
Part 6 > Got A Married?
Spoiler :
"Kamu sering bilang seorang dokter Obgyn laki-laki tidak punya nafsu lagi, kan?" Tetapi pria itu tiba-tiba berbisik. Arkana menahan belakang kepala Airys guna menepis jarak antara wajah mereka.
"Baiklah, saya buktikan setelah kita menikah.

6 > Got A Married?
Airys sungguh terkejut ketika menemukan Flora berdiri di ambang dapur, ia dan Arkana reflek saling menjauh sebelum Flora menduga macam-macam. Namun semuanya terlambat, Flora terlanjur berpikir terlalu jauh hingga di sinilah mereka berakhir sekarang.
Sofa ruang tamu.
"Cepat telpon ibu kamu Airys!" Airys meremat tangannya sekuat mungkin usai dibentak oleh Flora. Ia tertunduk dalam. Diliriknya Arkana yang duduk di samping Flora dan berusaha menjelaskan semuanya.
"Ma—" Tetapi disangkal cepat oleh Flora.
"Diam Arka! Jangan coba membela diri. Kalian sudah ketahuan, apalagi yang perlu dijelaskan hah? Mama nggak akan pernah percaya."
"Tante, aku sama Arkana nggak ngapa-ngapain—"
"Nggak ngapa-ngapain?" Flora berdiri, alisnya menukik tajam. Wanita itu mendekat ke hadapannya dan meraih gemas ujung lengan tanktopnya. "Lalu ini apa? Dua orang berlawanan jenis dengan pakaian minim tanpa ikatan pernikahan tinggal satu apartemen, bukankah sudah termasuk Zina, Airys?"
"Tan—"
Ia benar-benar tidak memberi waktu untuk Airys bicara. "Jadi dia alasan kamu saat lembur selalu pulang ke apartemen, Ka?" Sekarang Flora menatap Arkana sedangkan telunjuknya mengarah ke wajah Airys. "Bagaimana kalau tetangga sebelah yang menciduk kalian bukan ibu hah?!"
Arkana berdecak sabar. Ia tahu betul bagaimana sifat Flora. Keras kepala, tidak mau dibantah, apa yang dilihat pertama kali adalah sebuah kebenaran. Arkana tidak mungkin mengubah sifat asli ibunya itu dalam sekedip mata.
Alhasil, jikapun ia menjelaskan sampai mulut berbusa pasti akan sia-sia.
"Sudahlah Airys, biar aku saja yang menelpon Anin!"
Dan Airys kembali mendongak dengan wajah pias. Flora sudah tampak menempelkan ponsel ke telinga dengan napas memburu.
"Ini semua gara-gara elo!" tuduhnya berbisik pada Arkana. Pria itu balas menatapnya sengit.
"Enak aja, ini semua salah kamu yang memohon kemari!"
"Iya, Nin. Airys ada di apartemen anakku," kata Flora membuat Airys berdegup kencang. "Pasti kita bicarakan, tolong saja kamu cepat kemari."
Matilah dia sekarang!! Jangankan menghadapi Anin, menghadapi Flora saja Airys merasa kewalahan.
Selang menit, dalam keheningan yang terasa mencekam bagi Airys karena Flora menekuk wajah tanpa ingin disentuh sedikit pun, bel apartemen berbunyi.
Flora bergerak cepat membuka pintu maka terpampanglah Anin, Rajen dan juga Leon di sana.
"Wahh, rumahnya bagus yaa, Kek," udik Leon pada kakek.
"Flora, kenapa sama putriku?" tanya Anin cemas. Airys berdiri. Flora tidak menjawab pertanyaan Anin maka wanita itu mencoba mendekatinya. "Airys... mana baju yang kamu kenakan saat berangkat tadi, Nak?" Terbelalak dia menatap sang putri.
"Itu adalah pakaiannya saat bersama anakku, Nin."
"Maksudnya?" Berusaha mencerna, manakala menatap Arkana yang masih shirtless barulah Anin melebarkan irisnya. "Arkana, Airys, berani-beraninya kalian...?!"
Bibir Arkana terbuka hendak menjelaskan namun Airys lebih dulu menyela.
"Aku sama dia nggak ngapa-ngapain, Bu, kenapa sih nggak ada yang percaya?!" pungkasnya muak, telunjuknya mengarah ke wajah Arkana. "Dokter ini bahkan nggak minat buat nyentuh aku sedikitpun! Nafsunya hilang karena udah sering liat punya perempuan!"
Arkana mengernyit dalam karena tak terima dengan ucapan Airys. Kenapa wanita itu mesti menjual kata nafsu demi melindungi diri? Benar-benar kelewatan!
"Airys! Jaga bicara kamu sama yang lebih tua!" peringat kakek dengan wajah memerah.
Tanpa mereka tahu, Airys susah payah menahan netranya agar tak berkaca-kaca. "Airys capek, Kek. Kenapa sih Airys selalu dianggap anak kecil? Aku udah besar dan aku bisa menjaga diriku sendiri..."
"Kalo gitu tadi kamu kemana, Rys?" tanya ibu meremas kedua lengannya. "Kamu bohong sama ibu, kan? Bilangnya pergi dengan Silvi tapi kamu jalan bersama laki-laki!"
"Dia Keenan, Bu. Pacar aku. Bukan dokter Arka." Pengakuan Airys melemah, serta merta Anin dibuat memijat pelipis sebab kaget entah untuk ke berapa kali.
"Tetap saja kamu telah melanggar peraturan keluarga kita, Rys." Dan Rajen salah satu pembuat peraturan itu, demi menjaga nama baik keluarga katanya? Namun, kian hari Airys justru merasa sangat terkungkung akan keputusan Rajen.
"Kek..." Tatapan Airys memelas. "Kakek nggak usah khawatir, Keenan bakal datang melamar—"
"Kakek nggak mau dengar apa pun lagi Airys. Dia harus bertanggung jawab!" Ucapannya terkesan seperti sebuah perintah. Wajah Rajen memerah dengan kerutan yang menghiasi sudut matanya.
Airys tersenyum. Ya, tentu, Keenan pasti datang lalu menikahinya. Kali ini Airys sepakat dengan keputusan Rajen.
"Kamu harus menikah dengan dokter Arka!"
Skakmat.
Seperti ditembak petir di siang bolong, Airys membeku dan mulutnya terngaga, ia lantas menyorot benci Arkana. Pria itu balik menatapnya—kini malah terdiam seolah ucapan Rajen adalah sesuatu yang tak perlu ditentang.
Apakah Arkana tengah amnesia dan Rajen sudah hilang akal? Keenan adalah kekasihnya, kenapa justru Arkana yang harus menikahinya?
***
"Oke, stop, sesi pemotretan hari ini cukup yaa Rys," ucap Dewa—profesional fotografer pada modelnya.
Gerakan Airys berhenti, pikirannya melantur entah kemana hingga membuat wanita itu menatap kosong ke depan. Sejak kemarin malam memang ada satu hal yang menganggu pikirannya, yaitu ancaman Rajen.
"Kakek kasih waktu kamu sampai malam besok. Kalau pacarmu yang bernama Keenan itu nggak datang melamar, kamu harus setuju menikah dengan Arkana."
"Rys, budeg lo ngapa?"
Tak ada sahutan. Bahunya ditepuk cukup keras, "Rys!" Lantas model itu tersadar lalu cengo. "Hah?"
"Minggirnya lama banget sih?! Sesi mbak Airys itu udah habis, sekarang giliran aku," kesal model lain bernama Lira yang sedari tadi menunggu Airys menjauh dari depan background shoot.
"Santai aja kali!"
Airys menjauhi set lalu menuju walk in closet. Silvi sebagai wardrobe yang melihat itu lantas mengekori modelnya.
"Langsung pulang, Rys?" tanya Silvi saat Airys membuka lemari. "Lo marah gara-gara kemarin?" tanyanya sebab Airys melirik sinis.
Airys meletakkan bajunya di kursi rias, memegang kedua bahu Silvi. "Sil, lo teman gue bukan? Kenapa lo tega ngelakuin itu ke gue?"
"Lah, gue udah bilang gue terpaksa, Rys," sahutnya. "Lagian baguslah nyokap lo tau, Keenan jadi cepat-cepat nikahin lo, terus kalian hidup bahagia deh."
Tak seindah yang dibayangkan. Airys justru meringis, ia menoyor pelan kepala Silvi. "Bagus pala lo meledak! Sampai sekarang Keenan bahkan nggak bisa dihubungi, Sil."
"Kok?"
"Gue nggak tau kenapa sama Keenan. Makanya habis ini gue mau ke rumahnya."
"Semangat yaa sist. Gue bantu doa deh." Silvi menepuk pelan pipinya.
Dengusan lolos dari hidung Airys. Setelah ini, ia mesti cepat-cepat pergi ke rumah Keenan untuk meminta penjelasan. Mengganti bajunya, tanpa pamit, Airys melipir keluar studio kemudian menaiki ojek online yang ia pesan. Wanita itu akhirnya tiba di kawasan rumah mewah milik Keenan.
"Assalamualaikum. Permisi....," salam Airys sembari memencet bel. Tak lama pintu bergerak, seseorang yang membukanya membuat mata Airys membulat kemudian bergegas menahan pintunya tetap terbuka.
"Keenan tunggu!" tahan Airys, maka Keenan pun berdiri di ambang pintu menghadapnya. "Kalau kamu pengen kita putus, tolong kasih tau aku alasannya bisa nggak? Jangan tiba-tiba menghilang gini, kamu bikin aku khawatir."
"Aku nggak bisa lanjutin hubungan kita. Maaf, Rys."
Menganggap itu lelucon, Airys tertawa renyah. "Malam tadi aku cuman nggak sengaja keracunan, Nan, it's oke, aku maafin. Kamu nggak perlu takut—"
"Rys," potong Keenan serius. Detak Airys bertambah kencang. "Hubungan kita terlalu backstreet sedangkan aku butuh kepastian."
Dan napas Airys perlahan tersendat.
"Aku enggak bilang ibu kamu adalah alasan utama, tapi sekarang aku sadar, kamu sendiri yang terlalu takut sama ibu kamu sampai membiarkan hubungan kita stuck di situ-situ aja. Aku bingung kamu sebenarnya serius atau cuman main-main."
"Aku serius kok, sekarang ibu udah tau kita pacaran. Kamu nggak berniat buat datang ke rumah dan melamar aku?" Airys mencari pembelaan. Tidak mungkin! Sisa-sisa cinta Keenan pasti masih ada untuknya.
"Setelah kayak gini kamu baru berani bilang ibu?" Pria dengan setelan santai itu tertawa miris. "Telat, Rys. Baru hal sepele tentang pacaran, bagaimana setelah menikah, mungkin kamu bakalan sering bohong sama ibuku."
"Enggak kok, Nan. Tolong percaya sama aku..." mohon Airys. Dia tahu semua adalah salahnya.
"Maaf, Rys. Kita benar-benar udah selesai sejak kemarin." Dan Keenan masuk kembali lalu menutup pintunya, meninggalkan Airys yang mematung dengan mata berkaca-kaca.
"Brengsek! Tau gini gue nggak akan pernah jatuh cinta sama lo, Nan!"
Keenan sialan!
Keenan brengsek!
Selama dua tahun, ia memusatkan seluruh perhatiannya pada lelaki itu dan hari ini Keenan memutuskannya tanpa alasan yang jelas? Airys menggertakan rahang. Ia akui masalah utama ada padanya, terlalu takut mengakui hubungan mereka pada Anin hingga mereka mesti rela hubungan mereka diputus oleh salah satu pihak.
Tetapi Keenan harusnya juga mengerti keadaanlah yang mendesak mereka backstreet!
Melangkah menjauhi rumah yang sekarang adalah milik mantannya itu, jari Airys gemetaran memesan ojek online. Dadanya sesak, mati-matian menahan bulir di ujung matanya mengalir.
Langit yang tadinya cerah pun kini perlahan menitikkan hujan, Airys masih berpikir waras dengan tidak berjalan di bawah guyuran deras itu ala-ala film dimana si tokoh tengah patah hati, ia memilih berteduh di pos satpam.
Hari ini benar-benar double sial! Sudah diputusi, ditambah lagi kehujanan.
Entah ojek online yang baru dipesannya datang atau tidak Airys merasa skeptis.
Dan tiba-tiba sebuah mobil putih berhenti di hadapannya, sang pemilik keluar, ikut berteduh. Airys berjengkit menyadari bahwa pria itu adalah...
"Hujan seperti ini akan bertahan lama, kamu nggak mungkin bisa pulang jalan kaki."
Arkana si dokter kandungan itu!
"Gue udah pesan ojek."
"Ojek motor?"
"Kenapa emangnya? Lo mau nawarin gue naik mobil lo? Sorry to say! Lo dalang dari perjodohan kolot kit—"
"Woy turunin gue!" pekik Airys karena Arkana tiba-tiba menggendongnya ke dalam mobil. Dia meronta, memukul Arkana berulang kali dengan tasnya.
"Mama.... Airys diculik!"
"Siapa yang mau nyulik kamu hah?!"
Sekarang dia berhasil didudukan Arkana di samping kemudi, Arkana lekas mengunci pintu mobilnya.
"Buka enggak?!" perintah Airys.
Arkana menggeleng, "Enggak lihat di luar hujan? Oke, kalau kamu pengen sakit silahkan."
Pria itu gila, mempersilahkannya keluar dengan keadaan mobil yang sudah jalan? Tentu Airys masih sayang nyawa. Maka ia memukul lengan Arkana.
"Ish. Gue benci banget sama lo! Gara-gara lo gue putus sama Keenan!"
"Jangan jadikan saya sebagai alasan kamu patah hati. Itu nggak masuk akal," decak Arkana.
"Makanya lo tolak perjodohan kita. Gue bakal tenang dan kita damai." Pukulan Airys berhenti, ia bersedekap.
"Saya nggak mau. Lagipula perjodohan ini bukan alasan utama Keenan memutuskan kamu."
"Tujuan lo apa sih sebenarnya?"
Mobil perlahan berhenti karena traffic light menyala merah. Arkana menatap intens wanita itu.
"Ini? Atau ini?" Airys menunjuk dada lalu bagian bawah perutnya tanpa ragu. "Lo bisa coba dengan nyewa wanita-wanita hot di luar sana." Sarannya membuat Arkana mengernyit tak terima. "Ah ya nggak guna, gue lupa lo hilang nafsu—"
"Tangan lo bangsat!" Ia melotot sekaligus menepuk keras tangan kekar Arkana setelah berani meremas dadanya.
Kurang ajar!
"Kamu udah cukup hot kok buat saya." Seringai Arkana bikin Airys menarik satu sudut bibir yakin.
"Bagus. Gue bakal bilang ibu lo udah berani lecehin gue, kita pasti batal dijodohkan."
"Bayangkan saja dulu. Bagaimana pun, saya akan tetap bertanggung jawab sama kamu."
"Kita nggak ngapa-ngapain malam itu bodoh, lo lupa apa gimana sih?"
Sungguh jengkel sekali ia pada jalan pikiran Anin, Flora, Kakek serta pria di sampingnya sekarang. Airys terus mendumel sepanjang jalan diiringi suara hujan sebagai background noise, akhirnya mereka tiba di kediaman wanita itu dan telinga Arkana pun terlepas dari suara cemprengnya.
Hujan mereda menyisakan gerimis kecil. Airys meronta, sebab Arkana hendak menggendongnya lagi keluar mobil.
"Nggak mau Arka!" Namun tenaganya tak cukup besar dari pria itu hingga dalam satu sentakan, Arkana berhasil menggendongnya ala koala lalu membawa wanita itu ke hadapan Anin yang ternyata sudah menunggu dengan cemas di teras.
"Arka, kenapa sama Airys?"
"Kehujanan tante, saya khawatir dia sakit."
"Duh, perhatian banget calon mantu," ujar Anin cekikikan. "Bawa Airys ke kamar yaa Arka."
Tanpa meminta persetujuan Airys, Arkana memasuki rumahnya.
"Dimana kamar kamu?"
"Turunin gue di sini."
Mengacuhkan permintaan wanita itu, Arkana bertanya pada Leon yang tersentak kaget melihat mereka. "Dimana kamar Airys?"
"Itu kak."
Alhasil saat di ambang pintu, Airys mengacungkan jari tengahnya pada Leon dan bocah laki-laki itu tertawa.
Airys berusaha melepaskan diri dari kungkungan Arkana. Beruntung dia langsung jatuh di atas kasur saat Arkana meloloskan tubuhnya.
"Kamu sering bilang seorang dokter Obgyn laki-laki tidak punya nafsu lagi, kan?" Tetapi pria itu tiba-tiba berbisik. Arkana menahan belakang kepala Airys guna menepis jarak antara wajah mereka.
"Baiklah, saya buktikan setelah kita menikah."
Airys menelan salivanya susah payah.
"Flora..."
Dan suara Anin membuat keduanya menoleh keluar kamar. Anin tengah berbincang lewat panggilan.
"Sepertinya kita harus cepat melaksanakan pernikahan mereka, Ra. Aku nggak mau perut Airys dibuncitin duluan sama anakmu."
***
Bersambung…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
