dengan suara gemetar.
Jacob hanya bisa mengangguk, tangannya gemetar saat dia menatap ke arah danau yang tenang di depan mereka. Dia merasa penuh penyesalan atas semua yang telah terjadi, dan dia tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa menggambarkan rasa sakit yang dia rasakan.
Sementara itu, matahari perlahan-lahan tenggelam di ufuk barat, memberikan warna oranye ke langit senja yang indah. Namun, di dalam hati Jacob dan Sam, kepedihan dan kesedihan masih terasa begitu dalam.
Mereka duduk bersama di tepi danau, merenungkan kehidupan yang telah hilang, dan orang-orang yang mereka cintai yang telah pergi. Meskipun mereka tahu bahwa tidak ada kata-kata yang bisa mengobati luka yang mereka rasakan, mereka bersama-sama menemukan sedikit kelegaan dalam kehadiran satu sama lain di saat-saat sulit seperti ini. Dan dengan hati yang penuh duka, mereka berdoa agar Lill, Susan, dan semua yang telah pergi dapat menemukan kedamaian di tempat yang baru.
Jacob:
"kau tahu.? Gubuk tua ini seperti aku, rapuh, lapuk, namun satu-satunya tempat aku bisa berteduh disini."
Jika tak ada gubuk ini, aku tak punya apapun.
Seperti Lill, dia hanya seorang anak-anak 8 tahun, yang belum tau apa-apa. "Jika tak ada seorang pun disampingnya, dia bisa apa.?"
Jacob menangis.
Hari semakin beranjak terlihat pagi akan datang. Namun kesedihan tak kunjung pergi.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
