
Spoiler : "Kamu bocah, tidak akan mengerti. Saya ada urusan sama ibu kamu."
"Penting? Awas ya Om ngata-ngatain bunda lagi!" sahut Clara marah.
6-Shocked
7-Misi Pertama
8-Konferensi Pers
9-Udang di Balik Batu
10- Rahasia Bos Besar
Blurb :
"Saya mengerti. Dengan kondisi kamu yang cacat begini kamu pasti hanya ingin uang, kan. Mau berapa banyak biar saya kasih?"
Anjani Zelena hanyalah seorang wanita biasa, kecelakaan tragis dua tahun lalu yang bukan hanya merenggut nyawa sang suami tapi juga fungsi salah satu...

6-Shocked
Anjani duduk di sofa. Jangan kira ia merasa kesakitan tapi justru ia tidak merasakan apa-apa. Sedari tadi Bi Ratih dan sang supirlah yang terus memaksa agar ia dibawa ke dokter saja.
Anjani tentu menolak. Luka lebam ini tidak terlalu besar untuknya sampai harus mengeluarkan uang banyak.
"Saya ambilin obat ya, bu," kata Bi Ratih.
Anjani mengangguk pelan sembari tersenyum. "Iya, Bi. Terima kasih ya."
Bi Ratih pun pergi menuju dapur untuk mengambil obat. Tak lama wanita itu kembali dan langsung mengoleskan salep lebamnya ke paha Anjani penuh hati-hati. Sementara Anjani menempelkan kasa yang telah ditetesi obat merah ke telapak tangannya yang lecet.
"Bapak tadi sombong banget ya, Bu. Bukannya minta maaf malah marah-marah ke ibu. Bibi mah kalo jadi ibu langsung bibi laporin ke polisi," ungkap bi Ratih. Maklum dia pasti kesal kalau ada yang menganggu Anjani. Mengingat Anjani telah ia anggap sebagai anaknya sendiri.
"Aku nggak mau nambah masalah, Bi."
"Ibu kenal siapa bapak tadi?"
Anjani mengangguk pelan. "Dia Bian Pradipta. CEO perusahaan Pradipta yang produk mereka terkenal itu, Bi."
"Yaampun. Jadi dia orang yang membeli perusahaan bapak Aldevaro?" Bi Ratih mengerutkan kening. Mendongak dan menatap Anjani lekat.
"Hm. Kami bertemu dua tahun lalu. Sejak itu aku udah nggak suka sama sifat dia. Makanya aku nggak mau berurusan apa pun lagi dengannya."
Seketika Bi Ratih menepuk jidat. "Oh iya bibi lupa. Tapi bibi masih kesel banget, Bu. Nggak seharusnya dia bersikap begitu sama ibu."
"Lupain aja," ucap Anjani menghela napasnya. "Orang seperti dia memang kadang nggak mengerti perasaan orang menengah kayak kita. Kita cuma perlu diam, Bi. Mereka punya kuasa sedangkan kita nggak ada apa-apanya."
Bi Ratih tersenyum samar. "Bapak Aldevaro beruntung punya istri kayak ibu." Lalu dia menempelkan kasa di lebam Anjani sebagai langkah terakhir. "Nah sudah selesai. Ibu saya antar ke kamar ya?"
"Nggak usah. Bibi ambilin aja tongkat aku yang satunya di gudang," sahut Anjani.
"Siap, Bu."
Bergegas bi Ratih melangkah menaiki tangga menuju gudang. Anjani menghela napasnya lalu menyandarkan bahu dengan nyaman. Sesekali matanya menatap sekeliling ruang tamu. Sesaat kenangan tentang Aldevaro muncul di benaknya seperti kaset yang berputar ulang.
Masih lekat di ingatan Anjani bagaimana Aldevaro menghadiahkan rumah sebesar ini untuknya saat pernikahan mereka. Anjani sangat bahagia kala itu. Dan rumah inilah satu-satunya sisa peninggalan Aldevaro sekarang.
Aldevaro sendiri merupakan anak tunggal sekaligus yatim. Ia dibesarkan oleh ibunya dan sekarang ibunya telah menikah lagi serta memilih tinggal di luar kota bersama suaminya. Sedangkan kedua orang tua Anjani sudah lama berpulang.
"Anjani." Panggilan dari pintu utama membuat Anjani menoleh. Farah datang.
"Heh, lo marah juga sama gue?" cerca Farah melangkah cepat menghampiri bersama perut buncitnya.
"Enggak." Anjani mengangkat bahu.
Farah lantas duduk di samping sahabatnya itu. "Sorry banget, An. Gue nggak nyangka kejadiannya bakal gini."
"Sebaiknya kamu pulang, Far," ujar Anjani memperingati.
"An, ish tuh kan lo marah." Ekspresi Farah berubah cemberut.
"Aku enggak marah kok." Anjani menghela pasrah. Agar Farah tak salah paham ia memapar senyum tipis. "Kamu nggak dimarahin suami kamu malam-malam ke sini."
Farah berdecak, "Halah suami gue tuh nunggu di depan."
"Kenapa nggak dibawa masuk?"
"Bentar aja guenya."
Tiba-tiba bi Ratih datang lalu menyapa sembari membawa tongkat Anjani. Keduanya sontak menoleh.
"Ada ibu Farah. Ibu mau minum?"
"Enggak usah, Bi. Ngerepotin."
Bi Ratih dan Anjani terkekeh pelan.
Ketika wanita itu memberikan tongkatnya pada Anjani, Farah mengernyit, ditambah Bi Ratih mengambil tongkat patah yang tersandar di sofa. "Eh bentar-bentar. Tongkat lo ngapa dah bisa patah?"
"Biasa, Bu. Tongkat lama. Udah rapuh," bi Ratih menyahut. Dia sengaja berbohong setelah mendapat kode delikan dari Anjani.
"Lo nya nggak luka, kan?"
"Sehat, Far." Anjani tersenyum tipis. Bukan maksudnya menyembunyikan hal ini dari Farah. Tapi karena Anjani tak ingin Farah bertanya macam-macam. Mengingat sahabatnya itu kalau mengobrol pasti lupa dunia.
Mendadak telepon rumah berdering dan mengalihkan fokus mereka.
"Bibi angkat telponnya dulu," pinta Anjani. Bi Ratih mengangguk lalu melaksanakan perintah.
"Halo," sapanya.
"Bisa saya berbicara dengan Anjani?"
Seketika Bi Ratih terdiam. Tunggu. Seperti dia kenal siapa pemilik suara. Astagaaa!
"Bapak ingin bicara dengan majikan saya? Bapak nggak tau malu banget ya padahal tadi udah nabrak Bu Ani terus malah marah-marah."
Ya, siapa lagi kalau bukan Bian.
"Siapa, Bi?" tanya Anjani mengernyit heran. Pun Farah. Heran kenapa bi Ratih mengomel tiba-tiba.
"Pak Bian, Bu. Katanya ingin bicara dengan ibu," sahut Bi Ratih menatap Anjani.
"Apa? Gue nggak salah denger nih." Farah menautkan alis kemudian memandang Anjani penuh selidik.
"Mending nggak usah diladenin, Bu. Pasti dia cuma pengen maki-maki ibu."
Anjani menggeleng pelan. Kalau sampai pria itu menelpon positif thinking saja, mungkin ia ingin meminta maaf. "Mungkin ada sesuatu yang penting, sini telponnya, Bi."
"Ibu mah terlalu baik." Bi Ratih terkekeh kemudian memberikan telponnya pada Anjani. Farah bergeser mendekati sahabatnya itu, lantas memasang pendengaran baik-baik.
"Bapak ada perlu apalagi dengan saya?" tanya Anjani. Terdengar tawa meremehkan di seberang sana.
"Jangan merasa senang dulu. Saya juga terpaksa menghubungi kamu."
"Terlebih saya, tidak akan pernah senang juga dihubungi sama bapak," balas Anjani kesal. Baru jalan menit pertama Bian sukses membuat darahnya serasa mendidih.
"Ck wanita sombong. Dengar ya. Besok saya akan menjemput kamu, kita harus pergi ke konferensi pers besok!
Sontak Anjani membulatkan mata. Farah dan bi Ratih saling berpandangan heran. Mereka sama sekali tidak mengerti apa maksud Bian. Konferensi, Anjani tahu acara itu hanya untuk orang terkenal saja. Lah dia.
"U-untuk apa sih pak? Saya tidak ada hubungan dengan itu."
"Ck. Kamu seharusnya sudah melihat berita di televisi. Gara-gara kamu, nama baik saya dan perusahaan saya dipertaruhkan."
"Ma-maksudnya?" Meski kepalanya kini penuh pertanyaan. Anjani tahu apa selanjutnya yang mesti ia lakukan. Bian tidak mau memberi keterangan, maka Anjani akan mencari kebenaran.
"Tidak ada penolakan. Kita selesaikan semuanya besok. Siap-siap sebelum pukul delapan. Mengerti?!"
"Pak..." Ucapan Anjani terhenti karena Bian lebih dulu menutup panggilan. Raut Anjani berubah cemas.
"Masalah apalagi, An?" tanya Farah yang diacuhkan Anjani. Anjani menatap bi Ratih. Sungguh, ia merasa sangat gugup sekarang. Masalah apalagi Ya Tuhan.
"Tolong nyalakan TV-nya, Bi."
Tanpa bertanya banyak hal bi Ratih bergegas menyalakan TV. Dia mengganti channel yang menampilkan berita malam ini sesuai perintah Anjani. Dan yah, semua yang berada di ruangan itu terkejut bukan main kala sang presenter memaparkan topik berita.
'Seorang pengusaha sukses ternama, Bian Pradipta, diduga menabrak seorang wanita bertongkat. Namun, bukannya bertanggung jawab Bian justru bersikap sombong serta menyuap wanita itu dengan sejumlah uang agar menutup mulutnya.'
"Sumpah! Gue nggak ngerti apa yang udah terjadi sama lo berdua," histeris Farah kurang percaya. Anjani menegang di tempat, ia syok kejadian yang menimpanya barusan ternyata berhasil diliput banyak wartawan. Anjani menunduk, menahan matanya yang berkaca-kaca. Ia tidak ingin menangis, namun rasanya terlalu sulit memahami masalah ini. Bi Ratih menenangkan dengan mengusap punggung Anjani
Farah ikut tertegun, ia mengusap pundak sahabatnya. "Gue yakin masalah kalian nggak akan selesai semudah konferensi pers doang, An. Karena gue tau pak Bian itu berkuasa, sangat-sangat bahaya!"
7-Misi Pertama
Masih berkelut dengan berita tentang Anjani dan Bian yang menggemparkan media masa. Bahkan pagi sekali Sani rela datang ke apartemen Bian demi membahas hal itu. Sani kepalang penasaran, maka daripada pusing membuat asumsi sendiri Sani memilih menemui Bian secara langsung. Ya walaupun nanti di kantor mereka pasti bertemu.
Sebenarnya juga Sani ingin bertanya mengenai pesta pertunangan Bian bersama Laura yang gagal sebelumnya. Namun Sani kira hal itu tidak terlalu penting, jadi dia memutuskan bertanya kronologi pemberitaan tentang bosnya itu dan Anjani saja.
Terlebih ini menarik. Jarang-jarang Sani mendapati wajah Bian muncul di televisi sebagai pelaku tabrak lari.
"Anjani Zelena. Usia 26 Tahun. Dia memiliki seorang putri bernama Clara." Sani membaca berita di website itu, lalu tertawa pelan sembari melirik Bian yang sedang memasang dasi menghadap cermin. "Cantik dong walau udah janda."
Ia mulai mencari informasi mengenai Anjani. Lebih tepatnya Sani mengagumi keberanian wanita itu ketika menampar Bian di depan umum. Sungguh, Sani baru pertama kali menemukan wanita seberani dia.
"Oh waw. Ternyata dia istri Aldevaro Bramantha, bro," lanjutnya terkejut. "Yang dulu pernah menolak kerja sama dengan perusahaan lo."
Bian menghela napas pelan lalu mengangguk. Mengingat kejadian itu membuatnya jengkel. Bian berdehem singkat. "Enggak usah dibahas."
"Enggak bisa ini mah. Dia terlalu menarik buat gue."
Bian menggidikan bahu. Tangannya terangkat mengambil jas hitam dari dalam lemari. "Lo nggak ada kerjaan, mending siapin semua berkas gue di atas meja."
"Keenakan di elo. Kita masih di apartemen. Nanti aja pas udah nyampe kantor lo boleh bebas nyuruh-nyuruh gue," tolak Sani. Dia memang biasa berbicara menggunakan sapaan 'lo-gue' pada Bian, tapi hanya di luar jam kantor saja. Sisanya mereka kembali bersikap profesional ketika berada di lingkup pekerjaan.
"Sialan!"
Sani tertawa lagi namun kali lebih kencang. Ia terus menggulir layar gawainya. Mencari lebih detail profil mengenai Anjani. Entah kenapa Sani tertarik mengetahui tentang wanita itu.
Sampai jarinya berhenti menggulir, fokus matanya tertuju pada seorang gadis kecil nan imut. Wajahnya manis dan tidak bosan dipandang. Sejenak Sani membandingkan rupa Anjani dan Clara.
"Kayaknya Anjani nikah muda deh. Umur segini anaknya udah lima tahun," kata Sani terheran setelah dua menit terdiam, kemudian menatap Bian. "Masih tua lo setahun, Yan. Hahaha," ledeknya.
Bian hanya menggidikan bahu. Sumpah, moodnya pagi ini semakin menurun sebab Sani terus mengagumi Anjani di depan dirinya. Sambil memilah berkas di atas meja kerja lalu memasukkannya ke map Bian mendengus.
"Tapi kenapa kakinya bisa lumpuh?" tanya Sani.
"Kecelakaan," jawab Bian malas.
"Sayang banget padahal cantik. Kalau nggak lumpuh dari lama gue gebet."
"Dasar tolol!" Kali ini Bian menimpuk wajah sahabatnya itu dengan map. "Lo belum tau aja sikap aslinya seperti apa."
Sani menyengir lebar, lalu menaruh map kuning itu di nakas. Ia selalu tau bagaimana bersabar untuk menghadapi Bian. "Gimana-gimana dah?"
"Cengeng dan sombong. Di depan gue dia selalu berusaha terlihat benar," sahut Bian sembari mengingat sikap Anjani malam tadi. Terutama tamparan yang bukan cuma membuat pipi Bian panas, tapi seluruh tubuhnya serasa mendidih. Bian tidak akan pernah melupakan tamparan itu.
"Kebalik kali ah! Lo-nya yang begono. Hahaha."
"Bangs*t!"
***
"Bunda kita mau kemana? Kenapa aku enggak sekolah?" tanya Clara memasuki kamar Anjani ketika melihat ibunya itu sepagian sudah rapi. Padahal biasanya Anjani lebih dulu membantunya berkemas keperluan sekolah.
"Kamu hari ini nggak sekolah ya." Anjani mengusap lembut rambut Clara. Gadis itu duduk di bibir kasur sepertinya.
Clara menautkan alis. "Kenapa nggak? Bunda ga bisa nganter?"
"Bunda kamu ada ada urusan sebentar, Non," sahut bi Ratih yang melipat beberapa pakaian di lemari Anjani.
"Clara ikut kok sayang. Tapi nanti sama bi Ratih." Anjani menangkup pipi Clara. Ia memberikan setengah senyum. "Surat izin sekolah kamu juga sudah diantar sama pak supir. Jangan khawatir."
"Terus bunda sama siapa? Cala nggak mau pisah sama bunda," ujar Clara cemberut.
"Rahasia dong." Namun Anjani berhasil mencairkan suasana dan meyakinkan gadis itu. Hingga akhirnya Clara setuju ikut bersama dia.
"Kamu cepat siap-siap gih. Tadi bunda udah setrika baju favorit kamu."
"Oh ya?" Mata Clara berbinar. Ia lalu melompat girang. "Yeayy! Cala mandi dulu ya."
Anjani dibuat terkikik. Ia bahagia jika melihat Clara bahagia. Kemudian Anjani menatap bi Ratih.
"Bantu dia, Bi."
Bi Ratih mengangguk pasti. Usai merapikan isi lemari Anjani ia pun menghampiri Clara. Menggandeng tangan mungil anak itu menuju kamar mandi. Sekarang tugas bi Ratih membantu Clara bersiap-siap.
Anjani turun dari kamarnya setelah meraih tongkat. Ia pelan-pelan menuruni tangga hingga tiba di lantai dasar, Anjani berpapasan dengan Pak Romi, supirnya.
Pak Romi tampak canggung saat bertanya, "Ibu yakin mau ke sana?"
Anjani terdiam sebentar lalu sudut bibirnya sedikit terangkat. "Iya, Pak."
"Tempatnya sangat ramai, Bu. Ibu bisa kenapa-kenapa."
"Tidak perlu terlalu mengkhawatirkan saya, Pak. Saya bisa jaga diri. Bapak dan bi Ratih lindungi saja Clara ketika kita sudah tiba di sana yaa. Jangan sampai dia lengah dari pengawasan bapak."
"Baik, Bu."
***
"Itu Om yang kemarin." Clara menunjuk seseorang yang baru saja keluar dari mobil mewah berwarna putih. Lantas senyum Clara memudar. Terlebih Bian dengan wajah datar serta kacamata hitam berjalan menghampiri.
Pupil Anjani membesar sesaat. Namun sedetik kemudian ia menatap Bian tanpa minat. Bian melepas kacamatanya lalu menatap mereka bergantian.
"Om ngapain ke sini lagi?" tanya Clara judes, bersedekap.
Sudut bibir Bian terangkat. Ia menatap remeh Clara. "Kamu bocah, tidak akan mengerti. Saya ada urusan sama ibu kamu."
"Penting? Awas ya Om ngata-ngatain bunda lagi!" sahut Clara marah.
Bian memutar bola matanya jengah. Malas meladeni Clara, ia berjalan melewati anak itu dan menghadap Anjani.
"Cepat masuk ke mobil saya!"
Anjani mendongak, menatap Bian lalu terdiam sejenak. Pria itu menyebalkan, selalu saja suka memerintah.
Bian berbalik dan memasuki mobilnya kembali. Sementara Anjani memberi nasihat pada Clara.
"Clara sama bi Ratih dan Pak supir, kalian mengikuti di belakang. Oke?"
Mereka bertiga mengangguk. Sebelum memasuki mobil Bian Anjani mengecup penuh sayang kepala putrinya. Ini yang Anjani cemaskan, ia takut Clara akan menghadapi bahaya.
Setelah mereka bertiga; Clara, bi Ratih, dan pak Romi memasuki mobil barulah Anjani menggerakan tongkatnya menuju mobil Bian.
Di dalam mobil, Bian memijat pangkal hidungnya melihat jalan Anjani yang sangat lambat.
"Dasar lumpuh. Jalan saja lamban sekali!" gumamnya tanpa suara.
Hingga Anjani tiba di samping mobil Bian, ia hendak membuka pintu belakang tapi Bian berkata, "Di depan, bukan di belakang."
Anjani termangu.
"Kamu dengar tidak?" kesal Bian.
Anjani menghela pasrah. Ia pun mengitari depan mobil menuju kursi samping kemudi, tetapi usai membuka pintu ia malah kesusahan untuk naik. Wajar, Anjani tidak terbiasa duduk di sebelah kemudi, yang saat naik harus menggunakan kaki kanan. Toh, kalian tau sendiri kalau kaki kanan Anjani mengalami kelumpuhan.
"Ambil tangan saya dan jangan banyak berpikir," ucap Bian menawarkan bantuan. Anjani mendapati tangan pria itu mengambang.
"Cepat Anjani." Bian kesal Anjani lemot.
Cepat-cepat Anjani menyambut tangan Bian dan ia pun berhasil mendaratkan pantat dengan aman. Bian langsung mengambil alih tongkat Anjani lalu melemparnya ke belakang.
"Pak, itu satu-satunya tongkat saya." Anjani marah tongkatnya diperlakukan sembarang.
"Kamu itu ribet banget sih?! Tinggal beli apa susahnya?"
Anjani mendengus keras. Ia membuang pandangan dari Bian lalu bersedekap kesal.
Bian terkekeh pelan kemudian menjalankan mobil.
"Nanti saya belikan."
8-Konferensi Pers
Halaman gedung perusahaan Pradipta kini dikerumuni banyak wartawan. Mereka mendesak masuk dan menemui Bian untuk meminta kejelasan mengenai berita yang beredar semalam. Bahkan banyak satpam ikut turun tangan menangani keadaan.
Para wartawan itu memang tidak terlalu mendesak masuk, tetapi mereka terus melontarkan pertanyaan tentang Anjani dan Bian yang membuat satpam-satpam itu kebingungan.
"Pak, tolong jawab pertanyaan kami? Menurut bapak apakah benar Pak Bian sengaja menabrak Anjani?"
"Kenapa pak Bian tidak bertanggung jawab?"
"Apakah Bian sudah hadir tapi kalian menyembunyikannya dari kami, pak?"
"Perusahaan Pradipta sedang terancam karena sikap tidak bertanggung jawab CEO-nya. Bagaimana tanggapan bapak?"
Setidaknya itu sederet pertanyaan yang mereka lontarkan. Sebagai respon pun para satpam hanya diam sebab mereka tidak tahu-menahu masalah itu.
Di tempat lain Vanya mondar-mandir tidak karuan. Ia khawatir andai Bian tidak datang. Tapi rasanya tidak mungkin, Bian tipe orang yang disiplin waktu meskipun soal bertanggung jawab bosnya itu kadang mengandalkan uang.
Tok-tok.
Pintu ruangannya diketuk membuat Vanya mendongak kaget. Ia lantas membuka pintu dan berharap yang datang adalah Bian.
Namun ternyata itu adalah Pak Bram. Baru melihatnya saja Vanya gemetaran. Ia memang cukup mengenal Bram. Apalagi sifatnya sebelas dua belas dengan Bian. Hanya saja Hans lebih bijak dari Bian. Bram tidak selalu mengukur bahwa semua masalah harus diselesaikan menggunakan uang.
"Dimana Bian? Kenapa sampai sekarang dia belum juga datang? Di luar sudah sangat ramai. Kau tahu, mereka mendesak ingin masuk dan meminta penjelasan bosmu itu," ucap Bram to the point. Ia memasuki ruangan kerja Vanya dan wanita itu pun menutup pintu.
Vanya menelan salivanya kasar. Setelah mengumpulkan keberanian ia menjawab, "Ma-maaf, Pak. Pak Bian sedang dalam perjalanan. Saya yakin tidak lama lagi dia akan datang." Vanya lalu melempar senyum tipis dan mempersilakan. "Apa sebaiknya bapak duduk dulu. Kita bicarakan dengan nyaman."
Bram menggeleng. "Tidak usah. Saya masih belum tenang sebelum bosmu itu datang."
"Pak Bian pasti datang, Pak. Saya cukup mengenal dia. Pak Bian selalu menyelesaikan masalahnya," ujar Vanya meyakinkan. Sungguh, menghadapi Bram rasanya lebih berat daripada menghadapi Bian.
"Kalau tidak bagaimana?" Bram mendengus pelan. Ia memijat pelipisnya yang terasa pening. "Apa yang akan kau lakukan untuk membubarkan mereka?"
"Sa-saya tidak tahu, Pak," sahut Vanya gugup. Beginilah resiko menjadi sekretaris bos menyebalkan itu. Ia mesti siap penampung sementara urusan Bian. "Tapi saya sudah menghubungi Bian. Saya memintanya masuk lewat pintu belakang agar prosedur konferensi pers yang kita rencanakan berjalan dengan baik."
Bram memasukkan kedua tangannya ke saku celana dan mengangguk paham. "Baguslah. Setidaknya Bian paham ini bukan masalah sepele." Bram sedikit merasa lega. Wajahnya yang tadi datar sekarang terlihat lebih bersemangat. "Saya tunggu dia di ruangan saya."
"Baik, Pak."
Bram pun melangkah mengeluari ruangan. Seketika Vanya menghembuskan napas lega. Lantas ia bergegas menengok ke jendela kantornya dan menatap ke halaman belakang dasar gedung, kali saja ia melihat kedatangan mobil Bian.
Dan benar, mobil mewah berwarna putih itu tampak berhenti di samping gerbang. Dengan mengendap pemiliknya keluar, lalu seorang lagi menjatuhkan tongkat ke tanah, mata Vanya melebar.
"Yaampun. Anjani ternyata ikut?!"
***
"Cepat sebelum kita ketahuan," ucap Bian pada Anjani. Ia lebih dulu mengeluari mobil sementara wanita itu masih sibuk membenarkan tongkatnya yang baru saja terjatuh.
"Iya-iya sebentar." Beberapa menit kemudian barulah Anjani menemukan posisi nyaman untuk tongkatnya. Peduli setan pada Bian, lebih penting ia merasa nyaman saat menggerakan tongkatnya.
Dan sebuah mobil hitam berisi Clara, Bi Ratih, dan Pak Romi di belakang ikut terparkir. Clara keluar dari sana disusul Bi Ratih dan Pak Romi.
"Cala ikut!" girang Clara, berlari memeluk Anjani dengan wajah memelas.
"Hanya putrimu," kekeh Bian. Ia lumayan sebal melihat anak kecil itu selalu menempel dengan ibunya. Kemudian tatapan Bian mengarah pada Bi Ratih dan Pak Romi. "Biar mereka tunggu di luar."
Anjani keberatan. "Tapi, Pak--"
"Kamu kira kantor saya tempat penampungan?" tandas Bian. "Memangnya untuk apa mereka ikut? Toh, saya juga tidak berniat menjual kamu."
Bi Ratih mengangguk setuju. "Ibu pergi saja. Kami tidak apa-apa menunggu di sini."
"Terima kasih, Bi."
Pasrah Anjani mengikuti permintaan Bian, ia lalu pamit masuk ke dalam bersama Clara. Bi Ratih dan Pak Romi pun memilih menunggu di dalam mobil mereka.
Bian berjalan paling depan dan membuka pagar pembatas. Beruntung ia ingat membawa kunci duplikat pagar ini sehingga ia tidak perlu lagi menghubungi Vanya. Mereka pun masuk dengan mengendap-ngendap. Jujur Anjani merasa kesusahan, ia datang seperti seorang kriminal yang berniat jahat. Ditambah Clara-nya yang polos harus ikut bergabung dalam situasi ini.
"Psst. Pstt. Ke sini, Pak!" Bisikan itu mengalihkan perhatian mereka. Anjani menoleh ke samping. Ternyata ada seorang wanita berkemeja pink melambaikan tangan dari balik pohon.
"Vanya," panggil Bian. "Cepat bantu saya. Tuntun mereka masuk ke ruanganku."
"Iya, Pak."
***
Hal yang ditunggu-tunggu akhirnya terjadi. Konferensi pers mengenai berita Bian dan Anjani terlaksana di aula perusahaan Pradipta. Banyak wartawan serta jurnalis berkumpul. Mereka disediakan bangku khusus.
Sementara di panggung depan, Bian, Anjani dan Clara duduk bersebelahan. Mikrofon milik wartawan berjejer di depan mereka sebagai pengeras suara pengakuan Anjani maupun Bian. Pria itu kini menahan malu yang luar biasa. Pula Anjani sangat gugup, tidak pernah ia seperti ini; diliput banyak media dan direkam banyak kamera.
Andai ibu Aldevaro tau, dia pasti bertanya-tanya kenapa Anjani bisa berada di sana.
Dalam hati Anjani juga tak henti-hentinya menggumamkan maaf pada Aldevaro. Di alam sana mendiang suaminya itu pasti kecewa.
Beberapa menit berlalu konferensi akhirnya dimulai. Bian membuka acara dengan meminta maaf pada Anjani kemudian acara pun berlanjut dengan lancar sehingga semua media mendapatkan kesimpulan mereka masing-masing.
Namun yang Anjani herankan, permintaan maaf Bian tadi terkesan manis untuk didengar telinganya.
9- Udang di Balik Batu
"Di depan semua media saat ini, saya meminta maaf sebesar-besarnya padamu Anjani. Saya berjanji tidak akan mengulanginya lagi. Saya berjanji akan lebih bertanggung jawab," ucap Bian. Kalimat tegas yang membuat semua penghuni aula terdiam. Terutama Anjani, ia tak menyangka Bian mampu merubah sikapnya dalam satu hari. Namun, Anjani akui jika Bian mengatakan itu hanya untuk mencegah nama baiknya tercemar.
"Dan sebagai bentuk pertanggungjawaban saya atas kesalahan kemarin. Saya bersedia menanggung semua biaya pengobatan kakimu sampai pulih."
Tunggu. Apakah ada sesuatu yang mengganjal telingnya? Anjani sulit percaya ini. Di satu sisi ia menghormati permintaan Bian yang pertama. Entah untuk yang kedua ini Anjani pikir sangat berlebihan.
"Pak." Anjani menyela dan Bian langsung menggeleng cepat. Berbeda dengan Clara, gadis itu tersenyum lebar menatap Bian. Meski ia tidak terlalu mengerti apa maksud perkataan pria itu sebenarnya.
Suara riuh serta tepuk tangan pun mulai bersahutan. Bidikan demi bidikan kamera menyorot Bian. Mereka seolah sangat mengapresiasi tindakan pria itu.
"Saya tidak terima bentuk penolakan apa pun. Mulai besok, saya langsung menyiapkan dokter khusus untukmu," lanjut Bian. "Itu janji saya untukmu di hadapan mereka semua."
"Bu Ani."
Kilasan momen itu berakhir dibenak Anjani saat seseorang dari arah belakang memanggil namanya.
Anjani menoleh. Ia lantas mendapati Bi Ratih bersama Clara berjalan mendekat.
"Ayo kita pulang." Anjani ragu berapa menit sudah mereka berdiri di sana. Mungkin lumayan lama, sayang karena keasikan melamun Anjani baru mendengar namanya dipanggil. Sekarang mereka berada di ruangan Vanya. Sekretaris Bjan itu katanya ada urusan dan entah kenapa belum balik juga. Anjani menunggu di sini karena Vanya menyuruhnya.
"Bunda mikirin apa?" Nah benar, kan. Ternyata Clara begitu peka terhadap perasaannya. "Tadi dipanggil nggak nyahut-nyahut."
"Enggak ada kok." Anjani menggeleng pelan. Dengan satu tangannya yang tak memegang tongkat ia mengusap rambut Clara penuh sayang. "Kamu juga, tadi kemana aja sama bi Ratih?"
"Jalan-jalan keliling gedung sama Om Bian sama bi Ratih. Aku juga dikasih satu dus susu kotak sama Om Bian," ucapnya membuat Anjani membulatkan mata.
"Sa-satu dus?" Ia tak percaya.
Clara mengangguk lugu. "He em. Om Bian ternyata baik. Bunda tanya aja deh sama Pak Romi. Tadi dia yang bawa sedus susunya ke mobil kita."
"Kenapa dia tiba-tiba begitu baik sama anakku?" gumam Anjani. Aneh sekali rasanya sikap Bian hari ini. Padahal sebelumnya Bian sangat risih berada dengan keberadaan Clara.
"Susunya masih bagus, kan? Maksud Bunda susunya benar-benar cocok buat kamu?"
"Cocok dong. Kata Om Bian dia belikan aku susu yang paling mahal."
"Itu benar, Bu," sela Bi Ratih meyakinkan. Anjani semakin terpaku di tempat. Entah terbentur apa kepala Bian hari ini hingga sikapnya begitu berlebihan.
"Memangnya salah kalau saya membelikan sesuatu untuk Clara?"
Subjek yang dibicarakan ternyata datang, melenggang masuk kemudian mengacak gemas rambut Clara. Clara cekikikan. Ia mulai nyaman dengan sentuhan Bian.
Anjani menunduk. "Maaf. Bukan begitu maksud saya, Pak. Cuma saya rasa apa yang bapak lakukan untuk kami sangat berlebihan." Lalu ia mendongak. Terdiam kala mendapati Bian tersenyum. Sungguh, baru kali pertama Anjani melihat pria itu berekspresi.
"Artinya saya peduli. Lagipula sedus susu kotak sangat murah bagiku," kata Bian, antara sombong atau dermawan. "Bahkan jika anakmu meminta satu truk, detik ini langsung saya belikan."
"Serius?" Clara cengo. Menatap Bian penuh minat.
"Clara..." Anjani menyela.
"Aku mau coklat sama boneka baruuu!"
"Oke. Tunggu saja benda itu sampai di rumahmu besok."
Anjani menghela pasrah, rupanya Clara sulit diajak kompromi. Setruk coklat dan boneka, Bian kira rumahnya muat menampung benda sebanyak itu apa?
"Makasih ya, Om." Clara memeluk Bian erat. Clara memang semudah itu sayang pada seseorang.
"Kami pulang dulu, Pak." Anjani pun menggandeng tangan Clara. Mereka baru dua langkah dan tongkat Anjani baru bergeser dari tempatnya tapi Bian kembali menahan mereka.
"Tunggu sebentar!" Mereka bertiga menoleh.
"Masih ada yang perlu saya bicarakan dengan kamu." Bian menatap Anjani dengan kedua tangan masuk ke saku celana.
"Tentang dokter untuk penyembuhan kaki saya?" tanya Anjani. "Bapak tidak perlu repot-repot. Tinggal bapak berikan saja alamat saya. Saya juga tidak ingin menganggu kesibukan bapak."
Bian berdecak, ia memutar bola mata malas. "Jangan kira melakukannya akan semudah itu." Netranya berganti menatap bi Ratih dan Clara. "Kalian duluan saja. Nanti Anjani saya antarkan."
Anjani sedikit tersentak. Tetapi ia pasrah ketika bi Ratih dan Clara tidak menolak. Sekarang di ruangan itu hanya mereka berdua. Anjani sontak canggung.
Beda untuk Bian yang santai dan langsung mengambil jarak lebih dekat. "Saya sudah menemukan dokter terbaik untuk kamu. Hari ini juga kita harus ke rumah sakit dan bertemu dengannya."
"Se-secepat ini?"
Dari jarak yang tinggal sejengkal ini, Bian mengamati wajah polos Anjani. Cantik. Putih. Meski sudah memiliki satu anak tapi wanita itu tetap terlihat seperti lajang. Ditambah tubuhnya mungil.
"Iyalah. Kamu bisa tidak sih jangan bertanya. Tentu saja harus cepat. Setelah pengecekan, kamu dan dokter Ares langsung mengatur jadwal. Besoknya, kalian tinggal meluangkan waktu untuk terapi," kata Bian. Susah payah dia mencarikan dokter terbaik di kota ini. Dan akhirnya dia bertemu dengan dokter Aresta yang biasa dipanggil 'dokter Ares'.
"Tapi putriku..."
"Mereka aman. Bodygardku sudah pergi menemui mereka."
Sekali lagi Anjani dibuat tercengang, selain itu ia sangat bersyukur janji Bian ternyata bukan omong kosong belaka.
"Terima kasih."
Anjani tersenyum hangat. Bian pun menarik kedua sudut bibirnya, lalu ketika Anjani menunduk ia menyeringai tanpa suara.
***
Mungkin kedengarannya mustahil menyembuhkan kaki yang telah dinyatakan lumpuh total, seperti yang dialami Anjani mulai dua tahun lalu. Tepatnya sejak kecelakaan tragis menimpa dirinya, Clara, serta Aldevaro malam itu.
Saat dokter memvonis kakinya lumpuh pun Anjani merasa ia tidak pantas lagi untuk hidup. Namun pikirannya masih berjalan dengan normal ketika melihat Clara terbaring lemah di brankar. Gadis itu satu-satunya semangat hidup Anjani, setelah Tuhan memutuskan mengambil jiwa Aldevaro selamanya dari dunia ini.
"Apa tidak ada cara lain agar kakinya bisa sembuh? Saya akan bayar berapa pun, dok," kata Bian pada dokter pria bernama Ares.
"Memang nggak bisa pak, Bian. Karena ini menyangkut sistem saraf. Lagipula kelumpuhan ibu Anjani sudah berlalu dua tahun. Artinya sistem sarafnya pun sudah lama mati," ujarnya sambil melihat foto hasil CT Scan kaki kanan Anjani.
Anjani menghembus pasrah, ia menatap Bian lemah. "Sepertinya memang nggak bisa, Pak. Kita jangan memaksa."
"Tapi saya ingin kamu sembuh." Bian bersikukuh.
"Dari sebanyak kasus kelumpuhan, presentasi sembuh memang sedikit," lanjut dokter Ares. "Tapi ibu masih punya harapan. Ibu bisa pelan-pelan melakukan fisioterapi, dan itu tidak menutup kemungkinan akan ada keajaiban ibu untuk sembuh."
10-Rahasia Bos Besar
Sani masih belum percaya pada keputusan Biab karena terdengar sangat berlebihan. Sebelumnya, ia mengira Bian sekedar meminta maaf guna mengembalikan nama baik perusahaan Pradipta, tapi ternyata lebih dari itu. Bian membuat semua media kagum dan tercengang.
"Bian lo serius nggak sih oneng? Apa telinga gue yang kejejel kotoran pas denger lo ngomong?" tanya Sani serius. Sebab Bian yang dilihatnya barusan sangat berbeda dengan Bian yang dikenalnya—angkuh, sombong, dan ia tahu Bian tidak mungkin membuang-buang uang untuk hal yang kurang penting—contohnya membantu wanita yang tidak ia sukai.
"Gue seriuslah. Gue yang nanggung semua pengobatan Anjani," jawab Bian sembari fokus mengetik sesuatu di laptopnya.
Sani yang duduk di hadapan Bian itu menahan tawanya menyembur, "Pftt Hahaha! Kesambet apaan lo jadi baik? Bukannya lo nggak suka deketan sama Anjani. Tadi gue juga liat lo meluk anaknya."
"Jangan bacot! Lo nggak akan pernah ngerti permainan gue."
Tanpa mereka tahu seseorang menempelkan telinganya di balik pintu. Bian sadar setelah melihat bayangan orang itu dari kacanya yang buram.
Bian berdehem dan mengeraskan suaranya, "Sedang menguping pembicaraan kami?!"
Sani langsung menoleh ke arah pintu. Benar saja seseorang tampak menurukan kanopi. Ketika wanita berkemeja biru itu masuk Sani terkejut karena dia adalah Citra—temannya Vanya.
"Engh-gak, Pak. Maaf. Saya cuma mau mengantarkan berkas yang harus bapak tanda tangani," kata Citra gugup.
"Yasudah sini berkasnya." Bian menampilkan wajah datar dan Citra langsung menyerahkan lima map berisi dokumen penting di tangannya.
"Saya akan berikan ke Vanya ketika semua berkas ini selesai saya tanda tangani," ujar Bian. Citra mengangguk lantas berbegas mengeluari ruangan bahkan tanpa menatap Sani sedikitpun.
Melihat gelagat aneh karyawannya itu Bian ragu apakah Citra benar menguping pembicaraan mereka atau tidak. Ah, seharusnya tadi Bian menanyakannya.
"Ah bentar deh gue kayaknya baru ngeh," ucap Sani melanjutkan pembicaraan. "Lo manfaatin Anjani?"
Bian mengangguk.
Sani menggebrak meja membuat Bian terkejut. "Parah njengg, kalo kagak mempan gimana?"
Bian terkekeh pelan, sabar, kalau saja Sani bukan sahabatnya maka sudah jauh-jauh hari ia pecat pria jomblo itu.
Bian menunjuk wajahnya, "Memang sudah berapa banyak wanita yang menolak wajah sama dompet gue?"
Sani menggeleng sembari berdecak, "Tapi, bro. Anjani kelihatannya bukan wanita begituan. Sekali lihat wajah sama dompet lo langsung nemplok."
"Lo pikir aja apa gunanya Clara."
"He?" Sani mengerutkan kening, sadar apa maksud Bian dia memicing, "Ternyata sekarang lo makin pinter sekaligus brengsek babi."
***
Sejak penolakan Bian malam itu hidup Laura menjadi berantakan. Ia suka minum minuman beralkohol sebagai pelarian lalu berkali-kali meracaukan nama Bian saat kesadarannya mulai hilang. Hans—ayahnya tidak tega melihat putrinya berubah memilukan.
Seperti saat ini, meski sudah dilarang oleh Hans datang ke club malam Laura tetap membangkang.
"Dad aku mau Bian," racau Laura. Alhasil, Hans mesti memapah tubuh anaknya itu melewati banyak kerumunan orang yang menari di dance floor—menuju mobil. Sesekali beberapa mata menatapnya lalu tertawa. Mungkin mereka menganggap Laura sedang disewa oleh om-om padahal pria yang menggendongnya adalah ayahnya sendiri.
"I want Her, Dad. Lakukan sesuatu pleasee. Aku hanya mencintai Bian. Aku hanya ingin dia, Dad," racaunya lagi. Kali ini sambil memukul pelan dada bidang Hans. Laura meronta-ronta, "Turunin aku. Turunin!"
"Shttt tenang." Hans mengusap lembut pipi anaknya itu, "Daddy pasti melakukan sesuatu agar Bian menerima dirimu. Jangan seperti ini sayang Dad tidak sanggup melihatnya," sahut Hans sendu. Lalu berusaha merebut botol minuman di tangan Laura.
"Lepaskan minuman ini, sekarang kita pulang ya."
"Nggak mau!"
Hans mengusap wajahnya gusar namun tetap berusaha tenang. Ia tidak boleh marah pada Laura. Atau putri kesayangannya ini akan membencinya. Hans tidak ingin itu terjadi.
"Sayanggg, Dad pasti mengembalikan Bian padamu. Itu janjiku."
"Benarkah?" Laura mulai terpancing, wajahnya berbinar, "Bagaimana caranya?"
Hans tersenyum lebar dan mengecup sekilas pipi putrinya, "Serahkan semuanya sama Daddy, oke?"
Melihat keseriusan di wajah Daddy-nya Laura pun semakin yakin, ia tersenyum sambil menggangguk pelan hingga setuju untuk pulang. Mengalungkan tangan di leher Hans, "Aku sayang Daddy."
***
Anjani duduk selonjoran di permukaan rumput hijau taman belakang rumahnya selagi Clara sedang tertidur nyenyak.
Niatnya tak lain adalah menenangkan diri dari semua kejadian yang menimpa dirinya akhir-akhir ini. Terutama soal Bian. Ia merutuk dirinya yang terus saja kepikiran sikap aneh pria itu.
Misal, siang tadi setelah mereka keluar dari rumah sakit. Bian meminta bayaran atas pengobatan kakinya.
Pukul 12 siang, parkiran rumah sakit Citra Surya.
"Terima kasih banyak atas semua bantuan bapak. Saya tidak tahu bagaimana membalasnya," kata Anjani ketika dia telah memasuki mobil Bian. Pria itu menyalakan mesin.
"Kamu tidak perlu membalas. Itu bukan hal yang besar."
Anjani menggeleng cepat kala mobil mulai meninggalkan area parkiran. Ia menatap Bian. "Bapak salah. Justru keputusan bapak sangat berarti untuk saya. Sejak dulu, saya memang ingin berobat tapi saya memikirkan masa depan Clara karena saya tau, mengobati kaki ini enggak sedikit mengeluarkan uang. Saya pikir, lebih baik menabung untuk masa depan Clara."
"Saya mengerti," sahut Bian. "Seorang ibu pasti rela mengabaikan kesehatan diri sendiri demi anaknya."
Anjani pun tersenyum. Bian melirik sekilas ke wajah wanita itu, namun mendadak pikirannya bekerja akan sesuatu.
"Kamu yakin ingin membalas bantuanku?" tanya Bian. Setelah beberapa menit kebungkaman mendominasi mereka.
"Tadi kata bapak tidak perlu?"
"Entah. Tiba-tiba saja saya berubah pikiran."
"Engh, itu juga terserah bapak. Saya tidak punya hak melarang. Lagipula bapak sudah sangat banyak membantu kami," jawab Anjani bermurah hati.
"Bagaimana kalau membawakan makan siang?"
"Hah?" Anjani sedikit sangsi.
Bian berdehem singkat, mobil berhenti saat trafic light menyala merah. Bian menatap Anjani lekat. "Waktu makan siangku sangat terbatas, ditambah kantin kantor lumayan jauh dari ruanganku. Sedangkan makanan di luar tidak terjamin higienis. Jadi, bagaimana kalau kamu saja yang membawakan makan siang untukku?"
"Saya ..."
"Kalau kamu keberataan tidak apa-apa. Saya tidak memaksa."
Anjani terdiam, ia menunduk karena bimbang.
"Soal menu apa yang harus kamu masak. Saya yang akan membuat listnya. Jadi kamu tidak banyak repot."
"Bu-bukan kan itu maksudku. Kenapa bapak tidak meminta kekasih bapak saja yang membuatkan?" Jujur, Anjani kurang berani bertanya hal ini.
Bian tertawa pelan. Tawa yang sangat jarang Anjani lihat. "Apa wajah-wajah sepertiku selalu terlihat memiliki kekasih?"
"Maaf. Saya kira—"
"Lupakan saja. Apa kau setuju?"
Terdiam sebentar, usai berpikir beberapa detik Anjani akhirnya mengangguk pelan, "Baiklah. Kebetulan saya juga suka memasak. Jadi melakukannya bukan hal yang memberatkan."
Bian pun mengambil gawainya dari saku celana. Memberikannya pada Anjani, "Masukan nomermu di sana. Sore ini akan saya kirim list menunya lewat pesan."
Tepat. Lamunan Anjani buyar saat gawainya berdering. Masuk sebuah pesan dari nomer tak dikenal.
085234xxxxx: List menu minggu ini:
-Rendang Jengkol
-Semur Jengkol
-Nasi goreng jengkol
-Jengkol Sambal Cabe Ijo
-Jengkol Balado
Anjani mengernyit membaca pesan itu. Benarkah dari Bian? Ingin sekali Anjani menertawakan.
085234xxxxx: Jangan tertawa. Saya tau kamu pasti mengejek.
"Pft. Aku nggak nyangka dia suka makanan seperti ini," Anjani pun terkikik. Siapa yang tau ternyata pria berkelas seperti Bian menyukai makanan berbahan pete. Anjani mengirim balasan.
Anjani: Kenapa tidak jujur saja kalau sebenarnya bapak kesulitan mencari makan siang berbahan jengkol? Ck.
085234xxxxx: 😒
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
