Janda Lumpuh Milik CEO (1-5)

42
13
Deskripsi

Judul : Janda Lumpuh Milik CEO

Genre : Romantic Comedy, Romance

Sinopsis :

"Saya mengerti. Dengan kondisi kamu yang cacat begini kamu pasti hanya ingin uang, kan. Mau seberapa banyak biar saya kasih?" 

Anjani Zelena hanyalah seorang wanita biasa, bahkan bisa dikata kurang sempurna, karena kecelakaan tragis dua tahun lalu yang bukan hanya merenggut nyawa sang suami tapi juga fungsi salah satu kakinya. Bersama sang malaikat kecilnya—Clara, Anjani seolah mendapat semangat baru menghadapi dunia yang penuh...

post-image-63b81df061a9e.jpg

Anjani

Seorang wanita mengelus kepala gadis kecil berumur lima tahun yang sedang terlelap, wanita itu bernama Anjani Zelena, cantik rupanya namun, tak secantik alur kehidupannya. Sejak dua tahun lalu mengalami kecelakaan yang menyebabkan satu kakinya lumpuh, Anjani juga harus menelan pil pahit saat Aldevaro, suaminya menjadi korban meninggal dunia.

"Bu Ani," panggil Ratih, asisten rumah tangganya di ambang pintu.

Anjani menoleh dan seketika langsung menyatukan telunjuk ke bibir, "Shtt. Jangan berisik, Bi. Clara sedang tertidur."

Bi Ratih lantas mengangguk. Sekarang bicaranya lebih memelan. "I-iya, Bu. Maaf. Saya cuma mau bilang ada temannya Ibu di bawah, mbak Farah."

"Baiklah. Saya akan segera turun, Bi. Bibi siapkan saja minuman untuk Mbak Farah."

"Siap, Bu." Kemudian Bi Ratih meninggalkan kamar.

Anjani menghela napas, lalu mengecup pipi Clara penuh sayang. "Bunda ke bawah dulu ya sayang. Selamat malam." Kemudian ia beringsut mengambil tongkat yang tersandar di nakas. Dengan hati-hati Anjani menyelipkan tongkat tersebut diantara tangannya. Memang ini adalah takdir yang harus Anjani jalani. Bahwa ia tidak sesempurna dulu lagi.

Anjani menatap dengan senyum foto mendiang Aldevaro di nakas. "Selamat malam, Mas. Aku merindukanmu."

Barulah wanita itu mematikan lampu dan mengeluari kamar Clara.

Tiba di lantai dasar ia disambut antusias oleh Farah.

"Anjani! Ya Tuhan gue kangennn."

Anjani pun balas memeluk temannya itu. "I too, Far. Udah lama banget ya kita nggak ketemu. Gimana keadaan keluarga kamu?"

"Sehat, An. Btw, gue hamil lagi nih anak kedua, hehe," jawab Farah sembari mengelus perutnya yang rata.

"Wahh selamat ya. Semoga kamu dan bayinya sehat terus." Anjani ikut bahagia.

Farah mengangguk dan mengedarkan pandangan. "Clara mana deh? Gue kangen itu anak."

"Udah tidur. Dia kelelahan karena tadi ada pentas tari di sekolah," sahut Anjani. "Duduk dulu yuk!"

Mereka pun duduk di sofa berhadapan.

"An, lo kenapa nggak nikah lagi aja sih?! Ya maksud gue biar lo nggak repot ngurus Clara sendirian," tanya Farah memulai obrolan.

"Melupakan nggak semudah itu, Far. Lagian aku nggak pernah merasa repot mengurus Clara," sahut Anjani. Ia menunjukkan sebelah kakinya yang tersembunyi di balik rok panjang. "Kaki ini nggak bakalan jadi halangan untuk aku menjalankan tugas seorang Ibu."

"Bukan itu maksud gue, An."

"Gini, Far. Aku udah berjanji sehidup semati sama mas Varo. Aku nggak akan mengkhianati dia."

"Dengan terus sendirian?" Farah mengusap pundak Anjani. Ternyata sahabatnya ini masih sama. Sangat-sangat setia. Farah tersenyum. "An, gue yakin. Di alam sana Mas Varo pasti tambah bahagia saat lo mau menikah lagi. Terus Clara juga bisa dapetin kasih sayang seorang ayah lagi."

"Pertanyaanya apa aku bisa menemukan orang seperti Mas Varo?"

"Eumm." Farah jadi kebingungan. Ia mendengus pelan. "Kemungkinan 50% nggak 50% iya," sahut Farah. "Tapi ya sudahlah. Gue males debat soal ini."

"Ini, Bu, Mbak minumnya." Bi Ratih datang membawa minuman.

"Terima kasih, Bi," kata Farah.

"Bi sekalian ambilin kue keringnya ya," pinta Anjani pada Bi Ratih.

"Siap, Bu." Bi Ratih pun kembali ke dapur.

"Eh, lo katanya resign dari kantor? Why?" tanya Farah penasaran.

"Bukan resign. Tapi emang dipecat."

"Oh Astaga! Tega banget sih bos lo." Farah menggeleng tak habis fikir.

"Wajar kok. Perusahaan mereka butuh orang yang sempurna, bukan lumpuh kayak aku," kata Anjani sembari menuang teh dari teko ke gelas untuk Farah.

"Kasihan. Terus gimana lo dapat pemasukan sedangkan perusahaan milik suami lo juga udah dibeli perusahaan lain. Apa ya namanya? ish gue lupa. Ada pra-pra gitu deh."

"Perusahaan Pradipta, Far."

"Nah itu. Setahu gue CEO nya ganteng banget deh sumpah! Coba aja lo ngelamar kerja di sana." Farah ini memang asal ceplos. Kadang nggak disaring sebelum bicara.

"Ngapain? Paling aku cuma jadi pajangan." Anjani terkekeh pelan. Dasar Farah! Meskipun sudah bersuami kadang mata sahabatnya itu tetap suka jelalatan. "Toh, aku sedang menjalankan bisnis kue juga. Cukup kok untuk memenuhi semua kebutuhan aku sama Clara. Kamu jangan khawatir."

"Kalo gitu ketemu CEO nya aja, besok gue temenin." Farah bersikeras hendak mempertemukan Anjani dan boss nya itu.

"Tapi-" Anjani terdiam, tidak mengerti dengan jalan pikiran Farah.

Farah memelas dengan memeluk lengan Anjani.

"Nonono! Ajak Clara sekalian kita jalan-jalan Oke?"

"Yasudah deh, iya." Anjani pasrah. Walau ada rasa sedikit takut untuk bertemu pria itu. Siapa namanya? Bian. Ya, kalau tidak salah seingat Anjani pria itu bernama Bian. Mereka pernah bertemu ketika Anjani harus mengurus berkas pemindahtanganan perusahaan.

Oh, jangan lupakan pria itu punya sifat yang angkuh, dingin, dan arogan. 

 

2 - Hei Boss! 


 Hari ini sungguh melelahkan untuk Bian. Bagaimana tidak? Seharian di kantor ia mengadakan sampai 3 kali meeting penting dengan perusahaan lain. Tapi ya mau bagaimana lagi, itu tugasnya menjadi seorang CEO di perusahaan Pradipta. 

Pria 27 tahun itu melonggarkan dasi yang terasa mencekik di lehernya. Bian lalu duduk dengan nyaman di kursi kebesarannya seraya menopang kaki ke atas meja, sungguh bossy. 

"Siang, pak," Sapaan itu bermuara dari Vanya—sekretarisnya yang suka melenggang masuk tanpa mengetuk pintu. 

Bian seketika melipat tangan di dada dan berdecak malas, "Ini terakhir kalinya saya melihat kamu masuk tanpa mengetuk pintu. Mengerti?" 

"Hehe, iya, Pak." Vanya hanya menyengir, berusaha menetralisir keadaan. "Saya ulangi nggak nih?" 

"Ck, nggak usah. Saya ingin istirahat. Cepat katakan apa keperluan kamu," katanya to the point.

Vanya mengulurkan sebuah dokumen. "Ada dokumen yang perlu ditandatangani, Pak. Saya lupa sehabis meeting tadi langsung ngasih ke bapak." 

"Dasar ceroboh!" maki Bian yang membuat Vanya mendesis.

"Dasar Arogan!" Sayangnya wanita itu cuma berani menggerutu di hati. Sabar Nya.

"Nih, sudah. Cepat keluar!" 

"Iya, Pak santai." Vanya segera mengambil dokumen yang telah ditandatangani itu. Hish nyebelin banget deh punya bos kayak gini, kalau bukan gantengnya mana mau Vanya kerja lebih lama lagi. 

Sementara Bian kembali menyandarkan punggungnya dan menutup mata. Ia butuh istirahat walau sejenak saja.

"Tunggu sebentar," tanpa Vanya duga bos menyebalkan itu kembali memanggilnya. 

"Kenapa, Pak?" Vanya menoleh.

"Saya haus, segera buatkan saya Mocca dingin, saya tunggu lima menit," pinta Bian.

Vanya menganggukan kepala. "Iya, Pak." 

"Oh ya esnya jangan terlalu banyak." 

"Iya." 

Cepat-cepat Vanya keluar ruangan dengan hati dongkol dan sedikit membanting pintu membuat Bian terganggu. 

"Dasar." Bian tak habis pikir dengan tingkah Vanya. Entah kenapa wanita itu selalu saja terlihat misuh di depannya. Memang apa yang salah dengan dirinya? Ia tampan, kaya, dan punya segalanya. Seharusnya Vanya bersyukur punya bos sepertinya. Tapi wanita itu sudah menikah, ck, jika belum maka Bian.... eitss, jangan pikir dia yang bersedia menikah wanita itu. Tidak-tidak. Justru akan ia tawarkan Vanya pada seorang psikopat. 

Bicara soal menikah, Bian jadi teringat permintaan mendiang ayahnya bahwa ia harus segera menikah sebelum usia 28 tahun. 

Hei. Apa itu? Apakah ada peraturan di dunia ini yang melarang pria menikah lebih dari 28 tahun? Entahlah. Namun permintaan terakhir ayahnya pasti Bian lakukan.

Masalahnya di sini, ia belum menemukan wanita yang tepat untuk dijadikan pendamping hidup. Bahkan ia telah beberapa kali dijodohkan dengan banyak wanita cantik pilihan ibunya, Bian belum menemukan yang cocok. 

Ya belum, karena semua wanita pilihan itu tidak benar-benar mencintainya. Mereka hanya melihat tebal dompetnya saja. 

Bian bergumam, "Kira-kira dimana lagi aku bisa menemukan wanita yang aku mau?" 

***
 "Duh, sumpah deh! Gue rasanya mau resign aja, Cit," gerutu Vanya pada Citra. Usai keluar dari ruangan Pak Bian ia langsung menceritakan kekesalannya tadi pada Citra. 

"Ngomong aja enak, entar sesudah resign nyesel lo nggak dapat kerjaan."

"Ya itu masalahnya, kalo resign gue nggak jamin langsung dapat kerjaan." Vanya mulai bimbang.

"Enggak usah kerja aja napa, Nya. Lo kan udah laki. Mintalah sama laki lo," sahut Seza.

"Iya sih. Tapi gue lebih nyaman pakai duit sendiri. Lebih puas," jawab Vanya. "Eh, gue keburu laper nih. Yuk ah makan siang," ajaknya pada Citra dan Seza. Tetapi belum saja melangkah tangan Citra ditahan.

"Hai, by." Dan yang menahannya adalah Gio, pacarnya yang juga kerja di kantor ini. Gio tanpa malu mengecup pipi Citra.

"Makan siang bareng oke?" 

Citra mengangguk, kalau ada Gio ya tentu saja tawaran pria itu lebih penting.

 "Duluan ye, Nya." 

Vanya dan Seza berpandangan lalu mengangguk pasrah.

Drtt-Drtt.

Lalu tiba-tiba gawai Vanya bergetar tanda telepon masuk. "Tunggu, Za." 

Vanya mengangkatnya dan seketika ia menepuk jidat. 

"Astaga gue lupa!" 

***
 "Lama banget sih Bun tante Farah," ujar Clara yang sedang menyantap mie ayam. 

"Tunggu, Rara sayang. Pasti mbak Farah nyamperin kita kok. Sabar ya," bujuk Anjani mengusap rambut Clara. 

"Clara capek, kakinya pegel habis jalan-jalan ke mall. Sekarang ngapain mbak Farah ngajak ke sini?" 

"Tante Farah ingin mempertemukan kita dengan seseorang." 

"Apa orang itu penting?" 

"Tidak. Tapi bagi tante Farah orang itu luar biasa. Jadi kita harus membantunya, mengerti sayang." 

Clara akhirnya mengangguk, lanjut menyantap mie ayamnya begitu lahap. "Ya sudah, demi Bunda dan tante Farah."

Anjani pun tersenyum samar. Ada sekitar 15 menit sudah mereka berada di sini, tepatnya di warteg pinggir jalan yang berseberangan langsung dengan kantor Pak Bian. 

Ya tentu saja Farah yang mengajaknya ke sini. Wanita itu memang tidak main-main pada ucapannya. Namun bermenit-menit menunggu Farah belum kembali. Padahal wanita itu bilang ingin menemui temannya yang adalah sekretaris Bian sebentar saja. 

"Bunda ayo makannya dihabisin. Entar tantenya keburu datang," ujar Clara mengingatkan. 

Anjani menghela napas, ia lanjut menyantap soto ayam sembari menunggu Farah datang. 

***

"Sorry, Far. Gue kelupaan ada janji sama lo. Gara-gara si Bian nih," kata Vanya. Tergopoh-gopoh ia menghampiri Farah.

Farah bersedekap. "Iye-iye. Maaf tuh sama Anjani bukan sama gue." 

"Siapa Anjani, gue baru denger itu nama?" 

"Temen guelah. Dia pakai tongkat, Nya."

"Lumpuh?" 

"Kecelakaan dua tahun lalu. Suaminya meninggal, dan sekarang dia hidup sama anaknya." 

"Kasihan."

"Buruh ah. Entar temen gue kenapa-napa."

***

Bian tak peduli pada tatapan-tatapan aneh yang sekarang terlayang padanya. Pria itu berdehem singkat lalu memasuki warteg. Astaga! Kalau bukan karena Vanya lupa memasukkan gula ke dalam kopinya, ia tidak mungkin sampai di sini demi menghilangkan rasa pahit yang masih tersisa di lidahnya. 

Setelah pesanannya selesai dibuatkan, Bian melangkah menuju meja kosong yang tersisa namun tiba-tiba.

Bruk

"Aduh." Seorang bocah menabraknya, alhasil susunya tumpah mengenai seragam Bian.

"Heh anak kecil, kamu mengotori baju saya!" kesal Bian menatapnya.

"Ma-maaf, Om." Gadis bergaun pink itu mulai ketakutan melihat wajah sangar Bian. Ia menunduk dalam.

"Makanya jangan bermain di tempat seperti ini. Main sana di rumahmu!" 

"Iya Clara minta maaf. Clara nggak main. Hiks-hiks. Bundaa..." Sekarang Clara menangis dan menutupi keduanya matanya dengan telapak tangan. Lantas mereka berdua jadi sorotan.

Bian berdecak sebal. "Sudah jangan menangis. Ini memang salah kamu. Lihat baju saya kotor." 

"Hiks.. hiks.." 

Anjani melihat ada keributan kecil. Ia khawatir sebab ia baru saja mengijinkan Clara membeli susu sendiri. Dan mendapati Clara menangis membuat Anjani mempercepat gerakan tongkatnya. 

"Clara. Ada apa?" 

Clara berlari memeluk Anjani, matanya sembab. "Bunda aku dimarahin Om itu. Clara nggak sengaja nabrak dia, Bun." 

Melihat siapa yang ditunjuk Clara, Anjani membulatkan matanya. "Pak Bian?" 

 

3- Si Galak dan Menyebalkan

Permasalahan diselesaikan secara baik-baik. Kini Anjani, Bian dan Clara duduk satu meja. Walau Bian terlihat ogah-ogahan.

"Saya benar benar minta maaf atas kesalahan anak saya, Pak," kata Anjani. Ia duduk di samping Clara yang memeluknya. Bocah itu masih terlihat ketakutan karena raut datar Bian.

Bian berdehem singkat dan menetrasilir kecanggungan. "Sudahlah. Saya bosan mendengar itu dari mulut kamu."

"Tapi baju bapak kotor. Apa perlu saya cuci dulu?"

Bian menggeleng. "Tidak usah. Itu hanya akan membuang waktu. Biar saya ganti di kantor saja." Ia melirik sekilas Clara. "Kenapa anakmu itu?"

"Dia masih ketakutan, Pak." Anjani mengelus kepala Clara dan meminta gadis itu berhenti memeluknya.

"Katakan padanya saya bukan monster yang harus ditakuti."

Anjani mengangguk. "Clara."

Clara berbisik sembari diam-diam menatap Bian. "Dia masih marah, Bun?"

"Enggak. Dia nggak marah lagi sama kamu. Ayo sekarang kamu minta maaf yang benar."

Jadilah Clara melepas pelukannya dari sang Bunda lalu menunduk seraya berkata pada Bian. "Maaf, Om. Clara salah. Clara janji nggak mengulanginya."

"Hmm."

"Tadi kamu mau beli susu, kan?"

Clara mengangguk kecil, kini dia berani menatap Bian.

"Ambil ini. Sekarang beli dua, satunya untuk saya." Bian mengulurkan selembar uang.

"Nggak usah, Pak. Pakai uang-"

"Ini untuk Clara. Bukan untuk kamu," sinis Bian pada Anjani.

"Makasih ya. Om."

"Ya."

Clara pun menerima uang tersebut dan beranjak membeli susu putih kesukaannya. Mereka masih berada di warteg tadi jadi Clara tidak perlu pergi jauh.

"Saya sepertinya pernah melihat kamu." Sepeninggal Clara Bian mengambil kesempatan bertanya. Sebab ia seperti mengenal Anjani tapi Bian lupa dimana.

"Kita pernah bertemu dua tahun lalu, Pak. Saya Anjani, istri pemilik perusaan Haling yang saya jual ke bapak."

Bian terdiam sejenak, lalu dia manggut-manggut ingat. Ternyata dia Anjani, istri Aldevaro yang meninggal dua tahun lalu karena kecelakaan. "Oke, saya ingat. Kenapa kamu bisa sampai ke sini?"

"Farah. Teman saya yang mengajak ke sini. Farah hendak mempertemukan saya dengan bapak." Anjani tak peduli lagi bagaimana respon Bian. Ia merasa malu sekarang.

"Untuk?"

"Saya juga tidak tau niat sebenarnya apa."

"Aneh." Bian menggeleng seraya berdecak. Dia menyorot penampilan Anjani dari bawah ke atas. Dengan rok panjang semata kaki, kemeja putih panjang dan rambut dikuncir satu, wanita itu tampak sedikit kuno.

"Sebaiknya kalian pulang saja. Waktu istirahat saya sudah habis. Dan tidak penting juga untuk saya bertemu kalian yang hanya menambah masalah."

Pupil Anjani melebar. Ia tak menyangka Bian akan mengatakan itu. Apa maksudnya Anjani ini sumber masalah baru?

"Maksud bapak?"

Bian tersenyum sinis. "Saya paham. Dengan kondisi kamu yang seperti kamu hanya ingin uang, kan. Mau sebesar apa biar saya kasih?"

Tangan Anjani di bawah meja terkepal. Andai mereka berada di kesunyian, ia tak segan menampar Bian. Sayangnya Anjani malas melebarkan masalah.

"Sombong banget sih?! Asal bapak tau saya punya uang cukup untuk menafkahi anak saya. Saya tidak perlu sepeser pun uang dari bapak!" Anjani marah. Ia lalu meraih tongkatnya yang bersandar. Ia berdiri dengan tatapan menghunus ke arah Bian. Seolah ingin menelan pria itu hidup-hidup.

Anjani sudah mengatakan bukan? Ia sangat malas bertemu lelaki sombong dan arogan seperti Bian yang bisanya hanya menyakiti hati orang lain. Sangat berbeda dengan Aldevaro yang penyayang.

"Ini susunya, Om." Clara tiba-tiba datang dan dengan senyum tak berdosanya itu mengulurkan segelas susu pada Bian.

"Kita pulang Clara," pinta Anjani membuat Clara menoleh heran.

"Tapi clara masih mau minum susu, Bun."

"Tinggalkan susu itu, kita beli di tempat lain saja. Kamu sayang Bunda, kan?" Clara tampak cemberut tapi dia menurut. Clara menaruh gelas susunya ke meja.

"Ini uang bapak saya kembalikan. Saya tidak perlu sumbangan. Terima kasih." Anjani menaruh beberapa lembar uang di meja dengan gerakan tak santai. Menyiratkan ia sedang marah. Wajah Bian memerah.

Sedangkan Clara menatap bingung Anjani dan Bian. Dia heran apa yang sudah terjadi tadi. Namun ketika Clara ingin bertanya Anjani lebih dulu menggenggam tangannya dan melangkah pergi. Terpaksa Clara mengikuti. Dan sebelum itu ia melambai pada Bian.

"Dadah, Om." Cih. Bian semakin dibuat naik darah atas sikap sombong Anjani. Ya sombong menurutnya.

"Eh Ani lo kemana?" Farah mendadak datang.

Anjani menggeleng pelan. Matanya berkaca-kaca. "Aku pulang, Far. Sudah cukup aku ketemu sama bos kamu."

"Astaga elo sih kelamaan, Nya," kata Farah.

"Kok gue?" Vanya enggan disalahkan.

"Gimana-gimana, An? Ganteng kan? Lo ngomong apa aja sama Pak Bian?"

"Aku nggak peduli, Far. Aku hanya ingin pulang. Aku capek," jawab Anjani lesu. Detik itu pun Vanya dan Farah saling berpandangan. Sepertinya ada yang tidak beres, pikir mereka.

"An lo bisa pulang sendiri?" Farah prihatin. Ia menatap Anjani kasihan.

"Aku bisa melakukan semuanya sendiri, Far. Ayo Clara."

Clara menurut dan dia melambai pada Farah dan Vanya. Tersenyum memperlihatkan gigi kelincinya. "Dadah tante. Makasih traktirannya ya. Ketemu lagi."

Farah dan Vanya pun menghela pasrah, mereka membiarkan Anjani pergi. Nanti saja Farah harus bertanya apa barusan masalah wanita itu dan Bian.

Tepat saat mereka berdua lanjut melangkah, mereka berpapasan dengan Bian.

"Hai, Pak. Gimana--"

"Ajari temanmu itu untuk bersikap yang sopan. Saya risih melihatnya. Dasar wanita cacat!" Tanpa berkata sepatah kata lagi Bian pun berlalu. Rautnya tampak menahan emosi.

Vanya menghela napas.

"Astaga! Emang ada apa sih, Far?"

"Ya mana gue tau. Kan gara-gara elo kelamaan."

"Gue mulu disalahin, Oon."

***

Bian mengganti kemeja yang kotor tadi dengan yang baru. Usai itu lelaki tersebut duduk di kursinya untuk kembali bekerja. Ada beberapa dokumen baru di atas sana. Ia pun membuka laptop dan mulai melakukan pekerjaannya.

Beruntung Bian membawa kemeja cadangan. Jadi dia tidak perlu lagi menelpon sang supir untuk membawakan kemeja dari rumah. Namun tetap saja sial, karena waktunya sedikit terbuang demi mengganti kemeja. Asal kalian tau saja, Bian adalah orang yang sangat menghargai waktu.

Gara-gara Anjani. Ya tentu wanita cacat itu yang salah. Kenapa sih dia tiba-tiba datang mengacaukan harinya?

Oh jangan lupakan Vanya, Bian juga harus memarahi sekretarisnya itu.

Apa maksudnya mengajak Anjani bertemu dengannya? Sangat konyol dan tidak masuk akal.

Entahlah. Bian malas memikirkannya.

"Dasar wanita cacat!"

Tok-tok

Pintunya diketuk.

"Masuk." Tampaklah seorang lelaki berkemeja. Sani. Dia teman Bian yang bekerja di sini.

"Ngapain lo? Gue kerja. Nggak mau diganggu." Bian lebih santai saat berbicara dengan Sani. Bahkan tak segan mengubah panggilan formalnya.

"Santai, Bi. Gue cuma ngasih undangan party nih. Lo mesti datang." Sani mengulurkan party card berwarna merah.

"Party siapa?"

"Ya si Laura lah. Emang siapa lagi temen sekampus kita yang sering party?" Sani menepuk pundak sahabatnya itu.

Bian mengernyit kurang percaya.

"Seriously, lo tamu VIP. Noh liat undangannya."

Bian pun mengambil dan membaca undangan tersebut. Seketika ia mengusap wajah frustasi. Ia terjebak perangkap sang penyihir bernama Laura.

"Lo nggak akan bisa nolak, Man. Ingat bokapnya Laura salah satu pemegang saham di perusahaan lo. Hahaha."

"Sialan!"

Hari yang sungguh sial. Tadi Anjani sekarang Laura.

Bian tidak mungkin bisa menolak wanita licik tersebut. Bahkan mereka sempat dijodohkan tanpa keinginan Bian.

***

Anjani masih sedikit kesal atas kejadian siang tadi. Terutama saat Bian merendahkan dirinya. Pria sombong itu sungguh jahat telah menyamakan Anjani sebagai wanita yang haus akan harta.

Sungguh menyebalkan! Pak Bian sombong! Galak! Arogan!

Sedang asiknya melamun pintu kamarnya diketuk. Masuklah Clara.

"Hei belum tidur sayang?"

"Mau tidur sama Bunda. Clara kangen dongeng."

"Boleh sini."

Clara menaiki ranjang dan memeluk Anjani .

"Udah sikat gigi belum?"

"Udah dong. Iiii." Clara memperlihatkan gigi kecilnya.

"Pinter banget. Kalo Clara sikat gigi tiap malam Bunda makin tambah sayang sama Clara."

"Bunda tadi kenapa kita mendadak pergi? Aku padahal belum mengucapkan terima kasih sama Om Bian," tanya Clara.

Anjani tersenyum tipis. Clara masih kecil, jadi dia pasti belum mengerti masalah orang dewasa. 
"Nggak papa. Lagian Bunda sudah berterima kasih duluan."

"Sepertinya Om Bian baik ya, Bun. Tapi mukanya sedikit menyeramkan."

"Makanya kita tidak perlu membahas Bian lagi. Sekarang tidur oke?" Anjani mencubit gemas pipi Clara.

"Andai papa masih ada. Clara mau didongengkan sama papa."

Perkataan Clara seolah membuat hati Anjani tertusuk ribuan jarum yang tajam. Anjani membuang napas berat.

"Papa ada kok. Di hati Bunda dan di hati kamu."

Namun namanya anak kecil, tak selalu mudah dibujuk termasuk Clara. Dengan raut melas dia menatap Anjani. "Aku mau papa, Bun."

"Sayang-"

"Clara pengen Bunda nikah lagi. Biar Clara punya papa baru."

Anjani dibuat gugup. Ia menelan Saliva kasar.

"Dan Clara janji kok nggak melupakan papa Varo. Clara selalu sayang sama papa Varo."

Sulit bagi Anjani untuk membuka hati kembali, karena sampai sekarang rasa cintanya hanya untuk Aldevaro. Walau dia telah tiada, Anjani seolah mampu merasakan kehadirannya.

"Kamu kecapekan nih. Tidur ya."

Mengangguk pasrah, Clara pun berbaring dan menarik selimut sebatas dada. Sedangkan Anjani berbaring menyamping seraya mengusap-ngusap lembut kepala anak itu. Pikiran dan hatinya seakan sedang bertarung, antara bertahan dengan cintanya atau mencari pendamping hidup baru demi Clara.
 

4-Pesta

"Babe, lo jadi datang nggak?" tanya seseorang di seberang, mengejutkan Bian yang baru saja menekan speaker gawainya di nakas.

Siapa lagi orang itu kalau bukan Laura, Wanita paling Bian hindari di dunia ini. Dia wanita yang sombong dan bersikap sangat manja. Bian benci tipe wanita seperti itu.

So, for your information, Laura merupakan anak salah satu rekan bisnis mendiang ayahnya--Baskara. Persahabatan mereka dulu begitu erat sekaligus berarti, sampai Baskara tak tanggung-tanggung berpesan agar menikahi anak rekan bisnisnya itu saja. Tidak boleh wanita lain.

Menghela napas pelan lalu melepas kaos kakinya sambil duduk di tepi ranjang Bian bergumam malas, "Hm."

"Astaga, Bi. Jangan malas gitu dong. Kamu tamu VIP, kedatangan kamu spesial banget buat aku," rengek Laura manja.

"Memang saya peduli? Kamu bukan siapa-siapa buat saya. Bahkan cuma orang asing." Bian menegapkan punggungnya, berbicara lebih tegas.

"Ish. Aku ini calon tunangan kamu, ingat nggak sih, Bi?"

Semakin diladeni maka wanita itu akan makin seenak hati, Bian memutar bola mata jengah.

"Mengerti arti kata 'calon' kan? Itu artinya kita belum terikat hubungan apa pun dan saya punya hak membatalkan rencana pertunangan kita, jadi saya tidak perlu repot-repot menuruti permintaan kamu," tukas Bian.

"Tapi Bi--"

"Sudahlah. Saya sibuk."

"Bi, jangan ditutup ishh..."

Bian pun menutup telponnya tanpa ragu. Ia merebahkan tubuhnya sembari menatap langit-langit kamar. Memejamkan mata sejenak seolah meluapkan sejenak rasa lelah di sekujur tubuhnya.

"Dasar penganggu! Kapan aku hidup tenang tanpa wanita-wanita seperti dia?" gumam Bian, meratapi hidupnya yang selalu saja dikelilingi wanita-wanita aneh. Manja seperti Laura, menyebalkan seperti Vanya, dan banyak lagi lah, Bian enggan mengingat nama mereka satu persatu.

Tok-tok.

Tiba-tiba pintu kamarnya diketuk, ogah-ogahan Bian pun bangun lalu membukakan pintu.

"Selamat malam, tuan. Ini ada dua paket untuk tuan," ujar seorang pelayan pria, menunduk mengulurkan dua kotak berwarna biru serta pink.

"Siapa pengirimnya?"

"Satunya dari tuan Sani, dia bilang tuan harus memakai seragam pemberiannya saat datang ke pesta nona Laura malam ini," jawab si pelayan, "Dan paket pink ini hanya ada tertera huruf 'C' tuan."

Bian mengernyit, malas pikir panjang ia langsung menerima kedua paket itu. "Yasudah pergi sana."

"Baik tuan."

Bian pun kembali duduk ke tepi ranjang. Paket Sani ia taruh dulu sedangkan paket pink tadi segera Bian buka, betapa kagetnya ia menemukan boneka T-rex berukuran kecil.

Cih, pasti ini ulah bocah kurang kerjaan. Akhirnya malah menganggu orang lain.

"Boneka dinosaurus? Dia kira aku anak kecil apa," Pftt. Kekesalannya bertambah ketika ia meremas boneka itu, justru mengeluarkan bunyi. "Sialan! Dia benar-benar menghinaku!"

Bian kepalang kesal, ia keluar kamar kemudian memanggil seorang pelayan yang kebetulan lewat.

"Hei kau cepat ke sini!"

Pelayan itu menghampiri.

"Ambil ini dan berikan untuk anakmu." Bian mengulurkan boneka t-rexnya.

Pelayan itu dibuat bingung.

"Jangan banyak tanya, cepat bawa benda itu pergi! " perintah Bian.

"I-iya, tuan. Terima kasih."

Tidak ingin gajihnya menurun pelayan itu pun mengangguk dan pergi membawa boneka tadi.

***

Bukan Laura namanya jika tidak membuat pesta mewah. Bertempat di hotel berbintang lima di kawasan Jakarta. Ribuan tamu yang datang pun bukan dari kalangan biasa.

Mereka mengenakan dress dan jas mahal, tentu saja dengan harga di atas ratusan juta. Selain itu dekorasi pestanya juga sangat memanjakan mata.

Oh tentu, Laura tidak mungkin mempermalukan dirinya sendiri dengan membuat pesta yang terlalu biasa. Toh, apa kata mereka nantinya? Mengingat ia merupakan putri seorang pembisnis sukses di kota ini. Ia harus terlihat elegan serta mewah.

Mata wanita itu menjelajah sekeliling, mencari-cari keberadaan seseorang yang sejak sepuluh menit lalu ia tunggu. Tapi lagi-lagi Laura berdecak kesal, Bian selalu saja datang terlambat ke pestanya. Huh, padahal pesta ini tak lain ia tunjukkan untuk pria itu. Untuk mengumumkan kepada semua tamu bahwa mereka berdua akan segera bertunangan.

"Lo cari siapa sih, Lau? Dari tadi gue ngomong lo acuhin aja," keluh Zeya, temannya.

Laura mengelak, "Eh, enggak ada."

"Lo nyari Bian?" Zeya menyipit curiga.

Seketika Laura terdiam.

"Halah, Lau. Dia kayaknya nggak bakalan datang deh, secara kalian berdua kan dijodohin, hahaha," ujar Zeya dengan sorot mata menyindir.

Zeya merupakan teman dekatnya, juga salah satu anak rekan bisnis ayahnya. Tapi meskipun begitu, Zeya tidak pernah segan membullynya, apalagi menyangkut soal Bian. Ya wanita itu tau, bahwa Bian tidak sudi dijodohkan dengannya.

Lagipula apa peduli Laura?

"Gue yakin tunangan gue bakalan datang, lo liat aja," ucap Laura berani.

"It's oke. Tapi lo siap-siap menerima tantangan gue andai Bian nggak datang." Zeya tersenyum kecut. Ia mencondongkan wajah menghadap Laura. "Lo mesti joget di depan semua tamu undangan. Gimana?"

"Nggak takut tuh," jawab Laura, walau kini ia dibuat tegang. Lagi pula kalau menolak, Zeya justru makin membully lalu menebar gosip buruk tentangnya.

Sialan babe, kamu dimana sih? Kan malu aku tu kalau disuruh joget, batinnya menggerutu.

"Sebaliknya, lo mesti menerima tantangan gue saat Bian datang. Lo harus minum semua minuman bekas milik tamu."

"Siapa takut. Hahaha." Zeya tertawa lepas, ia merasa tidak takut sedikitpun pada tantangan itu. Ia yakin seratus persen Bian tidak akan datang.

Selang detik kemudian Yura--pelayan pribadi Laura menghampiri mereka.

"Nona, tuan Bian sudah datang. Dia sedang menuju ke sini," ucapnya. Membuat mata Laura berbinar sedangkan Zeya tercengang di tempat.

"Seriously?" kata Laura.

"Iya, Nona. Tuan Bian baru saja keluar dari mobilnya."

"Hahaha." Laura balas tertawa menghadap Zeya. "Lo kalah Ze, minum tuh semua minuman bekas tamu."

Zeya lantas gelagapan, dia ingin pergi namun tangannya dicekal Laura.

"Mau kemana lo?"

"Lepas! Gue mau ke toilet." Zeya menghempaskan tangan Laura kasar, ia bergegas lari melewati kerumunan tamu.

"Pengecut!" maki Laura. Ia kemudian memanggil bodyguardnya. "Bimo!" Yang dipanggil pun datang. "Awasi dia, jangan biarkan dia keluar hotel ini."

"Siap Nona!"

Meninggalkan masalah dengan Zeya, Laura pun buru-buru menghampiri Bian yang pasti menunggu sambutan darinya.

***

Kaki jenjang milik pria itu menapaki lantai ballroom hotel, punggungnya yang tegap dan wajahnya yang menawan menarik semua pasang mata. Terutama wanita.

Ya pria tampan berjas hitam itu tidak lain dan tidak bukan adalah Bian Pradipta, pemilik  Pradipta Group yang ketus nan datar.

"Selamat malam, sayang," sapa Laura tersenyum lebar sembari menautkan pergelangannya di lengan Bian. "Thanks ya sudah datang, aku senang bangett."

"Hmm." Bian mengangguk tanpa mau menatap Laura. Pandangannya lurus me depan seraya terus melangkah. "Saya ke sini juga terpaksa."

"Ish." Laura cemberut. "Aku bikin pesta ini khusus buat kamu loh."

"Hari ini bukan ulang tahun saya."

"Iya tau kok. Pesta ini memang bukan untuk ulang tahun siapa pun. Tapi untuk mengumumkan acara pertunangan kita."

Mendengarnya langkah Bian terhenti, ia melepas pelan rangkulan Laura dari lengannya. "Maksud kamu?"

"Iya pertunangan kita, Bi. Kan aku sudah bilang dari kemarin." Kini ekspresi Laura makin murung. Bian sangat menyebalkan. Dia seperti tidak menghargai kerja kerasnya sedikitpun.

"Tapi saya juga sudah mengatakan kalau saya belum siap menikahi kamu," ucap Bian dengan nada sedikit tinggi. Sontak beberapa tamu di dekat mereka menatap penuh heran.

"Shttt, kamu pelan-pelan dong ngomongnya. Jangan bikin malu."

Bian hanya berdehem singkat, ia cuek, menganggap perkataan Laura cuma angin lalu.

Entah berapa kali sudah Laura terkekeh, demi menghindari gosip buruk tentang mereka, Laura pun mengajak Bian ke sebuah ruangan yang cukup jauh dari ballroom.

Bian pasrah mengikuti, biarlah malam ini cepat berlalu, Bian ingin Laura sadar bahwa sebaiknya mereka tidak bisa hidup bersama.

"Lagian kapan kamu siapnya sih, Bi? Kamu itu sudah hampir kepala tiga dan kita sama-sama sedang mencari pasangan. Apa salahnya kalau kita menikah?" bela Laura.

Bian tetap menggeleng. Ia menjawab tegas. "Saya tidak mencintai kamu, Laura. Saya ingin menikah dengan wanita pilihan saya."

"Bian, cinta itu bisa kita tumbuhkan sama-sama setelah kita menikah nanti."

"Omong kosong," Lama-lama Bian bosan meladeni wanita ini. Sukanya memaksa saja. "Memang kamu mengerti arti cinta? Kamu hanya melihat kekayaan dan kemewahan saja Laura. Sebaiknya kita akhiri saja semuanya sekarang. Itu lebih baik. Kamu bisa mendapatkan pria yang mencintai kamu dan saya akan bahagia dengan wanita pilihan saya."

Setelah mengatakan itu Bian melangkah keluar meninggalkan Laura. Laura tergopoh-gopoh mengikuti meski air matanya hendak mengalir. Dress yang ia kenakan mempersulit langkahnya.

"Bian tunggu!" Akhirnya Laura berhasil meraih ujung jas Bian lalu dengan cepat memeluk pria itu di hadapan para tamu.

"Aku mencintaimu, Bian. Hanya aku yang mencintaimu sebesar ini."

"Lepaskan aku. Berhenti membuat drama Laura." Bian sangat risih, sebab semua tamu sekarang menatap mereka.

"Aku tidak mau. Aku tidak akan melepaskanmu." Laura makin mengeratkan pelukan.

"Laura lepas!"

"Dengar semuanya!" Namun tiba-tiba wanita itu melepas pelukan dan berteriak menunjuk wajah Bian. "Dia pria bernama Bian Pradipta ini milikku! Tidak ada yang boleh mendekatinya selain diriku, atau kalian harus menerima akibatnya, kalian mengerti?!"

Para tamu sontak berbisik macam-macam. Mereka memandang aneh Laura.

"Apa dia sudah gila?"

"Kemana otaknya? Sangat memalukan."

"Kau--" Ucapan Bian terhenti saat Laura tiba-tiba menyatukan bibir mereka.

Memalukan. Laura benar-benar menurunkan harga dirinya di depan semua tamu.

"Laura!!" Terpaksa Bian mendorong bahu wanita itu. Tautan bibir keduanya pun terlepas. Bian menyeka bibirnya sendiri dengan kasar, menghapus jejak ciuman Laura di sana. Bian jijik.

"Bian aku mohon terima cintaku." Seolah masih ada harga diri Laura berlutut di depan kaki Bian. "Aku mohon, Bian."

"Maaf, saya tidak sepolos itu untuk luluh dengan air mata buaya kamu."

"BIAN!"

Lagi Bian melangkah pergi tanpa rasa iba sedikit pun.

Laura menangis serta memberenggut kesal. Sekarang bukan pestanya saja yang hancur, tapi hatinya lebur berkeping-keping.

***

Bian melajukan mobilnya begitu cepat ketika jalanan lumayan sepi. Ia harus segera sampai di rumah untuk membersihkan diri. Ia merasa kotor dengan tubuhnya sekarang, terutama bibirnya yang baru saja dicium oleh Laura.

"Dasar wanita tidak punya malu!" gumam Bian masih kesal. Tiba di perempatan lalu lintas, terpaksa pria itu memperlambat laju mobilnya.

***

Persediaan coklat milik Clara sudah habis, oleh karenanya Anjani rela malam-malam seperti ini pergi ke minimarket. Ia ditemani oleh Bi Ratih.

Sebenarnya Bi Ratih sendiri bisa membelikan untuk Clara, tapi Anjani menolak, ia lebih suka membeli langsung baik makanan maupun benda kesukaan Clara.

"Sepertinya ini cukup, Bu," ucap Bi Ratih. Menunjukkan keranjang belanja mereka yang nyaris penuh.

Anjani menggeleng pelan. "Itu belum, Bi. Masih banyak makanan kesukaan Clara. Kita harus membeli semuanya. Supaya nanti saat aku tidak ada di rumah, Clara tidak perlu repot menyuruh Bibi lagi."

"Baik, Bu." Bi Ratih mengangguk patuh. Ia kembali mendorong trolly mereka. Anjani di samping bi Ratih menggerakan santai tongkatnya.

"Ambil tiga kentang itu, Bi. Clara suka yang pedas," tunjuk Anjani pada jejeran camilan kentang di samping bi Ratih. Bi Ratih pun mengambilkannya.

"Banyak sekali, Bu."

"Enggak papa, Bi. Yang penting Clara senang, ia akan lebih betah di rumah saat musim hujan begini."

"Ibu baik sekali. Clara beruntung memiliki ibu sepertimu." Bi Ratih tersenyum. Membuat pipi Anjani merona malu.

"Terima kasih. Apa pun untuk malaikatku, pasti kulakukan, Bi," jawab Anjani. "Ayo ke kasir."

Keduanya lalu menuju kasir. Beruntung yang mengantri tidak banyak, hanya dua orang dan Anjani bersama Bi Ratih sebagai pengantri terakhir.

Selang menit kemudian giliran mereka yang membayar. Setelah itu bi Ratih menerima semua belanjaan. Kini ada dua tas belanja penuh di tangan bi Ratih.

"Bibi bawa aja semua belanjaannya duluan ya. Aku lupa membeli keperluanku," kata Anjani.

"Ibu tidak apa-apa sendiri?"

"Tenang aja, Bi. Lagian mobilnya kan ada di depan. Dekat loh itu," Anjani meyakinkan.

"Yaudah bibi duluan ya. Ibu hati-hati."

Bi Ratih lalu mengeluari minimarket. Sedangkan Anjani berjalan dengan menggerakan tongkatnya menuju rak berisi produk pembersih wajah. Anjani baru ingat kebutuhannya satu ini habis.

Usai membeli Anjani pun membayar tanpa perlu mengantri. Namun saat menuju mobilnya yang terparkir, sebuah mobil melaju cepat dari arah kanan membuat Anjani reflek berteriak.

Bruk.

"Astaga bu Ani!" 
 

5- Semuanya Bukan Soal Uang

Tragedi tersebut terjadi sangat cepat. Mobil itu berhenti setelah menabrak paha Anjani cukup keras. Sekarang Anjani terduduk di aspal bersama tongkatnya yang patah.

Si pemilik mobil terlihat sejenak menyembulkan kepala dari balik kaca mobil, matanya seketika membulat.

"Ya ampun, ibu nggak papa? Kita ke rumah sakit ya bu," ucap bi Ratih bersimpuh di depan Anjani. Bahkan sopir pribadinya ikut keluar dari mobil. Mereka memapah Anjani berdiri.

"Aku nggak papa, Bi." Anjani menggeleng pelan. Sungguh, ia tidak merasakan apa pun pada kakinya. Toh, kaki yang lumpuh itu sudah mati rasa dan efeknya mungkin hanya lebam biru.

Anjani pun syok. Telapak tangannya sedikit perih, benar setelah Anjani lihat ada beberapa luka goresan kecil di sana.

"Gimana bisa enggak, Bu. Itu kaki kanan ibu baru di terapi kemarin, bahaya," tukas bi Ratih, bertepatan seorang pria berjas abu menghampiri.

Anjani tercengang menatap pria itu, begitu pun yang ditatap, dia tidak lain adalah Bian Pradipta. Pria arogan yang Anjani temui siang tadi. Keduanya saling melempar tatapan permusuhan.

"Bapaknya sih. Bawa mobilnya pelan-pelan dong, Pak! Nggak liat apa orang lagi jalan? Lagian bawa mobilnya terlalu ke pinggir." Bi Ratih langsung mengomel dan menatap Bian tajam. Dia tidak suka sikap Bian. Bukannya meminta maaf pria itu malah memasang tampang angkuh. Sangat menyebalkan.

Bian sama terkejutnya. Tak menduga bahwa seorang yang ia tabrak adalah wanita lumpuh bernama Anjani. Masih lekat di benaknya bagaimana wanita sombong itu bersikap siang tadi.

"Bukan salah saya. Wanita itu yang nggak hati-hati padahal udah punya tiga kaki," sinis Bian menatap Anjani. Anjani melotot padanya.

Bi Ratih terkekeh. "Dih, bapaknya sombong mentang kakinya sehat. Huh."

"Sudah, Bi. Kita pulang aja, lagian aku nggak merasa apa-apa kok." Anjani memilih mengalah. Dia enggan membuntutpanjangkan masalah ini apalagi dengan Bian. Sama saja ia membuang waktunya. Mengingat manusia berhati batu seperti Bian tidak mungkin bisa menghargai perasaan orang lain.

Anjani menatap bi Ratih. "Kita pulang, Bi. Claraku kasihan sendiri di rumah."

"Nggak gitu, Bu. Bapak ini harus tanggung jawab." Bi Ratih menunjuk wajah Bian. Sedangkan sopir Anjani hanya terdiam.

Bian berdecak sebal. "Saya malas sekali berdebat dengan kalian. Sebut berapa yang kalian mau." Dia mengeluarkan dompet dari saku jasnya.

"Ayo, Bi." Anjani enggan meladeni, terlebih Bian mulai menunjukkan lagi sikap Arogannya itu. Anjani melangkah pergi diiringi bi Ratih dan sopirnya.

"Hei! Saya belum selesai bicara." Bian menghadang langkah mereka. Anjani menautkan alisnya.

"Orang-orang seperti kalian pasti sulit menutup mulut untuk kejadian ini," ucap Bian. Dia mengulurkan beberapa lembar uang berwarna merah. "Sekarang ambil dan tutup mulut kalian. Saya tidak mau nama saya tercoreng."

Satu tangan Anjani terkepal. Dia kepalang kesal, dan selang detik kemudian Anjani melayangkan sebuah tamparan ke pipi Bian.

Plak.

Kejadian itu membuat semua orang yang kebetulan lewat mengalihkan perhatian mereka kepada Anjani dan Bian.

"Kau--"

"Tidak semua luka bisa disembuhkan dengan uang, Pak!"

Terutama Bian, selain pipinya perih juga rasa malunya bukan main sekarang.

"Beraninya kau menamparku hah? Kau tau siapa aku?!" Urat-urat Bian tampak menonjol. Namun Anjani tak semudah itu untuk takut. Karena baginya, wanita tidak boleh selemah itu menghadapi pria yang bersikap seenaknya.

"Saya nggak peduli siapa dan darimana bapak berasal. Tapi yang saya tau, bapak orang paling bodoh yang pernah saya kenal! Tuan Bian Pradipta." Sengaja Anjani menekan nama 'Bian' agar semua orang tahu siapa sebenarnya pria sombong itu.

Alhasil lalu lintas pun menjadi ramai dan macet. Mereka menyaksikan Bian dan Anjani layaknya sebuah film.

"Astaga, jadi dia Bian Pradipta?"

"Pebisnis terkenal itu bukan?"

"Produk perusahaan mereka begitu mendunia. Kenapa pemiliknya memiliki sikap yang buruk?"

"Aku lihat dia baru saja menabrak wanita bertongkat itu."

Bisikan-bisikan itu seolah menusuk telinga Bian, Dia mengepalkan tangan dan menatap Anjani tajam. Sialan! Anjani lewat keterlaluan. Membuat nama baiknya dipertaruhkan.

Muak mendengar bisikan buruk tentangnya, Bian pun memutuskan memasuki mobil mewahnya. Menutup pintu mobil dengan kencang lalu mengklakson nyaring demi menghalau semua orang yang menghalangi jalannya.

"Huuu!" sorak bi Ratih kala mobil Bian jalan. Perlahan kerumunan pun bubar.

Bi Ratih menatap Anjani sambil tersenyum lebar. "Bu Ani hebat. Saya salut sama ibu."

Anjani cuma tersenyum tipis. Namun di samping itu ia merasa sedikit khawatir. Entah kenapa.

***

Bian melepas jas abunya hingga menyisakan kemeja putih saja. Kekesalan tampak kentara di wajah tampannya. Tentu ia masih marah atas tragedi barusan.

Bagaimana tidak? Banyak orang yang menyaksikan kejadian tadi, lalu menudingnya dengan kejahatan macam-macam. Kini, nama baik perusahaannya seolah di ujung tanduk.

Anjani. Ya, Bian tidak akan pernah melupakan nama yang membuat hidupnya berantakan.

Gawainya bergetar di saku celana, Bian mengambil benda pipih berlogo apple itu dan menerima panggilan.

Bram is calling.

Gawat sekali. Mengingat Bram adalah partner bisnis sekaligus salah satu pemegang saham di perusahaannya. Kalau sampai pria itu tau apa yang terjadi barusan, kerja sama mereka rentan dibatalkan.

"Selamat malam pak Bram," sapa Bian lebih dulu. Sebagai CEO profesional tentu ia tahu kapan bersikap sopan. Terlebih kepada rekan bisnisnya. "Ada yang bisa saya bantu, Pak?"

"Selamat malam juga, Bian. Aku menghubungimu bukan untuk meminta bantuan."

"Lalu apa, pak?"

"To the point saja, apa kau sudah menonton berita di televisi?"

Bian mengernyit. "Tidak. Saya baru pulang dari pesta teman saya. Memang ada hal penting apa di sana?"

"Kau tonton saja sekarang. Setelah itu katakan padaku, apa itu benar dirimu atau bukan."

"Sebentar."

Bergegas Bian meraih remot TV-nya di nakas. Jantungnya berdegup kencang. Alisnya bertautan tanda bahwa ia sangat bingung apa maksud Bram.

Dan semuanya terjawab kala Televisi besar tersebut ia nyalakan, Bian tercengang lalu menelan salivanya kasar.

Berita malam ini.

Seorang pengusaha sukses ternama, Bian Pradipta, diduga menabrak seorang wanita bertongkat. Namun, bukannya bertanggung jawab Bian justru bersikap sombong serta menyuap wanita itu dengan sejumlah uang agar menutup mulutnya.

"Bagaimana? Apa perlu aku ulang pertanyaanya?"

"Pak, itu--" Bian masih sulit percaya pemandangan di depannya. Dimana ia mengulurkan sejumlah uang kemudian Anjani menamparnya.

"Aku tidak butuh penjelasan apa pun tentang kejadian yang menimpamu. Lebih baik kau segera meminta maaf kepadanya di depan semua media."

"A-apa? Itu tidak mungkin, Pak. Saya tidak bersalah. Wanita itu yang tiba-tiba menghalangi jalan saya."

"Kau sudah menjadi tontonan semua orang, dan apa kau berpikir bagaimana asumsi publik setelah mengetahui sikap anehmu itu? Nama perusahaanmu sedang terancam. Kau orang paling berpengaruh Bian."

"Pak."

"Segera buat klarifikasi atau proyek kerja sama kita terpaksa aku batalkan."

Panggilan pun dimatikan sepihak oleh Bram. Bian mengusap wajahnya gusar. Pria tampan itu terduduk pasrah di bibir kasur sembari mengepalkan satu tangan. Bian tak menduga kejadian barusan diliput banyak wartawan. Mereka pasti diam-diam membuntutinya lalu mengambil kesempatan saat dia dan Anjani sibuk berdebat.

Ya Anjani, wanita itu sumber semua masalahnya ini.

"Tunggu pembalasanku wanita lumpuh." 
 

***

Bersambunggg... 
 

post-image-63ae9fae5f04d.jpg

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Janda Lumpuh Milik CEO (6-10)
23
6
Spoiler : Kamu bocah, tidak akan mengerti. Saya ada urusan sama ibu kamu.Penting? Awas ya Om ngata-ngatain bunda lagi! sahut Clara marah.6-Shocked7-Misi Pertama8-Konferensi Pers9-Udang di Balik Batu10- Rahasia Bos BesarBlurb :Saya mengerti. Dengan kondisi kamu yang cacat begini kamu pasti hanya ingin uang, kan. Mau berapa banyak biar saya kasih?Anjani Zelena hanyalah seorang wanita biasa, kecelakaan tragis dua tahun lalu yang bukan hanya merenggut nyawa sang suami tapi juga fungsi salah satu kakinya. Bersama sang malaikat kecilnya-Clara, Anjani seolah mendapat semangat baru menghadapi dunia yang penuh lika-liku.Sampai pada takdir membawanya bertemu kembali dengan Bian Pradipta-CEO Pradipta Group yang terkenal galak dan berhati batu, hidup Anjani seolah berubah 180 derajat. Terlebih sebuah tragedi nahas terjadi, yang menyebabkan mereka berdua terikat dalam pernikahan.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan