6. Mas Radit

1
1
Deskripsi

Lisa terpaksa menjalani hidup sebagai wanita tuna susila demi memenuhi harapan ibunya. Terjebak dalam kehidupan yang serba mudah, ia terlena pada pria-pria yang datang dan pergi, hanya memanfaatkan tubuh serta uangnya. Hingga pada akhirnya, karma datang mengejarnya.

Hampir dua tahun di Sentraloka, melayani ratusan pria, aku tak pernah merasakan sensasi jatuh cinta—hingga aku bertemu dengan Mas Radit. Anak Mami Seno, mucikari yang rumahnya di depan rumah Mami, baru saja pulang dari ibukota setelah diwisuda. Aku mengenal beberapa anak-anak mucikari, tapi tak ada yang seperti Mas Radit. Kebanyakan dari mereka justru menjadi sama seperti kami, para WTS, atau bersiap meneruskan usaha orang tuanya menjadi germo. Tapi ada juga yang masih bersekolah atau kuliah di luar kota, sengaja dijauhkan oleh orang tuanya agar tidak terpengaruh oleh dunia malam. Mas Radit adalah salah satunya.

Pertemuanku dengan Mas Radit terjadi saat kami sama-sama membeli sesuatu di toko Bu Karsinah. Entah apa yang membuatku bangun lebih pagi hari itu, lalu bergegas ke toko Bu Karsinah untuk membeli sampo. Saat itulah aku melihat Mas Radit sedang membeli pisau cukur. Tubuhnya tinggi tegap, rambutnya lebat dipotong rapi, dan disisir ke belakang. Di antara tumpukan barang dagangan Bu Karsinah, aku mencuri pandang.

Saat mata kami bertemu, Mas Radit tersenyum, lalu mengalihkan pandangannya—beda sekali dengan pria-pria yang aku temui di sini. Mungkin itu yang membuatku langsung memiliki penilaian yang berbeda. Setelah kami sama-sama mendapatkan apa yang kami beli di toko Bu Karsinah, kami berjalan keluar bersama. Karena tujuan kami searah, entah disengaja atau tidak, aku dan Mas Radit berjalan beriringan. Dari situ aku tahu kalau dia adalah anak Mami Seno dan dia tahu aku adalah salah satu WTS di rumah Mami Tika. Sejak saat itu, aku juga tahu bahwa dia sering beraktivitas di pagi hari.

"Mas Radit…" panggilku saat Mas Radit keluar dari rumah Mami Seno, menuntun motornya. Badannya segar, pakaiannya rapi, dan tas besar tergantung di pundaknya.

"Eh, Lisa," sapanya. Beberapa hari lalu aku menyuruhnya memanggilku Lisa saja, tanpa ‘Mbak’, karena aku yakin dia lebih tua dariku.

"Mau ke mana, Mas?" Aku mendekatinya saat dia menghentikan motornya di luar rumah.

"Mau masukkan lamaran, Lis."

"Ke mana, Mas?" tanyaku lagi. Aku jarang merayu laki-laki, kecuali yang benar-benar aku inginkan.

"Ke kantor pos. Aku kirim banyak lamaran, kok," jawabnya sambil tersenyum.

"Lisa boleh ikut?" tanyaku memberanikan diri. Masih pagi, tak akan ada yang mencariku.

"Apa gak apa-apa? Bu Tika gak marah?" tanyanya sopan. Satu hal lagi yang membuatku semakin kagum padanya.

"Mami biasanya gak mencari kami di pagi hari. Boleh gak? Atau… Mas Radit malu mengajakku?" Aku tidak bersikap manja seperti ketika pura-pura merajuk pada tamu pria. Kali ini aku benar-benar khawatir.

"Oh… tentu tidak. Kamu ganti baju dulu, deh. Aku tunggu." Aku tersenyum sumringah mendengarnya. Buru-buru aku berlari ke dalam untuk berganti pakaian. Samar-samar, aku mendengar teriakan Mas Radit memintaku memakai jaket.

Aku tidak lupa bagaimana cara berpakaian yang pantas. Celana panjang dengan kaos yang tidak terlalu ketat. Setelah memantaskan wajahku dengan makeup, aku menyambar jaket dan keluar. Di sana, Mas Radit sudah menunggu dengan helm kedua untukku.

Perjalanan ke kantor pos tidak terlalu lama, hanya 15 menit. Karena aku tidak ingin buru-buru pulang, aku meminta Mas Radit mampir ke warung untuk sarapan. Awalnya dia menolak, tapi aku memaksa. Dari gerak-geriknya, aku tahu kalau Mas Radit tidak membawa uang lebih untuk acara dadakan seperti ini.

"Aku yang traktir Mas Radit. Lisa ingin makan di luar, bosan makan masakan Mami terus," kataku agak keras agar terdengar di antara deru kendaraan dan angin yang kencang.

"Oh, baiklah kalau begitu. Mau makan apa?" tanyanya.

Kami makan bubur ayam di sebuah warung tepi jalan. Karena hari sudah hampir siang, sudah tidak banyak yang makan bersama kami, tapi justru itu lebih nyaman untukku dan Mas Radit. Sambil makan, kami ngobrol banyak hal. Mas Radit adalah lulusan sarjana Ekonomi yang sedang mencari pekerjaan. Dulu, dia kuliah di ibu kota dan sempat mencari pekerjaan di sana sebelum pulang karena tak kunjung dapat. Mami Seno ingin Radit melamar dari rumah saja dan baru berangkat ketika sudah mendapatkan pekerjaan atau panggilan wawancara. Mas Radit pulang untuk menghemat pengeluaran.

Mas Radit juga bertanya banyak hal tentangku. Tentu dia tahu aku bekerja seperti para wanita lainnya di sini. Aku memberitahunya bahwa aku sudah bekerja selama dua tahun. Dia cukup terkejut mengetahui bahwa aku sudah bekerja sejak usia muda. Kata Mas Radit, baru aku wanita lokalisasi yang dia ajak keluar. Mami Seno ternyata sangat melarang anaknya berhubungan dengan WTS. Karena itu, Mas Radit jarang terlihat di malam hari. Tadi pagi pun, dia was-was kalau saja ibunya bangun dan melihat dia pergi bersamaku. Aku tertawa mendengarnya. Meski Mami Tika cukup galak, Mami Seno memang lebih galak.

Setelah itu, setiap pagi kami curi-curi bertemu. Aku akan mengajak Mas Radit sarapan di luar, lalu kami pergi jalan-jalan. Semakin lama, aku semakin yakin kalau Mas Radit adalah jodoh yang selama ini aku tunggu, bukan pria-pria hidung belang yang aku temui selama ini.

Suatu pagi, aku nekat mengajaknya ke kamar setelah aku yakin dia juga menyukaiku. Aku sangat berhati-hati memastikan tak ada Mami dan Papi. Mbak Desi dan Mbak Vita pun belum bangun. Kalau mereka bangun, aku tidak terlalu khawatir karena aku pernah melihat Mbak Vita melakukan hal yang sama untuk laki-laki yang disukainya.

Setelah di dalam kamar, Mas Radit rupanya tidak sepolos yang aku kira. Dia langsung menerkamku, dan aku bisa menebak bahwa ini bukan yang pertama baginya. Dia cukup lihai. Tapi dengan Mas Radit, aku baru bisa merasakan kenikmatan bersetubuh dengan laki-laki. Dari bercumbu hingga tubuh kami berdekapan dalam lenguhan panjang, sampai saat kami berpelukan mesra, setengah mengantuk, namun tak ingin terlelap.

Dalam pelukannya, aku tak ingin membuka pintu. Aku takut jika pintu terbuka, Mas Radit akan menghilang, dan aku kembali menjadi Lisa yang harus membuka pintu bagi pria-pria lainnya.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 7. Di Ujung Bahaya
1
1
Lisa terpaksa menjalani hidup sebagai wanita tuna susila demi memenuhi harapan ibunya. Terjebak dalam kehidupan yang serba mudah, ia terlena pada pria-pria yang datang dan pergi, hanya memanfaatkan tubuh serta uangnya. Hingga pada akhirnya, karma datang mengejarnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan