
Suara orang-orang yang mengerumuniku tadi berganti dengan suara air mengalir. Mungkin aku salah dengar, tetapi air mengalir itu terdengar begitu menenangkan. Berbeda jauh dengan suara teriakan, ungkapan kasihan, suara klakson, dan suara kendaraan yang semestinya kudengar sekarang.
Namun, aku merasakan tubuhku begitu ringan.
Perlahan, aku membuka mata. Cahaya menyilaukan membuat mataku sulit terbuka dengan benar. Aku membayangkan, aku akan terbangun di sebuah rumah sakit. Kedua orang tuaku akan khawatir dengan apa yang menimpaku. Wajah mereka penuh kecemasan dan ketakutan. Namun, apa yang kupikirkan salah. Ketika mataku terbuka, bukanlah ruangan yang serba putih, bangun di atas ranjang dan aroma alkohol memenuhi hidung. Tapi, aku justru melihat dedaunan yang ditiup angin yang bergerak perlahan, kurasakan rerumputan di jemariku. Alih-alih menghidu alkohol, aku menghidu kesegaran sebuah alam.
Aku terbangun di tempat asing.
Ini sebuah taman, tetapi aku tidak tahu di mana.
Aku sedang bermimpi?
Aku memejamkan mata lagi, lalu membukanya. Aku masih melihat tempat yang sama. Pepohonan, bunga-bunga, sungai yang mengalir, dan bahkan di ujung sungai aku melihat air terjun.
Pakaian yang kukenakan juga berubah. Bukan lagi rok dengan kemeja serta outer berwarna merah muda. Outer itu dibelikan oleh Teguh. Pakaianku berganti menjadi gaun berwarna putih selutut. Dalam kebingungan ini, aku kembali memikirkan tujuan awalku keluar hari ini. Menemui Teguh di pesta pernikahannya. Mengingat itu, aku langsung mengangkat tubuhku untuk berdiri.
Kedua mataku melihat ke sekitar. Tidak ada orang sama sekali. Aku sendirian. Kakiku telanjang itu merasakan rumput yang basah dan sedikit menggelitik. Lalu, aku melangkah ke arah sisi taman. Di sana ada sekelompok mawar merah yang bermekaran indah. Mendadak, hatiku gelisah.
“Aku harus menemui Teguh,” lirihku. Aku mulai berjalan, tidak tentu arah. Kakiku terus melangkah walaupun tidak tahu di mana aku sekarang dan bagaimana aku bisa kembali ke hotel di mana Teguh menikah.
Apakah kalian pernah bermimpi, lalu kalian sadar sedang bermimpi dan ingin terbangun? Begitulah perasaanku saat ini. Aku meyakini kalau aku sedang bermimpi dan ingin segera bangun. Tapi, aku tidak menemukan jalan keluar. Akhirnya, aku mulai berlari.
Aku terus berlari meskipun kakiku terasa sakit terkena ranting kering.
Aku terus berlari melewati beberapa pohon. Tapi, aku kembali lagi di tempat aku terbangun tadi.
Dadaku berdebar, napasku memburu. Seiring dengan kebingunganku, kecemasanku semakin besar pula. Aku ingin bangun dari mimpi ini. Tapi, seperti mimpi menakutkan pada umumnya, aku justru kesulitan untuk bangun.
“Ini mimpi, ‘kan?” tanyaku begitu lirih.
“Bisa dibilang begitu, tetapi lebih nyata,” tiba-tiba saja ada suara yang menyahutku. Kedua mataku membulat dan mencari asal suara. Dengan dada berdebar aku mencari sosok tersebut. Lalu, aku menemukan seorang lelaki yang berdiri tidak jauh dariku dengan pakaian yang sama.
Serba putih.
***
“Siapa kau?”
Dengan dada masih berdebar, aku bertanya kepada lelaki itu. Lelaki itu terlihat tidak lebih tua dariku. Dia memiliki wajah asia yang putih bersih, berhidung mancung, dengan gaya rambut undercut. Tentu saja, wajahnya terlihat cerah dengan kedua mata yang sedikit sipit. Ketika tertawa, kedua matanya membentuk bulan sabit. Sejenak, melihat lelaki itu mengingatkanku akan aktor-aktor Korea.
“Aku di mana? Ini bukan mimpi?” tanyaku lagi.
“Tenanglah,” ucap lelaki itu. “Kau aman di sini.”
“Ini bukan mimpi?” ulangku lagi, tidak sabar.
“Mau mengobrol sambil jalan-jalan?”
“Tidak,” sahutku. “Aku di mana?”
Lelaki itu mendesah. “Baiklah,” katanya. Lalu, dia meletakkan tangan kanannya di dada sebelah kiri. “Perkenalkan, aku Banyu, penghuni alam Antara Hidup dan Mati.”
“Banyu? Hah? Apa?” tanyaku, tidak mengerti.
Lelaki itu menunjuk sungai yang berada di sisi kami. “Namaku Banyu.”
“Ah,” sahutku.
“Kita sekarang di alam Antara Hidup dan Mati atau kalau di duniamu, disebut koma,” jelasnya. Tentu saja, aku tidak mengerti dengan perkataan laki-laki yang katanya bernama Banyu ini. Sejak awal, setiap kata yang keluar dari bibir lelaki itu sama sekali tidak kupahami.
“Sebentar-sebentar, aku tidak mengerti dengan yang kaubicarakan,” sahutku jujur. “Jadi, ini bukan mimpi? Dan aku di alam Antara Hidup dan Mati?”
“Kalau disebut bukan mimpi, tidak tepat, sih. Intinya, kau sedang di alam bawah sadar.”
Aku diam. Aku masih berusaha untuk bangun dari mimpi ini, walaupun lelaki di hadapanku berkata ini bukan mimpi.
“Kau berada di rumah sakit sekarang, dalam keadaan alpa.”
Aku tidak menyahut. Aku masih belum memahami sepenuhnya.
Kulihat lelaki itu mengeluarkan sesuatu dari balik punggungnya, sebuah buku. Dia membuka buku tersebut, kemudian berbicara, “Lunar Kinanti, usia 28 tahun, dan mengalami kecelakaan pada 25 Agustus 2021 pukul dua siang.”
“Bagaimana kau tahu namaku?”
Lelaki itu mengangkat bukunya, “Dari buku catatan.”
“Bisa jelaskan siapa kau dan sebenarnya apa yang terjadi?”
“Ah, iya. Perkenalanku kurang lengkap, ya? Maaf-maaf. Aku ulangi.” Dia berdeham. “Aku Banyu Timur, karyawan di alam Antara Hidup dan Mati. Saat ini, aku bertugas untuk membantumu untuk menyelesaikan urusan dunia, agar kau bisa ke alam sana dengan tenang.”
Kepalaku terasa berat, perkataan Banyu sama sekali tidak kupahami.
“Saat ini kau berada di rumah sakit dalam keadaan koma. Kau yang di sini adalah arwah. Lebih mudah disebut seperti itu, ya. Kau dalam keadaan antara hidup dan mati.”
“Tidak mungkin,” sahutku. “Aku tidak mungkin mati.”
“Ya, kau belum sepenuhnya meninggal, kok. Rekan kerjaku masih menimbang-nimbang mengenai keputusan itu. Lagi pula, kau masih memiliki urusan di dunia, sehingga kau belum bisa meninggal.”
“Apa maksudmu masih ada urusan di dunia dan tidak bisa meninggal?”
“Kau harus mengikhlaskan hal-hal di dunia, agar kau bisa ke alam sana dengan tenang. Dengan begitu, kau bisa menjalani kehidupan yang baru.”
“Tidak bisa,” tukasku. “Aku harus mengacaukan pernikahan mantan kekasihku.”
Banyu terkekeh. “Untuk apa? Tidak ada gunanya.”
“Aku tidak rela. Aku sudah berbuat banyak untuknya. Banyak hal yang sudah kulakukan, lalu dia meninggalkanku.”
“Bukankah kau yang meminta perpisahan itu?”
Baru saja aku ingin bertanya bagaimana dia mengetahui itu, tetapi aku urungkan.
“Ya, tapi dia yang memicunya. Dia sengaja melakukan itu agar dia bisa berpisah denganku.”
“Itu artinya dia memang tidak ingin bersamamu,” sahut Banyu dengan tenang. Hal itu membuatku marah sekaligus sedih.
“Lalu, aku sekarang harus koma, kemudian meninggal? Betapa tidak adilnya hidup.”
“Hidup memang seperti itu,” sahut Banyu. “Baiklah. Apa yang kau inginkan?”
Aku diam. Berpikir. Apa yang aku inginkan? Apakah menghancurkan Teguh adalah keinginanku? Tidak. Bukan itu. Aku masih mencintainya. Aku ingin bersama Teguh. Banyak hal yang belum kulakukan untuknya.
“Aku ingin memperbaiki hubungan kami,” jawabku.
“Jadi, kau ingin menemuinya, kembali kepadanya? Tentu saja itu tidak mungkin, ‘kan? Saat ini dia sudah ada di Bali, bersama istrinya. Dia sama sekali tidak peduli dengan keadaanmu yang sedang dirawat di rumah sakit. Kau masih ingin bersamanya?”
Hatiku bergetar. Bagaimana mungkin dia tidak peduli dengan keadaanku? Kami sudah lama mengenal. Dua belas tahun bukan waktu yang sebentar. Kami begitu dekat, bahkan sebelum kami menjalin kasih.
Bagaimana mungkin dia tidak peduli?
Aku menggigit bibir bawahku dengan kuat, menahan tangis.
“Bagaimana? Kau akan mengikhlaskannya?”
“Bagaimana bisa?” lirihku. Aku terduduk, menutup wajahku dengan kedua tanganku. Lalu, aku menangis.
Kudengar Banyu mendesah. “Aku memiliki ide lain, tetapi ini akan berat.”
Aku mendongak, mengusap air mataku. Aku yakin, saat ini ekspresi wajahku seperti seekor anak kucing yang kehilangan induknya.
“Apa?” tanyaku sambil berdiri.
Banyu berjalan ke sana kemari seperti setrika. Dia lalu kembali memutar tubuhnya, melihat ke arahku. “Mengulang.”
“Ha?”
“Kau bisa memperbaiki hal-hal yang membuatmu menyesal sekarang. Kau bisa mengulang kehidupanmu.”
“Kembali ke masa lalu?” aku mendekat sambil bertanya. Banyu terlihat terkejut, sampai-sampai dia mundur selangkah.
“Mengulang berbeda dengan kembali ke masa lalu. Secara logika, kau memang kembali ke masa lalu, tetapi sebenarnya ini disebut mengulang kehidupan.”
Aku tidak langsung menanggapi. Tampaknya, gara-gara kecelakaan itu, otakku menjadi sulit untuk mendapatkan informasi baru. Aku mengulang kalimat demi kalimat yang Banyu katakan, mencernanya, memahaminya dengan perlahan.
“Maksudmu, aku bisa memperbaiki kesalahan yang kuperbuat?”
Banyu mengangguk. “Semacam permainan, kau bisa mengulang apabila tidak puas dengan permainanmu. Tentu saja, hasilnya bisa saja berubah, bisa juga tidak.”
“Aku mau!” sahutku setengah teriak.
“Tapi, ada aturannya,” ucap Banyu.
“Apa?”
“Tadi kubilang, kan, kau sedang koma di rumah sakit dan rekan kerjaku sedang mempertimbangkan kau akan meninggal atau bangun lagi?”
Aku mengangguk.
“Apabila kau memilih untuk mengulang, maka hidup dan matimu, tergantung dari pilihan kekasihmu itu.” Mataku berkedip beberapa kali. Muncul keraguan dalam hatiku. Apakah dia sepenting itu, sampai-sampai aku harus berbuat seperti ini? Lalu, ingatanku kembali pada masa-masa bahagia kami. “Dan itu lebih menyakitkan daripada sebelumnya.” Banyu menambahkan.
“Tidak masalah,” jawabku. Sebab, aku sangat mencintainya. Berpisah dengannya sama saja dengan kematian.
“Lalu, kau tidak boleh berbicara pada orang lain mengenai pertemuan kita ini. Maka, kau akan langsung kembali ke sini.”
“Oke.”
“Sebelum perjanjian kita dimulai, aku mengingatkan sekali lagi. Apabila kau gagal, bukan sekadar kematian yang menantimu, tetapi penyesalan lebih besar dan menyakitkan.”
“Baik.”
Banyu menatapku tanpa berkedip, lalu dia berjalan mendekatiku, mengulurkan tangannya. “Baiklah. Dengan berjabat tangan denganku, maka kehidupanmu akan kembali.”
“Tunggu,” kataku. “Lalu, bagaimana dengan kehidupanku yang terbaring di rumah sakit?”
“Kehidupan itu, tidak pernah ada.”
Aku menarik napas dalam-dalam, kemudian mengeluarkannya. Dengan hati yang teguh, aku menjabat tangan Banyu. Seketika, ruangan di sekitarku memudar, begitu juga dengan sosok Banyu. Sepertinya, aku kembali tidak sadarkan diri.
***
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰