
Selamat membaca kisah Ayash dan Lunar❤
Blurb :
Warning⚠️ mature romance
Manusia dianugerahi satu kemampuan istimewa, yaitu rasa kagum. Ketika dipadu dengan rasa tertarik dan ingin tahu, rasa kagum itu bisa menjadi pertanyaan. Semakin besar rasa kagumnya, makin banyak pula pertanyaannya.
Lunar melakukan itu, selama enam tahun mengagumi Ayash. Menyimpan rasa sendirian, Lunar tidak berharap apa pun selain jodoh terbaik dari Tuhan.
Namun nyatanya, manusia hanya bisa berdoa dan Tuhanlah yang memiliki kuasa.

Satu
"Sepertinya lo udah sampai," ucap seorang lelaki yang memacu cepat jarinya di balik rok seorang wanita. Terengah bersama peluh yang membanjiri pelipis. Kedua tangannya mencengkram pundak sang lelaki, sebagai pelampiasan gairah. Walau ia duduk di meja, kedua pahanya yang sengaja direnggangkan terasa bergetar ketika pelepasan itu tiba.
"Belum Yash." Ia menggeleng lemah.
"Udah."
"Sekali lagi pleasee." Wanita berambut sebahu itu memohon.
"Gak. Gue sibuk ada rapat." Lelaki itu pun menolak mentah-mentah. Seolah kegiatan mereka cukup sampai di situ, tak ada tambahan waktu karena ia hanya ingin bermain.
Laki-laki itu berbalik mencuci tangannya di wastafel. Mengabaikan sang wanita yang tak bergerak karena masih 'ingin'.
"Yash."
"Cepet benerin rok lo!" deliknya tajam.
Lelaki berseragam organisasi kampus itu lalu memantik rokok. Menghisapnya berulang saat perempuan tadi hanya bisa mendesah pasrah lalu membenarkan celananya.
Mereka kembali asing.
Seolah tak terjadi apa-apa, menyembunyikannya dengan apik padahal tanpa mereka ketahui ada sepasang netra cantik yang berhasil mengintip.
Ya, sepasang netra yang memperhatikan sambil menelan saliva kasar, jantung perempuan itu berdegup tidak karuan. Dengan tangan mengepal di depan perut. Berharap yang dilihatnya adalah mimpi namun kilasan kejadian tadi justru makin berputar di kepala.
Ayash Naradhipta, Presma kampus incaran banyak mahasiswi yang seharusnya menjadi panutan tapi mengapa ia bisa melakukan hal menjijikan semacam itu?
Berbalik memunggungi pintu. Lunar mengambil satu langkah bertepatan sebuah suara mengurungkan niatnya.
"Ada perlu?" Tanpa diduga, pintu terbuka membuat gadis itu berhenti, ia segera berbalik menghadap lelaki tadi dengan senyum kaku.
"Aku mau beli tiket seminar buat besok, kak."
"Masuk."
Tanpa banyak bicara Ayash pun mempersilahkannya memasuki ruang organisasi. Lunar dapati perempuan tadi menatapnya datar dengan jemari sibuk menari di atas laptop. Lunar mengalihkan pandangan karena tidak berani menatap lebih.
Kemudian Ayash menyerahkan sebuah kertas padanya.
"Catat nama sama jurusan lo di sini."
"Tanda tangan juga?"
"Ya."
Lunar pun mengisinya di atas meja. Lanjut menyerahkan sejumlah uang. Bersama gugup yang masih mendera ketika tangan mereka bersentuhan untuk pertama kali. Ya, pertama kali. Ia seakan membeku saat tangan Ayash menyentuh kulit tangannya.
"Terima kasih, kak."
"Kembaliannya mau lo sedekahin?" Ayash membuatnya urung meninggalkan tempat. Lunar kembali berbalik.
"Eh lupa, kak. Maaf."
Lelaki itu tersenyum tipis saat Lunar menerima kembaliannya. "Jangan lupa tiketnya dibawa pas acara."
"Pasti. Aku permisi, kak."
Pamit, urusannya bersama Ayash sudah selesai.
Lunar tidak ingin apa-apa lagi.
Cukup sampai sini dia tahu bahwa menyukai Ayash adalah sebuah kesalahan yang semestinya tak diulangi.
Lelaki itu ternyata nakal dan cukup berbahaya. Sayang, Lunar terlambat menyadarinya.
"Aku udah kagum sama orang yang salah. Aku harus hilangin perasaan ini," batinnya. Hingga sebuah tepukan di bahu membuyarkan lamunan gadis itu.
"Cepat selesain entar pak Ayash keburu datang, Lun. Lo mikirin apa dah?" tanya Cia. Temannya di kelas, mereka sedang menunggu kedatangan dosen mata kuliah pertama.
Lunar menggeleng lemah. Ck, ternyata dia baru saja melamun. Tersenyum tipis ia lanjut mengetik di keyboard laptop.
"Mengenang sedikit masa lalu aja, kak."
"Ck. Ngapain inget masa lalu mending lo inget pak Ayash tuh, udah ganteng, pintar, berwibawa lagi, seger mata gue tiap beliau ngajar."
Lihat, bahkan setelah menjadi dosen muda Ayash masih saja digandrungi banyak wanita.
"Tapi—"
"Lo ada lihat kekurangan pak Ayash?" tanya Cia serius. "Nggak ada sama sekali, Lun. Beliau tuh idaman banget tahu. Emang lo nggak kagum sama beliau?"
Kagumlah.
"Kagum boleh, tapi jangan sampai cinta. Entar kamu nyesel sendiri, kak."
Macam yang aku rasakan.
"Why?" Alis Cia bertaut heran. "Semua orang berhak jatuh cinta, kan?"
"Iya. Tapi terlanjur jatuh cinta sama orang yang salah akan lebih fatal."
Itu benar. Lunar menyesal. Terlebih ketika perasaan ini masih bersarang dalam hatinya. Seolah enggan pergi, dan justru memupuk rasa lebih banyak.
Siapa bilang mustahil mengagumi seseorang selama bertahun-tahun? Buktinya Lunar adalah salah satu dari pengagum itu. Ia mengagumi Ayash, seseorang yang ia kenal sejak lima tahun lalu.
Dia sedang merapikan beberapa buku ke meja setelah pak Ayash menyudahi kelas. Bermenit lamanya ruangan berangsur kosong. Hanya tersisa ia sendiri dan ... Ayash, meski lelaki itu belum beranjak ia tetap berusaha abai.
"Lun."
Dan Lunar mendongak, tanpa ia duga Ayash telah berdiri di sampingnya. Matanya mengamati lelaki dengan ransel hitam dan celana bahan serta kemeja navy yang lengannya digulung sebatas siku itu. Menambah kadar kegantengannya di mata Lunar.
"I-iya, Pak?"
"Bisa kasih ini ke komti? Saya lupa menyerahkannya saat mengajar tadi."
Menatap sejenak selembar dokumen yang Ayash ulurkan sebelum menerima. Lunar mengangguk. "Ini apa, Pak?"
"Daftar nilai kalian untuk tugas praktik kemarin."
Oh.
"Kamu penasaran, Lun?" tanyanya melihat Lunar malah terdiam cukup lama. Lunar meminta izin.
"Boleh saya liat duluan, Pak?"
"Tentu."
"Terima kasih ya."
"Ada apa?" Entah Ayash mendengar atau tidak sebab ponsel lelaki berdarah timur tengah itu tiba-tiba berdering. Ayash berjalan keluar menerima panggilan meninggalkan Lunar yang bersemu di tempat.
Seperti biasa, Lunar hanya mampu mengamati punggung tegap itu berangsur menghilang.
Lalu merekamnya banyak-banyak di kepala untuk dikenang.
***
"Dek, ada tamu?" Lunar bertanya heran usai mematikan mesin motornya dan mendapati sebuah mobil putih parkir di depan rumah.
Adiknya yang bernama Andin menjawab, bocah itu bermain lompat tali bersama anak tetangga di halaman rumahnya yang terdapat pohon mangga. "Iya tuh, Kak. Katanya teman lama papa."
"Teman? Tumben."
Ayahnya sudah lama meninggal, sekitar dua tahun lalu saat Lunar baru saja menyelesaikan studi S1.
Tapi mengapa tiba-tiba ada seseorang datang mengaku sebagai teman ayahnya?
Karena penasaran perempuan itu pun melangkahkan kaki ke teras rumah yang minimalis, baru juga memijaki ambang pintu ia disambut oleh sang ibu.
"Ayo masuk, Nak."
Lunar tidak lebih dulu mengiyakan tapi memilih bertanya.
"Bu, teman papa yang mana sih? Bukannya mereka nggak pernah peduli waktu papa meninggal, kenapa sekarang tiba-tiba datang?" ujarnya menekan emosi, bersama rasa penasarannya memuncak ke ubun-ubun.
"Shttt, yang ini beda. Beliau baik banget, Nak. Sering bantuin papa waktu kita susah."
"Ck. Terus waktu papa meninggal mereka kemana?"
"Lun, nurut ya," Kiara berusaha membujuk, sebab ia tahu Lunar masih trauma atas kematian Tama yang begitu Tragis. Orang-orang menyalahkan suaminya dalam tragedi kecelakaan bertahun-tahun lalu. "Bersikaplah dengan baik karena mereka bukan orang biasa, Nak. Mereka datang-datang jauh ke sini demi menemui kita."
"Lunar nggak peduli mereka orang biasa atau konglo sekalipun, kalo datang cuma untuk nyalahin papa aku nggak sudi." Gadis itu bersikeras. Ekspresinya jelas menunjukkan penolakan. "Bu, ibu tahu kan orang-orang di luar sana masih menyalahkan papa atas kecelakaan itu?"
"Mama tau, Lun. Tapi—"
"Udah yaa, Lunar capek mau istirahat," ucapnya. Lunar melangkah memasuki rumah. Dia tak peduli akan berhadapan dengan siapa, Lunar sudah muak.
Sayang kareba untuk menuju kamarnya dia harus melewati ruang tamu, Lunar tiba-tiba melihat jelas siapa lelaki yang duduk di sofa. Dua orang. Satunya asing tetapi salah satu yang lain berhasil menjasiman langkah Lunar berhenti, hingga membuat tubuhnya mematung di tempat.
Netranya membola, menatap lelaki itu syok.
"Pak Ayash?"
"Lunar?"
Lelaki itu pun berdiri. Sama terkejutnya dengan Lunar.
Apakah semesta sedang ingin menunjukkan kuasanya hari ini?
Tapi kenapa harus Lunar, mahasiswanya sendiri?
Dua
Di usianya yang menginjak dua puluh lima Lunar tidak pernah berpikir secepat ini untuk menikah.
Baginya, keputusan dewasa itu dilakukan oleh dua orang yang saling cinta. Bukan atas rasa terpaksa seperti yang melandanya bersama Ayash sekarang.
Lelaki itu bertamu, membawa kabar bahwa dia ingin meminang. Walau pernah menyimpan suka namun Lunar cukup tahu caranya berpikir panjang.
"Bapak yakin?"
Mereka sedang duduk di teras depan. Diberi waktu untuk saling mengenal. Saat orang tua mereka sibuk merencanakan pernikahan, Lunar masih berperang dengan hatinya apakah mesti menerima pinangan Ayash atau tidak?
Ayash, laki-laki cerdas, berwibawa dan memiliki tatapan tajam serta alis tebal. Lelaki yang enam tahun lalu sempat ia kagumi di kampus, hanya terpaut lima tahun lebih tua darinya itu mendengkus.
"Saya tidak menginginkan pernikahan ini, di sisi lain saya juga tidak bisa mengingkari wasiat ayah saya, Lun," katanya, menatap Lunar lekat-lekat. Menumpukan sikunya di kedua paha sembari menautkan jari.
"Lalu kenapa bapak setuju dijodohkan dengan saya?"
"Saya sendiri bingung harus menolak perjodohan ini seperti apa," sahutnya lagi. "Ayah meninggalkan wasiat agar saya segera menikahi kamu, semua itu tertulis di surat perjanjian yang disepakati mendiang ayah kamu dan mendiang ayah saya."
"Perjanjian?"
"Kamu bisa lihat semuanya di sini." Lelaki itu kemudian mengulurkan sebuah berkas yang sedari tadi tergeletak di atas meja.
Lunar menerima dan langsung saja ia mencari jawaban. Keningnya mengerut dalam. Ada sesak yang membuncah usai menyerapi setiap kalimat dalam dokumen perjanjian itu. Terselip pula foto dokumentasi Tama bersama Samudra yang berjabatan sebagai bukti.
"Jadi karena hutang ayah saya ke ayah bapak?"
Ayash mengangguk. "Benar. Sebelum meninggal ayahmu dan ayah saya pernah membuat kesepakatan. Pertama, jika ayahmu lebih dulu meninggal hutangnya harus tetap dilunasi. Kedua, apabila ahli waris tidak mampu, kamu yang akan menggantikan seluruh nominalnya dengan menjadi istriku."
Lunar syok bukan main.
Ia tak menduga Tama akan membuat keputusan besar ini bersama ayahnya Ayash.
"Lun. Saya tahu ini menyakiti kamu. Tapi saya tidak punya pilihan selain memilih opsi kedua, yaitu meminang kamu," katanya menatap sendu Lunar. Ia tahu perempuan itu syok.
"Bapak lebih dulu meminang sebelum bertanya saya mau membayar sisa hutangnya atau nggak?"
"Memangnya kamu sanggup?" Ayash menyilangkan tangannya di depan dada. "Nominalnya sekitar dua ratus juta."
Kini Lunar terkejut. Perempuan itu menunduk ragu.
Darimana dia bisa mendapatkan uang sebanyak itu dalam waktu dekat?
"Nggak bisa, kan? Kalau pun mencicil mungkin memakan waktu puluhan tahun, Lun."
Itu benar.
Gajinya sebagai staff keuangan junior di kantor penerbitan tergolong kecil untuk mencicil nominal ratusan juta. Belum lagi segala biaya untuk keperluan rumah.
Akan tetapi ada satu hal yang membuat Lunar gundah.
"Saya nggak mau kita menikah karena dipaksa oleh keadaan, Pak. Singkatnya, saya ingin dinikahi oleh orang yang mencintai saya," Salah satunya ini.
Ayash menegapkan punggung mendengar itu, dia menatap halaman rumah minimalis milik Lunar.
Selanjutnya senyum tipis laki-laki itu sunggingkan.
"Saya juga bukan tipe orang yang jatuh cinta pada pandangan pertama."
"Tapi ... saya bisa berusaha untuk mencintai kamu."
Rona hangat seketika menjalari pipi Lunar. Ia memang masih menyimpan kagum dengan Ayash tapi tak pernah sedikit pun Lunar berharap memiliki laki-laki itu.
"Bapak nggak punya pujaan hati sebelumnya?" tanya Lunar memastikan. Sebab ia tidak ingin dicap sebagai orang ketiga dalam rajutan hubungan yang sudah tercipta.
"Ada. Tapi dia sedang koma."
"Eh. Ma-maaf. Saya nggak—"
"Saya mengerti, Lun." Kini Ayash menatapnya lagi. Namun lebih intens, menuntut jawaban.
"Jadi bagaimana? Saya tunggu keputusan kamu."
***
Nyaris pukul delapan pagi ketika Lunar tiba di parkiran kampus.
Menarik napas, perempuan itu coba mengetuk setelah kakinya berhenti di depan pintu kelas.
Sialnya, Lunar lupa jika mata kuliah pertama diisi oleh pak Ayash.
"Jam berapa?" Dan benar saja, seperti yang sudah ia tebak, Ayash tidak semudah itu membiarkan mahasiswanya masuk sebelum memberi alasan terlambat.
Lunar melirik gugup arloji kecil di pergelangannya. "Delapan lewat lima belas menit, Pak."
"Maaf, Pak. Saya boleh masuk?"
"Kamu lupa peraturan di kelas saya?"
"Ingat jelas. Tapi tadi saya benar-benar terjebak macet, Pak karena Ada satu truck bannya meledak di tengah jalan."
Ia jujur. Gara-gara salah satu ban truck meledak di tengah jalan hingga menimbulkan kemacetan panjang, belum lagi motornya yang terhimpit di antara mobil membuat Lunar tidak bisa memangkas keterlambatannya semenit pun.
Ayash tampak mengabaikan sahutannya, lelaki itu merogoh ponsel dari saku celana.
"Alamatmu?"
"Jalan Cempaka Raya, pak." Memastikan Lunar jujur atau tidak, Ayash membuka salah satu akun berita instagram di kota mereka.
Meski Lunar dibuat bingung mengapa lelaki itu bertanya alamat padahal baru kemarin dia berkunjung sebagai tamu?
Ah, pasti itu hanya pencitraan agar mereka tidak terlihat saling mengenal.
Menemukannya, Ayash kembali menyimpan ponsel.
"Masuk."
"Terima kasih ya, Pak."
Tersenyum lega, buru-buru Lunar menempati kursi kosong di sebelah Cia. Ia sudah kepalang malu menjadi perhatian penghuni kelas. Ketika Ayash melanjutkan kembali penjelasannya, Lunar mulai mengeluarkan buku.
"Buset, udah tau si ganteng moodnya jelek mulu lo pake telat segala," sergah Cia di sampingnya.
"Macet tau, kak."
"Eh, tapi tumben ya dia ga ngusir lo, kagak kayak biasanya."
"Lha, emang biasanya aku telat? Baru kali ini doang," decaknya tak terima.
Cia menggeleng. "Nggak Lun, maksud gue siapa aja yang telat biasanya diusir kan? Aneh banget elo kagak."
"Iya juga sih." Lunar manggut-manggut. Senyumnya kemudian melebar. "Mungkin aku beruntung doang hari ini."
Sebab tak mungkin karena perjodohan kemarin Ayash langsung menempatkannya di barisan orang spesial. Itu mustahil!
"Terus nih—"
"Kamu," Teguran Ayash mengarah pada Cia.
Mereka lantas terdiam sebab Ayash berdiri menatapnya penuh peringatan. Satu tangan lelaki itu tenggelam di saku sedangkan satu tangannya memegang pointer.
"Dari tadi saya lihat kamu sibuk bicara. Memangnya kamu sudah paham? Coba ke depan jelaskan ulang penjelasan saya tadi menggunakan bahasamu sendiri," pintanya tegas.
"I-iya, Pak." Tak ada pilihan selain menurut. Cia bangkit dari kursi dengan senang hati, mulutnya mengambil kesempatan berbisik pada Lunar. "Entar yak, gue sambung di kantin."
Dan Lunar hanya mengangguk tipis. Ia tak mau menjadi tumbal Ayash kedua. Cukup memperhatikan segala penjelasan lelaki itu, Lunar bisa belajar dengan tenang hingga jam selesai.
Lalu saat di kantin, Cia berusaha melanjutkan gosipnya tentang Ayash. Ya, selalu Ayash. Mungkin ini salah satu alasan mengapa Lunar sulit melupakan lelaki itu. Cia selalu mengisi telinganya dengan kata Ayash.
Uhk.
"Serius?" Lunar bertanya sembari menyeruput kuah bakso. Nyaris saja ia tersedak, menatap Cia yang juga menyantap bakso di hadapannya. Kantin mulai berangsur ramai karena jam krusial begini banyak mahasiswa memanfaatkan waktunya untuk jajan.
"Ya dong. Gosipnya baru-baru aja sih. Soalnya ada teman gue yang pernah sekampus sama si ganteng, makanya gue kaget aja pas dengar itu."
"Dan kamu percaya, kak?"
"Sedikit. Siapa tau beliau beneran homo, hitung aja umurnya masa udah nyampe tiga puluh belum nikah-nikah."
Lunar berdecak pelan, "Mungkin lagi nyari yang tepat aja. Atau memang belum nemu kandidat yang cocok. Kan nyari pasangan nggak boleh sembarangan. Seumur hidup itu lama lho."
"Ngerti gue. Herannya tuh kenapa beliau belum gandeng pacar, nggak ada fotonya juga di instagram."
Oh. Jadi Pak Ayash punya sosmed?
Dulu Lunar sempat menstalk tapi tidak ketemu.
"Siapa tau udah ada cuma ya ... privasi gitu." Lunar berusaha bersikap biasa saja, meski dia ingat ucapan Ayash kemarin bahwa hingga sekarang lelaki itu masih menunggu wanita yang ia cinta berjuang melawan sakit.
"Ih masa?? Ga terima gue kalo gitu mah, masa diem-dieman!"
"Hak beliau itu, kak."
Cia menghembuskan napas kecewa.
Menggelengkan kepala pada temannya itu, Lunar lanjut menyantap bakso. Dampak dari perbincangan ini ternyata cukup fatal, gara-garanya Lunar jadi kepikiran beberapa hal tentang Ayash.
Seperti, bagaimana masa lalunya?
Dan mengapa di usia sematang itu Ayash belum menggandeng pasangan?
"Eh, liat pak Ayash bareng bu Siska," bisik Cia. Lunar lantas mengangkat kepala dan mendapati Ayash memasuki kantin sambil bercengkrama hangat bersama bu Siska, dosen muda yang juga mengajar di jurusan mereka.
Tanpa sadar, Lunar mengamatinya dengan sedikit sesak di dada. Interaksi antara Ayash dan Bu Siska normal. Keduanya saling tersenyum.
Membuat Lunar tidak berharap banyak, karena tentu saja, Ayash sedang menyimpan rasa pada wanita yang tengah berjuang melawan penyakit.
***
Bersambung…
Yeayy!! Bab 1 sampai 2 akhirnya meluncur guyss, gimana kesannya untuk dua bab pertama ini? Semoga suka dan bikin kalian penasaran yaaa. Tenang, cerita ini ga full angst, masih ada komedi sama bucin-bucinnya yang bikin baper🥰
Pokoknya pak Ayash bakal bikin perasaan kita terombang-ambing deh🤣
(Ayash Naradhipta, 30 tahun)

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
