
Chapter 1
2022
Kinan sedang menikmati udara sore di jendela apartemennya ketika handphonenya berbunyi dengan ringtone khusus dari rumah sakit. Ia pun segera menjawab telepon tersebut yang pastinya penting hingga menghubunginya di hari libur.
“Halo..... ya.... Oke, aku segera datang.”
Setelah menutup teleponnya, Kinan segera mengganti baju dan mengambil tas kecil yang selalu siap di atas meja. Ia memasukkan handphonenya tadi ke dalam tas sambil berjalan cepat menuju pintu apartemennya untuk keluar. Tak sampai lima menit ia sudah berada di depan gerbang apartemen untuk memanggil taksi yang tak sulit ditemukan karena banyak taksi memang biasa menunggu penumpang di kawasan padat penduduk tersebut.
Kinanti Widya Hendrawan, di usianya yang ke-31 ini, Kinan merupakan seorang dokter bedah umum yang cakap. Lulus S1 Kedokteran dengan predikat summa cum laude. Dosen, profesor, dan dokter pembimbingnya selalu memberikan apresiasi karena Kinan merupakan pribadi pekerja keras, tidak mudah menyerah meski menghadapi kasus yang sulit. Ia pun bisa bekerja dengan baik di bawah kondisi yang memerlukan keputusan cepat sehingga ia kerap ditugaskan di IGD atau Trauma Centre ketika masih menjabat sebagai residen. Kini ia sudah memiliki jabatan dokter bedah umum dan bekerja di sebuah rumah sakit swasta yang terpandang di kota Sinaran ini. Meski bisa dikatakan sebagai dokter yang sukses, namun itu semua tidak tercermin dalam kehidupan Kinan secara materi. Ia tinggal di apartemen sederhana yang cukup dekat dengan rumah sakit. Ia pun tidak memiliki mobil meski tabungannya lebih dari cukup untuk membeli mobil mewah seperti sejawatnya yang lain. Bukan hanya karena apartemennya dekat dengan rumah sakit, namun memang karena Kinan tidak banyak memiliki kebutuhan untuk punya mobil. Hidupnya hanya berkisar antara rumah sakit dan apartemen. Ia pun jarang bepergian dengan teman sejawat kecuali memang merupakan kegiatan rumah sakit. Ia tak banyak memiliki teman dekat, semua suka padanya karena dia pribadi yang baik dan dokter yang bertanggung jawab, tetapi ia seperti menjaga jarak dengan semua orang. Di hari libur, ia menghabiskan waktunya di apartemen untuk beristirahat jika tak ada kasus gawat seperti hari ini sehingga ia dipanggil ke rumah sakit di hari Minggu sorenya.
Sekitar 15 menit ia sudah sampai di depan pintu IGD rumah sakit Harapan tempat ia bekerja selama 2 tahun ini. Ia pun langsung setengah berlari masuk ke dalam IGD dan langsung menuju ke ruangan nomor 2 setelah seorang dokter jaga menunjukkan di mana pasien yang mereka bicarakan lewat telepon tadi. Seorang pria dengan usia kurang lebih sama dengannya tergeletak dengan baju penuh darah. Saat Kinan sampai di ruangan, pasien tersebut sudah dipersiapkan untuk masuk ke ruang operasi. Kinan pun mengikuti para perawat dan pasiennya menuju ke ruang operasi. Sembari berjalan ke ruang OP, ia membaca status pasien yang diberikan padanya oleh dokter jaga yang juga ikut ke ruang OP bersamanya.
“Dokter Kiara sudah dihubungi?” Tanya Kinan setelah membaca status pasien.
“Sudah dokter, dokter Kiara sudah menunggu di ruang OP, kebetulan beliau sedang bertugas malam ini.”
“Oke....”
Sampai di ruang OP, Kinan segera melakukan sterilisasi dengan mencuci tangannya lalu mengambil baju operasi. Di dalam, ia sudah ditunggu oleh dr Kiara yang merupakan seorang dokter bedah tulang di rumah sakit Harapan. Kedua dokter tersebut melakukan operasi dibantu dengan beberapa residen yang dibawa oleh dr Kiara dan perawat OP. Operasi selesai 2,5 jam setelah itu dan berjalan cukup lancar. Kedua dokter wanita tersebut pun keluar kamar operasi untuk kembali mencuci tangan dan mengganti pakaian biasa. Tak lupa dr. Kiara keluar untuk memberikan informasi pada wali pasien yang menunggu di luar kamar operasi.
“Kamu tahu siapa yang barusan kamu operasi, dr. Widya?” Tanya dr. Kiara setelah ia dan Kinan di ruang ganti.
Di rumah sakit ini, Kinan memang tidak menggunakan nama depannya. Ia disapa sebagai dr. Widya Hendrawan, nama yang sudah ia pakai sejak ia menjadi residen.
“Pak Alvin kan? Usia 31 tahun, pasien korban kecelakaan tunggal, mengalami patah tulang rusuk dan pendarahan dalam,” jawab Kinan sambil merapikan pakaiannya.
Kiara tersenyum sambil mendengus, “Sekali-sekali nonton televisi lah, dr. Widya.”
Kinan mengangkat bahunya, “Itu yang perlu aku tahu kan.”
Kiara mengenal Kinan sejak residen dan ia tahu bagaimana sejawatnya tersebut. “Mau langsung pulang?”
Kinan tampak berfikir lalu menjawab sambil memandang Kiara untuk pertama kalinya sejak mereka masuk ruang sterilisasi, “ya, mau kemana lagi?”
“Bagaimana kalau kita pergi jalan-jalan? Kita sudah lama tidak jalan berdua,” kata Kiara sambil tersenyum menggoda.
Kinan tampak berfikir lagi sebelum memutuskan, “Okelah, masih belum terlalu malam.”
“Nah gitu dong,” balas Kiara sambil tersenyum senang. “Aku pamit sama ekor-ekorku dulu ya.”
“Oke, aku tunggu di lobi ya.”
“Sip.”
Kiara menemui residennya yang ia sebut sebagai ekor, karena mereka memang tugasnya mengikuti Kiara sambil belajar. Ia berpamitan cepat sembari mengingatkan tugas para residen malam ini. Tak lupa ia mengambil tas di loker dan langsung setengah berlari menuju ke lobi menemui Kinan yang sudah menunggu. Di rumah sakit ini Kiara merupakan salah satu dari sedikit teman sesama dokter bedah yang dimiliki Kinan. Mungkin karena keduanya sama-sama lajang sementara sejawat lain kebanyakan adalah laki-laki atau wanita namun sudah menikah. Kinan sendiri bisa bergaul dengan siapa saja, meski tidak semuanya ia bisa golongkan ke dalam teman dekat. Para dokter laki-laki pun tak sedikit yang mendekatinya namun Kinan secara halus menjaga jarak. Kiara merupakan temannya sejak residen karena sering melakukan operasi bersama.
Malam itu mereka memutuskan untuk makan malam di sebuah kafe sambil ngobrol.
“Kamu tadi betul-betul tidak tahu siapa pasien kita barusan?”
“Siapa sih?” tanya Kinan balik karena agak kesal ditanya hal yang sama.
“Dia itu Alvin Prayoga, pemain film.”
“Aduh Kiara, mana aku punya waktu nginget semua pemain film. Aku aja jarang nonton film.”
“Makanya, abis ini nonton yuk, mumpung deket tuh di seberang aja bioskopnya.”
“Ogah ah, emang aku kudu nonton filmnya pasienku. Besok juga kan bisa lihat orangnya. Kamu ngefans ya? Atau kamu suka?”
“Idiihh… aku cuma pengen ngajak kamu nonton film, dr. Widya sayang,” ucap Kiara sambil mencoba mengusap rambut kepala Kinan.
Kinan langsung mengelak sembari menjauhkan kepalanya. “Apaan sih… Ki.”
“Gak mau ya udah. Lagian dia juga udah punya pacar, penyanyi pula. Pasangan serasi,” balas Kiara sambil melanjutkan cemilannya.
“Udah ah, aku gak suka ngegosip,” tepis Kinan sambil menyeruput minuman dinginnya. “Pulang yuk, aku besok mau visit pagi. Kamu libur ya?”
“Iya dong. Ya udah ayuk lah,” Kiara pun berdiri menuju kasir. “Aku aja yang bayar.”
“Oke.”
Kinan dan Kiara meski tidak sering keluar bersama namun seperti memiliki kode untuk bergantian membayar makanan yang mereka beli. Kiara mengantar Kinan sampai ke gedung apartemennya.
“Makasih buat hari ini ya, Kia. Sebagai gantinya, besok aku sampaikan ke pasien kita kalau kamu ngefans sama dia,” canda Kinan sembari keluar dari mobil.
“Gak usah, nanti aku bilang sendiri,” teriak Kiara dari dalam mobil.
Sesampainya di apartemen, Kinan langsung mandi. Rutinitas yang selalu ia lakukan ketika pulang dari rumah sakit. Setelah mandi, ia pun bersiap tidur. Namun tiba-tiba ia teringat kata Kiara tadi, pemain film… Penyanyi… Profesi pasiennya ini membuatnya sedikit enggan untuk visit. Kinan tidak mau berurusan dengan selebriti. Ia selalu mengelak jika ada selebriti yang kebetulan dirawat di rumah sakit dengan meneruskannya ke dokter bedah lainnya, dan pastinya disambut gembira oleh sejawatnya. Mereka menganggap Kinan yang introvert memang tidak cocok dengan kehidupan selebriti, namun alasan sebenarnya hanya Kinan yang tahu. Lamunannya kembali ke masa lalu dimana ia masih kuliah kedokteran berusaha menggapai mimpi bersama seseorang. Tiba-tiba hatinya sakit, ia pun mengutuk dirinya sendiri kenapa mengingat masa lalu. Sambil membuka selimut, ia memejamkan mata untuk berusaha tidur.
Pagi pukul 09.00 Kinan sudah berada di rumah sakit untuk mengunjungi pasien rawat inap yang ia tangani. Ia juga memiliki residen, dr. Rahma, yang sudah menjadi residen di sana sekitar 1 tahun. Ia sudah siap menyambut Kinan dengan semua status pasien di tangannya.
“Selamat pagi, dr. Widya,” sapa dr. Rahma.
“Pagi juga, sudah siap?”
“Siap, dok. Kemarin dokter operasi darurat ya? Alvin Prayoga kan?” celoteh dr. Rahma.
“Iya, dokter Rahma, kenapa?”
“Dia kan pemain film terkenal, dokter, kebetulan banget kecelakaan di kota ini, bisa ketemu deh nanti,” dr. Rahma tidak bisa menyembunyikan antusiasmenya ketemu dengan sang idola.
“Ehem… kita tidak akan ketemu pemain film, dokter, kita mau ketemu pasien,” balas Kinan datar.
“Iya, dokter, maaf,” meski sudah 1 tahun mengikuti Kinan, namun dr. Rahma belum bisa menebak arah pikiran dokter pembimbingnya ini. Kadang Kinan bersikap santai, namun kadang ia bersikap sangat profesional dan terkesan menjaga jarak.
“Pagi ini mungkin dia belum siuman. Kalau mau minta foto atau tanda tangan, saat pasien mau pulang saja ya,” Kinan mengingatkan. “Yuk, jalan.”
“Iya, dokter,” dr. Rahma tersenyum lalu mengikuti Kinan.
Mereka mengunjungi satu per satu pasien yang pernah menjalani bedah oleh Kinan. Kinan dengan cakap bertanya apa yang mereka rasakan, melihat data terakhir, memberi perintah untuk tindakan berikutnya pada dr. Rahma.
Entah mengapa Kinan seperti menghindar untuk masuk ke ruangan tempat Alvin Prayoga dirawat. Alvin sendiri masih dirawat di ruang intensif karena baru menjalani operasi kemarin. Dr. Rahma terus berfikir kapan Kinan akan menuju ruangan tersebut tapi tidak berani bertanya. Sampai akhirnya telefon Kinan berbunyi. Seperti biasa, nomor dari rumah sakit.
“Ya…? Oke saya segera kesana,” ucap Kinan singkat lalu mematikan telepon. “Alvin Prayoga baru saja sadar, stabil, kita kesana sekarang,” kata Kinan pada dr. Rahma.
Dr. Rahma pun tersenyum tak bisa menyembunyikan kegembiraannya. “Baik dok.”
Kinan dan dr. Rahma sudah sampai di depan pintu perawatan intensif khusus. Mereka disambut keluarga pasien yang ada di luar ruangan. Memang ruangan tersebut hanya memperbolehkan satu pengunjung yang masuk sehingga keluarga harus bergantian.
“Selamat siang,” sapa Kinan kepada ibu paruh baya yang ia tebak adalah ibu dari Alvin Prayoga. “Saya dr. Widya Hermawan, saya salah satu dokter yang melakukan operasi semalam dan ini dr. Rahma yang nantinya akan membantu menangani bapak Alvin Prayoga.”
“Oh, terima kasih dokter,” balas ibu tersebut sambil mengelus tangan Kinan.
“Saya masuk dulu ya bu, permisi,” balas Kinan sopan lalu masuk ke kamar intensif diikuti dr. Rahma yang mengekor dengan senyum selalu mengembang.
Kinan pun membuka pintu kamar tersebut. Ia langsung melihat ada seorang yang duduk di samping tempat tidur pasien. Seorang wanita, ia menghadap ke pasien sambil menggenggam tangan pasien dan berbicara padanya. Mereka sepertinya tidak menyadari ada yang masuk ke kamar. Kinan tidak enak mengganggu momen yang sepertinya cukup intens tersebut. Ia teringat perkataan Kiara, mungkin itu pacarnya, batin Kinan. Tapi ia juga tak mungkin hanya diam saja menunggu seperti ini.
“Selamat siang,” sapa Kinan.
Mendengar ada sapaan, wanita tersebut langsung memutar tubuhnya tanpa melepaskan genggamannya pada si pasien. Pandangannya pun bertemu dengan Kinan. Seketika ekspresinya terlihat sangat terkejut dengan apa yang ia saksikan. Kinan pun sama kagetnya dengan wanita itu, tubuhnya seperti membeku. Tanpa sadar tangannya meraba bagian dadanya yang terasa sakit. Wanita itu pun tanpa sadar melepaskan genggaman tangannya pada si pasien. Keheningan ini tidak berlangsung lama karena ada dr. Rahma yang mulai merasa aneh dan khawatir karena Kinan tiba-tiba memegang dadanya.
“Dr. Widya… Anda tidak apa-apa?” tanya dr. Rahma sedikit cemas.
Kinan pun tersadar dari rasa terkejutnya. “Ya…” ia langsung mengalihkan pandangannya dari wanita itu ke pasien yang sedari tadi diam saja.
“Selamat siang bapak Alvin Prayoga,” suara Kinan terdengar sedikit bergetar. Ia pun mengambil nafas dalam lagi sebelum melanjutkan. “Saya dr. Widya dan ini dr. Rahma. Kami akan memeriksa bapak sebentar.”
“Baik dokter,” jawab pasien yang masih lemah.
Kinan menanyakan beberapa pertanyaan pada Alvin sembari melihat data terbaru yang diberikan oleh dr. Rahma. Ia terlihat menulis beberapa catatan di status Alvin. Ia melakukan semuanya tanpa menoleh sama sekali ke arah wanita tadi yang sudah berpindah posisi berdiri di samping ujung ranjang pasien.
“Operasi berjalan lancar. Anda akan membutuhkan beberapa hari di rumah sakit untuk perawatan pasca operasi. Dari status yang ada, semuanya stabil. Selanjutnya Anda akan lebih sering bertemu dengan dr. Rahma.”
Dr. Rahma tampak kaget dengan perkataan Kinan barusan, ia tersenyum pada pasien namun masih bingung dengan situasinya. Tak biasanya Kinan langsung mengoper pasien di hari pertama.
“Baik dokter,” jawab Alvin sembari melihat ke arah dr. Rahma dan tersenyum tipis.
“Kalau begitu kami permisi,” Kinan tersenyum pada pasien dan menatap sekilas pada wanita tadi yang menatapnya dengan ekspresi sedih.
“Mari pak Alvin, bu Renata..” sapa dr. Rahma yang sepertinya mengenal wanita yang berdiri tadi.
Di luar ruangan, Kinan memberi informasi kepada keluarga mengenai kondisi Alvin. Ia pun memperkenalkan dr. Rahma kembali sebagai dokter yang akan lebih sering berkunjung namun dengan tetap berada di dalam pengawasannya. Setelah keluarga berterima kasih, mereka pun berjalan menjauh.
“Dr. Widya, kenapa saya yang akan sering visit? Apa dokter tidak ikut visit?” tanya dr. Rahma.
“Keadaannya stabil, aku akan tetap melihat laporanmu setiap hari dokter Rahma. Kalau ada yang tidak normal langsung hubungi aku. Sudah semua pasien kan? Aku mau keluar dulu. Kamu tolong urus laporannya ya,” balas Kinan datar.
“Baik dokter.”
Kinan tak menunggu jawaban dr. Rahma, ia sudah mulai berjalan ke arah bagian dalam rumah sakit dengan langkah yang cepat. Hatinya masih terasa sakit, dan kini rasa marah mulai timbul. Marah yang ia kira sudah hilang dengan berjalannya waktu, marah pada diri sendiri karena masih merasa sakit yang disebabkan oleh wanita itu. Kinan mempercepat langkahnya menuju ke bagian kamar mandi dokter di ruang dokter. Ia langsung masuk karena hanya ada 2 kamar mandi dan semuanya kosong. Di dalam, ia menghidupkan kran wastafel lalu membasahi wajahnya. Ia melihat ke cermin di depan wastafel, nafasnya cepat karena menahan amarah. Ia melihat cermin sambil mengambil nafas panjang berulang kali. Anehnya, wajah yang ia lihat di cermin sepertinya bukan wajahnya sendiri, melainkan wajah seorang wanita. Wanita yang ia temui tadi, Renata Lani Nugraha.