
Alfa mendadak merasa hatinya bak balon yang meletus, Ellena merasa gelisah tak menentu, dan Biran yang sudah nyelonong sampai di ruang tengah terkejut menatap Alfa, sekejap dia merasa kepanasan.
Sementara Ayuni yang berdiri di dekat dapur menepuk jidat karena merasa anaknya bodoh tak terkira.
6. Menantu Idaman
"El, kamu sudah baikan?" tanya Shavia saat menyambut Ellena yang baru turun dari mobil.
"Kak, aku titip El, ya?" teriak Ayuni dari dalam mobil.
"Ya, pergilah." Shavia melambaikan tangan pada Ayuni yang sudah mengemudikan mobilnya lagi.
Shavia memeriksa dahi Ellena dengan saksama lalu mendesah kesal.
"Haruskah kita operasi plastik, El?" tanya Shavia dengan cemas.
Ellena tertawa lalu menggandeng lengan Shavia dengan rasa sayang.
"Kata Tante Rania ini nggak berbekas, kok, Tan,” jawab Ellena riang, tapi wajah Shavia langsung berubah.
"Rania?" tanya Shavia dengan nada tidak suka.
Ellena mengangguk sambil memeriksa isi tasnya, mengabaikan raut gelisah Shavia.
"Doktermu bukan Rania, kenapa dia bisa memeriksa kamu?" tanya Shavia heran.
"Tante Rania jenguk aku, Tan,” jawab Ellena sambil lalu.
Shavia hampir menceramahi Ellena, tapi tiba-tiba terdengar suara Alfa yang muncul di belakang Ellena sambil menenteng beberapa buku tebal.
"Cepat masuk kelas!"
"Aku nggak les!" jawab Ellena cepat.
"Ngapain kamu ke sini?" tanya Alfa sinis.
"Al!" Shavia menegur Alfa yang masih menatap tajam Ellena.
"Mama ngasih izin aku nggak les dua hari karena berkat seseorang jidatku masih nyeri!" jawab Ellena tak kalah sinis.
"Kam ...."
"Al, muridmu sudah menunggu di kelas, jangan menganggu Ellena lagi!" Shavia menengahi sembari menggandeng Ellena untuk meninggalkan Alfa sementara Ellena menjulurkan lidahnya dengan senyum kemenangan.
Alfa mengepalkan tangannya dengan kesal lalu pergi ke kelasnya untuk mengajar Biran dan Varren.
"Ellena nggak belajar?" tanya Biran.
"Dengarkan aku dan jangan bahas Ellena,” jawab Alfa ketus.
"Apa sakitnya parah? Bukannya dia sudah keluar dari rumah sakit?" tanya Varren.
Alfa menatap Varren dengan kesal. "Aku bilang fokus belajar!" jerit Alfa.
"Gimana kita bisa fokus setelah kasus yang menimpa Ellena?" tanya Varren sambil melipat tangan di dada.
"Varren, apa maksudmu?" tanya Alfa kesal.
"Kak, apa Kakak benar-benar nggak nyentuh Ellena?" tanya Varren curiga membuat Alfa membanting buku di hadapannya.
"Kak, Ellena bisa trauma karena perbuatan Kakak. Kakak ...."
"Yang trauma itu aku!" bentak Alfa.
Biran melongo menatap Alfa. "Trauma gimana? Ellena yang luka. Ah, aku kasihan ngeliat dia terkapar dua hari di rumah sakit tanpa ditemani Tante Ayuni!"
"Tante Ayuni nggak menjenguk sama sekali?" tanya Varren.
Biran mengangguk antusias lalu mengoceh lagi.
"Mama kamu yang menemaninya di rumah sakit, tapi walaupun Tante Shavia sangat baik, tetap saja kehadirannya nggak serupa dengan ibu kandung. Kata mamaku, tengah malam dia melihat Ellena menangis,” kata Biran mengoceh.
"Masa?" tanya Varren penasaran.
"Bayangkan Varren, dia hampir menjadi korban pemerkosaan di rumah ini, dahinya robek, lengannya memar dan ...."
Alfa tidak tahan mendengar ocehan kedua muridnya, dengan kesal dia meninggalkan kelas sambil membanting pintu. Varren dan Biran saling pandang lalu ber-high five dengan riang.
"Kita bebas!" sorak Varren gembira.
Biran segera mengunci pintu lalu dengan santai menaikkan kakinya ke atas meja, mengeluarkan sekotak rokok dan menyalakannya.
"Mau coba, Var?" tanyanya santai.
"Nggak," tolak Varren sembari memulai permainan di poselnya.
"Biran, kenapa kamu harus ikut kelas ini, sih? Kamu kan nggak dipaksa kayak aku sama Ellena?" tanya Varren.
"Aku senang ngikutin kalian berdua," jawab Biran.
"Kamu senang ngikutin Ellena," ralat Varren.
Biran tertawa membenarkan.
"Kan, kita teman. Aku ngerasa tersisih kalau kalian melakukan hal lain berdua,” kata Biran mengakui.
Varren tertawa lalu menggumam, "Memangnya kalau aku nikah sama Ellena kamu juga mau ngikutin?"
Biran seketika terdiam lalu menendang kaki Varren.
"Apa katamu? Kalian berniat menikah? Kalian pacaran?" tanya Biran tak percaya membuat Varren tertawa.
"Menurutmu?" tanya Varren.
"Kamu suka Ellena?" tanya Biran tak percaya.
"Aku menyukainya sejak bayi," jawab Varren santai.
Biran terdiam lalu kemudian Varren menyambung, "Sama seperti aku suka kamu. Kita saling menyukai, kan?"
Biran menarik napas lega dan Varren melihatnya.
"Tapi mungkin sukamu ke Ellena berbeda,” kata Varren menyelidik.
Biran menatap Varren dengan serius.
"Var, menurutmu Ellena suka sama siapa? Sampai sekarang dia nggak pernah cerita ke kita tentang siapa yang dia suka di sekolah,” kata Biran serius.
Varren meletakkan ponselnya lalu menatap Biran. "Ellena itu realistis."
"Maksudnya?" tanya Biran tak mengerti.
"Apa pentingnya suka sama orang lain kalau akhirnya kita semua hanya harus ngikutin keputusan orang tua?" tanya Varren.
"Maksudmu?" tanya Biran masih tak mengerti.
Varren tertawa menatap kebodohan Biran, dia mencondongkan dirinya ke depan untuk berbisik.
"Apa orang tuamu belum memberitahu siapa yang mereka jodohkan sama kamu?" tanya Varren.
Biran mengerutkan dahi lalu menggeleng.
"Memangnya kita hidup di jaman apa?" gerutu Biran.
"Jaman perjodohan itu abadi, Ran!” sahut Varen serius.
Biran tertawa lalu kembali mengembuskan asap rokok hingga Varren terbatuk.
"Ellena pasti membangkang sama pilihan orang tuanya! Aku berani bertaruh,” kata Biran yakin.
Varren ikut tertawa lalu menggumam, "Kita lihat aja nanti."
"Var, apa kamu tahu siapa yang dijodohkan sama Ellena?" tanya Biran tiba-tiba.
Varren hampir membuka mulut ketika terdengar gedoran di pintu. Biran bergegas menyembunyikan rokok dan menghilangkan jejak abunya. Varren melempar ponselnya ke dalam tas lalu membuka pintu.
Alfa berdiri dengan tampang dingin seperti biasa, kembali memberi pelajaran matematika kepada dua muridnya yang sama sekali tidak tertarik mendengarkannya.
**
"Biran, makan malam sekalian di sini ya?"
Shavia memanggil Biran yang hampir melangkah keluar rumah. Keduanya melewati dapur dan tercengang melihat Ellena.
"Loh, El?" Biran dan Varren menatap Ellena yang memakai celemek di sebelah Shavia.
"Apa?" tanya Ellena tanpa mengalihkan pandangannya dari masakan di hadapannya.
"Kamu di sini? Tapi kenapa nggak les?" tanya Biran.
"Kamu masih sakit, El?" tanya Varren membuat Shavia tersenyum.
"Ellena baik-baik aja. Sementara ini dia nggak boleh terlalu berpikir keras. Kelas kalian penyebab kalian berpikir keras, kan?" tanya Shavia membuat Biran dan Varren tertawa.
"Ayo duduk. Tante panggil om Bima dulu. Varren panggil kakakmu!" perintah Shavia.
Shavia dan Varren pergi meninggalkan Ellena dan Biran di ruang makan.
"El, kamu sudah sembuh?" tanya Biran.
"Lumayan,” jawab Ellena tanpa menoleh.
"Kalau nggak les, kenapa kamu ke sini?" tanya Biran.
Ellena mendongak menatap Biran lalu tertawa.
"Memangnya kenapa kalau aku ke sini? Ini rumah keduaku!" jawab Ellea santai.
"Tapi El …." Ucapan Biran terhenti oleh kedatangan keluarga Varren yang langsung menarik kursi masing-masing hingga tersisa Ellena yang belum mendapat tempat duduk.
"Duduk, El!" kata Bima pada Ellena yang terpaku menatap kursi kosong di sebelah Alfa.
"Mau tukar tempat?" tanya Varren, tapi Ellena menggeleng lalu dengan enggan duduk di sebelah Alfa.
"Wah, hari ini masakannya spesial ya?" tanya Bima bersemangat.
"Ya, spesial karena mama dibantu Ellena. Jarang-jarang kalian bisa makan masakan Ellena, kan? Mama nggak nyangka Ellena pintar di dapur!" kata Shavia bangga membuat Alfa tersedak.
"Belum dirasain, jangan terlalu memuji!" kata Alfa.
"Hm, enaknya!" kata Bima tiba-tiba membuat yang lain penasaran dan ikut mencoba masakan kolaborasi Ellena dan Shavia.
"Nah bener, kan? Aduh, El, kamu ini calon menantu idaman!" kata Shavia bersemangat membuat Ellena tersipu.
Shavia terlalu sering memujinya, sesuatu yang jarang dia dapatkan dari Ayuni.
Alfa menatap makanan dengan enggan dan semakin enggan karena melihat Biran dan Varren terlalu bersemangat ikut memuji masakan yang tersaji.
Perlahan Alfa mulai makan dan lidahnya terasa kelu karena merasa masakan Ellena memang lezat.
"Enak kan, Al?" tanya Shavia.
"Biasa aja," jawab Alfa berdusta membuat Ellena tersenyum kecil.
"Gimana proses belajar kalian? Apa ada kemajuan, Al?" tanya Bima.
"Varren bisa lulus dengan mudah, Biran bisa lulus kalau berusaha sedikit lagi, Ellena butuh keajaiban untuk bisa lulus,” jawab Alfa membuat Ellena tersedak dan seketika meletakkan sendoknya.
"Al, kamu ini!" Shavia menegur Alfa lalu menatap Ellena.
"El, jangan terlalu dipikirkan, hidup itu nggak melulu soal ujian. Sekalipun kamu nggak lulus ujian, hidup kamu tetap akan bahagia! Tante jamin itu!" kata Shavia menghibur.
"Menantu idaman apa yang nggak lulus ujian?" sindir Alfa membuat Bima menatapnya tajam.
"El, kamu pasti bisa lulus!" kata Bima menyakinkan.
"Kalau aku nggak lulus, pasti karena sumpah seseorang yang nggak ikhlas ngajarin aku!" jawab Ellena kesal.
Shavia dan Bima tertawa lalu dengan tenang Shavia menghibur Ellena lagi.
"El, hanya satu orang yang mendoakanmu nggak lulus lebih banyak yang mendoakan kelulusanmu. Kamu pasti lulus!"
Ellena tertawa lalu kembali mengangkat sendok. "Tante benar, untuk apa memusingkan satu hama penganggu hidupku!"
Alfa sudah sangat kesal, tanpa sadar dia mencubit paha Ellena yang berada di bawah meja.
"Aduh!" Ellena spontan menjerit.
"Kenapa, El?" tanya Shavia curiga karena melihat tangan Alfa berada di bawah meja.
"Nggak apa, Tan," jawab Ellena menutupi perbuatan Alfa.
Sementara Biran dan Varren memperhatikan wajah Ellena yang juga menatap keduanya seakan memberi kode keras.
"Balaskan dendamku!"
***
"Kenapa kamu izinkan Ellena menginap di sana lagi?" tanya Pram pada Ayuni yang baru saja naik ke tempat tidur.
"Nggak ada pilihan, Pram. Ellena bahagia di sana, aku juga harus ngurus Manda,” jawab Ayuni.
"Kamu bilang nggak menyetujui perjodohan Ellena, kenapa masih membiarkan Ellena dekat dengan keluarga Bima?" tanya Pram lagi.
"Kamu benar, kita masih bergantung pada keluarga mereka. Nggak mungkin kita tiba-tiba menjauhkan Ellena dari kehidupan mereka. Kak Shavia bisa sakit,” jawab Ayuni dengan tenang.
"Yun, aku takut kalau kejadian yang sebenarnya kemarin Alfa memang berniat jahat ke Ellena,” kata Pram tiba-tiba.
Ayuni terdiam lalu menatap serius Pram. "Pram, bisakah kita menukar perjodohan itu dengan Alfa?"
Pram memicingkan mata dengan kaget lalu menggeleng.
"Kamu gila? Mereka menginginkan Ellena untuk Varren karena kondisi Varren yang ...."
"Aku nggak ikhlas Ellena mengurus Varren, anakku terlalu berharga untuk menjadi istri pria penyakitan!" sela Ayuni.
Pram menarik napas, dilema menghadapi permintaan keluarga Bima. Hidupnya berada di bawah kekuasaan Bima. Selama ini keluarga itu sangat baik pada keluarganya, Ellena bahkan dianggap anak sendiri. Menolak perjodohan mereka sama artinya menyakiti hati pasangan suami istri itu, tapi di sisi lain Pram tidak tega memaksa Ellena menerima perjodohan.
Pram tahu Ellena sulit diatur kecuali dia memang mencintai Varren dan menurut Pram hal itu tidak mungkin terjadi.
"Bagaimana kalau ternyata Alfa yang menyukai Ellena?" gumam Ayuni membuat Pram menoleh.
"Setahuku sejak kecil Alfa membenci Ellena,” jawab Pram membuyarkan lamunan Ayuni.
Ayuni menhela napas panjang lalu memejamkan mata. "Jangan lupa selalu doakan kebahagiaan Ellena, kita masih punya waktu,” pinta Ayuni penuh harap.
Pram tersenyum lalu memeluk istrinya.
"Setiap malam aku selalu mendoakan kebahagiaan keluarga kita, maaf Yun, karena membuatmu nggak bahagia,” bisik Pram.
Ayuni tertawa lalu berbalik untuk mencium Pram.
"Kamu dan anak-anak sumber bahagiaku. Asal Manda dan Ellena bahagia, aku sudah cukup, Pram,” balas Ayuni.
Pram tersenyum lalu mengeratkan pelukan.
"Besok jemput Ellena, kita makan malam di luar. Rasanya sekarang aku jarang ketemu anak itu,” kata Pram.
Ayuni tak menjawab, dia kembali memejamkan mata untuk menenangkan diri.
"Ellena nggak boleh menikah dengan Varren!" tekad Ayuni dalam hati.
7. Princess
"Kak Al!"
Ellena dan Varren menjerit karena Alfa secara tiba-tiba mematikan TV yang sedang ditonton Ellena dan Varren.
"Sudah malam, tidur sana!" Alfa mengusir Ellena yang sedang tertidur di kaki Varren.
"Nanggung, Kak!" Ellena memohon pada Alfa untuk mengembalikan remote TV.
"Tidur!" kata Alfa tegas membuat Varren menarik kaki Alfa.
"Kak, plis!" Varren ikut memohon.
"Al!" Terdengar suara Shavia yang menyela keributan.
"Ya, Ma?" jawab Alfa mengubah nada suaranya.
"Kamu apakan lagi adikmu?" tanya Shavia.
"Mereka nonton film porno, Ma!" lapor Alfa membuat Ellena dan Varren menjerit bersamaan.
"Bohong!"
Shavia mendekat lalu mengambil remote di tangan Alfa.
"Ma, ini sudah malam, besok mereka sekolah, kan?" tanya Alfa mengingatkan.
"Kamu juga besok kuliah, tidur sana!" Shavia mengusir Alfa lalu menyerahkan remote ke tangan Ellena yang langsung bersorak.
"Mama!" Alfa memprotes, tapi Shavia tak mendengarkan, dia malah ikut duduk di sofa, menonton bersama Varren dan Ellena.
"Ambilkan tas Ellena!" perintah Shavia pada Varren yang langsung bergegas mengambil tas Ellena.
"El, sini, Tante oles salepmu,” perintah Shavia pada Ellena.
Ellena menurut, bergegas dia mendekati Shavia yang menunjuk pahanya meminta Ellena berbaring di sana.
Perlahan Shavia membuka lengan baju Ellena dan mengoles salep dengan hati-hati. Varren dan Alfa ikut memperhatikan memar Ellena yang mulai memudar.
"Sakit, El?" tanya Shavia dengan rasa sayang.
"Sakit," jawab Ellena sambil tetap serius menatap TV.
"Obatmu sudah kamu minum?" tanya Shavia sambil memeriksa dahi Ellena.
"Lupa, Tan,” jawab Ellena kaget.
"Al, ambilkan air putih!" perintah Shavia membuat Alfa mendegus dongkol.
"Suruh dia ambil sendiri! Manja banget!" tolak Alfa.
"Al!" Shavia membentak Alfa.
"Yang bikin Ellena begini, kamu, kan?" kata Shavia mengingatkan.
Alfa menggerutu lalu bergegas mengambil segelas air karena Shavia mengancam akan memotong uang sakunya bila menolak.
Varren terkikik melihat kekesalan Alfa meladeni ibunya. Sambil menahan amarah, Alfa membanting gelas berisi air ke meja di hadapan Ellena.
"El, perbannya mau diganti sekalian?" tanya Shavia lagi
"Aku bisa sendiri kok, Tan," jawab Ellena dengan senyum manis.
Shavia menggeleng lalu perlahan mencabut plester di dahi Ellena hingga Ellena meringis menahan sakit.
"Al, tolong ambilkan kotak obat!" Shavia kembali memerintah.
"Ma!" Algfa memberontak, tapi tak berdaya ketika melihat tatapan Shavia.
"Tolong," kata Shavia dengan dingin dan lagi-lagi Alfa terpaksa menurut.
"El, minum dulu obatmu," kata Shavia sambil membantu Ellena untuk duduk.
Ellena segera meminum obatnya lalu menatap Shavia dan tersenyum.
"Makasih, Tan," katanya sambil memeluk Shavia.
Shavia langsung membalas pelukan Ellena, mengusap rambutnya sambil menemaninya menonton.
"Baring di sini lagi," kata Shavia menunjuk pahanya.
Ellena dengan senang hati kembali berbaring sambil menonton TV. Varren segera membereskan perlengkapan obat-obatan Ellena sementara Alfa memandang Ellena dengan tatapan luar biasa kesal.
"Habis nonton langsung tidur ya," kata Shavia merayu Ellena.
"Iya, sedikiiiit lagi, Tan,” jawab Ellena manja.
Ellena melirik Alfa sambil menjulurkan lidahnya sementara Alfa entah mengapa malah ikut duduk menonton bersama. Mereka berempat serius menonton film hingga ketika film berakhir Shavia menyadari Ellena tertidur.
"Loh, El!" Shavia menertawakan Ellena.
"Al, tolong bantu angkat Ellena ke kamarnya,” perintah Shavia lagi.
"Bangunin aja, Ma!" Alfa menolak.
"Dia baru minum obat, kasihan Al! Varren bantu kakakmu,” perintah Shavia.
Varren bergegas mengambil alih Ellena, tapi Alfa mengusirnya.
"Nyusahin!" kata Alfa sambil mengangkat Ellena dan membawanya ke kamar.
"Al, hati-hati, jangan kamu lempar di tempat tidur!" kata Shavia mengingatkan.
"Varren, bawakan tas Ellena ke kamar, habis itu langsung tidur!" kata Shavia sambil menepuk bahu Varren yang sebenarnya masih terpaku melihat Alfa menggendong Ellena.
**
"Al, jangan ngebut!" Shavia mengingatkan Alfa yang duduk di balik kemudi lalu ia menatap Elena yang duduk di kursi belakang.
Sembari menyelipkan uang di saku Ellena, Shavia mengelus rambutnya. "Belajar yang bener ya, El."
"Oke, makasih, Tan!" Ellena mencium tangan Shavia lalu pipinya.
Shavia tersenyum bahagia lalu menutup pintu mobil. Diketuknya kembali jendela Alfa untuk merapikan kemeja Alfa yang berantakan.
"Jangan ngebut!" ulang Shavia membuat Alfa semakin kesal.
Varren yang duduk di sebelah Alfa tertawa kecil.
"Aku telat, Ma! Kenapa aku harus ngantar mereka, sih?!" protes Alfa.
"Adik-adikmu bisa telat kalau kamu nggak ngantar! Sudah pergi sana!" Shavia mengusir Alfa lalu melambaikan tangan pada Ellena yang membuka jendela mobilnya sambil berteriak, "Aku pergi, I love you, Tante!"
Shavia tertawa melihat keceriaan Ellena diikuti Bima yang menyusul di belakang Shavia.
"Bahkan anak kandungmu sendiri nggak pernah mengucapkan kata cinta," kata Bima geli.
"Ellena anakku," kata Shavia bangga lalu merapikan baju Bima dan menciumnya.
"I love you, Sayang!" katanya menirukan Ellena yang disambut gelak tawa suaminya.
"Mungkinkah Ellena dulu tertukar di rumah sakit? Jangan-jangan dia yang sebenarnya anakmu bukan Varren!" kelakar Bima membuat Shavia tertawa.
"Varren jelas anakku, rupanya mirip kamu!" sahut Shavia.
Bima tersenyum lalu memeluk istrinya dan segera pergi.
"Shavia jangan lupa tahun ini giliran kita yang merayakan ulang tahun Ellena dan Varren,” kata Bima mengingatkan.
"Aku nggak pernah lupa hal-hal semacam itu!" kata Shavia bersemangat.
Lalu sepeninggal Bima Shavia sibuk menghubungi birthday organizer.
"Pestanya harus meriah karena ini ulang tahun ke tujuh belas. Bukan dua tema, satu tema tapi untuk dua orang. Ya namanya Ellena dan Varren. Oh, sebaiknya kalian datang ke rumah, saya nggak mau ada kesalahan sedikit pun!"
Lalu setelah menutup telepon, Shavia kembali menghubungi seseorang.
"Janet, apa kabar! Ya kamu benar aku mau pesan gaun lagi. Untuk siapa? Tentu saja untuk anakku, Ellena! Dia akan ulang tahun ke 17! Harus yang cantik! Varren dan Alfa? Mereka masih punya baju lama. Nggak menarik mengurus baju anak laki-laki. Oh ya, bisakah kamu datang siang nanti untuk mengukur Ellena? Oke, baiklah. Makasih ya."
Lalu Shavia menghubungi Ayuni.
"Kak, nggak perlu repot-repot, pesta sederhana aja," kata Ayuni saat mendengarkan antusia Shavia merayakan ulang tahun Ellena dan Varren.
"Ini ulang tahun ke 17 Ayuni! Kamu bahkan membuat pesta meriah untuk Manda!" Shavia mengingatkan.
Ayuni terdiam, dia tidak bisa membantah Shavia sedikit pun.
"Oke, aku akan membantu sebisaku. Apa yang harus aku lakukan?" tanya Ayuni.
"Nggak ada. Semua sudah diurus EO, termasuk baju Ellena juga aman. Kamu hanya perlu mengundang teman-temanmu dan menyerahkan daftar namanya padaku, Oke?!"
Ayuni menarik napas lalu mengiyakan untuk mempercepat berakhirnya ocehan Shavia.
"Kenapa, Ma?" tanya Manda saat melihat raut wajah Ayuni berubah.
"Tante Shavia bikin pesta ulang tahun katanya tahun ini harus lebih meriah karena usia mereka 17,” jawab Ayuni.
Manda tertawa lalu menggumam, "Memangnya dua tahun lalu nggak meriah?" tanya Manda membuat Ayuni ikut tertawa.
Dua tahun lalu dengan alasan Ellena dan Varren baru masuk SMA, Shavia juga mengadakan pesta meriah. Katanya baik Ellena dan Varren harus terkenal di sekolah karena itu dia merancang pesta yang membuat kedua anaknya bisa dipandang hormat teman-temannya di sekolah.
Ayuni menatap Manda lalu mengajaknya bersiap untuk ke dokter.
"Papa mengajak kita makan malam di luar jadi hari ini kita ubah jadwal kontrolmu,” jata Ayuni.
Manda terlihat bersemangat, bergegas dia bersiap untuk pergi ke dokter. Ayuni membuka ponselnya yang menampilkan pesan dari Shavia.
Ayuni, temanya princess. Ellena harus jadi princess!
Ayuni menghela napas pendek lalu menggumam sendiri, "Kenapa anakku menjadi princess di rumah orang lain?"
**
"El!"
Biran menarik tas Ellena hingga gadis itu nyaris terjungkal. Di sebelahnya Varren sibuk memeriksa ponselnya.
"El, gawat!" kata Varren tiba-tiba.
"Apaan?" tanya Ellena malas.
"Cek hape kamu, Mama ada kirim pesan nggak?" tanya Varren.
Ellena memeriksa ponselnya untuk mengecek pesan, seketika dia tertawa.
"Yes, Tante Shavia luar biasa!" serunya girang.
"Kamu senang?" tanya Varren tak percaya.
"Senang dong! Memangnya kamu nggak?" tanya Ellena sambil duduk di sebuah bangku diikuti Biran dan Varren.
"Kalian lagi bahas apa, sih?" tanya Biran penasaran.
"Sweet seventeen kita!" jawab Ellena senang dan Varren langsung menceritakan rencana gila ibunya pada Biran.
Biran terkesiap mendengarnya dan terpana menatap kegembiraan Ellena.
"El, kamu ...."
Teeeet......!
Varren dan Ellena segera berdiri, tapi Biran menahan tangan Ellena.
"Makan, yuk!" ajak Biran.
"Udah masuk, nanti aja waktu istirahat!" tolak Ellena.
"Ah, biasa juga senang bolos!" Biran mengingatkan.
"Nggak, aku sudah janji hari ini mau belajar yang rajin!” tolak Ellena.
"Janji sama siapa?" tanya Biran sembari mensejajari langkah Ellena dan menyeret Varren yang sibuk dengan tongkatnya.
"Sama Tante Shavia!" jawab Ellena sambil melenggang masuk ke dalam kelasnya.
Biran berdiri membeku menatap Ellena sampai Varren menariknya.
"Kelas kita di sana, Bro!" kata Varren mengingatkan.
"Var, memangnya kamu nggak risih mau pesta ala kerajaan gitu?" tanya Biran.
"Risih tapi aku bisa apa? Kamu kayak nggak tahu mamaku aja!" jawab Varren pasrah.
Biran terpingkal membayangkan Varren berada dalam pesta ulang tahun dengan tema perempuan.
"Var, mama kamu juga berlebihan. Yang anaknya kamu, kenapa pestanya ngikutin tema Ellena?" tanya Biran.
Varren berhenti di depan pintu lalu memukulkan tongkatnya ke tembok.
"Kamu sudah tahu kan, kalau anaknya memang aku dan Kak Alfa, tapi Ellena itu princessnya. Apa pun untuk Ellena, kita cuma dapat remahan!" seru Varren.
Biran terpingkal lalu terdiam ketika seseorang menarik tongkat Varren hingga Varren terjatuh.
"Eh pincang, jangan ngehalangin jalan!" teriak seorang cowok yang mengambil tongkat Varren.
Varren terdiam sementara Biran langsung mengambil paksa tongkat dan memukul pundak pemuda arogan itu.
"Kamu tadi bilang apa?" bentak Biran membuat pemuda itu mengkerut.
Dengan kesal Biran mendorong pemuda itu dan hampir memukul kepalanya dengan tongkat Varren.
"Biran, jangan!" Varren berteriak.
"Eh, sori, Ran!" pemuda itu akhirnya mengalah karena banyak anak sudah berkumpul memperhatikan mereka.
"Eh, sorinya ke Varren bukan aku!" bentak Biran.
Sementara di kelas Ellena, gadis yang sedang sibuk menghayalkan pesta ulang tahunnya itu dikejutkan oleh temannya yang menjerit.
"El, tuh Varren diganggu lagi!" kata temannya membuat Ellena seketika berlari ke luar ,tapi langkahnya terhenti karena melihat Biran sudah memukulii siswa yang mengganggu Varren.
Ellena melipat tangan sambil tersenyum menatap Biran yang juga sedang menatapnya. Ketika siswa itu berlari ke arah Ellena, dengan santai Ellena menjulurkan kakinya hingga siswa itu terjatuh.
"Ups, sori nggak sengaja!" kata Ellena sambil tersenyum manis.
Biran dan Varren hanya bisa tersenyum melihat kelakuan Ellena.
"Princess jenis apa yang urakan begitu, Var?" bisik Biran sambil membantu Varren berdiri.
"Princess Nyonya Shavia!" jawab Varren sambil tertawa bersama Biran.
8. Princess 2
"Ma, tadi Tante Shavia minta Kak Janet buat gaun, berlebihan nggak, sih?" tanya Ellena sambil menyuap makanan ke mulutnya.
"Ah, kamu juga senang, kan?" senggol Manda.
Ellena tertawa lalu mengangguk. "Tante Shavia itu the best party planner!" katanya riang.
"Hm, El, jangan terlalu sering menyusahkan Tante Shavia," tegur Pram.
Ellena menatap ayahnya lalu tertawa.
"Orang yang menganggap aku sering menyusahkan itu cuma Mama!" kata Ellena membuat Ayuni memukul dahinya.
Ellena hanya tertawa karena hatinya terlalu riang.
"Acaranya di mana, El?" tanya Manda.
"Nggak tahu. Kata Tante Shavia nanti diobrolin sama Mama. Tante nggak bilang apa-apa, Ma?" tanya Ellena.
"Bukan diobrolin, tapi diberitahukan. Tante Shavia nggak akan menerima saran apa pun dari Mama,” balas Ayuni.
Ellena lagi-lagi tertawa, tak menyadari nada getir yang terselip dari ucapan Ayuni.
"Kak, jangan sakit pas ulang tahunku ya!" pinta Ellena tiba-tiba.
Manda mendadak menghentikan gerakan tangannya, Pram terbatuk lalu menegur Ellena.
"El, kakakmu nggak pernah minta sakit,” kata Pram mengingatkan.
Elena menoleh menatap Manda lalu merangkulnya dan meralat ucapan. "Maksudku dari sekarang Kakak harus menjaga diri jadi pas ulang tahunku, Kakak sehat!"
Manda memaksakan diri tersenyum lalu mendorong Ellena untuk menjauh.
"Iya, bawel!" katanya kesal.
"El, jangan terlalu sering menginap di sana lagi ya," kata Pram tiba-tiba.
"Kenapa, Pa?" tanya Ellena kaget.
"Kalau kamu di sana terus, Papa nggak bisa sering ketemu kamu!" kata Pram dengan suara sedih.
Ellena meminum airnya lalu berpindah tempat ke sebelah Pram dan merangkul lengannya.
"Ah, Papa romantis banget nggak kayak Mama!" kata Ellena terus terang.
"El!" Manda menegur Ellena yang hanya terkikik.
"El, Papa masih makan, jangan menganggu!"
Ayuni juga menegur Ellena yang seketika mengambil sendok Pram dan menyuapkan makanan ke mulut ayahnya. Pram tertawa sambil mengacak rambut Ellena.
"El, belajar yang rajin ya, jangan bikin malu Papa,” pinta Pram tiba-tiba membuat Manda dan Ayuni langsung tertawa menatap ekspresi Ellena yang berubah.
"Ah Papa merusak suasana!" Ellena merajuk.
"El, papa nggak minta nilai sempurna. Pas di standar kelulusan aja, oke?" pinta Pram lagi.
Ellena menatap wajah ayahnya lalu menggumam, "Iya, aku janji."
"Serius, El?!" tanya Pram tak percaya.
"Iya, aku janji. Tapi Papa juga janji. Kalau aku bisa lulus, kita pergi ke Bangkok!" pinta Ellena membuat wajah Pram seketika berubah.
"Ya? Ya?" pinta Ellena sambil bergelayut di lengan Pram.
"Oke!" Pram mengalah.
"Mama dan Kakak harus mendoakan aku!" kata Ellena sambil mengangkat gelas.
Tak mau mengikuti kegilaan Ellena, Ayuni bergegas berdiri menuju kasir diikuti Pram.
Ellena kembali pindah ke sebelah Manda.
"Kak, buat gaun juga ya?" bisik Ellena.
"Ah nggak. Itu kan ulang tahun kamu, bukan aku,” tolak Manda.
"Tapi Kakak kan harus hadir juga! Nanti teman-temanku nanya yang mana kakakku!" kata Ellena keras kepala.
"Akui aja Alfa sebagai kakakmu,” balas Manda cuek.
"Monster gila itu? Nggak! Ayolah, Kak!" paksa Ellena lagi.
"Nanti aku bilang Mama."
Manda mengalah membuat Ellena bersorak lalu keduanya bergegas keluar dari bilik kursi mereka. Ketika Ellena akan jongkok untuk mengikat tali sepatunya, Manda mendahului jongkok di bawahnya dan mengikatkan tali sepatu Ellena.
"Belajar ngikat tali sepatu aja nggak lulus-lulus, gimana mau lulus ujian sekolah, El?!" omel Manda.
Ellena tertawa, tapi tidak melarang Manda mengikat tali sepatunya.
"Kan, ada Kakak! Buat apa aku belajar?!" tanya Ellena cuek.
"Memangnya seumur hidup aku harus mengikat tali sepatumu?!" tanya Manda sambil berdiri dan mengacak rambut Ellena.
Ellena merangkul Manda lalu berbisik, "Selama aku hidup, selama itu juga Kakak harus ada di sampingku! Jangan berpikir untuk mati duluan!"
Manda tertawa mendengar kekonyolan Ellena lalu balas merangkulnya.
Dari meja kasir, Ayuni dan Pram tersenyum memandang kedua putrinya yang masih saling berangkulan menuju keluar restoran untuk menunggu mereka di mobil.
"Princess-princessku pasti bisa saling menjaga kalau aku mati duluan," kata Pram membuat Ayuni mencubitnya.
"Jangan ngomong sembarangan! Beraninya mati duluan!" omel Ayuni.
Pram hanya tertawa lalu merangkul Ayuni.
**
Ellena berdiri di depan pagar sekolahnya dengan gelisah sementara Varren bersandar tak jauh darinya. Tak lama kemudian Biran mendatangi keduanya dengan motor dan sebuah helm.
"Var, cepetan!" Biran memanggil Varren yang segera mendekati Biran dan melompat ke jok penumpang Biran.
"El, kamu beneran dijemput mama kamu?" tanya Varren sembari membenarkan letak tongkatnya.
"Iya. Kalian duluan aja!" jawab Ellena sambil memeriksa ponselnya kembali.
Biran sedikit ragu meninggalkan Ellena, tapi Varren sudah menepuk bahunya mengajaknya segera pergi.
Dua puluh menit lamanya Ellena menanti Ayuni, tapi wanita itu tak kunjung datang. Setelah panggilan ke tiga belas, Ayuni baru mengangkat teleponnya.
"El, maaf Mama lupa!" seru Ayuni.
"Mama!" Ellena merajuk kesal.
"Ikut Varren aja ya, tadi tante Shavia bilang mau jemput kalian,” kata Ayuni.
"Tapi Varren sudah ... Ma ... Ma ...." Ellena panik karena Ayuni menutup teleponnya sepihak.
Tepat saat itu sebuah mobil yang dihafal Ellena berhenti di depannya.
"Mana Varren?" tanya Alfa galak.
"Sudah pulang sama Biran,” jawab Ellena takut.
Alfa memukul setir dengan kesal lalu baru saja akan pergi teleponnya berdering.
"Varren sudah pulang, Ma!" jawab Alfa.
"Ada Ellena di sekolah?" tanya Shavia panik.
"Iya. Jangan bilang ...."
"Antar Ellena pulang!" perintah Shavia.
"Loh, Ma?" Alfa protes, tapi Shavia menyela dengan cepat.
"Mamanya nggak bisa jemput, Al!" kata Shavia menjelaskan.
"Aku mau ke kampus lagi, Ma!" tolak Alfa.
"Bawa aja Ellena, kasihan dia kalau ...."
Tanpa mendengarkan Shavia, Alfa melajukan mobilnya meninggalkan Ellena yang masih berdiri di depan pagar sekolah.
Ellena mengutuk Alfa yang luar biasa pelit meninggalkan dirinya, padahal rumahnya searah. Ellena juga mengutuk dirinya yang menghabiskan baterai ponsel dan teledor meninggalkan dompetnya di rumah Shavia.
Setengah jam lamanya Ellena menunggu keajaiban, tapi tak ada mukjizat yang datang. Sekolah sudah sangat sepi pun jalanan di depan sekolah. Ellena ingin naik kendaraan umum, tapi tidak punya uang, sedangkan Ellena tak berani pulang naik taksi sendirian karena dulu dia pernah menjadi korban pemerasan supir taksi.
"Sial!" Ellena mengumpat sembari melangkah.
Tak ada pilihan lain baginya selain berjalan kaki. Lebih aman berjalan kaki di keramaian daripada naik taksi, begitu pikir Ellena.
Setengah jam berlalu, Ellena sudah keringatan. Rasa lapar, haus, lelah, dan mengantuk bercampur menjadi satu membuatnya tanpa sadar terduduk di bangku taman.
"Yah, hujan!"
Ellena kembali mengutuk kesialannya dan bergegas melanjutkan perjalanan. Seakan ingin melengkapi ketidakberuntungannya, hujan turun dengan deras, Ellena begegas mencari tempat teduh di pinggir toko.
**
Hari sudah mulai gelap ketika Alfa masuk ke dalam rumahnya dan bertatap muka dengan Shavia.
"Al tadi El ...."
Ponsel Shavia berdering menampilkan nama Ayuni.
Alfa segera berlari ke kamarnya untuk menghindari keributan, baru saja sampai di kamar suara Shavia menggelegar memanggil dirinya. Dengan terpaksa Alfa kembali menemui Shavia.
"Apaan sih, Ma!" tanya Alfa jengkel.
PLAK!
Shavia langsung menampar pelan Alfa membuat Alfa memekik kaget.
"Ma?!"
"Kamu tinggalkan di mana Ellena?!" bentak Shavia.
"Paling dia sudah di rumah. Ellena nggak bego, Ma!" Alfa mengumpat kesal.
"Ellena belum sampai rumah! Di mana dia?!" bentak Shavia.
Alfa mengangkat bahunya tak acuh. "Mungkin main di rumah temannya. Telepon aja, Ma!"
"Alfa! Ponselnya nggak aktif, dompetnya ketinggalan di sini! Ellena nggak mungkin berani naik taksi! Al, Ellena pernah dirampok! Mama takut!" Shavia semakin panik lalu bergegas mengambil kunci mobil.
"Ma, mau ke mana?" tanya Alfa ikut panik.
"Ke mana lagi? Cari Ellena!" bentak Shavia.
Alfa segera merebut kunci mobil lalu mendahului ibunya dia mengemudikan mobil, di sebelahnya Shavia tak berhenti mengomel.
"Kenapa kamu tinggal dia, Al?!" tanya Shavia marah.
Alfa diam membisu, ada rasa bersalah dalam dirinya apalagi saat melihat hujan deras yang turun.
Shavia tak berhenti menatap jalanan mencari sosok Ellena yang mungkin berada di jalanan, tangannya tak lepas menghubungi Ayuni yang sedang melakukan hal yang sama, mencari Ellena bersama Manda.
Sementara Ellena yang baru saja diusir pemilik toko karena halamannya akan digunakan untuk pedagang kaki lima, melanjutkan perjalanan sambil menikmati tetesan air hujan favoritnya.
"Sudah gelap, Ellena di mana kamu, Nak!" Shavia sudah mulai meneteskan airmata membuat Alfa tertegun.
"Ma, orang tuanya aja belum tentu secemas Mama,” kata Alfa kesal.
"Itu urusan orang tuanya, bukan urusan Mama!" bentak Shavia membuat Alfa terdiam.
"El!" tiba-tiba Shavia menjerit saat melihat sosok Ellena berjalan pelan di trotoar.
Alfa segera menghentikan mobilnya lalu tanpa peduli hujan yang mengguyur, Shavia keluar dari mobil dan mengejar Ellena.
"El, Ellena!" teriak Shavia.
Ellena yang sudah menggigil perlahan menoleh, senyumnya mengembang melihat sosok wanita yang walaupun tampak kabur di matanya tapi bisa dia kenali. Shavia sedang berlari ke arahnya.
"Tante, hujan!" Ellena menegur Shavia yang langsung memeluknya sementara di belakang Shavia Alfa menyusul membawa payung.
"Kamu baik-baik aja, kan?" tanya Shavia sambil memeriksa wajah Ellena.
"Ayo masuk, Ma!" Alfa membawa Shavia dan Ellena ke dalam payungnya, menuntun keduanya kembali ke mobil sementara dari seberang jalan Ayuni memperhatikan ketiganya sambil tersenyum tipis.
"Ma, kenapa nggak bawa Ellena pulang?" tanya Manda.
"Nggak perlu, adikmu sudah aman. Biarkan dia pulang ke rumah Tante Shavia,” jawab Ayuni dengan tenang.
Manda menoleh memandangi ibunya dengan tatapan penuh tanda tanya, tapi Ayuni tak memedulikan Manda.
Bergegas Ayuni melajukan mobilnya menuju rumah setelah menerima telepon dari Shavia yang mengabarkan Ellena sudah ditemukan.
***
9. Princess 3
Setelah memastikan Ellena berganti pakaian, makan dan meneguk habis minuman hangatnya, Shavia kembali menyidang Alfa yang menurutnya kelewatan.
"Al, Mama nggak bisa mentolerir sikapmu! Apa salah Ellena sampai kamu tega ninggalin dia di sekolah?" bentak Shavia.
Alfa terdiam, tadinya dia hanya berniat iseng, Alfa sama sekali tidak menyangka kalau Ellena kehabisan baterai dan dompetnya tertinggal. Dia ingin memberi pelajaran gadis itu rasanya pulang naik kendaraan umum.
"Maaf, Ma." Alfa akhirnya mengakui kesalahannya.
"Minta maaf sama Ellena!" kata Shavia kesal.
Dengan berat hati Alfa menemui Ellena yang sedang duduk di pinggir kolam.
"Mama mencemaskan orang yang baik-baik aja," kata Alfa membuat Ellena menoleh.
Melihat wajah Ellena, Alfa sedikit kaget. Ellena tampak pucat.
"Sori, aku nggak sengaja," kata Alfa akhirnya.
"Kak Alfa sengaja ninggalin aku," kata Ellena mengingatkan.
"Iya aku sengaja ninggalin kamu, tapi nggak sengaja bikin kamu basah kuyup kayak tikus got!" jelas Alfa.
Ellena memperhatikan dirinya lalu mendegus, "Tikus got cantik begini?" tanyanya pada diri sendiri.
"Sori, El!" Alfa mengulang permintaan maafnya.
Ellena tak mendengarkan, dia masih merenungi bayangan dirinya di dalam kolam.
"Aku maafkan dengan satu syarat,” kata Ellea membuat Alfa memelotot, tapi mencoba menarik napas dengan tenang.
"Apa?" tanya Alfa penasaran.
"Ajarin aku mata pelajaran ujian,” jawab Ellena.
"Hampir setiap hari aku ngajarin kamu!!" seru Alfa jengkel.
"Ngajarinnya yang ikhlas. Ilmu yang nggak nyampe ke murid itu karena gurunya nggak ikhlas!" sahut Ellena.
"Kamunya aja yang kelewat malas!" balas Alfa.
Ellena kembali terdiam lalu bicara sendiri.
"Kalau aku nggak lulus, mama pasti malu, pasti marah lagi,” gumam Ellena sambil merenung.
Alfa tanpa sadar ikut duduk di sebelah Ellena, menatap wajahnya yang sayu.
"El, kamu sakit?" tanya Alfa curiga, tapi Ellena menggeleng.
"Ajarin aku di luar jam les, maksudku aku boleh nanya kalau aku mau. Aku nggak bisa belajar dalam keadaan terpaksa jadi setiap jam les belum tentu aku pas ada niat belajar, kadang aku ada niat belajar waktu sudah di rumah, tapi aku nggak ngerti caranya,” oceh Ellena.
Alfa mengerutkan dahi, tak mengerti arah pembicaraan Ellena.
"Jangan paksa aku belajar waktu les, tapi kamu harus bantu aku belajar di luar jam les,” jelas Ellena.
"Seenaknya aja!" Alfa menolak.
Ellena menarik napas, tak seperti biasanya ketika dia mendebat Alfa kali ini dia tampak tak bersemangat.
"Kadang tengah malam aku baru ada niat belajar, tapi aku nggak bisa nanya ke kamu karena kamu nggak pernah mau balas pesanku,” ucap Ellena.
Alfa teringat bahwa Ellena memang pernah menanyakan suatu rumus di tengah malam, tapi dia mengabaikannya karena menganggap Ellena hanya iseng.
"Oke, tapi aku nggak suka dibohongin. Belajar serius El, kamu pasti bisa lulus,” kata Alfa memutuskan membuat Ellena perlahan tersenyum lalu mengulurkan tangannya.
"Deal?" tanya Ellena.
Alfa hampir meraih tangan Ellena, tapi gadis itu malah mencipratkan air kolam ke wajah Alfa dan berlari meninggalkannya.
"Ellena!" Alfa menjerit marah, tapi kemudian dia hanya tersenyum melihat Ellena berlari ke dalam rumah.
**
"El, lain kali jangan sampai meninggalkan dompet lagi," kata Shavia saat mereka berkumpul di meja makan.
"Iya, Tan," jawab Ellena pelan.
"El, kamu sakit?" tanya Varren saat memperhatikan wajah Ellena.
Mendadak Shavia langsung pindah ke sebelah Ellena.
"Ya ampun, kamu demam, El!" seru Shavia panik karena menyadari tubuh Ellena panas.
"Aku nggak apa-apa, kok, Tan." Ellena menolak saat Shavia akan membawanya ke dokter.
"Kalau gitu istirahat di kamar aja," kata Shavia sambil membantu Ellena ke kamar, memberi obat lalu membaringkannya di kamar.
"Tan, makasih. Tante kayak mama aku aja," kata Ellena tulus.
"Kamu mau panggil Tante Mama juga?" tawar Shavia membuat Ellena tertawa.
"Boleh kok, El. Nanti juga kamu pasti panggil Tante dengan sebutan Mama, panggil dari sekarang aja juga nggak apa-apa,” ucap Shavia bersemangat.
Ellena masih tertawa karena tidak mengerti maksud ucapan Shavia.
"El, kamu punya pacar?" tanya Shavia tiba-tiba.
"Nggak ada," jawab Ellena jujur.
"Masa? Nggak mungkin anak jaman sekarang nggak pacaran. Apalagi kamu, masa di sekolah nggak ada yang naksir kamu?" tanya Shavia penuh selidik.
"Yang naksir banyak, tapi aku nggak suka," jawab Ellena sombong membuat Shavia tertawa.
"Memangnya kamu suka yang kayak apa?" tanya Shavia.
"Hmm ...." Ellena tampak berpikir.
"Nggak tahu juga. Aku sukanya dekat sama Varren dan Biran, jadi aneh aja kalau dekat cowok lain,” jawab Ellena jujur.
Shavia tertawa mendengar isi hati Ellena.
"El, kalau ada yang naksir kamu, bilang sama Tante juga ya?" pinta Shavia.
"Tan, Kak Alfa itu punya pacar nggak, sih?" tanya Ellena tiba-tiba membuat Shavia terkejut.
"Kenapa nanyain pacarnya Alfa?" tanya Shavia curiga.
"Suruh pacaran Tan, biar nggak galak!" kata Ellena santai membuat Shavia tertawa.
"Dulu dia pernah pacaran waktu masih di asrama,” kata Shavia membuat Ellena seketika duduk di tempat tidur.
"Masa, Tan?" tanya Ellena tak percaya.
"Iya, tapi putus, kata Alfa dia tiba-tiba nggak suka lagi. Alfa baru sadar kalau pacarnya genit!" jawab Shavia membuka aib Alfa.
Ellena terbahak membayangkan Alfa berpacaran dengan wanita genit.
"Tante juga nggak suka," ucap Shavia keceplosan
"Memangnya Tante sukanya yang kayak apa, Tan?" tanya Ellena penasaran.
"Yang kayak kamu, El!" jawab Shavia cepat membuat Ellena terdiam seketika.
Tak menghiraukan ekspresi Ellena, Shavi memaksa Ellena kembali berbaring.
"Tidur, kalau besok masih demam, Tante buatkan surat izin sekolah. Selamat malam, El,” ucap Shavia sebelum mencium kening Ellena.
"Malam Tan!" Ellena tersenyum pada Shavia yang mematikan lampu kamarnya.
***
Tengah malam Ellena keluar dari kamar, keadaan rumah yang gelap membuatnya tanpa sengaja menabrak sebuah meja.
"El?" Alfa yang baru saja selesai mengerjakan tugas kuliahnya memergoki Ellena berjalan linglung mendekati tangga.
"El?" Alfa kembali memanggil Ellena, tapi Ellena tidak mengubrisnya.
Pelan-pelan. Alfa mendekati Ellena dan spontan menarik pinggangnya ketika Ellena hampir terjatuh di tangga.
"Ellena?!" Alfa menepuk pipi Ellena yang tiba-tiba pingsan.
Takut kembali dituduh mempunyai niat jahat pada Elena, Alfa berteriak memanggil Shavia yang datang tergopoh.
"Loh, Ellena kenapa lagi?" tanya Shavia panik sembari meminta Alfa membawa Ellena kembali ke kamarnya.
"Demamnya tambah parah, Ma." Alfa melapor.
Shavia segera mengambil ponselnya untuk menelpon dokter tapi Alfa melarangnya.
"Panggil tante Rania aja, Ma. Rumahnya lebih dekat. Barangkali ada di rumah,” kata Alfa.
Tanpa pikir panjang Shavia segera menelpon Rania yang datang dalam waktu tak sampai lima menit. Tergopoh Rania masuk ke dalam kamar diikuti Biran.
"Ellena kenapa lagi, Kak?" tanya Biran cemas.
Alfa menoleh menatap tangan Biran yang gemetaran, sama seperti dirinya.
"Ellena pingsan lagi?" Varren tiba-tiba ikut masuk ke dalam kamar.
Melihat keramaian di dalam kamar Ellena, Rania mengusir ketiga laki-laki itu untuk keluar.
"Shav, dirawat di rumah saja. Nanti aku pasangkan infusnya." Rania memberi tahu Shavia yang duduk dengan cemas di samping Ellena yang belum sadar.
"Dia kenapa, Shav?" tanya Rania heran.
"Tadi kehujanan lagi. Sudah dua kali dia pingsan setelah kehujanan. Ellena alergi hujan atau gimana, Ran?" tanya Shavia tak mengerti.
Rania menatap wajah Ellena lalu tersenyum. "Ellena suka menyulitkan kamu ya?" tanya Rania heran.
"Jangan bilang begitu. Aku nggak merasa disulitkan. Dia calon menantuku,” jawab Shavia.
"Hah?" Rania menatap Shavia dengan kaget.
"Siapa yang kamu jodohkan dengannya? Alfa?" tanya Rania.
"Varren,” jawab Shavia yakin.
Rania mengulum senyum lalu menepuk bahu Shavia lalu menasihati tetangganya.
"Alfa lebih cocok untuk Ellena, Shav. Varren terlalu baik,” kata Rania sambil tersenyum.
Shavia mengendikan bahunya untuk mengusir tangan Rania dari pundaknya. Rania hanya tertawa lalu kembali melanjutkan memeriksa Ellena.
Di luar kamar, ketiga pemuda membicarakan Ellena.
"Jadi tadi Ellena kehujanan lagi?" tanya Biran.
Varren mengarahkan pandangannya kepada Alfa yang masih duduk diam.
"Kak, kenapa jahat sama Ellena?" tanya Varren kesal.
Alfa mendelik ke arah Varren, kesal pada adiknya yang gemar menjelekkan dirinya di depan Biran dan Elena.
"Apa pedulimu, sih?" tanya Alfa tiba-tiba.
"Ellena itu perempuan, kalau jahat sama kita aja,” kata Varren jengkel membuat Alfa seketika tertawa.
"Ellena memang perempuan, tapi kejahatannya melebihi kalian berdua,” kata Alfa ketus.
"Kak!" Varren memprotes.
Alfa berdiri lalu menepuk bahu kedua sahabat Ellena.
"Tenang, mulai hari ini aku nggak akan bersikap jahat ke Ellena, tapi kalian berdua jangan menyesal ya!" kata Alfa serius.
Biran dan Varren mengerutkan dahinya dengan bingung.
"Kalau aku bersikap baik, kalian berdua nggak akan pernah dapat kesempatan mendekati Ellena! " kata Alfa meninggalkan Varren dan Biran yang saling menatap.
**
"Ma ...."
Ellena mengigau membuat Shavia yang tertidur di sebelahnya terbangun.
"Ya El, ini Mama," kata Shavia sambil menyentuh dahi Ellena.
Ellena membuka mata, menatap Shavia sesaat lalu kembali tertidur. Shavia tertawa sendiri lalu kembali tidur di sebelah Ellena.
Paginya Ellena terbangun dengan bingung karena di tangannya terpasang infus, lebih bingung lagi karena melihat Alfa berdiri di jendela kamarnya.
"Pagi, El!" Shavia masuk ke dalam kamar sambil membawa nampan berisi sarapan, duduk di tepi tempat tidur lalu membantu Ellena duduk.
"Semalam kamu demam, ngigau sampai hampir menggelinding di tangga kalau saja Alfa nggak nangkap kamu. Jadi Tante Rania semalam yang ngobatin kamu." Shavia menjelaskan membuat Ellena membulatkan bibirnya.
"Maaf ya Tan, aku ngerepotin," kata Ellena tersipu malu.
Shavia tertawa lalu mengusap rambut Ellena.
"Sarapan dulu, ya?" kata Shavia, tapi Ellena menggeleng pelan.
"Mau ke kamar mandi dulu, Tan," tolak Ellena. Dia pantang sarapan bila belum dalam keadaan bersih.
"Al, bantuin Ellena!" Shavia memerintah Alfa yang perlahan menoleh menatap Ellena.
"Bantu apa? Mandiin?" tanya Alfa kurang ajar membuat Shavia langsung menarik telinganya.
"Bantuin adik kamu ini ke kamar mandi. Angkat aja biar nggak lama, pegang infusnya,” perintah Shavia.
"Aku bisa sendiri, Tan." Ellena bergegas berdiri dan mendorong tiang infusnya, tapi baru dua langkah, dia nyaris jatuh.
Shavia menjerit. Alfa segera menopang Ellena dan membantunya berjalan sampai ke kamar mandi.
Shavia menyusul sembari membawakan pakaian ganti Ellena.
"Kamu nggak kuliah, Al?" tanya Shavia.
"Kalau aku kuliah siapa yang bisa mama teriakin ngurus princess Mama itu?" tanya Alfa jengkel.
Mendengar kata princess, Shavia tertawa sendiri. Dari dulu dia selalu terobsesi memiliki princess. Sayangnya adik perempuannya meninggal kecelakaan, anak perempuan Shavia juga meninggal saat dilahirkan.
Shavia patah hati dan iri pada Ayuni yang punya dua anak perempuan. Namun, rasa irinya hanya sesaat karena Ayuni yang kewalahan mengurus Manda, sering tanpa sadar mengeluhkan tentang kekhawatirannya meninggalkan Ellena di rumah. Shavia menawarkan bantuan, dengan senang hati dia merawat Ellena seperti anaknya sendiri.
"Kalau kamu tahu dia princess Mama, kenapa kamu telantarkan?" tanya Shavia.
Alfa tak menjawab malah mencibir, "Jangan-jangan Mama juga sudah nulis warisan untuk Ellena!"
"Jelas! Ellena salah satu penerima harta warisan pribadi Mama!" jawab Shavia yakin.
Alfa memandang Shavia yang menurutnya tak waras karena terlalu mendewakan Ellena.
"Ma, apa sih, istimewanya anak bandel itu?" tanya Alfa jengkel.
"Hush, Ellena itu nggak bandel! Dia hanya terlalu aktif,” ralat Shavia.
Alfa ingin mendebat, tapi Ellena sudah keluar dari dalam kamar mandi, bergegas Alfa kembali menolongnya.
"Mandi bebek, El, kok cepet banget?" ejek Alfa.
"Nggak mandi cuma seka," jawab Ellena.
"Jorok!" Alfa spontan melepaskan Ellena hingga terjatuh di tempat tidur.
"Alfa!" Shavia menjerit marah lalu menolong Ellena yang terguling di ranjang.
"Eh sori, El!" Alfa kembali merasa bersalah melihat Ellena yang tampak tidak berdaya. Apalagi setelah Ellena memuntahkan kembali makanan yang disodorkan Shavia, membuat wanita itu kebingungan.
"Aduh, Sayang ... kamu mau makan apa?" tanya Shavia panik.
"Makasih, Tan, nanti siang aku coba makan lagi." Ellena mendorong baki makanannya menjauh.
"El, hari ulang tahun kamu sudah dekat, jangan sakit begini. Nanti baju kamu longgar, gimana?" tanya Shavia.
Ellena tertawa lalu menjadi bersemangat membahas acara ulang tahunnya, Shavia lebih bersemangat mengoceh karena menyadari Ellena sangat menantikan pesta ulang tahunnya.
Sementara Alfa hanya mendengarkan sembari mencemoh, "Buang-buang uang!" keluhnya membuat Shavia melemparnya dengan bantal.
"Uang siapa yang Mama buang? Uang kamu?" tanya Shavia sewot.
Alfa melotot lalu memandang Ellena yang tertawa bahagia.
"Apa anak ini memang senang melihat aku menderita?" tanya Alfa dalam hati.
"Tan, makasih ya!" kata Ellena tulus sambil memeluk Shavia yang luar biasa bahagia.
Sebenarnya Ellena sering merasa aneh atas perlakuan istimewa yang dia terima dari Shavia karena perempuan itu sama sekali tidak memiliki hubungan darah dengannya. Shavia dan Bima adalah rekan bisnis ayahnya yang entah mengapa luar biasa menyayangi ELlena.
Namun, karena dari kecil terbiasa menerima kasih sayang Shavia dan Bima, Ellena mengabaikan perasaan anehnya. Dia memang tidak pernah meminta apa pun, tapi dia juga tidak pernah menolak semua pemberian Shavia atau Bima.
Shavia sama merasa anehnya, dia juga tidak mengerti mengapa dia sangat menyayangi Ellena. Awalnya dia hanya merasa senang melihat Ellena kecil yang bermain di rumahnya, tapi lama kelamaan dia merasa rindu bila gadis itu terlalu lama tidak berkunjung.
Shavia bahkan pernah jatuh sakit saat Ellena pergi berlibur selama sebulan di rumah neneknya di luar kota. Shavia selalu mendahulukan Ellena daripada kedua anaknya bahkan Varren yang cacat pun tidak bisa mengalahkan posisi Ellena di rumah itu. Shavia membuatkan kamar khusus untuk Ellena, memaksa Ayuni memasukan Ellena di sekolah yang sama dengan Varren. Shavia bahkan dengan senang hati mengambil rapot Ellena bila Ayuni berhalangan hadir. Bila Ellena sakit, Shavia lebih panik daripada saat Varren atau Alfa yang sakit.
"Ma, aku pengen ke Amsterdam!" Alfa merayu Shavia yang seketika menoleh.
"Apa hubungannya sama Mama?" tanya Shavia heran.
"Bayarin, Ma!" jerit Alfa kesal.
"Minta papa kamu!" balas Shavia santai.
"Ma!" Alfa berteriak memprotes membuat Shavia menatap Alfa lalu tersenyum.
"Mama berangkatkan kamu ke sana beserta uang saku asal ...."
"Asal apa?" potong Alfa cepat.
"Asal kamu bisa buat Ellena lulus!" jawab Shavia membuat Ellena memelotot, tapi kemudian tertawa.
"Ma!" Alfa merosot di tempat duduknya karena syarat yang diajukan jauh lebih sulit daripada dia harus berendam seharian di kolam. Namun, saat melihat tawa lepas Ellena, Alfa diam-diam mengulum senyum.
10. Tentang Rasa
Ayuni memarkir mobilnya di depan sekolah Ellena, mengamati lalu lalang murid SMA yang riuh ingin segera pulang. Tak lama Ellena muncul bersama Varren. Ayuni terdiam menatap Ellena yang membantu Varren melewati parit dengan tongkatnya.
"Ada jalan yang mulus ngapain mereka mesti lewat parit, sih?" tanya Manda heran.
Ayuni tak menyahut, dia masih mengamati Ellena yang dengan riang membuka pintu mobil, mengambil tongkat Varren dan membantu Varren masuk lebih dulu ke dalam mobil.
Setelah berada di dalam, Ellena melemparkan tongkat Varren sembarangan lalu membanting pintu dengan keras.
"El, nggak perlu dibanting juga pintunya!" tegur Manda.
"Maaf, Kak!" jawab Ellena singkat lalu sibuk mengoceh bersama Varren.
Sepanjang jalan Ayuni tidak fokus menyetir dia justru fokus mendengarkan Ellena dan Varren.
"Var, ini kan punyaku!" Ellena merebut coklat di tangan Varren.
"Kamu tadi bilang untuk aku!" Varren protes.
"Aku bilang pegangkan!" Ellena mengelak lalu tanpa merasa bersalah merobek bungkusan coklat dan menggigitnya.
"El, aku juga mau!" Varren menjerit.
Ellena memajukan dirinya dan Varren dengan cepat menggigit coklat yang terselip di bibir Ellena. Ayuni luar biasa syok hingga tidak mampu bergerak.
"Ma, lampunya hijau!" Manda mengingatkan.
Ayuni menarik napas lalu kembali mengemudikan mobil dengan hati gelisah.
"Var, kerjain pe-er bahasaku ya, aku males nyatet!"perintah Ellena dengan seenaknya.
"Mana bukumu?" tanya Varren sambil mengambil tas Ellena dan memeriksa buku bahasa Ellena.
Ayuni melirik melalui spion dan kembali syok karena Ellena memejamkan mata, tertidur di bahu Varren.
Setelah sampai di rumah, Ayuni langsung masuk ke kamar Ellena, menyidang putrinya yang masih mengantuk.
"El, kenapa kamu gigit-gigitan cokelat sama Varren?" tanya Ayuni.
Ellena mengerutkan dahiny dengan bingung lalu malah balas bertanya. "Memangnya kenapa, Ma?"
Ayuni mencoba mengatur kata agar Ellena tidak mencurigai pertanyaannya yang terdengar aneh. Ayuni menyadari bahwa sejak dulu Ellena, Biran, Varren, dan Alfa sudah seperti saudara. Mereka sering berbagi banyak hal bersama dan bersentuhan bukanlah hal yang luar biasa di antara mereka.
Namun, belakangan saat keluarga Bima membahas perjodohan dan menyadari Ellena sudah tumbuh menjadi gadis remaja, Ayuni ketakutan. Dia perlu tahu perasaan Ellena tentang Varren atau sebaliknya.
"El, kamu itu sudah dewasa, jangan keterusan nempel-nempel sama lawan jenis!" nasihat Ayuni berapi-api.
"Oh, oke!" Ellena menjawab ringan sambil menguap.
"Ngerti maksud Mama kan, El?" tanya Ayuni lagi.
"Ngerti. Nggak boleh pacaran dulu, kan?" tanya Ellena santai.
"Bukan, Ellena!" teriak Ayuni frustrasi.
"Jadi apa, Ma?" tanya Ellena malas.
"El, lain kali baik sama Biran, Varren, atau Alfa, jangan terlalu dekat,” kata Ayuni serius.
Kali ini Ellena mendadak menatap Ayuni dengan serius.
"Jangan terlalu dekat gimana, Ma? Kita kan memang dekat!” protes Ellena.
"El, kamu itu perempuan, mereka laki-laki. Jangan berdekatan fisik secara berlebihan. Paham?" tanya Ayuni membuat Ellena seketika tertawa.
"Ya ampun, Ma! Nggak ada rasanya juga kalau dekat-dekat mereka!"sahut Ellena geli.
Ayuni tergelitik lalu mengorek informasi lebih lanjut. "Nggak ada rasanya gimana maksud kamu, El?"
Ellena menatap Ayuni lekat kemudian kembali tertawa.
"Mama kalau dekat Papa ada rasanya, kan? Nah, aku kalau dekat mereka nggak ada rasanya,” jawab Ayuni menjelaskan.
Ayuni mencerna ucapan Ellena lalu kembali memastikan. "El, kamu yakin nggak punya rasa sama tiga orang itu? Biran, Varren, atau Alfa?"
"Yakin. Mereka bertiga sama!" jawab Ellena percaya diri.
"Kalau Alfa?" pancing Ayuni.
"Kak Alfa apalagi! Monster!" sahut Ellena cepat.
Ayuni menggigit bibirnya, kebingungan.
"El, Apa bedanya Alfa sama Varren?" tanya Ayuni lagi.
Ellena mengerutkan dahinya dengan bingung. "Ya mereka jelas beda, Ma!"
"Kamu lebih nyaman di dekat siapa?" tanya Ayuni terus menginterogasi putrinya.
Ellena lagi-lagi tertawa lalu menjawab pertanyaan Ayuni dengan tenang.
"Semua juga tahu kalau aku lebih nyaman di dekat Varren yang baik, perhatian, pengalah dan penyayang daripada di dekat Kak Alfa yang pemarahan dan suka nuduh sembarangan!"
Ayuni mendadak syok dan sakit kepala.
"El, sejauh itu perbedaan keduanya?" tanya Ayuni kaget.
Ellena menggaruk kepalanya lalu kembali bicara, "Simpelnya kalau Varren itu malaikat, Kak Alfa iblisnya. Mama sudah tahu kan kalau nggak bakal ada orang yang nyaman dekat iblis?"
Lagi, Ayuni merasa kepalanya dihantam batu besar, tapi ucapan Ellena berikutnya membuatnya tertegun.
"Yang mendekati manusia normal cuma Biran. Biran baik pada tempatnya, kasar pada tempatnya. Kalau dekat Biran aku nggak perlu merasa jadi kecil karena nggak setulus Varren dan nggak perlu harus pura-pura kuat karena nggak mau kalah sama Kak Alfa,” ucap Ellena serius.
"Memangnya kalau dekat Biran kamu merasa apa?" tanya Ayuni curiga.
"Merasa jadi orang normal apa adanya. Merasa jadi diri sendiri,” jawab Ellena jujur.
Dan Ayuni menambah pekerjaan dalam hatinya.
Sejauh mana hubungan Ellena dengan Biran.
**
Shavia meletakkan camilan di meja belajar Varren lalu memperhatikan putranya yang sibuk mencatat di buku milik Ellena.
"Kamu ngerjain peernya Ellena lagi, Var?" tanya Shavia.
"Dia juga sering ngerjain tugas prakaryaku, kok, Ma,” jawab Varren membela Ellena.
Shavia tertawa, dia tahu Vareen dan Ellena sering saling membantu dalam hal mencurangi sekolah. Varren tidak pernah bisa mengerjakan tugas prakarya atau apa pun yang berhubungan dengan seni, biasanya Ellena akan membuatkan tugas Varren. Dan Varren bergantian mengerjakan tugas Ellena lainnya.
Shavia tak pernah mempermasalahkan kenakalan kedua anaknya itu, baginya asal Varren senang dan Ellenanya bahagia, dia akan menerimanya.
"Var, Ellena masih sering bertengkar di sekolah?" tanya Shavia.
"Masih. Mama tahu kan kalau sampai sekarang tongkat ini masih sering jadi bahan ejekan,” jawab Varren.
"Dan Ellena masih sering mukulin teman kamu pakai tongkat ini?" tanya Shavia menahan tawa.
Varren menghentikan kesibukannya lalu menatap Shavia. "Ellena itu super," katanya sambil tertawa.
"Super apa, Var?" selidik Shavia.
"Hm, ya begitulah. Nggak ada anak di sekolah yang mirip Ellena. Ellena spesial dan luar biasa,” jawab Varren.
"Spesial gimana maksudnya?" selidik Shavia.
"Ma, perempuan di sekolah yang bolak balik kena teguran cuma Ellena. Cuma Ellena juga yang sering diam-diam ngasih uang sakunya ke nenek pemungut sampah di dekat sekolah. Cuma Ellena yang perhatian dan tulus sama orang minoritas kayak aku,” jawab Varren.
Shavia tertegun mendengar ucapan Varren. "Var, kalau dekat Ellena kamu ngerasa apa?"
Varren mengambil camilan di meja, mengunyah lalu berpikir.
"Ngerasa kayak di dekat Mama. Nyaman," jawab Varren sambil memeluk Shavia yang menahan senyum.
"Var, tentang pesta ulang tahun kalian, kamu ...."
"Lakuin apa pun yang Mama dan Ellena suka. Aku nggak peduli, Ma. Selagi Mama dan Ellena senang, aku baik-baik aja. Nanti aku cuma perlu ikut tiup lilin, kan? Pestanya pure buat Ellena!"sahut Varren cepat.
Shavia tertawa lalu mengacak rambut Varren. "Segitu ikhlasnya kamu buat Ellena, Var?"
"Ellena juga selalu ikhlas sama aku, Ma,” balas Varren.
Lagi, Shavia tertawa lalu pergi meninggalkan Varren dengan perasaan lega, tapi kelegaannya tak bertahan lama saat melihat Alfa yang berdandan rapi melangkah sambil bersiul.
"Mau ke mana, Al? Kok, tumben rapi banget, kayak mau pacaran aja!" celetuk Shavia.
Alfa mendadak terdiam lalu menatap dirinya di cermin.
"Masa, Ma?" tanya Alfa bingung.
"Iya, rapi dan wangi banget lagi! Kamu beli parfum baru ya?!" tanya Shavia.
Alfa menggaruk kepala lalu kembali menatap dirinya dengan bingung.
"Ma, terlalu rapi, ya?" tanya Alfa lagi.
"Iya rapi, ganteng, wangi. Kamu mau ngapelin siapa, sih?" canda Shavia.
"Nggg, bukan mau ngapel, Ma ...."
"Jadi mau ke mana?" sela Shavia keheranan.
"Ke rumah Om Pram, mau ngajarin Ellena. Tadi dia kirim pesan minta diajarin soal matematika!" jawab Alfa dengan tenang, tapi Shavia yang menjadi tak tenang.
Shavia mendadak memegang dadanya dengan kaget.
"Ma, Mama kenapa?" tanya Alfa bingung.
"Nggak apa-apa. Ya sudah pergi sana, jangan kelamaan pulang,” jawab Shavia berusaha tenang.
Alfa tersenyum lalu mematut dirinya sekali lagi di depan cermin dan kembali bersiul, sementara Shavia menatap putra sulungnya dengan perasaan galau.
**
Ayuni memandang Alfa dengan hati kacau, pemuda itu sedang berdiri dengan penampilan rapi dan wangi sambil tersenyum dan mengulang pertanyannya.
"Tan, Ellena ada, kan?" tanya Alfa.
Ayuni terdiam kemudian tersenyum. "Masuk, Al. Tumben main ke rumah,” balas Ayuni.
"Ada janji sama Ellena, Tan,” jawab Alfa.
Ayuni menghentikan langkah lalu berbalik. "Janji apa?" tanyanya penasaran.
"Janji ngajarin dia rumus matematika sampai bisa. Garansi, Tan," jawab Alfa kikuk, tapi Ayuni lebih kikuk hingga tersandung meja.
"Hati-hati, Tan!" Alfa membantu Ayuni berdiri lalu duduk menunggu Ellena di ruang tengah.
Ayuni segera memanggil Ellena yang datang sambil ngedumel sendiri.
"Kirain nggak jadi datang!" kata Ellena sambil berjalan mendekati Alfa yang berbalik.
Pandangan mereka bertemu dan terdiam beberapa saat.
Alfa kaget melihat Ellena dengan celana pendek, kaos dan tas kecil yang terselempang di bahunya. Ellena tampak rapi dan cantik seperti mau pergi hang out.
Ellena kaget melihat Alfa yang tampak lebih ganteng dari hari biasa, rapi dan wangi seperti mau pergi ke kondangan.
Lalu keduanya kaget karena mendengar suara Pram di ruang depan.
"El, dicariin Biran, nih. Katanya kamu ada janji mau ngajakin makan bakso di warung depan!" teriak Pram.
Alfa mendadak merasa hatinya bak balon yang meletus, Ellena merasa gelisah tak menentu dan Biran yang sudah nyelonong sampai di ruang tengah terkejut menatap Alfa, sekejap dia merasa kepanasan.
Sementara Ayuni yang berdiri di dekat dapur menepuk jidat karena merasa anaknya bodoh tak terkira.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
