Baekhong (Fanfic Queen of Tears) Part 7-9

4
1
Deskripsi

Hyunwoo tersenyum. Ia kemudian menyapu lembut bibir Haein dengan ibu jarinya. Haein hanya diam mematung ketika jari Hyunwoo bermain di garis bibirnya.

Part 7

Tapak tilas bulan madu Hyunwoo dan Haein di Jerman dimulai dari Sanssouci Palace.

Keduanya bergandengan tangan sambil menaiki anak tangga menuju ke puncak.  

"Kau sangat menyukai tempat ini. Jika ke Jerman kau pasti akan ke sini. Berkat itu, aku tidak susah mencarimu karena aku bisa menemukanmu di sini."

Hyunwoo teringat saat ia menyusul Haein berobat ke Jerman. Ia mengubek-ubek semua tempat yang pernah mereka datangi, dan ternyata Haein ada di Istana Sanssouci ini.

Haein manggut-manggut. "Tempatnya memang indah," sahutnya.

"Apa kau ingat sesuatu?" tanya Hyunwoo yang dibalas gelengan oleh Haein.

Mereka akhirnya tiba di puncak. Keduanya lalu duduk di salah satu anak tangga. Kedua tangan mereka saling menggenggam satu sama lain.

"Kau lelah?" tanya Hyunwoo.

Haein menggeleng. "Akhh...tempat ini benar-benar indah. Aku bisa merasakan sejuknya angin yang menerpa wajahku."

"Kita ciuman, loh di sini," kata Hyunwoo tiba-tiba. "Tepatnya bukan di sini, tapi di anak tangga di bawah sana." Ia meralat. Tangannya menunjuk ke bawah.

Haein tertawa. "Yahh...jangan menggodaku."

"Aku tidak menggodamu. Kenyataannya memang begitu."

Haein menggigit bibir bawahnya sambil memicingkan matanya. Ia masih tak percaya. Takutnya itu hanya akal-akalan Hyunwoo karena dirinya tak ingat apa-apa.

"Jika ingin mengulangnya sebaiknya kita lakukan sekarang mumpung masih sepi."

Haein masih ragu, tetapi ia tetap memejamkan matanya, menunggu ciuman dari suaminya. Namun, beberapa detik berlalu, tak terjadi apa-apa. Ia membuka matanya kembali. Hyunwoo masih di tempatnya menatap Haein lekat.  

"Katamu kita berciuman di sini." Haein protes.

Hyunwoo tersenyum. Ia kemudian menyapu lembut bibir Haein dengan ibu jarinya. Haein hanya diam mematung ketika jari Hyunwoo bermain di garis bibirnya.

Hyunwoo mendekat dan mencium lembut bibir Haein. Wanita itu pun membalas ciuman Hyunwoo. Dalam sekejap bibir keduanya sudah saling melumat.

Lumatan bibir mereka terlepas ketika ada orang yang datang. Keduanya bersikap seperti biasa, tetapi Haein jadi panik sendiri saat menyadari warna lipstiknya sudah berpindah ke bibir Hyunwoo. Ia buru-buru menghapus jejak lipstik di bibir Hyunwoo. Keduanya lalu tertawa.

Setelah dari Sanssouci Palace, Hyunwoo mengajak Haein jalan-jalan di pasar mingguan di Jerman, tempat di mana mereka dulu membeli semanggi berdaun empat.

Keduanya berjalan bergandengan tangan menyusuri setiap lorong di tempat itu. Mereka juga membeli beberapa camilan dan es krim. Serta makan siang di restoran yang ada di sekitar tempat itu.

Sore hari Hyunwoo membawa Haein ke jembatan besi tempat mereka menyimpan gembok cinta bertuliskan nama mereka. Hyunwoo kembali mencari gembok cinta itu. Meski awalnya hampir menyerah karena kali ini benar-benar sulit menemukannya, namun akhirnya ia tersenyum lebar saat menemukan gembok mereka.

"Yeobo...lihat!" Hyunwoo memamerkannya pada Haein.

"Tetap seperti itu." Haein mengambil ponselnya dan memfoto Hyunwoo yang tengah memegang gembok cinta mereka. Setelah itu gantian Hyunwoo yang memotret Haein. Lalu mereka selfie berdua dengan latar deretan gembok cinta yang ada di sepanjang jembatan.

Hari sudah agak gelap ketika Haein dan Hyunwoo berjalan di sekitar jembatan besi. Hyunwoo kemudian melihat food truck yang menjual kebab.

"Kau ingin makan kebab?" tanya Hyunwoo.

Haein mengangguk. Mereka kemudian ikut mengantre. Namun, ketika tiba giliran mereka hanya tersisa satu porsi.

"Makanlah," kata Hyunwoo ketika menemukan bangku kosong sambil menyerahkan kebab pada Haein. Mereka kemudian duduk di sana.

Haein menggigit kebab dan menawarkan pada Hyunwoo untuk mengambil satu gigitan juga.

"Rasanya enak," puji Hyunwoo.

"Mungkin itu sebabnya antreannya panjang," sahut Haein.

Mereka memakan kebab itu berdua. Tiap Haein menggigit kebabnya, Hyunwoo sigap membersihkan remahan kebab di bibir Haein.

"Habiskanlah," kata Hyunwoo saat tersisa setengah.

Haein menggeleng. Ia kembali menyodorkan kebab ke mulut Hyunwoo. Terpaksa Hyunwoo menggigit lagi potongan kebab yang masih tersisa.

"Saat kita ke sini kau juga mengantre untuk membeli kebab. Ketika aku kembali dari mencari gembok cinta kita, kau ternyata sudah mengetahui soal surat cerai yang kusembunyikan. Saat itu aku benar tak tahu harus bagaimana. Aku benar-benar merasa bersalah. Aku mengutuk diriku sendiri."

Hyunwoo menatap Haein. Haein tersenyum. Kepalanya maju dan mengecup bibir Hyunwoo. "Apa di sini kita juga berciuman?" selidiknya.

Hyunwoo tertawa. Setelah itu ia menggeleng. "Bagaimana kita mau berciuman, kau mengamuk di sini tidak mau mendengarkan penjelasanku."

Keduanya tertawa bersama. Haein kembali menggigit kebabnya dan potongan terakhir ia suapi ke mulut Hyunwoo.

Sudah larut malam ketika Haein dan Hyunwoo kembali ke kamar hotel. Haein mandi lebih dulu. Ia benar-benar lelah.

Saat keluar dari kamar mandi, Hyunwoo melihat Haein sudah terlelap. Ia hanya tersenyum. Energi Haein sepertinya sudah terkuras habis.

Setelah berpakaian, Hyunwoo naik ke tempat tidur. Ia menarik selimut dan menyelimuti Haein yang hanya mengenakan piyama tipis dengan celana pendek sebatas paha. Ia lalu berbaring di samping Haein dan menatapnya. Ia baru sadar, Haein benar-benar cantik saat terlelap tidur.

"Good night." Hyunwoo melabuhkan kecupan ke kening Haein. Haein merasakan bibir Hyunwo yang dingin. Ia membuka matanya dan beringsut ke pelukannya suaminya.

“Aku benar-benar lelah. Jangan menggodaku untuk bercinta."

Hyunwoo tersenyum. Ia memeluk dan kembali mengecup kening Haein. "Padahal Bibi Beomja menyuruhku untuk bekerja keras," bisik Hyunwoo.

"Haein tersenyum. "Besok pagi saja kau bekerja keras lagi. Aku mengumpulkan tenaga dulu."

"Aku menunggunya," bisik Hyunwoo.

Haein hanya tersenyum dan setelahnya ia benar-benar terlelap di pelukan Hyunwoo.

***

Hyunwoo membuka matanya. Haein ternyata sudah bangun dan kini tengah menatapnya di samping tempat tidur.

"Oke, biarkan aku ke kamar mandi dulu." Hyunwoo melompat dan buru-buru ke kamar mandi. Ketika keluar dari kamar mandi, Haein sudah berdiri menunggunya dan tanpa aba-aba bibir Haein langsung menyapu bibirnya.

"Yeobo...yeobo...yeobo hentikan dulu."

Haein tak menggubris. Hyunwoo tak ada pilihan selain balas melumat bibir mungil Haein. Kali ini Haein yang keIabakan dengan serangan Hyunwoo. Ia memukul dada suaminya untuk menghentikan ciumannya.

"Aku bisa kehabisan napas," ujarnya.

"Aku hanya membalas apa yang kau lalukan." Hyunwoo menarik tangan Haein dan membawanya kembali ke ranjang. Ia membaringkan Haein di sana. Setelah itu ia membuka bajunya sendiri hingga bertelanjang dada.

"Kau ingin melepas bajumu atau aku yang melepasnya?" bisik Hyunwoo ke telinga Haein sambil melabuhkan kecupan di leher wanitanya itu.

"Aku lebih suka jika kau yang melepasnya."

Hyunwoo tersenyum. Ia kembali melumat bibir Haein sambil tangannya bergerilya di bagian tubuh Haein lainnya. Haein melingkarkan tangannya di leher Hyunwoo dan membalas ciuman suaminya yang begitu intens.

Kini tangan Hyunwoo sudah masuk ke dalam piama Haein. Mengelus bagian dadanya, lalu beralih ke punggungnya dan melepas pengait bra-nya.

Hyunwoo menarik bra Haein dan melemparnya sembarangan. Tangannya kembali mengelus bagian dada Haein tanpa melepas piama istrinya itu.

Tangan Hyunwoo turun ke bawah dan mencopot apa saja yang ada di tubuh bagian bawah Haein. Tangannya kemudian bergerak membuka kancing piyama, satu-satunya kain yang tersisa di tubuh Haein dan melemparnya begitu saja ke lantai. Pagi itu mereka kembali bercinta.

***

Hari kedua tapak tilas, Hyunwoo membawa Haein memutari berbagai sudut kota Berlin yang pernah mereka datangi untuk berbulan madu dulu.

Mereka sepedaan di sekitar Sungai Spree, berpelukan sambil menatap perahu yang melintas di sungai. Mereka juga membaca buku berdua di taman, berjalan-jalan di sekitar taman dan terakhir mengunjungi air mancur Neptunus.

Malamnya ia mengajak Haein ke restoran rooftop tempat mereka pernah makan ramen.

"Aku masih ingat percakapan kita dulu di sini."

"Soal apa?" Haein penasaran.

"Kau tahu setelah komunikasi kita mulai cair, di sini, sambil makan ramen kau malah membahas kematian."

Haein menatap Hyunwoo menantikan kelanjutan ceritanya.

"Jika kau meninggal, kau memintaku jangan bersedih berlarut-larut. Tapi kau juga tak rela jika aku tak menangis."

Haein tertawa. Ia kemudian menyentuh pipi Hyunwoo. "Kau tau, setiap kau membahas kematian, aku merasa seperti orang gila." Hyunwoo mengecup tangan Haein yang berada di pipinya.

"Tapi jika aku meninggal...

Haein menghentikan ucapannya karena Hyunwoo sudah menatap tajam ke arahnya.

"Setelah ini kita ke mana?" Haein mengalihkan pembicaraan.

"Hari ini cukup di sini. Kita kembali ke hotel saja. Kita masih punya banyak waktu, kok."

Setelah makan malam di rooptop, Hyunwoo dan Haein kembali ke hotel. Seperti biasa Haein mandi duluan. Hyunwoo pernah iseng mengajak Haein untuk mandi bersama, namun ditolak mentah-mentah.

Setelah keluar dari kamar mandi, Hyunwoo melihat Haein sudah ada di tempat tidur sambil bermain ponsel, tapi istrinya itu masih mengenakan jubah mandi.

"Kau tidak pakaian?"

"Untuk apa berpakaian, kau juga akan melepasnya," kata Haein.

Hyunwoo tertawa. "Apa kau ingin bercinta sekarang?"

"Kata Bibi Beomja kita harus bekerja keras," sahut Haein.

Hyunwoo merebut ponsel Haein dan menaruhnya di meja di samping tempat tidur. Ia lalu membuka pengait jubah mandi Haein, namun tiba-tiba ponselnya berdering. Ternyata Hyanggi yang menelponnya. Ia mengangkatnya.

"Kenapa?" tanya Haein ketika Hyunwoo kembali.  

"Tidak ada. Hyanggi hanya menanyakan beberapa hal mengenai kasus terbarunya. Sepertinya dia mengurus perceraian selebritas terkenal."

Hyunwoo dan Haein kembali berciuman, namun baru beberapa detik ponselnya kembali berdering. Ia terpaksa melepas ciumannya. Haein sedikit kesal.

Kali ini anak buah Hyunwoo yang menghubunginya. Ia menjauh dari Haein dan mengangkat telepon. Ia kembali setelah sekitar 20 menit.

Mata Haein sudah terpejam. Hyunwoo mendekat ke tempat tidur dan langsung mengecup bibir Haein. Haein membuka matanya. "Sudah selesai?" tanyanya.

Hyunwoo mengangguk. Ia naik ke atas tubuh Haein, mengusap lembut pipi Haein, rambutnya, sebelum ia kembali melumat bibir mungil itu.

Tak butuh lama kedua jubah mandi mereka sudah tergeletak di lantai dan malam itu tubuh mereka kembali bersatu.

Part 8

Haein tengah berkutat di depan laptop menyelesaikan materi untuk bahan presentasi divisi pemasaran. Beberapa hari sebelum berangkat ke Jerman, staf pemasaran sudah mengirimkan materi itu untuk direvisi, namun ternyata Haein lupa merevisinya. Dan semalam Sekretaris Na menghubunginya menanyakan materi tersebut karena sudah harus dipresentasikan bersama klien. Mereka tidak mungkin mempresentasikan tanpa persetujuan Haein.

Sementara Hyunwoo memilih membaca buku di samping Haein untuk menemani sang istri. "Masih lama?" tanyanya. Ia menutup buku yang dibacanya dan merebahkan kepalanya di pangkuan Haein.

"Sedikit lagi," jawab Haein. Ia mengusap-usap rambut Hyunwoo dengan pandangan tetap tertuju pada layar laptop.

Tak lama, Hyunwoo bangun dari pangkuan Haein dan kembali melanjutkan bacaannya. Sejenak Haein mengalihkan pandangannya dari layar laptop dan memandangi Hyunwoo. Saat membaca, aura Hyunwoo benar-benar berbeda. Padahal, tadi pagi wajah itu membuatnya gemas karena merengek lapar dan ingin segera sarapan.

Saking serius membaca, Hyunwoo tak sadar Haein sudah menyelesaikan pekerjaannya. Haein kini di sampingnya dan ikut membaca buku yang dibacanya.

Hyunwoo baru sadar ketika Haein bersandar di bahunya. "Sudah selesai?" Hyunwoo menoleh dan bibir Haein langsung menempel di bibirnya.

"Ayo, sarapan." Haein bangkit dari duduknya, melangkah mengambil sweater yang ada di atas sofa dan memakainya sambil melangkah ke depan pintu.

Hyunwoo segera menutup bukunya dan menyusul Haein. Di depan pintu ia menghalangi jalan Haein dan menunjuk bibirnya, meminta satu kecupan lagi.

"Bibirku tidak akan membuatmu kenyang."

Hyunwoo bergeming. Ia memajukan bibirnya. Haein tersenyum. Ia tak punya pilihan selain kembali mengecup bibir Hyunwoo.

"Tadi kau merajuk lapar, sekarang merajuk minta dicium."

Hyunwoo hanya tertawa. Keduanya kemudian bergandengan tangan menuju restoran hotel untuk sarapan.

"Hari ini kita akan ke mana?" tanya Haein penasaran.

"Kita akan berkendara keliling Berlin. Cuacanya bagus hari ini. Aku sudah menyewa mobil."

***

Mobil yang dikemudikan Hyunwoo berhenti di depan rumah sakit.

"Kenapa kita ke rumah sakit? Bukannya kita mau berkendara?" tanya Haein begitu menyadari gedung yang ada di depan mereka bangunan rumah sakit.

"Turunlah. Aku sudah buat janji dengan dokter yang mengoperasimu di sini. Kita sudah di Jerman, tidak ada salahnya menemuinya."

Haein tersenyum. Meski menemui dokter di Jerman hanya alasannya, maksudnya ia tak benar-benar ingin memeriksa kondisinya, namun ternyata Hyunwoo masih memedulikannya.

Saat melangkah ke dalam rumah sakit, Haein mengandeng tangan suaminya. Saat ini ia benar-benar tak punya kata yang tepat untuk mendeskripsikan rasa cintanya pada Hyunwoo.

Seperti yang dikatakan Dokter Park di Korea, dokter Haein di Jerman juga mengatakan tak ada yang perlu dikhawatirkan. Semua hasil tesnya bagus. Sang dokter menekankan Haein tetap mengonsumsi obatnya dan rutin melakukan pemeriksaan.

"Sekarang puas, kan? Jadi jangan bahas kematian lagi," ujar Hyunwoo saat mereka keluar.

Haein mengangguk. Saat Hyunwoo mengeluarkan kunci mobil, Haein merebutnya. "Biar aku yang menyetir."

Hyunwoo hanya pasrah. Mereka kemudian berkendara melewati jalan yang dulu mereka lalui saat bulan madu. Bedanya waktu itu Hyunwoo yang menyetir, kali ini Haein.

Hyunwoo menjadi penunjuk arah jalan mana yang harus diambil Haein, dan Haein benar-benar menikmati perjalanannya.

"Kau suka?" tanya Hyunwoo.

"Tentu," jawab Haein cepat.

"Apa kau bisa menyetir dengan sebelah tangan? Aku ingin menggenggam tanganmu." Hyunwoo menggoda Haein.

Haein menoleh dan memukul lembut dada Hyunwoo.

"Waktu itu kita ciuman di mobil. Aku menyetir sebelah tangan dan kita berciuman."

Haein segera menepikan mobil. Ia kemudian menatap Hyunwoo. Ditatap begitu, Hyunwoo segera memperbaiki posisi duduknya jadi tegak.

"Kenapa kau terus menyombongkan dirimu bisa menyetir sebelah tangan?"

"Kenyataannya memang begitu."

Haein tak bisa berkata-kata. Hyunwoo tersenyum. Ia kemudian menggenggam tangan Haein dan menatapnya lembut. Ditatap seperti itu Haein jadi salah tingkah.

"Ciumlah jika kau ingin menciumku. Jangan menatapku seperti itu."

Hyunwoo menggeleng tanpa mengalihkan pandangannya dari Haein. Sebagai gantinya ia mengecup tangan Haein yang digenggamnya.

"Setelah ini aku yang menyetir. Kita akan pergi ke satu tempat lagi."

Tempat Hyunwoo membawa Haein berikutnya adalah ladang lavender. Saat melihat ladang itu, Haein benar-benar takjub dengan keindahannya.

Jika Haein mengagumi keindahan ladang lavender itu hingga tak berhenti berdecak kagum, Hyunwoo di sampingnya justru tersenyum sambil mengagumi kecantikan istrinya.

Hyunwoo kemudian memeluk Haein dari belakang. "Indah, kan?"

Haein mengangguk. Ia memejamkan matanya dan merasakan angin lembut yang menerpa wajahnya.

Tanpa aba-aba bibir Hyunwoo kini menempel di pipi Haein. Haein tersenyum dan membiarkan bibir dan hidung Hyunwoo menempel lebih lama di pipinya. Ia menoleh dan Hyunwoo langsung mengecup bibirnya.

"Tuhan, terima kasih tak mengambilnya secepat itu dariku. Biarkan kami bersama lebih lama," Hyunwoo berkata dalam hati sambil memeluk erat tubuh Haein dari belakang.

***

Hyunwoo dan Haein makan siang di sebuah restoran berkonsep terbuka di taman yang ada di tengah sudut kota Berlin. Mereka memesan bratwurst, sosis favorit di Jerman.

Ia ingat saat menjalani pemeriksaan sel darah putih di Jerman, Haein sempat menghilang dari rumah sakit karena penyakitnya kambuh. Saat Hyunwoo menemukannya, hal pertama yang dikatakan Haein adalah lapar. Dan ke tempat inilah ia membawa Haein.

"Apa kau ingat sesuatu?" Hyunwoo bertanya sambil mengusap sudut bibir Haein yang kotor karena sosis yang dimakannya.

"Apa kita berciuman lagi di sini?"

Hyunwoo tertawa sambil menggelengkan kepalanya. "Tidak ada yang terlalu spesial di sini. Kita hanya makan sambil ngobrol."

Haein kembali menggigit potongan sosisnya. Hyunwoo tersenyum tipis. Masih teringat jelas ucapan Haein di tempat ini yang akan menjelma menjadi malaikat saat ia meninggal dan menjemput Hyunwoo jika waktunya telah tiba. Namun karena Hyunwoo sudah berjanji tak akan membahas kematian, cerita itu ia simpan saja.

"Apa kau percaya kalau kita memang benar-benar ditakdirkan untuk bersama?" tanya Hyunwoo.

"Tentu. Kita sudah melewati banyak hal dan kita masih bersama. Itu artinya kita memang ditakdirkan untuk bersama."

"Kau tahu yang paling mencengangkan. Aku ternyata menyelamatkanmu sewaktu kecil."

"Kau menyelamatkanku? Wahh...benar-benar gila. Benarkah?"

Hyunwoo mengangguk. "Aku juga baru tahu baru-baru ini. Ibuku yang menceritakannya. Dan ternyata ibumu orang pertama yang menyadari bahwa yang menyelamatkanmu adalah aku."

Haein terdiam. Ia masih tak percaya ternyata takdirnya bersama Hyunwoo dimulai sejak mereka masih kecil. Setelah dewasa pun mereka menjadi cinta pertama satu sama lain.

Setelah selesai makan, Hyunwoo kemudian mengajak Haein berdoa di gereja.

"Kau berdoa apa?" tanya Haein begitu mereka keluar dari gereja.

"Soobin segera lahir."

Mereka tertawa. Haein memukul pelan lengan Hyunwoo.

"Apa kita kembali ke hotel untuk membuat Soobin?" Hyunwoo menggoda Haein.

Haein menggeleng. "Nanti malam saja," jawabnya. "Aku ingin pergi ke satu tempat."

"Baik. Katakan kau ingin ke mana."

Tempat yang ingin dituju Haein adalah sebuah perpustakaan umum. Ia rindu membaca buku, namun buku-buku Hyunwoo yang ia bawa ke Jerman bukan tipenya.

Keduanya duduk bersebelahan sambil membaca buku. Haein membaca buku yang berkaitan dengan bisnis. Ia juga menyempatkan membaca buku soal lingkungan. Sementara Hyunwoo memilih buku-buku sejarah dunia.

Jika pagi tadi Haein terpesona pada Hyunwoo saat membaca buku, kini gantian Hyunwoo yang tak bisa memalingkan pandangannya saat Haein fokus membaca buku di sampingnya. Ia sampai meletakkan pipinya di atas tumpukan buku yang dipilihnya dan menatap pemandangan indah di depannya.

Haein menyadari itu. Ia tersenyum kecil dan mengikuti apa yang dilakukan Hyunwoo. Ia meletakkan pipinya di atas buku dan menatap Hyunwoo.

"Aku mencintaimu," kata Haein.

"Aku juga mencintaimu."

Keduanya saling melempar senyum.

***

Haein dan Hyunwoo berpelukan setelah bercinta. Haein kembali mengenakan baju kaosnya setelah membersihkan diri, sementara Hyunwoo masih bertelanjang dada.

Hyunwoo sudah dihinggapi rasa kantuk, sementara Haein belum ada tanda-tanda mengantuk. Ia bahkan menguyel-nguyel pipi Hyunwoo agar suaminya itu tak tidur dulu.

"Tidurlah," kata Hyunwoo.

"Aku penasaran."

"Apa?"

" Siapa yang lebih dulu mengajak untuk pacaran? Kau atau aku?"

Hyunwoo tertawa. "Aku," jawabnya.

"Aku mengajakmu berkencan dan menyombongkan diri kalau keluargaku cukup terpandang di kampung, kami punya kebun, punya puluhan sapi, dan apartemenku disewa dua tahun langsung. Tetapi setelah mengetahui keluargamu yang sebenarnya, aku resign dan kabur ke Yongdori."

Haein tertawa. "Terus?"

"Kau membuat kehebohan dengan menyusulku memakai helikopter. Kau mengajakku menikah dan berjanji tak akan membuatku sedih setelah menikah."

"Tapi aku membuatmu sedih selama kita menikah."

Hyunwoo membuka matanya. Ia menatap Haein dan mengelus pipinya. "Terima kasih hari itu kau mendatangiku," kata Hyunwoo sambil mencium batang hidung Haein yang menjulang tinggi.

Haein tersenyum. Ia kemudian merapatkan tubuhnya pada tubuh Hyunwoo dan masuk ke dalam pelukan suaminya itu.

Part 9 

Hyunwoo dan Haein kembali ke Korea setelah seminggu di Jerman. Ada banyak pekerjaan yang sudah menunggu mereka. Dan hal pertama yang dilakukan Haein sekembalinya dari Jerman adalah memantau kondisi pasaraya.

Haein berkeliling melihat aktivitas di pasaraya bersama Sekretaris Na dan beberapa orang stafnya yang lain. Ia sangat suka suasana pasaraya yang kini terasa lebih hidup dari sebelumnya.

Haein pun memuji dan berterima kasih kepada pegawainya karena sudah mengubah suasana di pasaraya seperti keinginannya. Misalnya menyediakan bangku-bangku yang bisa digunakan pengunjung untuk beristirahat jika kelelahan saat keliling berbelanja.

Saat melewati bagian produk kecantikan, Sekretaris Na melihat Nyonya Hong alias ibu Haein tengah memilih skincare di salah satu toko.

"Sajangnim, bukannya itu ibumu?"

Haein menoleh mengikuti pandangan Sekretaris Na. Benar saja itu ibunya. Ia kemudian melangkah mendekati sang ibu. Tampak ibunya itu tengah antusias mendengarkan penjelasan pegawai toko mengenai produk kecantikan yang dipilihnya hingga tidak menyadari kehadiran Haein di sampingnya.

"Eomma," sapa Haein.

Ibunya menoleh. "Ohh, putriku."

"Ibu membeli skincare?"

Nyonya Hong mengangguk. "Ibu membeli untuk ibu mertuamu. Kira-kira produk mana yang cocok dengan ibu mertuamu?"

Haein kemudian merekomendasikan beberapa produk. Ibu Haein mengambil produk yang dipilih putrinya dan segera membayarnya.

"Nanti siang ibu dan ayahmu akan ke Yongduri."

Haein heran. Kedua orang tuanya kini lebih sering ke Yongduri ketimbang dirinya sebagai menantu di keluarga Baek.

Haein menyuruh staf yang ikut bersamanya, kecuali Sekretaris Na, untuk kembali bekerja dan tak perlu mengikutinya lagi.

"Kenapa Ayah dan Ibu rajin sekali ke Yongduri?" Haein menyejajarkan langkahnya dengan sang ibu.

"Ayahmu mau belajar bertani," sahut ibunya.

"Appa?" Haein memastikan pendengarannya tak salah.

"Entahlah, ayahmu sepertinya akan menyerahkan pengelolaan perusahaan pada pamanmu."

"Oh, ya bukannya kau dan Hyunwoo akan ke Yongduri hari ini?" Nyonya Hong menghentikan langkahnya dan menghadap putrinya.

Haein mengangguk. "Sore nanti kami berangkat, dan rencananya akan menginap di sana."

"Baiklah. Kembalilah bekerja, kau tidak perlu mengantar ibu ke luar. Ibu akan ke ruangan ayahmu dulu."

Haein mengangguk. Ia berdiri menatap kepergian ibunya hingga punggung ibunya hilang dari pandangannya.

"Hubunganmu dengan ibumu sepertinya sudah mencair."

Setelah bekerja lama dengan Haein, Sekretaris Na sadar ada yang "tidak beres" dalam hubungan Haein dan ibunya. Namun, hari ini ia melihat pemandangan yang tidak biasa. Di sana ia melihat kehangatan antara ibu dan anak.

Haein tersenyum mendengar ucapan Sekretaris Na. Ia berbalik dan melangkah kembali menuju ruangan kerjanya.  

"Aku tidak terlalu ingat perlakuan ibuku padaku dulu seperti apa. Aku hanya tahu ia membenciku karena menganggap aku penyebab kematian oppa-ku. Tapi ibuku adalah ibu yang hangat."

Sekretaris Na hanya diam dan mengikuti langkah Haein.

"Ikutlah ke ruanganku," kata Haein begitu mereka tiba di depan ruang kerjanya.

Sekretaris Na yang hendak duduk di kursinya kembali berdiri dan mengikuti Haein masuk ke ruangannya.

Haein mengambil dua buah paper bag yang terletak di atas meja dan menyerahkannya pada Sekretaris Na.

"Ini apa?" tanya Sekretaris Na.

"Oleh-oleh untukmu. Satunya untuk anakmu."

"Kau juga membelikan untuk anakku?"

Haein mengangguk. "Aku membeli untuk keponakanku, jadi aku teringat anakmu dan membelinya juga."

Sekretaris Na terharu. Ia jadi ingin memeluk Haein. "Boleh aku memelukmu?'

Haein tersenyum dan langsung merentangkan tangannya menerima pelukan dari Sekretaris Na.

***
Haein mengirim pesan pada Hyunwoo untuk bertemu di atap. Tak lama suaminya itu muncul sambil membawa dua gelas kopi. Ia menyerahkan satu pada Haein dan langsung duduk di samping Haein.

"Bagaimana hari pertama bekerja? Apa kau kelelahan?"

Haein menggeleng. "Kita jadi kan ke Yongduri sore nanti?"

Hyunwoo mengangguk sambil menyeruput kopinya.

"Ayah dan ibuku pasti sudah di sana sekarang."

"Ayah dan ibumu?" tanya Hyunwoo memastikan.

Haein mengangguk. "Tadi ibuku bahkan ke pasaraya membeli skincare untuk ibumu."

"Untuk ibuku?" Hyunwoo tertawa. "Jika diingat-ingat, ibumu dan ibuku dulu seperti akan jadi musuh bebuyutan, tapi hari ini mereka jadi seperti sahabat yang saling mengunjungi satu sama lain."

Haein terkekeh. "Aku yang menantunya saja tidak sesering itu berkunjung."

Haein kemudian bersandar di bahu Hyunwoo. "Biarkan aku sebentar seperti ini."

Hyunwoo tersenyum. Beberapa detik kemudian ia melingkarkan tangannya di bahu Haein.

"Aku sudah bilang jika berkeliling pasaraya pakai sepatu yang nyaman." Hyunwoo baru sadar Haein memakai high heels.

Haein tersenyum. "Aku lupa tadi."

"Apa aku perlu memijit kakimu?"

Haein menggeleng. "Bersandar di bahumu seperti ini sudah memberiku energi."

***

Pukul 7 malam Hyunwoo dan Haein baru tiba di Yongduri. Hyunwoo masih ada pekerjaan di kantor tadi sehingga mereka berangkat agak kesorean.

Ibu Hyunwoo senang dengan kedatangan Haein. Ia menyambut dan langsung memeluk menantunya itu begitu Haein turun dari mobil.

"Ayah dan ibumu baru sekitar 30 menit yang lalu pulang," ujar ibu Hyunwoo.

"Eomonim, maafkan kedua orang tuaku jika merepotkan."

"Kedua orang tuamu tidak merepotkan. Kami justru senang mereka sering ke sini," sahut ibu mertuanya.

"Ayo masuk. Kalian bisa langsung makan malam." Ibu Hyunwoo menarik tangan Haein dan membawanya masuk ke rumah.

Sementara Hyunwoo sibuk mengangkat paper bag yang ada di bagasi mobil. Isinya adalah oleh-oleh dari Jerman untuk keluarga Hyunwoo dan juga tetangga mereka di Yongduri. Suami istri itu memang sengaja datang ke Yongduri hanya untuk memberikan oleh-oleh itu.

"Eomma...kenapa rumah sepi? Hyung dan Noona ke mana?" tanya Hyunwoo. Biasanya ketika mereka datang, yang antusias menyambutnya adalah noona dan hyung-nya.

"Noona-mu lagi di Amerika mengunjungi suaminya. Dia belum menghubungi kami sejak berangkat tiga hari lalu, ibu dan ayah harap itu pertanda baik. Hyung-mu ke rumah mertuanya bersama istri dan anaknya," ibu Hyunwoo menjelaskan keberadaan kedua anaknya pada anak bungsunya itu.

Selesai makan malam, Hyunwoo dan Haein menyempatkan berbincang dengan kedua orang tua Hyunwoo. Berkali-kali ibu Hyunwoo mengucap terima kasih karena Haein sudah kuat dan bertahan selama ini.

Setelah ngobrol dengan orang tuanya, Hyunwoo mengajak Haein jalan-jalan sebentar menghirup udara malam. Keduanya kemudian duduk di atas meja yang ada di depan toserba keluarga Hyunwoo.  

"Aku ingin seperti ini, hanya berdua denganmu sampai kita menua," kata Hyunwoo. Ia mengambil tangan Haein dan menggenggamnya. Mereka tersenyum dan Haein langsung menyandarkan kepalanya di bahu Hyunwoo.

"Jadi sebenarnya kau ingin punya anak berapa?" Haein mengangkat kepalanya dan menatap Hyunwoo.

Hyunwoo mengelus pipi Haein. "Haruskah kita pulang sekarang?"

Haein mengangguk sambil tersenyum malu-malu.

***

Haein duduk di sofa dengan menyilangkan kedua tangannya di dada sambil mendengarkan ocehan Soocheol soal siapa yang akan melanjutkan bisnis Queens Gruop nanti, anaknya atau anak Haein.

Haein sama sekali tak mengerti apa yang ada di pikiran Soocheol sampai harus mendatangi dirinya ke ruang keluarganya hanya untuk mengoceh soal penerus perusahaan.

Konsep rumah keluarga Haein memang berbeda. Meski rumah ini memiliki ruang keluarga utama, namun Haein dan suaminya juga punya ruangan tersendiri, termasuk kamar tidur, ruang tengah, dan dapur. Hanya sesekali mereka berkumpul di ruang tengah dan makan malam atau sarapan bersama di dapur utama.

Sore tadi Hyunwoo mengabari Haein dirinya akan terlambat pulang. Ia meminta Haein tak usah menunggunya dan tidur duluan jika mengantuk. Namun, Haein kini punya kebiasaan lain. Ia tak bisa tidur jika tidak berada di pelukan suaminya.

Ia kemudian ke ruang tengah untuk menunggu Hyunwoo pulang. Namun bukan Hyunwoo yang datang, malah Soocheol yang muncul.

"Noona, aku tahu Geonu...kau pasti menolak karena dia bukan anak kandungku. Tapi sekarang Dahye sedang mengandung anakku. Anakku akan lahir lebih dulu, dan aku bukan anak haram ayah. Jadi...

"Yahh ...kau pikir kita hidup di zaman Joseon?" Haein memotong ucapan Soocheol sambil memelototi adiknya itu. "Jangan-jangan karena aku sering memukul kepalanya waktu kecil makanya otaknya seperti ini," batin Haein.

"Apa Noona tidak keberatan menyerahkan semuanya pada anakku?"

"Aku tidak khawatir soal siapa yang akan meneruskan perusahaan ini. Aku lebih khawatir anakmu mengikuti genmu yang tidak becus mengurus perusahaan," timpal Haein.

"Apa yang salah dengan genku? Gen keluarga kita baik-baik saja."

"Itu sebabnya kau terus merepotkan suamiku sampai dia muak dan ingin bercerai denganku."

"Apa Noona ingat masa lalu? Apa ingatan Noona kembali?" cecar Soocheol.

Haein menggeleng. "Melihat tingkahmu, kau pasti berkontribusi besar pada keputusan suamiku untuk bercerai."

Soocheol hanya nyengir. Pintu terdengar terbuka. Haein mengira Hyunwoo sudah pulang, ternyata Bibi Beomja yang muncul sambil menangis. Melihat Haein ia langsung menghambur ke pelukan keponakannya itu.

"Bibi..bibi ada apa?" tanya Haein. Tangisan Bibi Beomja makin keras. Haein menatap Soocheol meminta jawaban, namun adiknya itu hanya mengangkat bahu.

Haein melepaskan bibinya dari pelukannya. "Ada apa? Kenapa Bibi menangis?" tanya Haein sambil mengusap air mata bibinya.

"Yeong-song bertemu perempuan lain." Tangis Bibi Beomja kembali pecah.

Haein dan Soocheol saling pandang. Keduanya ingin tertawa, namun berusaha menahannya. Haein hanya bisa menepuk-nepuk pundak bibinya.

"Apa Bibi tahu siapa perempuan itu? Bisa saja hanya temannya atau kenalannya."

"Molla. Aku hanya tidak suka dia bersama dengan perempuan lain."

Pintu kembali terbuka. Kali ini benar-benar Hyunwoo yang datang sambil membawa bungkusan kue kacang untuk istrinya tercinta.

"Yeobo...ada apa?" selidik Hyunwoo karena melihat kehadiran Soocheol dan Bibi Beomja.

Ia kemudian menyerahkan bungkusan kue kacang pada Haein. "Kau tidak bilang Bibi dan Soocheol juga ada di sini supaya aku membeli lebih."

Haein mengambil bungkusan itu dan meminta suaminya untuk duduk di sampingnya. Melihat Hyunwoo, tangisan Bibi Beomja kembali pecah.

"Jangan menangis, Bibi. Bibi bukan anak remaja lagi. Bibi sudah janda tiga kali," timpal Soocheol.

"Apa janda tidak boleh menangis?" Ia membentak Soocheol.

Soocheol mendekat. "Bibi, tenanglah. Besok aku ke Yongduri dan bicara pada Hyung. Tenang saja. Aku akan membuat Hyung menikahi Bibi apa pun yang terjadi."

"Menantu Baek, kenapa aku tidak bisa bertemu satu laki-laki sepertimu."

"Bibi...," sergah Haein.

"Bibi, ayo kita keluar dari ruangan ini. Hyung sudah pulang," ajak Soocheol.

Bibi Beomja menurut. Ia berdiri dan menghampiri Hyunwoo. "Bekerja keraslah Menantu Baek."

"Hyung, fighting!" Soocheol ikut menimpali.

Hyunwoo hanya tertawa. Setelah keduanya pergi barulah Haein dan Hyunwoo naik ke kamar mereka.

"Kau pasti lelah. Mandilah dulu lalu tidur." kata Haein sambil membuka dasi suaminya.

"Aku memang lelah, tapi aku masih bisa melayanimu malam ini," bisik Hyunwoo.

Haein tertawa. "Mandi dan istirahatlah."

Hyunwoo mengangguk. Ia mengecup bibir Haein sebelum masuk ke kamar mandi.

To be continued 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Baek Soobin (Creating Destiny) Prolog
3
0
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan