Ikhtiar Cinta Raline 1-6

3
0
Deskripsi

Sadar pernah salah dalam pernikahan, Raline mencoba menata kehidupan baru.

Namun, ternyata tak mudah meneruskan kehidupan di bawah bayang-bayang masa lalu. 

Mampukah Raline meraih cinta dan bahagia di antara dua pria yang mengisi hati dan hidupnya?

Bab 1

 

“Apa selama ini kamu nggak bahagia?” 

Pertanyaan yang dilontarkan Jakti menyentak Raline. Meski sudah memprediksi suaminya akan mempertanyakan hal itu, tetap saja Raline sulit menjawab dengan lugas. 

Bahagia.

Satu kata itu terus diperjuangkan Raline sejak menyadari ayahnya tidak bisa mencipta bahagia dalam keluarga. 

Judi dan utang menjadi penghalang besar yang membuat Raline tidak bisa berharap menyentuh bangku kuliah. Beruntung paras cantik membuatnya tak sulit mencari pekerjaan. 

Raline berjuang kuliah dari gaji sebagai pelayan di kelab malam. Namun, bukan gaji itu yang mengantarkannya menjadi sarjana. 

Jakti Prayoga yang membiayai kuliah juga kehidupan Raline. Mengangkat derajat keluarga, melunaskan utang ayahnya yang selalu muncul seperti jamur di tempat lembab. 

“Lin ….”

Jakti memaksa Raline fokus menatapnya karena sejak bertemu, istri mudanya itu hanya menunduk menatap meja. Padahal, sudah satu minggu Jakti tidak pulang. 

Perlahan Raline mengangkat kepala, memperlihatkan wajah sendunya. 

Meski ada jejak kesedihan, wajah Raline tetap memesona Jakti. Wajah yang membuat Jakti tergila-gila mengejar cinta Raline. Wajah yang membuat Jakti menunda dua pertemuan bisnis karena rindu bercinta dengan Raline.  

Cinta.

Jakti yakin masih mencintai Raline dan dia pikir Raline pun tetap akan mencintainya. 

“Raline, aku masih banyak pekerjaan. Nanti sore aku jemput, kita makan malam di luar,” kata Jakti sambil berdiri. 

Melihat raut tak biasa Raline, Jakti memutuskan menunda mengambil jatah suami yang sebelumnya dia inginkan. Jakti pikir perlu menyenangkan Raline dahulu dengan makan malam istimewa sebelum menagih pelayanan maksimal seperti biasa yang diberikan Raline untuknya. 

“Tadi Mbak Hanum nelpon,” kata Raline mencegah kepergian Jakti. 

Kepala Jakti langsung menoleh ke arah Raline yang masih duduk. Raline tidak menatap Jakti, tapi lurus menatap dinding di hadapannya. Memperhatikan foto pernikahan mereka dalam bingkai emas.

Jakti menghela napas lalu mendekat kemudian memeluk kepala Raline. Seperti seorang ayah menenangkan anak kecilnya, Jakti mengusap kepala Raline dengan lembut. 

Namun, Raline bukan anak kecil lagi. Dia mulai kesal oleh rasa nyaman yang diberikan Jakti saat memeluknya. 

Alih-alih merasa tenteram, Raline merasa sesak sekaligus hampa. 

Sesak di dada. Hampa dalam hati. 

“Aku akan menegur Hanum untuk nggak marah-marah terus ….”

“Dia nggak marah,” sela Raline tanpa melepaskan diri dari dekapan Jakti. 

“Jadi?” tanya Jakti mulai waspada. 

Dekapan Jakti melonggar, perlahan Raline menjauh lalu menatap Jakti yang masih memandanginya dengan sabar. 

“Dia menanyakan rumah di Buma, dia kira Mas membelikan rumah itu untuk aku.”

Kata-kata yang meluncur dari bibir Raline membuat Jakti terdiam. Selama beberapa detik pria itu mengawasi wajah sendu Raline. 

Jakti mulai bisa menebak penyebab kesedihan yang terlihat di wajah Raline. Penyebab wanita itu mendadak mempertanyakan kebahagiaan Jakti. 

“Mas, apa selama ini kamu bahagia?”

Beberapa menit lalu Raline melontarkan pertanyaan itu ketika menemani Jakti meneguk kopi. Pertanyaan yang dikembalikan oleh Jakti dan belum dijawab Raline. 

“Apa kata Hanum?” tanya Jakti mencoba mencari penjelasan. 

Raline terdiam sejenak, menghela napas pendek kemudian memalingkan wajah ke arah foto pernikahan mereka. 

“Lin?” tanya Jakti mulai tak sabaran. 

Jakti tak menyangka istri pertamanya tahu dia  membeli rumah di kota Buma. Lebih tak menyangka lagi kalau sang istri tua langsung menghubungi Raline. 

Dugaan Jakti, Hanum mengamuk dan melabrak Raline lagi. 

Meski sudah lima tahun dimadu dengan Raline, Hanum masih sering mendatangi atau menelpon Raline hanya untuk mencercanya. 

Jakti sudah sering memperingatkan Hanum untuk tidak mengusik Raline. Jakti juga menjauhkan rumah keduanya agar tidak berpotensi saling bertemu karena sama-sama tinggal di kota Matra. 

Namun, tetap saja Hanum memiliki banyak cara mencaci Raline sebagai istri kedua yang telah merebut suaminya. 

“Katanya kalau bukan untukku, berarti Mas Jakti membeli rumah itu untuk perempuan lain lagi,” ucap Raline sembari menoleh menatap Jakti yang terdiam dengan ekspresi kaget. 

Namun, Raline menduga Hanum tidak berdusta. 

“Ada perempuan lain lagi?” tanya Raline dengan suara bergetar. 

Jakti masih terdiam, bola matanya lurus menatap wajah Raline yang nyaris sempurna. Kulit putih, tinggi semampai, rambut hitam halus dengan ujung bergelombang, hidung mancung makin melengkapi kecantikan wajah Raline.  

Bagi Jakti, tak ada cela dalam wajah dan tubuh Raline. Sebagai wanita, Raline cantik paripurna. 

Harusnya, tak ada alasan bagi Jakti untuk mencari wanita lain lagi seperti alasan yang dia lontarkan ketika memaksa Raline menjadi istri keduanya. 

Selain cantik dan masih muda, Raline yang dua belas tahun lebih muda darinya itu telah memberikan seorang putra yang Jakti inginkan. 

“Aku nggak akan tanya kenapa,” kata Raline mencoba tenang. 

“Nggak usah menjelaskan,” lanjut Raline mulai gugup. 

“Lin ….”

“Iya atau nggak?” tanya Raline menyela Jakti yang menyentuh bahunya. 

Perlahan Jakti berlutut di depan Raline yang masih duduk. Tangan Jakti menggenggam kedua tangan Raline lalu menciumnya. 

“Apa pun yang terjadi, cintaku ke kamu nggak berkurang. Aku nggak akan mengurangi apa pun yang selama ini kuberikan untuk kamu, untuk Bian. Aku ….”

“Jadi, benar apa yang disampaikan Mbak Hanum?” sela Raline dengan suara bergetar. 

Jakti terdiam, agak sulit memberi jawaban. Namun, Raline menyimpulkan sendiri. 

“Sudah berapa lama? Kamu akan menikahinya juga, Mas? Kapan?” tanya Raline seakan melemparkan anak panah pada dirinya sendiri. 

Sakit. Itulah yang dirasakan Raline meski Jakti belum bersuara. 

“Kalau kamu berniat menikahinya, ...” 

Raline belum selesai bicara karena saat tangannya berusaha melepaskan genggaman Jakti, suaminya menahan dengan kuat. Tak peduli Raline memberontak ingin pergi, Jakti mendekat lalu memeluk Raline. 

“Namanya Misha, kami sudah menikah,” bisik Jakti. 

Seketika Raline merasakan lemas, seolah Jakti baru saja menghujam jantungnya dengan belati beracun. 

 

 

Bab 2

 

Karma.

Kata itu terus mengusik Raline, menemaninya melewati hari dalam kesunyian. Sejak memberi kabar telah menikah lagi, Jakti meninggalkan rumah. 

“Lin, aku pergi dulu. Kalau sudah nggak kaget, kita bicara lagi. Aku janji, nggak akan mengurangi apa pun. Sama seperti selama ini, nggak akan ada yang berubah.”

Setelahnya Jakti pergi selama dua hari. Pria itu tak menghubungi Raline, tapi menjemput Bian di rumah orang tua Raline. 

“Bu, ini obatnya.” 

Suara asisten rumah tangga menyentak Raline yang sedang melamun. 

“Perlu saya antar ke dokter, Bu?” tanya Ani sopan, tapi Raline menggeleng hingga Ani menyingkir. 

Raline tahu, dokter tak akan menemukan penyakit yang bercokol dalam tubuhnya saat ini.

Raline merasakan sakit dalam relung hatinya. Seakan ada yang patah dari bagian tubuhnya, seakan ada yang hilang dan tak utuh lagi. Padahal, Raline telah memprediksi suatu saat Jakti akan menikah lagi. 

“Namanya tukang kawin pasti nanti kawin lagi!” 

Raline teringat ucapan salah seorang tetangga yang menyindir ketika Raline menikah dengan Jakti. 

Status istri siri yang disandang Raline membuatnya kerap dipandang sebelah mata. Hanya karena Jakti sangat dermawan sering memberi sumbangan berlebihan di permukiman Raline, omongan miring tentang Raline perlahan hilang. 

“Mama! Bian Pulang!” 

Suara bocah lelaki berusia empat tahun yang masuk rumah membuat Raline terburu menyeka air mata yang sempat menetes. Sebelum Bian membuka pintu kamar, senyum Raline sudah mengembang. 

“Halo, Sayang!” sapa Raline riang sambil merentangkan kedua tangan untuk memeluk dan menggendong Bian yang tertawa bahagia. 

“Ma, Bian makan cokelat! Papa juga belikan untuk Mama! Papa juga beli iga bakar kesukaan Mama!” seru Bian setelah mencium pipi Raline. 

Raline berusaha tertawa menanggapi celotehan Bian yang mengajaknya keluar kamar. Demi Bian yang tak setiap hari bertemu ayahnya, Raline mengesampingkan masalah istri ketiga Jakti. 

Seolah tak terjadi apa-apa, Raline menemui Jakti yang menunggu di ruang makan. 

“Lin, ayo makan bareng!” kata Jakti sambil tersenyum. 

Tak menjawab Jakti, Raline mendudukkan Bian di samping ayahnya kemudian menyiapkan makanan yang dibawa Jakti. 

Iga bakar Dewa, salah satu makanan favorit Raline yang membuatnya makin sedih karena Jakti yang membelinya. Apalagi saat melihat kantong cokelat Heart yang juga kesukaannya. 

“Makan yang banyak, Sayang!” kata Jakti ambigu. 

Raline merasa Jakti bicara padanya meski pria itu menoleh pada Bian yang makan sup ayam. Namun, Raline diam saja karena pikirannya sedang penuh dan hatinya terasa sakit. 

Bagaimana bisa makan dengan lahap saat mengetahui suami telah menikah lagi?

Inikah yang dirasakan Hanum ketika dahulu mendengar kabar Jakti  menikahi Raline? 

Tidak, Raline tahu Hanum jauh lebih sakit darinya. Raline sadar, posisinya dengan Hanum tak bisa dibandingkan. 

Hanum menemani Jakti saat mengalami kesulitan sampai bangkit kembali menjadi seorang pejabat perusahaan bahkan memiliki perusahaan sendiri. 

Raline sadar sesadar-sadarnya bahwa dirinya pengganggu hingga tak pernah membalas semua caci maki yang dilontarkan Hanum padanya di belakang Jakti. 

Kini, Raline pun merasa tak pantas menyamakan luka seperti yang diderita Hanum. 

Raline tidak membersamai penderitaan Jakti ketika meniti karir. Dia masuk dalam kehidupan Jakti saat pria itu telah menjadi pria mapan banyak harta. 

Lewat keluarga Raline yang miskin dan selalu menyusahkan, Jakti mengantongi restu menikahi Raline yang akhirnya pasrah karena Jakti telah mendapatkan syarat berat yang diberikan Raline untuk menikahinya. 

Izin poligami dari Hanum sebagai istri pertama. 

“Ma, Bian tidur dulu ya!” 

Suara Bian membuyarkan lamunan Raline. 

“Ya, bye!” sahut Raline ketika Bian melenggang pergi bersama Ani.

Ditinggalkan berdua Jakti, Raline buru-buru membereskan meja makan kemudian ke kamarnya di lantai dua. 

Tanpa suara Jakti mengikuti Raline. 

“Sayang, bisa main sekarang, kan?” tanya Jakti sambil tersenyum. 

Pasangan suami istri itu tidak bicara apa-apa lagi karena Raline langsung ke kamar mandi, menyiapkan diri melayani Jakti. Mengikuti Raline, Jakti pun membersihkan diri sebelum menyentuh istrinya yang telah wangi. 

Saat memandangi wajahnya di cermin kamar mandi, Jakti tak bisa tersenyum. Pria berusia 40 tahun itu masih terlihat tampan bahkan semakin matang oleh kemapanan, tapi kali ini ada keresahan dalam wajah Jakti. 

Beberapa kali Jakti memejamkan mata lalu mencuci wajah sebelum menemui Raline yang menunggu di tepi ranjang. 

Profesional.

Kata itu yang terlintas dalam benak Jakti untuk menyebut Raline yang tetap melayaninya seperti biasa. Tak ada penolakan, tak ada keluhan. Raline tetap menjalankan kewajibannya dengan sempurna memuaskan Jakti yang merindukannya meski ada sakit yang mendera. 

Selama bermenit-menit Jakti terus memuji Raline untuk menyemangatinya. 

“Ahhhh!”

Raline menjerit sembari mencari-cari pegangan karena Jakti mulai meningkatkan serangan. Dipejamkannya mata, tapi sontak terbuka lagi ketika jemari Jakti menggengam tangannya dengan kuat. 

“Sayang … Raline ….”

Jakti meracau semakin mengacaukan Raline yang bertahan tidak menangis. Apalagi ketika mendengar pujian Jakti yang justru terasa menyakiti hatinya. 

“Makasih, Lin, kamu yang terbaik,” bisik Jakti sebelum merebahkan diri memeluk Raline yang meringkuk kesakitan. 

Bukan di tubuh, tapi jauh dalam hatinya. 

“Terima aja, Lin! Itu kekurangan kecil suamimu, tapi kelebihannya kan banyak. Jakti itu baik loh, nggak pernah nyakitin kamu, sopan dan hormat sama keluarga dan orang tuamu. Nggak banyak omong. Yang penting kan dia tetap cinta kamu, nggak menelantarkan kalian. Mau punya istri lima juga nggak masalah selama masih bisa menafkahi, kan?”

Ucapan Tante Mar, adik ayahnya, membuat Raline membuka mata menatap Jakti yang tersenyum.

“Udah legaan, kan?” tanya Jakti sambil mengusap rambut Raline yang berantakan. 

“Aku beli satu rumah lagi di Permai Citra. Buat tabungan masa depan Bian,” kata Jakti. 

Kompensasi, pikir Raline. 

Dulu waktu menikahi Raline, Jakti juga membelikan rumah baru untuk Hanum.

“Hanum sudah terima, Lin. Aku harap kamu juga bisa legawa ya?” kata Jakti sembari mengusap rambut Raline. 

Tak ada jawaban dari Raline, perlahan dia memejamkan mata. Tak mau mengganggu, Jakti memutuskan ikut tidur. Namun, tengah malam Jakti terbangun dan terkejut melihat Raline sedang bersujud. 

Dalam posisi berbaring Jakti terdiam memandangi Raline yang membelakanginya. Pria itu merenungi perubahan Raline yang menjadi giat beribadah dalam beberapa bulan terakhir. Sudah beberapa kali Jakti memergoki Raline salat di tengah malam, tapi Jakti hanya memperhatikan secara diam-diam. 

Kali ini pun Jakti tak bersuara saat samar mendengar isak Raline. Pria itu hanya diam meski menyadari kemungkinan besar istrinya sedang menangis. Perlahan, Jakti malah membelakangi Raline lalu memejamkan mata. 

Sementara itu, dalam sujudnya, Raline berusaha berdamai dengan sakit yang masih mendera hatinya. 

“Inikah jawaban yang Engkau berikan? Jawaban dari keresahanku selama ini?” tanya Raline dalam hati sambil meneteskan air mata. 

Sudah berbulan-bulan dalam sujud Raline mengadukan keresahan menjadi istri kedua. Raline lelah terus dihujat Hanum. Berulang kali Raline mencoba bicara dengan Jakti untuk mengajukan perceraian, tapi Raline tak punya keberanian. 

Ada rasa takut dalam diri Raline menjalani hidup tanpa Jakti, terlebih saat memikirkan Bian. Selain itu, Raline merasa tak punya alasan berpisah. Jakti terlalu baik padanya. Raline juga tak mau menjadikan cercaan Hanum sebagai alasan karena takut Jakti balas memarahi Hanum yang pasti akan membesarkan murka Hanum padanya. 

“Jangan pikirkan Hanum. Nggak ada habisnya bahas Hanum karena kita berdua tahu gimana karakternya.” 

Jakti selalu membesarkan hati Raline untuk tidak memikirkan Hanum. Namun, Raline ingin hidup tenang tanpa murka Hanum yang setiap saat mengutuknya. Raline takut Bian yang akan menanggung murka Hanum. 

“Aku tahu ini jalannya, tapi aku nggak tahu rasanya sesakit ini,” gumam Raline dalam hati. 

Raline tak menyangka doa yang dia lantunkan untuk menemukan solusi dari keresahannya selama ini dijawab dengan hadirnya Misha sebagai istri ketiga Jakti. 

Meski kehadiran Misha bisa menjadi alasan tepat mengajukan cerai, Raline tetap syok karena tak mengira akan merasa sakit hati mengetahui suamiya menikah lagi. 

Padahal, dulu Raline yakin tak akan sakit hati sekalipun dimadu karena dia merasa tak benar-benar mencintai Jakti sepenuhnya. 

Namun, rasa sakit yang kini hadir seolah menegaskan hal berbeda. 

“Apakah ini sakit karena cinta atau hanya karena terluka saja?”

 

 

 

 

Bab 3

 

Jakti merenung. Satu tangannya memainkan pulpen, yang lainnya mengutak-atik ponsel. Otaknya agak kacau memikirkan pernikahannya. 

Sebelum menikahi Hanum, Jakti pernah menikah. Namun, pernikahan tanpa anak itu kandas. Dalam keadaan terpuruk, Jakti menikahi Hanum, teman kuliah yang sudah memiliki seorang anak perempuan. 

Tujuh tahun bersama Hanum, Jakti bertemu Raline yang masih kuliah. Saat itu usia Raline 20 tahun, bekerja di kelab malam dalam keadaan diselimuti utang dan berbagai masalah hidup.

 Tiga tahun Jakti mengejar-ngejar Raline yang tak mau menerima lamarannya meski Jakti sering membantu kesulitannya. Tak sedikit uang yang dikeluarkan Jakti untuk merayu keluarga Raline merestui dirinya. 

Penebusan rumah yang ditempati orang tua Raline serta biaya rumah sakit Ima membuka jalan bagi Jakti meminang gadis impiannya. Raline luluh, pasrah menerima ketika Jakti benar-benar menyerahkan surat izin poligami dari Hanum. 

Nada dering ponsel mengejutkan Jakti, apalagi saat melihat nama Misha sedang memanggil. Sekejap Jakti melirik Raline yang sedang sibuk di dapur. 

Jakti tak tahu apa yang dilakukan Raline di tengah malam. Jakti menduga Raline hanya menyibukkan diri demi tidak berbaring di sampingnya. Meski tahu Jakti ikut keluar kamar, Raline tidak menegur suaminya.  

“Halo,” sapa Jakti.

“Mas, belum tidur?” balas Misha setengah tertawa. 

“Belum. Kenapa?” tanya Jakti sambil terus memperhatikan Raline yang tetap beraktivitas tanpa menghiraukan Jakti yang duduk tak jauh darinya. 

“Ngetes aja, lagi kangen,” jawab Misha membuat Jakti terenyuh. 

“Aku lagi di rumah Raline,” kata Jakti agak mengeraskan suara. 

“Oh ya? Kok nggak tidur? Lagi lembur? Jangan kebanyakan lembur, takutnya sakit lagi,” ucap Misha. 

Lagi, Jakti tersentuh. 

Bagi Jakti, Misha begitu pandai memberi perhatian. Tidak seperti Hanum yang selalu menyelidik atau mengomel. Tidak seperti Raline yang lebih banyak diam. 

Saat jauh dari suaminya, Hanum sering menelpon untuk mengungkit ketidakadilan. Namun, Raline nyaris tak pernah menelpon bila tidak dalam keadaan darurat atau karena Bian ingin bicara. 

Sebaliknya, Misha sering menelpon hanya untuk menanyakan kabar atau melepas rindu. 

“Mas? Kok diam?” tanya Misha. 

“Raline udah tahu tentang kamu,” jawab Jakti. 

Ada jeda sedikit sebelum terdengar helaan napas Misha. 

“Terus? Marah?” tebak Misha. 

“Mungkin masih belum bisa menerima,” jawab Jakti. 

“Mas, boleh aku bicara sama Raline?” tanya Misha. 

Jakti sempat terdiam sebelum mendekati Raline yang kebetulan berbalik. Keduanya hampir bertabrakan. 

“Misha ingin bicara,” kata Jakti sambil menyerahkan ponsel pada Raline yang jelas terkejut. 

Sekejap Raline menoleh ke layar yang telah menampilkan wajah seorang wanita karena Jakti mengubah panggilan menjadi video. 

“Raline, ini aku Misha,” kata Misha mencari perhatian. 

Tak ada jawaban dari Raline meski Jakti memaksanya menatap wajah Misha. 

“Maaf kami nikah nggak izin kamu, kata Mas Jakti kamu pasti setuju karena dulu kamu juga setuju jadi istri kedua. Nggak ada masalah dengan kehadiranku, kan? Aku nggak akan mengganggu kalian, aku siap berbagi suami,” kata Misha. 

“Kita bisa menjadi sahabat yang saling mengerti. Aku bisa belajar dari kamu tentang Mas Jakti,” lanjut Misha. 

Karena Raline hanya diam tak menanggapi, Jakti mengambil alih. 

“Misha, tidur deh. Udah malam. Bye!” kata Jakti sebelum mematikan sambungan telepon bahkan sebelum Misha membalas sapaan. 

“Usianya sama kayak kamu. Dia bantu kerjaanku di Buma,” ucap Jakti sambil menatap Raline yang masih diam. 

“Lin, dia mengerti statusnya,” lanjut Jakti. 

Raline masih tak menanggapi, tapi diembuskannya napas panjang untuk mencari kelegaan dari rasa sesak yang datang. 

Kata-kata yang diucapkan Jakti tentang Misha yang mengerti statusnya sebagai istri ketiga seolah sekaligus menegaskan status Raline sebagai istri kedua yang seharusnya memaklumi perilaku Jakti mengoleksi istri. 

Siap menjadi yang kedua artinya juga siap menerima yang ketiga dan seterusnya. 

Ucapan itu dulu didengar Raline dari seorang artis yang bertengkar dengan pelakor suaminya. Saat itu Raline merinding, tapi telah mempersiapkan diri bila suatu saat dimadu Jakti. 

Raline yakin dia akan sanggup menghadapi istri ketiga Jakti, tapi nyatanya dia tak siap. 

Raline kira dia akan biasa saja saat Jakti menikah lagi. Raline tak mengira ternyata ada rasa sakit yang menyusup di relung hati. 

Sakit sangat hebat yang mengingatkan pada perasaan Hanum dulu ketika melabraknya di malam pengantin. 

“Mas, aku minta maaf,” kata Raline akhirnya bersuara. 

Jakti yang akan pergi spontan menoleh menatap Raline yang memandanginya. 

“Kita berpisah aja,” ucap Raline mengerutkan dahi Jakti. 

“Selama ini kamu bisa menerima Hanum, nggak ada bedanya dengan Misha, Lin,” balas Jakti berusaha tetap tenang. 

“Selama ini aku terpaksa,” kata Raline memberanikan diri. 

“Terpaksa?” tanya Jakti dengan nada agak tinggi. 

“Hanum bisa menerima Misha,” lanjut Jakti. 

“Apa yang berbeda dari Hanum dan Misha?” tanya Jakti. 

“Bukan hanya tentang Misha. Aku nggak sehebat Mbak Hanum,” balas Raline membuat Jakti sempat menahan napas sesaat. 

“Kamu liburan aja dulu. Pergilah ke luar negeri,” kata Jakti sambil mengawasi Raline yang terdiam. 

“Atau mau ganti mobil?” tanya Jakti. 

“Nggak usah dijual yang lama, beli lagi aja yang baru,” lanjut Jakti. 

Karena Raline masih diam, Jakti berbalik pergi. Namun, mendadak Raline bersuara. 

“Aku minta maaf,” ulang Raline membuat Jakti menatapnya lagi. 

“Aku nggak tahu diri. Keluargaku selalu menyulitkan, selama ini aku menghabiskan banyak harta, tapi aku gagal membuat Mas Jakti bahagia atau merasakan kenyamanan,” kata Raline membuat dahi Jakti mengerut. 

“Aku bahagia kok sama kamu,” balas Jakti santai. 

“Nggak usah dibawa perasaan, Lin. Misha itu bukan lebih sempurna dari kamu, bukan. Hanya saja aku butuh dia juga, sama seperti aku butuh kamu. Plis, sudah malam. Ayo istirahat,” lanjut Jakti sembari merangkul Raline untuk diajak ke kamar, tapi Raline menghindar. 

“Maaf, Mas, tapi aku juga nggak bahagia,” ucap Raline mengejutkan Jakti. 

“Lin ….”

“Tolong, lepasin aku. Ceraikan aku,” pinta Raline dengan mata berair. 

“Apa yang bikin kamu nggak bahagia?” selidik Jakti mencoba tenang. 

“Kesalahan,” jawab Raline membuat kening Jakti mengerut lagi. 

“Sejak awal pernikahan kita salah. Aku menyakiti Mbak Hanum, aku perusak rumah tangga, aku ….”

“Lin, kita udah sepakat nggak membahas hal itu lagi. Kamu bukan pelakor,” sela Jakti tegas. 

Sudah lama Raline tak membahas sebutan pelakor yang sempat melekat pada dirinya. Menuruti Jakti yang memintanya mengabaikan ucapan miring tersebut, Raline selalu diam tak mengadukan resah hatinya yang kerap dihantui ketakutan dipanggil pelakor di tempat umum. 

Namun, kini Raline tahu keresahan itu tak bisa selamanya dipendam. Rasa bersalahnya pada Hanum semakin membesar setelah kehadiran Misha. 

Raline tahu karma telah datang. Rasa sakit yang menderanya saat ini seolah menjadi alarm yang mengingatkan kesalahannya di masa lalu menerima Jakti.  

Raline tak mau mendapat teguran lebih dahsyat dari rasa sakit dimadu. 

“Mas, aku mohon ceraikan aku,” pinta Raline sambil meneteskan air mata. 

“Cerai?” tanya Jakti dengan suara agak bergetar. 

Perlahan Raline menganggukkan kepala. 

“Aku nggak sanggup meneruskan pernikahan ini,” ucap Raline terbata. 

“Lin …” 

Jakti terdiam, bingung merangkai kata. Sambil berpikir, Jakti memperhatikan Raline yang menunduk lagi. 

“Aku kembalikan apa pun yang bisa kukembalikan. Rumah, mobil, sebagainya. Kalau Mas mau ambil, aku nggak apa-apa. Ambil aja semuanya, tapi ceraikan aku,” pinta Raline lagi bagai orang kalut. 

“Kenapa?” tanya Jakti sambil memaksa mengangkat dagu Raline hingga mata mereka saling menatap. 

“Kita nggak saling cinta, untuk apa meneruskan pernikahan? Bahagia kita nggak sama, kita ….”

“Jadi, menurutmu selama ini kita nggak saling cinta? Nggak pernah bahagia?” tanya Jakti menyela. 

Raline diam saja, tapi tangannya saling meremas satu sama lain memikirkan sekelumit tanya dalam benaknya.  Bila Jakti telah menemukan bahagia bersamanya, mengapa menikah lagi?

“Mas, kita berhak bahagia dengan cara masing-masing, kan? Tolong, ceraikan aku,” jawab Raline ambigu. 

Jakti terdiam, matanya terpejam. Bayangan hubungan mereka selama delapan tahun mulai mengudara dalam benak Jakti. 

Masa ketika awal bertemu, masa tiga tahun mengejar-ngejar Raline. Masa lima tahun pernikahan mereka. 

Ada banyak kenangan menghadirkan wajah Raline dan Bian dalam otak Jakti yang mendadak sakit. Diiringi ucapan Raline yang kembali mengulang pemintaan cerai, Jakti mengenang hari di mana Raline melahirkan anak pertamanya, Bian Prayoga.

“Mas ….”

“Oke!” kata Jakti menyela Raline yang terkejut. 

Sambil menatap wajah Raline, Jakti menahan napas sesaat kemudian mengembuskannya perlahan. 

“Aku ceraikan kamu Raline. Kamu bukan istriku lagi,” kata Jakti sebelum meninggalkan Raline yang terpaku. 

 

 

 

Bab 4

 

Dengan kaki agak gemetar Raline memasuki restoran. Tak banyak pengunjung yang harus dia lewati karena Raline sengaja memilih restoran yang sepi di jam kerja. 

“Sebelah sini, Bu!” 

Seorang pelayan mengantar Raline menemukan meja yang sebelumnya sudah dia pesan melalui telepon. 

“Ini,” kata pelayan sambil menunjuk meja dengan nomor 8. 

“Terima kasih,” balas Raline membuat penghuni meja menengadah. 

“Pagi, Mbak,” sapa Raline mencoba ramah meski tenggorokannya terasa bergetar.

Lima tahun menjadi madu, baru kali ini Raline berani mengajak Hanum bertemu di restoran. Biasanya saat menjawab telepon pun Raline ketakutan, tapi Raline juga tak pernah berani menghindari panggilan telepon Hanum meski tahu hanya untuk dicaci maki. 

“Ngapain nyariin aku?” tanya Hanum ketus setelah pelayan pergi. 

“Aku mau minta maaf,” jawab Raline gugup. 

Dahi Hanum mengerut, menunggu Raline yang kembali bicara dengan gugup. 

“Aku tahu ini terlambat, tapi aku tetap ingin minta maaf karena telah menikahi Mas Jakti dan menjadi madu Mbak Hanum,” kata Raline. 

Seulas senyum tipis terbit di bibir Hanum, senyum meremehkan. 

“Kenapa?” tanya Hanum. 

“Aku baru tahu sakitnya setelah Mas Jakti menikahi Misha,” jawab Raline jujur. 

Seketika Hanum tertawa. Tawa yang benar-benar mengejek. 

“Baru tahu sakitnya? Waktu dengan lantang menerima lamaran Jakti, kamu mati rasa?” tanya Hanum. 

Raline diam saja dengan kepala menunduk karena merasa Hanum benar. Dia mati rasa, buta hati. Dipaksakannya meyakini Hanum ikhlas menerimanya sebagai madu meski tak yakin Hanum benar-benar ridho saat memberikan izin poligami. 

“Aku benar-benar minta maaf. Aku tahu perbuatanku salah. Seharusnya aku tetap kukuh menolak Mas Jakti meski dia datang membawa surat izin dari Mbak,” ucap Raline. 

“Kenapa tiba-tiba minta maaf? Nggak pernah hidup tenang?” ejek Hanum lagi. 

“Semua hasil curian memang meresahkan!” sahut Hanum menohok Raline. 

“Ya, aku nggak tenang dan sekarang aku ingin ketenangan,” kata Raline sambil menengadah. 

Sebelum Hanum bicara, Raline mendahului. 

“Aku ingin memulai hidup baru tanpa dendam. Aku dan Mas Jakti sudah bercerai, kami nggak ada hubungan apa-apa lagi,” ucap Raline mengejutkan Hanum. 

“Cerai?” tanya Hanum memastikan. 

Perlahan Raline menggangguk. 

“Seminggu lalu,” jawab Raline dengan tangan saling meremas. 

Hanum terdiam sejenak kemudian tertawa lalu tiba-tiba mengangkat gelas berisi jus alpukat yang dia siramkan ke wajah Raline. 

“Kamu kira aku terkesan? Lagian, cerai pun karena kamu sudah kaya, kan? Sudah dapat berapa milyar dari Jakti?!” semprot Hanum sambil berdiri kemudian meninggalkan Raline yang terdiam dengan kepala menunduk. 

Raline yakin dirinya menjadi tontonan dua orang di dekat meja mereka serta para pelayan. 

Namun, Raline diam saja. Tak ada niat Raline mengejar Hanum untuk membalas kekasarannya. Setelah menghela napas pendek, Raline meletakkan uang di meja kemudian meninggalkan restoran.

Setelah membersihkan wajah dan mengganti pakaian, Raline pergi ke Kampung Dalam, permukiman tempat orang tuanya tinggal. 

Mobil diparkir di lapangan samping gang, setelahnya Raline berjalan kaki sejauh seratus meter untuk menemukan Bian yang berlari menyambutnya. 

“Mama!” teriak Bian sambil memeluk Raline. 

Sambil tersenyum Raline menggandeng Bian masuk ke rumah yang diselimuti ketegangan.

 Bandi, ayah Raline tampak murka. Begitu juga Mar, adik ayahnya.  Hanya Ima, ibu Raline, yang menyambutnya dengan senyuman. 

“Lin, istirahat, Nak,” sambut Ima yang tahu Raline sedang tidak baik-baik saja. 

Ima mengambil alih Bian untuk diajak ke kamar diikuti Raline. Namun, Bandi menghardiknya. 

“Nggak tahu diri kamu, Lin! Bisa-bisanya minta cerai! Apa salah Jakti? Bodoh!” maki Bandi. 

Raline diam saja, enggan berdebat. Namun, Mar menimpali. 

“Iya loh. Bagus dapat suami kaya kok malah minta cerai! Bodoh beneran bodoh kamu, Lin!” sambung Mar. 

Bandi dan Mar baru tahu Raline bercerai setelah Bandi menelpon Jakti untuk memijam uang. Dengan tegas Jakti mengatakan kalau dirinya bukan lagi suami Raline. 

“Maaf, Pak, saya dan Raline sudah bercerai. Saya kembalikan putri Bapak,” ucap Jakti setelah mentransfer uang yang ingin dipinjam Bandi. 

“Jangan menelpon Mas Jakti lagi,” kata Raline sambil terus melangkah pergi, tapi Bandi malah melemparnya dengan gelas yang masih berisi kopi panas. 

“Anak durhaka! Nggak tahu diri! Kalau mau bercerai itu kompromi dulu?!” bentak Bandi mengejutkan Ima yang ada di kamar. 

“Apa itu, Nek?” tanya Bian kaget sembari berusaha membuka pintu kamar, tapi Ima melarangnya. 

Sambil tersenyum Ima mengalihkan perhatian Bian dengan mengajaknya bermain menjauhi pintu. Sementara itu, di luar kamar Raline terdiam memandangi gelas dan kopi yang berceceran di dekatnya. 

Kaki Raline bahkan masih merasakan panas dari kopi ketika Bandi mendekat lalu mengomelinya lagi. 

“Rujuk lagi sama Jakti! Bikin malu aja kamu! Nggak tahu diri! Sudah sering dibantu Jakti malah minta cerai!” maki Bandi sembari mendorong kuat belakang kepala Raline. 

“Aku sudah cukup malu menjadi istri kedua, menjadi pelakor, semakin malu karena ternyata suamiku nggak punya rasa puas. Aku capek, Pak!” kata Raline membuat Bandi makin murka. 

Dipukulnya pipi Raline dengan kuat sambil mengomel. 

“Bodoh! Benar-benar bodoh! Ngapain kamu dengarkan omongan orang? Kamu tinggal menikmati hidup nyaman bersama Jakti, masa bodohlah dengan orang lain! Jakti menikah lagi juga nggak menyulitkanmu!” kata Bandi membuat tangan Raline terkepal. 

“Ini hidupku, Bapak nggak perlu ikut campur!” balas Raline membuat Bandi melayangkan tamparan. 

Mar menjerit lalu menarik Bandi menjauhi Raline yang akan dipukul lagi. Setelah membanting piring, Bandi menyumpahi Raline. 

“Durhaka kamu, Lin! Nggak usah datang lagi ke sini sebelum rujuk sama Jakti!” kata Bandi sebelum melemparkan satu gelas lagi pada Raline. 

“Ya, aku nggak akan datang lagi,” kata Raline sebelum membuka pintu kamar. 

Bandi jelas mengamuk, tapi Mar mendorongnya keluar rumah. Setelahnya Mar mengomeli Raline yang sedang menggendong Bian. 

“Kamu juga sih, Lin, kenapa cari perkara? Wajar Bapakmu marah! Kamu aneh! Kamu nggak mikirin anakmu?!” omel Mar. 

“Nggak usah ikut campur, Mar!” hardik Ima. 

“Kamu ini sama bodohnya, Mbak!” balas Mar membangkitkan kemarahan Raline. 

“Jangan membodohkan Ibu, Tan!” sahut Raline membuat Mar terdiam. 

“Ayo, Bu, pergi dari sini. Ikut aku aja,” kata Raline sambil menggandeng Ima yang kebingungan. 

“Lin, tapi ….”

“Bawa yang penting aja. Ikut aku,” pinta Raline menyela Ima yang keberatan. 

Namun, melihat wajah sendu Raline, bergegas Ima berkemas kemudian mengikuti putrinya meninggalkan Kampung Dalam. 

“Sekarang tinggal di sini, Lin?” tanya Ima bingung karena Raline membawanya ke rumah baru di Permai Citra. 

“Iya, Bu,” jawab Raline sembari membuka pintu lalu mengajak Ima ke kamar dan menyuruhnya istirahat. 

“Lin, sudah yakin dengan keputusanmu ini?” tanya Ima sebelum Raline membawa Bian ke kamarnya.

“Maafkan Ibu ya. Ibu nggak bisa bantu apa-apa. Hanya selalu menyusahkan,” kata Ima sedih. 

“Ibu nggak salah apa-apa,” balas Raline sebelum  menarik napas panjang kemudian meninggalkan Ima tanpa berkata apa pun lagi.

Namun, dalam hati Raline banyak berdialog dengan diri sendiri. Apalagi saat tengah malam, di tengah kesunyian Raline menggelar sajadah kemudian menumpahkan air mata. 

“Ya Allah, masihkah ada kesempatan untukku menata hidup?” tanya Raline dalam hati. 

Raline berusaha menyusut air mata, tapi rombongan air itu terus tumpah bersama dengan banyaknya kenangan tentang Jakti yang menyeruak begitu saja. 

Ada rasa sedih dalam diri Raline. Ada sesal juga kecewa. Semuanya membentuk rasa sakit yang menggumpal menyesakkan dada. 

“Aku yang akan pergi, Lin. Aku nggak akan ambil apa pun yang sudah kuberikan untuk kamu. Hidup dengan baik, jaga Bian. Aku akan tetap menafkahinya, akan tetap menemuinya.”

Kata-kata terakhir yang diucapkan Jakti ketika meninggalkan rumah terasa membekas dalam hati Raline, membuat air matanya makin deras tumpah. 

Raline kira Jakti akan merampas semua harta yang pernah diberikan pada Raline, tapi pria itu yang malah pergi meninggalkan rumah. Tanpa mengungkit semua pemberiannya selama ini, Jakti malah meninggalkan dokumen rumah baru yang kini ditempati Raline. 

Rumah yang akhirnya dipilih Raline untuk ditinggali karena Raline ingin memulai hidup baru tanpa mengingat kenangan sebagai isti  Jakti. 

“Lin, apa selama ini kamu nggak pernah cinta Jakti? Lima tahun kalian menikah.”

Pertanyaan yang dilontarkan Ima ketika mengadukan perceraian kini menyentak Raline. Sambil memejamkan mata, Raline bersujud lagi kemudian menangis mengadukan rasa bersalahnya. 

“Aku menikah dengan Mas Jakti karena tergoda segala hal tentangnya. Kebaikannya, hartanya. Aku bersalah karena nggak memikirkan perasaan Mbak Hanum. Aku ingin memulai segalanya dari awal. Ya Allah, ampuni dosa-dosaku,” isak Raline dalam sujud panjangnya. 

Raline masih menangis berusaha meredakan dilema yang menyayat hatinya. Dalam ketidaktenangan, Raline kembali teringat ucapan Jakti ketika Raline ingin mengembalikan semua harta pemberian Jakti pada Hanum. 

“Nggak usah diberikan ke Hanum. Itu hakmu, kamu nggak mencuri dari dia. Niatkan semuanya untuk bekal Bian di masa depan. Jaga diri, semoga kamu temukan laki-laki yang lebih baik dari aku.”

Raline tak tahu apakah Jakti ikhlas mendoakannya atau justru hanya menyindir Raline sebagai wanita tak tahu diri karena terlalu banyak kebaikan Jakti yang telanjur Raline terima. 

Namun, dalam sujudnya Raline tetap mendoakan kebaikan untuk lelaki yang sudah banyak memberinya kemudahan dalam hidup yang dulu diwarnai aneka kesulitan. 

“Di mana pun dia berada, jagalah dia, sehatkan dia, luaskan rezekinya, bahagiakan dia. Izinkan kami sama-sama bahagia, izinkan Bian tetap bahagia,” doa Raline sebelum merebahkan diri kemudian tertidur di atas sajadah. 

Sebelum matanya terpejam, Raline kembali berdoa agar hatinya dikosongkan dari rasa sesak, agar dimudahkan menjalani hidup sebagai janda. 

 

 

Bab 5

Tak hanya berdoa, Raline benar-benar berusaha menjalani kehidupan baru dengan melupakan Jakti tanpa mengorbankan Bian. 

Raline membiarkan Jakti menelpon Bian, juga tak melarang Bian menelpon Jakti. Namun, Raline tak pernah bicara basa – basi pada Jakti meski Misha yang ada di dekat Jakti menyapanya dengan ramah. 

Raline berusaha ikhlas melepas Jakti, berusaha ikhlas sekalipun harus melanjutkan hidup hanya berdua dengan Bian. Raline masih membatasi aktivitas sosial, masih mengurung diri di rumah sampai tiga bulan kemudian terpaksa berurusan dengan orang lain terkait rumahnya yang disewakan. 

Selama menjadi istri Jakti, Raline menyewakan beberapa properti miliknya melalui agen. Namun, satu rumah di perumahan Madani diurus oleh Mail, anak Mar. 

“Bu Raline? Saya dapat nomor telepon Ibu dari Mas Mail. Saya penyewa di Madani B4 selama setahun, tapi ada orang datang mau menyita rumah ini!” 

Dengan keterkejutan Raline mendatangi rumahnya di Madani dan semakin dikejutkan oleh kegilaan Mail menjaminkan rumahnya untuk mendapatkan pinjaman. Mail bahkan tak bisa dihubungi setelah memberikan nomor Raline pada penyewa. 

“Gimana sih ini? Kok nggak profesional! Ini namanya penipuan!” marah penyewa, sang pria berkacamata bernama Jundi.

Raline terdiam, bingung menghadapi masalah di hadapannya karena selama ini sewa menyewa propertinya yang lain diurus agen. 

Selain rumah di Madani, Jakti telah memberikan dua mobil, tiga bidang tanah, dua rumah di Cahaya Intan, dua rumah di Permai Citra, dan dua ruko di jalan besar. Harusnya Raline bisa hidup tenang meski tidak bekerja, tapi ketenangannya terusik Mail yang tidak bertanggung jawab. 

“Ibu bisa dilaporkan ke polisi!” ancam Jundi. 

“Saya nggak tahu rumah ini dijaminkan. Saya nggak pernah memberi persetujuan,” ucap Raline mengejutkan Jundi, tapi pihak yang dihutangi Mail menunjukkan sertifikat rumah Raline yang dijaminkan.

Raline menghela napas panjang, benar-benar tak habis pikir pada adik sepupunya yang menipu. Sertifikat itu dulu disimpan Raline di rumah Bandi dan lupa dibawa pulang. Raline tak menyangka dicuri Mail lalu digadaikan tanpa persetujuannya. 

Raline yakin ada campur tangan Bandi dalam transaksi utang tersebut. 

“Jadi, gimana?” tanya Jundi kebingungan karena rumah harus dikosongkan. 

“Saya kembalikan sisa uang sewa ya? Saya minta maaf,” kata Raline berusaha sopan. 

“Ke mana harus pindah dalam keadaan mendadak begini?!” omel Jundi.

Raline menghela napas lalu menoleh ke arah pria yang baru keluar dan duduk dengan tenang. 

“Jun, ke hotel aja dulu,” kata pria itu mengejutkan Raline. 

“Tapi, Pak ….”

“Nggak apa-apa. Ini musibah, pindah aja,” ucap pria itu membuat Raline malu. 

“Maaf, adik saya melakukan kesalahan. Kalau kalian pindah ke rumah saya di Permai Citra, gimana?” tanya Raline. 

Jundi masih ingin protes, tapi pria satunya menyela.

“Oke, kami pindah ke Permai Citra,” kata pria itu sembari mengulurkan tangan. 

“Saya Tama,” kata pria bernama Tama sambil tersenyum. 

Dengan ragu Raline membalas uluran tangan lalu terpaksa memberikan senyuman sebelum bernegoisasi dengan pihak penyita untuk memberi waktu berkemas lalu buru-buru menyiapkan rumah di Permai Citra yang berbeda blok dengan rumah yang dia tinggali. 

Tak ada niat lain dari Raline selain mengganti kerugian penyewa akibat kesalahan Mail. Menyalahkan Mail pun dia tunda karena fokusnya membantu Jundi dan Tama agar tidak kesulitan mencari rumah pengganti. 

Namun, saat menyambut kepindahan para penyewa, Raline mendapat tawaran dari Tama. 

“Mbak ditipu sama Mas Mail. Kalau butuh bantuan hukum jangan sungkan hubungi saya,” kata Tama sopan. 

Mulanya Raline mengabaikan karena ragu melaporkan Mail. Raline mencoba mengikhlaskan satu rumahnya dihilangkan Mail karena tak mau ribut dengan keluarganya terutama Bandi yang selalu membela keponakan kesayangannya. 

Namun, beberapa hari kemudian Mail dan Bandi mendatangi rumah yang ditempati Tama sambil berteriak-teriak mencari Raline. 

Setelah ditelepon Jundi yang panik, tergopoh-gopoh Raline menemui Mail dan Bandi yang mabuk. Namun, Jundi dan Tama lebih panik saat Bandi menampar Raline yang baru tiba. 

“Anak durhaka!” maki Bandi sembari mengangkat tangan untuk menampar lagi, tapi tamparan itu gagal karena Tama menarik Raline.

“Polisi akan segera datang. Kalian akan ditahan!” kata Tama tegas tanpa melepaskan Raline yang masih syok karena malu.

“Polisi? Kamu laporkan kami ke polisi, Lin?!” teriak Mail tak terima. 

Bandi ikut tak terima bahkan masih berusaha memukul Raline, tapi dengan sigap Tama menjauhkan Raline lalu  mengancam. 

“Ya, Mas Mail sudah melakukan penipuan menggadaikan rumah Mbak Raline, juga mengganggu ketertiban umum dan melakukan penganiayaan. Itu sudah cukup diperkarakan!” balas Tama tegas membuat Mail dan Bandi pergi dengan ketakutan sementara Raline terdiam karena bingung. 

“Makasih,” kata Raline sambil melepaskan diri dari Tama. 

“Kamu nggak apa-apa? Ayo laporkan ke polisi,” ucap Tama sambil memandangi Raline yang menunduk. 

“Nggak usah, makasih, Mas,” balas Raline sembari berbalik, tapi Tama menahannya. 

“Maaf Jundi menelponmu karena dia panik dua orang tadi teriak-teriak mengancam menghancurkan rumah ini,” kata Tama. 

Raline diam saja, jelas gelisah, tapi merasa tak perlu mengumbar kegilaan Mail dan Bandi. 

“Yakin kamu baik-baik aja? Kalau terus dibiarkan, mereka bisa nyakitin kamu,” ucap Tama. 

Perlahan Raline menengadah menatap Tama yang tampak serius mencemaskannya. 

“Saya nggak bermaksud ikut campur, tapi kayaknya kamu butuh bantuan. Teman saya pengacara, dia bisa bantu,” kata Tama. 

Raline masih terdiam, bingung sendiri. Namun, Tama kembali bersuara dengan kelembutan yang membuat Raline kembali menundukkan pandangan. 

“Trust me. Kami bukan orang jahat, cuma ingin bantu.” 

Gelisah membuat Raline mendadak menganggukkan kepala menerima bantuan Tama karena memikirkan keselamatan Ima juga Bian. 

Raline tak menyangka kesepakatan menerima bantuan membuatnya menjadi dekat dengan Tama karena pria yang enam tahun lebih tua darinya itu terus mengawal kasusnya dengan Mail dan Bandi. 

“Jadi, selama ini kamu diam aja digerogoti mereka?” 

Pertanyaan yang dilontarkan Tama ketika menemani Raline ke kantor polisi tak dijawab Raline karena masih gelisah. 

Selama hampir dua minggu bolak-balik berurusan dengan Mail dan Bandi yang ngeyel tidak melakukan kesalahan, Raline tidak pernah menceritakan keburukan keluarganya. 

Namun, ketika bertemu Mail dan Bandi untuk menjalani perundingan negoisasi yang berakhir dengan kekerasan dari Mail yang melempar asbak ke kepala Raline, wanita itu tak tahan lagi berdiam diri. 

Sambil menerima bantuan Tama yang mengobati pelipisnya, Raline mengucapkan terima kasih. 

“Mereka tempramen, aku udah biasa, tapi Mas Tama harusnya nggak terlibat. Maaf menyulitkan, sampai di sini aja nemenin aku,” ucap Raline sambil berusaha menjauh, tapi Tama memaksa terus mengobati. 

“Kenapa?” tanya Tama sambil menempelkan plester di dahi Raline. 

“Aku nggak mau Mas Tama ikut mendapat masalah,” jawab Raline. 

“Kamu yakin bisa menghadapi mereka sendirian?” tanya Tama. 

Tentu saja Raline tak yakin karena sudah sering menjadi korban kekerasan keluarganya yang baru berhenti ketika Raline menikahi Jakti. Pria itu selalu memberikan uang pada Bandi atau Mail hingga keduanya tak sempat mengusik Raline. 

Namun, kali ini Raline bertekad kuat menghadapi Mail dan Bandi juga memberi pelajaran untuk keduanya.

“Mereka nggak akan nyakitin aku secara berlebihan,” jawab Raline berusaha meyakinkan diri. 

“Tadi di depan orang lain kamu dilempar asbak,” balas Tama serius. 

Raline diam saja, Tama pun diam saja. Keduanya pulang tanpa membicarakan Mail yang sudah ditahan atau Bandi yang menyebut Raline durhaka, tapi hari-hari berikutnya Tama masih sering menghubungi Raline. 

Terkadang Tama sengaja menyuruh Jundi memutar ke blok C hanya untuk melihat rumah Raline, padahal Raline nyaris tak pernah kelihatan di luar rumah. 

Suatu malam saat suntuk Tama iseng memutar mobil melewati rumah Raline, tapi kali ini dia melihat Raline sedang menggendong Bian. Terlihat jelas kepanikan saat Ima dan Ani membuka pagar. Buru-buru Tama keluar dari mobil untuk bertanya. 

“Mau ke mana malam-malam, Bu?” tanya Tama sopan pada Ima. 

“Bian demam, tadi muntah darah,” jawab Ima panik.

Tama menoleh ke arah Raline yang memasukkan Bian ke mobil lalu bersiap masuk ke balik kemudi. Tiba-tiba Tama berteriak. 

“Biar aku antar!” kata Tama sembari menarik Raline dan menyuruhnya menjaga Bian saja.

Raline yang panik tak menolak karena sangat mencemaskan Bian yang tak sadarkan diri. Rombongan itu pergi ke rumah sakit terdekat dengan bantuan Tama yang di perjalanan juga menelpon temannya di rumah sakit tersebut. 

Bian yang mengalami gelaja demam berdarah segera tertangani. Tama terus menemani sampai pagi. Keesokannya dan hari-hari berikutnya Tama terus menjenguk Bian sekaligus membawakan makanan untuk Raline. 

“Mas, maaf ngerepotin. Makasih udah banyak bantu,” kata Raline ketika Tama membantu Raline membawa Bian keluar dari rumah sakit setelah seminggu dirawat. 

“Papanya nggak pulang?” tanya Tama. 

“Mau pulang, aku yang larang. Dia masih ada kerjaan di Vietnam,” jawab Raline. 

Tama menganggukkan kepala karena pernah mendengar Bian menelpon Jakti yang ada di luar negeri, tapi Tama tak pernah bertanya-tanya tentang Jakti sampai sebulan kemudian tiba-tiba Raline dirawat di rumah sakit karena maag. 

Saat itu Tama menjenguk Raline yang sendirian karena Ima menjaga Bian di rumah dan Ani sedang pulang kampung. 

Raline merasa canggung berduaan dengan Tama yang membuatkan roti untuknya. 

“Mas, nggak apa ditinggal aja. Ada perawat kok di sini,” kata Raline karena sudah satu jam Tama tidak meninggalkan kamar. 

“Aku nggak kerja,” jawab Tama. 

“Loh, libur?” tanya Raline heran. 

“Nggak bisa kerja,” jawab Tama membuat kening Raline mengerut. 

“Nggak bisa kerja karena kamu sakit,” lanjut Tama mengejutkan Raline. 

“Lin, apa kamu nggak berminat menikah lagi? Mau nggak menikah sama aku?” tanya Tama terus terang. 

Tentu saja Raline syok, tak menyangka tiba-tiba dilamar oleh orang asing yang baru beberapa bulan dia kenal. 

“Mas, aku …”

“Aku takut khilaf dekat kamu terus. Nggak enak juga jadi omongan tetangga, tapi menghindari kamu terlalu sulit,” kata Tama menyela. 

“Aku janda, punya anak,” kata Raline tegas. 

“Aku duda, juga punya anak,” balas Tama. 

Raline tahu Tama sudah lama bercerai dari istrinya yang memenangkan hak asuh kedua putri mereka. 

“Boleh kan berniat baik membangun rumah tangga lagi? Aku nggak bermaksud memaksa, tapi memohon agar kamu mempertimbangkan lamaranku,” ucap Tama serius. 

“Aku ingin menjaga kamu dan Bian. Ingin melindungi kalian. Ingin mendapatkan pendamping hidup lagi yang bisa saling menjaga. Aku ingin kita saling melengkapi,” lanjut Tama membuat Raline memejamkan mata karena teringat Jakti di masa lalu ketika melamarnya. 

“Aku ingin menjaga kamu, Lin. Aku akan melindungi kamu.”

 

Bab 6

 

“Kalau ada orang berniat baik, nggak ada salahnya dipertimbangkan, Lin. Kamu masih muda, masih butuh suami. Jangan keras kepala merasa bisa hidup sendiri. Janda itu nggak dosa, tapi menikah lagi juga nggak ada salahnya,” nasihat Ima ketika Raline sudah keluar dari rumah sakit. 

Raline diam saja karena tak mau membantah, tapi hati kecilnya masih merasa berat menerima lamaran Tama. Raline masih trauma pada pernikahan hingga tak memikirkan lamaran pria itu. 

Dari pertemuan demi pertemuan yang mereka lalui, Raline tahu Tama pria yang baik. Bian pun akrab dengan Tama meski pria itu tidak mencolok merayu dengan membawa aneka mainan atau hadiah secara berlebihan. 

“Kami bercerai karena terlalu sering cekcok. Semua hal selalu diributkan. Lisa memilih kembali ke rumah orang tuanya,” kata Tama.

 Raline diam saja mendengarkan Tama yang menjeda cerita karena menyeruput kopi yang dia buatkan. Mereka duduk di gazebo halaman samping karena Raline tak pernah membawa tamu pria masuk ke rumah. 

“Enak banget kopinya,” puji Tama, tapi tak membuat Raline menoleh. 

Pandangan Raline tetap terarah pada kolam ikan di hadapannya. 

“Ibu yang buat, Lin?” tanya Tama. 

“Aku,” jawab Raline singkat. 

Tama terdiam sejenak memperhatikan Raline yang tampak merenung. 

“Kamu trauma apa, Lin?” tanya Tama hati-hati. 

“Nggak semua pria suka poligami. Aku bukan kayak gitu,” kata Tama. 

“Aku bukan takut dipoligami lagi,” kata Raline tanpa menoleh. 

“Aku merasa belum pantas menikah lagi. Dulu aku menikah sebagai istri kedua, stigma masyarakat tentangku nggak baik. Aku ….”

“Aku tahu. Ibu sudah cerita,” sela Tama. 

Perlahan Raline menoleh menatap Tama yang tersenyum. 

“Ibu cerita kenapa kamu menerima lamaran yang sudah berkali-kali kamu tolak. Ibu cerita perjuanganmu buat keluarga, buat Ibu,” lanjut Tama. 

“Lin, izinkan aku jadi pelepas lelahmu. Mungkin, aku jawaban dari doa Ibu yang pengen liat kamu bener-bener bahagia. Pengen ngeliat kamu menjadi istri yang normal, bukan istri kedua yang menutup diri,” kata Tama lagi. 

“Kamu juga bisa bantu aku kembali menemukan bahagia dalam rumah tangga. Terus terang, aku kesepian dan belakangan ini malah semakin tersiksa karena terus mikirin kamu,” ucap Tama. 

Jelas Raline terpesona, tapi sampai sebulan berikutnya masih tetap keras hati tidak menjawab tawaran Tama. Sedikit pun Tama tak gentar, tetap bersikap baik pada Raline dan keluarga. 

Suatu malam rumah Raline didatangi dua orang pria yang berteriak-teriak menagih utang membawa senjata tajam. Mereka mendobrak pagar sambil mengacungkan parang. 

“Raline! Bayar utangnya Mail!” teriak salah satu pria. 

Sepuluh menit Raline bersembunyi dalam rumah setelah menelpon ketua RT untuk meminta bantuan, tapi para penagih terus berteriak sambil menghancurkan pot-pot bunga. 

“Lin, utang apalagi si Mail? Ini gara-gara Bapakmu! Dimanja terus keponakannya!” kata Ima ketakutan. 

Raline diam saja mengintai dari jendela lalu meminta Ima masuk kamar bersama Ani yang menemani Bian. 

Tak lama Pak RT datang bersama warga yang salah satunya Jundi. Mereka mengusir penagih utang yang malah mengancam akan melukai Pak RT bila Raline tidak keluar. Terpaksa Raline menemui para pembuat onar. 

“Raline, bayar utangnya Mail! Dua belas juta! Katanya minta sama kamu!” teriak seorang pria sambil mengarahkan pisau ke leher Pak RT. 

“Aku nggak tahu menahu utang itu! Tagih sama Mail,” jawab Raline yang sudah lelah ikut melunasi utang-utang Mail dan Bandi. 

“Kata Ibu Mar, kamu yang bayar karena Mail dipenjara. Kamu yang bikin Mail masuk penjara, jadi kamu yang tanggung jawab!” kata yang lainnya. 

Raline dan warga sangat kesal mendengar ocehan penagih utang yang sedang mabuk, tapi mereka berusaha tenang karena nyawa Pak RT menjadi taruhan. 

“Lepaskan Pak RT, kita bicarakan,” kata Raline mengalah. 

Pak RT pun dilepas lalu seorang penagih utang mendekati Raline, tapi mendadak datang beberapa pria berbadan besar. 

Terjadi kegaduhan hingga Raline pun berteriak karena ditarik oleh seorang penagih utang. Namun, berikutnya penagih utang itu ditendang oleh Tama yang menarik Raline menjauh. 

“Polisi! Kami polisi!” teriak pria berbadan besar sembari melumpuhkan dua penagih utang yang masih berusaha mencelakai Raline. 

“Kalian nggak punya hak menagih Raline. Nggak ada bukti Raline berutang, tagih utang-utang itu pada nasabah kalian!” bentak Tama pada dua penagih yang ketakutan karena diringkus polisi. 

“Kasih tahu kawanan kalian, jangan lagi mengganggu Raline. Dia nggak ada hubungan sama utang Mail, Pak Bandi, atau Bu Mar! Kalau kalian masih mengusik Raline, kalian semua dipenjara!” ancam Tama. 

Para penagih tak berkutik ketika dibawa ke polisi karena menagih utang pada orang yang salah. Berita penangkapan itu memberi pelajaran pada penagih lainnya untuk tidak mengusik Raline yang tidak tahu apa-apa terkait utang Mail, Bandi, atau Mar. 

Apalagi ternyata Tama kenal dengan pejabat polisi serta beberapa preman yang membuat mereka memilih tidak berurusan lagi dengan Raline. 

Selama dua hari rumah Raline dijaga dua pria berbadan besar utusan Tama yang membuat Ima merasa sangat cemas. 

“Lin, nikah ajalah sama Tama biar ada yang jagain kamu. Ibu nggak tenang. Kalau ada kejadian begini lagi, siapa yang nolongin kamu kalau tinggal sendirian?” tanya Ima. 

Raline tak bisa menjawab, tapi pikirannya penuh mempertimbangkan ucapan Ima. 

“Raline, aku ulangi lamaranku sebelum urusanku di Matra selesai. Ayo menikah, kita pindah ke Ramsa. Aku janji akan selalu jaga kamu, Bian, dan Ibu,” janji Tama, seminggu setelah kejadian penyerangan penagih utang. 

Raline masih diam saja, tapi perlahan Tama menyentuh tangannya. 

“Sama-sama kita jadi penyembuh hati. Ayo berjuang memulai hidup baru,” ucap Tama dengan suara lembut. 

“Beri aku waktu berpikir,” pinta Raline membuat Tama tersenyum. 

Dalam setiap sujudnya Raline terus berdoa meminta petunjuk pada Yang Maha Kuasa untuk memberinya kemantapan hati mengambil keputusan. Raline tak mau gegabah mengikuti logika yang sepakat dengan niat tulus Tama membangun rumah tangga lagi. 

“Ma, kok salat sambil nangis?” tegur Bian yang terbangun di tengah malam. 

“Eh, kok bangun?” balas Raline sembari mendekat tanpa membuka mukena. 

“Bian dengar Mama nangis,” kata Bian mengejutkan Raline yang sempat terdiam. 

“Mama nggak nangis,” ralat Raline. 

“Nangis, ini masih ada bekasnya,” ucap Bian sambil menyentuh sudut mata Raline yang memang basah. 

Perlahan Bian bangkit kemudian memeluk Raline. 

“Jangan sedih, ada Bian,” bisik Bian membuat Raline tertawa sambil mengeluarkan air mata. 

“Baik banget anak Mama. Pinter,” balas Raline sambil mengeratkan pelukan. 

“Om Tama bilang, Bian harus jadi anak baik supaya Mama nggak sedih,” kata Bian membuat Raline tertegun. 

“Bian, Om Tama itu baik?” tanya Raline sambil melepas pelukan. 

“Baik,” jawab Bian pasti. 

“Kalau Om Tama tinggal sama kita, jadi papa juga untuk Bian, apa Bian mau?” tanya Raline. 

“Mau,” jawab Bian yakin. 

“Kenapa?” tanya Raline mengorek. 

“Supaya Bian punya teman jagain Mama,” jawab Bian lugu membuat Raline terhenyak. 

“Papa bilang Bian harus jagain Mama. Dibantuin Om Tama boleh kan, Ma?” tanya Bian. 

Tak ada jawaban dari Raline karena memilih memaksa Bian kembali tidur. Padahal, dirinya sendiri tak bisa tidur karena sibuk berdialog dengan hatinya sendiri. 

Sebulan kemudian Jakti menelpon. Seperti biasa, Raline langsung menyerahkan ponsel pada Bian yang melompat-lompat kesenangan. 

“Halo, Pa!” seru Bian riang saat menyapa Jakti yang melakukan panggilan video. 

“Halo, Bian! Ngapain?” tanya Jakti sambil memperhatikan ke belakang Bian. 

“Lagi bantuin Mama susun barang,” jawab Bian dengan gaya lucu yang membuat Jakti tertawa. 

“Pinternya. Bian udah beli susu belum? Papa udah kirim uang buat beli susu dan mainan ya,” kata Jakti dengan maksud memberi kabar pada Raline yang dia yakini mendengar pembicaraan mereka. 

“Makasih, Papa!” sahut Bian setelah melirik Raline yang memberi kode untuk mengucapkan terima kasih. 

“Mama di mana?” tanya Jakti tiba-tiba. 

“Ada, lagi sibuk,” jawab Bian membuat Jakti tertawa lagi. 

“Panggil Mama dulu, Nak. Papa mau ngomong sebentar sama Mama,”  perintah Jakti. 

Raline yang sedang memegang lakban mendadak tegang, tapi mencoba tenang. Diambilnya ponsel lalu segera mengubah panggilan dalam bentuk suara tanpa video. 

“Ya?” ucap Raline setelah menenangkan diri. 

“Lin, aku akan pindah ke Ramsa. Jadi, mungkin agak lama baru bisa jenguk Bian. Atau, kalian mau pindah ke sana? Aku carikan rumah dan sekolah di Ramsa kalau Bian mau dekat dengan aku,” ucap Jakti. 

Raline sempat terdiam sebelum akhirnya memberi balasan yang membuat Jakti balas terdiam. 

“Makasih, Mas. Kebetulan kami juga mau pindah ke Ramsa,” ucap Raline. 

“Aku akan menikah lagi dan kami akan tinggal di sana,” lanjut Raline. 

Dengan tangan begetar Jakti memutar pulpen, tatapannya mendadak kosong, sekosong dinding di hadapannya yang polos karena foto pernikahannya dengan Misha baru saja diturunkan setelah mereka sepakat bercerai. 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ikhtiar Cinta Raline 7-8
1
0
“Udah bahagia?” tanya Jakti. “Alhamdulillah kalau bahagia, itu doaku selalu buatmu,” kata Jakti membuat Raline sedikit salah tingkah.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan