Finding Handsome Dad - 7 (Free)

4
0
Deskripsi

 Sulastri Love Story

"Jadi Sulastri itu bodoh karena mau dibohongi Darim pakai harta? Kasihan ya Pak, tersiksa lahir batin. Harusnya jadi wanita itu nggak melulu memandang harta," ucap Garin penuh keprihatinan sembari melirik Ti yang berpegangan kuat di lengan Ben. 

“Keparat banget sih cowok ini? Ngapain nyindir-nyindir?!” gerutu Ti dalam hati. 

7. Sulastri Love Story   

Kepala Ti berdenyut, berbagai hal dengan cepat memenuhi otaknya membuat kecemasan menguasai diri Ti. Lututnya terasa lemas tatkala matanya memandang Ben yang mendekat dengan tangan terkepal. Ketika jarak Ben semakin dekat, kepala Ti semakin berat, seberat perutnya yang tiba-tiba terasa penuh.

Hoeeeeks! 

Ti muntah begitu saja dan dengan cepat tubuhnya meluncur terduduk di tanah. 

"Ti!" Ben segera menangkap tubuh Ti yang oleng dan gemetaran. 

"Ti, kenapa?" tanya Ben cemas karena dahi Ti berkeringat, kini Ti bahkan merasa sesak napas.

"Sayang? Aduh, kamu kenapa?" Ben tampak panik ketika Ti kembali muntah. 

"Ti, ayo kita ke dokter aja, kamu udah parah gini." 

Ben berusaha mengangkat Ti, tapi wanita itu tak mau berdiri. 

"Sebentar ... Sebentar …." Ti menahan tangan Ben hingga pria itu ikut terduduk di sebelahnya. 

"Ti, kamu tuh sempoyongan terus, untung aja tadi ditolongin Garin, kalau nggak udah jatuh ke sawah!" kata Ben setengah kesal, tapi ucapan itu sukses membuat Ti menoleh. 

Rasa sesak yang menghimpit dada Ti perlahan lepas satu-persatu. 

"Aku ditolongin Garin?" tanya Ti. 

"Loh, kamu nggak sadar? Kalau tadi dia nggak nahan kamu, pasti sekarang kamu ada di lumpur ini!" jawab Ben. 

Bukannya Ti tak sadar ditolong Garin, Ti juga tahu pinganggnya dipeluk pria mesum itu. Ti bahkan ingat kata-kata yang dibisikkan Garin. Dan semua itu yang membuat Ti seketika lemas karena Ben melihatnya disentuh pria lain yang biasanya akan membuat petaka dalam hubungan mereka. 

Ti masih ingat dengan jelas semua pertengkaran yang berkaitan dengan pria lain yang berujung pada dilaporkannya Ben oleh Reno. Kala itu walau Ti berhasil membebaskannya, Ben justru menaruh curiga. 

"Apa yang kamu kasih ke dia sampai dia mau bebasin aku?!" tanya Ben marah, padahal kala itu Ti baru saja sembuh dari sakitnya.

"Apa? Maksud kamu apa?" tanya Ti bingung. 

"Kamu nggak jual badan kamu ke dia, kan?!" bentak Ben membuat hati Ti terluka dalam. 

"Sampai hati kamu berpikiran begitu. Kamu kira aku perempuan apa?!" Ti balas membentak.

Keduanya tak bertegur sapa selama seminggu hingga Ben jatuh sakit. Ben diopname, tak mau makan sampai Ti datang berkunjung. Berulang kali Ben meminta maaf dan bersumpah tidak akan mencurigai lagi. Ti bingung, tapi tak punya pilihan selain menerima Ben kembali. 

Namun, Ti menyadari Ben tak bisa berubah. Pria itu tetap berusaha sedemikian rupa menjaga Ti jauh dari jangkauan pria lain. Masalahnya, Ti juga tak bisa lari dari Ben. Pikiran kolot yang bercokol di benak Ti membuatnya bertahan di sisi Ben. 

Dalam benak Ti, pria yang mengambil keperawanannya harus menjadi suaminya. Ti tak mau menjelaskan pada suaminya nanti tentang siapa yang pernah tidur dengannya sebelum menikah. 

Kalau boleh mengulang waktu, Ti tak mau menyerahkan diri pada Ben. Selama berpacaran dengan pria lain, Ti selalu berhasil menjaga diri, tapi prinsip hidup Ti tumbang bersama Ben yang selalu menopang hidupnya. 

"Ti?!" Ben memeriksa wajah Ti yang matanya berair.

 "Kamu kenapa?" tanya Ben cemas. 

Ti tak menjawab melainkan justru menangis. Dipeluknya Ben dengan erat sambil meneteskan air mata berharap Ben tidak akan mengungkit kejadian Garin memeluk pinggangnya karena Ti tahu terkadang bila emosinya meledak, Ben bisa bertindak di luar logika. 

"Hey, are you okay, Sayang?" tanya Ben sabar. 

"Nggak, aku ... aku mau istirahat," jawab Ti pelan. 

Perlahan Ben menarik napas pendek lalu menghembuskannya sembari melihat ke sekeliling jalanan yang sepi. 

Memperhatikan Ti yang dalam keadaan lemah, Ben tahu tak mungkin kembali ke rumah Kamituwo Deman dengan berjalan kaki. Ben mau saja menggendong, tapi wanita itu menolak dengan alasan memalukan. Ketika sedang berpikir, Ben melihat sebuah becak di kejauhan. Senyumnya merekah lalu dia berbisik di telinga Ti.

 "Sayang, mau naik becak?"

Seketika Ti menoleh dan perlahan mengangguk pasrah. Ti dan Ben pernah naik becak ketika berlibur di Jogja. Namun, mereka tak pernah naik becak di pedesaan dengan pemandangan asri. 

Sensasi berada dalam becak yang menyusuri jalan dengan hamparan sawah di kanan kiri membuat Ti terpesona. Wajahnya perlahan berseri membuat Ben ikut lega. Pria itu membawa kepala Ti menempel di bahunya untuk menenangkan dirinya sendiri yang sempat dilanda emosi. 

Ben bukan tak marah pada pelukan Garin di pinggang Ti, emosinya sudah hampir meledak bila saja dia tak melihat Ti jatuh dan muntah. Keadaan Ti yang lemah mengingatkannya pada kejadian saat Ben membentak Ti yang tak sengaja diantar pulang teman kerjanya. 

Meski saat itu Ti mengatakan tak ada hubungan apa pun, Ben yang marah tak terima. Dengan emosi Ben menendang meja hingga kacanya pecah berkeping. Ti menangis ketakutan karena Ben mengancam akan memutuskan hubungan mereka. 

Entah apa yang membuat Ti tiba-tiba diserang kepanikan. Wanita itu sesak napas dan jatuh pingsan. Pratama marah besar ketika mengetahui putrinya sakit akibat bertengkar dengan Ben. 

Setelah mendengar ultimatum Pratama agar Ti meninggalkan Ben bila pria itu menyakiti hatinya, Ben berusaha keras mengubah dirinya agar tidak melukai hati Ti. 

Ben memilih membatasi ruang gerak Ti secara diam-diam agar tidak dicurigai sang kekasih. Ben bahkan meminta kawannya memindahkan Ti ke bagian yang hanya berisi wanita. Sebisa mungkin Ti tidak berurusan terlalu dalam dengan pria. Ben juga secara halus memaksa Ti pindah ke rumah kosong miliknya yang dilengkapi cctv. Ben tahu bila Ti menerima tamu pria yang untungnya tak pernah dilakukan Ti.

"Saudaranya Kamituwo Deman?" tanya pengendara becak memecah keheningan.

"Bukan, Pak," jawab Ben cepat. 

"Oh saya kira putrinya Dani,” balas tukang becak mengejutkan Ti dan Ben. 

"Dani?" tanya Ti berpura tak mengenal. 

"Iya, Kang Dani suaminya Sulastri yang rumahnya di pojok tadi,” jawab tukang becak. 

"Oh, siapa Sulastri, Pak?" pancing Ti. 

"Dulu kembang desa, tapi kasihan hidupnya menderita waktu nikah sama suaminya yang kaya itu. Tiap hari dikurung di rumah besar, tapi akhirnya bebas karena Dani nembak si Darim keparat itu,” jawab si tukang becak.

"Darim itu orang jahat?" tanya Ben asal. 

"Yo jahat toh, Mas. Ngapusi Sulastri. Katanya cinta, tapi tiap hari dibikin nangis! Untung ada Kang Dani. Mereka rukun itu sampai Sulastri meninggal dua tahun kemudian. Rumahnya dikasih ke Dani tapi yo dijual, dipakai buat kawin lagi di Sulawesi!” jawab si tukang becak bergosip.

Gosip yang membuat Ti menelan ludah karena tak mengerti betapa entengnya Dani berpindah ke lain hati. 

"Mereka nggak punya anak, Pak?" tanya Ti penasaran.

"Nggak ada. Sulastri nggak bisa punya anak. Saya kasihan sebenarnya sama Sulastri. Dani itu baik tapi ya gitu ceweknya banyak, tapi kata orang-orang, Sulastri itu nerima karena katanya Dani sudah berjasa bebaskan dia dari Darim. Aneh toh ya? Ngesakno. Sama Darim menderita, sama Dani ya katanya bahagia walau kita nggak tahu gimana perasaan Sulastri. Katanya sih ya karena Sulastri juga nggak bisa ngasih anak jadi dia biarin aja Dani main cewek lain."

Celotehan bapak tukang becak membuat Ti mengelus dada, kepalanya kembali pening apalagi ketika mereka sampai, matanya langsung disambut tatapan Garin yang berbinar. 

"Lah, Mbak Ti sakit?" tanya Bu Supi cemas karena Ben memapahnya ke teras. 

"Iya, Bu, maaf boleh saya bawa Ti ke kamar? Mau saya suruh minum obat dan istirahat," kata Ben meminta Izin.

"Oh ya silakan," Bu supi meminta Ti dan Ben mengikutinya.

 Sebelum masuk ke dalam rumah, Ti mendengar Garin bicara pada Kamituwo Deman. 

"Jadi Sulastri itu bodoh karena mau dibohongi Darim pakai harta? Kasihan ya Pak, tersiksa lahir batin. Harusnya jadi wanita itu nggak melulu memandang harta," ucap Garin penuh keprihatinan sembari melirik Ti yang berpegangan kuat di lengan Ben. 

“Keparat banget sih cowok ini? Ngapain nyindir-nyindir?!” gerutu Ti dalam hati. 

Namun, saat menoleh menatap wajah Ben, Ti menarik napas panjang. 

“Ben memang kaya, tapi kan aku nggak tersiksa lahir batin,” kata Ti berusaha memberi sugesti dirinya sendiri, apalagi saat merasakan perhatian Ben yang membantunya istirahat. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Finding Handsome Dad 8
2
0
The Curse of Being Good Looking       Baru pacar, bukan istri, masih sah dong kalau ditikung! kata Garin sambil tertawa lalu pria itu sibuk membuka ponsel.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan