Ellena 1- 5 (Free)

5
1
Deskripsi

Ellena yakin mencintai Alfa, seyakin perasaanya bahwa Alfa juga tulus mencintai dia. Mengabaikan perasaan Biran, sahabat kecilnya, serta Varren, adik Alfa yang dijodohkan dengannya, Ellena kukuh memilih Alfa. Namun, kelamaan Ellena menyadari bahwa Alfa berubah dan hanya memanfaatkan dirinya. Perlahan rasa cinta Ellena berubah menjadi ketakutan dan kebencian. Ketika Ellena memutuskan lari dari Alfa, dia justru mengalami hal yang membuatnya terikat pernikahan dengan Alfa. 

Elllena yang hilang...

 

1.Prolog

November 2020

Malam sudah semakin larut, suasana hening menghiasi dinginnya malam yang masih diguyur hujan. Namun, di salah satu kamar sebuah rumah kawasan elit, terdengar suara rendah desahan yang saling  bersahutan, seiring dengan derit suara ranjang yang sejak sejam berlalu masih bertahan. 

"Kak!" 

Untuk ke sekian kalinya Ellena, perempuan yang tengah terkurung di bawah prianya menjerit.  

"El!" 

Alfa, pria yang berada di atas tubuh Ellena ikut menjerit sambil menekan kedua lengan Ellena. Dia masih bertahan dalam posisi menguasai Ellena, meskipun hasratnya sudah terlampiaskan

"Aahhhh sakiiit!" 

Tiba-tiba Ellena mengerang membuat Alfa refleks melepaskan tangannya.

"Maaf, El!"

 Dengan napas terengah Alfa memeriksa lengan Ellena yang memerah dan seketika merasa bersalah. 

"Maaf !” seru Alfa sembari segera duduk dan mengusap lengan Ellena dengan lemah lembut. 

"Udah nggak apa-apa. Mau lanjut?" tanya Ellena dengan senyum manis, menyembunyikan lelahnya yang tak terkira. 

Alfa memandang Ellena lalu menggeleng sambil tersenyum. Perlahan Alfa mengenakan kaosnya. 

 "Udah cukup, tidur aja," katanya sambil beranjak berdiri. 

Dari posisi berbaring, Elleana memperhatikan Alfa yang pergi ke kamar mandi. Beberapa menit kemudian, Alfa yang sudah berpakaian lengkap, kembali sembari membawa handuk basah. Penuh rasa cinta, lelaki itu menyeka tubuh Ellena lalu menbantu mengenakan piamanya  kembali, setelahnya Alfa menarik selimut, tapi dia sendiri tak naik ke atas ranjang. 

"Kak ...." Ellena menahan tangan Alfa yang akan pergi. 

"Ayo tidur!" pinta Ellena membuat Alfa terdiam tapi kemudian tersenyum. 

Perlahan Alfa kembali naik ke tempat tidur, masuk ke dalam selimut lalu memeluk Ellena. 

"Capek, El?" tanya Alfa dengan suara lembut.

"Iya, tapi aku masih sanggup kok kalau kamu masih mau lagi,” jawab Ellea yakin. 

Alfa mencium pelipis Ellena lalu mengeratkan pelukan sembari menghela napas panjang.

 "Besok harus pergi pagi, kan?" tanya Alfa mengingatkan. 

"Iya. Kamu nggak apa-apa kan aku pergi dua hari?" tanya Ellea tak yakin. 

"Jangan lupa kabari aku pagi dan malam," jawab Alfa. 

"Iya,” jawab Ellea singkat. 

"Jangan kecapekan, El,” lanjut Alfa mengingatkan. 

"Kamu yang suka bikin aku capek, Kak,” balas Ellena membuat Alfa tertawa kecil lalu tiba-tiba merenung. 

Sambil memainkan rambut wangi Ellena, tiba-tiba Alfa bertanya. "El, kamu cinta aku?"

Ellena tertawa sekilas lalu memejamkan mata sambil menguap. 

"Bosan jawab pertanyaan yang sama tiap malam!” seru Ellena tak perasaan. 

Alfa ikut tertawa mendengar jawaban Ellena yang diucapkan dengan suara manja, perlahan ia mencium bibir Ellena sambil berbisik, "Tapi aku nggak bosan bilang cinta kamu."

"Kenapa harus nanya tiap malam sih, Kak? Kalau bukan karena cinta, kita nggak mungkin menikah, kan?" tanya Ellena membuat Alfa terdiam. 

"Aku senang dengar kamu bilang cinta aku, El,” kata Alfa jujur. 

Ellena tertawa geli lalu menggumam, "Aku cinta kamu, Kak. Aku cinta suamiku."

Setelah mengucapkan kata cintanya, Ellena tertidur meninggalkan Alfa yang tersenyum sembari menatap foto pernikahannya dengan Ellena yang terpasang di dinding kamar. Sudah dua tahun mereka menikah, beberapa bulan lagi akan menjadi tiga tahun kebersamaan mereka sebagai suami istri. 

Alfa masih mengingat dengan jelas hari saat dirinya menikahi Ellena di tanggal ulang tahun sang istri, 14 Maret 2018. 

Dalam sekejap Alfa pun mengenang kebersamaan mereka selama menikah. Pernikahan bahagia yang selalu dihiasi canda tawa Ellena. 

Namun, tiba-tiba keringat dingin mengucur di dahi Alfa kala teringat jeritan Ellena di masa lalu. 

"Kamu tahu aku nggak pernah cinta kamu! Kita nggak pernah saling cinta!"

Spontan Alfa menggelengkan kepala lalu kembali mencium Ellena dan memejamkan mata. Sementara Ellena yang sudah tertidur tanpa sadar menggumam, "Biran?"

Alfa tersentak lalu dengan hati-hati meninggalkan Ellena. Perlahan dia keluar kamar, merenung dalam gelap malam. 

Di kamarnya, Ellena membuka mata dengan kaget, dengan napas terengah setelah mengalami mimpi, dia memanggil Alfa.

"Kak! Kak Alfa!" Ellena berteriak mengagetkan Alfa yang bergegas kembali ke kamar, menyalakan lampu dan memeriksa Ellena yang keringatan di tempat tidur.

"Kenapa, El? Sakit lagi?" tanya Alfa cemas. 

"Sakit kepala," jawab Ellena jujur.

"Mau ke dokter?" tanya Alfa.

Ellena menggeleng lalu menarik Alfa untuk memeluknya. 

"Jangan tinggalin aku!" rengek Ellena. 

Alfa menghela napas lalu kembali naik ke tempat tidur untuk menenangkan Ellena.

"Aku di sini, jangan takut,” bisik Alfa menenangkan. 

Ellena hanya diam, berusaha mengenyahkan kecemasannya karena mimpi yang kembali datang. Bukannya tidur, Ellena malah berusaha memperjelas mimpinya. 

"Hompimpa alaium gambreng!"

"Varren kamu yang jaga! Aku sama Ellena sembunyi!"

"Biran, nggak apa-apa kita curangin Varren terus?"

"Kita nggak curang, kita cuma sepakat memilih hitam atau putih."

"Ah, aku nggak mau pilih hitam terus, kasihan Varren!"

"Kita nggak curang, El. Varren yang memang mau pilih putih terus."

Dahi Ellena mengerut heran saat mengingat mimpi yang terasa nyata baginya. 

"Kak, kamu kenal anak yang namanya Biran?" tanya Ellena tiba-tiba membuat wajah Alfa berubah, tapi Ellena tidak melihatnya. 

"Kenal, kenapa?" tanya Alfa berusaha tenang. 

"Siapa dia?" tanya Ellea penasaran. 

"Teman kecilmu sama Varren,” jawab Alfa dengan nada biasa saja. 

Ellena langsung mendongak menatap Alfa yang tersenyum.

"Kalian sering main petak umpet bertiga, tapi kamu dan Biran sering mencurangi Varren. Tiap kali hompimpa, kamu sama Biran sudah lebih dulu sepakat memilih warna yang sama!” lanjut Alfa mengejutkan Ellena karena cerita yang disampaikan Alfa mirip dengan mimpinya. 

"Kenapa aku curang?" tanya Ellena heran.

"Kamu nggak curang, El. Kamu cuma ngikutin Biran. Udah ah, tidur ya?" ajak Alfa berusaha mengalihkan pikiran Ellena. 

"Ah, mungkin Varren sekarang lagi marah karena sadar dulu sering dicurangi,” gumam Ellena. 

Alfa tertawa lalu meralat ucapan Ellena. "Varren nggak pernah marah sama kamu. Aku yang sering memarahi kamu."

"Masa?" tanya Ellena tak percaya.“Marahnya gimana?"

Alfa menatap Ellena lalu mengeluarkan suara tegas. "El, jangan main curang! Jangan main lagi kalau Varren dibohongin terus! Jangan jadi anak curang dan pembohong!"

Ellena terpingkal melihat kekonyolan Alfa yang menirukan adegan saat memarahi Ellena. 

"Aku dulu nakal ya? Kenapa kamu jatuh cinta sama anak nakal?" tanya Ellena geli. 

Alfa mendekat lalu berbisik,"Karena aku memang suka anak nakal! Jadi bisa sering dimarahi!"

Ellena tertawa lagi karena Alfa sudah menggelitik pinggangnya. 

"Aku nggak percaya, kamu pasti bohong. Sekarang aja kamu nggak pernah marah sama aku. Ah, bahagianya aku menikah sama pria ini!" kata Ellena sambil memeluk Alfa kembali. 

"Kamu bahagia, El?" tanya Alfa tertegun. 

"Banget. Makasih ya, Kak, karena udah bikin aku jadi istri yang bahagia,” jawab Ellena dengan tulus. 

Alfa tersenyum miris. Hatinya mendadak gelisah. Sebuah ingatan kembali menghantuinya. 

"Perempuan nggak tahu diri! Brengsek!"

"Kak, ampun! Maafin aku!" Ellena menjerit, tapi tanpa ampun Alfa menamparnya. 

"Aku nggak akan pernah memaafkan kamu, Ellena!"

 

2. Ellena 

Januari 2011

Angin kencang menerpa tembok besar sebuah rumah mewah, menampar sebuah pohon yang dekat dengan balkon salah satu ruangan. Seolah ingin menambah suasana mencekam, hujan deras langsung turun mengiringi angin yang terus menggoyang dahan pohon di dekat balkon tersebut. 

Hujan yang seolah sedang mengamuk, menimbulkan percikan ke dalam lantai ruangan, menerpa wajah tiga remaja yang dengan sengaja berdiri di depan pintu, menonton ganasnya hujan yang sedang memorak-porandakan tanaman di halaman. 

"Mukaku basah!" Seorang pemuda bernama Varren menggerutu, tapi tidak beranjak pergi. 

Biran, yang berdiri di pojok menoleh lalu tertawa melihat wajah Varren yang terkena air. Varren yang seketika menoleh juga tertawa bersamaan karena Biran sama basahnya dengan dia. 

"Kita kurang basah!" tiba-tiba seorang gadis yang berada di tengah menarik keduanya. 

"Harus sebasah apa, El?" tanya Varren. 

"Basah kuyup!" jawab Ellena yakin.

"Hm, nggak perlu, El! Kak Al pasti nggak datang!" kata Biran.

"Kamu pikir dia tipe orang yang takut badai?" tanya Ellena.

"Dia bahkan nggak takut malaikat pencabut nyawa!" sambung Varren membuat kedua temannya terkikik. 

"Ayo kita main hujan!" ajak Ellena riang. 

"El, aku nggak mau!" Varren menentang.

"Takut sakit?" ejek Ellena. 

"Kalaupun kita basah kuyup, Kak Alfa tetap nggak akan meliburkan jadwal kita ...."

"Hompimpa!" seru Ellena menyela Varren. 

Varren mendesah lalu mengikuti Ellena dan Biran yang sudah mengangkat tangan. 

"Hompimpa alaium gambreng!" ketiganya mengayunkan tangan bersamaan. 

Bila salah satu dari mereka warna tangannya berbeda sendiri, dia yang menang. Mestinya kesempatan menang Biran dan Varren lebih besar karena keduanya sama-sama tidak mau basah kuyup, tapi ....

"Yes!" 

Ellena bersorak karena dia yang menang. Ellena mengayunkan punggung tangan sebagai tanda warna hitam sementara Varren dan Biran memberikan telapak tangan tanda warna putih. Diam-diam Varren dan Biran mengulum senyum, mereka sudah tahu Ellena pasti memberikan punggung tangan dan walaupun tidak janjian keduanya sengaja memilih telapak tangan agar Ellena menang. Dengan riang Ellena melangkah ke luar.

"El, awas, licin!" Varren memperingatkan ketika Ellena melangkah ke balkon yang basah. 

Terlambat, Ellena tergelincir. Seketika bukan hanya wajahnya yang basah, tapi sekujur tubuhnya. Ellena terdiam karena bahu kirinya terasa sakit, tapi demi air hujan yang menggoda, Ellena mengabaikan sakit yang berpindah di lengan kirinya.

Varren dan Biran terdiam sesaat lalu ketika melihat Ellena malah tertawa, keduanya menyusul ke balkon. Tak peduli pada petir menggelegar yang bisa saja mencabut nyawa mereka, ketiga remaja itu saling mencipratkan air hujan. 

"Ini pertama kalinya aku main hujan!" sorak Varren girang. 

"Ini ketiga kalinya aku kehujanan!" sahut Biran tak kalah girang. 

"Ini kesekian kalinya aku mandi air hujan!" sambung Ellena membuat Biran dan Varren terdiam sesaat menatap Ellena. 

"Kenapa?" tanya Ellena. 

"Kamu sering mandi hujan?" tanya Varren.

Ellena mengangguk penuh keyakinan.  "Kalau di rumah aku kadang hujan-hujanan."

"Mama pasti panik kalau tahu kamu main hujan, El!" kata Varren, tapi Ellena hanya tertawa.

"Main hujan itu menyenangkan! Kamu nggak bisa tahu sekarang aku lagi nangis atau nggak!" kata Ellena sambil tertawa. 

Biran menatap Ellena lalu menggeleng. "Sekarang kamu lagi kesenangan!" tebak Biran.

Ellena tertawa lalu mencipratkan air ke wajah Biran, tapi Varren menyela, "Sekarang kamu lagi ketakutan." 

Ellena dan Biran terdiam memandang Varren yang serius menatap Ellena. Perlahan Ellena mengelap matanya yang memerah terkena tetesan air hujan. 

"Sok tahu!" Biran memukul kepala Varren. 

Ellena masih menatap Varren, tapi ketika arah mata Varren bergerak pelan ke arah pintu di belakang Ellena dan Biran, Ellena merasa bulu kuduknya merinding. 

"Varren? Dia datang?" tebak Ellena dengan suara pelan. 

Pertanyaan Ellena membuat Biran seketika menggengam tangan Ellena. Sekilas Varren melirik tangan keduanya  lalu belum sempat dia berkomentar, sebuah suara membekukan ketiganya. 

"Asik main hujannya?" tanya suara itu nyaris tanpa emosi. Suaranya datar dan dingin, lebih dingin dari air hujan yang masih menerpa ketiganya. 

 

**

"Kerjakan soal di halaman tiga puluh dua." 

Alfa, guru privat yang juga kakak Varren menatap ketiga muridnya dengan kesal.

Varren, Biran, dan Ellena terdiam di kursinya, menekuri buku di meja masing-masing sambil mengutuk Alfa yang dengan kejam membuat ketiganya tetap belajar meskipun dalam keadaan basah kuyup. 

Alfa bahkan tidak mau membuang waktu dengan memberi kesempatan mereka untuk mengganti pakaian. Lelaki yang usianya terpaut tiga tahun dari para muridnya itu tampak serius memperhatikan murid SMA di hadapannya yang wajahnya terlihat kesal, terutama Ellena. 

Ellena menggigil kedinginan di balik handuk yang sebelumnya dilemparkan Alfa dengan kasar. Mata Ellena  melirik teko tempat teh panas berada. Varren sempat meminta teh panas pada asisten rumah, tapi Alfa dengan dingin menempatkan teh itu di hadapan ketiga murid privatnya. 

"Kalau kalian bisa menjawab benar tiga soal ini, kalian baru boleh mengambil secangkir teh,” kata Alfa dengan suara yang terdengar kejam bagi ketiga muridnya yang bebal. 

Seketika Varren langsung bergerak mengerjakan soal dengan serius lalu memberikan jawabannya pada Alfa bersamaan dengan Biran yang juga memberikan jawabannya. Hanya Ellena yang tetap mencoret kertas jawabannya dengan satu kata 'Menyebalkan'

Alfa menarik ujung alisnya menatap jawaban Biran lalu melemparnya. "Kerjakan ulang!"

Biran menggerutu kesal dan bertambah kesal ketika mendengar ucapan Alfa berikutnya. 

"Varren, kamu boleh mengambil satu cangkir,” kata Alfa dengan nada malas. 

Varren bergegas mengambil satu cangkir teh panas lalu menyerahkan untuk Ellena. Mata Biran dan Alfa melotot menatap Varren yang dengan lugu mempersilakan Ellena untuk menghabiskannya. 

"Varren!" Alfa menjerit marah, tapi Varren hanya tersenyum.

"Kakak bilang aku boleh mengambilnya. Ini hakku, Aku bebas ngasih ke Ellena!" kata Varren penuh kemenangan. 

"Ellena nggak bertanggung jawab, dia bahkan nggak mau berusaha menjawab soal itu. Jangan berikan!" perintah Alfa. 

Ellena mengerutkan alis lalu sengaja ingin membuat Alfa kesal dia mengambil cangkir teh itu. 

"Makasih, Var, aku udah gemetaran," kata Ellena dengan gigi yang bergemeletuk karena kedinginan. 

"Nggak bertanggung jawab, egois, nggak punya malu!" desis Alfa terang-terangan membuat Ellena gagal meminum tehnya. 

"Kamu senang memanfaatkan orang lain?" tanya Alfa dingin. 

"Apa aku yang meminta Varren memberikan tehnya untuk aku?" tanya Ellena tak kalah dingin

"Kamu memintanya dengan gerakan tubuhmu yang sok gemetaran!" jawab Alfa sadis. 

Sok gemetaran? Ellena meradang. Dia sungguh menggigil kedinginan dan guru privat di hadapannya ini menganggapnya sedang berakting. 

"Kak, Ellena bisa sakit. " Varren mencoba menengahi perdebatan. 

Ellena yang tak bisa lagi menahan kekesalan menghadapi keegoisan Alfa, melemparkan cangkir tehnya hingga mengenai kaki Alfa. 

"El!" Biran dan Varren tersentak kaget, tapi Alfa tetap berdiam diri dengan tenang.

"Kamu lebih suka sesuatu yang berharga untuk orang lain terbuang sia-sia di tanganmu, kan?" sindir Ellena. 

"Kamu mau pulang?" Alfa mengalihkan pembicaraan. 

"Pulang dan aku pastikan mamamu akan menguncimu seminggu di kamar!" ancam Alfa. 

Ellena tertawa lalu menggeleng.

 "Nggak, kita teruskan aja pelajarannya. Walaupun aku mati kedinginan di sini, aku nggak akan pergi,” jawab Ellena yakin. 

"Mengapa kamu mati kedinginan di sini? Mengada-ada!" seru Alfa  sambil tertawa meremehkan dan berbalik untuk menulis di papan tulis. 

Namun, baru beberapa detik  menulis, Biran dan Varren kembali memekik.

"El!" Biran dan Varren memekik bersamaan. 

Tadinya Alfa tak mau menoleh untuk menanggapi keisengan Ellena yang mungkin terjadi lagi, tapi ketika Varren dan Biran terus menjerit, Alfa kalah. Dia menoleh dan seketika ikut memekik kaget karena Ellena sedang membuka kemeja sekolahnya. 

"Ellena, kamu gila?" bentak Alfa.

Namun, Ellena tak peduli, dia bahkan membuka kaos dalamnya, memperlihatkan kulit mulusnya yang hanya tertutup bra, Biran dan Varren langsung memalingkan wajah, tapi Alfa mendekati Ellena, sekejap dia terkejut karena menyadari bibir Ellena membiru dan tubuhnya masih menggigil.

"Pakai bajumu!" perintah Alfa sambil membentak. 

"Bajuku basah." Ellena bersikeras. 

"Pakai handuk ini!" bentak Alfa.

"Handuknya nggak cukup menghangatkan, aku kedinginan! Kakak mau meluk aku biar hangat?" tanya Ellena dengan suara datar membuat Alfa semakin berang. 

Dengan geram Alfa membanting buku lalu melangkah keluar, tapi belum mencapai pintu, Biran dan Varren kembali menjerit. 

"El!"

"Kak Alfa, tolong!"

Alfa menoleh dan syok melihat Ellena jatuh terkapar di lantai. 

 

3. Ellena VS Alfa

"Kak, maafin Ellena, ya." 

Ayuni berulang kali menunduk meminta maaf pada Shavia. Wanita yang lebih tua dari Ayuni itu hanya berdeham sembari memperhatikan Ellena yang masih tertidur. 

"Aku bawa dia pulang sekarang." Ayuni bergegas meminta asisten rumahnya membantu mengangkat Ellena, tapi Shavia mengangkat tangannya.

"Biarkan dia tidur, kasihan,” kata Shavia dengan suara tenang. 

Ayuni urung membawa Ellena, sebagai gantinya dia malah mengikuti langkah Shavia yang memintanya ikut makan malam bersama. 

"Gimana Ellena?" tanya Bima dengan cemas. 

"Dia tidur," jawab Shavia. 

"Seperti bayi," sambung Shavia lagi sambil tertawa dan merangkul Ayuni, mempersilakannya untuk duduk. 

"Sekali lagi tolong maafin Ellena karena membuat kekacauan lagi,” kata Ayuni dengan wajah penuh rasa bersalah, tapi Shavia dan Bima malah tertawa bersamaan. 

"Ellena hanya terlalu aktif," kata Bima santai.

"Varren, kamu baik-baik saja?" tanya Ayuni khawatir sembari melirik Varren yang duduk dengan tenang. 

"Aku nggak apa-apa, Tan, Ellena yang ...."

"Kenapa dia bisa pingsan?" potong Alfa dengan nada tak percaya. 

Ayuni menatap Alfa lalu kembali meminta maaf atas kelakuan putrinya yang memang sering membuat keisengan.

"Kayaknya Ellena memang lagi nggak enak badan," jawab Varren sambil merenung. 

Ayuni menatap Varren lalu tertawa karena Varren terlihat jelas membela Ellena. 

"Ellena baik- baik aja," kata Ayuni di sela tawa.

"Maaf, aku permisi," kata Alfa  dengan suara dingin kemudian pergi meninggalkan meja makan. 

"Ayuni, maafin Alfa, dia terlalu ...."

"Aku sudah terbiasa, Kak. Alfa sebenarnya baik, buktinya dia yang menolong Ellena, kan?" sela Alfa dengan cepat menanggapi permintaan maaf Shavia atas sikap dingin putra sulungnya. 

Shavia dan Bima tertawa sementara Varren kembali merenung teringat saat Alfa bergegas mengangkat Ellena ke dalam kamarnya, mengurungnya dalam selimut sembari berteriak untuk segera memanggil dokter. Selama itu Varren tak lepas menatap kecemasan di wajah Alfa. Dia yakin kakaknya sungguh mencemaskan Ellena.

"Maaf Aku juga permisi." Varren ikut berdiri meninggalkan para orang tua yang kembali berbincang tentang kenakalan Ellena selama ini.

**

Alfa berjalan ke dalam kamarnya, tempat Ellena masih tertidur. Dalam diam Alfa  memperhatikan Ellena yang terlelap di ranjangnya. 

Perlahan Alfa mendekati Ellena dan menyentuh dahinya yang masih hangat. Sekejap ada rasa bersalah merayap di hati Alfa. Kalau bukan karena kekerasan hatinya menghukum ketiga muridnya, Ellena tidak akan berakhir pingsan kedinginan. 

Namun, mengingat wajah Ellena saat melucuti pakaiannya sendiri dan saat Ellena melemparnya dengan cangkir teh, Alfa menggelengkan kepalanya. 

"Ellena sengaja membuat dirinya basah kuyup, Ellena yang membuat ulah!" kata Alfa geram. 

Saat sedang mengamati wajah Ellena, Varren tiba-tiba masuk ke dalam kamar dan tertawa. 

"Nyesal, Kak?" tanya Varren sambil dengan santai menyentuh tangan Ellena. 

"Var, jangan kamu sentuh, dia ...."

"Kenapa aku nggak boleh nyentuh Ellena?" tanya Varren. 

"Dia baru tidur." Alfa mengingatkan. 

Varren tertawa lalu duduk di tepi tempat tidur. "Sekarang kakak khawatir? Padahal tadi Kakak yang bikin dia pingsan!"

"Dia yang nyakitin dirinya sendiri,” bantah Alfa. 

"Kak, kenapa terlalu kejam sama Ellena? Dia perempuan dan kesayangan mama!" kata Vareen mengingatkan. 

"Varren, dia bukan perempuan biasa. Dia bahkan sering ngerjain kamu!" Alfa juga mengingatkan. 

"Tapi nanti kita bakal jadi keluarga, kan?" tanya Varren. 

"Ellena bukan keluarga kita!" tegas Alfa. 

"Tapi mama sama papa menganggapnya sebagai anak sendiri bahkan menyayangi Ellena melebihi kita berdua! Salah satu di antara kita pasti bakal jadi calon suami Ellena, setidaknya jangan terlalu kasar sama Ellena lagi!" ucap Varren serius. 

Alfa melipat tangannya di dada lalu mendorong dahi Varren. 

"Kamu nggak cocok nikah sama Ellena!" katanya sambil mendorong dahi Varren lagi.

 

"Dia cuma bikin kamu kesulitan!" kata Alfa lagi sambil melangkah pergi.

Varren tertawa lalu mengucapkan satu kalimat yang membuat Alfa tertegun sejenak.

"Jadi menurut Kakak, dia lebih cocok nikah sama Kakak?" tanya Varren dengan suara tenang. 

"Aku nggak akan sudi nikah sama dia!" sahut Alfa tegas membuat Varren tertawa lagi.

"Ayolah, semua juga tahu mama nggak akan melepaskan Ellena sebagai menantunya. Kalau bukan aku, Kakak pasti yang akan dinikahkan sama Ellena,” kata Varren mengingatkan. 

"Tapi sayangnya Ellena benci Kakak!" kata Varren sambil tertawa puas membuat Alfa pergi begitu saja tanpa bicara lagi.

*

Tengah malam Ellena terbangun, setelah beradaptasi dengn sekelilingnya, Ellena menyadari bahwa dia tidak berada di kamarnya yang ada di rumah Shavia. 

Perlahan Ellena bangkit dari tidur untuk mencari air minum. Dia baru saja akan membuka pintu kamar ketika matanya menangkap sebuah foto di meja, foto Alfa bersama Varren ketika masih kecil. 

Seketika Ellena tertawa lalu karena rasa penasaran yang tinggi, Ellena justru memeriksa seisi kamar, mengamati buku-buku, aksesoris bahkan memeriksa lemari. 

"Hm, dia memang orang yang rapi!" kata Ellena sambil tertawa. 

"Memangnya kamu pikir aku orang serampangan seperti kamu?" tiba-tiba terdengar sebuah suara dari belakang Ellena. 

Ellena mendadak terdiam, tangannya yang berada di daun pintu lemari membeku. 

"Kamu mau mencuri atau bagaimana?" tanya suara itu lagi.

Mendengar kata pencuri, Ellena tersinggung. Dengan kasar dia menutup pintu lemari dalam satu bantingan, mengagetkan Alfa yang sejak tadi duduk diam mengamati Ellena dalam keremangan. 

"Kamu ngeliat aku ngambil sesuatu?" tanya Ellena sinis. 

"Aku belum melihatnya. Tapi kalau aku nggak bersuara mungkin kamu sudah mengambil beberapa barang,” jawab Alfa menyebabkan Ellena tertawa sinis. 

"Memangnya apa yang bisa aku curi dari ruangan ini?" tanya Ellena meremehkan. 

Alfa tak langsung menjawab, dia malah mengamati Ellena yang baru dia sadari sedang dalam keadaan tak pantas dilihat. Ellena hanya mengenakan baju tidur tipis. Sekejap Alfa mengutuk ibunya yang salah memakaikan baju Ellena.

"Mana aku tahu apa yang mau kamu curi. Semua pencuri punya orientasi yang berbeda!” balas Alfa ketus. 

Ellena yang kesal perlahan mendekati Alfa sambil bertanya, "Kalau kamu curiga kenapa kamu bersuara? Kamu bisa tahu apa yang aku curi kalau kamu tetap diam di tempatmu."

 

"Aku menyelamatkan kamu dari perbuatan dosa memalukan,” balas Alfa lagi. 

"Dosa memalukan?" tanya Ellena geram. 

"Ya, mencuri itu dosa dan memalukan, El. Mungkin kamu perlu mengingatkan papamu tentang hal itu,” jawab Alfa dengan ringan. 

Ellena sudah di ambang batas kesabaran. Menghina dirinya sudah cukup mengesalkan hatinya, tapi menghina ayahnya luar biasa menyakiti hatinya.

"Apa yang papaku curi?" tanya Elena dingin. 

Alfa terdiam menatap Ellena yang sudah berjarak dekat dengannya. Alfa bahkan bisa merasakan hembusan napas Ellena yang semakin mendekat. 

Mendadak Alfa menjadi tegang, seluruh tubuhnya menegang karena Ellena yang marah tampak sangat menggoda dirinya. Terlebih karena Alfa tahu di dalam baju tidur tipis itu, Ellena tidak mengenakan apa pun lagi. Dia yang telah mencopot bra Ellena yang basah kuyup dan hampir mencopot bagian bawahnya juga bila saja Varren tidak menjerit mengingatkan agar ibu mereka saja yang melakukannya. 

"Kamu terlalu berani," jawab Alfa sembari menatap ke dalam mata Ellena. 

Ellena terdiam lalu mengamati wajah Alfa dengan seksama. Ellena tak mengerti mengapa Alfa selalu bersikap dingin dan menyebalkan. Sementara Alfa memikirkan hal lain tentang Ellena.

Sudah hampir tujuh belas tahun Ellena keluar masuk di rumah Shavia, menginap, makan bersama, berlibur bersama bahkan terkadang tertidur bersama saat menonton di ruang keluarga, tapi baru hari ini Alfa menyadari Ellena sudah tumbuh menjadi gadis yang memiliki bentuk tubuh indah. 

"Kak, kenapa kamu harus menjadi manusia kejam nggak berperasaan? Memangnya apa salahku selama ini ke kamu?" tanya Ellena frustrasi. 

"Salahmu?" Alfa balik bertanya. 

"El, bukannya kamu yang membocorkan ban mobilku? Kamu yang menyembunyikan makalah tugas kuliahku? Kamu juga yang memfitnah aku di depan mama kalau aku yang mendorong kamu ke kolam waktu itu?" Alfa mengingatkan sederet dosa Ellena yang dilakukan dalam sebulan belakangan ini. 

"Aku nggak perlu mengingatkan perbuatanmu dalam bulan-bulan sebelumnya, kan?" tanya Alfa. 

Ellena memutar bola matanya lalu kembali menatap tajam Alfa. 

"Aku nggak akan melakukannya kalau bukan karena kamu yang lebih dulu bersikap seenaknya." Ellena membela diri. 

"Kamu bahkan selalu mengerjai Varren yang selalu bersikap baik ke kamu!" sahut Alfa lagi. 

"Aku nggak mengerjai Varren!" kilah Ellena. 

Alfa tertawa lalu mendorong dahi Ellena.

"Aku malas berdebat!" kata Alfa sambil beranjak pergi, tapi Ellena menarik tangannya.

"Kamu yang memulai perdebatan!" sahut Ellena jengkel. 

"Aku pikir kamu orang waras, maaf perdebatan hanya untuk dua orang normal dan waras!” balas Alfa dengan nada yang membuat Ellena semakin geram apalagi ketika Alfa menarik tangannya dengan kasar. 

"Setidaknya kamu harus minta maaf karena mengatakan papaku mencuri, kan?" tuntut Ellena. 

Alfa kembali tertawa lalu menggeleng.

 "Aku nggak bilang papamu pencuri, hanya memintamu mengingatkan kalau mencuri itu dosa dan memalukan. Ah, apa kamu memang menyadari kalau papamu mencuri?" tanya Alfa sebelum berbalik pergi membelakangi Ellena yang seketika berbalik lalu menjerit histeris. 

 "Kak Al!" 

Teriakan Ellena sontak mengagetkan Alfa. Takut jeritan Ellena terdengar orang rumah, refleks dia membekap mulut Ellena yang memberontak dan semakin menjerit.

"Tolooooong!" Ellena menjerit histeris sembari menendang Alfa. 

Alfa merintih kesakitan, tapi tetap bertahan membekap Ellena agar tidak membangunkan seluruh penghuni rumah. 

Karena sama-sama menggunakan kekuatan penuh, mereka berdua terjungkal di lantai. 

"Brengsek! Sakiiit!" Ellena menjerit karena dahinya terbentur kaki meja. 

Alfa yang panik spontan memeriksa dahi Ellena yang berdarah.

"Jangan sentuh!" Ellena kembali menjerit membuat Alfa kembali membekapnya. 

"Hmmmpp ...." Ellena memberontak, tapi Alfa lebih kuat. 

Alfa menindih Elena agar tidak bergerak, satu tangannya membekap mulut Ellena dan tangan lainnya memeriksa dahi Ellena yang robek. 

"Diam El, aku periksa dahimu,” kata Alfa. 

Karena Ellena terus memberontak, Alfa kesulitan mempertahankan bekapannya. Ketika mulut Ellena terbebas, gadis itu kembali menjerit dan menangis. 

"Tolooooong!"

Dan kali ini teriakannya diakhiri dengan dobrakan keras di pintu kamar. 

"Alfa!" Shavia dan Bima menjerit histeris menatap Alfa yang sedang berada diatas tubuh Ellena yang bajunya sudah tampak berantakan. 

"Kamu apakan Ellena?!" teriak Bima mengejutkan. 

"Ma, Pa, ini bukan ...."

Tanpa bicara Bima menarik Alfa dan menamparnya sementara Shavia menenangkan Ellena yang menangis terisak karena dahinya nyeri dan bahunya sakit.

"Bajingan!" Bima memaki sembari menyeret Alfa ke luar kamar dan memukulnya lagi.  

"El, kamu nggak apa-apa?" Shavia tampak panik karena Ellena terlihat berantakan. 

"Sakit!" Ellena mengerang membuat Shavia gemetaran. 

"Alfa ... kamu diapain Alfa?" tanya Shavia panik mengalahkan kepanikan Ellena yang dahinya masih berdenyut nyeri. 

"Aku nggak tahu, Tan," jawab Ellena linglung karena kesakitan. 

"El, dia nggak memperkosa kamu, kan? Belum, kan?" tanya Shavia histeris

Ellena terdiam sesaat menatap Shavia.

"Perkosa?" tanya Ellena lebih kepada dirinya sendiri. 

Shavia menangis histeris lalu bersiap  memeriksa tubuh Ellena, tapi Ellena yang kesakitan karena dahinya mengeluarkan darah terus merintih membuat Shavia semakin panik.

"Alfa nggak mungkin serendah ini mau memperkosa gadis yang sudah seperti adiknya sendiri!" teriak Shavia kebingungan. 

Ellena ingin menjawab, tapi rasa sakit membungkam bibirnya yang memucat. 

Lagi, Ellena jatuh pingsan saat mendengar jeritan histeris Shavia mengiringi darah yang merembes sampai ke pipinya. 

"Alfa sudah gila! Tenang El, kalau dia melakukannya, Tante pastikan dia akan bertanggung jawab. Alfa akan menikahi kamu!"

 

4. Calon Menantu

"Aku sama sekali nggak berniat memperkosa Ellena! Aku cuma mau meriksa dahinya yang luka!" Alfa membela diri sembari menyentuh bibirnya yang berdarah karena ditampar ayahnya. 

"Al, bersumpah kamu nggak  menyentuhnya?" tanya Bima memastikan. 

"Sumpah nggak, Pa!" balas Alfa kesal. 

"Tapi kenapa kamu ada di kamarnya?!" selidik Bima lagi. 

"Itu kamarku!" Alfa menjerit. 

"Tapi kamu tahu Ellena di sana. Dan kenapa dia menjerit? Kalau kami nggak datang, apa yang sebenernya mau kamu lakukan?" tanya Bima tak mengerti. 

Alfa menarik napas panjang dan mengembuskannya secara perlahan.

 "Pa, kami cuma bertengkar seperti biasa. Ellena itu sinting! Dia memang suka mencari perkara. Pasti dia sekarang lagi tertawa bahagia!" kata Alfa jengkel. 

"Kamu yang sinting, Al!" maki Bima.

Ayah dan anak itu masih berdebat sampai Shavia datang dengan panik sambil memberi pengumuman. 

"Ellena pingsan lagi, dahinya terus berdarah!"

Bima yang tertular panik segera kembali ke kamar untuk memeriksa Ellena yang tergeletak tak bergerak. 

"Shav, dokternya kapan datang?!" jerit Bima ketakutan. 

Alfa yang menyusul ke kamar terdiam menyaksikan Ellena terkapar untuk kedua kalinya, kali ini bahkan lebih mengerikan karena berdarah. 

"Rumah sakit, Pa!" jerit Alfa menyadarkan kedua orang tuanya. 

Bima yang tersadar segera mengangkat Ellena dan membawanya ke rumah sakit dikuti oleh Shavia dan Alfa. 

Di perjalanan tanpa sadar Alfa menggengam tangan Ellena yang mengigau. 

"Pa ... sakit ... sakiiit …." erang Ellena.

"Sabar, Sayang!" Shavia berusaha memenangkan Ellena yang kembali tak sadarkan diri. 

 

**

"Ellena syok, lukanya nggak parah, tapi nggak ringan juga. Dahinya robek dan mendapat tiga jahitan. Sekarang dia tertidur. Tolong selama dua hari ke depan biarkan dia beristirahat di sini." Dokter pria tua yang menangani Ellena memberi penjelasan.

Ayuni dan Pram hanya mengangguk lemah menatap Ellena yang sedang terbaring di tempat tidur rumah sakit. 

"Ayuni, tolong maafkan kelalaian kami, Ellena ...."

"Sudah Kak, ini pasti ulah Ellena sendiri, kan? Maafkan ulahnya," sela Ayuni. 

Pram mendekati Ellena lalu mencium keningnya. 

"Sayang, kenapa bisa seperti ini?" Pram menggumam sendiri. 

Bima dan Shavia merasa tak enak hati lalu mengajak kedua orang tua Ellena untuk bicara serius di kantin rumah sakit bersama Alfa yang kembali diinterogasi. 

"Alfa, ceritakan dengan jujur apa yang sebenarnya terjadi?" tanya Bima. 

Alfa menarik napas, kesal karena dia didudukan bak tersangka yang berniat memperkosa Ellena. Namun,  dengan tenang Alfa menceritakan seluruh kejadian dengan mengurangi bagian pertengkaran mereka yang disebabkan kemarahan Ellena karena Alfa mengatakan ayahnya pencuri. 

Shavia menarik napas lega kemudian Bima terbahak. 

"Ah, Ellena ini memang lucu!" kata Bima diikuti tawa Shavia dan Ayuni yang hanya tersenyum kecil sementara Pram kembali ke kamar Ellena diikuti pandangan Alfa yang mendesah dalam hati. 

"Pantas Ellena menyayanginya."

**

"Menikah?!" Biran dan Varren memekik bersamaan.

"Memperkosa?!" Kali ini keduanya tak berhenti terbahak bersama Ellena yang tak kalah heboh menertawakan kesialan Alfa. 

"Dia kena batunya!" Biran terpingkal di samping Ellena sambil merangkul bahunya.

"Ah ...." Ellena seketika merintih membuat Biran refleks mengangkat tangannya. 

"Kenapa, El?" tanya Birun bingung. 

Ellena menyentuh lengan kirinya lalu meringis. 

"Sakit, bego!" Ellena mengumpat. 

"Loh?" Varren segera mendekat dan memeriksa lengan Ellena. 

"Memar, El?" tanya Varren bingung. 

"Iya,” jawab Ellena masih sambil meringis. 

Seketika Biran dan Varren memelotot memandangi Ellena dengan serius. 

"Eh, dia nggak beneran mau nidurin kamu, kan?" tanya Biran serius. 

 

Ellena balas memelotot lalu memukul dahi Biran. 

"Dia nggak segila itu juga, kali!" bantah Ellena. 

"Bisa aja dia memang gila. Biar gimana pun, Kak Alfa itu pria dewasa! Bisa aja dia tergoda ngeliat kamu,” kata Biran serius. 

"Masalahnya, El, waktu itu kamu nggak pakai dalaman, kan?" lanjut Varren membuat Ellena mencekik lehernya. 

"Mulut kalian berdua bisa dijaga, nggak, sih?!" teriak Ellena jengkel. 

"Beneran kamu nggak sempat diapa-apain?" tanya Biran. 

"Ngaku aja, El. Aku laporin ke mama kalau dia memang ....” ocehan Varren tersela oleh teriakan kesal Ellena. 

"Kalian berdua jangan kebanyakan drama!" omel Ellena tiba-tiba. 

"Kalau beneran kamu diapa-apain, kalian bisa langsung dinikahkan!" seru Varren merinding.

"Iiih, ogah!" Ellena ikut merinding membayangkan harus menikah dengan Alfa, musuh besarnya.

"Kalau pun stok cowok di dunia sisa Kak Alfa, aku tetap nggak mau nikah sama dia kecuali mungkin aku sudah gila!" kata Ellena serius. 

Biran dan Varren tertawa bersamaan karena membayangkan Ellena menjadi istri Alfa, manusia paling terkutuk di hidup Ellena, begitu pun Alfa yang selalu menganggap Ellena adalah hama pengganggu hidupnya

"El, lengan kamu kok nggak diapa-apain?" tanya Varren heran. 

"Baru kerasa sakitnya tadi, nanti aku bilang mama biar diperiksa dokter,” jawab Ellena. 

"Mama kamu kok nggak keliatan?" tanya Biran. 

Ellena mengangkat bahunya lalu menjawab malas, "Pasti sibuk sama Kak Manda."

Biran dan Varren menatap Ellena dengan ekspresi sedih kemudian mencoba menghibur Ellena untuk melupakan ibunya. 

"Aduh, sakit. Jangan mukul lenganku!" Ellena mengeluh ketika Varren tanpa sengaja memukul lengannya yang memar.

"Aku telepon mama aku aja ya, El?" kata Biran.

"Tapi dokterku bukan mama kamu, Ran,” jawab Ellena. 

"Nggak apa-apa, mama kan, di sini juga,” kata Biran sebelum menghubungi Rania, ibunya yang juga dokter di rumah sakit tempat Ellena dirawat. 

Beberapa menit kemudian Rania sudah berada di ruangan Ellena sambil tersenyum manis. 

"Hai, Cantik!" sapa Rania ramah. 

"Hai, Tan!" balas Ellena tak kalah ramah. 

"Mana yang sakit?" tanya Rania. 

Pelan-pelan Ellena membuka lengannya yang membiru. 

"Ya ampun!" Rania menutup mulutnya

"Kenapa, Ma?" tanya Biran panik. 

"Parah ya, Tan?" tanya Varren cemas. 

Rania menggelengkan kepalanya dengan wajah datar. 

"Kenapa bisa separah ini, El!" pekik Rania membuat Ellena ikut panik. 

"Harus dioperasi, Ma?" tanya Biran tak kalah panik. 

Rania mendesah lalu menekan tombol pemanggil perawat sambil menggumam.

"Parah banget ini, El, gimana kamu bisa pakai baju renang kalau memar begini? Nggak cantik lagi kan, jadinya?" seru Rania sambil terbahak. 

Varren, Biran, dan Ellena melongo lalu ikut terbahak bersama Rania yang tertawa. 

***

Alfa merenung di kamarnya mengingat kejadian saat Ellena jatuh menghantam kaki meja. Perlahan Alfa turun untuk memeriksa kaki meja yang menyebabkan dahi Ellena terluka.

"Sial!" Alfa mengutuk baut yang menonjol keluar, penyebab robeknya dahi gadis pengganggu itu. 

"Pantas dia jerit-jerit!" Alfa menggelengkan kepalanya mengingat teriakan histeris Ellena yang kesakitan. 

Perlahan Alfa tersenyum sendiri mengingat ekspresi panik Ellena saat dia menindihnya. Tiba-tiba saja Alfa membayangkan wajah Ellena lagi. Ellena, gadis yang seperti adiknya sendiri. 

Usia Ellena sama dengan Varren, terpaut tiga tahun dengan Alfa. Saat ini Ellena dan Varren sedang berada di kelas tiga SMA, karena itu keduanya dipaksa belajar bersama Alfa, sang juara sekolah yang lulus dengan nilai tertinggi. 

Sejak kecil Ellena sering bermain di rumah Alfa karena ibunya terlalu sibuk mengurus Manda, kakaknya yang punya penyakit jantung bawaan sejak lahir sedangkan Pram sering berada di luar kota. 

Ellena sudah dianggap anak sendiri oleh Shavia dan Bima. Tak jarang saat keduanya berpergian, Ellena yang mendapat hadiah jauh lebih banyak dari anak kandung mereka sendiri. Shavia sering membelikan Ellena berbagai pakaian indah dan Bima bahkan sering memberikan Ellena uang saku berlebihan. Keduanya tak bisa disangkal, sangat menyayangi Ellena. 

 

Sejak kecil Ellena suka mengganggu dan membuat ulah yang menyebabkan ibunya berulang kali memohon maaf pada kedua orang tua Alf,a tapi baik Shavia maupun Bima hanya menganggap kelakuan Ellena sebagai kenakalan biasa yang menggemaskan. Akibatnya Ellena tumbuh menjadi anak yang semakin nakal dan sering mengganggu Alfa juga Varren. 

Bila Alfa selalu menunjukkan kekesalan pada Ellena, Varren sebaliknya. Dia memuja Ellena. Apa pun perintah gadis itu dia bersedia melakukannya, Varren menyayangi Ellena lebih dari dirinya sendiri.

 Menyadari bahwa putra bungsunya sangat memperhatikan Ellena, Shavia dan Bima pernah meminta Pram mengizinkan Ellena untuk menjadi calon menantu mereka, calon istri untuk Varren. Namun, ketiga anak tersebut tidak mengetahui tentang perjodohan yang direncanakan orang tua mereka. 

"Al, lain kali perhatikan sikapmu. Meskipun Ellena kamu anggap sebagai adikmu sendiri, tapi dia sudah Papa jodohkan sama Varren. Jangan bertindak berlebihan!" kata Bima tiba-tiba mengejutkan Alfa.

"Mama hampir membatalkan perjodohan mereka dan menikahkan kamu dengan Ellena!" seru Shavia.

Alfa terhenyak lalu menatap kedua orang tuanya. 

"Siapa yang menganggap Ellena sebagai adik sendiri?" tanyanya kesal sambil berdiri dan menendang kursi. 

"Mama dan Papa yang menganggapnya anak tanpa pernah bertanya apa aku keberatan sama keputusan kalian!" sambung Alfa. 

Shavia dan Bima saling pandang menatap kepergian Alfa yang masih terlihat marah. 

"Setidaknya aku lebih tua dari Varren, kenapa nggak bertanya tentang siapa yang seharusnya kalian jodohkan sama Ellena!"  tanya Alfa jengkel. 

Kali ini Shavia tak sanggup menahan tawanya mengulang kata-kata terakhir Alfa yang diteriakan dari pintu. 

"Sayang, apa kita tukar aja Ellena dijodohkan dengan Alfa? Toh Varren dan Ellena belum bertunangan. Mereka juga belum tahu tentang perjodohan itu, kan?" tanya Shavia. 

"Varren menyayangi Ellena, itu pasti akan melukai hatinya,” tolak Bima. 

Shavia mengangguk lalu menatap punggung Alfa. "Tapi apa Alfa baik-baik saja? Jangan-jangan dia menyukai Ellena bukan sebagai adik!" kata Shavia kebingungan, tapi Bima menggeleng. 

"Entahlah. Tapi Alfa bisa dapat banyak wanita dengan mudah, sedangkan Varren, siapa yang bisa memahami dan menerima Varren sebaik Ellena?" tanya Bima sambil merenung. 

Shavia mengangguk lagi lalu menggengam tangan Bima. "Varren atau Alfa, Ellena harus menjadi menantuku. Aku yang ikut membesarkan dia!"

Bima tertawa lalu berdiri tapi Shavia menahan tangannya. 

"Antar aku dulu," pinta Shavia

"Ke mana?" tanya Bima. 

"Anakku sendirian di rumah sakit! Ayuni pasti nggak datang lagi!" jawab Shavia sambil mendesah kesal. 

Bima mengangguk lalu mengambil kunci mobil. 

"Belikan es krim coklat kesukaan Ellena dulu," kata Bima diiringi anggukan kepala Shavia yang tersenyum lebar. 

 

 

5. Mom and Daughter

Ellena melempar tas dan sepatunya sembarangan lalu dengan malas menyusuri rumahnya yang sepi. 

"Mama ke mana, Bi?" tanya Ellena pada asisten rumahnya yang menyambutnya dengan khawatir.

"Mbak El baik-baik aja? Sudah sembuh?" tanya Bi Dian. 

"Ini bekasnya," jawab Ellena sambil menunjuk dahinya yang masih diplester sambil terkikik lalu duduk di meja makan. 

"Mama ke mana?" ulang Ellena.  

"Ibu ngantar Mbak Manda audisi,” jawab Bi Dian dengan suara pelan. 

Ellena mengambil gelas, meminum air lalu menggerutu, "Audisi terus tapi nggak pernah lolos juga!" umpatnya kesal. 

Tak ada sahutan dari Bi Dian dan Ellena terus mengomel karena dia terlalu kesal. Ayuni tidak menjemputnya di rumah sakit hanya untuk memgantar kakaknya audisi menyanyi yang selalu gagal. 

"Kak Manda itu nggak bakat! Mama buang-buang waktu. Aku yang nggak ngerti dunia tarik suara aja nggak pernah menganggap suara Kak Manda luar biasa apalagi para juri! Mama berlebihan!"

"Mbak ...." Bi Dian ingin bicara, tapi Ellena terus mengoceh. 

"Mestinya Kak Manda itu banyak istirahat, waktu dibuang untuk hal yang sia-sia. Kasian Kak Manda. Apa jantungnya nggak kumat tiap kali menerima kekalahan di audisi?"

Setelah mengomel Ellena tertawa sendiri lalu berdiri. 

"Kak Manda dan suaranya yang biasa saja tapi mamanya yang luar biasa!" seru Ellena dengan suara nyaring membahana. 

"El, cukup!" terdengar seruan dari belakang Ellena yang mengagetkan gadis itu. 

"Mama ... Kak …." Ellena tergagap menatap Ayuni yang matanya berkilat menahan marah dan Manda yang matanya berkaca-kaca. 

"Kamu nggak sepantasnya menghina kakakmu!" Ayuni membentak Ellena. 

"Ma, aku nggak menghina, kok!" Elena ingin mengatakan bila yang dikatakannya adalah fakta, tapi melihat Manda masih menatapnya, dia urung mengucapkannya. 

"Kak, maafin aku. Aku cuma kesal, aku ...."

"Walaupun kesal, haruskah kamu menghina kakakmu?!" bentak Ayuni lagi. 

Ellena menunduk lalu menggeleng. "Maaf, Ma."

Ayuni menghela napas lalu kembali bicara. 

"Bereskan tas dan sepatumu di depan! Masuk kamar dan pergi les jam empat!" perintah Ayuni. 

"Les?" tanya Ellena bingung. 

"Les tambahan sama Alfa! Nilaimu hampir merah semua!" jawab Ayuni menahan kesabaran karena pusing memikirkan nilai akademik Ellena yang berantakan. 

"Aku nggak mau!" Ellena menolak mentah-mentah. 

"Lalu apa maumu?!" bentak Ayuni. 

"Ma, aku ...."

"Kamu mau terus membuat onar dan membuat malu keluarga?!" tanya Ayuni jengkel. 

"Memangnya dapat nilai merah sebegitu memalukannya? Nilaiku baru hampir merah, belum merah! Aku juga bukan hamil di luar pernikahan atau sejenisnya!" balas Ellena tak mau kalah. 

"Ellena!" Ayuni menjerit frustrasi. 

"Mama berulang kali dipanggil ke sekolah hanya untuk mendengar ceramah wali kelasmu tentang nilai dan kelakuan burukmu lainnya. Apa kamu tahu waktu yang mama buang mendengarkan ocehan gurumu itu bisa untuk merawat kakakmu?!" tanya Ayuni kesal. 

"Ya kalau begitu kenapa didengarkan? Mama bisa memilih nggak datang ke sekolah sama seperti yang Mama lakukan sekarang. Lebih mementingkan audisi nggak penting kakak daripada menjemput aku di rumah sakit!" balas Ellena dengan tak kalah kesal. 

Ayuni tersentak kaget. "Mengapa membentak Mama?!" hardik Ayuni sembari mendekati Ellena yang melangkah mundur.

"Kalau Mama nggak mau datang ke sekolah lagi, Tante Shavia mau kok menggantikan Mama. Tante Shavia bisa membereskan masalahku di sekolah!" balas Ellena. 

Ayuni semakin marah karena dibandingkan dengan Shavia yang selalu menyelesaikan masalah Ellena menggunakan aneka suap dalam bentuk donasi atau mengirim aneka makanan sebagai permintaan maaf pada semua guru Ellena.

"Mamamu siapa?" tanya Ayuni kesal

"Ma, sudah!" Manda menahan tangan Ayuni agar tidak mendekati Ellena. 

"Kenapa kamu semakin kurang ajar?!" bentak Ayuni. 

"Mama pilih kasih!" jerit Ellena kesal. 

"Mama nggak pernah peduli aku. Mama cuma peduli Kakak!" teriak Ellena. 

"Apa katamu?" tanya Ayuni dingin. 

"Mama nggak peduli aku!"  teriak Ellena membuatnya mendapatkan satu tamparan dari Ayuni yang kesal. 

"Mama!" Manda menjerit histeris, tapi Ellena hanya tersenyum sinis menatap Ayuni, semakin membuat wanita itu murka. 

"Mama hampir mati melahirkanmu dan ini balasanmu?! Seumur hidupmu kamu ingin selalu mempermalukan Mama dengan semua tingkah kekanakanmu! Ellena, kapan kamu dewasa?!" tanya Ayuni. 

"Mestinya dulu Mama nggak perlu melahirkan aku! Mama menyesal, kan? Mama kehilangan banyak waktu Mama untuk mengurus kakak yang teramat berharga hanya karena aku, anak yang nggak berharga!" balas Ellena. 

"El!" Ayuni kembali membentak Ellena. 

"El, masuk kamar!" Manda meneriaki Ellena, tapi adiknya justru menatapnya dengan marah. 

"Aku benci Kakak!" jerit Ellena mengagetkan Manda. 

"Manda!" Ayuni berteriak histeris karena Manda tiba-tiba jatuh terduduk memegang dadanya. 

"Kak?!" Ellena ikut kaget dan berlutut bersama Ayuni untuk memeriksa Manda, tapi Ayuni mendorong Ellena. 

"Jangan sentuh kakakmu!" marah Ayuni tanpa menatap Ellena yang membentur tembok. Ellena merintih karena lengannya yang memar kembali mendapat benturan. 

"Manda, ayo ke kamar! Mama panggil dokter!"  kata Ayuni mengabaikan Ellena yang juga kesakitan. 

"Ma, sakit!" Ellena mengerang dengan suara lirih, tapi Ayuni lebih memperhatikan Manda yang sudah berulang kali mengatakan dirinya baik-baik saja.

"Ma …." Ellena memanggil Ayuni yang sudah berdiri mengantar Manda ke kamar. 

"Mama jahat ...." kata Ellena pasrah dengan suara pelan. 

"Mbak El, baik- baik aja?" tanya Bi Dian khawatir. 

Ellena menggeleng pelan lalu mengadu.  "Lenganku sakit, Bi!" 

Bi Dian segera mengangkat lengan baju Ellena dan terkejut karena mendapati memar yang cukup besar di sana. Perlahan Bi Dian membantu Ellena berdiri dan membawanya ke kamar. 

"Tas sama sepatuku." Ellena berhenti menatap tas dan sepatunya yang berserak di kejauhan. 

"Nanti Bibi bereskan," kata Bi Dian sambil mengantar Ellena. 

**

"Ma, jangan begitu lagi," kata Manda ketika Ayuni mendekapnya di kamar. 

 

"Adikmu itu beda, Manda. Dia nggak bisa mengerti bahasa halus,” kata Ayuni dengan tenang. 

"Ma, dia semakin menjadi-jadi kalau Mama selalu marah. Kasihan El, Ma,” kata Manda serius. 

"Nanti Mama minta maaf." Ayuni mengalah.

"Ma, jangan selalu bertengkar sama Ellena. Dia sudah terlalu sering ngalah, Ma,” lanjut Manda. 

Ayuni hanya terdiam lalu setelah mencium kepala Manda dia menyelimuti putri sulungnya.

"Nggak usah kamu pikirkan, Ellena baik-baik aja,” ucap Ayuni serius. 

Manda menggeleng lalu menggengam tangan Ayuni. 

"Kalau aku mati, janji jangan bertengkar lagi sama El, Ma. Dia satu-satunya anak Mama. Dia harapan Mama, jangan ...."

"Kamu nggak akan mati, Manda!" kata Ayuni tegas. 

Manda tertawa lalu mengusap wajah Ayuni. "Ma, hanya karena aku nggak bisa Mama ajak bertengkar, Mama nggak harus meluapkan semuanya ke Ellena."

Ayuni tertawa lalu mengusap rambut Manda lagi. "Ellena senang diajak bertengkar. Mama mau melihatnya, dia pasti mengutuk Mama lagi." 

Manda tersenyum lalu mengangguk. Perlahan Ayuni menutup pintu kamar Manda lalu menarik napas panjang. 

"Manda, Mama janji kamu nggak akan mati dengan mudah,” kata Ayuni di dalam hati. 

Lalu pandangan Ayuni beralih ke arah Bi Dian yang meneteng tas dan sepatu Ellena. 

"Bi, ke mana anak itu? Aku menyuruhnya membereskan barangnya sendiri!" teriak Ayuni menahan kesal. 

Bi Dian berdiri dengan gemetar apalagi ketika Ayuni mendekat. 

"Ah, pantas pengajaran disiplinku selalu gagal! Nggak di rumah Kak Shavia, nggak di rumah ini semua orang terlalu memanjakannya!" omel Ayuni. 

"Bu, Mbak El sakit,” kata Bi Dian ketakutan. 

"Rumah sakit mengizinkan dia pulang berarti dia sudah baik-baik saja. Jangan terkecoh air matanya. Anak itu memang ...."

"Lengannya memar, Bu!" kata Bi Dian menyela membuat Ayuni menghela napas panjang. 

“Memar?” tanya Ayuni ragu. 

Bi Dian mengangguk, Ayuni menarik napas lalu mengambil alih tas dan sepatu di tangan Bi Dian.

 

"Bu, biar saya aja." Bi Dian memohon karena takut Ayuni kembali memarahi Ellena. 

"Dia anakku!" bentak Ayuni membuat Bi Dian mengkerut ketakutan. 

*

Ellena duduk di tempat tidur sembari mengamati lengannya yang masih membiru. Mulutnya komat-kamit mengutuk rasa sakit yang dialaminya. 

"Mama jahat!" umpatnya kesal, tapi seketika mulutnya bungkam karena Ayuni masuk ke dalam kamarnya sembari meneteng tas dan sepatunya.

"Sudah berapa kali kamu mengutuk Mama?" tanya Ayuni. 

Ellena diam membisu sementara Ayuni membuka tas Ellena dan memeriksa kantong obatnya. Perlahan Ayuni duduk berlutut di depan Ellena, membuka lengan bajunya dan menempelkan salep di memar Ellena. 

"Apa lagi yang kamu lakukan, El?" tanya Ayuni. 

Ellena tak menjawab melainkan hanya tersenyum sendiri melihat Ayuni sibuk memeriksa lengannya. 

"Berhenti bikin onar yang melukai dirimu sendiri! Siapa yang mau menikah sama kamu kalau kamu punya banyak bekas luka?"  tanya Ayuni. 

"Kak Alfa yang ...."

"Alfa nggak akan sudi menikah sama kamu!" potong Ayuni. 

Ellena langsung kesal karena mendengar ucapan Ayuni.

"Bukan itu maksudku! Aku lebih nggak sudi menikah sama dia!" teriak Ellena. 

Ayuni tiba-tiba tertawa dan Ellena ikut tertawa. 

"Kak Alfa yang nekan lenganku," kata Elena membuat Ayuni berhenti tertawa lalu mendongak.

"Kenapa dia melakukannya? Dia nggak berniat me ...."

"Nggak Ma. Nggak sengaja," potong Ellena. 

"Tapi ... El, jujur sama Mama. Apa yang sebenarnya Alfa lakukan malam itu?" tanya Ayuni serius. 

Ellena menceritakan segalanya dari awal dan sama seperti Alfa dia menutupi bagian saat Alfa mengatakan Pram sebagai pencuri. Setelah mendengarkan cerita Ellena, Ayuni mengerutkan dahinya. 

"Mengapa dia ada di kamarmu saat tengah malam?"  tanya Ayuni heran dan dijawab  Ellena dengan mengangkat bahu.

 "Itu kamarnya, Ma. Mungkin ada yang dia cari,” jawab Ellena santai. 

Ayuni menatap lengan Ellena lalu menyentuh pipi Ellena yang bekas dia tampar.

"Mama nggak benar-benar nampar kamu kenapa kamu bilang Mama jahat?!" tanya Ayuni sambil mendorong pelan dahi Ellena yang tertawa. 

"Biar mendramatisir!" jawab Ellena enteng karena sebenarnya tak ada rasa sakit dari tamparan Ayuni yang sangat pelan. 

"El, Mama nggak pernah menyesal melahirkan kamu, tapi tolong jangan membuat ulah lagi,” kata Ayuni membuat Ellena diam tak menyahut. 

"El, jangan menginap di sana lagi,” ucap Ayuni tiba-tiba. 

Ellena seketika mengerucutkan bibirnya. "Kenapa, Ma?"

"Hmm….” Ayuni hanya berdeham singkat berusaha mencari jawaban, tapi Ellena langsung menyela. 

"Aku bisa kunci kamar kalau menginap di sana lagi. Aku kan punya kamar sendiri di sana,” kata Ellena berusaha meyakinkan Ayuni. 

"Kenapa waktu kamu pingsan Alfa bawa kamu ke kamarnya?" tanya Ayuni yang dijawab Ellena dengan mengendikan bahu. 

"Mungkin karena kamarnya yang paling dekat sama ruang belajar kami. Ma, daripada ngelarang aku nginap di sana, bisakah membebaskan aku dari jadwal kelas tambahan?" tanya Ellena penuh harap, tapi dengan tegas Ayuni menggeleng.

"Kalau kamu nggak bisa dilarang bermain di sana, lebih baik waktu bermainmu untuk belajar!" sahut Ayuni tegas. 

"Tapi Ma ...."

"El, Mama bukan meminta kamu menjadi juara sekolah, hanya sesuai standar kelulusan,” sela Ayuni pasrah. 

"Leskan aku di tempat lain, aku nggak mau belajar sama monster itu!" Ellena memohon, tapi Ayuni tegas menolak. 

"Kita akan melukai hati Tante Shavia kalau kamu belajar di tempat les lain lagipula Mama nggak tenang meninggalkan kamu di tempat lain untuk membuat onar lagi!" kata Ayuni. 

"Mama nggak takut kalau Kak Alfa benar-benar mau nidurin aku?!" tanya Ellena menakuti Ayuni. 

Ayuni melipat tangan di dada lalu menyentuh dahi Ellena yang masih diplester. 

"Mama nikahkan kalian kalau hal itu terjadi!" jawab Ayuni serius. 

"Mama!" Ellena menjerit histeris sementara Ayuni hanya tertawa lalu memeluk Ellena. 

"El, janji jadi anak baik ya supaya bisa dapat suami yang baik dan punya kehidupan yang baik,” kata Ayuni dengan suara lemah lembut. 

"Aku nggak perlu menikah cepat Ma, aku masih mau kuliah, kerja, masih jauh untuk menikah, jangan khawatir,” balas Ellena meyakinkan. 

Ayuni mengusap rambut Ellena lalu memejamkan mata teringat pembicaraannya dengan Pram. 

"Aku nggak bisa menerima perjodohan ini!" tolak Ayuni tatkala mereka pulang dari makan malam bersama Bima dan Shavia.

"Yun, sementara ini kita nggak bisa melakukan apa pun. Kita bergantung pada Kak Bima, lagipula Keluarga mereka menyayangi El seperti anaknya sendiri, Ellena ...."

"Tapi Varren cacat, Pram! aku nggak sudi hidup Ellena untuk merawat Varren, dia ...."

"Kita pikirkan nanti, Yuni,” sela Pram dengan cepat. 

"Nanti ... nanti! Nanti kapan? kamu mau menunggu sampai mereka menikah?" tanya Ayuni putus asa. 

"Ayuni, mereka bahkan belum lulus SMA!" bantah Pram. 

"Kak Shavia bisa melakukan apa pun sesuai keinginannya! Dia bisa saja meminta mereka menikah tanpa perlu kuliah!" kata Ayuni ketakutan. 

"Kak Shavia nggak segila itu!" kata Pram menenangkan, tapi Ayuni tak bisa tenang. 

"Tapi Varren ...."

"Ma, aku lapar," ucap Ellena membuyarkan renungan Ayuni. 

"El, di antara Alfa dan Varren kamu lebih bersedia menikah dengan siapa?" tanya Ayuni tiba-tiba. 

Ellena tampak berpikir sesaat kemudian memberi jawaban asal.

"Biran," jawabnya enteng membuat Ayuni melepaskan pelukannya. 

"El, kamu beneran bikin Mama sakit kepala!"  ucap Ayuni jengkel. 

Ellena tertawa lalu mengekor di belakang Ayuni yang sudah pergi menuju dapur untuk membuatkannya masakan. 

"Jangan berani makan kalau kamu nggak meminta maaf sama kakakmu!"  ancam Ayuni. 

"Oke." Ellena berjalan sambil terbungkuk menuju kamar Manda. 

"Tapi kakak memang nggak berbakat nyanyi!" kata Ellena lagi membuat Ayuni kembali menjerit. 

"Ellena!" 

Ellena terkikik lalu tanpa mengetuk pintu dia masuk ke dalam kamar Manda, melompat naik ke atas tempat tidur dan sama sekali tidak meminta maaf.

"Kak, nggak usah ikut audisi nyanyi," katanya membuat Manda mendelik kesal. 

Ellena memeluk Manda lalu menggumam, "Lebih menyenangkan main sama aku daripada ngantri audisi," bisiknya. 

Manda tertawa lalu balas memeluk Ellena sambil menyentuh pipinya.

"Jangan buat mama marah lagi, El,” pinta Manda. 

"Hmm." Ellena hanya menggumam pelan sambil memejamkan mata. 

Ayuni yang sudah dua kali berteriak memanggil Ellena akhirnya memeriksa kamar Manda. Di depan pintu, Ayuni tersenyum kecil menatap kedua putrinya yang sama-sama tertidur lelap sambil berpelukan. 

"Ya Tuhan, tolong jangan ambil kebahagiaan kami. Tolong jaga dua malaikatku," lirihnya dalam hati.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Ellena 6- 10 (Free)
4
0
Alfa mendadak merasa hatinya bak balon yang meletus, Ellena merasa gelisah tak menentu, dan Biran yang sudah nyelonong sampai di ruang tengah terkejut menatap Alfa, sekejap dia merasa kepanasan.Sementara Ayuni yang berdiri di dekat dapur menepuk jidat karena merasa anaknya bodoh tak terkira. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan