Ketempelan Mantan (Bab 5)

8
2
Deskripsi

"Aku mau bicara penting, Ra. Ini tentang hidup dan matiku." -Kelana Rimba-

“Apapun tentangmu, aku nggak peduli lagi, Lan!” -Adara Mutia Hanan-

“Pokoknya kita ketemu di sana jam dua belas teng! Aku setengah dua belas udah keluar kantor. Ketemu di taman rumah sakit, ya, Ra! Awas kalau nggak datang!”

Adara melangkahkan kakinya dengan terpaksa keluar dari mobil. Kalau bukan karena ancaman Himalaya dan rasa penasaran kenapa Himalaya sampai memaksanya datang ke rumah sakit, mungkin Adara memilih mengurung diri di kontrakan barunya saja. Tapi kalau dipikir, sampai kapan dirinya mau mengurung diri? 

Melewati sisi luar gedung rumah sakit Citra Medika, Adara memutar cukup jauh sambil melihat-lihat pemandangan di luar. Sengaja tidak lewat pintu samping gedung utama karena ingin menghirup udara segar di siang yang teduh ini. 

Sambil mengayunkan langkahnya, Adara merapal doa agar tidak bertemu dengan Kelana hari ini. Aaah, yang kemarin pasti hanya kebetulan bertemu. Jadi mana mungkin hari ini kembali bertemu. Pikir Adara.

Namun sayangnya…

Si pria yang dimaksud Adara sedang galau duduk bersandar di sebuah pohon rindang di tepi danau kecil yang ada di taman rumah sakit tersebut. Sambil melamun menatap air yang tenang, entah sudah ke berapa kali Kelana menghela napas panjang. 

“Dia yang nuduh, dia yang nggak mau denger, dia yang jalan sama cowok lain dan sekarang dia juga yang masih dendam. Ck! Apa coba maksudnya?” gerutu Kelana kembali menghela napas panjang. Kali ini jauh lebih panjang. Jauh lebih menyedihkan.

Sejak kemarin, Kelana menghabiskan waktunya untuk melamun. Biasanya, hari-harinya dihabiskan untuk nimbrung dalam tongkrongan orang lain. Kalau malam tiba, Kelana akan pergi ke pos depan dimana para security berada lalu ikut duduk bersila melihat para security bermain kartu sambil mendengar gosip-gosip terkini seputar dokter dan perawat di rumah sakit tersebut. Tapi tadi malam, jangankan pergi ke pos depan, beranjak dari basement saja tidak bisa. Jadi sejak kemarin Kelana berbaring di atas mobil pick-up yang entah milik siapa sambil memikirkan Adara. 

Sejak kemarin, Kelana memikirkan bagaimana caranya agar bisa bertemu dengan Adara lagi lalu meminta bantuan Adara agar dirinya bisa kembali ke dalam tubuhnya. Namun masalahnya, apa mungkin Adara mau membantunya, sementara Adara sepertinya masih sangat dendam karena kejadian di masa lalu. 

“Apa rumahnya masih yang dulu?” gumam Kelana. “Ah, tapi apa alasanku datang?” lanjut Kelana pusing sendiri. “Kemarin aja keliatan emosi banget. Masa iya datang ke rumahnya terus minta tolong? Dasar nggak tau diri!” omel Kelana pada dirinya sendiri.

Menyandarkan punggungnya di batang pohon besar, Kelana mengasihani dirinya sendiri. Kelana tidak bisa memprediksi apa yang akan terjadi padanya. Apakah tubuhnya bisa bertahan lebih lama lagi atau dirinya akan benar-benar meninggal?

Kelana memandangi cincin di tangannya. Cincin yang tak bisa ia lepas dari jemarinya.

“Tapi mana mungkin? Aku dan dia aja sudah putus sepuluh tahun lalu,” gumam Kelana memikirkan cincin di jemarinya dan juga Adara. Adara pasti tidak akan peduli dengan cincin di jemarinya ini ‘kan?

Kedua kakinya terlipat menutupi perutnya dan kedua tangannya memeluk kaki yang terlipat itu sambil memandangi danau yang berkilau terkena sinar matahari. “Tapi kalau dilihat reaksi Adara kemarin, mungkin dia akan semakin membenciku dan makin percaya kalau hari itu aku mencium Lilian.”

Di bawah pohon rindang itu, Kelana dibuat pusing tujuh keliling dengan nasibnya. Dan di tengah kepusingannya…

“Dimana? Katanya jam dua belas teng? Ini sudah lewat lima belas menit, Him!” gerutu Adara mengayunkan kaki menuju tepi danau. Bosan menunggu di bangku taman, Adara memilih berjalan-jalan di sekitaran danau yang kata orang, sih, adalah danau perjodohan. 

Dari cerita yang Adara ingat, sejak dulu tersiar kabar jika pria dan wanita yang tidak sengaja bertemu pinggir di danau dan saling menatap lebih dari sepuluh detik maka mereka akan berjodoh.

Hahaha… Adara mana percaya cerita aneh begitu. Masa iya pria dan wanita yang bertemu di pinggir danau tiba-tiba menjadi jodoh? Kalau salah satunya sudah punya pasangan gimana? Ada-ada saja! 

Adara lebih percaya jika di tempat ini banyak penunggu ghaibnya. Apalagi di pinggir danau terdapat banyak pepohonan besar.

“Hehehe… bentaran, ya, Ra! Macet, nih. Paling sepuluh menit lagi nyampe, kok. Tunggu di sana, ya! Jangan kemana-mana. Ada hal penting yang mau aku perlihatkan. Oke!”

“Kalau sampai sepuluh menit nggak datang, aku bakal…”

Tut… tut… tut…

“Halo… Halo… Iiiiikkhhh!!!” gerutu Adara kesal karena Himalaya memutus panggilan begitu saja. “Awas aja kalau sepuluh menit nggak datang!” omel Adara lalu…

“Ngomel teruuuuussss…” 

“ASTAGA!” jerit Adara memegangi dadanya saat mendengar suara berbisik di telinganya.

Adara mendelik, menggeram kesal sekaligus kaget melihat siapa yang berdiri di sampingnya sambil memamerkan senyum lebar ala-ala iklan pasta gigi.

Tuh ‘kan! Tuhan bercanda lagi. Kenapa harus ketemu lagi, sih? 

“Kamu ngapain di sini?” Jantung Adara berdetak sangat cepat. Eeeittts… ini karena kaget, ya, bukan karena hal lain. Siapa coba yang tidak kaget tiba-tiba ada yang berbisik di telinganya. Mana yang berbisik adalah mantan sialannya. ‘Kan kesal!

“Hehehe…” Kelana cengengesan. Sepertinya Tuhan memang mengirim Adara untuk menemani hidupnya yang sepi merana. Dan mungkin saja Tuhan mengirim Adara untuk membantunya. Apa jangan-jangan ciuman cinta sejati yang dimaksud tulisan dari wanita misterius itu adalah ciuman dari Adara? Jangan-jangan… Adara cinta sejati yang dimaksud itu?

Oh, ya, ngomong-ngomong soal wanita misterius itu, Kelana sudah coba mencari kemarin dan pagi ini, namun Kelana tidak menemukan wanita itu. Tidak tahu apa maksud wanita itu dan bagaimana wanita itu tahu namanya?

“Kebetulan banget ketemu kamu di sini, Ra. Jangan-jangan, kita masih ditakdirkan untuk bersama, ya, Ra?” kekeh Kelana membuat Adara memutar bola mata kesal lalu melengos membalikkan tubuh dan menjauhinya.

“Nggak usah ngomong yang aneh, ya! Nggak ada takdir-takdiran!” Adara meremas tali tasnya. Kesal pada dirinya sendiri karena mengikuti perintah Himalaya. Atau…

Adara berbalik secepat kilat sampai tubuhnya hampir saja bertubrukan dengan Kelana. Kelana yang tadi mengejar langkah Adara, seketika salah tingkah saat Adara membalikkan tubuh secara tiba-tiba. Kelana mundur selangkah. Ia merasakan jantungnya berdetak kencang. Walau tak menempati tubuhnya, Kelana bisa merasakan detak jantungnya. Ternyata jantungnya masih bereaksi terhadap Adara. 

Adara berdeham, mengusir perasaan aneh. “Jangan bilang kamu nyuruh Hima untuk bawa aku ke sini? Iya?” pelotot Adara menginterogasi Kelana. Bisa saja ini bukan kebetulan karena aneh sekali Himalaya memaksanya untuk datang kemari sementara hingga saat ini batang hidung Himalaya tidak tampak.

Kelana mengerjap, ia menggelengkan kepalanya seperti anak kecil yang polos. “Nggak! Memangnya, kamu lagi janjian sama Hima? Hima mau ke sini? Kalian masih berteman baik? Hima yang kamu maksud itu Himalaya ‘kan?” cecar Kelana memajukan wajahnya.

Adara menggigit bibirnya sambil menggeram kesal dan mendorong kening Kelana dengan jari telunjuknya. Risih Kelana sedekat ini dengannya. “Jangan bohong!” Adara memicing. “Kamu pasti kong kalikong sama Hima ‘kan?” tuduh Adara. 

Kelana menghela napas panjang. Meluruskan tubuhnya dan melipat tangan di depan dada, Kelana berkata, “ya, nggak mungkin lah, Ra. Yang bisa liat aku cuma kamu. Hima mana bisa ngeliat aku.”

Adara mengerutkan kening. Sejak kemarin Kelana seolah kaget dan berulang bertanya apa dirinya bisa melihat pria itu. “Ngomong apa, sih? Nggak jelas,” ucap Adara mengayunkan kaki melangkah menjauh─malas meladeni Kelana yang aneh.

Adara mengedarkan pandangannya. Beberapa orang yang berada di danau tersebut menatap ke arahnya. Jangan bilang mereka mengira dirinya dan Kelana adalah pasangan yang sedang berantem. Iiih… amit-amit!

“Ra…” panggil Kelana mengayunkan langkah lebar mengejar Adara. “Ra, tunggu! Aku mau bicara sama kamu.”

“Nggak ada yang perlu kita bicarakan, Lan. Aku nggak mau kenal kamu lagi dan aku harap kamu menghargai keputusanku,” ucap Adara terus mengayunkan langkahnya. 

Adara melewati beberapa orang yang terlihat menatap ke arahnya sambil berbisik-bisik. Tuh ‘kan! Orang pasti mengira mereka sepasang kekasih yang bertengkar.

Sayangnya, Kelana pantang menyerah. Setelah enam bulan bergentayangan mencari orang yang dapat melihatnya, kini, di depan matanya ada sosok Adara yang dapat melihatnya dan Kelana harus melewatkan begitu saja? Tidak bisa! Enak saja! Apalagi yang dapat melihatnya adalah Adara. Pasti Tuhan tidak sedang bercanda dengannya. 

Kelana mengayunkan langkah lebar, menghadang Adara dengan tubuh dan kedua tangannya yang direntangkan lebar. “Sorry, Ra… aku nggak bisa menghargai keputusanmu! Aku mau bicara. Ada yang mau aku sampaikan. Penting. Ini soal hidup dan matiku.”

Gigi Adara gemerutuk. Kelana benar-benar pria tidak tahu diri. “Kamu menghadangku karena mau bicara penting soal hidup dan matimu?” Adara maju selangkah. Satu sudut bibirnya terangkat, tersenyum miring. “Aku nggak peduli lagi, Lan. Apapun tentang kamu, aku nggak peduli. Nggak ada yang perlu kita bicarakan lagi. Sepuluh tahun nggak ketemu dan sekarang kamu bilang mau bicara penting soal hidup dan matimu? Kenapa? Kamu sakit keras? Apa dokter memvonis hidupmu nggak lama lagi makanya waktu liat aku, kamu ngajar aku? Jangan bilang kamu merasa bersalah setelah tau umur kamu nggak lama lagi?” Adara memutar bola matanya. Jelas apa yang ia katakan barusan adalah kalimat asal yang keluar begitu saja dari mulutnya karena terlalu kesal dengan sikap Kelana.

Lagi pula… Adara yakin Kelana hanya ingin menganggunya setelah dua kali pertemuan tidak sengaja mereka. Kelana pasti sedang merencanakan menjadikannya lelucon lagi seperti dulu. 

Tidak! Adara tidak semudah itu masuk dalam jebakan Kelana. 

Dan Kelana…

Mendengar kalimat yang diucapkan Adara barusan membuat hatinya perih. Benar! Mana mungkin Adara peduli soal hidup dan matinya setelah dulu Kelana gagal menjelaskan apa yang sebenarnya terjadi. Mungkin jika dirinya mati pun, Adara tidak akan bersedih lagi. 

Adara menatap tajam Kelana. Pandangan itu tertahan lebih dari sepuluh detik. Tatapan kebencian itu tak dapat Adara tutupi dan setelah merasa Kelana paham dengan ucapannya, Adara mengayunkan langkah melewati Kelana begitu saja.

Kelana tersentak.

Ini pertama kalinya Kelana merasakan embusan angin saat seseorang melewatinya. 

Adara menubruknya. Kelana dapat merasakan bahunya bergerak karena tubrukan pelan itu. Namun… Kelana tidak bisa memaksa Adara.

Aaarrrggghhh! Mana semangat yang tadi menggebu-gebu? Kenapa sekalinya Adara bilang nggak peduli tentang hidup dan mati, langsung nyerah gini, sih? Kelana menggerutu dalam hati. 

“Ra…” 

Memasang wajah kesal, Adara makin kesal melihat kedatangan Himalaya. Yang sekongkol sama Kelana akhirnya datang. Adara mengayunkan langkah lebar menuju Himalaya yang terlihat bersemangat berlari ke arahnya. “Kamu sekongkol sama dia?” tanya Adara kesal.

“Hah?” Himalaya mengernyit. “Sekongkol sama siapa? Ih, ngomong apa, sih? Nggak jelas,” ucap Himalaya dengan bibir berkerut-kerut.

“Nggak usah bohong, ya, Him! Kamu sekongkol sama dia ‘kan!” Adara menoleh, menunjuk ke belakang namun tidak ada siapa-siapa di sana. 

Himalaya tampak bingung. “Apaan, sih, Ra? Datang-datang nuduh.” Himalaya tidak melihat siapa-siapa di sana. 

Kelana bersembunyi di balik pohon besar. Melihat kehadiran Himalaya, sontak membuat Kelana bersembunyi. Kelana tidak mau Adara terlihat aneh karena hanya Adara yang dapat melihatnya. 

Adara mengerutkan kening. Kemana perginya Kelana? “Kamu beneran nggak sekongkol sama dia?” tanya Adara masih menuduh Himalaya.

“Apaan, sih? Dah, ah, nggak usah aneh! Jangan-jangan kamu kesambet hantu pohon gede itu, ya? Jadi bicaranya aneh gitu.” Himalaya meringis. “Hiiii… jangan kebiasaan main di dekat pohon, Ra. Di sini angker. Banyak penunggunya tau. Dah, yuk, dari pada ngomong ngelantur terus, ikut aku ke ICU! Kamu harus liat siapa yang ada di sana!” Himalaya menarik tangan Adara, menyeret sahabatnya itu menuju ruang ICU.

Kening Adara berkerut. Adara kembali menoleh. Kelana sudah pergi. Ah, biar saja! Bagus lagi! Tapi… “Tunggu! Kita mau liat siapa di ICU?” tanya Adara bingung kenapa Himalaya semangat sekali menyeretnya menuju ICU.

“Siapkan hati, ya, Ra! Pokoknya kamu harus liat siapa yang terbaring koma di sana. Kamu harus maafin dia, Ra. Karena dokter bilang kemungkinan hidupnya semakin kecil,” ucap Himalaya membuat Adara makin bingung.

“Iya, siapa?”

“Pokoknya liat aja nanti!”

 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ketempelan Mantan (Bab 6)
6
1
“Salah liat kali, Ra! Nggak mungkin kamu ketemu dia di taman. Kelana itu udah enam bulan koma, Ra.” -Himalaya-
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan