
Satu part dulu nih, mau test ombak masih pada suka apa enggak. 😊Jangan lupa tap love dan komen yaaa pembacaku tersayang❤
“Kamu masih perawan, kan?” Pertanyaan laki-laki itu membuat Lunar membelalak kaget hingga memundurkan kepala. Dia mengangguk kaku.
“Iya, Mas.”
“Saya menginginkanmu.”

Lima
Mereka telah menikah secara privat, hanya kerabat dekat yang hadir. Bahkan tak ada satu pun teman kuliah yang berani Lunar undang. Lagipula ini hanya akad. Tanpa resepsi. Status mereka siri.
Sepulang kuliah, gadis itu mengunjungi Kiara dan Andin di rumah. Mereka terpisah sebab dia sudah tinggal dengan Ayash. Lebih tepatnya, tinggal terpisah karena sesuai kesepakatan mereka tidak akan tinggal satu atap. Melainkan hanya unit apartemen saja yang bersebrangan.
Itu pun cukup. Ingatkan Lunar bahwa pernikahan mereka tidak lebih dari pelunasan hutang.
"Jaga diri-diri baik, nurut semua kata Ayash ya, Nak. Jangan pernah melawan apalagi sampai bertengkar," kata Kiara memberi wejangan penutup. Usai cukup lama mereka berbincang. Menikmati waktu, dengan duduk di ruang makan.
"Iya, Bu."
Wanita berdaster yang tengah mencuci piring itu menoleh sekilas. "Oh ya, kapan ibu boleh mengunjungi rumah kalian? Ibu mau lihat-lihat."
"Eumhh. Kapan pun ibu boleh datang kok. Tapi kirim pesan dulu ya, takutnya kami berdua nggak ada di apart."
"Apart?" Dahi Kiara mengerut heran. Menatap putrinya penuh tanya.
Lunar mengangguk. "Sementara pembangunan rumah baru Mas Ayash belum selesai, kami tinggal di apartemen, Bu." Ia tidak berbohong soal itu, Ayash memang sedang menunggu pembangunan rumahnya di daerah Menteng yang belum selesai.
"Yang ada tangga terbangnya itu kan, kak?" Di sampingnya Andin bertanya polos.
"Namanya lift itu, Dek."
"Hehe. Andin mau coba naik nanti, kapan-kapan bawa Andin ke sana ya, Kak."
"Pasti dong. Maunya kapan bilang aja ke kakak."
"Bagus ya. Ayash udah nyuri start bangun rumah sebelum menikahi kamu. Beruntung loh kamu, Lun." Terselip senyum bangga di bibirnya. "Terus urusan kantormu gimana, Nak?" Sekarang mengubah topik, wanita itu mendaratkan pantat di kursi sebelah Andin setelah menyelesaikan kegiatannya.
"Bagus, kok. Ayash tetap bolehin aku kerja, Bu. Dia nggak menuntut aku diam di rumah."
Faktanya begitu.
Tidak ada peraturan dalam kontrak mereka yang menuliskan bahwa dia harus berada di apartemen selama 24 jam. Justru Ayash membebaskannya pergi kemana pun dia mau, asalkan lebih dulu meminta izin dengan alasan jelas.
Meski kadang, Lunar merasa miris.
Dia selalu pergi seorang diri seperti tanpa punya suami.
Terlebih, ketika jam istirahat kantor tiba seperti sekarang, ketika para karyawan berkumpul membahas sikap suami mereka. Lunar enggan bergabung, ia hanya mendengarkan sambil tersenyum tipis.
"Laki gue nggak masalah sih nemenin gue belanja sampai seharian, katanya, yang penting gue seneng." Saras menyeletuk ceria, teman satu kubikelnya yang suka sekali menggosip sambil menikmati makan siang.
Ditemani Meirin tentunya, yang berada di sebelah Saras. Wanita itu memundurkan kursi guna menatap Lunar.
"Eh, laki lo gimana, Lun? Romantis nggak?" Lunar sudah mewanti ia akan ditimpali pertanyaan itu. Kunyahan roti di mulutnya memelan, sebelum kemudian terpaksa memapar senyum palsu pada Meirin.
"Romantis kok, mbak. Tapi orangnya gengsian. Harus aku yang manja dulu."
"Susah tuh kalo begitu. Lo-nya yang mesti hyper."
"Kapan-kapan suruh jemput lo di kantor lah, Lun, biar kita-kita tahu rupa suami lo gimana. Jangan bikin kaget kantor doang dengar lo tiba-tiba nikah." Meirin kembali menimpali.
"Haha, iya mbak. Kapan-kapan yaa."
Tawa Lunar menipis. Saat Meirin dan Saras lanjut menggosip ia berpura-pura abai. Tentu saja untuk menghindari pertanyaan yang akan membuatnya sakit.
Perempuan itu jadi bertanya-tanya.
Apakah keputusannya ini salah?
Menerima pinangan Ayash. Hingga terikat dalam hubungan yang terasa hampa.
Tidak. Dia sendiri yang bersedia. Mengapa sekarang jiwanya yang merasa nelangsa?
Semestinya tidak.
Lunar pulang menggunakan taksi, beralasan Ayash sibuk mengajar jadi tidak mungkin menjemputnya. Ia melambai pamit pada Saras dan Meirin yang menunggu di pelataran gedung.
"Duluan ya, mbak." Rasanya benar-benar lega setelah berhasil menghindari mereka.
Entahlah bagaimana besok, dia akan membuat alasan baru.
Waktu menunjukan pukul lima sore. Sesampainya di apartemen Lunar menghempaskan tubuhnya ke ranjang yang empuk. Dia memejamkan mata karena kelelahan dan nyaris tertidur jika saja ponselnya tidak berdering lama.
Lunar duduk, kakinya menjuntai ke lantai keramik, menatap layar ponselnya malas, menemukan nama Kak Cia sebagai panggilan masuk.
[Lun, gue bawa info penting nih, pasang telinga lo baik-baik]
"Iyaa ... kenapa sih, kak?" Lunar berusaha terdengar tertarik. Memilih mengalah. Karena enggan meladeni ngambeknya Cia di kelas. Walau ia tahu, info penting yang Cia maksud pasti tak jauh tentang Ayash.
[Gini yaa, gue tadi ketemu pak Ayash di rumah sakit, Lun. Jenguk seseorang katanya]
[Mukanya panik gitu deh ikut khawatir gue.]
"Serius, kak?" Sekarang Lunar betulan tertarik. Duh, jika ibu Mila yang sakit ia akan menyusul ke sana.
[Iyalah, masa gue bohong? Nah kan, penasaran juga lu]
"Yaa sedikit mau tau."
[Tapi katanya cuman keluarga, eh pas gue intip pak Ayash cium kepala cewek yang lagi baring itu]
[Cakep sih ceweknya. Sebelas dua belas sama gue]
Ada sesak menyergapi. Namun sekarang Lunar tau perempuan yang Cia maksud. Karena Ayash sudah menceritakan semuanya sebelum pernikahan terlaksana.
Lunar menghela napasnya. "Kakak lihat jelas?"
[Banget, Lun. Ngapa dah lo nggak percayaan banget]
"Bukan gitu, kak. Aku—"
[Pak Ayash kayaknya sayang banget sama tuh cewek
[Mungkin gak sih itu pacar beliau?]
"Mungkin, aku juga nggak tau, kak."
[Eh, tapi, Lun…]
Hampir setengah jam berlalu, Lunar mendengar segala curhatan Cia tentang Ayash. Ia akui hatinya cemburu namun Lunar tidak berpikir rumit mempermasalahkan perasaannya. Karena Lunar sadar dimana posisinya berada.
"Udah ya kak, aku capek nih mau istirahat." Lunar mengakhiri, ketika kalimat Cia berhenti cukup lama. Mungkin sedang berpikir topik apalagi yang bahas tentang suaminya.
Eumhh ya, suami.
Meski sebenarnya mereka asing.
[Okey, gue sambung di kelas, Lun. Byee!]
Beruntunglah temannya itu menurut. Cia mengakhiri panggilan dan Lunar meletakkan ponselnya ke samping. Di hempaskannya punggung lalu menatap langit-langit kamar.
Lunar bohong, nyatanya ia meminta waktu meredakan rasa sakit yang menyerbu. Menatap cincin pernikahannya, senyum sedih perempuan itu terulas dengan mata memanas. Yakin hanya ada satu nama indah yang memenuhi kepala Ayash.
Satu nama.
Aruna Sashmita.
Berbeda dengan seseorang yang tengah melampiaskan amarahnya dengan alkohol. Laki-laki itu tidak punya waktu untuk menangis.
Apakah doa yang ia panjatkan setahun ini belum cukup? Ingin rasanya marah pada Tuhan? Namun bagaimana?
Kesehatan Aruna berulang kali membaik lalu tiba-tiba kritis, Ayash muak dengan kabar itu. Ia hanya ingin Aruna sembuh tapi mengapa sulit sekali dikabulkan?
Ayash menenggak sekali lagi, sebanyak-banyaknya yang ia bisa. Menikmati rasa pahit dan pengar yang melewati tenggorokan. Lelaki itu bersandar ke sofa lalu mengacak rambutnya.
"Tambah lagi, Yash." Dewa, temannya meletakkan sebotol minuman ke meja, yang ditanggapi Ayash dengan gelengan.
"Kenapa, bung? Nggak tahan?"
Ayash tak menjawab. Tatapnya meliar pada wanita-wanita cantik yang bercumbu bersama pria di depan sana.
"Mau nyewa cewek di sini?" tawar Dewa saat tahu ke mana tatapan Ayash. Melihat jari manis sang sahabat, ia lantas tertawa. "Ah yaa, gue baru sadar itu cincin. Brengsek ya lo nggak ngundang gue."
"Kita cuma siri. Dia bukan istri hukum gue."
"Maksud lo?"
"Hutang, dia nggak lebih sekedar tebusan hutang mendiang bokapnya ke gue."
"Lo beli dia?"
Kedua sudut bibir Ayash tertarik. Satu tangannya bergerak mengambil sebatang rokok di meja. Menghisap setelah menyulut ujungnya dengan api, dan menghembuskan asapnya ke udara. "Bisa dibilang begitu."
"Bangsat lo, Yash. Gue kira setelah lulus kuliah lo berubah, ternyata ... Ck, ck."
Toh, tak ada yang menarik dari Lunar. Perempuan itu terlalu biasa. Tidak seperti Aruna yang ekspresif dan ceria, tahu segala hal yang dia butuhkan.
Dan hanya Aruna yang Ayash inginkan sebagai pendamping hidup, bukan Lunar, sekalipun mereka telah sah secara agama.
***
Lunar sedang berbincang bersama wisnu yang biasanya dipanggil Uci, teman laki-lakinya di kelas lewat video call yang terhubung di laptop.
"Ini bagus menurutmu kan, Ci?" Ia bertanya, sembari memperlihatkan dress model A-Line berwarna cream yang baru ia kenakan di depan tubuhnya.
"Cocok, kok, Lun. Yaelah kan cuma nonton sekalian makan malem bareng. Nggak usahlah kamu repot-repot begitu."
"Nggak ngerepotin ini. Aku cuma milih yang sedikit bagus. Biar nggak malu-maluin amat di mall nanti."
"Ck. Kamu udah cantik natural, Lun. Pakai apa pun tetap bagus kok."
Lunar tersipu. Wisnu memang pintar membuatnya bersemu. Laki-laki itu mengajaknya pergi makan malam bersama hari ini. Sebagai sahabat sejak kuliah, Lunar tentu setuju. Karena Wisnu salah satu sahabatnya yang sangat baik.
Mereka sama-sama bukan keluarga dari berada. Wisnu adalah seorang pendatang yang mencari rezeki dan mengejar gelar sarjana di Jakarta.
"Okedeh, aku pakai yang—"
Bel apart berbunyi berulang kali mengurungkan Lunar melanjutkan kalimatnya. Ia menatap keluar kamar, sebelum kemudian permisi pada Wisnu.
"Sebentar yaa, Ci. Kayaknya ada tamu."
"Oke, Lun."
Maka Lunar segera melangkahkan kakinya ke menuju pintu utama, bel terdengar lagi berulang. Tangan kanannya pun bergegas membuka pintu.
"Mas Ayash?" Dan kesiap kaget dari wajahnya membuat Lunar membeku di tempat. Ia dapati Ayash dengan wajah kacau, bau alkohol menyengat, serta penampilan yang sangat berantakan. Dia datang di antar ada dua orang berpakaian putih.
"Lunar." Ayash bergerak memeluk. Menenggelamkan kepala di caruk lehernya.
"Saya security apart, tadi bapak ini berbuat ricuh sepertinya karena mabuk."
"Tapi ini bukan unitnya."
"Bapak ini memberitahu nomor unitmu ketika ditanya. Anda temannya?"
Bibir Lunar terbuka namun urung, ia ingin meminta security mengantar Ayash ke unit seberang. Sayangnya, tidak akan ada satu orang pun yang menemani, terlebih Ayash sudah melarangnya memasuki apartemen lelaki itu tanpa izin. Meskipun di sini ia berstatus sebagai seorang istri.
"Gimana, mbak?"
"Yasudah, di sini aja. Maaf merepotkan ya, Pak."
"Baiklah, kami tinggal."
Lunar lantas memapah tubuh kekar Ayash masuk. Menjatuhkan tubuh besar itu ke sofa. Melepas sepatu pantofel hitam serta kaos kakinya. Beberapa kancing kemejanya juga Lunar buka agar lelaki itu bisa bernapas lebih leluasa.
"Pusing, Lun. Pegal badanku." Keluhan Ayash masih terdengar.
"Bapak tidur aja yaa."
"Ini di luar kampus. Panggil saya 'Mas', Lun. Jangan, Pak. Berapa kali harus saya ingatkan?" tegurnya berusaha tegas tapi tetap terdengar lempeng. Tatapnya pun menajam. Efek alkohol mungkin membuat emosi lelaki itu mudah naik.
"Maaf. Iya Mas tidur aja, biar badannya mendingan." Lunar pun membersihkan leher suaminya menggunakan tisu.
Ayash memilih abai, ia tidak jadi mengantuk, justru terfokus pada pakaian Lunar yang terlalu bagus untuk sekedar dipakai di rumah. Gaun bermodel A line berwarna cream, menonjolkan warna kulitnya yang putih.
“Baju kamu bagus. Mau pergi kemana?” tanyanya. Ayash menegapkan punggung meski kepalanya terasa sangat berat. Lelaki itu memang mabuk tapi tidak sepenuhnya kehilangan akal.
“Tadi teman aku ngajak makan malam bareng, Mas. Jadi aku mau coba dress ini."
“Kenapa nggak izin?”
“Mau izin kok, tapi Mas keburu datang.”
“Temanmu laki-laki?”
Lunar mengangguk. Ya Tuhan. Bagaimana jika Ayash marah? Tetapi, sepertinya itu mustahil.
Ayash tidak cemburu. Namun ia merasa keberatan jika Lunar pergi bersama laki-laki lain malam ini. Entahlah, kenapa dia yang jadi resah?
"Lun." panggilnya. Lunar mendongak, dan Ayash tiba-tiba menyelipkan telunjuk ke bibirnya yang sedikit terbuka.
“Kamu masih perawan, kan?” Pertanyaan laki-laki itu membuat Lunar membelalak kaget hingga memundurkan kepala. Dia mengangguk kaku.
“Iya, Mas.”
“Saya menginginkanmu.”
"Hah? Mas lagi mabuk, sebaiknya jangan."
"Saya cuma butuh ketenangan. Kamu nggak mau ngasih itu ke saya?"
Lunar menunduk bersemu. Juga takut menolak karena Ayash terdengar menuntut hal itu.
"Saya pengen, Lun. Boleh yaa?" Nadanya berubah melembut, satu tangannya bergerak mengusap pipi Lunar. Tatapnya pun berubah sayu.
"Saya mau coba, sekali aja sama kamu. Boleh?"
***
Bersambung...
Video callnya belum dimatiin sama Wisnu lho, Lun jangan sampai ketahuan dehh🤣
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
