
Kenal sejak lahir, Neya sangat ingin mendengar kata cinta dari Aldrei. Sayangnya, meski sudah menjadi suami, hubungan mereka tetap terasa sebagai sahabat belaka. Tiga tahun berusaha memenangkan hati Aldrei, Neya menyerah setelah mengetahui fakta menyedihkan yang disembunyikan suaminya terkait musuhnya di masa lalu.
“Al, ayo cerai!”
Bab 1
Kota Hima, perumahan Lavender Hills.
“Al, ayo cerai.”
Nyaris tanpa emosi, Neya duduk memangku piring berisi potongan mangga sembari melirik ponsel Aldrei yang berusaha disembunyikan, tapi Neya berhasil melihat layar percakapan dengan Senna.
“Cerai?” tanya Aldrei setelah terpaku beberapa saat.
“Hm,” balas Neya sambil menikmati potongan mangga yang manis.
“Jangan bercanda,” kata Aldrei sembari mendekat, membuka mulut lebih lebar untuk menerima suapan mangga.
Dengan rela Neya menyuapinya.
“Serius … aku ….”
Neya berhenti bicara karena Aldrei memalingkan wajah ke arah ponsel. Aldrei hampir mengirim balasan pesan pada Senna ketika Neya bersuara lagi.
“Serius. Aku sudah ajukan gugatan, tinggal kita jalani aja prosesnya.”
“Ney ….”
“Sudah saatnya kita jalani hidup masing-masing,” kata Neya menyela.
Mata Aldrei menyipit, diabaikannya ponsel untuk memperhatikan wajah Neya dengan saksama.
Wajah Neya polos tanpa makeup, tapi terlihat segar. Rambut cokelatnya yang bergelombang pun tampak rapi. Ditambah dengan pakaian tidur berenda, Neya tetap terlihat cantik meski akan pergi tidur.
“Karena aku melewatkan anniversary yang lalu?” tebak Aldrei dengan mata membesar.
Seminggu lalu keluarga merayakan ulang tahun pernikahan mereka yang ketiga, tapi sore sebelum pesta dimulai, mendadak Aldrei berangkat ke New Zealand.
“Nanti kita bikin party lagi. Maaf minggu lalu sibuk banget,” kata Aldrei.
Neya diam saja, berusaha menikmati mangga yang mendadak terasa asam, apalagi ketika mendengar getar ponsel Aldrei.
Melihat nama Senna, Neya merasa mual.
“Aku akan pindah,” kata Neya membuat Aldrei urung menjawab panggilan telepon.
Aldrei ingin bicara, tapi getar ponsel membuatnya menahan diri. Tanpa menjauh dari Neya, dijawabnya panggilan telepon.
“Ya?” sapa Aldrei.
“Al, aku udah sampai, tapi penjaga rumahnya nggak bisa dihubungi. Kamu bisa bantu?”
Neya tak bisa mendengar suara Senna, tapi bisa menebak apa yang akan terjadi.
“Aku pergi dulu ya!” kata Aldrei setelah menutup telepon lalu menunduk hingga kepalanya berada di dada Neya.
“Tunggu aku pulang,” kata Aldrei sebelum menempelkan bibirnya di antara gundukan dada sang istri.
Tak menunggu jawaban Neya, Aldrei menyambar kunci mobil dan tergesa meninggalkan rumah.
Neya masih terdiam memandangi pintu yang tertutup sampai ponselnya sendiri bergetar.
“Seperti dugaanmu, rumah di Rodsi ditempati Senna,” lapor Zerrin.
“Ya, Al lagi ke sana,” balas Ney.
“Sudah malam begini. Dia ninggalin kamu sendirian?” tanya Zerrin jengkel, tapi Neya malah tertawa.
“Sudah mulai biasa,” kata Neya sambil mengunyah mangga.
“Beneran mau cerai? Sudah bilang sama Al?” tanya Zerrin.
“Sudah,” jawab Neya santai.
“Apa reaksinya?” tanya Zerrin penasaran.
“Biasa aja. Sudah ah, aku ngantuk!” jawab Neya sebelum mematikan sambungan telepon lalu ke kamar untuk membersihkan diri dan bersiap tidur.
Namun, Neya tak bisa memejamkan mata. Perlahan dia membuka kotak biru muda yang kenangan masa lalu.
“Bertahun-tahun nggak berhasil bikin dia jatuh cinta. Ya sudahlah, saatnya mencintai diri sendiri,” kata Neya dalam hati seraya menatap foto dirinya bersama Aldrei.
Agak lama Neya memandangi foto tersebut sampai tangannya meraih buku kecil. Halaman pertama yang memuat foto tiga remaja perempuan dan dua remaja pria dalam seragam SMA membuat Neya terpaku.
Neya, Aldrei, Senna, Zerrin, dan Gana.
“Pada akhirnya benar-benar hanya menjadi penjaga milik orang lain,” gumam Neya sambil memandangi wajah Aldrei yang berdiri di belakang dirinya dan Senna.
Sementara itu, di Rodsi Aldrei duduk dengan resah di hadapan wanita berambut hitam lurus nan halus, Senna.
“Maaf ya ganggu kamu,” kata Senna sambil duduk dengan canggung.
Aldrei tak menjawab, dipandanginya Senna dengan serius hingga Senna menjadi salah tingkah.
“Al ….”
“Tanganmu gimana?” tanya Aldrei menyela.
“Udah membaik,” jawab Senna sebelum menghela napas pendek.
Keduanya sempat terdiam selama beberapa saat sampai Aldrei berdiri diikuti Senna yang spontan ikut berdiri.
“Oke, semuanya sudah beres. Aku pulang dulu ya,” kata Aldrei sebelum pergi.
“Ney ….”
Ucapan Senna menggantung, tapi berhasil membuat Aldrei berhenti melangkah.
“Ney tahu kamu ke sini?” tanya Senna pelan.
“Belum. Nanti aku kasih tahu,” jawab Aldrei.
Senna menganggguk dan Aldrei pun berbalik pergi.
“Al ….”
Panggilan Senna membuat Aldrei berhenti melangkah lagi, tapi tidak berbalik. Aldrei diam saja menunggu ucapan Senna berikutnya.
“Makasih ya, maaf ngerepotin. Hati-hati di jalan,” kata Senna ragu.
“Ya,” jawab Aldrei singkat sebelum melangkah dengan pelan.
Senna mengikuti Aldrei sampai ke teras lalu menutup pintu, tapi tak langsung pergi. Di balik pintu yang tertutup, Senna terdiam memandangi gelang perak di tangan kanannya.
“Senna, kamu spesial untukku.”
Suara Aldrei di masa lalu saat memakaikan gelang tersebut membuatnya meneteskan air mata.
Di dalam mobil, Aldrei pun terdiam memandangi rumah baru Senna. Melihat lampu kamar yang masih menyala, Aldrei menarik napas panjang. Perlahan dipejamkannya mata sebelum mengambil ponsel.
Dada Aldrei terasa bergemuruh ketika menatap foto pernikahan bersama Neya yang tampak ceria merangkul lengan Aldrei, sementara tangan Aldrei merangkul pinggangnya. Ekspresi keduanya tampak konyol karena sama-sama memeletkan lidah.
“Ney, aku beli sate Pak Umar!” teriak Aldrei saat masuk rumah, tapi tak ada jawaban.
“Ney …”
Aldrei berhenti berteriak karena dilihatnya Neya berbaring membelakangi.
“Yah, sudah tidur,” sesal Aldrei sebelum memperbaiki selimut kemudian keluar kamar dengan hati-hati.
“Sialan, kenapa bau satenya ketinggalan?” gerutu Neya.
Sebelum Aldrei membuka pintu kamar, Neya bangkit dari ranjang sambil mengomel.
“Sudah kubilang jangan ganggu kalau aku tidur!”
“Masalahnya ini sate Pak Umar! Aku telanjur beli banyak,” balas Aldrei sambil berbalik menatap Neya yang menghampirinya.
Dengan gerakan yang juga cepat, Neya menyambar kantong sate lalu melangkah ke ruang makan diikuti Aldrei yang berjalan di belakangnya dengan riang sembari memegangi kedua pundak Neya.
“Sate-sate! Ayo makan!” kata Aldrei antusias.
Sambil menyusun sate di piring, Neya tertawa sendiri.
“Apa yang lucu?” tanya Aldrei saat meletakkan dua gelas air putih di meja.
“Kamu,” jawab Neya singkat sembari menarik kursi.
“Nggak jelas,” gerutu Aldrei sebelum ikut duduk.
“Ya, memang nggak jelas. Semua tentangmu nggak jelas,” kata Neya dalam hati.
Neya tak bicara apa-apa lagi, tapi Aldrei terus mengocehkan perjuangan mendapatkan makanan favorit mereka sembari melepaskan potongan daging dari tusuk sate untuk Neya yang memakannya menggunakan garpu.
Setengah hati Neya mendengarkan karena sedang terkenang berbagai hal yang mereka jalani selama bertahun-tahun menjadi sahabat juga pasangan suami istri.
Fokus Neya baru kembali pada Aldrei saat suara pria itu berubah menjadi serius.
“Senna kembali,” kata Aldrei hati-hati sembari menyentuh punggung tangan Neya.
“Hm,” balas Neya tenang.
“Sudah lama nggak bertegur sapa. Apa nggak bisa berbaikan lagi?” tanya Aldrei masih dengan hati-hati.
Neya tak langsung bersuara, sambil meneguk air putih, otaknya memikirkan jawaban untuk menanggapi Aldrei.
“Satenya masih banyak! Makan lagi!” kata Aldrei tiba-tiba untuk mengalihkan pembicaraan, tapi Neya sudah tak berminat mengisi perut.
“Aku mau akan pindah,” kata Neya tenang sambil berdiri.
“Pindah ke mana?” tanya Aldrei kaget.
“Sunvil,” jawab Neya datar menyebutkan salah satu perumahan elit dengan konsep mini vila yang terkenal dengan privasi dan kesunyian.
Aldrei merasa Neya sedang mengasingkan diri.
“Ney, maaf,” kata Aldrei tiba-tiba membuat Neya urung melangkah.
“Nggak apa-apa pindah, tapi jangan mendadak cerai,” lanjut Aldrei sambil berdiri, mengacak rambut Neya lalu meneruskan langkah yang terhenti.
“Ini nggak mendadak. Sudah kupikirkan sejak lama,” kata Neya tenang membuat Aldrei berbalik.
“Ini perjanjian kita,” lanjut Neya sambil tersenyum lalu meninggalkan Aldrei yang terpaku mengingat kesepakatan mereka tiga tahun lalu.
Oke, kita menikah, siapa tahu beneran bisa saling mencintai. Kalau salah satu dari kita akhirnya mencintai orang lain, ya sudah, pisah aja.
Di dalam kamar, Neya juga mengenang kesepakatan yang sama. Sambil tersenyum, Neya memejamkan mata.
“Ternyata nggak sesederhana ketika mengucapkannya,” gumam Neya dalam hati.
Bab 2
“Beneran cerai?”
Sebenarnya suara Gana tidak nyaring, tapi tetap saja mengusik Zerrin yang sedang membantu Neya merapikan rumah barunya di Sunvil.
“Bisa prihatin dikit nggak, sih?” gerutu Zerrin sambil mengelap meja sebelum Gana meletakkan kantong makanan.
“Mau prihatin, tapi ….”
Gana berhenti bicara karena memperhatikan Aldrei bergelayut di lengan Neya sembari menceritakan lelucon ketika Gana ditampar seorang wanita di bar.
“Mereka nggak kelihatan kayak mau cerai,” gumam Gana.
Zerrin ikut melirik ke halaman, kesal melihat sikap santai Aldrei yang seolah tidak terjadi apa-apa, padahal sedang menjalani proses perceraian.
Zerrin kenal dekat dengan ketiganya semenjak SD. Aldrei dan Gana adalah sepupu di mana keluarga besar mereka berteman baik dengan keluarga Neya, otomatis mereka kenal sejak lahir.
Di bangku SMP, keempatnya mengenal Senna, siswi berprestasi yang terdaftar di sekolah elit mereka melalui jalur beasiswa.
“Ayo makan! Lapar!” kata Neya saat masuk rumah.
Zerrin membantu Neya menyiapkan makanan, Gana menguntit Aldrei memeriksa keamanan rumah.
“Beneran mau cerai?” tanya Gana saat Aldrei memperhatikan halaman belakang.
“Ney maunya begitu,” jawab Aldrei singkat.
“Tiga tahun ini kukira kalian beneran menikmati kehidupan rumah tangga, tapi ternyata hanya pura-pura bahagia,” kata Gana dengan nada menyesal.
Selama pernikahan, Aldrei dan Neya bertingkah selayaknya pasangan pada umumnya. Pulang pergi kerja bersama, makan siang, bahkan kencan. Selalu berusaha datang bersama menghadiri acara keluarga, bahkan liburan ke luar kota dan luar negeri selayaknya pasangan normal.
Di awal pernikahan, Gana tahu keduanya hanya bersandiwara menyenangkan keluarga, tapi kelamaan Gana merasa keduanya benar-benar menikmati kehidupan sebagai suami istri sungguhan yang berbahagia.
“Nggak semuanya pura-pura,” gumam Aldrei sambil menoleh ke ruang makan, menatap Neya yang mengobrol bersama Zerrin sembari sesekali tertawa lepas.
“Kalau gitu, jangan cerai, bodoh!” bisik Gana yang memperhatikan arah pandang Aldrei.
Namun, berikutnya Gana yang merasa bodoh saat Aldrei menjawab panggilan telepon Senna.
“Ya, lima menit lagi aku ke sana,” kata Aldrei pelan.
Bukan menunggu lima menit, Aldrei benar-benar langsung pergi tanpa mencicipi makanan yang sudah disiapkan Neya.
“Ada urusan kantor,” ucap Gana ketika Aldrei meninggalkan rumah.
“Ingkar janji! Katanya mau syukuran rumah baru!” gerutu Zerrin kesal.
“Bagus dia pergi, udangnya buat aku!” sahut Neya santai sembari menikmati udang bakar favorit Aldrei.
Gana dan Zerrin saling menatap, merasa kasihan pada Neya yang sebenarnya menyiapkan banyak makanan kesukaan Aldrei.
Aldrei berjanji merayakan hari pindah rumah bersama Zerrin dan Gana, tapi satu panggilan telepon dari Senna membuatnya ingkar.
Meski bukan pertama kali Aldrei memprioritaskan Senna, tetap saja terasa menyakitkan bagi Neya.
“Ney, kapan kalian ngabarin keluarga?” tanya Gana.
Keluarga Adiraja sangat menyayangi Neya. Tak memiliki cucu perempuan, Neya tak hanya disayangi nenek dan orang tua Aldrei, orang tua Gana pun menganggap Neya sebagai keluarga sendiri. Perceraian Neya jelas akan mengguncang keluarga mereka.
“Kalau putusan cerai udah keluar,” jawab Neya dengan tenang.
Mereka sepakat perceraian dirahasiakan sementara waktu karena tak mau prosesnya diinterupsi keluarga.
“Oma pasti syok,” gumam Gana sembari menatap makanan yang berlimpah.
“Oma Rissa bukan orang kolot, kalau tahu Neya nggak bahagia, pasti setuju,” celetuk Zerrin membuat Gana langsung menatap Neya dengan saksama.
“Nggak bahagia?” tanya Gana agak bingung karena setahunya Aldrei selalu bersikap baik pada Neya.
“Gan, pikir deh. Selama ini Neya ….”
Zerrin berhenti bicara karena tangan Neya di bawah meja mencubit pahanya.
“Selama ini kamu kenapa?” selidik Gana pada Neya yang berusaha tetap tenang.
“Neya nggak bisa selamanya hidup dalam pernikahan palsu,” celoteh Zerrin.
“Terus mau ngaku selama ini pernikahan kalian cuma pura-pura?” tanya Gana.
Pertanyaan Gana mengambang di kepala Neya yang memikirkan kepalsuan pernikahannya.
Setiap bulan Aldrei memberi Neya ratusan juta sebagai biaya hidup sekaligus nafkah. Tak hanya rutinitas rumah tangga seperti makan atau refreshing, mereka juga tidur seranjang, bahkan melakukan hubungan suami istri layaknya pasangan normal.
Saat salah satu sakit, yang lain menjaga. Di awal pernikahan saat kondisi kesehatan Neya belum stabil, Aldrei tak pernah mengeluh merawatnya.
Selama tiga tahun Neya merasa menjadi istri normal bahkan nyaris mengungkapkan cintanya andai seminggu lalu tak mengetahui rahasia Aldrei.
Meski tak pernah saling mengaku cinta, Neya tetap merasa dikhianati oleh Aldrei yang rela meninggalkan perayaan ulang tahun pernikahan demi mengunjungi Senna di rumah sakit New Zealand.
Fakta beruntun lainnya yang menyeruak semakin mengikis cinta yang pernah Neya jaga untuk Aldrei.
Dua bulan terakhir Aldrei beberapa kali menemui Senna di New Zealand dalam samaran perjalanan bisnis. Mengurus Senna di rumah sakit luar negeri. Menyiapkan kepulangan Senna ke Hima termasuk membeli rumah di Rodsi. Selama Senna di luar negeri, Aldrei juga pernah mengirim uang.
Neya pun tahu Aldrei pernah memberi Senna hadiah yang sama seperti yang dia berikan pada Neya.
Tas, gelang, dan jam tangan.
Ketiga hadiah itu sudah cukup membuat lubang dalam di hati Neya. Ditambah fakta lain bertahun-tahun lalu yang disembunyian Aldrei, Neya merasa dilempar dari tebing.
“Ney, kamu baik-baik aja?” tanya Gana curiga karena Neya melamun.
“Jauh lebih baik,” jawab Neya tenang, tapi semakin membuat Gana curiga.
“Kamu kenapa sih? Apa Aldrei nyakitin kamu?” tanya Gana hati-hati untuk menginterogasi, tapi Neya malah tertawa.
“Nyakitin gimana? Kayak pernikahan kami normal aja. Selama ini kan cuma main-main. Saatnya menata kehidupan masing-masing. Nggak mungkin selamanya bercanda,” jawab Neya.
Neya berusaha menekankan pernikahan mereka hanya permainan meski selama tiga tahun dia serius menjalankan peran sebagai istri dan berharap Aldrei merasakan hal yang sama.
Namun, fakta tentang Senna membuyarkan angan Neya yang menyadari kebaikan Aldrei sebagai suami bukan karena mencintainya.
“Ya aku tahu, tapi Oma, Tante Rasti ….”
“Aku akan bilang Aldrei selingkuh,” sela Neya membuat Gana dan Zerrin memelotot kaget, tapi hanya sesaat karena berikutnya Neya tertawa.
“Bercanda,” kata Neya santai seraya mengambil udang lagi lalu membuka kulitnya dengan hati-hati.
Biasanya Aldrei yang melepaskan kulit udang untuknya, tapi Neya mulai membiasakan diri tidak mengharapkan kebaikan Aldrei lagi.
“Aku yang selingkuh,” sambung Neya tenang, tapi kembali membuat Gana dan Zerrin memelotot.
“Ney …”
“Nggak usah terlalu serius! Aku sudah punya cara ngomong sama Oma,” kata Neya menyela Gana yang merasakan ketegangan.
“Kalian nggak suka makanannya? Kalau nggak mau lagi, aku kasih ke pos satpam!” kata Neya santai.
Bergegas Gana dan Zerrin kembali menikmati makanan sembari mengalihkan topik demi menutupi resah hati masing-masing.
Dua jam kemudian di Lavender Hill, Senna duduk memandangi foto pernikahan yang tergantung dalam ukuran besar. Dipandanginya wajah Neya dan Aldrei yang terlihat bahagia.
Mata Senna bergeser mengamati keseluruhan rumah yang tampak rapi serta elegan dalam balutan kemewahan perabotan.
Senna tahu, Neya tak pernah memiliki barang murahan. Sebagai putri tunggal konglomerat, harga gaun sekali pakai Neya lebih mahal dari biaya sewa rumah Senna selama setahun.
Bila Neya hidup dalam kemewahan, Senna sebaliknya. Bila bukan Neya yang bersikeras membayar biaya tur sekolah, Senna bahkan tak akan pernah merasakan perjalanan mewah bersama teman-temannya.
“Sini aku obati.”
Suara Aldrei yang mendekat sambil membawa kotak obat membuat Senna mengalihkan pandangan.
Aldrei berjongkok di depan Senna, meraih kaki kirinya yang terluka karena diserempet pengendara motor di parkiran restoran dekat Lavender Hill. Merasa lebih dekat ke rumah, Aldrei mengajaknya pulang karena Senna menolak dibawa ke klinik atau rumah sakit.
“Agak perih, tahan,” kata Aldrei tanpa memperhatikan Senna yang justru merasa perih karena membayangkan selama tiga tahun Aldrei tinggal serumah dengan Neya.
Aldrei sangat berhati-hati saat mengobati Senna, membuat wanita itu terbuai bahkan matanya tergenang air.
“Eh, sakit ya?” tanya Aldrei saat menyadari mata Senna basah.
“Sedikit,” jawab Senna sambil menjauhkan kaki lalu berdiri.
“Ayo pergi, nggak enak di sini tanpa Neya,” kata Senna canggung.
“Dia nggak pulang,” ucap Aldrei sambil berdiri.
Dahi Senna mengerut, tapi mendadak hatinya dipenuhi bunga-bunga cinta yang sempat layu saat mendengar kelanjutan ucapan Aldrei.
“Kami cerai,” kata Aldrei singkat sembari berbalik lalu menjauhi Senna.
Senna mengira Aldrei tergesa mengembalikan kotak obat, padahal Aldrei sedang meredakan kegelisahaan akibat melihat foto pernikahannya dengan Neya.
Namun, kegelisahan Aldrei menular pada Senna ketika terdengar langkah kaki berisik diiringi pekikan cempreng Zerrin.
“Cepet banget gerakanmu, Al! Belum ada putusan cerai loh, kok langsung bawa perempuan lain ke rumah!” kata Zerrin sembari menatap tajam Senna yang terkejut melihatnya.
Bab 3
“Senna diserempet motor di dekat rumah kita. Kami baru ketemu rekan bisnis.”
Penjelasan yang diberikan Aldrei melukai perasaan Neya, tapi sesakit apa pun, Neya bertahan tidak mengamuk karena merasa tak pantas melakukannya dengan satu alasan besar.
Mereka tidak dalam hubungan cinta.
Sehari sebelumnya Zerrin langsung melaporkan pertemuan menegangkan dengan Senna. Zerrin ikut merasa dikhianati ketika melihat Senna di Lavender Hills, tapi tak mau membuat keributan.
Saat Aldrei memberi penjelasan, Zerrin menerima begitu saja lalu mengambil dokumen Neya dan pergi tanpa menyapa Senna. Cepat-cepat Aldrei juga membawa Senna pergi agar Zerrin tahu mereka tidak melakukan apa-apa di dalam rumah.
“Itu bukan rumahku, kamu berhak bawa pulang siapa aja yang kamu mau. Lagipula aku juga sudah nggak tinggal di sana,” kata Neya dengan tenang.
Aldrei tersenyum menatap Neya yang sibuk memeriksa laporan perusahaan.
“Aku nggak bawa Senna pulang, hanya mampir mengobati lukanya, ” kata Aldrei meralat pikiran Neya.
“Ney, kami ….”
“Ya,” sahut Neya singkat karena malas mendengar alasan Aldrei.
“Nanti siang mau makan di mana?” tanya Aldrei mengalihkan topik.
“Ada meeting,” jawab Neya tanpa menatap Aldrei.
“Meeting atau menghindari aku?” tanya Aldrei dengan nada yang tak biasa didengar Neya hingga spontan kepalanya menengadah.
“Keduanya,” jawab Neya juga dengan nada yang berbeda.
Sekejap Aldrei mengerutkan dahi, tapi Neya langsung tersenyum.
“Aku mau mulai hidup baru. Kalau terus jalan sama kamu, orang-orang bisa mengira kita masih suami istri,” kata Neya santai sembari berdiri.
“Kamu sudah ada kandidat suami baru?” goda Aldrei.
“Ya,” jawab Neya sembarangan, tapi efeknya membuat wajah Aldrei berubah.
“Karena itu, dari sekarang kita harus jaga jarak,” lanjut Neya sebelum berbalik untuk meninggalkan ruangan.
“Aku pergi dulu, ada agenda di luar,” ucap Neya tenang.
“Egh, tunggu! Aku juga kembali ke kantor,” kata Aldrei menyusul.
Dengan santai Aldrei merangkul lengan Neya, menciptakan aura bahagia di lingkungan kantor yang mengira kehidupan rumah tangga bos mereka sangat romantis.
Biasanya Neya menganggap wajar tingkah Aldrei karena sejak kecil mereka sering bergelayutan, merangkul atau memeluk. Kedekatan fisik itu bahkan meningkat ketika keduanya menikah.
Tak hanya sekadar memeluk, mereka bisa berciuman bahkan menyatukan diri.
Mulanya mereka menganggap sebagai hubungan kasih sayang sahabat. Setelah menikah, Neya tahu Aldrei menganggapnya sekadar saling memuaskan kebutuhan biologis masing-masing meski dia selalu berharap sentuhan itu mengandung cinta.
Kini Neya tak mau berharap lagi.
“Al, jangan gini. Kita lagi proses cerai,” kata Neya pelan sembari menjauhkan diri.
“Kenapa kalau cerai? Sebelum nikah juga sudah kayak gini,” balas Aldrei tenang.
“Sebelum nikah kita bukan milik siapa-siapa, tapi sekarang berbeda,” kata Neya serius hingga Aldrei menegang.
“Kamu beneran sudah punya calon suami?” tebak Aldrei.
Sekejap Neya terdiam memandangi keluguan di wajah Aldrei yang membuatnya miris. Hampir diteriakkan nama Senna, tapi Neya menahan diri.
Sambil tersenyum, Neya mengedipkan sebelah mata lalu berbisik.
“Kalau waktunya pas, aku kenalin,” kata Neya sebelum meninggalkan Aldrei yang terpaku.
Baik Neya dan Aldrei menjalani pagi tanpa fokus. Neya banyak melamun saat menemui rekan bisnis di hotel, Aldrei pun tidak konsentrasi memeriksa laporan karyawan di kantornya.
Ucapan Neya tak hanya mengganggu Aldrei, tapi juga dirinya sendiri. Aldrei gelisah, Neya pun sama.
“Siapa yang harus kukenalkan?” gerutu Neya dalam hati.
Menjelang makan siang, Aldrei memeriksa ponsel, berharap Neya mengajak keluar seperti biasa.
Namun, Neya tidak menghubungi seperti hari-hari sebelumnya. Biasanya, bila tak makan siang bersama, Neya akan memberi kabar.
“Al keterlaluan, belum 24 jam kamu keluar dari rumah, dia sudah berani masukkan Senna,” gerutu Zerrin.
Keduanya menikmati makan siang di restoran hotel yang tidak terlalu ramai. Mengambil tempat di sudut, Neya memandangi parkiran sembari menyandarkan kepala di dinding kaca karena merasa pening.
“Karena itulah, cerai jalan terbaik,” gumam Neya.
“Tapi nggak gitu juga. Senna nggak tahu malu banget,” marah Zerrin.
Neya tak terlalu menanggapi Zerrin karena sedang teringat pertengkaran dengan Senna empat tahun lalu.
Saat itu Neya datang sendirian ke rumah Senna untuk memberi kado ulang tahun ke 21 yang terlewat karena sebelumnya Neya ada di Jepang. Tak disangka, Neya mendengar suara ayah Senna.
“Ya sudah, bagus! Kalau hamil anak Aldrei, keluarganya akan menerimamu! Kita bisa melunasi utang!”
Neya terpaku, tetap bersembunyi sampai ayah Senna pergi, tapi Senna memergokinya.
“Ney ….”
“Sampai hati kamu menjebak Aldrei?”
“Bukan begitu. Aku ….”
“Kamu punya masalah apa, sih? Kalau butuh uang, bilang! Kami nggak pernah biarin kamu kesusahan. Kenapa kamu tega ….”
“Aku nggak menjebak Aldrei!”
“Nggak atau belum?!”
Senna berusaha menjelaskan, tapi Neya langsung pergi. Malamnya mereka bertemu lagi di danau perumahan Vranda, properti milik keluarga Adiraja.
Tak bicara apa-apa, Neya malah meneguk alkohol sampai setengah mabuk, sementara Senna diam saja menemani.
“Ayahku nggak bermaksud begitu, dia cuma lagi pusing. Kami punya utang, ginjal ibuku jadi jaminan,” kata Senna membuka suara.
“Berapa?” balas Neya sebelum kembali membasahi tenggorokan dengan alkohol.
Senna diam saja, tapi perlahan berdiri diikuti Neya.
“Berapa utangmu?!” bentak Neya.
“Ney ….”
“Aku bayar utangmu, jangan jual diri, apalagi sama Al!” sela Neya membentak Senna yang terpaku.
Senna menahan napas sesaat, tapi Neya malah menangis karena Senna termenung.
“Kamu … kalian sudah …. Kamu sudah menjebaknya?” tanya Neya.
“Aku nggak menjebak, dia mabuk ….”
“Mabuk?” sela Neya sebelum mendorong Senna dengan kuat.
“Ney, bisa nggak sih kamu dengerin aku dulu?!” teriak Senna balas mendorong Neya.
Keduanya terlibat aksi dorong mendorong hingga tanpa sadar mendekati ujung danau. Neya yang tak terima pada kenyataan Senna dan Aldrei telah tidur bersama, meluapkan sakit hatinya dengan meracau. Senna pun terus berusaha membela diri.
“Kenapa harus jual diri? Kenapa?!” teriak Neya.
“Aku nggak jual diri, Ney!” balas Senna tak mau kalah.
“Kamu tahu kami dijodohkan!” teriak Neya sambil menangis.
“Ney, aku minta maaf. Aku ….”
“Kurang baik apa kami sama kamu?! Kami nggak pernah mengabaikan masalahmu, kami membantumu. Kamu ….”
“Aku nggak pernah mengemis bantuanmu?!” sela Senna ikut berteriak.
“Menjual diri apalagi menjebak sahabat sendiri itu nggak lebih baik daripada mengemis!” marah Neya.
“Aku nggak menjual diri!” sahut Senna.
“Apa namanya kalau nggak menjual diri? Kamu jebak Al supaya hamil dan nikahin kamu? Supaya bisa bantu ekonomi keluargamu? Berapa kali kubilang, sekalipun nggak punya apa-apa, jangan gadaikan harga diri! Kamu ….”
“Apa di pikiranmu aku serendah itu? Selama ini kamu memandang aku nggak punya harga diri?” sela Senna sambil menangis.
“Apa lagi namanya? Kamu ….”
“Aku nggak menjebaknya, aku juga cinta Al!” sela Senna menyentak Neya yang terpaku.
“Apa kamu bilang?” tanya Neya dengan suara pelan yang menusuk Senna.
“Kenapa harus Al?” tanya Neya terluka.
Senna diam saja, tapi air matanya jatuh berderai. Pikiran yang kacau membuat Neya linglung hingga terus melangkah mundur diikuti Senna yang mendekatinya untuk memberi penjelasan.
“Ney, dengerin aku …. Neya!”
Senna berteriak kaget sembari menarik tangan Neya karena Neya yang linglung nyaris terjatuh ke danau.
“Aku benci kamu, Senna!” teriak Neya emosional.
Detik itu juga Senna melepaskan tangan Neya hingga tubuh Neya terjungkal ke danau.
Namun, dua detik berikutnya Senna juga ikut jatuh ke danau seiring dengan teriakan dari Zerrin dan Aldrei yang mencari keberadaan Neya.
Neya ingat dengan jelas suara panik Zerrin dan Aldrei yang mencarinya. Dia juga ingat rasa dingin air danau yang menggigit serta hal menyakitkan yang terjadi sesaat sebelum matanya terpejam.
Aldrei melompat ke danau menyelamatkan Senna tanpa menoleh ke arah Neya.
“Neya tenggelam!”
Teriakan Zerrin saat melompat ke danau menjadi hal terakhir yang didengar Neya sebelum kesadarannya hilang.
Neya berhasil diselamatkan, tapi koma dua hari, setelahnya Neya mengalami kelumpuhan bahkan sempat lupa kronologis kejadian saat tenggelam.
Keluarga Neya dan Aldrei menyalahkan Senna yang dianggap mencelakai Neya. Aldrei bahkan dimarahi habis-habisan oleh keluarga Adiraja karena memilih menyelamatkan Senna daripada Neya.
Keluarga Adiraja semakin merasa bersalah tatkala kedua orang tua Neya meninggal dalam kecelakaan helikopter saat akan menjemput dokter ahli untuk mengobati kelumpuhan Neya.
“Kamu sakit?” tanya Zerrin menyentak lamunan Neya.
“Makasih ya,” jawab Neya membuat Zerrin menghela napas.
“Ingat kejadian di danau lagi?” tanya Zerrin sembari menyentuh tangan Neya yang hangat.
“Kalau kamu nggak menolongku, hari ini aku nggak ada di sini,” jawab Neya.
“Karena itu jangan sia-siakan hidupmu. Makan!” balas Zerrin sembari menyodorkan potongan kentang ke mulut Neya.
Neya tertawa lalu membuka mulut dengan manja diiringi omelan Zerrin.
“Badanmu agak hangat, setelah ini pulang aja, istirahat,” kata Zerrin.
“Yes, Mam,” balas Neya sebelum menerima suapan kedua dari Zerrin.
Neya masih menerima suapan sambil tertawa ketika mendadak ekspresinya berubah. Sontak Zerrin mengikuti arah pandang Neya dan langsung memelotot menatap Senna yang baru keluar dari ruang privat bersama Aldrei.
“Ney, katanya ada meeting!” ucap Aldrei cepat sembari mendekat.
Neya dan Zerrin tak menanggapi, keduanya sama-sama diam memperhatikan Senna yang ikut mendekat.
“Apa kabar kalian?” tanya Senna gugup.
“Masih hidup,” jawab Zerrin singkat sembari menarik tangan Neya lalu mengajaknya berdiri.
“Ayo pergi,” kata Zerrin cepat sambil menarik Neya mengikuti langkahnya, tapi Aldrei menahan tangan Neya.
“Senna bekerja di kantorku, kami baru aja ketemu rekan bisnis,” kata Aldrei tenang.
“Oh, ya,” balas Neya sambil melepaskan tangan Aldrei lalu mengikuti Zerrin, tapi Senna menahan tangannya.
“Apa kamu masih nggak rela aku hidup normal?” tanya Senna.
Bab 4
“Kamu kira selama ini Neya hidup normal?!”
Suara tinggi Zerrin membuat yang lain terdiam. Sadar bisa terjadi peperangan, Aldrei menarik paksa Zerrin meninggalkan Senna dan Neya.
“Kamu apa-apaan, sih? Ngapain nyuruh aku pergi?!” marah Zerrin saat berada di luar restoran.
“Mereka perlu bicara,” kata Aldrei keras kepala.
“Perlu bicara apa? Yang ada Ney bisa disakiti lagi,” gerutu Zerrin.
“Zer, Senna itu teman kita juga. Kenapa kamu terus nyalahin dia?” tanya Aldrei putus asa.
“Terus Ney yang salah?” marah Zerrin.
Aldrei menahan napas sesaat, agak pening mengulang drama masa lalu di mana Senna disalahkan atas kecelakaan yang terjadi pada Neya.
“Aku yang salah,” sesal Aldrei.
Zerrin menarik napas panjang, bosan mendengar penyesalan Aldrei. Namun, di sisi lain Zerrin juga tak bisa sepenuhnya menyalahkan sang sahabat karena Aldrei bertindak sesuai logika.
Yang Aldrei tahu, Neya bisa berenang, sementara Senna tidak. Aldrei tak menyadari Neya dalam keadaan mabuk dan tidak bisa mengendalikan diri dalam danau hingga memutuskan menyelamatkan Senna.
Meski Neya pun bersalah karena mabuk, keluarga Adiraja dan Zerrin tetap menyudutkan Senna yang dianggap mencelakai Neya.
“Itu kecelakaan, Zer. Jangan salahkan Senna terus,” pinta Aldrei.
Tak bicara apa pun, Zerrin meninggalkan Aldrei yang menghela napas berkali-kali.
Di restoran, Neya dan Senna duduk berhadapan dengan canggung.
“Setelah hari itu, aku dan kedua orang tuaku berpindah-pindah tempat sampai aku wisuda,” kata Senna membuka percakapan.
Neya diam saja karena tahu Senna yang otaknya cemerlang wisuda lebih cepat bahkan menjadi lulusan terbaik, tapi setelahnya Senna menghilang ke luar negeri.
“Keluargaku pindah ke kampung. Aku kerja sekaligus melanjutkan S2 di New Zealand,” lanjut Senna.
“Aldrei banyak membantuku,” kata Senna ragu.
Neya masih tak berkomentar karena juga sudah tahu fakta bantuan Aldrei yang diam-diam dilakukan tanpa sepengetahuan para sahabat apalagi keluarga Adiraja.
Aldrei yang mengatur kepergian Senna ke luar negeri, mencarikan pekerjaan, kampus, tempat tinggal. Di awal kepindahan, Aldrei juga memberi nafkah berbulan-bulan.
Aldrei membantu Senna mewujudkan cita-citanya mengenyam pendidikan tinggi di luar negeri, meraih gelar membanggakan yang menjadi modalnya kembali ke Hima. Dengan prestasi dan pengalamannya, Senna langsung menjadi top manager di Adja Group yang bertanggung jawab mengurus kerjasama dan kontrak bisnis.
“Selama pernikahan kalian, hubungan kami hanya teman,” ucap Senna lagi.
Senna menahan napas sesaat, apalagi ketika Neya berdiri.
“Ney ….”
“Kuliahku tertunda karena lumpuh. Saat wisuda, aku masih di kursi roda bahkan tanpa orang tua karena mereka meninggal saat mencari dokter untukku,” kata Neya menyela dengan pelan.
“Aku sudah bisa jalan, tapi nggak sepenuhnya normal. Aku nggak bisa meneruskan impian menjadi pedansa internasional,” lanjut Neya.
“Aku kehilangan satu anak perusahaan karena masalah beruntun akibat kematian papaku,” kata Neya lagi.
Senna menunduk, setetes air jatuh di tangannya. Neya melihatnya dan langsung memalingkan wajah.
“Kamu tahu apa yang paling sakit dari semua itu?” tanya Neya sambil menatap Senna yang juga memandanginya dengan mata basah.
“Semua itu disebabkan oleh orang yang pernah kuanggap sebagai saudara sendiri,” kata Neya tajam dan dingin.
“Ney …”
“Hanya kamu yang tahu alasan melepas tanganku dan ikut melompat ke danau. Kamu takut Aldrei menyelamatkanku? Ingin memastikan aku benar-benar mati?” tanya Neya dingin sebelum meninggalkan Senna yang menyangga kepalanya dengan tangan kanan lalu menangis.
Sebenarnya Neya juga menangis, tapi disekanya mata yang basah lalu terburu meninggalkan restoran melalui jalur yang berbeda agar tidak bertemu Aldrei yang kembali ke restoran.
Melihat Senna sendirian dan sedang menangis, Aldrei langsung duduk di sampingnya.
“Sen ….”
“Apa yang harus kulakukan agar Ney maafkan aku?” lirih Senna.
Aldrei menghela napas panjang memperhatikan mata dan pipi Senna yang basah sembari mengingat hidup Senna yang berantakan setelah diintimidasi keluarga Adiraja yang marah atas kecelakaan di danau.
Saking marahnya pada Senna, keluarga Adiraja bahkan mengancam mengeluarkan Senna dari kampus. Mereka juga mendesak Senna menjauhi Aldrei dan Neya.
Aldrei tahu Neya terluka, tapi dia juga melihat Senna menderita. Tak mau berkonflik dengan keluarga, Aldrei diam-diam membantu Senna.
“Al, aku kerja di perusahaan lain aja,” kata Senna cepat sembari berdiri.
Namun, Aldrei menahan tangan Senna, memaksanya kembali duduk kemudian memeluknya begitu saja.
“Aku sudah janji akan bantu kamu,” bisik Aldrei.
Air mata Senna makin banyak mengucur, begitu juga air mata Neya.
Berdiri di luar restoran, Neya dan Zerrin bisa melihat bagian dalam restoran dari dinding kaca.
“Ney, sabar,” kata Zerrin sambil merangkul Neya yang gemetaran karena melihat Aldrei yang memaksa memeluk Senna.
“Kalau aku nggak ada, mereka nggak perlu terus bersembunyi. Aldrei nggak akan bimbang,” gumam Neya sebelum berbalik diikuti Zerrin yang merasa sedih.
Keduanya berjalan linglung menuju mobil, tak melihat Aldrei terburu melepaskan pelukan karena teringat pada Neya.
“Sen, maaf,” kata Aldrei pelan dengan tangan gemetar.
Bab 5
Malam hari di Sunvil terasa lebih sunyi. Nyaris tak ada kendaraan lalu lalang dari penghuni perumahan yang tinggal dengan jarak berjauhan.
Zerrin mengutuk kesunyian Sunvil yang menurutnya mirip pemakaman, tapi Neya menyukainya.
“Mulai sekarang harus belajar menerima kesepian,” kata Neya santai menanggapi Zerrin yang berencana menginap.
“Kamu melarangku datang?” tanya Zerrin tersinggung karena sudah berada di gerbang utama.
“Pulanglah, suaramu mengganggu meditasi,” usir Neya.
“Benar-benar teman nggak tahu diuntung!” omel Zerrin, tapi sembari memundurkan mobil untuk berbalik arah.
“Ya sudah, aku ke Paradise. Kalau butuh apa-apa, langsung telepon,” kata Zerrin mengalah.
“Zer, jangan mabuk terus,” nasihat Neya membuat Zerrin tertawa.
“Nasihat dari orang yang hampir mati tenggelam karena mabuk sungguh menggelikan,” kelakar Zerrin.
Neya hampir mengomel, tapi terdengar suara bel. Dengan dahi berkerut Neya meninggalkan balkon sembari menutup telepon.
“Siapa ….”
Suara Neya terputus saat melihat pintu yang dibuka Bibi Uma didorong paksa oleh Aldrei. Sambil tersenyum, Aldrei menoleh ke lantai dua.
“Ngapain kamu ke sini?” tanya Neya kaget.
“Ada makanan sisa nggak? Aku lapar,” jawab Aldrei.
“Di luar Sunvil ada banyak restoran,” kata Neya tanpa berniat mendatangi Aldrei.
“Masih ada sup daging, mau Pak?” tanya Bi Uma membuat Neya jengkel, apalagi dengan tak tahu malu Aldrei melenggang ke ruang makan.
“Ney, aku makan ya! Besok aku ganti pakai makanan lain. Kamu mau apa?” tanya Aldrei berteriak.
Neya tak menjawab, ditinggalkannya tangga lalu beralih ke ruang bersantai di lantai dua. Neya tak mau menemani Aldrei seperti yang biasa dia lakukan selama menjalani pernikahan, padahal Aldrei berharap Neya menyusulnya.
Mulanya Aldrei makan dengan santai, tapi saat menyadari Neya tak menyusul, Aldrei makan dengan cepat lalu menemui Neya yang duduk dengan mata terpejam di ruang keluarga dengan pintu balkon terbuka.
“Kenapa dibiarin terbuka, anginnya kencang,” kata Aldrei sembari menutup pintu.
Mata Neya masih terpejam, sengaja menghindari menatap Aldrei. Perlahan Aldrei berjongkok di samping Neya lalu mengambil tangannya.
“Kamu nggak terima Senna kerja di tempatku?” tanya Aldrei pelan.
“Aku nggak pernah menghasut orang lain ikut membenci apa yang nggak kusukai,” jawab Neya tanpa membuka mata.
“Bisakah nggak membenci Senna?” tanya Aldrei masih dengan suara pelan.
“Anak presdir Lowa itu seniornya Senna. Dia bantu aku dapatkan kontrak dengan mereka,” ucap Aldrei.
Perlahan mata Neya terbuka, langsung menatap Aldrei yang tetap tenang.
“Kejadian empat tahun lalu ….”
“Al, bisakah nggak melangkahi batas privasi?” sela Neya serius.
“Aku nggak mempermasalahkan bantuanmu untuknya, tapi jangan paksa aku kembali menyukainya seperti kamu yang selalu membelanya,” lanjut Neya.
Wajah Aldrei sekejap berubah, ada ketegangan yang dirasakan Neya. Jelas Aldrei kaget karena menduga Neya mengetahui dirinya membantu kehidupan Senna di New Zealand.
“Aku lumpuh, dia melanjutkan S2. Aku kehilangan orang tua, dia hidup nyaman di New Zealand bahkan nggak terpikir datang ke pemakaman. Aku tutup mata semua itu atas bantuanmu,” kata Neya.
Ada banyak pertanyaan dalam kepala Aldrei tentang seberapa jauh Neya mengetahui hal yang dia sembunyikan, tapi Aldrei belum berani bertanya.
“Maaf,” kata Aldrei pelan disambut gerakan cepat Neya menepis tangannya seraya berdiri.
“Ibunya gangguan mental, dirawat di kampung,” kata Aldrei membuat langkah Neya terhenti.
“Bapaknya korban perdagangan ginjal ilegal,” lanjut Aldrei sambil menatap punggung Neya.
“Aku tolong dia duluan karena nggak tahu kamu mabuk dan … saat itu Senna hamil,” ucap Aldrei membuat jantung Neya sempat berhenti berdetak.
Neya tidak tahu Senna hamil. Seketika pening menyerang kepalanya yang sudah terasa sesak.
“Karena kebodohanku, Senna hamil anakku,” gumam Aldrei kembali menusuk hati Neya.
“Setelah kejadian itu dia terus diintimidasi keluargaku, Senna stres hingga keguguran. Saking depresi, dia mencoba bunuh diri! Ney, semua itu salahku. Salahku!” kata Aldrei dengan nada cukup tinggi.
“Senna nggak punya siapa-siapa. Bapaknya hilang dan ditemukan dalam keadaan ginjal sudah terjual, ibunya kena gangguan mental karena dia hamil di luar pernikahan. Adiknya bahkan ikut dibully sampai harus pindah sekolah. Aku bersalah sama dia,” ucap Aldrei sembari perlahan mendekati Neya yang masih membeku.
“Senna nggak pernah minta dikirim ke luar negeri, aku yang usir karena di sini dia nggak mungkin bisa hidup tenang,” kata Aldrei sembari meraih tangan Neya.
Perlahan Neya menoleh menatap Aldrei yang matanya basah.
“Kalau merasa bersalah, kenapa kamu nggak menikahinya?”tanya Neya dingin.
“Ney, itu karena ….”
“Karena kamu takut kehilangan Adja Group?” sela Neya membuat mata Aldrei membesar.
“Kalau menentang Oma, kamu kehilangan kuasa dan nggak punya harta untuk mengurusnya. Pilihanmu setuju menikahiku agar memiliki kuasa dan bisa terus membahagiakannya, kan?” tuduh Neya.
“Ney ….”
“It’s okay, Al. Itu bukan urusanku. Apa pun yang kamu perbuat untuk Senna, nggak ada hubungannya sama aku, tapi jangan paksa aku kembali berteman dengannya,” sela Neya lagi.
“Hubunganku dengan Senna sudah hancur, aku nggak bermaksud menghancurkan persahabatan kita juga. Cukup sampai di sini, jangan bahas lagi,” kata Neya sembari melangkah pergi, tapi Aldrei menarik tangannya.
“Aku nggak membicarakan persahabatan, tapi pernikahan kita,” kata Aldrei cepat.
“Kamu mendadak minta cerai karena marah aku membantu Senna?” tanya Aldrei.
“Ney, percaya aku. Selama ini aku prioritaskan kamu. Aku ….”
Aldrei terdiam karena Neya tertawa.
“Kamu punya hak berbuat baik sama siapa aja sekalipun itu musuhku,” kata Neya dengan tenang.
“Tapi kamu bertingkah begini karena merasa aku memihak Senna, kan?” desak Aldrei.
“Perceraian kita nggak ada hubungannya sama kebaikanmu untuk Senna. Aku nggak punya hak merasa iri atas sikapmu ke Senna. Hubungan kita sebatas teman baik. Sudah cukup aku bantu kamu mendapatkan Adja Group, aku capek. Aku mau melanjutkan hidup sendiri,” kata Neya sambil menepis tangan Aldrei.
“Jadi, kamu nggak peduli kalau Oma mendepakku dari Adja Group?” tanya Aldrei.
Pertanyaan itu terkesan tak tahu diri dan Aldrei menyadarinya. Namun, tetap saja dia lontarkan pertanyaan gila itu demi mendapatkan jawaban Neya.
“Tenang aja, aku nggak akan menjatuhkanmu di depan Oma,” jawab Neya sebelum melangkah ke kamar lalu mengunci pintu.
Aldrei tak mengejar, tapi menjambak rambut dengan frustrasi. Pelan-pelan Aldrei mendekati kamar Neya, tapi belum sempat mengetuk, ponselnya bergetar.
“Pak, pertemuan dengan Lawa Group dibubarkan, Bu Senna dibawa ke rumah sakit karena keracunan kepiting.”
Laporan sekretaris Aldrei membuatnya memelotot, tanpa sadar Aldrei memekik.
“Kan sudah saya ingatkan, jangan ada kepiting dalam setiap pertemuan karena Bu Senna alergi!” teriak Aldrei sebelum berlari menuruni tangga dan tergesa menyusul ke rumah sakit.
Di dalam kamar, Neya berusaha memejamkan mata untuk mengurangi sesak yang menyerang dada. Apalagi saat satu jam kemudian Zerrin menelpon.
“Sudah gila kali ya suamimu itu! Ternyata dia umumkan di kantor kalau nggak boleh ada kepiting dalam setiap acara yang melibatkan Adja Group. Berita dia pecat sekretaris Senna yang salah pesan makanan sudah menyebar. Kamu tahu apa rumor yang beredar? Aldrei cinta banget sama Senna!”
Neya diam saja hingga Zerrin menjadi panik.
“Ney? Kamu baik-baik aja? Aku ke rumah ya?” teriak Zerrin sambil menyambar kunci mobil.
“Tadinya aku tidur dengan tenang, teriakanmu bikin terusik. Suami siapa, sih? Aku nggak punya suami lagi. Kami sudah cerai! Mau dia umumkan larangan kepiting atau boikot kepiting di Hima, aku nggak peduli!” balas Neya sebelum mematikan sambungan telepon.
Namun, setelahnya Neya menangis.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
