
⚠️Warning! Adult Romance, 21+ harap sesuaikan umur sebelum membaca⚠️🔞
Spoiler : "Pak," Anjani mengerjap bingung saat sadar wajah mereka sangat dekat. Dia menahan napas. Dan tanpa Anjani duga pria itu menekan tengkuknya hingga bibir mereka menempel lama.
"Hmpph."
11- Surprise
12- Semur Jengkol
13- Strange Request
14- Numpang Makan Terus
15- Cium Sembarangan (21+)
Pilihan Paket : (Lebih Murah daripada Beli Satuan)
- Pilih PAKET BOSS untuk buka BAB 11-85 (Tamat), cuman Rp 20.000
Sinopsis :
"Saya mengerti. Dengan...

11-Surprise
Rutinitas Anjani bertambah mulai hari ini, yaitu memasak makan siang untuk sang bos arogan dan pemaksa bernama Bian Pradipta. Kebetulan juga dalam seminggu ke depan Clara libur semester, jadi jadwalnya menjemput anak itu setiap pukul 12 siang, tidak akan bertabrakan dengan jadwal mengantar makanan untuk Bian. Setidaknya pada minggu ini ia cukup tenang.
Anjani mengaduk perlahan semur jengkol di dalam wajan berukuran sedang dengan tangan kiri, sementara tangan kanannya mengapit tongkat agar tetap seimbang. Seketika aroma masakan itu menguar ke seluruh ruangan. Membuat perutnya ikut keroncongan.
Jujur bukan perkara mudah bagi Anjani memasak semur jengkol, pasalnya ia juga sangat jarang menyantap makanan satu ini—bukan tidak suka. Terlebih Clara yang sangat anti akan baunya.
Tapi tenang, semur jengkolnya buatannya sekarang sudah dimasak sebaik mungkin, resepnya ia baca begitu teliti dari internet. Sehingga tidak menimbulkan bau yang sangat menyengat ketika disantap.
"Bunda masak apa? Laperr." tanya Clara. Anak kecil itu menuruni undakan tangga bersama boneka teddy bear kesayangannya. Sambil mengusap perut ia menguap, padahal baru saja bangun tidur siang selama 2 jam.
Merasa tidak ada respon dari bundanya Clara mendekat lalu menaiki sebuah kursi kecil—yang sengaja ditaruh di depan kitchen set. Hingga kepalanya sejajar dan Clara pun bisa mengintip apa yang bundanya masak. Anjani mendengus geli melihat tingkah putrinya itu; baru bangun tidur langsung kelaparan.
"Astaga!" Clara bergegas menutup hidungnya yang mengerucut dengan tangan. "Cala nggak suka masakan ini. Bau!" ungkapnya jijik membuat Anjani yang sedang mengaduk terkekeh kecil.
"Sttt. Nggak boleh ngomong begitu Clara. Kamu harus menghargai makanan," tegurnya. Wanita itu tersenyum tenang. "Lagian ini bukan buat kamu kok. Makan siang kamu ada di atas meja, udah duluan bunda siapkan."
Clara mengernyitkan kening, "Terus itu buat siapa?"
"Om, Bian," jawab Anjani.
"Kenapa Bunda yang masakin?"
"Enggak papa. Anggap aja sebagai bentuk terima kasih kita sama beliau. Dia banyak membantu kita."
Clara manggut-manggut paham, tanda ia setuju keputusan Bunda. Lalu Clara pun bertanya sembari menampilkan wajah ceria, "Berarti hari ini kita ke gedung itu lagi dong?"
Anjani mengangguk pelan seraya tersenyum tipis. Dan gedung yang dimaksud Clara sebenarnya adalah kantor perusahaan Bian.
"Clara ikutt," ungkapnya bersemangat.
"Boleh."
Seketika Clara melompat girang, entah apa sebenarnya yang membuat anak itu kelewat senang Anjani tidak tahu. Namun, ia ikut bahagia melihat respon Clara.
Anjani menaruh spatula-nya kemudian mengacak gemas rambut Clara, "Tapi kamu makan dulu gih. Bunda nggak mau kamu kelaperan."
"Okeee." Clara mengacungkan jempol, ia berlari kecil mengambil piring, sendok, serta gelas. Lalu menaiki kursi dan membuka tudung saji, menyantap lauk pauk kesukaannya. Meski baru berusia 5 tahun, anak itu sudah mandiri— makan tanpa perlu disediakan lagi. Clara duduk membelakangi Anjani.
"Di sana kita ngapain aja?" tanya Clara.
Anjani menjawab tanpa menoleh, tangannya mematikan kompor, "Cuman nganter makanan doang kok, habis itu pulang. Kita nggak boleh lama-lama karena di sana orang-orang sibuk kerja. Kita nggak boleh sampai menganggu mereka."
Bahu Clara merosot, kunyahannya memelan. "Padahal Clara mau main sama Om Bian."
Anjani menghela napas, ia menghampiri Clara dan mengusap pelan bahu anaknya, "Nanti aja ya kalau beliau nggak sibuk."
Clara pun terlihat pasrah mengangguk. Anjani tersenyum tipis, ia kembali ke kitchen set guna menyiapkan semur jengkol buatannya ke dalam rantang kotak dua susun berwarna biru. Tak lupa Anjani menambahkan nasi pada kotak terbawah.
"Bu Ani," panggi Bi Ratih mengalihkan perhatian Anjani. Ia menoleh lalu pelan-pelan menggerakan tongkat demi menghadap Bi Ratih.
"Ada apa bi?"
"Alhamdulillah pendapatan toko kue bulan ini meningkat drastis, Bu," ungkap bi Ratih. Kemudian menyodorkan amplop tebal berisi uang. Anjani memang mempercayakan hasil pendapatan toko kuenya kepada Bi Ratih.
"Serius, Bi? Kenapa bisa? Biasanya pendapatan toko kue kita stabil, bahkan malah menurun."
"Bibi juga nggak tau, Bu." Bi Ratih mengetuk dagu dengan telunjuk, "Apa jangan-jangan karena pak Bian. Ibu sadar tidak? Sejak banyak wartawan datang ke rumah kita. Toko kue jadi semakin ramai."
Anjani menggeleng tidak tahu, ia terdiam sebentar, kalau dipikir-pikir ucapan bi Ratih ada benarnya. Anjani kemudian menerima amplop tadi, mengintip isinya lalu menghembus penuh syukur.
"Coba ibu lihat juga halaman ini." Bi Ratih memperlihatkan gawainya, benda pipih tersebut menampilkan bagian depan toko kue Anjani. "Pak Bian ternyata mempromosikan toko kue ibu di website perusahaan mereka."
Sejenak Anjani tercengang. Ia menatap lebih lamat dan tentu benar.
"Cala mau lihat!" Clara menyelip di antara keduanya lalu merebut gawai di tangan Anjani, "Wah, bunda lihat! Ada muka aku." Ekspresinya lantas cerah berbinar.
Jelas terpampang di layar tersebut, toko kue dengan nama 'Bakery and Pastry Clara'. Juga foto Clara yang sedang tersenyum sembari diedit menggunakan topi koki. Ditambah caption serta kalimat-kalimat persuasif yang membuat siapa pun yang membaca penasaran akan cita rasa kue buatan Anjani.
"Kapan ya Om Bian ngambil fotonya?" gumam Clara terkikik.
"Aku benar-benar nggak tahu, Bi. Pak Bian juga nggak bilang ke aku," ujar Anjani heran menatap bi Ratih dengan alis terpatri. Namun seusainya seulas senyum tipis ia perlihatkan.
"Mungkin Pak Bian ingin memberikan kejutan. Toh, bagus kan. Toko kue ibu pasti selalu ramai setiap bulan," kemudian bi Ratih tertawa pelan, seolah menertawakan kekesalannya dulu kepada Bian, "Nyesel deh bibi ngatain beliau jahat, Bu."
"Alhamdulillah." Anjani tersenyum lagi, "Pak Bian ternyata nggak seburuk yang kita pikirkan ya, Bi. Kita mesti banyak-banyak berterima kasih."
Bi Ratih mengangguk cepat. Anjani mengusap dadanya penuh kelegaan. Entah bentuk terima kasih apa yang bisa ia berikan pada Bian. Pria itu di awal memang terkesan jahat, tapi setelah mereka kenal lumayan lama. Bian baiknya terlalu berlebihan.
"Simpan di tempat biasa, Bi. Awal bulan kita bagi rata untuk semua karyawan," pinta Anjani mengembalikan amplop tadi ke tangan bi Ratih.
"Siap, Bu." Bi Ratih pun pergi meninggalkan dapur dan menuju tempat penyimpanan uang.
Giliran Clara mendekat lalu memeluk bundanya erat, "Clara makin nggak sabar pengen ketemu Om Bian. Cepat ya, Bun. Clara pengen ngucapin terima kasih karena dia udah banyak bantu bunda."
Begitu pun Anjani.
***
"Tunggu, Bian," ucap Bram. Pria berjas abu itu sedikit mempercepat langkahnya demi menghampiri Bian. Padahal mereka baru saja keluar dari ruangan yang sama—yaitu ruang meeting. Tapi Bram lupa menahan rekan bisnisnya itu karena terlalu asik membahas hal penting dengan sang sekretaris.
Bian mendengar namanya dipanggil segera berhenti lalu menoleh, ia menatap Bram. "Ada yang perlu kita bicarakan pak?"
"Sebenarnya bukan hal yang penting. Aku hanya ingin menanyakan kondisi wanita itu," jawab Bram.
"Siapa?" Bian mengernyit.
"Anjani." Sesaat ekspresi Bian berubah tak minat. Selalu Anjani, Anjani dan Anjani, sejak tragedi kemarin penghuni kantornya seolah tak henti membicarakan wanita itu. Memang, apa yang istimewa dari wanita lumpuh itu?
"Apa keadaannya baik-baik saja?" Sekarang keduanya mengobrol sambil berjalan pelan lalu memasuki lift.
"Iya, baik. Bapak belum bicara dengannya kemarin?"
"Sudah. Kami lumayan membicarakan banyak hal, dia wanita yang ramah dan baik. Ya meskipun keadaannya kurang sempurna seperti itu," sahut Bram. Bian mengangguk mengiyakan. Dan tepat ketika pintu lift terbuka ia menghadap dengan subjek yang dibicarakan.
"Nah, itu dia."
"Om Bian!"
12-Semur Jengkol
Bian terkejut melihat Anjani datang bersama Clara. Matanya membulat namun beberapa detik setelahnya Bian berdehem lalu menormalkan ekspresi. Ditambah Clara tiba-tiba melompat dan memeluknya.
"Om Bian!" seru Clara. Anjani hendak menahan anak itu tapi terlambat. Ia hanya bisa menarik tangannya kembali ketika Clara terlanjur memeluk Bian begitu erat. Anjani memohon maaf.
"Tidak apa-apa," kata Bian. Ia balas memeluk Clara lalu mengusap kepala anak itu. Clara menyengir lebar. Anjani mendengus pelan.
Bram tersenyum menatap Anjani dan mereka pun melangkah mengeluari lift disusul Bian serta Clara. Mereka menepi untuk berbincang-bincang.
Anjani merasa dia datang di waktu yang salah. Melihat Bian sepertinya sedang sibuk bersama rekan kerjanya. Anjani pun menyembunyikan tangannya yang memegang rantang ke belakang punggung. Ia sangsi bagaimana reaksi Bian ketika Bram mengetahui apa alasannya datang ke sini.
"Bagaimana kabarmu Anjani?" tanya Bram pada wanita itu.
Anjani tersenyum kikuk, setelah sebelumnya ia melirik sekilas ke arah Bian yang menatapnya datar, "Saya baik, pak."
"Baguslah. Ada keperluan apa kamu datang ke sini?" tanya Bram membuat Anjani seketika bungkam. Berbeda pada Bian yang menyipitkan matanya ke arah wanita itu, seolah mengisyaratkan pada Anjani bahwa ia mesti tutup mulut.
Anjani mengangguk-anggukan kepalanya untuk Bian, kemudian menatap Bram, "Anu... saya—"
Bian segera memotong sebelum Anjani salah bicara, "Saya yang memintanya, pak."
"Bunda membawakan makan siang buat om Bian!" ungkap Clara semangat. Seketika Bian mengusap wajahnya dengan geram. Sialan anak ini! Gara-garanya ia mati kutu sekarang. Bian menatap Clara dengan wajah kesal alhasil gadis itu pun menunduk takut.
Bram tertawa lalu menakutkan alis, "Benarkah anak manis?" tanyanya pada Clara. Kemudian tertawa konyol menatap Anjani, "Kenapa tidak membawakan sekalian untukku? Kebetulan aku juga sedang lapar. Oh ya, tumben sekali Bian menerima masakan rumahan. Padahal dulu dia selalu bilang tidak akan level makan makanan buatan wanita lain selain ibunya."
Bian mendecih dalam hati. Ia tahu Bram sedang mengejeknya saat ini. Bian membuang pandangan kusut.
Anjani menampilkan raut bersalah, sekaligus polos, "Maaf. Tapi bapak boleh kok ikut makan bersama Pak Bian. Saya lumayan banyak bawa—"
"Ekhem." Bian berdehem menghentikan ucapan Anjani. Wanita itu sontak terdiam.
"Bagaimana kalau mengajak teman bapak yang lain saja makan di luar? Saya ada keperluan mendesak dengan Anjani. Maaf sebelumnya," tutur Bian sopan, meredam kekesalan.
Bram pun mengangguk saja tanpa menaruh rasa curiga, namun senyum konyolnya terus saja terlontar pada pria itu, "Ya sudah tidak apa-apa. Kalau begitu aku juga permisi. Nikmati waktu makan kalian. " Ia lalu menatap Anjani dengan senyuman, "Sampai bertemu lagi Anjani."
Anjani balas tersenyum tipis.
"Dadah Om!" celetuk Clara melambai kala punggung Bram menghilang di belokan.
Bian menghembuskan napasnya lega. Sekarang keadaan rasanya lebih aman. Ah, tadi ia benar-benar sial karena mulut tak terkontrol Clara. Andai tadi anak itu juga menyebutkan jenis masakan apa yang dibawakan Anjani, sudah dipastikan ia malu sampai urat terdalam.
"Saya membawakan makanan sesuai dengan daftar yang bapak kirimkan," ucap Anjani sembari menyodorkan rantangnya. "Semur jeng- mphhh." Namun belum selesai bicara Bian bergegas membekap mulutnya.
Ya Tuhan, dua manusia ini memang rentan membuat harga dirinya turun di depan orang-orang.
Bian berbisik sebal, "Kecilkan suaramu bisa tidak?"
Clara memandang kedua manusia itu dengan bingung. Ia berjinjit ingin menguping tapi tubuhnya terlalu kecil.
Anjani manggut-manggut lalu menurunkan telapak tangan Bian dari mulutnya. "Tapi kenapa?"
Bian terkekeh sekali lagi, ia mengusap wajah frustasi. "Lupakan sajalah. Ayo ikut ke ruanganku!"
Tanpa babibu Clara serta Anjani pun menyusul langkah pria itu, agak tergopoh-gopoh untuk Anjani karena tongkatnya tidak mampu menyamai langkah kaki manusia. Dan meski begitu, Clara tak pernah sekalipun berjalan lebih dulu. Anak itu selalu berjalan di samping guna menjaganya. Beda dengan Bian yang tidak pernah peka alias selalu berjalan lebih dulu meninggalkan mereka.
Dalam perjalanan pun Anjani tak luput dari sapaan-sapaan penghuni kantor.
Hingga akhirnya mereka tiba di ruangan kerja Bian yang sangat luas, harum serta nyaman, benda di dalamnya pun tersusun rapi. Sejenak Anjani mengagumi.
Tapi dimana Bian? Saat masuk ia tidak melihat pria itu berada di sini.
"Wah. Kulsinya gede bangett, empuk, ayo bunda coba duduk di sini," kagum Clara yang langsung menduduki kursi kerja Bian. Mengagumi benda besar nan empuk itu.
Anjani menggeleng cepat lalu menghampiri Clara cemas. "Clara cepat turun. Kamu nggak boleh menyentuh apa pun tanpa seizin pak Bian. Paham?"
"Biarkan dia." Bian mendadak muncul dari sebuah ruangan di sisi kanan. Dan ruangan itu tidak lain adalah toilet. Clara pun buru-buru turun sebab takut dimarahi Bian. Clara menunduk.
"Mau duduk hm?" Bian mengusap rambut anak itu.
Clara mengangguk pelan dengan cengiran manisnya. Dan tanpa Clara duga Bian tiba-tiba mengangkat tubuhnya yang mungil untuk duduk di kursi tadi.
"Horee." Clara bertepuk tangan. "Telima kasih Om."
"Oke."
Anjani mengulum senyum menanggapi sikap Bian.
"Mana makananku?" tanyanya membuat Anjani tersadar dari lamunan.
"Hah. I-iya maaf saya lupa, pak." Anjani lantas mendekat lalu memberikan rantang biru di tangannya. Bian menerima, pria itu langsung membuka isi rantang tersebut di atas meja.
Harum masakan itu menguar ke seluruh ruangan yang berhasil membuat perut Bian keroncongan. Pas sekali ini waktunya makan siang. Terutama habis meeting seperti tadi tenaganya seakan terkuras.
"Apa kamu tidak capek berdiri terus? Cepat duduk di sofa!" perintah Bian. Anjani mengangguk, sontak meminta Clara turun dari kursi Bian.
"Clara sini."
Clara menurut dan menghampiri Anjani yang duduk di sofa. Sedangkan Bian kembali duduk di kursinya sembari mulai menyantap semur jengkol buatan wanita itu.
Oh waw, Bian akui cita rasa masakan Anjani sesuai sekali dengan lidahnya.
"Ternyata tidak sia-sia aku meminta padamu. Masakannya lumayan enak," tutur Bian mengagumi. Anjani tersenyum malu-malu.
"Om suka masakan itu?" tanya Clara. "Cala nggak. Bau! "
Uhk.
Bian tersedak mendengar penuturan Clara. Apa anak itu bilang barusan? Kedengarannya menyindir sekali dengan selera lidah Bian.
"Clara diam." Anjani sontak menegur. Ia menggeleng tegas pada Clara. "Kamu lupa kata bunda? Kita harus menghargai selera orang."
Clara menggeleng polos. "Cala helan aja kenapa Om Bian suka." Kemudian berbisik ke telinga Anjani. "Pasti habis makan mulutnya bau."
"Shtttt." Anjani terpaksa membekap mulut putrinya. Namun sayang sepertinya Bian mendengar, terbukti dari ekspresi pria itu yang menatapnya dengan kurang bersahabat.
"Maafkan ucapan Clara, pak."
"Tidak masalah. Anak kecil memang tempatnya jujur."
Anjani menghembuskan napas lega dan demi mengalihkan perhatian Clara dari Bian, ia mengeluarkan boneka barbie untuk Clara mainkan dari dalam tasnya.
"Sekarang kamu duduk tenang sama Fio." Ya, boneka Clara itu bernama Fio. Clara sendiri yang memberinya nama.
"Wah Fio!" Clara lantas memeluk boneka kesayangannya itu.
13-Strange Request
"Oh ya, apa aku terlalu memberatkanmu? Maksudku kamu kan memakai tongkat, melangkah saja pasti sulit. Apa perlu aku persiapkan supir khusus untuk menjemputmu setiap siang?" tanya Bian, kembali membuka pembicaraan setelah perhatian Clara hanya tertuju pada Fio. Akhirnya anak itu diam juga. Memang kadang Bian kesal ketika Clara terus saja mengoceh apalagi menyindir dengan mulut jujurnya.
Mata Anjani melebar mendengar pertanyaan Bian, ia menggeleng cepat isyarat menolak. Lagi-lagi pria itu berlebihan, pikirnya. "Nggak usah, pak. Tapi kalau bapak mau, bapak sebaiknya persiapkan supir khusus, bukan menjemputku tapi mengambil makanannya saja, karena hanya minggu ini saya ada waktu luang untuk ikut mengantarkan."
Lain maksud Anjani dia akan selalu menolak tawaran Bian. Tetapi mengingat pria itu memiliki banyak kesibukan, pasti akan sangat merepotkan.
Bian menangkap ketidaknyamanan dari raut Anjani. Dia lantas mendengus pelan, "Tidak bisa. Aku hanya ingin menerima masakan itu langsung dari tanganmu dan juga makan tepat di hadapanmu," katanya bersikukuh.
"Tapi—"
"Memang kesibukan apa yang kamu punya minggu depan? Serahkan semuanya padaku. Aku akan mengirim orang-orang kepercayaanku agar mengatasinya."
Sontak Anjani dibuat membungkam. Dia kebingungan harus menjawab apa. Menolak lagi pun rasanya agak canggung. Anjani herannya, kenapa Bian begitu ingin ia yang selalu membawakan makanan untuk pria itu? Padahal menitip kan bisa. Lagipula Bian sudah tau bahwa Anjani memiliki toko kue yang kerap kali ia kontrol tiga kali seminggu.
"Minggu depan Clara kembali sekolah dan setiap siang saya selalu menjemputnya, pak," papar Anjani. Bian menelan makanannya lalu tersenyum meremehkan.
"Gampang."
Anjani mengerjapkan matanya heran.
Dan tangan pria itu tiba-tiba bergerak menelpon seseorang, "Cepat datang ke ruanganku," perintah Bian dalam tiga detik. Yang membuat Anjani ragu apakah orang yang ditelpon sudah menjawab atau tidak. Bian langsung mengakhiri panggilan.
Anjani mengernyit. Kira-kira siapa yang dihubungi Bian?
Tak lama pintu ruangan ini pun diketuk kemudian masuklah seseorang.
"Anjani?" Dia tak lain adalah Vanya. Wanita itu membulatkan mata kala netranya bertubruk dengan netra Anjani.
"Tante Vanya!" Clara menyapa. Belum juga keheranannya terjawab Clara lebih dulu mendekat dan memeluknya.
"Jadi yang tadi ditelpon Om Bian itu tante Vanya?" tanya Clara. Vanya menganggukan kepala sembari tersenyum. Wanita berseragam khas kantor itu hendak menghampiri Anjani, namun lewat delikan mata Bian mengisyaratkannya agar menghampiri.
Clara pun melepas pelukan, kembali ke sofa sedangkan Anjani menahan hasratnya bertanya.
Tiba di samping meja pria itu Vanya menautkan alis mendapati rantang biru—yang saat ia tatap lebih lama Vanya sadar isinya semur jengkol. Pftt. Ingin sekali Vanya tertawa.
Bian berdehem membuat Vanya tersadar.
"Eh. Ada keperluan apa, Pak?"
Sebelum menjawab Bian mengeluarkan dua lembar uang berwarna biru dari dompetnya, menyelipkannya ke tangan Vanya, "Ajak Clara belanja di kantin kantor ini. Belikan semua yang dia inginkan."
"Pak—" Anjani menyela lalu Bian berdecak sebal.
"Diamlah."
Tanpa bertanya banyak hal lagi Vanya pun segera menghampiri Clara, "Ayo Clara. Tante akan tunjukan semua makanan enak di kantor ini."
"Asikk." Dan namanya anak kecil kalau diajak jajan tentu tak akan menolak.
Sepeninggal Clara serta Vanya dari ruangan, Anjani lekas berucap pada Bian. "Terima kasih, pak. Terima kasih. Saya jadi merasa dengan membuatkan makanan saja tidak cukup membalas semua jasa bapak." Meski ia menilai apa yang dilakukan Bian justru berpotensi membuat Clara menjadi anak yang boros.
Bian terkekeh pelan. Dia lanjut menyuap makanan, mengunyah, lalu menelannya pelan-pelan sembari menatap Anjani, "Lah terus. Kamu ingin membalas kebaikan saya dengan cara apa?"
Anjani menyengir tipis. Benar sekali pertanyaan Bian, ia sendiri ingin membalas kebaikan pria itu tapi ia bingung bagaimana caranya. Mulai dari pengobatan, memanjakan Clara, serta meramaikan toko kuenya. Semua itu sangat membantu penghidupannya dan Clara.
Melihat Anjani yang terdiam, Bian menarik satu sudut bibirnya. "Kalau begitu saya punya lima permintaan."
Anjani mendongak menatap lekat pria itu. Alisnya bertautan.
"Pertama sudah kamu lakukan, yaitu membuat makan siang setiap hari untukku," ucap Bian dan Anjani pun menganggukan kepala. Baiklah, jika lima permintaan itu dapat membuat Bian merasa terbantu Anjani mau tak mau melakukannya.
"Sekarang permintaan kedua karena tepat sekali kamu berada di ruangan ini," lanjut Bian. Dia berdiri meninggalkan meja kerja dengan membawa kotak bekal yang masih berisikan setengah porsi. Menaruh benda tersebut ke meja tamu—tepat di depan sofa lalu mendaratkan pantat di samping Anjani.
Wanita itu menelan saliva kasar ketika Bian semakin mendekatkan wajahnya. Reflek Anjani memundurkan kepalanya.
"Ja-jangan terlalu mepet, pak," lirih Anjani. Tangannya mendorong pelan dada pria itu agar menjauh.
Bian menyeringai. Anjani menutup mata kala jarak makin terkikis bahkan hidung mereka nyaris bersentuhan, kepala Bian justru oleng ke telinga kiri wanita itu.
"Suapi aku," bisiknya membuat Anjani tergelak dan lekas membuka mata.
"Boleh?"
"I-iya boleh pak," sahut Anjani gugup. Gugup karena ia baru saja berpikiran aneh tentang apa yang ingin dilakukan pria itu. Anjani merutuki sikap konyolnya itu. Bodoh. Mungkin gara-gara melihatnya menutup mata Bian jadi menertawakannya cukup lama.
"Tapi bukannya tangan bapak baik-baik saja?" tanya Anjani polos.
Ekspresi Bian yang tadi menatapnya penuh senyuman kini malah mendatarkan bibir. Menghembuskan napas keras lalu membuang pandangan ke arah lain.
"Pekerjaanku terlampau banyak, jadi aku akan makan sambil disuapi olehmu sementara jari-jariku sibuk mengetik."
"Ohh." Anjani manggut-manggut dengan ekspresi tak pekanya.
Wajah Bian memerah kesal. Sial. Mengapa wanita itu tampak tidak terpengaruh sama sekali dengan godaannya tadi? Bahkan tak terlihat rona merah di wajahnya sedikit pun.
***
Anjani melangkah keluar ruangan Bian. Cukup lama dia berada di sana dan setelah makanan Bian habis barulah dia permisi pulang. Sementara bertepatan itu Clara baru kembali dengan banyak belanjaan di tangan.
"Makasih ya Om Bian sama tante Vanya," ucap Clara menatap bergantian subjek yang disebutkan. Vanya mengangguk tersenyum tipis begitu pula Bian.
Anjani ikutan berterima kasih lalu mereka berdua pun melangkah meninggalkan ruangan Bian. Anjani membawa kembali rantang kosong di tangannya dan satu tangan lain menggandeng Clara. Ya kosong, sebab Bian makannya lahap sekali layaknya belum makan dua hari.
Beruntunglah sebelum Clara selesai belanja dia telah selesai menyuapi pria itu. Jika tidak Clara pasti bertanya mengapa ia menyuapi Bian. Entahlah, Anjani tidak tahu sampai kapan ia bisa menyembunyikan permintaan kedua Bian tadi dari Clara. Lama-lama anak itu pasti akan tahu—baik sengaja atau tidak.
Baru Clara. Bagaimana kalau orang lain? Mereka mungkin menganggap dirinya memiliki hubungan khusus dengan Bian.
Namun karena asik melamun tiba-tiba Anjani tidak sengaja menyenggol bahu seseorang ketika mereka berpapasan. Alhasil, orang tersebut memekik panik.
"Ya ampunn handphone gue!" Dia melotot kaget melihat gawainya tergeletak naas di lantai keramik lalu menatap Anjani geram, "Lo jalan ngeliat pakai mata nggak sih hah?! Liat tuh hape gue jatuh."
Anjani kelabakan, ia menatap Laura penuh rasa bersalah, "Maaf mbak saya nggak sengaja. Saya minta maaf."
Lain untuk Clara yang memandang wanita berpakaian dress off shoulder merah itu dengan marah.
14-Numpang Makan Terus
"Maaf pala lo meledak! Untung hape mahal gue nggak pecah. Jual rumah aja lo nggak akan sanggup ganti hape gue!" omel Laura memandang Anjani sengit. Dia menelisik penampilan wanita itu dari atas sampai ke bawah. Sadar Anjani memakai tongkat ia langsung menarik satu sudut bibirnya.
"Oh ya ya ya. Lo ternyata pincang? Pantesan jalan aja nyusahin orang," maki wanita itu penuh kesombongan.
Anjani merapatkan bibir, dia tak mau membalas ucapan Laura. Toh, dia telah terbiasa mendengar kalimat tersebut dari mulut orang-orang. Anjani sudah kebal dengan semua hinaan serta perlakuan Seenaknya dari mereka.
Lain bagi Clara yang menggertakan rahang, kekesalannya bertambah kepada wanita sombong itu.
"Bunda nggak pincang tau! Cuma satu kakinya aja yang nggak bisa gerak," ucap Clara. Laura mengernyit dan mengangkat telunjuk di depan wajah gadis itu.
"Heh bocah ingusan diem lo!"
"Jangan menunjuk putri saya mbak." Anjani kesal melihat putrinya ikut dihina. Ia menurunkan telunjuk Laura dari depan wajah Clara. Jika tadi rautnya menunjukan rasa bersalah tapi kali ini ekspresi Anjani benar-benar marah.
"Apa lo?" tantang Laura melotot.
"Anjani?" Seseorang dari belakang memanggil namanya. Anjani menoleh dan berbalik sedangkan Laura melipat tangan di bawah dada.
Anjani menyipit, "Iya. Tapi bapaknya siapa ya? Saya belum kenal."
Pria berkemeja abu itu terkekeh pelan, "Gue Sani. Temennya Bian," jawab Sani, menatap Anjani dan Laura bergantian. "Lo berdua kelihatannya ribut. Kenapa dah?"
"Barusan hape mahal gue jatuh gara-gara ini si pincang!" seloroh Laura.
"Bunda nggak pincang tau!" tandas Clara dengan mata menyala. Dia menarik keras ujung gaun Laura hingga wanita itu nyaris oleng.
"Bocah! Jangan sentuh gue dengan tangan kotor lo itu," cacinya setelah menepis kasar tangan Clara. Gadis itu memberenggut kesal. Dia sedikit kesakitan karena tepisan Laura tapi Clara menutupinya dengan amarah.
"Clara ..." Anjani menarik anak itu menjauhi Laura.
"Lau lo baperan banget sih sama anak-anak!" ujar Sani terbawa emosi. Dasar Laura. Bahkan setelah dipermalukan oleh Bian wanita itu belum juga jera rupanya.
"Bukan masalah ini bocah Sani, tapi hape gue," tangkasnya menunjukan gawai di genggaman. "Kalau sampai hape ini rusak gue nggak punya lagi nomer Bian. Lo tau kan dapetin nomor my prince gue itu su... sah, pake banget!"
"Lebay lo," cetus Sani tak habis pikir.
Clara menakutkan alis menatap Laura, "Bian? Maksudnya Om Bian?"
Laura terperangah, "Lo kenal my Prince gue?"
"Om mphh—" Anjani bergegas membekap mulut Clara. Takutnya anak ini semakin menambah masalah.
"Bukan apa-apa mbak. Kami cuma sekedar kenal aja sama Bian," tutur Anjani menyengir tipis.
"Hooh. Lagian ngapain lagi lo lama-lama di sini? Pergi sana Hush. Merusak pemandangan kantor aja," ledek Sani.
Laura memberenggut kesal, "Gue juga eneg kali lama-lama deket ini wanita pincang!" Seketika Clara gregetan ingin menghancurkan baju wanita itu. Dia menarik baju Laura hingga empunya mendesis.
"Dih apaan sih lo bocah narik-narik baju gue?!" "
"Berapa kali aku bilang bunda nggak pincang," ujar Clara mengoreksi.
Laura tertawa cukup keras. Andai ini sinetron televisi, maka tawa itu terdengar sangat jahat di telinga mereka. Dia menghardik, "Terserah gue mau nyebut pincang, lumpuh atau apa kek. Toh emak lo itu tetap sama aja. Sama-sama nyusahin orang."
Rasanya Clara ingin sekali mencakar wajah Laura ratusan kali. Namun Anjani menahan pergerakan anaknya itu, Anjani memapar senyum tipis kepada Laura seolah mengatakan bahwa perkataan wanita itu bukan apa-apa baginya.
Melihat ekspresi wanita bertongkat itu Laura dibuat geli, "Gila kali malah senyam-senyum."
"Dasar Laura manusia uler. Mulut lo sekolah nggak?" sindir Sani, dia geram melihat sikap sombong, manja, dan lebay wanita itu. "Mau, gue kasih tau Bian lo datang ke kantor ini supaya nggak dibukain pintu hah?"
Oh tidak-tidak! Tentu saja Laura tidak ingin itu terjadi. Dia sudah bersusah payah—melewati terik matahari serta jalanan yang macet demi menemui Bian, Laura tidak mungkin membuang kesempatan emasnya ini.
"Jangan dong aelah." Laura menghentakan kaki geram, "Rese lo Sani Markonah!"
"Sialan uler!"
Kemudian Laura pun pergi dari hadapan mereka sambil mengibaskan rambut—tentunya dengan perasaan gondok.
Anjani menghela lega sembari mengusap pipi putrinya sedangkan Sani tertawa puas lalu menatap ibu dan anak itu.
"Sekarang lo berdua bisa pulang dengan tenang. Jangan terlalu dipikirin semua perkataan Laura," katanya.
"Thanks Om." Clara tersenyum begitu pun Anjani.
"Btw kalian habis darimana?"
Pertanyaan yang membuat Anjani seketika menggigit bibir bawah—tidak tahu akan menjawab apa. Dan sebelum Clara membuka mulut wanita itu segera permisi kemudian menarik tangan Clara menjauh dari hadapan Sani.
"Kami pulang dulu. Terima kasih."
Sani mengernyit bingung menatap kepergian mereka. Mungkin sedang buru-buru, pikirnya.
Sementara itu di waktu yang sama dan tempat yang berbeda, kesadaran Laura baru bekerja akan sesuatu.
"Kayaknya gue pernah liat itu perempuan deh? Tapi dimana gue lupa ish."
***
Malam ini Anjani memasak menu makan malam kesukaan Clara yaitu sup ayam wortel. Memang terkesan mainstream tapi Clara sangat menyukainya karena Anjani memasak penuh cinta.
Dan walaupun dengan gerak yang terbatas, tidak sama sekali mengikis semangat Anjani bahkan dengan senyum girang ia mengaduk masakan tersebut di panci lalu mencicipinya seujung sendok.
"Rasanya udah pas."
Anjani tersenyum.lalu mematikan kompor.
Sekarang waktunya memanggil malaikat kecilnya itu untuk turun, tetapi saat berbalik bel rumah berbunyi.
"Bi Ratih di luar ada orang," seru Anjani. Dua kali tidak ada sahutan dia pun memilih membuka pintu sendiri.
"Sebentar-sebentar," ucapnya mendengar bel terus berbunyi. Anjani berusaha menggerakkan tongkatnya lebih cepat menuju pintu.
"Siapa ya malam-malam begini?"
Setibanya Anjani langsung membuka pintu utama, betapa terkejutnya dia mendapati seorang pria berjas hitam berdiri sambil membawa tas kerja.
"Pak Bian."
"Selamat malam." Bian tersenyum sekilas. Tanpa menunggu arahan dia lantas melenggang masuk, membuat sang empu rumah menggelengkan kepala.
"Bapak kenapa nggak telepon saya dulu sebelum datang?" tanya Anjani menutup pintu.
"Apa aku menganggu waktumu?"
Anjani menggeleng lagi. Bahkan tanpa diberitahu pria itu berhasil memasuki dapurnya kemudian duduk di kursi ruang makan.
"Aku lapar. Berikan aku makanan," pinta Bian bersedekap.
"Saya nggak masak jengkol."
"Terserah, apa saja asal itu buatanmu, cepat saya lapar sekali!"
"Iya-iya."
Anjani pun pasrah. Beruntunglah dia membuat sup ayam tadi dengan porsi cukup banyak. Anjani menuangkan sup itu ke mangkok lalu menaruhnya di atas meja—tepat di hadapan Bian. Aromanya yang khas lantas memasuki indra penciuman pria itu—membuatnya begitu lapar.
"Dimana gadis bawel itu?" tanya Bian.
"Clara sedang tidur, pak. Barusan saya ingin memanggilnya turun untuk makan malam, tapi bapak tiba-tiba datang."
Bian menaikkan satu alis, merasa sedikit miris karena kalimat Anjani 'tapi bapak tiba-tiba datang'. Ya memang sih dia datang tanpa diundang—jadinya pekerjaan wanita itu tertahan.
"Jangan bangunkan dia dulu. Saya ingin makan sendiri."
Anjani manggut-manggut, "Bapak nggak kesasar kan? Sepertinya bapak baru pulang kerja."
"Pulang ke apartemen tidak akan membuatku dapat makanan secepat di rumahmu," jelas Bian menyeringai. "Toh anggap saja ini cicilanmu untuk membalas kebaikanku.
"Makanya kamu jangan senang dulu, masih ada tiga permintaan saya yang belum kamu kabulkan."
15-Cium Sembarangan🔞
"Enak," ujar Bian usai menghabiskan semangkuk sup-nya, kemudian menatap Anjani yang sedari tadi duduk di kursi sampingnya.
"Saya mau tambah lagi boleh?"
"Boleh kok pak. Saya membuat supnya cukup banyak." Anjani pun mengisi kembali mangkok tersebut dan memberikannya pada Bian.
"Ini." Langsung diterima oleh pria itu dengan tatapan nafsu. Anjani menggeleng pelan seraya menggerakan tongkat menuju kulkas.
"Masih panas pak dinginkan dulu ya," sarannya yang dihiraukan oleh Bian. Pria itu justru acuh langsung menyeruput kuah supnya.
Uhk.
Alhasil Bian tersedak akibat kepanasan. Tenggorokannya seolah tercekik.
"A-ni Uhk berikan air..."
"Ya ampun pak makanya pelan-pelan makannya." Anjani kaget, cepat-cepat dia mengambil sebotol air dingin dari kulkas, berusaha bergerak cepat memberikannya pada Bian.
"Kan saya bilang supnya juga masih panas."
Bergegas Bian merampas botol itu dari tangan Anjani. Menenggaknya hingga tersisa setengah nampak sekali dari jakunnya yang naik turun, sedangkan Anjani berinisiatif mengusap belakang pria itu. Dia tak habis kenapa pria seperfectionist Bian begitu kalap saat bertemu makanan.
"Bawel kamu," ledeknya ketika selesai minum. Bian mengusap sisa air di sudut bibirnya sembari membuang napas lega melalui mulut, bahkan jasnya yang hitam itu basah kena tumpahan air.
"Loh pak ngapain?" Anehnya bukan melanjutkan makan pria itu malah bersandar dipundaknya.
"Numpang bersandar sebentar, kuah supnya masuk ke hidung saya, kamu tidak liat saya sedang terengah? Panas. "
"Enghh iya bapak bandel sih dikasih tau," sebal Anjani.
Bian menggidikan bahu, dia memejamkan mata sambil sesekali mengintip memandang wajah Anjani dari samping. "Cantik."
"Bapak bilang apa barusan?" Samar-samar Anjani mendengar tapi tidak jelas.
Bian tergelak, "Enghh Tidak ada!"
"Pak jangan tidur ya."
"Iya. Enghh berikan aku air lagi. Rasanya napasku semakin sesak dan hidungku sakit," pinta Bian, mukanya melas.
"Serius pak? Gimana kalau kita ke dokter ya? Saya takut bapak kenapa-kenapa." Anjani memberikan air sekaligus membantu pria itu minum.
"Saya tidak apa-apa. Tapi lebih baik saya menginap di sini saja boleh?"
"Engh..."
"Seluruh badanku terasa lemas dan sulit digerakkan. Ini pasti akan berbahaya untuku menyetir."
"Ya sudah."
"Eh-eh pak. Ya ampun!" Tanpa Anjani duga pria itu oleng ke pundaknya, seolah hendak pingsan juga matanya sayup-sayup terpejam.
"Saya mengantuk."
"Kenapa bisa tiba-tiba?"
"Ya mana saya taulah!" Bian sebal wanita di sampingnya ini sulit sekali peka. Ya setidaknya menawarkan ke kamar agar beristirahat tapi malah terus bertanya.
"Bisa ambilkan ponselku di tas?"
Anjani mengangguk, dia mengambil ponsel pintar berlogo apel di gigit dari tas hitam pria itu.
"Langsung hubungi kontak dengan nama Sani, ponselnya tidak terkunci."
Anjani menggigit bibir bawah, lalu menatap Bian, "Saya nggak tau gimana cara bukanya, pak."
"Apa?" Bian tercengang, ia memijit pelipis sebab kepalanya semakin terasa pening. "Ini jaman digital masa kamu tidak tahu?"
"Enghh... Hape bapak beda dengan hape saya." Anjani pun memperlihatkan ponsel kunonya yang kecil.
Bian mendengus berat, "Ya Tuhan. Kamu istri seorang mantan pengusaha kenapa bisa kuno sekali sih?"
Anjani menggeleng sambil mengusap belakang kepala, menyengir dengan wajah tak berdosa ya, "Dulu mendiang mas Varo pernah memberikan saya ponsel model seperti itu, tapi saya kesusahan memakainya jadi saya simpan saja. Yah jadinya lama kelamaan saya lupa. Hehe. "
"Apa Varo tidak pernah mengajarkan cara memakai benda ini padamu?" Bian mengangkat ponsel canggihnya di depan wajah Anjani.
"Pernah. Sering malah, tapi saya menolak karena saya tidak ingin membuatnya repot. Toh saya sudah nyaman dengan ponsel lama ini," jelas wanita itu. "Mas Varo juga tak pernah memaksa saya mengikuti kehendaknya."
"Kamu ini bodoh atau terlalu baik hah? Kesal saya." Bian mengusap wajah dan itu membuat Anjani terkikik pelan.
"Saya wanita desa yang miskin, Pak. Dijodohkan dengan mas Varo saja saya sangat bersyukur. Jadi saya tidak mau apa-apa lagi, cukup dicintai Mas Varo saja saya sangat bahagia. Tapi saya nggak mengerti kenapa Tuhan mengambil suami sebaik mas Varo secepat itu, mungkin Tuhan terlalu sayang pada suamiku ya pak." Lalu Anjani membuang napas berat, ekspresinya menunjukan kekecewaan.
Bian terdiam mengangguk paham, tak sedikit pun ia ragu pada ucapan Anjani sebab dulu dia sering mendengar kalau Aldevaro sangat mencintai istrinya ini. Bahkan Aldevaro begitu memanjakannya, menuruti semua kemauannya.
Pantas saja karyawan-karyawan Halling Group milik Aldevaro dulu merasa sangat senang memiliki atasan seperti Aldevaro. Dan bukan berarti Bian merasa ia tidak becus mengurus Pradipta Group. Kalian lihat sendiri kan, semua karyawannya hidup dengan sejahtera. Sangat sejahtera!
"Sudahlah. Aku malas mendengar kisah cinta kolot kalian."
"Haha iya." Anjani terkikik pelan. "Tadi katanya bapak mengantuk?"
Bian tergelak, sial, dia sampai lupa kalau sedang berakting mengantuk. Bian pura-pura menguap, "Hoaam. Aku memang mengantuk apalagi mendengar ceritamu. Aku juga lelah."
"Saya antar ke kamar tamu ya pak."
"Ck, seharusnya sejak tadi kamu menawarkan itu."
Anjani terkekeh pelan, dia lantas tetap membantu Bian berdiri meskipun dia sendiri kesusahan berdiri.
"Pelan-pelan pak katanya badan bapak lemas."
"Iya bawel!"
Hingga setibanya mereka di kamar tamu di lantai dasar, Anjani menjauhkan lengan pria itu dari pundaknya dan Bian pun mendaratkan tubuh ke bibir kasur.
"Nah sekarang bapak bisa istirahat dengan tenang," kata Anjani tersenyum. "Saya keluar dulu ya pak."
"Tunggu sebentar."
Anjani telah berbalik namun pergelangannya kembali di tarik. Membuat wanita itu kehilangan keseimbangan dan bruk! Anjani kira ia akan jatuh ke lantai keramik tetapi ternyata ia jatuh ke atas tubuh Bian.
"Pak," Anjani mengerjap bingung saat sadar wajah mereka sangat dekat. Dia menahan napas. Dan tanpa Anjani duga pria itu menekan tengkuknya hingga bibir mereka menempel lama.
"Hmpph."
Kalau saja Anjani tidak menggeplak kepala pria itu secara reflek.
"Astaga bapak ternyata modus banget ya!"
Bukan hanya menggeplak, bahkan wanita itu juga memelintir bibirnya secara kasar.
"Awwh shttt. Swakit Anjwani!" Alhasil Bian menggulingkan badannya sambil meringis kesakitan menyentuh bibirnya.
Anjani buru-buru mengambil tongkat yang tergeletak dan meninggalkan kamar.
"Rasain! Itu balasan karena bapak berani nyentuh saya. Huh!"
***
Anjani POV.
Aku buru-buru ke kamar mandi untuk membersihkan bibirku, entah apa yang pak Bian barusan lakukan padaku itu sangat kelewatan dan membuatku kesal. Dia mencium bibirku dengan sengaja, bagian yang sangat aku jaga hanya untuk Aldevaro. Tapi pria itu merenggut kesuciannya setelah sekian lama.
"Bapak ngeselin banget sih pak," gumamku sembari mengusap bibir di depan cermin. Membersihkannya dengan air berkali-kali tapi aku tetap saja merasa kotor. Hish menyebalkan!
Aku menghembuskan napas pelan. Apa pria itu tak merasa malu dengan tingkahnya seenak jidat mencium wanita lain?
Ingatanku pun mendadak berputar saat aku memelintir bibir pria itu secara kasar. Ya ampun! Apa tadi aku memelintir bibirnya sangat keras? Pasti dia begitu kesakitan. Tapi biarlah! Itu adalah balasan. Aku tidak perlu merasa bersalah.
Aku pun kembali ke kamar tamu demi memastikan apa pria itu baik-baik saja. Hanya memastikan apa mungkin dia memerlukan obat luka karena bibirnya berdarah. Ck, berlebihan ya.
Pintu kamar itu sudah sedikit terbuka, aku pun mengintip dari celah dan kulihat pria itu berbaring ke samping membelakangi pintu. Mungkin telah tertidur lelap.
Baguslah.
"Sedang mengintip?"
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
