
Part 1 : Ripped
Sinopsis :
Airys dipaksa kakeknya menikahi Arkana—seorang dokter Obgyn di rumah sakit Pradipta, salah satu yang terkenal di tengah kota.
Rumor tentang dokter obgyn yang hilang nafsu pada wanita melekat di kepala Airys hingga ia menolak perjodohan itu. Namun, kakek terus saja memaksanya. Hingga kesialan baru menimpa Airys saat Arkana selesai melakukan pemeriksaan—mengklaim bahwa selaput daranya telah rusak dan membuat sang ibu khawatir, siapa yang mau menikahi anakku, Dok?!
Airys seketika...
Visual Airys sama Arkana, yang menurut aku cocok sama mereka 😁
Arkana Bagasatya👇

Airys Shandita👇

Keenan Xavier👇

Terima kasih sudah mampir guyss, semoga selalu suka cerita-ceritaku🥰
Sayang kalian💚

1 > Ripped
Heels setinggi 9 cm itu dilepas begitu saja oleh Airys, setelah mendapat telepon dari sang ibu bahwa jam pemotretannya telah berakhir.
Airys tahu, ibu sangat memperhatikan jam kerjanya, kapan dia berangkat dan kapan dia pulang, ibu tidak pernah lekang mengingatkan entah lewat pesan atau panggilan.
Kadang, Airys merasa seperti remaja SMA yang harus dipantau agar tidak salah pergaulan, lalu berakhir hamil diluar nikah, hei apa-apaan? Dia tidak sebocah itu untuk membedakan mana yang disembur ke luar dan ke dalam.
Namun ini ibunya, Anin—yang selalu khawatir akan masa depannya, apalagi keperawanannya. Di umur 24 tahun, kira-kira adakah perempuan yang belum pernah pergi ke club malam selain dirinya? Hmm, seperti hanya dia. Airys kadang iri dengan teman-temannya yang selalu menceritakan seseru apa suasana di sana. Namun lagi-lagi, Airys harus menahan diri agar tidak mengecewakan sang ibu.
Dia anak pertama, tanggungannya banyak, ada ibu yang harus dia siapkan dana pensiunnya, ada adik laki-lakinya—Leon yang selalu meminta uang jajan lebih agar bisa membeli es krim paling enak di sekolah. Terakhir, ada kakeknya dari pihak ibu—Rajen, yang selama ini menjadi penopang hidup Airys sejak kecil. Rajen, menjual semua hartanya demi menghidupi mereka karena Sandi—ayahnya sudah tertidur di tanah sejak dia berumur 14 tahun.
"Mbak, besok sesi pemotretannya lebih pagi lagi yaa, aku harap mbak nggak telat," ucap Silvi talent pribadinya.
Airys menghela berat, dia tahu betapa sulit meminta persetujuan ibu, maka dari itu ia mengulurkan ponselnya ke Silvi.
"Bisa lo kasih tau langsung ke ibu?"
Silvi menerima, namun sempat menghembus kasar. Dia mulai memvideo dirinya sendiri.
"Halo tante, besok Airys banyak sesi pemotretan pagi, jadi izinkanlah anak tante ini berangkat lebih awal. Dah tante, muachh." Singkat, tapi berhasil membuat Silvi agak mual. Dia mengembalikan ponsel Airys. "Sudah, mbak. Capek deh harus laporan mulu. Emang susah punya anak perawan."
Airys tertawa pelan, ia selesai membenahi seluruh pakaiannya dan bergegas pulang, "Thanks."
Keluar dari ruang pemotretan, Airys menunggu jemputan di depan gedung, tak lama sebuah mobil berhenti di depannya, Airys langsung memasuki mobil itu.
"Kamu udah lama nunggu?" tanya sang pengemudi, tak lain adalah Keenan—pacarnya yang dia sembunyikan selama dua tahun.
"Hmm, enggak." Airys menggeleng pelan sembari memasang sealt bealt.
"Sorry, aku ada banyak meeting di luar," ucap Keenan, dia mendapati raut Airys cemberut. "Kamu marah?"
"No, ayo jalan, Ken!"
Keenan tersenyum. Mobilnya pun melaju perlahan bergabung bersama pengendara lain di jalan.
"Kapan kamu jujur ke ibu soal hubungan kita?" tanya Keenan memulai obrolan.
"Nanti," Keenan sudah menanyakan itu sebanyak lima kali usai kemarin mereka merayakan anniversary kedua dan jawaban sama yang selalu Airys lontarkan. "Aku pasti jujur, saat kamu udah siap semuanya buat nikahi aku."
"Bagaimana jika aku udah siap tapi ibumu menolak?" Mobil berhenti karena traffic light menyala merah, Kenan mengusap wajahnya, "Rys, apa susahnya bilang ke ibu?"
"Kamu jangan ngaco! Kamu percaya sama aku, kan?"
Lagi-lagi Kenan terhipnotis dengan wajah cantik nan melas Airys. Dia sangat menyayangi perempuan itu dan yah, Kenan tidak mampu menghambat hatinya agar percaya.
"Ya, aku percaya."
"Bagus. Pertahankan itu sampai aku ketemu waktu yang tepat." Airys menepuk-nepuk pelan pipi Kenan, mengatakan bahwa laki-laki itu tidak perlu khawatir. Airys mencintai kenan, dia tidak akan menyia-nyiakannya.
Kenan tahu betul dimana harus menghentikkan mobilnya, dua rumah sebelum kediaman Airys agar ibu tidak melihat. Sebenarnya Kenan lelah sembunyi-sembunyi begini, tapi dia harus bertahan demi membuktikan cintanya pada Airys.
Airys turun, dia memberikan kecupan singkat di pipi Kenan, tidak lebih, bahkan mereka tidak pernah bersentuhan bibir. Cukup hubungan backstreet, Airys telah merasa dia anak paling durhaka.
Airys masuk ke dalam rumah, di sofa ruang tamu dia mendapati ibu duduk dengan tangan terlipat di bawah dada.
"Airys naik taksi, Bu," ujar Airys sebelum perempuan paruhbaya itu melontarkan pertanyaan sama setiap dia pulang.
"Oke, malam nanti temani ibu ke dokter ya, Rys," pinta ibu sembari matanya fokus ke televisi yang menampilkan sinetron milik channel ikan terbang.
"Ibu sakit?" Airys mendekat dan menempelkan punggung tangannya ke dahi ibu.
"Enggak, ibu cuman mau check up aja."
Airys mengangguk, entah kenapa matanya tiba-tiba berair lalu reflek memeluk Anin, "Bu, sehat-sehat yaa, Airys nggak punya siapa-siapa lagi selain ibu."
Anin tersenyum haru, "Makanya Airys harus nurut terus sama ibu," Mengusap rambut Airys lalu hidungnya mengerucut. "Mandi gih sana bau!"
Cengiran respon Airys, dia pun berdiri bertepatan seorang bocah laki-laki datang kemudian tanpa izin merogoh saku rok hitamnya.
"Leon!" teriak Airys merasa geli di pahanya. Hidungnya kembang kempis saat Leon berhasil membawa lari uang berwarna hijau, "Dasar adik durhaka!"
"Besok Leon nggak minta jajan lagi, ini cukup," Di ambang pintu kamarnya, Leon menyengir menampilkan dua giginya yang ompong di tengah. "Terima kasih kakaku."
Airys hanya bisa menghela pasrah, oke, entah berapa kali lagi ia mesti memaafkan kebiasaan Leon—bocah berumur sepuluh tahun itu.
Karena kamarnya melewati kamar kakek—Rajen, Airys tanpa sengaja mendapati pria tua itu sedang sibuk dengan mesin jahitnya. Airys tertegun sesaat.
Meskipun Rajen sudah senja, dia tidak pernah berhenti bekerja. Rajen membuka usaha jahit baju di rumah dan pelanggannya tidak jauh adalah ibu-ibu komplek sini.
"Kakek," panggil Airys membuat Kakek mendongak.
"Oh, Airys. Sini masuk."
"Enggak, Airys cuma manggil aja kek."
Kakek menaikkan kacamatanya yang melorot dan setelah itu pun Airys pergi menuju ke kamar mandi.
Semua orang di rumah ini adalah penyemangatnya agar terus bekerja. Jika dikatakan lelah, tentu saja Airys merasakannya. Namun, berkaca pada fakta bahwa dialah satu-satunya harapan keluarga 'Sandhita', membuat Airys harus rela menurunkan egonya sebagai wanita muda yang semestinya pergi bersenang-senang.
Baiklah, lupakan soal itu, kembali pada Airys yang sekarang telah selesai mandi, dia langsung mengajak semuanya untuk makan malam.
Selanjutnya, barulah Airys menagih permintaan sang ibu yang tadi minta temani pergi ke dokter.
"Jadi, Bu?" tanya Airys selesai mencuci piring.
"Jadi dong, Rys. Cepat kamu ganti baju yang bagusan dikit."
"Ibu enggak?"
"Ibu gini aja toh udah tua juga."
Tanpa banyak cincong, Airys mengganti pakaiannya dengan sweater tebal berwarna pink serta celana jeans panjang. Rambutnya yang tergerai lurus Airys biarkan tersapu oleh angin malam.
Mereka menaiki taksi yang dipesan melalui aplikasi Go-Drive.
Airys tidak memiliki mobil, dia ingin membelinya namun tabungannya belum sebanyak itu.
Sesampainya di rumah sakit, Anin memimpin jalan di depan, Airys mengerutkan kening karena curiga kenapa Anin sesemangat itu untuk check up. Usai ke meja resepsionis, mereka berhenti di depan poli Obgyn.
"Dokter kandungan?" Airys bertanya sambil mendaratkan bokongnya di kursi tunggu, "Ngapain kita ke sini? Ibu hamil lagi? Ya ampun, Bu. Airys nggak nyangka ibu bakal mengecewakan Airys dan ayah."
"Shutt diamlah, nanti kamu tau sendiri," jawab ibu meminta Airys diam.
Airys mengerucutkan bibirnya, hingga nama mereka dipanggil melalui speaker, Airys ikut Anin memasuki ruangan tersebut.
"Silahkan duduk," ucap ramah seorang dokter laki-laki. Airys melirik name tag di jas putihnya—Arkana Bagasatya, nama yang bagus. Seimbang dengan wajahnya yang tampan. Tapi tidak lebih tampan paripurna layaknya Keenan.
"Nonya Anin dan Nona Airys Sandhita?" Arkana membaca ulang tulisan di kertas yang ia dapat dari resepsionis.
"Betul, Dok." Anin menyahut. Tepat setelahnya Arkana bersuara menatap Airys dan Anin bergantian.
"Baiklah, jadi diantara kalian siapa yang ada keluhan?"
"Putri saya, Dok." Jawaban Anin membuat Airys ternganga. "Airys jujur saja nggak usah malu, kamu kemarin sering keputihan sama gatel kan, Nak?"
Airys merasa tangannya diremas oleh Anin, sebagai sebuah ancaman yang kuat karena ibu tidak sepenuhnya berbohong. Dua hari lalu, dia memang mengadu ke Anin masalah keputihan yang tidak kunjung sembuh selama hampir satu minggu.
Dan jujur, sekarang keputihan itu datang lagi namun Airys malas mengadu. Ia pikir itu hanya masalah sepele.
"I-iya, Dok."
Arkana mengangguk singkat, "Selain gatal sama keputihan, apa disertai rasa sakit dan panas juga?"
Airys menggeleng, "Enggak, gatel doang."
"Duh, malu banget gue!"
"Sudah berapa lama keputihannya?"
"Baru dua hari, Dok."
Mengambil waktu untuk menulis sesuatu di kertas—singkat, Arkana akhirnya beranjak menuju ranjang pasien, mata Airys tidak putus mengamati laki-laki itu terutama saat Arkana menepuk pelan permukaan kasur.
"Oke, karena saya tidak mungkin mendiagnosis sebelum memeriksanya dulu, Nona Airys silahkan berbaring di sini."
Airys lagi-lagi dibuat membelalak. Dia hendak menolak namun Anin kembali merayu.
"Ayo, Nak. Jangan membuang-buang waktu dokternya, pasien lain banyak di luar."
Airys diam beberapa saat. Jika dia menolak, Airys merasa bodoh karena telah membuang-buang biaya yang tidaklah sedikit. Tapi tetap saja, Airys punya rasa malu!
"Tidak usah malu, semua pasien yang datang pasti aku periksa begini," ujar Arkana seolah bisa membaca raut gelisah Airys.
"Kenyang dong lo!" batin Airys mencibir.
Setelah berperang batin, dia pun akhirnya menyetujui.
Airys berbaring diam di atas kasur seperti seorang tawanan tanpa pergerakan membuat Arkana tertawa pelan. "Mau saya yang bukakan celananya?"
"Enggak!" tolak Airys mentah-mentah. "Gue bisa buka sendiri."
Arkana mengangguk, "Jangan lupa selimutnya dipakai." Sementara dia memasang sarung tangan steril, Arkana kembali menghadap Airys, gadis itu sudah memakai selimutnya dengan benar.
"Kakinya bisa dibuka lebih lebar?"
Airys berdecak namun tetap melakukannya.
"Bagus. Aku akan memasukkan alat agar bisa mengambil sampel keputihanmu untuk nanti diteliti di laboratorium. Tahan karena mungkin ini sedikit sakit," ujar Arkana kemudian lampu sorot dinyalakan mengarah ke miliknya.
Kyaaa!
Rasanya Airys ingin sekali menendang wajah Arkana karena seenak jidat melihat miliknya yang dia jaga sepenuh hati untuk suaminya nanti.
Airys meringis ketika alat Arkana mulai masuk dan rasanya sedikit sakit.
"Bu," panggil Airys melihat Anin tegang memperhatikan.
"Diam Airys, biarkan dokter bertugas. Ini demi masa depanmu."
"Masa depan apanya, masa depanku sudah diraba dokter sialan ini, Bu!"
"Sudah, tapi jangan ditutup dulu. Aku akan melakukan pemeriksaan lagi di bagian yang lain," ujar Arkana membawa alatnya tadi ke meja agar disimpan ke dalam botol steril.
"Terserah."
Tidak lama Arkana kembali lagi memeriksanya dengan sebuah senter medis kecil.
Airys menginggigit bibir bawahnya, merasakan tangan Arkana mulai membuka lebih lebar miliknya.
"Selesai, kamu boleh pakai lagi celananya."
Airys bergegas duduk kemudian cepat-cepat menaikkan celana, geram dan malu, rasanya seperti habis dicabuli namun disaksikan oleh ibunya sendiri.
Mereka berdua duduk kembali di kursi tadi menghadap Arkana. Airys yang masih malu berulang kali membuang wajah ke arah lain—tak mau menatap Arkana.
"Jadi, gimana dok?" Anin memulai penasaran. "Putri saya masih perawan kan?"
Apa ibu bilang?
"Bu, perawan apanya? Bukannya tadi aku hanya ambil tes keputihan?" tanya Airys tak terima. Ibu mengacuhkan pertanyaan Airys.
Arkana berucap, "Sebenarnya tidak ada arti perawan dalam dunia medis. Tapi setelah saya periksa, selaput dara anak ibu memang sudah rusak, faktornya bukan hanya hubungan seksual. Bisa juga karena olahraga berat atau kecelakaan," jelasnya membuat Airys dirundung rasa kaget luar biasa. Airys menelan ludahnya pahit.
Sungguh, Airys tidak tahu jika Anin meminta Arkana memeriksa selaput daranya. Entah apa yang Anin pikirkan sampai membawanya ke dokter hanya demi memastikan hal itu.
"Airys jarang olahraga berat dok," ujar Ibu mengabaikan Airys yang menatapnya kesal. "Kecelakaan? Pernah, tapi bukan vaginanya yang terbentur. Lalu... "
"Ibu menuduhku?" Sekarang Airys mulai membela diri.
Ibu mengangguk namun matanya berkaca-kaca lalu menangis. Anin merasa gagal menjadi seorang ibu yang berhasil menjaga keperawanan putrinya.
"Ibu sedih Airys. Apa kata suamimu nanti? Bukankah kamu sangat berharap menikah dengan konglomerat, Nak? Keluarga mereka pasti menjunjung tinggi stigma itu."
"Bu—" Airys ingin menyela. Di satu sisi dia menyetujui ucapan Anin.
"Siapa yang mau menikahi anakku, Dok?!" tanya Anin pada Arkana berderai air mata membuat laki-laki itu ikut kebingungan. Baru kali ini dia menemukan pasien seperti Anin dan Airys.
"Hah? Saya—"
"Dokter mau? Dia tidak perawan lagi, jadi tolong nikahi putriku, Dok."
"Bu!" Airys membelalak syok luar biasa, tidak mengerti apa maksud Anin sebenarnya. Menikahi seorang dokter obgyn? Justru hal tersebut masuk daftar hitam yang sudah Airys catat sejak lama dalam hidupnya.
"Toh, pak dokter udah liat punya anak saya," lanjut Anin. Kali ini benar-benar mengacuhkan Airys. Dia mengusap air mata. Sebagai seorang ibu Anin hanya ingin yang terbaik untuk masa depan putrinya.
"Daripada pria konglomerat yang akan memandang rendah putri saya, lebih baik dokter yang mengerti."
"Ibu mau aku menikahi dokter obgyn sepertinya?" Baiklah, Airys akan mengakhiri perdebatan konyol malam ini, dia menunjuk berang wajah Arkana. Laki-laki berjas putih itu menyipitkan mata.
Arkana tidak tahu apa salahnya. Kenapa jadi dia yang disalahkan atas perdebatan kedua perempuan itu? Heh, aneh-aneh saja!
"Yang ada Airys nggak bakalan punya anak karena dokter obgyn itu pada hilang nafsu."
"Airys!"
Arkana mengernyit kesal karena ucapan Airys.
"Terserah, Airys mau pulang." Airys pun keluar dari ruangan seraya menahan air matanya jatuh. Dia sedih, kesal, dan kecewa karena tak menyangka Anin akan melakukan hal yang menurunkan harga dirinya.
Terlebih di depan seorang dokter bernama Arkana, Airys tak habis pikir kenapa Anin juga tiba-tiba menjodohkan mereka hanya karena perkara rusaknya selaput dara?
"Maafkan anak saya ya, Dok," ucap Anin sebelum kemudian buru-buru menyusul Airys.
"Airys, tunggu ibu, Nak!"
***
Bersambung…
Semoga suka cerita baru ini😁

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
