
"Iya bukan siapa-siapa kakak kok—hah 10 potong ayam goreng diantar ke rumah kita?!"
"Simpan buat makan malam dan jangan dikasih ke tetangga lo." Arven ikut menyahut lagi maka Asmara reflek menabok lengan pria itu.
"Duh, bapak nakal banget sih."
Bukan Asmara tidak bersyukur Arven mengirimkan banyak ayam goreng ke rumah mereka, namun rasa penasaran Nadin pasti akan sangat merepotkannya.
"Iya Nadin, itu dari temannya kakak."
"Gue pacarnya."
"Pak Astaga!"
- Cek PAKET BENEFITS” cuman Rp39.900, kalian sudah bisa...
Chapter 7 > Penculik



Terlalu banyak hal mengejutkan dalam hidup Asmara dan salah satunya adalah ini.
"Ngapain lo nyamperin gue penyihir?"
Kedatangan wanita itu rupanya mendapat sambutan buruk dari Arven. Asmara mengamatinya mulai atas ke bawah, penampilan wanita itu rapi mengenakan blazer tosca, high heels silver serta rambut curly sebahu yang membuatnya tampak sangat elegan.
Namun kenapa Arven menyambutnya seenggan itu?
"Memang lo ada hak ngelarang gue buat ketemu lo? Toh, tante Flora sendiri ngebebasin gue ketemu anaknya kapan pun gue mau," ujarnya ngeyel. Asmara berusaha menerka-nerka siapa dia, seragam yang dikenakannya pun tidak menuliskan nama.
"Vi. Lo nggak jera gue cekik?" Dan pertanyaan Arven membuat Asmara membolakan matanya. Cekik? Arven pernah mencekik wanita ini?!
"Kayaknya. Lo lepasin gue kemarin berarti lo ngasih gue kesempatan kedua deketin lo lagi. Yah, walaupun selera lo sekarang pindah ke anak kecil." Lalu tatap wanita itu beralih pada Asmara dengan sedikit lebih lembut. "Siapa namanya, Dek?"
"Aku Asmara, Kak."
"Nama yang indah." Viona tersenyum smirk kemudian mengeluarkan beberapa lembar uang dari pouch bag branded miliknya. "Tapi bakal lebih indah kalau lo jauhin Arven. Berapa yang lo butuhin?"
"Hah, maksudnya?"
Mungkin selama ini di pikiran Viona semua yang mendekati Arven hanya untuk memanfaatkan harta pria itu, Asmara mengerjap bingung.
"Vi, mending lo get out sekarang."
"Gue nggak ngomong sama lo ya."
"Tapi lo ngomong sama cewek gue."
"Pak, shuttt." Demi menenangkan situasi Asmara menarik lengan sweater Arven. Hendak membisikan sesuatu maka Arven langsung merundukan kepala. "Terima aja kali yaa soalnya Mara pikir duitnya lumayan."
Sementara Viona berusaha menguping Arven langsung mengusap wajah frustasi. Sial! Ide gila apa yang Asmara pikirkan! "Gue sanggup kasih berapa pun lo butuh. Atau lo sengaja pengen ingkar dari kesepakatan kita?"
"Eh, enggak kok."
"Makanya cepet lakukan tugas lo sebagai pacar gue." Dengan nada pelan tapi penuh perintah Asmara serta merta mengangguk. Menatap Viona kemudian melancarkan aktingnya.
"Sorry ya kak, aku nggak terima penawaran kakak karena aku punya Arven yang bisa ngasih aku duit sebanyak aku mau."
"Setdah, bukan gitu juga bocah! Lo malah nunjukin lo itu matre."
"Oh, jadi lo deketin Arven cuman manfaatin duitnya doang? Iya?" Viona berusaha menyudutkannya.
"Siapa bilang? Aku juga sayang sama Arven. Saat dia ngasih duit terus belanjain aku itu artinya bonus. Bukan matre."
Sedangkan Arven membatin lega mendengar jawaban Asmara. Pinter juga ni bocah.
"Bodo amat, gue tetap nggak yakin kalian pacaran beneran," sahut Viona mengelak. Menatap Arven kesal. "Ven, gue tahu lo bohong, akui sekarang atau gue kasih tahu tante Flora lo pacaran sama anak kuliah."
"Tante Flora tau kok." Dan Asmara meluruskan lagi. "Kemarin aku diajak Arven ke rumahnya menghadiri pesta dan aku udah ketemu sama tante Flora. Beliau baik, ngasih aku jus, terus makanan yang enak-enak."
Rasain tuh, Vi.
Mendengarnya emosi Viona semakin memuncak.
"Ada pesta dan lo nggak ngajak gue, Ven?"
"Emang lo siapa oneng?" decak Arven. "Nih, biar gue tunjukin supaya lo sadar."
Mengeluarkan ponsel berlogo apel di gigit dari saku celananya kemudian menunjukkan layarnya pada Viona, sebuah foto kiriman Jovan yaitu foto dia dan Asmara tengah berciuman saat pesta malam kemarin. Dan yah melihat reaksi Viona yang langsung berapi-api, sepertinya Arven harus berterima kasih dengan temannya satu itu.
Asmara berjinjit, demi mencuri lihat foto apa yang Arven tunjukan tapi Arven terlanjur mengantongi ponselnya kembali. Ia melipat bibir ke bawah.
"Sialan Mara! Berani-beraninya lo ngerebut Arven gue?!"
Tangan Viona terangkat hendak mencengkram lengannya tetapi Arven berhasil mencegat dengan mencekal pergelangan wanita itu. "Tangan lo mau gue patahin apa gimana hah?!"
Sedangkan Asmara mundur beberapa langkah dengan takut, Astaga! Dia merasa seperti seorang pelakor yang dilabrak istri sah dalam sinetron. Terlebih kini mereka jadi pusat perhatian.
"Mbak, Mas, tolong ya kalo pengen ribut jangan di sini, nggak liat apa orang lagi pada makan?" Dan seorang pelayan restoran datang menengahi.
Arven melirik Viona dan tersenyum sinis. Napas Viona tampak memburu serta tatapnya penuh emosi tertuju pada Asmara. Asmara menunduk cemas.
"Noh dengerin." Selanjutnya tangan Asmara Arven genggam. "Ayo kita pulang sayang."
"Sayang?"
Asmara langsung mengalihkan pandangannya ke lantai demi menyembunyikan rona merah di pipi.
"Iyaa."
Meninggalkan Viona yang misuh-misuh di tempat.
Beruntung makanan mereka sudah sama-sama habis.
***
"Wanita tadi sebenarnya siapa bapak, mantan pacar ya? Kelihatannya dia nggak suka kita terlalu dekat."
"Nggak usah nanya, bukan urusan lo."
Asmara menghembuskan napasnya pasrah, baiklah dia nyaris saja lupa salah satu rules kesepakatan mereka yaitu pihak kedua tidak boleh mencampuri urusan pribadi pihak pertama.
Namun, bagaimana jika urusan pribadi pihak pertama membahayakan pihak kedua? Mungkin itu perlu dipertanyakan sayangnya Amara pikir sekarang bukan waktu yang tepat.
"Yaudah. Kita mau jalan-jalan kemana lagi?" tanyanya mengalihkan topik sebab mereka telah tiba di parkiran resto tepatnya di samping mobil Arven.
"Lo maunya kemana?"
"Mara nggak tahu tempat apa yang cocok buat didatangin sore-sore gini," Gadis itu pun tampak berpikir. "Heum, mungkin taman?"
"Enggak, tempat itu terlalu kekanak-kanakan buat gue."
"Oh iya, Mara lupa bapak udah tua."
"Lo—"
"Aduh iya maaf-maaf." Asmara pun menyengir ketika Arven justru menarik kepangnya cukup kuat. Beruntung nada dering ponsel menyelematkannya.
"Eh sebentar, ada telpon dari temannya adik Mara."
Arven pun terpaksa melepaskan tangannya dari kepang Asmara, bersandar di sisi mobil sambil melipat tangan di depan dada mengamati gadis menyebalkan itu berbincang lewat panggilan.
"Iya Chika," sapa Asmara menjawab. "Nadin mau ngomong sama kakak? Boleh, kebetulan kakak lagi nggak sib—"
"Sibuk ladenin gue." Dan tanpa Asmara duga Arven ikut menjawab di samping telinganya. Asmara melotot.
"Shutt bapak diam."
Akibatnya Asmara agak kebingungan menyahut karena Nadin bertanya suara siapa barusan.
"Iya bukan siapa-siapa kakak kok—hah 10 potong ayam goreng diantar ke rumah kita?!"
"Simpan buat makan malam dan jangan dikasih ke tetangga lo." Arven ikut menyahut lagi maka Asmara reflek menabok lengan pria itu.
"Duh, bapak nakal banget sih."
Bukan Asmara tidak bersyukur Arven mengirimkan banyak ayam goreng ke rumah mereka, namun rasa penasaran Nadin pasti akan sangat merepotkannya.
"Iya Nadin, itu dari temannya kakak."
"Gue pacarnya."
"Pak Astaga!" Jika tadi Arven hanya ikutan menyahut kini sekalian dia ambil ponsel dari tangan Asmara. Berucap jahil, "Kenalin gue Arven pacarnya kakak lo. Catet."
Mencubit pelan perut pria itu Asmara lekas mengambil ponselnya kembali. Mendengkus lalu memutar bola mata untuk Arven.
"Simpan yaa Nadin ayamnya, kalo Chika pengen kalian makannya di rumah aja. Nadin jangan main jauh-jauh nanti kakak susah nyariin," pesannya sebelum mengakhiri panggilan.
Sayup-sayup Arven mendengar bocah bernama Nadin itu menjawab sama lembut lalu mengucapkan salam. Sebelah sudut bibirnya terangkat, merasa puas telah berhasil menjahili Asmara.
"Oke, Nadin baik-baik ya di rumah. Waalaikumsalam."
"Gitu doang?" tanya Arven ketika Asmara menyimpan ponselnya ke sling bag. "Lo sama adik lo ternyata sama-sama bawel. Apa susahnya makanan dateng tuh tinggal makan."
"Mana boleh. Ibu selalu ngajarin kami supaya nggak menyentuh barang milik orang lain sebelum kami tau itu memang hak kami atau bukan."
"Ribet amat!"
Asmara hanya mencebikkan bibir. Arven memang tipikal manusia yang susah dinasehati.
"Yaudah buru masuk!" perintahnya.
"Pak," Tapi mendadak Asmara teringin mengatakan sesuatu.
"Apa?"
"Makasih yaa, Mara kira bapak cuman bercanda belikan Mara sepuluh potong ayam."
"It's oke. Gue nggak pernah main-main soal nolongin orang." Tampak senyum tipis pria itu sunggingkan. "Buru dah."
Berhubung ia tengah senang atas kebaikan pria itu, Asmara setuju dan satu kakinya bersiap memijaki lantai mobil, namun ia dikejutkan oleh sesosok pria parubaya yang ternyata masih berdiri di teras restoran sembari mengamit rokok. Pria itu, yang Asmara kira sudah enyah usai kedatangan Viona tadi tapi rupanya Haris masih setia mengawasi.
“Ayah…”
"Mara, cepet masuk nunggu apalagi lo?"
Asmara membeku di tempat. Dengan air muka panik dan mata berkaca-kaca ia menatap Arven sebentar lalu mengangguk, menduduki kursi di samping kemudi.
Arven tidak sebodoh itu menyadari perubahan raut gadis di sampingnya. Wajah Asmara panik, tangannya juga tampak gemetar seperti orang ketakutan serta pelipisnya berkeringat.
"Kenapa?"
Asmara diam, netranya berpendar ke segala arah seolah takut mereka tengah diawasi.
"Apa yang buat lo takut?" tanya Arven serius. "Mara, bilang ke gue cepet."
Suara gadis itu bahkan bergetar saat menjawab, "Cepat jalankan mobilnya, Pak."
***
"Kita nggak akan kemana-mana sebelum lo jawab pertanyaan gue. Apa yang lo takutin saat kita di resto?"
"Eumhh mbak Viona."
"Bohong!"
"Ish, bapak kepo banget, katanya kan nggak boleh ikut campur urusan pribadi masing-masing."
"Sayangnya itu tidak berlaku untuk pihak kedua, yaitu lo."
"Curang dong namanya."
"Yaudah, lo nggak akan bisa keluar dari apartemen gue."
Asmara sontak membolakan matanya. Bersedekap kesal dia menatap pria bersweater navy yang justru duduk bersandar di sofa sembari mengamit sebatang rokok. Ia tidak menduga Arven membawanya ke sini padahal pria itu bilang akan membawanya ke sebuah tempat berisi wahana permainan.
Arven menipu.
"Jangan-jangan bapak sebenarnya penculik ya? Ya ampun. Mara diculik." Gadis yang anteng berdiri itu pun tiba-tiba berasumsi konyol bikin sang empu apartemen mengernyit. "Mara bakal telpon Bimo buat minta tolong."
"Telpon aja bokap lo sekalian," kata Arven. Ia kadang heran dengan tingkah konyol Asmara. Lagi, dia berdiri lalu merampas tanpa izin ponsel gadis itu. "Sini, siapa nama bokap lo? Gue mau izin culik anaknya."
"Pak, kembalikan hape Mara."
"Mana?" Namun Arven tidak memberikan celah, ia angkat tinggi-tinggi ponsel jadul itu seraya menyusuri kontak. Asmara melompat-lompat demi meraihnya.
"Mana kontak yang namanya ayah sih?"
"Mara nggak punya."
"Lo nggak punya nomor bokap lo sendiri?" Dia menatap gadis itu heran.
"Itu bukan urusan bapak," jawab Asmara spontan.
"Lo sekarang pinter jawab yaaa."
"Ish pak, ayo balikin ponsel Mara atau Mara teriak minta tolong. Aaa...." Asmara memekik sebab tanpa di duga Arven mengangkat tubuhnya, membawanya entah kemana. "Pak Arven turunin Mara." Dipukulnya pundak pria itu, memasuki dapur lalu tubuhnya didudukan di atas meja makan. Bertepatan pula ponselnya berdering cukup nyaring membuat Arven berdecak.
"Noh ada telpon."
Syukurlah. Asmara tersenyum menerimanya dengan senang hati namun sebelum menjawab, dia baru sadar tubuhnya dikungkung oleh Arven.
"Lepasin Mara dulu."
"Nggak bisa, tangan gue udah nempel ke meja. Jadi lo harus jawab telponnya di depan gue."
Asmara menghembuskan napas pasrah, daripada membuang waktu dia pun mengangkat panggilan yang ternyata dari Bimo. Sementara Arven menatapnya lurus-lurus membuat Asmara salah tingkah hingga beberapa kali mengalihkan pandangan. "Iya Bimo?"
"... "
"Oh iya, aku nggak lupa kok, ini aku udah siap bentar lagi mau otw ke rumah kamu. Jangan berangkat dulu yaa. Okee."
Percakapan pun berakhir.
"Itu yang namanya Bimo?" tanya Arven.
Asmara mengangguk senang. "Sahabat Mara. Bapak ingat sebelumnya Mara ada bilang hari ini Mara pengen ke rumah dia kan. Nah, sekarang waktunya, Mara mau berangkat soalnya jam lima nanti dia pergi ke rumah tantenya."
"Gue ikut."
"Loh ngapain ikut?" herannya. "Emang bapak kenal sama Bimo?"
"Supaya lo nggak ketakutan nggak jelas kaya tadi."
"Ya kenalan lah, cupu amat," Sembari menyugar rambut ke belakang membuat kadar ketampanannya seolah bertambah. Arven mengulurkan tangan dan Asmara menyambutnya guna menuruni meja.
Sayang ia masih heran, apakah Arven memang tidak punya kerjaan lain selain mengikutinya?
Keluar apartemen mereka bersisian menuju lift.
"Buru napa atau gue tinggalin lo sendiri."
"Iya bentar, jalan Mara udah cepet kok."
Nah kan, terus kenapa Arven yang buru-buru sih?
Asmara rasa hari ini sikap pria itu benar-benar aneh.
****
Bersambungg...
Kita liat siapa yang duluan jatuh cinta, Asmara atau Arven guysss😙
Spoiler Next Part :
"Mara takut sama ayahnya, Mas. Om Haris suka mukul terus beliau juga pemabuk."
***
Bersambung…
Bonus pict Viona

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
