32. Di Persimpangan Takdir (GxG)

0
0
Deskripsi

Hampir tiga minggu kak Dira mempersiapkan dirinya untuk memberi kabar pada ibu. Selain menunggu saat yang pas—meski tak pernah ada saat yang tepat untuk memberi kabar buruk—kak Dira juga sibuk mempersiapkan gugatan cerainya. Sejak pertemuan terakhir mereka, kak Rudi tak pernah lagi pulang ke rumah, apalagi ke rumah ibu. Ini tentu membuat ibu semakin bertanya-tanya, dan kak Dira sudah tidak bisa lagi mengulur waktu untuk memberitahunya mengenai proses perceraiannya.

Sore ini, kak Dira mengumpulkan kami: aku, ibu, dan kak Mira. Sekali lagi, aku meminta bantuan Theo untuk menjaga anak-anak, termasuk Nala kali ini. Dia bersama mereka di rumahku. Semua orang sudah menganggapnya keluarga karena Theo sering datang dan banyak membantu.

“Bu... Dira ada yang ingin dibicarakan dengan ibu.” Kak Dira membuka pembicaraan.

“Ada apa?” Ibu mengalihkan perhatiannya dari televisi. Aku mengambil remote dan mematikannya, membuat ibu menatapku sekilas sebelum kak Dira melanjutkan kembali.

“Dira akan bercerai dengan Rudi.”

Kalimat pertama kak Dira adalah yang paling sulit, tetapi memang itu yang harus dikatakan.

“Apa?! Apa ibu tidak salah dengar?” Ibu menatapku dan kak Mira bergantian, mungkin ingin memastikan dari kami bahwa pendengarannya tidak salah. Kami hanya diam. Ibu kembali menoleh pada kak Dira. “Apa maksudnya, Dira?”

“Ibu tidak salah dengar. Dira sudah mengajukan gugatan cerai ke pengadilan. Rudi memiliki istri simpanan, Bu. Mereka sudah satu tahun bersama.”

Ibu terdiam. Wajahnya dipenuhi keterkejutan dan ketidakpercayaan. “Tidak mungkin. Rudi tidak mungkin seperti itu. Kamu salah paham pasti, Dira. Mana Rudi? Ibu ingin bicara...!”

“Tidak, Bu. Dira tidak salah kira. Dira sudah tahu sejak satu setengah bulan yang lalu. Kami sudah mencoba mencari jalan keluar, tetapi tidak ada kesepakatan.”

“Apa maksudmu tidak ada kesepakatan?”

“Rudi tidak mau meninggalkan istri simpanannya. Dira tak mau dimadu.”

“Tidak boleh! Kalian tidak boleh bercerai! Bagaimana dengan anak-anakmu nanti?”

“Mereka akan ikut Dira, Bu. Dira juga mengajukan hak perwalian anak. Dira yakin hak asuh mereka akan Dira dapatkan.”

Ibu mulai menangis. Kak Dira mendekat, mengelus lengan ibu. “Maafkan Dira, Bu. Ini yang terbaik bagi kami.”

“Tidak! Kalau kamu tidak terlalu sibuk dengan pekerjaanmu, Dira, Rudi tak mungkin punya simpanan.”

Apa yang sempat aku pikirkan kini menjadi kenyataan. Kak Dira mulai menangis di hadapan ibu. Kak Mira memegangi lengan ibu yang lain, mengelusnya untuk meredakan tangisan ibu. Aku sendiri hanya diam melihat mereka bertiga.

“Bu... Rudi sudah berselingkuh lama sebelum Dira naik jabatan. Istri simpanannya sekarang sudah hamil, Bu.”

“Pokoknya kalian tidak boleh bercerai.”

Ibu membersihkan tenggorokannya sebelum melanjutkan kembali. “Mira sudah menjanda, sekarang kamu mau bercerai. Apa kata tetangga nanti? Dina juga belum mau menikah. Arka tidak mau mendengar kata ibu untuk mencari jodoh dari sini. Ibu seperti tidak bisa membesarkan anak-anak.”

Ibu menangis lagi.

 

Kak Dira benar. Semua terkena dampaknya. Ibu terlalu memikirkan pendapat orang lain. Memang seperti itulah ibu sejak dahulu, keras pada diri sendiri dan keluarga agar terlihat sempurna di mata orang lain. Mungkin memang begitu cara ibu dibesarkan dulu—mencari penghargaan dari orang lain dengan cara memenuhi ekspektasi mereka. Sedikit banyak itu juga yang ada pada diriku. People pleaser, kata Theo.

Tapi kak Dira tak seperti ibu. Tak sepertiku. Dia lebih tegar, lebih tabah dan kuat. Lebih berani, namun tetap dengan perhitungan.

 

“Dira minta maaf, Bu. Dira tidak bisa memenuhi permintaan ini. Dira sudah mantap bercerai dari Rudi. Maafkan Dira, Bu.”

Ibu dan kak Dira menangis lagi, bahkan kak Mira ikut menangis. Air mataku turun, tetapi aku tak melakukan apa-apa. Aku hanya menghapusnya sendiri. Aku hanya ingin semuanya cepat selesai dan kehidupan berjalan seperti biasanya kembali. Meski tentu saja, semuanya tak akan pernah sama lagi untuk kak Dira, Raka, dan Nala.

Kak Dira memintaku untuk pulang terlebih dahulu. Dia khawatir anak-anak akan membuat Theo kerepotan, sementara dia dan kak Mira masih berusaha memberi pengertian pada ibu yang tetap ingin bertemu kak Rudi dan mengusahakan agar tak terjadi perceraian dalam keluarga kakakku. Aku menurutinya karena memang tak ada yang bisa aku lakukan di sini. Ibu justru akan mengingat apa kekuranganku jika beliau melihatku sekarang.

Aku berjalan kaki pulang ke rumah. Setidaknya ada Theo dan anak-anak di sana.

 

Saat aku membuka pintu, aku sudah disambut dengan mainan Raka dan Tedi yang berserakan di lantai. Mereka berdua sedang bermain di karpet depan televisi. Sementara Theo dan Nala berada di dapur. Nala duduk di kursi bayinya, terlihat celemek makan di dadanya yang sudah kotor dengan sisa makanan. Theo berdiri di depannya, membawa piring berisi makanan Nala yang tadi sudah disiapkan kak Dira. Aku menghampiri mereka.

“Ternyata ada juga hal yang tak bisa kau lakukan, Ms. Crain.” Aku tertawa melihat betapa banyak sisa makanan yang tercecer di celemek dan meja makan Nala.

“Hei... aku psikolog anak, bukan baby sitter.”

Aku mengambil piring makanan Nala dari Theo. “Thank you.” Theo berjalan menuju dapur untuk mencuci tangannya yang juga terkena sisa makanan.

“Apa mereka menyulitkanmu?” tanyaku sambil melanjutkan menyuapi Nala.

“Tidak. Raka dan Tedi bermain seperti biasa. Nala juga tidak rewel, hanya saja dia susah makan. Atau aku yang tak bisa menyuapinya.”

Dia melihatku menyuapi Nala. “Ternyata memang aku yang tak bisa menyuapinya...”

 

Aku tersenyum sambil membuat mimik lucu untuk Nala. Dia makan dengan cukup mudah, asalkan tahu caranya. Jelas Theo tak pernah menyuapi bayi.

“Kau lelah?” tanyaku padanya.

Theo menggeleng, lalu melihat sekilas ke arah Raka dan Tedi yang masih ribut bermain bersama. “Bagaimana tadi di sana?”

Aku menarik napas lalu membuangnya cepat. “Ibu belum bisa menerima. Ibu masih ingin kak Dira dan kak Rudi tetap bersama.”

“Maksudmu ibumu ingin kak Dira menerima kalau dia dimadu?”

“Aku tidak tahu mana yang lebih ibu inginkan. Ibu ingin bertemu kak Rudi. Mungkin membujuknya agar mau meninggalkan istri keduanya. Tapi aku tak yakin ibu akan berhasil.”

Theo mendekat, merangkul pinggangku lalu mencium keningku. “Pasti berat untukmu melihat keluargamu memiliki masalah seperti ini.”

Aku tersenyum dan mengangguk pelan. Aku ingat kalimat yang dilontarkan ibu pada kami tadi, namun aku segera mengusir pikiran itu. Aku tak ingin Theo bisa melihatnya.

Ponselku berbunyi, ada pesan dari kak Dira yang memberi tahu bahwa kami sudah bisa mengantar anak-anak ke rumah ibu. Aku menyampaikannya pada Theo.

“Aku akan mengantar anak-anak dulu. Kau di sini saja, pasti lelah dari tadi menunggui mereka.” Aku meletakkan piring Nala yang sudah kosong.

“Aku ikut. Kita naik mobil saja, nanti sekalian antar kak Dira dan anak-anak pulang.”

“Jangan, Theo. Ini masalah keluarga, aku tak ingin membawamu ke sana.” Ada alasan lain yang tak ingin aku katakan padanya.

“Aku tidak akan masuk ke dalam. Aku akan menunggu di luar. Oke? Masa kau mau membawa tiga anak sendirian?”

“Rumah ibu dekat, Theo.”

“No. Aku antar. Ayo kita berangkat.”

Theo sudah berjalan menuju Raka dan Tedi, membantu mereka membereskan mainan yang berceceran sebelum mengajak mereka keluar. Aku sendiri mengangkat Nala dari kursinya. Masih ada keraguan dalam hatiku, namun aku berharap ibu tidak mengatakan hal-hal yang tak ingin Theo ketahui nanti. Lebih baik lagi jika ibu tak bertemu dengannya.

Aku membawa Nala keluar menuju mobil Theo.

Setelah sampai di rumah ibu, kami keluar dari mobil bersama. Raka dan Tedi langsung berlari masuk ke dalam rumah. Aku masih menggendong Nala, sementara Theo mengikutiku dari belakang hingga kami sampai di teras. Aku melihat ke arah Theo, dia mengerti lalu duduk di kursi teras.

Kak Dira berdiri saat melihat kami datang, lalu memeluk Raka yang berlari ke arahnya. Ibu terlihat masih menahan air matanya. Nala langsung merengek setelah melihat ibunya, aku menyerahkannya pada kak Dira.

“Theo di luar, Kak. Kami akan mengantar kakak pulang kalau mau pulang sekarang.”

Kak Dira mengangguk, lalu berjalan kembali ke arah ibu.

“Bu, kami pulang dulu ya, Bu. Sudah hampir malam.”

“Ingat kata ibu, Dira. Ibu belum merestui kalian berpisah. Sampaikan pada Rudi, ibu mau bertemu.”

Kak Dira hanya mengangguk lalu berjalan kembali ke luar.

Di luar, aku melihat Theo sudah berdiri karena Raka juga sudah keluar ke teras. Aku menghampiri ibu untuk pamit.

“Dina pulang, Bu...”

“Dina, kamu harus belajar dari pengalaman kakakmu. Kakakmu memilih jodohnya sendiri, akhirnya mereka memilih berpisah juga! Lebih baik kamu terima saja lamaran Arya. Arya sudah cerita sama ibu kalau dia melamarmu. Dia mencintaimu sejak dulu, Dina. Arya tak akan berbuat curang di belakangmu kelak!”

Ucapan ibu membuatku tertegun. Bukan karena apa yang diucapkannya—itu sudah sering aku dengar—tetapi karena di belakangku ada Theo. Apa dia mendengarnya?

“Dina tidak mau membicarakannya, Bu. Dina mau pulang.”

Aku membalikkan badan.

Ya… Theo mendengarnya. Dia berdiri di sana, memandangku. Aku berjalan ke arahnya, namun suara ibu mengejutkanku lagi.

“Jangan selalu menghindar kalau ibu bicara soal pernikahan, Dina! Mau sampai kapan kamu seperti itu? Kenapa semua anak-anak ibu tidak mau mendengarkan ibu? Apa karena kalian sudah mandiri jadi tidak menghiraukan ibu lagi? Tidak menganggap ibu orang tua kalian?!”

 

Air mataku menetes. Aku melihat kak Dira berbalik kembali ke arah ibu. Aku tak mau melihat Theo sekarang meski dia ada di depanku. Aku membalikkan badan, melihat ibu, melihat kak Dira yang menenangkan ibu kembali sambil menangis dengan Nala di gendongannya. Ada kak Mira juga di belakang ibu.

“Dina akan menikah kalau Dina sudah siap menikah, Bu!”

Aku sadar aku berteriak pada ibuku.

“Ibu jangan mengatur hidup Dina terus. Dina sudah dewasa, Bu!”

Kak Dira melihatku tak percaya. Begitu juga ibu. Aku sendiri tak percaya aku bisa berteriak pada ibu. Ibu terlihat terkejut sekali… sekaligus tersakiti. Aku langsung menyesal.

Namun sudah terlambat.

Aku merasa ada yang memegang tanganku dari belakang. Pasti Theo.

Aku membalik badan dengan cepat. Aku tahu aku sudah menangis. Aku tak melihat Theo, tetapi aku berbicara padanya.

“Aku mau pulang.”

Aku tak menunggunya. Aku berjalan setengah berlari meninggalkan rumah ibu. Aku mendengar suara Theo memanggilku, bahkan suara ibu memanggil namaku. Tapi aku terus berlari ke rumah.

 

Aku masuk ke dalam rumah menuju dapur untuk mengambil air. Tapi percuma. Air tak bisa menggerus rasa sakit dan takut yang aku rasakan di hatiku. Aku merasa sakit karena ucapan ibu lebih menusuk dari hari-hari sebelumnya—karena Theo ikut mendengarnya kali ini.

Aku sakit karena aku menyakiti ibuku. Aku berteriak padanya. Hal yang tak pernah aku lakukan sebelumnya. Begitu juga dengan kak Dira dan Arka. Aku takut ibu membenciku. Aku juga takut reaksi Theo nanti. Aku menutup wajahku dengan tangan, tetapi itu juga percuma karena air mataku terus turun dengan derasnya.

Theo datang setelah aku lebih tenang. Aku duduk di kursi tamu. Pasti dia mengantar kak Dira pulang terlebih dahulu. Mungkin ibu juga sempat bicara entah soal apa lagi dengannya.

Dia masuk dan langsung melihatku. Menutup pintu dan duduk di depanku. Aku melihatnya. Tatapannya kosong, seperti saat banyak pikiran memenuhi kepalanya.

“Theo...”

“Arya melamarmu?” tanyanya tanpa melihat ke arahku.

 

“Itu bukan lamaran.”

“Tapi dia memintamu untuk menikah dengannya? Membawakan cincin untukmu? Betul begitu?”

Aku terdiam. Apa yang harus aku katakan padanya?

“Jangan berbohong padaku, Gardina. Ibumu tadi mengatakannya padaku.”

Tusukan pisau lainnya aku rasakan di hatiku. Apa lagi yang ibu katakan padanya?

“Dia melamarku, iya. Tapi aku menolaknya.” Air mataku turun lagi.

“Kapan?”

“Saat ulang tahunku. Dia memintaku menemuinya saat jam istirahat.”

“Kau tidak cerita padaku.” Kini dia menatapku.

“Aku menolaknya, Theo. Tidak ada yang perlu aku ceritakan.”

“Kau marah saat aku bertemu Linda di belakangmu!”

Aku terdiam.

Theo benar, aku memang seharusnya mengatakannya. Namun aku memiliki alasan tersendiri. Aku tak ingin Theo mengetahui apa yang aku hadapi demi bisa bersamanya. Selalu ada ketakutan dalam hatiku bahwa dia akan memilih meninggalkanku jika tahu apa yang sebenarnya aku hadapi.

“Theo, aku minta maaf. Tapi tak ada yang terjadi. Aku menolaknya lalu aku pergi.”

“Dia datang pada ibumu, Gardina. Ibumu merestuinya. Ibumu memintaku untuk menasihatimu. Ibumu pikir kita sangat dekat, kau akan lebih mendengar perkataanku.”

Kali ini suaranya melunak. Dia kembali mengalihkan pandangannya dariku.

“Tidak. Kau tahu bukan Arya yang aku cintai.”

Theo diam saja. Dia bahkan tidak melihatku. Aku tidak suka dirinya yang seperti ini. Aku memindahkan tubuhku, duduk di sampingnya, memegang tangannya, membuatnya melihat padaku. “Theo... aku mencintaimu... aku tak ingin bersama orang lain.”

Air mataku yang tadinya sudah berhenti kini menetes lagi. Aku takut. Aku takut Theo pergi.

“Theo...” Aku memanggilnya lagi.

Andai saja aku tahu apa yang dia pikirkan.

Theo hanya tersenyum lalu menarikku dalam pelukannya. “Aku juga mencintaimu... jadi karena ini kau tak ingin aku ke rumah ibumu selama ini?”

Aku tahu aku sudah tak bisa menutupi apa-apa lagi darinya. Aku mengangguk dalam pelukannya.

“Seharusnya kau bercerita padaku. Apa ibumu menyulitkanmu selama ini?”

“Tidak. Aku bisa menghindari ibu.”

“Menghindar seperti tadi? Itu tidak menghindar, Gardina. Itu hanya menunda. Ibumu akan terus memintamu menikah. Apalagi setelah kak Dira jadi bercerai nanti. Ibumu menganggap perlu menutupi aib keluarga dengan menikahkanmu.”

“Aku tak ingin berpisah darimu, Theo.”

Theo menarik tubuhku hingga terlepas dari pelukannya.

“Kita sudah membicarakan ini. Kau akan memiliki suami suatu saat nanti. Cepat atau lambat. Dan meski aku tak ingin mengakuinya... Arya... dia sepertinya sangat mencintaimu.”

Sekilas aku melihatnya. Ada kilap air di mata Theo, meski dia langsung mengerjapkannya.

“Tidak. Aku tidak pernah punya perasaan padanya.”

“Kau tak akan memiliki perasaan pada siapa-siapa kalau kau masih mencintaiku, Gardina. Benar kata ibumu, lebih baik bersama mereka yang mencintaimu.”

“Kau mencintaiku!” Hatiku semakin sakit.

“Kau tak bisa terus bersamaku.”

“Tidak! Aku hanya perlu menghindari lamaran siapa pun yang melamarku. Menghindari desakan ibu. Kita bisa bersama, Theo...”

Hidungku sudah sembab, dadaku sesak.

“Itu hanya sementara. Kau tak bisa terus-terusan bertengkar dengan ibumu. Kau tak akan kuat. Kau ingin bersamaku?”

Aku mengangguk.

“Pergi denganku. Kita tinggalkan kota ini. Aku tahu kau akan kehilangan keluargamu, tapi aku akan bersamamu, Gardina. Kita bisa bersama. Aku akan menjagamu.”

Theo menggenggam tanganku.

Kata-kata yang sama yang dia berikan padaku saat dia melamarku dulu.

 

Mungkinkah dari dulu Theo serius dengan ucapannya?

Apakah aku bisa meninggalkan keluargaku? Ibuku? Rumahku? Kotaku?

Apa yang akan orang katakan tentangku nanti?

Anak durhaka yang meninggalkan keluarganya karena tidak mau menikah.

Apakah ibu akan menanggungnya?

Keluargaku pasti akan menanggungnya.

Apakah aku sanggup menjadi anak durhaka?

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya 33. Ketakutan (GxG)
0
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan