Dendam Dita - Part 2

5
0
Deskripsi

“Saya Dita, Pakde, dari kampung sebelah. Tolong saya, Pakde. Baru saja saya ditalak suami yang memilih hidup bersama selingkuhannya. Dia mengusir saya dari rumah dan hanya memberi sedikit harta. Saya nggak bisa melawan karena nggak punya kuasa, tapi saya sakit hati, Pakde. Bisakah Pakde membuat mereka merasakan sakit yang sama seperti yang saya rasakan?” tanya Dita menggebu-gebu. 

4. Pulang Kampung

 

Perjalanan kelas ekonomi yang diisi oleh banyak pengamen membuat hati Dita terasa lebih nyeri karena penyanyi jalanan itu menyuarakan lagu-lagu patah hati yang seolah mengolok perpisahan Dita dan Doni. 

Lagu yang silih berganti berkumadang di dalam bis seolah menjadi motivasi kuat Dita untuk membalas sakit hatinya. Berjam-jam kemudian ketika bis tiba di terminal dekat kampungnya, Dita langsung memesan ojek. 

Memanggul tas cukup besar, Dita tidak langsung mendatangi rumah bibi yang menjadi tempat tinggalnya setelah kehilangan orang tua. Dengan mantap Dita melaju ke desa sebelah, tepatnya ke rumah kayu di daerah dekat hutan. 

Meski sempat takut, Dita mantap mendatangi rumah seorang dukun yang terkenal memiliki kemampuan gaib. 

“Aku nggak bisa membalas mereka dengan tanganku sendiri, harus dengan tangan sakti orang lain!” ucap Dita saat melangkah ke teras rumah kayu yang sepi. 

Sewaktu masih remaja Dita sering melihat beberapa tamu di teras rumah dukun sakti itu. Dita belum pernah sekalipun berurusan dengan dukun mana pun, tapi teringat kalau dulu ada banyak orang sakit yang berobat ke dukun itu serta sedikit orang membuat pengakuan kalau menggunakan jasa dukun untuk membalas sakit hati pada orang jahat, Dita pun mantap melangkah. 

“Pakde Lono hanya mau mengirim mantra balas dendam untuk orang jahat!” 

Dita masih ingat betul gosip yang disebarkan tetangganya ketika heboh mendatangi praktek dukun sakti Pakde Lono. 

“Mas Doni, Ayu, dan Ibu Sri adalah orang jahat! Mereka harus ikut merasakan kesakitanku! Mas Doni harus bangkrut!” kata Dita di dalam hati sebelum mengetuk pintu rumah yang terbuka. 

“Permisi, Pakde Lono, buka praktek nggak?” tanya Dita langsung. 

Tak ada jawaban dari rumah yang sepi. 

“Permisi, Pakde, saya butuh bantuan!” seru Dita lagi. 

Masih tak ada jawaban hingga Dita memutuskan pergi dulu. Pikir Dita, mungkin Pakde Lono sedang istirahat. 

Dita baru saja berbalik untuk pergi ketika terdengar suara lelaki dari sebuah kamar.

“Ada perlu apa? Katakan saja,” ucap seorang pria yang menurut Dita tidak terdengar seperti suara orang tua. 

“Apa Pakde Lono itu masih muda?” tanya Dita di dalam hati karena dia tak pernah bertemu dukun sakti itu. 

“Pakde, saya mau minta bantuan untuk menyakiti musuh saya, Pakde!” ucap Dita langsung. 

“Musuh? Siapa kamu?” tanya pria itu. 

“Saya Dita, Pakde, dari kampung sebelah. Tolong saya, Pakde. Baru saja saya ditalak suami yang memilih hidup bersama selingkuhannya. Dia mengusir saya dari rumah dan hanya memberi sedikit harta. Saya nggak bisa melawan karena nggak punya kuasa, tapi saya sakit hati, Pakde. Bisakah Pakde membuat mereka merasakan sakit yang sama seperti yang saya rasakan?” tanya Dita menggebu-gebu. 

“Dita? Kamu Dita kampung Bunga Jauh ya? Dita anaknya almarhum Pak Surya?” tanya suara itu lagi. 

“Kok tahu?” balas Dita heran. 

Saat mata Dita menyipit untuk menatap bagian dalam rumah yang gelap, perlahan terdengar langkah kaki. Mata Dita semakin memincing untuk melihat sosok yang akhirnya terlihat dalam ruangan yang lebih terang. 

Dalam sekejap Dita membelalak dengan mulut terbuka lebar. 

“Loh, Arya! Kok kamu di sini? Ke mana Pakde Lono?!” pekik Dita kaget karena melihat teman sekolahnya dulu berdiri dengan cengiran lebar di hadapannya. 

Tak mengindahkan pertanyaan Dita, Arya malah mendekat sembari memiringkan kepala. 

“Halo, Dit! Lama nggak ketemu, jadi sekarang kamu janda yang ditalak suami karena pelakor?” sapa Arya membuat hati Dita semakin sakit. 

“Ke mana Pakde Lono?” tanya Dita mulai was-was. 

“Wah, kurang gosip nih kamu, Dit! Pakde Lono kan sudah lama ditangkap karena praktek dukun palsu! Rumah ini sudah lama dijual anaknya ke keluargaku. Maaf ya, tadi aku cuma iseng menggantikan Pakde Lono!” jawab Arya ramah, tapi sukses membuat Dita ingin pingsan karena telanjur malu pada Arya yang kembali memberinya cengiran lebar. 

“Pulang menjanda dan ingin balas dendam dengan kekuatan dukun sakti? Kirain lama tinggal di kota udah jadi manusia modern, kok masih primitif, Dit? Harusnya kalau mau balas dendam tuh pakai cara elegan dan masuk akal. Nggak usah pakai dukun yang bahkan nggak kamu tahu kesaktiannya! Yang logis aja, pakai solat, doa, dan usaha!” olok Arya sambil melipat kedua tangan di depan dada. 

Tak ada jawaban dari Dita, alih-alih menanggapi Arya yang sejak dulu memang senang menjahilinya, Dita memilih langsung pergi. 

Sambil menggendong tas besarnya, terburu-buru Dita menuruni tangga teras. Namun, sungguh sial bagi Dita. Ketergesaan membuatnya terjungkal ke rumput dan kakinya pun terkilir. 

“Astaga, Dita! Bisa jalan, nggak? Kalau nggak, aku antar aja kamu pulang,” kata Arya seraya memperhatikan kaki Dita yang tak bisa diajak kompromi untuk berdiri apalagi berlari. 

Selama beberapa detik Dita terdiam memandangi Arya yang masih terlihat tampan seperti saat masih sekolah. Namun, aura jahil juga tak hilang dari wajah Arya. Selain itu, wangi pun masih menjadi ciri khas lelaki paling kaya di kampung Dita. 

“Hey, melamun! Udah janda, kan? Berarti nggak bakal ada suami yang marah kalau aku tolong kamu! Ayo kuantar!” kata Arya ramah sembari mengulurkan tangan  membantu Dita berdiri. 

Tak hanya membantu berjalan, Arya juga membantu membawakan tas besar Dita. 

“Ya Tuhan, baru sehari menjanda, mengapa aku sudah mau diantar lelaki lain pulang?” tanya Dita di dalam hati, tapi tetap saja Dita tak membantah ketika Arya membawanya ke mobil yang parkir di teras. 

 

 

 

5. Dilamar Juragan Beras

 

Mata Dita membengkak dan Dita juga merasa bibirnya ikut membengkak karena seharian mengadu pada Bibi Hanin tentang kehidupan pernikahannya yang berakhir mengenaskan. Setelah puas mengadu, telinga Dita pun terasa membengkak mendengar tanggapan Hanin. 

“Apa Bibi bilang? Doni itu nggak tulus sayang sama kamu! Waktu Bibi tahu kamu bantu biayain kuliahnya, Bibi sudah merasa laki-laki itu brengsek!” maki Hanin yang ikut sakit hati keponakannya ditelantarkan suami tak tahu diri. 

Dita tak berani membantah lagi, padahal dulu dia paling aktif membeberkan segala macam kebaikan Doni agar bibinya mau merestui pernikahan mereka. Kini Dita tak bisa lagi menyangkal semua serapah yang dilontarkan Hanin untuk mengutuk Doni. 

“Ya sudah, tidak usah diratapi lagi! Kamu ubah kehidupanmu menjadi lebih baik!” nasihat Hanin setelah mengulurkan teh panas untuk meredakan kesedihan Dita. 

Sambil menikmati teh yang membuatnya rindu kenangan masa lalu di kampung, Dita juga teringat pada nasihat Arya ketika mengantarnya pulang. 

“Tak perlu mengotori tangan dengan kejahatan, Dit, buat saja dia menyesal karena pernah menyepelekanmu.” 

“Bagaimana dia akan menyesal? Pekerjaannya makin mentereng, gajinya besar, istri barunya cantik dan bergaya,  mereka juga akan memiliki anak. Lengkap dan sempurna kebahagiaan mereka,” keluh Dita. 

“Nggak ada yang sempurna, apalagi untuk penjahat! Semua yang mereka dapatkan itu bisa musnah dengan cepat, apalagi hasil curian!” balas Hanin kembali emosi. 

“Aku mau cari kerja, Bi. Jadi TKW aja biar gampang melupakan masa lalu menyakitkan ini,” ucap Dita dramatis. 

Kali ini Hanin diam saja karena terkejut dengan keputusan Dita. Hanin tak terima Dita menjadi TKW karena tak mau keponakannya makin terperosok dalam kesedihan di negara orang lain. Namun, Hanin tak mengutarakan keberatannya. 

Alih-alih memberi nasihat pada Dita untuk mencari pekerjaan di negara sendiri, diam-diam Hanin bergerak mencari cara mencegah niat Dita untuk melamar ke agen penyalur tenaga kerja. 

“Nggak ada duit, Dit! Nggak punya Bibi tabungan untuk nambahin biayamu ke Taiwan!” seru Hanin menolak ketika Dita ingin meminjam uang. 

Dita langsung merengut, kesal karena menganggap Hanin menjadi pelit. Padahal, Hanin tidak bermaksud pelit. Hanin hanya tak mau Dita pergi ke luar negeri. 

Dalam keadaan kesal, Dita mencoba mencari uang tambahan sendiri untuk keluar negeri. Tiba-tiba saja Dita memiliki ide melamar pekerjaan di salah satu toko beras milik keluarga Arya. 

Mudah bagi Dita mendapatkan pekerjaan tersebut karena dia mengenal seluruh keluarga Arya yang baik. Berbeda dengan Arya yang sejak kecil sangat usil, semua kakak Arya sangat sopan dan senang membantu orang lain. 

“Gawat ini! Kalau Dita berhasil mengumpulkan uang, dia pasti berangkat ke Taiwan!” keluh Hanin ketika melihat Dita menghitung gaji pertamanya bekerja sebagai karyawan di toko beras. 

“Bi, Mbak Arum minta aku jadi pegawai administrasi aja. Katanya aku lebih cermat! Baik banget ya, Bi!” seru Dita riang sembari menyisihkan lima lembar uang seratus ribuan dan menyerahkan pada Hanin. 

“Untuk apa? Bibi nggak butuh uang! Masih banyak!” tolak Hanin. 

“Untuk biaya hidupku lah, Bi! Tiap hari aku numpang makan, tidur, jajan, mandi, nonton TV! Aku yakin ini masih kurang, tapi nanti aku bakal ganti kalau sudah kerja di Taiwan. Sementara ini dulu ya,” kata Dita sambil memberikan cengiran lebar. 

Hanin tahu Dita pandai menyimpan uang. Sejak kecil ikut dengannya, Dita pandai menabung. Namun, kali ini Hanin tak setuju pada kepandaian Dita menyimpan uang.

“Nggak usah buat Bibi, buat kamu aja! Belilah kosmetik yang kayak orang-orang Korea itu. Beli baju baru biar nasibmu ikut berubah baru!” omel Hanin membuat Dita tertawa. 

“Beli kosmetik Korea juga nggak akan mengubah wajahku jadi kayak artis korea kan, Bi? Mending kutabung aja uangnya!” balas Dita.

“Biar nggak kayak Song Hye Kyo, seenggaknya biar keliatan kayak wanita normal. Pelajaran ditinggal suami yang lebih memilih wanita cantik, jangan pelit untuk diri sendiri!” sahut Hanin sembari meraih uang yang sempat diulurkan Dita. 

“Kalau kamu nggak mau beli, Bibi aja yang beli! Bibi mau nyobain masker snail!” ucap Hanin membuat Dita terbahak-bahak. 

Dita mengira Hanin hanya bercanda, tapi wanita berusia lima puluh tahun itu serius pada ucapannya. Keesokan harinya Hanin benar-benar membeli berbagai krim perawatan wajah dan meletakkannya di kamar Dita. 

“Pakai semua itu! Siapa tahu bisa bikin kamu ketemu jodoh yang lebih baik dari Doni sialan!” kata Hanin serius. 

Dita pun bungkam, syok melihat berbagai macam tabung perawatan kecantikan yang totalnya lebih dari uang yang diberikan Dita padanya. 

“Bi, tapi ….”

“Dita, menjanda itu bukan akhir dari kehidupan. Dicerai jangan kayak orang mati, bangkit lagi dengan lebih baik! Cari lagi lelaki yang lebih baik!” seru Hanin menyela Dita yang menarik napas panjang. 

“Bibi aja sudah sepuluh tahun menjanda, gampang banget nasihatin orang!” gerutu Dita dengan kurang ajar. 

“Hey, bedakan ya! Bibi ditinggal mati, bukan ditinggal kawin lagi! Cinta Bibi nggak akan tergantikan untuk orang lain, tapi kamu kan nggak dicintai suamimu, ngapain kamu menenggelamkan diri dalam kesedihan yang nggak berguna?” omel Hanin membuat Dita tertegun karena tersinggung. 

“Maaf, bukan maksud Bibi bilang begitu, tapi kenyataannya memang begitu,” lanjut Hanin sebelum meninggalkan Dita yang merenung. 

Dua bulan berikutnya dilalui Dita dengan banyak renungan. Meski sudah punya aktivitas dan kesibukan bekerja, berjalan-jalan dengan Hanin, dan terkadang bertengkar dengan Arya yang sering datang ke kantor sederhana milik ayahnya, tetap saja Dita masih memikirkan pernikahannya yang gagal. Dita sering merasa tak akan pernah bisa bahagia lagi. 

Meski setiap hari rajin menggunakan aneka krim perawatan wajah yang menghabiskan uang hampir sejuta, tetap saja Dita tak merasakan perubahan apa pun. Dita selalu merasa tak secantik Ayu yang telah merebut suaminya. 

Apalagi saat akhirnya surat cerainya dengan Doni diantar ke rumah, Dita merasa hidupnya telah benar-benar berakhir karena beberapa tetangga menjadi julid padanya. 

Ada rasa malu dalam diri Dita tiap kali ditanya kenalan lamanya yang membahas pernikahan dan perceraiannya. 

“Nggak ada pertanyaan lain apa? Nanya penyebab orang cerai terus!” gerutu Dita ketika baru saja masuk ke rumah. 

Dita sangat kesal karena sudah tiga bulan berlalu semenjak surat cerainya keluar, tetangga masih saja sering membahas kegagalan pernikahannya. 

Gerutuan Dita seketika terhenti ketika menyadari ada tamu yang sedang serius bercakap-cakap dengan Hanin di ruang keluarga. 

“Halo, Pakde, Bude,” sapa Dita pada Pak Banu dan Bu Lastri, orang tua Arya. 

“Halo, Dita, baru pulang? Bukannya sudah selesai kerja dari siang? Ini kan hari Sabtu, setengah hari aja,” kata Lastri ramah. 

“Iya Bude, tadi mampir beli ini. Ayo cicipi, Bude!” kata Dita sembari mengangkat plastik berisi kotak brownies.

Tadinya Dita membeli jajanan untuk Hanin, tapi karena ada tamu, Dita memutuskan menyajikannya untuk menghargai tamu. Cepat-cepat Dita berjalan ke dapur untuk memotong brownies, tapi langkahnya dikejutkan oleh pintu kamar mandi yang terbuka. 

“Astaga, ngapain kamu di sini?!” tanya Dita kaget saat melihat Arya yang juga terkejut melihatnya. 

“Egh, itu, ngantar Ibu sama Bapak, mau ketemu Bibi Hanin,” jawab Arya gugup sebelum berjalan cepat meninggalkan Dita yang kebingungan. 

Namun, keheranan Dita tak berlangsung lama karena saat dirinya bergabung di ruang keluarga untuk menyajikan brownies dan teh, Banu membuka percakapan yang membuat jantung Dita seakan ditarik dari tempatnya. 

“Dita, kedatangan kami ke sini untuk melamar kamu sebagai istri Arya. Apa kamu bersedia menikah dengan Arya?” tanya Banu membuat mata Dita memelotot, apalagi saat mendengar kelanjutan ucapan dari Lastri. 

“Kata Dek Hanin, kamu dan Arya sudah akrab. Bibimu juga setuju kalian menikah. Daripada sering keluyuran bersama dan jadi omongan warga kampung, menikah saja ya?” ucap Lastri ramah. 

“Menikah? Sama Arya? Tapi, kami ….”

“Dit, maaf aku bikin kamu kaget. Sebenarnya sudah lama aku mau bilang ini sama kamu, tapi kurasa lebih baik langsung melamarmu saja,” ucap Arya menyela Dita yang semakin terkejut. 

“Melamarku? Sebagai istri? Kamu masih waras, Ya?” tanya Dita sambil memelotot. 

“Waras. Aku mau merantau ke kota, buka cabang toko beras Bapak. Aku butuh pendamping dan kurasa kamu yang cocok. Selain kamu bisa bantu aku berjualan beras, aku juga yakin kamu bisa bantu aku menjadi imam yang baik,” jawab Arya tanpa keraguan. 

Namun, Ditalah yang menjadi ragu hingga mendadak seluruh tubuhnya menjadi lemas dan pingsan dalam sepuluh detik kemudian. 

“Astaga, Dita! Dicerai baik-baik saja, kok giliran dilamar malah pingsan!” omel Hanin. 

 

 

6. Mau tapi Malu

 

“Arya, menikah loh, kamu tuh jangan bercanda!” 

Suara Dita tampak tertekan ketika berbicara dengan Arya yang tampak santai. Setelah Dita pingsan, Lastri memanggil tetangga yang juga perawat puskesmas. Setelah mendapat penjelasan kalau Dita pingsan disebabkan oleh kurang makan, Hanin, Lastri, dan Banu meninggalkan Dita hanya berdua dengan Arya. 

“Siapa yang bercanda? Aku serius!” balas Arya tanpa ragu. 

“Tapi kita kan ….”

“Bapak sama Ibu cocok sama kamu, aku juga merasa cocok aja sama kamu. Tinggal kamunya aja, mau nggak sama aku?” sela Arya. 

Dita terdiam, masih syok dengan pertanyaan Arya yang menurutnya sangat gila. Tak pernah Dita berpikir akan datang lelaki lagi untuk melamarnya. Dita masih trauma pada pernikahan, tapi dia juga tersanjung pada lamaran Arya. 

Namun, mengingat riwayat penyakit usil yang dimiliki Arya, Dita mengusir rasa tersanjungnya. 

“Dit, tolong jawab lamaranku sekarang juga,” pinta Arya. 

“Kasihan tuh bapak sama ibuku nungguin jawaban kamu,”desak Arya. 

“Aku nggak bisa putuskan sekarang. Kamu kan tahu aku baru cerai!” balas Dita. 

“Yang penting kan aku nggak melamar istri orang! Aku tuh nggak mau pacaran-pacaran, Dit, jalanin hubungan halal aja biar lebih berkah!” kata Arya bijaksana, tapi Dita malah mencurigainya. 

“Kamu tuh nggak lagi ikut ajaran sesat pesugihan yang mengharuskan kamu menikahi janda-janda, kan?” tanya Dita berprasangka. 

“Ngawur! Mana ada pesugihan nikahin janda, yang ada nikahin perawan kali!” balas Arya sambil tertawa. 

“Aku tahu kamu masih kaget, nggak usah dijawab sekarang deh. Minggu depan aku tanya kamu lagi, kalau kamu setuju, kita langsung menikah,” kata Arya sebelum meninggalkan Dita dengan satu usapan lembut di dahinya. 

Usapan yang membuat Dita terbuai dan terlena. Selama bermenit-menit setelah kepergian Arya dan keluarganya, Dita masih melamun. Hanin yang akhirnya masuk ke kamar membuyarkan lamunan Dita. 

“Terima aja, Bibi merestui! Kali ini kamu pasti bahagia! Nggak kayak waktu sama Doni!” kata Hanin langsung. 

“Arya itu tampan, baik. Keluarganya juga baik. Yang penting, dia kaya, kamu nggak akan melarat!” seru Hanin membuat Dita melotot. 

“Dosa, Bi, nikah karena harta!” kata Dita mengingatkan. 

“Lebih dosa lagi kalau terus meratapi hidup dalam kesedihan. Move on, Dita! Ayolah terima saja lamaran Arya!” desak Hanin. 

“Cinta bisa dipupuk setelah menikah, yang penting ada sedikit rasa senangmu untuk Arya. Selebihnya kamu perlu menjaga rasa hormat dan menghargai Arya sebagai suami, Bibi yakin, kamu akan bahagia,” nasihat Hanin. 

“Bi, aku nggak ada masalah sih sama Arya. Kalaupun dia main-main, tinggal cerai aja lagi,” ucap Dita membuat Hanin menjerit. 

“Kamu harus meluruskan niat pernikahan, Dit! Jangan menggampangkan pernikahan bisa bercerai! Niatkan sebagai ibadah, sebagai ladang pahala!” omel Hanin. 

“Oke, ya pokoknya begitulah,” ucap Dita pasrah. 

Sebenarnya Dita sangat berbahagia karena masih ada yang mau melamarnya. Setelah patah hati dan merasa rendah diri dihina Doni, Dita merasa tak pantas menolak lamaran Arya. Meski tak tahu seberapa tulus Arya melamarnya, Dita hanya ingin membalas dendam pada Doni. 

Namun, ada yang mengganjal hati Dita. 

“Masalahnya, Arya bilang kan akan merantau ke kota,” ucap Dita membuat Hanin memandanginya dengan serius. 

“Memangnya kenapa, Dit? Kamu kan selama ini juga tinggal di sana. Jangan bilang kamu mau mengabdi sama kampung ini? Bohong banget!” seru Hanin sambil tertawa. 

“Bukan sama kampung ini, tapi sama Bibi. Aku nggak mau ninggalin Bibi lagi,” kata Dita membuat Hanin sempat terdiam. 

“Alasan! Bukannya kamu mau ke Taiwan? Daripada kamu menggelandang di negara orang, lebih baik kamu menikah sama Arya dan tinggal di kota,” balas Hanin. 

“Bi, tapi ….”

“Jangan pikirkan Bibi, hidupmu harus terus berjalan. Bibi bisa ikut pindah ke kota karena sebenarnya Bibi mulai berpikir menjual sawah dan sapi untuk membangun kos-kosan di kota!” sela Hanin mengejutkan Dita. 

“Membangun kos-kosan? Menjual sawah dan sapi? Jadi, Bibi punya banyak harta? Kenapa waktu itu nggak mau ngasih aku pinjaman?!” protes Dita. 

“Ya Bibi nggak maulah kamu tinggal ke Taiwan. Kalau ngasih buat nambahin biaya hidup kamu menikah lagi, Bibi akan sukarela memberinya. Tenang saja, saat kamu menikah dengan Arya, kamu nggak akan datang dengan tangan kosong. Bibi sudah siapkan tabungan untukmu, jadi jangan merasa rendah diri,” balas Hanin membuat air mata Dita langsung menetes. 

“Bi, maaf ya selama ini aku nyusahin Bibi,” kata Dita menyesal karena selama menikah dengan Doni, Dita hanya mengirimkan uang bulanan seadanya untuk Hanin karena Dita tak berani menggunakan banyak uang belanja dari Doni. 

“Makanya sekarang kamu berbakti, menikahlah dengan Arya,” pinta Hanin. 

“Oke, terpaksa, semuanya demi Bibi,” ucap Dita malu-malu demi menutupi rasa senangnya bisa menikah lagi dengan lelaki yang tidak jelek juga tidak miskin. 

Dita tak tahu kalau di rumahnya, Arya berdebar-debar menantikan jawaban dari Dita. Jawaban dari pertanyaan yang sudah bertahun-tahun dipendam Arya. 

 

 

7. Lembaran Baru

Ketika memutuskan menerima lamaran Arya, Dita hanya memikirkan keberuntungan masih bisa menikah lagi serta kebaikan untuk Hanin yang merasa sangat bahagia atas pernikahan kedua keponakannya. 

Dita tak pernah membayangkan akan menjalani proses pernikahan yang jauh lebih mewah dari pernikahan pertamanya dengan Doni. 

“Arya anak lelaki satu-satunya, maaf kalau terlalu heboh ya, Dita. Kamu nggak keberatan, kan?” tanya Lastri ketika menyampaikan rencana pesta yang juga mengundang Lurah serta Bupati. 

“Egh, tapi biayanya ….”

“Tak usah dipikirkan, semua tanggung jawab Arya. Dia punya cukup tabungan, kok,” jawab Banu ramah. 

Dita tak memiliki kata-kata untuk membantah calon mertua, tapi saat berdua saja dengan Arya yang mengantarnya menemui vendor gaun pernikahan, Dita menyampaikan isi hatinya. 

“Arya, aku kan janda, kamu nggak sayang mengeluarkan banyak biaya kayak gini?” tanya Dita sambil meremas kain yang akan dijahit untuk gaun pengantinnya. 

Berbeda saat menikah dengan Doni, Arya tidak menyewa pakaian pengantin, tapi membawa Dita menjahit gaun sesuai dengan keinginan Dita. 

“Biarpun kamu janda, tapi aku masih perjaka, kan? Nggak masalah kan aku berpesta merayakan kebahagiaanku?” balas Arya. 

“Kebahagiaanmu?” tanya Dita gemetar. 

Meski sudah menyampaikan penerimaan atas lamaran Arya, tetap saja Dita masih merasa agak gugup berdekatan dengan Arya yang tampak lebih santai menghadapi pernikahan mereka. 

“Kamu nggak bahagia?” balas Arya. 

“Aku nanya kamu, jangan dibalik-balik. Lagian bahagiaku nggak penting, yang penting aku ….”

“Kamu salah, Dita lemot! Bahagiamu penting, sama kayak bahagiaku, bahagia keluarga kita. Bahagia itu nggak lengkap kalau nggak semua yang tersayang ikut bahagia. Kamu senang kan pakai gaun pengantin rancanganmu sendiri?” sela Arya. 

Dita terdiam, tak mengindahkan pertanyaan Arya karena justru fokus pada kata-kata Arya tentang semua yang tersayang. 

“Semua yang tersayang? Kamu sudah sayang aku?” tanya Dita lugu sekaligus takjub. 

Arya tak langsung menjawab, tapi menertawakan keluguan Dita. 

“Kalau nggak sayang, ngapain aku lamar kamu? Ngapain aku tungguin jandamu?” balas Arya membuat Dita memelotot. 

“Apa maksud kamu?!” tanya Dita terkejut. 

“Selama kuliah di luar negeri, aku selalu sebut namamu dalam doaku. Meski akhirnya Tuhan menjawabnya melalui berita pernikahanmu dengan lelaki lain, aku masih sering menyebut namamu. Aku doakan kamu selalu bahagia,” jawab Arya dengan tenang. 

“Aku berusaha nggak mencari tahu kabarmu di kota supaya nggak terlalu terluka, tapi tiba-tiba kamu muncul dalam keadaan terluka. Mungkin, ini jawaban doaku, kan? Agar aku sendiri yang berusaha membahagiakanmu,” lanjut Arya. 

Tak terkira kagetnya Dita mendengar pengakuan Arya yang tak pernah dia duga. 

“Arya, jangan bercanda! Nggak usah sok drama,” kata Dita dengan suara bergetar. 

“Siapa yang bercanda? Tanya aja sama Ibu, Ibu tahu kok semua tentang perasaanku ke kamu. Sejak SMA aku minta Ibu melamarmu, tapi aku ditertawakan. Ibu minta aku serius sekolah dan serius melanjutkan kuliah supaya menjadi lelaki matang yang bisa bertanggung jawab, nggak hanya mengandalkan warisan orang tua,” balas Arya sembari menyentuh jemari Dita. 

Tak ada suara yang dikeluarkan Dita karena sangat terkejut. Dita masih syok, tak menyangka Arya memendam rasa untuknya. Tak menyangka Arya yang usil ternyata selalu menyebut namanya dalam doa. Tak menyangka akhirnya mereka akan bersatu. 

Ketika hari pernikahan tiba, meluncur juga air mata Dita. Saat di mana dia mencium tangan Arya untuk pertama kali, Arya ikut menitikkan air mata. 

“Makasih ya, Dit, mulai sekarang kita berjuang bersama-sama untuk selalu bahagia,” bisik Arya membuat Dita makin meleleh terharu. 

Pernikahan Dita dan Arya menebarkan kebahagiaan bagi keluarga sekaligus nyinyiran dari tetangga yang merasa Dita sangat beruntung. Baru saja menjadi janda, Dita malah menikah dengan perjaka juragan beras. Tak sedikit yang menduga Dita memakai susuk atau meminta guna-guna dari dukun sakti di desa lain. 

“Hey, mulut dijaga! Susuk dan guna-guna apa?! Dita itu bersih, nggak pakai susuk! Asal aja kalau ngomong!” balas Hanin ketika tak sengaja mendengar obrolan seru beberapa ibu yang mengunjingkan kepergian Dita dan Arya ke tanah suci untuk menunaikan ibadah umroh sekaligus mampir ke Turki untuk berbulan madu. 

“Woi, Dita, kenapa melamun terus? Mabuk?” tanya Arya ketika pesawat baru saja take off menuju ibu kota untuk kemudian meneruskan perjalanan ke tanah suci. 

“Masih kaget, Ya. Kok bisa-bisanya kita menikah. Bisa-bisanya kamu ratukan aku kayak gini. Seumur hidup, baru kali ini aku naik pesawat, eh tahu-tahu langsung umroh,” jawab Dita jujur. 

“Rasanya masih kayak mimpi, masih kayak dapat undian lotere,” lanjut Dita. 

Dengan wajah tampannya, Arya tertawa lalu membisikkan sesuatu yang membuat Dita merasa geli. 

“Aku aja masih ngerasa kayak mimpi karena akhirnya bisa menikah dengan perempuan yang selalu kusebut dalam doa, tapi ini bukan mimpi. Ini kenyataan. Banyak-banyak berdoa semoga perjalanan ibadah kita yang seumur hidup ini nggak terlalu banyak cobaannya,” kata Arya bijaksana. 

Perlahan Dita tersenyum penuh syukur. Sepanjang perjalanan Dita terus saja mengucapkan rasa terima kasih pada Yang Maha Esa karena telah membawa perjalanannya menanjak tajam, berbelok dari penuh kesedihan dan penghinaan menjadi penuh canda tawa dan kebanggaan. 

Arya membuat Dita dihormati orang-orang di sekelilingnya. Memperlakukan Dita dengan baik meski tak ada orang di sekitar mereka. Cara Arya mengenalkan Dita pada teman yang tak sengaja mereka temui juga membuat Dita terkesima karena Arya selalu mengenalkan Dita dengan rasa bangga.

Tak lama setelah kembali dari umroh dan bulan madu, Arya mengajak Dita ke kota untuk melihat-lihat calon rumah baru mereka. Selain itu, Arya juga meminta pertimbangan Dita untuk memilih lokasi swalayan. 

“Swalayan? Katanya mau buka toko beras?” tanya Dita kaget. 

“Ya kan swalayan juga toko yang jual beras, kamu gimana, sih?” balas Arya santai, padahal Dita sangat terkejut. 

“Dit, kamu kan pernah kerja di swalayan, jadi aku yakin kamu bisa membantu mengembangkan usaha kita. Ayo kita pilih ruko yang strategis!” seru Arya bersemangat. 

“Yakin, Ya? Nggak mulai usaha yang kecil dulu? Daripada pinjam uang di bank untuk memaksakan diri buka swalayan, lebih baik kita mulai usaha sesuai keuangan kamu dulu. Jangan utang, nanti riba,” ucap Dita dengan suara pelan karena takut menyinggung Arya. 

Namun, Arya malah tertawa. 

“Makasih udah diingatkan tentang riba, Sayang. Aku berusaha kok menghindarinya. Usaha kali ini juga kita sesuaikan dengan kondisi keuangan dan Alhamdullillah kondisi keuangan kita memungkinkan untuk buka swalayan, apalagi bapak sama ibu juga ikut investasi. Katanya, investasi buat calon anak kita nanti,” balas Arya membuat mata Dita kembali berkaca-kaca. 

“Ya Allah, apa dulu bapak dan ibu pernah melakukan kebaikan besar? Kenapa lembar kehidupan baruku rasanya manis banget?” ucap Dita penuh rasa syukur. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Dendam Dita - Part 3- Tamat
6
2
“Dit, yang lalu biarlah berlalu. Kita jalin silaturahmi lagi. Janganlah menyimpan dendam. Aku butuh banget bantuanmu,” kata Doni. “Apa perlu Ibu berlutut agar kamu mau meminjamkan uang?” tanya Sri.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan