Baekhong (Fanfic Queen of Tears) Part 4-6

3
0
Deskripsi

"Aku sudah bilang kau anugerah terbesar dalam hidupku. Aku tak peduli seberapa banyak kau menyakitiku. Aku akan tetap di sisimu." Hyunwoo mengatakan itu tanpa melepas pelukannya. Ia justru makin erat memeluk Haein.

Part 4

Haein mengumpulkan seluruh keluarganya karena ia ingin menyampaikan sesuatu. Di ruangan keluarga, sudah ada kedua orang tuanya, Bibi Beomja, Soocheol dan Dahye. Sementara Paman Beomseok tak bisa hadir karena tengah berada di luar negeri.

Haein dan Hyunwoo duduk bersebelahan, menghadap anggota keluarganya yang duduk di sisi lainnya.

"Kalian ingin menyampaikan apa? Ayah harap itu adalah kabar bahagia."

Ayah Haein bertanya karena baik Haein maupun Hyunwoo, belum ada yang bersuara.  

"Kami sudah mendaftarkan kembali pernikahan kami," Haein menjawab pertanyaan ayahnya.

"Aku mendengar dari Baek Hyunwoo bahwa seharusnya kami mendaftarkan kembali pernikahan sebelum berangkat ke Jerman untuk operasiku, tetapi baru sekarang kami bisa melakukannya."

Haein melanjutkan ucapannya. "Maafkan kami jika sudah membuat keluarga khawatir."

Hyunwoo mengambil tangan Haein dan menggenggamnya. Tampak cincin nikah sudah kembali melingkar di jari manis mereka.

"Aku juga minta maaf atas semua yang terjadi selama ini. Ayah, Ibu aku berjanji...tidak, aku akan pastikan hanya Haein satu-satunya perempuan dalam hidupku."

Semua keluarga Haein bahagia mendengar kabar keduanya rujuk kembali. Ibunya bahkan tak bisa membendung air mata bahagia. Ayah Haein berdiri dan menghampiri Hyunwoo. Ia memeluk menantunya itu. "Kalian sudah melalui banyak hal. Ayah harap ke depan hanya hal-hal baik yang akan datang pada kalian."

Haein bangkit mendekati ibunya yang masih menangis. Ia lalu menghapus air mata ibunya. Tangis ibunya semakin pecah dan langsung memeluk Haein. Ia teringat perlakuannya pada Haein dulu.

"Eomma...," Haein kembali menghapus air mata ibunya.

Begitu juga Soocheol dan Dahye yang tak bisa menyembunyikan kebahagiaannya. Terlebih Bibi Beomja. Ia tak berhenti menggoda Haein.

"Kau benar-benar perempuan yang beruntung. Lihatlah otot-otot tangan suamimu."

"Bibi...!" teriak Haein dan Soocheol bersamaan yang mengundang gelak tawa.

Haein kemudian memberi tahu keluarganya bahwa ia dan Hyunwoo tak ingin mengadakan pesta apa pun, termasuk wawancara secara pribadi dengan media. Haein hanya ingin tim humas perusahaan membuat rilis ke media bahwa ia dan Hyunwoo sudah kembali menjadi pasangan suami istri.  

Untuk tempat tinggal, keduanya sepakat akan tetap tinggal di rumah keluarga Haein seperti sebelumnya, tapi sesekali juga keduanya akan tinggal di apartemen Hyunwoo.

"Jika ingin cepat punya anak, sebaiknya kalian memang tinggal di apartemen Hyunwoo." Bibi Beomja kembali menggoda Haein.

"Bibi...!" teriak Haein yang kembali mengundang gelak tawa. Haein dan Hyunwoo saling pandang lalu tersenyum.

***

Haein dan Hyunwoo tengah bersiap-siap untuk ke Yongduri. Keduanya akan memberitahu keluarga Hyunwoo soal mereka sudah mendaftarkan kembali pernikahan.

Saat hendak berangkat, orang tua Haein, Soocheol dan Dahye, juga Bibi Beomja berniat untuk ikut. Mereka beralasan merindukan masakan ibu Hyunwoo. Haein dan Hyunwoo tak ada pilihan selain mengizinkan mereka ikut.

Haein semobil dengan Hyunwoo. Soocheol, Dahye dan Geonu di mobil lainnya, sedangkan Bibi Beomja semobil bersama ayah dan ibu Haein.

Mendengar Hyunwoo akan datang bersama keluarga Haein, ibu Hyunwoo segera menangkap dua ekor ayam peliharaannya, menyuruh suaminya membeli daging sapi kualitas terbaik, serta memetik sayuran di kebun.

Begitu tiba di Yongduri, Dahye langsung membantu ibu dan kakak perempuan Hyunwoo di dapur. Haein yang hendak bergabung dengan mereka dilarang oleh ibu Hyunwoo. Ia meminta Haein untuk istirahat saja.

Keluarga Hong dan keluarga Baek kembali makan siang bersama. Mereka membahas berbagai hal, termasuk hubungan Bibi Beomja dan Yeong-song.

Selesai makan, Hyunwoo memberitahu keluarganya bahwa ia dan Haein sudah rujuk kembali. Tentu saja keluarganya sangat senang mendengarnya. Ibu Hyunwoo bahkan menangis. Ia memeluk Haein yang kebetulan duduk di sampingnya.  

"Ibu tahu, Hyunwoo masih punya banyak kekurangan. Tapi Ibu percaya dia akan jadi suami yang baik. Ibu tidak bilang bahwa keputusanmu menikahi kembali Hyunwoo sudah tepat, tapi jika Hyunwoo menyakitimu, beritahu Ibu. Ibu memang menyayanginya, tapi Ibu tak akan segan-segan memarahinya bahkan mengusirnya jika menyakitimu."

Haein tersenyum sambil mengangguk. Ia kembali memeluk ibu mertuanya itu.  

"Berarti tak lama lagi kita akan segera melihat Soobin," ayah Haein menggoda mereka.

"Appa...," Haein tersipu malu.

"Kalau boleh tahu, Soobin siapa?" tanya ibu Hyunwoo penasaran.

"Tentu saja cucu perempuan kita," jawab ibu Haein yang membuat semua tertawa.

"Uri Geonu pasti akan jadi oppa yang baik untuk Soobin," Soocheol menimpali.

Haein tersenyum sambil menatap Geonu yang duduk di pangkuan ibunya.

"Kalian juga harus punya anak lagi," timpal ibu Hyunwoo. "Geonu sudah besar."

Soocheol dan Dahye saling tatap dan tersenyum. Soocheol lalu menggenggam tangan Dahye.

Usai makan siang, keluarga Hong kembali ke Seoul, sementara Haein dan Hyunwoo tetap di Yongduri. Mereka akan menginap dan pulang keesokan harinya.  

***

Haein dan Baek Hoyeol, keponakan Hyunwoo baru pulang dari jalan-jalan di sekitar Yongduri. Haein memang ingin jalan-jalan sambil menikmati cahaya bulan yang bersinar terang, namun Hyunwoo tak bisa menemaninya karena harus menyelesaikan pekerjaannya. Baek Hoyeol dengan senang hati menemani Haein.

"Selamat malam, Bibi Haein," ucap Hoyeol saat mereka akan berpisah.

Haein mengangguk. "Terima kasih, ya."

Haein masuk ke dalam kamar mereka. Ia melihat Hyunwoo berdiri di depan jendela yang terbuka dan menatap ke luar. Haein penasaran apa yang ditatap Hyunwoo. Ia mendekati suaminya itu.

"Yeobo," sapa Haein. "Kau melihat apa?"

Hyunwoo menoleh. Ia tersenyum lalu meraih tangan Haein dan membawa tubuh Haein berdiri tepat di hadapannya. "Aku melihat bulan. Sangat indah, kan?"

Haein mengangguk. "Memang indah. Sepertinya ini sudah bulan purnama. Aku dan Hoyeol juga menikmatinya."

"Saranghae Haein-ah," bisik Hyunwoo.

Haein berbalik menghadap Hyunwoo. "Nado, saranghae, Baek Hyunwoo."

Hyunwoo mencium kening Haein begitu lama. Haein memejamkan matanya menikmati bibir lembut Hyunwoo di keningnya.

Tiba-tiba Hyunwoo mengangkat tubuh Haein yang membuat Haein berteriak karena terkejut. Namun buru-buru ia menutup mulutnya.

"Apa yang kau lakukan? Kita di rumah orang tuamu. Turunkan aku!"

Hyunwoo tak menggubris Haein. Ia tetap mengangkat tubuh Haein dan membaringkannya di tempat tidur.

Keduanya tersenyum. Haein melingkarkan tangannya di leher Hyunwoo. Ia memajukan bibirnya dan langsung disambut oleh bibir Hyunwoo. Keduanya berciuman begitu intens.

"Kapan kau akan membuka pakaianku?" bisik Haein.

"Nanti saja," Hyunwoo balas berbisik sambil menghujani Haein dengan ciuman.

***

"Aku sangat senang melihat cincin itu sudah melingkar lagi di jari manismu."

Sekretaris Na juga bahagia ketika Haein memberi tahunya bahwa ia dan Hyunwoo sudah rujuk kembali.

"Bisa kau ceritakan aku dan Hyunwoo seperti apa dulu?"

"Hmm...kalian seperti musuh bebuyutan dibanding suami istri. Jika kalian bertemu di perusahaan, auranya tiba-tiba gelap."

"Apa aku banyak menyakitinya?"

"Entahlah. Jika kau penasaran kenapa tidak bertanya langsung pada suamimu."

"Meskipun aku menyakitinya, suamiku tidak akan memberi tahuku. Aku tahu itu."

"Maka mulai sekarang jangan sakiti dia," timpal Sekretaris Na.

"Oh, ya apa kau sudah tahu kalau Direktur Baek akan ke Singapura selama tiga hari?"

"Ke Singapura? Untuk apa?"

"Pamanmu...maksudku Direktur Hong mengutusnya untuk menyelesaikan beberapa pekerjaan di sana.".

Mendapat informasi itu Haein buru-buru menuju ruangan pamannya.

"Selamat. Paman dengar kau dan Hyunwoo sudah mendaftarkan kembali pernikahan kalian," ucap Paman Beomseok begitu melihat Haein.

"Terima kasih. Tapi bukannya Paman harus memberi Hyunwoo cuti. Bagaimana Paman malah mengutusnya ke Singapura?" Haein protes. 

"Akhhh itu...Hyunwoo tidak akan lama, dia hanya butuh dua sampai tiga hari. Lagian pekerjaan ini juga sudah ditunda sebelumnya. Kalau ditunda lagi akan berdampak buruk pada reputasi perusahaan."

"Paman tiga hari terlalu lama. Bisakah kau membuatnya sehari saja."

"Itu tergantung suamimu. Lebih cepat dia menyelesaikannya, dia juga akan cepat pulang," jawab sang paman.

Gagal membujuk pamannya, Haein menuju ke ruang kerja Hyunwoo. Namun ia melihat Hyunwoo sibuk bersama rekan kerjanya. Ia mengirim chat untuk bertemu di atap kantor.

"Ada apa?" Hyunwoo sepertinya buru-buru naik ke atas begitu membaca chat Haein. Ia langsung duduk di samping Haein.

"Aku dengar kau akan ke Singapura."

Hyunwoo tersenyum. "Iya. Aku harus mengurus beberapa hal di sana. Aku tidak akan lama, dua atau tiga hari aku sudah kembali."

"Apa paman tidak mengerti kalau kita baru saja mendaftarkan pernikahan kita?"

Hyunwoo kembali tersenyum. "Aku berangkatnya besok siang, malam ini aku bebas. Besok pagi juga aku masih bebas," bisik Hyunwoo.

Haein hanya bisa mengipas wajahnya yang memerah.

Hyunwoo mengecup bibir Haein. "Aku masih ada pekerjaan. Jangan lupa makan siang. Sampai bertemu di rumah."

****

Hyunwoo baru saja selesai packing. Sementara Haein masih terlelap di bawah selimutnya. Hyunwoo kemudian memungut pakaiannya dan pakaian Haein yang berserakan di lantai. Setelahnya ia duduk di samping tempat tidur dan menatap Haein. Ia tak tahan dengan pemandangan di depannya. Ia lalu melabuhkan kecupan di kening Haein.

Haein menggeliat. Ia membuka matanya. "Kau sudah siap-siap?"

Hyunwoo mengangguk.

"Bangunlah. Kita sarapan."

Hyunwoo menunggu Haein namun ia tak kunjung beranjak. "Ayo, kita sarapan."

Haein menggigit bibirnya. "Tunggu aku di meja makan. Aku tak mengenakan apa pun. Aku berpakaian dulu."

Hyunwoo tersenyum. "Kau masih saja malu, padahal aku sudah melihat semuanya."

Haein kesal sambil melempar bantal pada Hyunwoo. Hyunwoo berbalik mengambil bantal itu, menyimpannya kembali di ranjang dan berdiri di samping Haein.

"Apa-apaan, kenapa masih berdiri di sini? Keluar sana!" usir Haein.

"Poppo.." Hyunwoo membawa pipinya ke hadapan Haein. Haein tersenyum dan mengecup pipi Hyunwoo. Setelah mendapat kecupan, Hyunwoo segera pergi meninggalkan kamar mereka.

Setelah sarapan, Haein mengantar Hyunwoo ke bandara.

"Kabari aku jika sudah di sana."

Hyunwoo mengangguk. Ia memeluk Haein dan mengecup bibirnya. "Jangan bekerja terlalu keras, pakai sepatu yang nyaman."

Selama tiga hari di Singapura, Hyunwoo dan Haein selalu bertelepon dan berkirim pesan. Hyunwoo bahkan kerap mengambil gambar tempat-tempat indah yang dilaluinya di sana dan mengirimkannya pada Haein.

Part 5

Sejak Hyunwoo pulang dari Singapura, Haein seolah tak mau lepas dari suaminya. Dari bangun tidur hingga tidur kembali, ia maunya berduaan dengan Hyunwoo. Bahkan ketika Hyunwoo sudah tidur pun, Haein masih usil mengganggunya.

Seperti hari ini, Hyunwoo sudah terlelap. Ia tidur dengan posisi telentang. Tangan kirinya menjadi bantalan kepala Haein. Sementara Haein masih terjaga sambil menatap wajah tampan Hyunwoo. Belum ada tanda-tanda kantuk akan menghinggapinya.

"Mungkin benar kata Bibi Beomja, aku wanita yang sangat beruntung karena bisa melihat pemandangan indah seperti ini setiap waktu. Aku harus berterima kasih pada Tuhan," batin Haein.

Ia kemudian mempermainkan dagu Hyunwoo dengan jari telunjuknya. Itu sudah seperti menjadi kebiasaan baru bagi Haein.

Hyunwoo menggeliat. Ia membuka matanya dan menatap Haein. Ia lalu mengubah posisinya menghadap Haein dan membawa istrinya itu ke dalam pelukannya.

"Aku penasaran," kata Haein tiba-tiba.

"Apa?" tanya Hyunwoo.

"Seberapa besar aku sudah menyakitimu hingga kau ingin bercerai."

Hyunwoo membuka matanya. "Aku sudah bilang kau anugerah terbesar dalam hidupku. Aku tak peduli seberapa banyak kau menyakitiku. Aku akan tetap di sisimu." Hyunwoo mengatakan itu tanpa melepas pelukannya. Ia justru makin erat memeluk Haein.

"Tapi aku tetap penasaran. Kau tahu semua tentangku, semua tentang masa lalu kita, tapi aku tak tahu apa-apa."

Haein melanjutkan ucapannya, "Aku takut aku akan mengulanginya dan menyakitimu lagi."

Kali ini Hyunwoo melepas pelukannya dan menatap Haein lekat. Ia lalu mengusap lembut pipi Haein.

"Aku benar-benar takut akan menyakitimu lagi." Haein kembali mengulang ucapannya.

"Aku tak peduli. Selama kau ada di sisiku, semuanya akan baik-baik saja. Aku tidak ingin kehilanganmu. Itu saja."

"Tapi beri tahu aku bagian mana dari sikapku yang menyakitimu." Haein masih bersikukuh.

Hyunwoo tak ada pilihan selain memberi jawaban atas pertanyaan Haein itu.

"Baiklah...setelah apa yang kita lalui, aku sadar cinta saja tak cukup untuk mengarungi bahtera rumah tangga. Kita hanya sibuk dengan persepsi masing-masing hingga tak sadar kita saling menyakiti. Aku akui komunikasi kita memang buruk. Orang bilang keluarga tanpa komunikasi hanyalah orang asing. Dan aku rasa itu benar, kita benar-benar menjadi asing saat itu."

Hyunwoo kembali mengusap lembut pipi Haein. "Bertanya bagaimana harimu, bagaimana pekerjaanmu, apa semuanya berjalan lancar, bertanya apa kau ingin makan sesuatu, kita lupa melakukan hal-hal kecil seperti itu."

"Setelah kau memberi tahuku bahwa usiamu sisa tiga bulan lagi, aku sempat tersenyum. Aku pikir bisa berpisah denganmu tanpa repot-repot mengurus perceraian dan berurusan dengan keluargamu."

Mata Hyunwoo berkaca-kaca. "Tapi membayangkan akan kehilanganmu, aku benar-benar takut. Jika aku bisa bertemu Tuhan, aku hanya akan meminta agar Dia membawa kita bersama-sama. Aku merasa hidupku tak akan ada lagi artinya tanpa dirimu."

Haein terdiam. Ia bisa merasakan penyesalan suaminya itu. Ia juga tahu betul ucapan Hyunwoo bukan hanya untuk menghiburnya semata.

"Aigoo...." Haein mengusap lembut pipi Hyunwoo. "Maafkan aku," ujarnya.

"Untuk apa?"

"Semuanya."

Hyunwoo tersenyum. Ia kembali mengubah posisinya jadi telentang. "Tidurlah. Besok kita harus menemui dokter untuk memeriksa kondisimu."

Bukannya menuruti suaminya untuk tidur, Haein kembali mempermainkan dagu Hyunwoo.

Hyunwoo terpaksa membuka matanya lagi. "Apa lagi?"

Haein menggeleng.

Namun Hyunwoo tiba-tiba bergerak membuat Haein sedikit terkejut. Ia kini berada di atas tubuh Haein dengan posisi kedua tangan bertumpu di atas kasur.

"Aku harus membuatmu diam agar aku bisa tidur nyenyak."

"Caranya?"

"Ireoke." Hyunwoo mengecup bibir Haein. Haein tersenyum sambil menggigit bibir bawahnya. Ia kemudian melingkarkan kedua tangannya di leher Hyunwoo. Tak butuh waktu lama, bibir mereka kini saling melumat.

***

Haein duduk di samping tempat tidur memperhatikan Hyunwoo yang masih terlelap tidur. Kembali ia mengagumi wajah tampan suaminya itu. "Benar-benar sebuah kerugian jika tak menikahinya," batin Haein.

Haein kemudian memungut pakaian Hyunwoo di lantai. Merapikannya dan menaruhnya di samping tempat tidur. Ketika Hyunwoo bangun, ia bisa langsung memakainya.

Hyunwoo membuka matanya. Haein tersenyum. "Good morning," sapanya.

"Good morning," balas Hyunwoo.

"Kau benar-benar tidur nyenyak," kata Haein lagi.

Hyunwoo tersenyum.

"Tidurlah kembali. Masih ada waktu dua jam sebelum kita ke rumah sakit."

Hyunwoo bangun dari tidurnya. Ia langsung memakai kembali pakaiannya.

"Aku akan membuatkanmu sarapan."

"Tidak!" cegah Haein. "Hari ini aku yang akan membuat sarapan untuk kita."

"Kau bisa memasak?" selidik Hyunwoo.

"Tentu." Haein mengucapkan kata itu penuh percaya diri.

Saat Hyunwoo menemui Haein di dapur, semua makanan sudah siap. Ada telur dadar gulung, sosis, kimchi, dan sup tauge dicampur tahu.

Hyunwoo menarik kursi dan duduk di sana. "Apa kau memasak semuanya?"

Haein mengangguk. "Kecuali kimchi, itu buatan Ibu. Aku juga tadi meneleponnya dan menanyakan beberapa resep."

Hyunwoo tersenyum. Ia kemudian mencicipi telur dadar gulung.

"Bagaimana?" tanya Haein

"Rasanya enak. Wahhh... rupanya kau punya keahlian tersembunyi." Hyunwoo memuji Haein.

Giliran sup tauge yang dicicipi Hyunwoo. Ekspresinya langsung berubah.

"Wae? Apa rasanya masih hambar?"

Haein buru-buru mengambil sendok dan mencicipinya. Ternyata supnya keasinan. Ia tak punya pilihan selain menatap Hyunwoo dengan ekspresi memelas. Hyunwoo tersenyum.

"Tadi aku pikir masih hambar, jadi aku menambah sedikit garam. Kau tidak usah makan supnya." Haein mengambil mangkuk sup dari hadapan Hyunwoo, namun dicegah oleh Hyunwoo.

"Aku akan memakannya. Ini sup pertama yang kau buat untukku. Jadi aku harus memakannya. Aku tinggal menambahkannya air agar tidak keasinan."

Hyunwoo benar-benar menambahkan air ke dalam supnya yang membuat Haein terharu. "Aku harus jadi hamba Tuhan yang baik karena telah memberiku suami seperti Hyunwoo," batinnya lagi.

"Maafkan aku," kata Haein.

Hyunwoo tersenyum. "Makanlah."

Di rumah sakit

Hasil pemeriksaan medis menunjukkan kondisi kesehatan Haein semuanya bagus. Dokter mengatakan tidak ada yang perlu dikhawatirkan berlebihan.

Hyunwoo berkali-laki menghela napas lega mendengar penjelasan dokter. Haein tak banyak bicara. Ia hanya menatap lekat pada Hyunwoo. Ia semakin sadar Hyunwoo begitu dalam mencintainya. Dibanding dirinya, Hyunwoo ternyata lebih cerewet bertanya pada dokter soal kondisi kesehatannya.

"Kita masih punya satu jam sebelum kembali ke kantor. Kau ingin jalan-jalan?" tanya Hyunwoo begitu mereka ke luar dari ruangan dokter.

"Aku mau kembali ke kantor saja dan berpelukan denganmu," jawab Haein

Hyunwoo tertawa.

"Kenapa tertawa?"

Hyunwoo menghentikan langkahnya. "Akhir-akhir ini aku benar-benar selalu dibuat tak bisa berkata-kata dengan ucapanmu."

"Let's go!" Hyunwoo menautkan jemarinya dengan jemari Haein

"Ke mana?" tanya Haein

"Berpelukan di kantor."

Haein tersenyum. "Aku bercanda." Ia memukul lengan Hyunwoo. Keduanya tertawa.

***

Malam ini Haein dan Hyunwoo tidur di apartemen Hyunwoo. Hyunwoo tengah membaca buku sambil rebahan di pangkuan Haein.

Haein sesekali usil bermain dengan dagu Hyunwoo. Entah kenapa ia begitu menyukai dagu Hyunwoo. Namun setelah dipikir-pikir, ia tak hanya menyukai dagunya, tapi semua bagian tubuh suaminya.

"Berhenti menatapku."

"Kau sibuk saja dengan bukumu. Biarkan aku sibuk dengan wajah tampanmu ini."

Hyunwoo tersenyum. "Apa aku benar-benar tampan?"

"Tentu," jawab Haein cepat.

Haein kemudian mengambil tangan kanan Hyunwoo. "Apa tangan ini?"

"Kenapa?"

"Yang memecahkan kaca mobil di Jerman karena kau mengira aku ada di dalamnya?"

Hyunwoo memperhatikan tangan kanannya. Ia tersenyum dan mengangguk.

Haein lalu membawa tangan kanan Hyunwoo itu ke pipinya.  

"Lain kali, jangan membahayakan dirimu jika hanya ingin menyelamatkan diriku."

"Aku tak peduli. Hidup tanpamu akan lebih menyakitkan bagiku."

Haein terdiam. Hyunwoo selalu punya kata-kata yang mampu membuat hatinya berdebar.

"Apa kau hanya ingin membaca buku semalaman?" Haein mengalihkan topik.

Hyunwoo masih tetap asyik dengan bukunya. "Lantas kita harus melakukan apa?"

"Jika ingin segera punya Soobin, bukankah kita harus bekerja keras."

Hyunwoo menutup buku dan meletakkannya di atas meja.

"Baiklah." Hyunwoo berdiri dan langsung membopong tubuh Haein menuju kamar mereka. Ia kemudian meletakkan tubuh Haein di atas tempat tidur dengan sangat hati-hati.

"Tapi bagaimana jika aku hamil dan ternyata anak kita laki-laki?" Haein tiba-tiba bertanya.

Hyunwoo terdiam sejenak. "Tidak masalah. Kita hanya harus bekerja keras agar Soobin lahir. Entah dia jadi anak kedua, ketiga, keempat...

Haein tertawa mendengar ucapan Hyunwoo. "Kau sebenarnya ingin punya anak berapa?"

"Karena tingkat kelahiran di negara kita rendah, jadi aku ingin punya anak sebanyak mungkin. Kita sudah berkontribusi di bidang ekonomi, kita membuka lapangan kerja, kita sudah bayar pajak, sekarang kita harus membantu negara kita dengan punya anak banyak."

Haein makin keras tertawa. Ia memukul manja dada Hyunwoo. Keduanya saling tatap sebelum Hyunwoo melabuhkan kecupannya di bibir Haein. Malam itu kembali mereka lewati dengan penuh gairah.

"Apa kau benar-benar ingin punya banyak anak?" Haein berbisik di tengah pergumulan mereka.

"Tidak. Aku hanya ingin punya satu putri yang cantik seperti dirimu." Hyunwoo balas berbisik.

"Tapi aku juga ingin satu putra seperti dirimu."

Hyunwoo tersenyum. "Akan aku usahakan."

Part 6

Haein duduk di sofa dengan kaki disilang dan kedua tangan dilipat di dada. Ia menunggu Hyunwoo pulang, namun tak kunjung datang. Ponsel suaminya juga tidak bisa dihubungi.

Haein melirik jam di pergelangan tangan kirinya. Sudah hampir jam 11 malam. Ia bangkit dari duduknya, berjalan mondar-mandir sambil menggigiti kuku ibu jarinya. Ia tak bisa menyembunyikan rasa cemasnya. Ia takut sesuatu terjadi pada Hyunwoo.

Ia menatap ponselnya yang tergeletak di atas meja. Ia tak tahu harus menghubungi siapa untuk menanyakan keberadaan suaminya. Ia juga tak punya nomor ponsel Yanggi.

Sepulang kerja tadi, Hyunwoo izin akan pergi bersama Yanggi dan teman-teman pengacaranya yang lain. Hyunwoo berjanji akan cepat pulang. Namun sampai detik ini batang hidungnya belum juga muncul.

Haein menghela napas sambil kembali menghempaskan tubuhnya di sofa. Ia lalu bersandar di sandaran sofa. Tak berapa lama telinganya mendengar langkah kaki yang mendekat. Seperti setengah berlari.

Tak lama pintu terbuka. Ia melihat Hyunwoo buru-buru menaiki anak tangga. Namun, langkahnya terhenti ketika pandangannya tertumbuk pada Haein yang tengah menatapnya.

"Yeobo!" panggilnya sambil menuruni kembali anak tangga dan mendekati Haein. Ia duduk di samping Haein setelah meletakkan tasnya di atas meja. "Maafkan aku sudah membuatmu menunggu lama."

"Yahhh...aku tak peduli menunggu lama asal ponselmu aktif. Kau tak tahu bagaimana cemasnya aku takut sesuatu terjadi padamu."

Rasa cemas, khawatir, kesal, dan marah yang tadi campur aduk dirasakan Haein berubah menjadi tangisan. Ia lega suaminya baik-baik saja.

Hyunwoo tersenyum sambil mendekat dan membawa kepala Haein ke dadanya. Ia mengusap air mata Haein dan sebelah tangannya yang lain mengelus punggung istrinya itu.

Haein menarik kepalanya dari dada Hyunwoo. "Kau jangan mengulanginya lagi. Aku bisa mati bukan karena sel kanker yang menggerogoti otakku, tapi karena kau bersikap seperti ini."

Hyunwoo mengangguk. "Baterai ponselku habis. Tadi di jalan macet, ada kecelakaan beruntun. Aku juga lupa membawa charger. Maafkan aku. Aku janji tak akan mengulanginya."

Hyunwoo menatap ke dalam mata Haein. Istrinya itu mengangguk dan kembali melabuhkan kepalanya di dada Hyunwoo.

***
Haein dan Hyunwoo berada di atas tempat tidur sambil berpelukan. Seperti biasa Haein mempermainkan dagu Hyunwoo. Setelah puas bermain dengan dagu Hyunwoo, Haein beralih mempermainkan pipi Hyunwoo seolah pipi suaminya itu adalah squishy. Hyunwoo hanya pasrah.

“Aku ingin ke Jerman,” kata Haein. Tangannya masih mempermainkan pipi Hyunwoo.

“Ke Jerman? Untuk apa? Ada pekerjaan di sana?”

Haein menggeleng. “Walaupun Dokter Park mengatakan kondisiku baik-baik saja, bukankah sebaiknya kita menemui dokter yang mengoperasikan di sana? Dia pasti tahu kondisiku.”

"Dokter Park bilang semuanya baik-baik saja. Kita hanya perlu rutin memeriksa kondisimu, jadi ketika sel kankernya kembali, kita bisa tahu lebih cepat."

Haein memasang wajah memelas sambil memonyongkan bibirnya yang langsung dikecup oleh Hyunwoo. Haein memukul dada suaminya.

“Ayo jujur. Kau ingin ke Jerman bukan untuk menemui dokter, kan? Itu bukan tujuan utamamu."

Haein menggigit bibir bawahnya. “Aku ingin mengulang bulan madu kita di sana. Kau bilang aku sangat bahagia di sana. Tapi tak ada satu pun yang betul-betul aku ingat. Kau sudah berjanji ingin mengisi stoplesku hanya dengan kenangan manis, yang sewaktu-waktu bisa aku keluarkan seperti mengeluarkan permen. Tapi aku pikir stoplesku masih kosong."

Hyunwoo tersenyum. Ia kemudian melipat sebelah tangannya di bawah kepala. Sebelah tangannya yang lain mempermainkan rambut Haein.

"Terus?”

“Aku ingin kita kembali berbulan madu di sana."

“Kenapa harus Jerman? Kenapa tidak ke negara lain?" Hyunwoo kini melipat kedua tangannya di bawah kepala dan membiarkan Haein berbuat sesukanya pada wajahnya.

Haein menggeleng. Sebelah tangannya kini bertumpu di dada Hyunwoo. “Kalau ke negara lain itu namanya bukan mengulang, tapi itu membuat kenangan baru.”

Hyunwoo tersenyum. Untuk yang satu ini ia tahu pasti tak akan menang melawan Haein.

"Baiklah. Kita ke Jerman. Tapi di Jerman kita lebih banyak menghabiskan waktu di kamar, loh. Kau tahu, kan apa yang kita lakukan jika hanya berdua di kamar." Hyunwoo menggoda Haein.

Haein mencubit pipi Hyunwoo hingga Hyunwoo berteriak kesakitan. Ia kemudian tersenyum dan membawa Haein ke pelukannya. "Kita akan ke Jerman. Aku akan membawamu ke semua tempat yang pernah kita kunjungi. Aku akan mengisi stoplesmu hingga benar-benar penuh."

Haein mengangguk. Kantuk mulai menghinggapinya. Perlahan matanya terpejam.

"Jangan melakukan apa pun padaku malam ini. Aku benar-benar mengantuk," ujarnya pelan sebelum terlelap tidur.

Hyunwoo hanya tersenyum sambil mengecup kening Haein. Ia juga memejamkan matanya hingga keduanya sama-sama pulas.

***
Soocheol mengumpulkan keluarganya karena ia ingin menyampaikan sesuatu. Hyunwoo dan Haein datang paling belakang. Di dalam ruangan keluarga sudah ada kedua orang tua Haein, Soocheol dan keluarga kecilnya. Juga Bibi Beomja.

Melihat Hyunwoo dan Haein datang, Geonu yang berada di pangkuan ayahnya berlari dan merentangkan tangannya pada Haein. Haein menyambutnya dan menggendong Geonu. Ia dan Hyunwoo kemudian duduk di samping ayah dan ibunya.

Melihat Geonu duduk di pangkuan Haein, Bibi Beomja jadi tertarik mengusili keponakannya itu.

"Aigoo...Haein sudah cocok menjadi ibu. Apa uri Soobin belum ada tanda-tanda bakal terlahir ke dunia ini?”

“Bibi…," tegur Haein.

"Menantu Baek, bekerja keraslah!” Bibi Beomja mengedip manja pada Hyunwoo.

“Bibi!! teriak Haein.

"Aku sudah bekerja keras," sahut Hyunwoo.

"Belum bekerja keras jika kau melakukannya malam hari saja, kalian harus melakukannya siang dan malam."

Haein menutup telinga Geonu. Bibinya benar-benar sudah tidak bisa dikontrol.

"Aku akan menuruti saran, Bibi."

Haein makin frustasi karena suaminya juga menimpali candaan bibinya. Semua yang ada di sana tertawa karena Bibi Beomja berhasil menjahili Haein.

"Oh, ya kau ingin mengumumkan apa?" tanya Haein pada Soocheol mengalihkan pembicaraan. Kini semua mata tertuju pada Soocheol.

"Dahye hamil. Geonu akan jadi kakak." Soocheol mengumumkan kehamilan Dahye dengan ekspresi wajah yang benar-benar bahagia. Semua keluarga senang mendengarnya.

"Aku berharap Dahye akan melahirkan anak perempuan yang cantik sepertinya," kata Soocheol lagi. Dahye tersenyum.

Hajima!" kata Haein.

"Waeyo?" Soocheol bertanya.

"Lahirkan anak laki-laki saja."

"Noona saja yang melahirkan anak laki-laki. Aku juga ingin seorang putri secantik istriku."

Dahye hanya tersenyum kikuk sambil mencolek suaminya untuk berhenti.

"Aku juga punya pengumuman," kata Haein.

"Apa Noona juga hamil?"

"Diam!" bentaknya.

Tak seperti dulu yang dibentak langsung ciut, kini Soocheol malah senyam senyum pada kakaknya.

"Aku dan Baek Hyunwoo akan ke Jerman. Kami akan menemui dokter yang mengoperasiku di sana."

"Yah, bukannya kalian bilang hasilnya baik-baik saja," ibu Haein langsung reaktif. Ia terlihat sangat khawatir. Begitu juga yang lain.

"Bukan seperti itu, Ibu. Semuanya baik-baik saja. Ibu tidak perlu khawatir." Hyunwoo segera menjawab keresahan ibu mertuanya. Semua terlihat lega.

"Kami akan berbulan madu di sana,"  kata Haein pelan.

"Yah, kau harusnya dari tadi bilang mau bulan madu, kenapa malah membahas dokter. Ibu takut sel kankermu kambuh lagi."

"Eomma...mianeyo." Haein merasa bersalah pada ibunya.

"Jadi kapan kalian akan berangkat?" tanya ayah Haein.

"Setelah aku menyelesaikan beberapa pekerjaan. Mungkin tiga hari dari sekarang."

"Kalian memang harus ke Jerman. Negara itu akan menjadi tempat yang baik untuk mencetak anak perempuan."

"Bibi ada Geonu di sini," protes Haein.

"Semoga sukses noona punya anak perempuan." Soocheol menimpali. "Hyung berusahalah," lanjutnya.

Hyunwoo mengangguk. "Aku akan bekerja keras untuk membawa cucu perempuan di keluarga ini."

Haein memukul lengan Hyunwoo karena masih ikut-ikutan dengan bibi dan adiknya. Ia kemudian mengipas wajahnya yang memerah membuat semua tertawa.

To be continued...

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Baekhong (Fanfic Queen of Tears) Part 7-9
4
1
Hyunwoo tersenyum. Ia kemudian menyapu lembut bibir Haein dengan ibu jarinya. Haein hanya diam mematung ketika jari Hyunwoo bermain di garis bibirnya.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan