Day by Day 1- 6 (Free)

9
6
Deskripsi

Fay pernah mencoba bertahan menjalani hari demi hari dalam pernikahan yang menyulitkan ketika mendapati suami dan keluarganya lebih memihak wanita lain. Seolah belum cukup melukai, semesta juga membuat putrinya memuja Jenia, mantan tunangan Dave. 

Lelah menggenggam bara api, Fay memilih melepaskan diri dari ikatan yang menyesakkan demi mendapatkan ketenangan hari di sisa hidupnya. 

Namun, mampukah Fay benar-benar pergi ketika mendadak semesta memutar roda hidupnya yang sempat macet?  

*

Ketika menyadari...

Bab 1

 

Langit sudah lama menggelap ketika Fay membuka tirai jendela kamar. Diembuskannya napas secara perlahan ketika menatap halaman rumah. Dulu, di awal-awal pernikahannya yang indah, mobil suaminya akan masuk halaman sebelum langit gelap. Senja adalah waktu paling lama yang dibutuhkan Dave Ellison untuk mencapai rumah karena pria itu ingin segera menjumpai Fay yang menyambutnya dengan berbagai kejutan menyenangkan. 

Namun, semua itu hanya masa lalu. Masa sebelum badai menyerang pernikahan indah mereka. 

Dua tahun lalu mantan tunangan Dave kembali. Jenia Carson, wanita berambut pirang dengan wajah menawan itu datang mencengangkan Dave dan keluarganya, ibu dan adik Dave yang masih memuja Jenia meski wanita itu yang memutus pertunangan. 

Jenia yang baru saja menjajal dunia keartisan belum siap menikah. Dave patah hati, tapi memaklumi kepergian tunangannya. Setahun kemudian Dave bertemu Fay yang menyembuhkan lukanya. Mereka bahagia, setidaknya itulah pemikiran Fay karena Dave sangat yakin ketika melamarnya di hari ulang tahun hubungan mereka yang ketiga. 

Fay masih ingat rasa bahagianya kala itu, bahkan masih ingat dengan jelas semua detail lamaran yang dipersiapkan Dave. Restoran di puncak Menara Biru, musik romantis, buket mawar merah. Fay bahkan masih ingat gaun yang dia kenakan juga kemeja yang dipakai Dave. 

“Aku mencintaimu, mari hidup bersama selamanya. Lahirkan anak-anakku, menua bersama. Bahagia selamanya!” 

Dave memeluk Fay, membisikkan kata-kata cinta sebelum menyerahkan cincin sederhana berhias permata kecil warna putih. Cincin yang masih dikenakan Fay berdampingan dengan cincin pernikahan mereka. 

Mengabaikan kenyataan kalau Barbara Ellison tidak menyukainya, Fay menerima lamaran Dave. Keduanya menikah secara sederhana lalu menempati rumah yang menjadi tempat tinggal mereka sampai sekarang. Rumah yang pernah menjadi tempat ternyaman bagi Fay sebelum Jenia datang menghancurkan istana indahnya.  

“Jangan iri pada Jenia, aku hanya mengganggapnya sebagai sahabat, sebagai saudara!” 

“Belajarlah seperti Jenia yang selalu tenang!” 

“Jenia tidak bersalah, aku yang bersalah!” 

Saat mengingat berbagai bentakan Dave belakangan ini, Fay memutar tubuh menatap cermin besar. Spontan desahan kecewa meluncur dari bibirnya ketika mendapati tampilannya yang semakin kacau berantakan. 

Bobot tubuh Fay menyusut. Wajahnya agak kusam karena belakangan ini tak sempat menyentuh skincare. Alih-alih merawat wajah seperti dulu, Fay lebih sering mengutuk Jenia sembari menangis.

Rambut cokelat Fay yang sepinggang paling berantakan di antara organ tubuhnya yang lain. Rambut yang dulunya halus dan tampak indah kini terlihat kering dan kusut.

Secara keseluruhan Fay merasa dirinya kalah fisik dibandingkan Jenia yang semakin hari semakin cantik. Fay sudah mencoba melawan dengan mempercantik diri, tapi tiap kali merasa usahanya diabaikan Dave, Fay merasa percuma berdandan. Sebulan belakangan Fay larut dalam kesedihan dan kemarahan yang membuat fisiknya ikut terlihat berantakan. 

Lamunan Fay tersentak oleh suara mobil yang memasuki halaman. Dari jendela Fay bisa melihat Dave keluar dari mobil bersama Jenia. Keduanya jalan sendiri-sendiri, tapi tetap saja rasanya menyayat hati Fay. 

Setelah menutup tirai, Fay berpindah duduk di sofa lalu menajamkan pendengaran melalui pintu kamar yang sengaja tidak dia tutup dengan rapat. 

“Terima kasih makan malamnya, Dave. Aku akan menengok Miya.” 

Suara manis Jenia terdengar jelas disambut suara Dave yang hanya berupa gumaman singkat. Setelahnya tak terdengar apa-apa lagi. Fay menduga Jenia masuk ke kamar Miya, putri Fay dan Dave yang berusia lima tahun. 

Fay masih tidak membuka mata, rasanya terlalu berat untuk menatap suami yang baru saja makan malam dengan wanita lain yang pernah menjadi tunangannya. 

Terdengar suara pintu terbuka dan tertutup, Fay juga mendengar langkah kaki Dave. Pria itu tak bersuara, padahal Fay yakin Dave melihatnya duduk di sofa. 

Dave memang melirik Fay, tapi melewatinya begitu saja. Dave tak yakin Fay tertidur, tapi tak mau menegur karena sejak seminggu lalu dia mendiamkan Fay. 

Mereka bertengkar, selalu begitu semenjak Jenia hadir kembali dalam kehidupan Dave. Mulanya pertengkaran mulut biasa, tapi tiga bulan lalu level pertengkaran meningkat drastis. Ledakan emosi Fay menjadi lebih mengerikan. Fay bisa membentak meski di hadapan Jenia atau keluarga Dave termasuk Miya. Fay bahkan bisa melemparkan barang di dekatnya. 

Saat Fay mengamuk, biasanya Dave akan mendiamkan Fay agar istrinya berhenti meledak-ledak kemudian keduanya mencoba untuk berbaikan karena Fay tak mau kehilangan Dave dan Miya yang selalu diperlakukan manis oleh Jenia. 

Seminggu lalu Fay meledak lagi karena mengetahui Dave membelikan gaun untuk Jenia. Alasan Dave sederhana, Miya spontan memintanya membelikan gaun indah itu untuk Jenia yang cantik. 

Hati wanita mana tak sakit ketika suami dan anaknya jalan-jalan bersama wanita lain bahkan memberinya hadiah? 

Sudah lama Fay menanggung sakit hati itu, tapi selalu mencoba bertahan. Namun, sejak tiga bulan lalu Fay meluapkan dalam bentuk emosi meledak-ledak memarahi Dave juga Miya yang akhirnya menjadi lebih takut berdekatan dengan Fay. 

Fay tak mau membiarkan Jenia menang merebut keluarganya hingga dirinya selalu keras mempertahankan Dave dan Miya tetap bersamanya dan menjauhi Jenia. 

Namun, kini Fay sudah lelah. 

Gaun yang dibelikan Dave untuk Jenia atas permintaan Miya membuat luka hatinya semakin bernanah. 

Ketika mendengar suara air kamar mandi, perlahan mata Fay terbuka. Pelan-pelan Fay berdiri lalu menatap koper di sudut ruangan. Fay tak tahu apakah Dave melihat koper itu atau tidak. Namun, dengan tenang Fay mendekati koper yang memuat barang-barang terakhirnya setelah seminggu lalu Fay mencicil memindahkan barang-barang pentingnya dengan berbagai cara. 

“Kau mau ke mana?” 

Teguran Dave mengejutkan Fay yang baru saja menarik koper. Dalam keadaan membelakangi Dave, Fay bisa merasakan pria itu mendekat. Sebenarnya Fay merindukan suara Dave yang sudah seminggu ini tidak dia dengar karena Dave memusuhinya, tapi suara Dave kali ini terasa dingin. 

“Aku akan pergi,” ucap Fay sebelum berbalik menatap Dave yang juga memandanginya. 

Wajah Dave masih meneteskan air, begitu juga rambutnya. Mata cokelat Dave tak berkedip menatap Fay yang sudah menarik koper. 

“Terserah kau!” balas Dave menutupi keterkejutannya. 

Bukan sekali Fay mengancam pergi dari rumah bahkan mengancam membawa lari Miya. Biasanya Dave akan makin meledak. Namun, sebulan lalu Dave bersikap makin dingin. Tak lagi mengindahkan ancaman Fay karena menyadari istrinya hanya main gertak.

Kali ini Dave juga mengira hal yang sama. Dave sudah berencana membuat Fay kapok. Dia akan membiarkan Fay pergi dan tak akan mengejar sampai istrinya itu sendiri mengemis diizinkan pulang. Bila itu terjadi, Dave akan memastikan Fay tidak mengamuk lagi sebagai syarat kembali diterima di rumah.  

“Pergilah sesukamu, asal jangan pernah berani membawa Miya!” kata Dave sembari menggosok kepalanya dengan handuk seolah tidak sedang membahas hal penting. 

Fay sempat menelan ludah untuk menetralkan perasaannya yang bercampur aduk. Fay rindu memeluk Dave yang basah, rindu mencium aroma tubuhnya. Namun, Fay tahu dia tak boleh lagi menginginkan Dave karena sudah memutuskan untuk mengakhiri segala hal yang terikat di antara mereka. 

“Aku tak akan membawa Miya, dia bahagia bersama kalian,” kata Fay mencoba tenang agar tidak menangis. 

Dave menyadari ada keanehan dalam deretan kata Fay, tapi masih enggan menatap istrinya yang seminggu lalu mengamuk membanting vas ketika mengetahui Dave membelikan gaun untuk Jenia. Dave balas marah karena Fay menakuti Miya yang berlari sambil menangis dalam pelukan Jenia. 

Fay menunggu balasan kata dari Dave, tapi pria itu diam saja bahkan dengan santai membuka selimut, bersiap naik ke ranjang. 

Setelah menahan napas sesaat, Fay melepaskan cincin pernikahan juga cincin yang diberikan Dave ketika melamarnya. Dengan tenang Fay meletakkannya di nakas. 

“Aku sudah mendaftarkan perceraian, selebihnya pengacaraku akan mengurus semua prosesnya,” kata Fay sebelum meninggalkan Dave yang terpaku dengan mata memelotot. 

 

Bab 2

 

 Satu kali pun Dave belum pernah mendengar kata perceraian dari Fay meski sejak dua bulan lalu Dave sudah beberapa kali mengucapkannya untuk mengancam Fay yang hidup sebatang kara. Tiap kali kalah adu mulut dengan Fay yang meributkan Jenia, Dave mengeluarkan senjata pamungkas. 

“Kalau kau tak tahan lagi hidup bersamaku, pergi saja. Aku tak keberatan kita mengakhiri pernikahan! Hak asuh Miya akan kumenangkan!” 

Biasanya Fay akan bungkam lalu mencoba memperbaiki pernikahan mereka. Fay tak mau kehilangan Dave, apalagi Miya. 

Seminggu lalu Dave juga mengatakannya, tapi Fay tidak membalas. Fay memang mengamuk bahkan membanting vas di depan Miya dan Jenia, tapi Fay tidak menyebutkan perceraian. Setelah mendengar ancaman perceraian dari Dave, Fay menenangkan diri di kamar mandi lalu keluar tanpa berkata apa-apa lagi. 

Dave tak menyangka akhirnya Fay mengucapkan hal itu bahkan sudah mendaftarkan perceraian. Fay tidak sekadar mengancam, tapi benar-benar serius mengurus perpisahan. Saking kagetnya, butuh waktu beberapa menit bagi Dave untuk mencerna keadaan. 

Ketika menyadari  kamar mendadak sunyi, Dave bergegas mengejar Fay yang sudah berada di luar rumah. Mengeluarkan kunci mobil, Fay membuka kendaraan sederhananya untuk memasukkan koper. Fay tak tahu Dave mengejar sampai pria itu memanggilnya. 

“Apa kau gila?” tanya Dave membuat Fay menoleh. 

Tidak menatap Dave, Fay menoleh ke balkon, tempat Jenia menunduk untuk menguping pembicaraan Dave dan Fay. 

“Ya, anggap saja begitu,” jawab Fay malas sembari membuka pintu kemudi. 

Gila adalah kata yang menjadi akrab di telinga Fay belakangan ini. Kata itu sering diucapkan Barbara dan Judy ketika melihat Fay marah-marah. 

“Fay ….”

“Ini yang kau inginkan kan? Tak perlu berdebat lagi. Kau lelah, aku juga. Selamat tinggal!” 

Dave terpaku lagi bahkan hanya bisa diam ketika Fay masuk mobil dan melarikan kendaraannya meninggalkan rumah. 

“Dave, apa yang terjadi?” Suara Jenia yang melengking dari balkon menyadarkan Dave ke dunia nyata. 

“Entahlah ….” 

Suara Dave terdengar tak yakin hingga Jenia bergegas meninggalkan balkon. Buru-buru Jenia menuruni tangga dan berpapasan dengan Dave yang akan naik.

“Apa Fay marah lagi karena kita makan malam? Akan kuhubungi dirinya. Aku akan minta maaf menjelaskan segalanya,” ucap Jenia dengan suara lembut penuh rasa bersalah. 

“Aku tak yakin soal itu. Kami tidak membicarakan makan malam tadi. Kurasa dia tak tahu,” kata Dave dengan suara putus asa. 

Dave memang tak yakin Fay mengetahui mereka baru saja makan malam bersama karena mendadak ayah Jenia menelponnya meminta Dave bergabung bersama mereka. Namun, Dave sadar, bila Fay tahu dia makan malam bersama Jenia, wanita itu bisa mengamuk lagi. 

Dave jelas panik dan Jenia bisa merasakannya. 

“Dave ….”

“Tolong jaga Miya,” kata Dave menyela Jenia. 

Sebelum Jenia bicara, Dave menyambar kunci mobil kemudian mengendarainya mencari jejak Fay yang sudah menghilang ditelan kegelapan.  

Sepanjang malam Dave berusaha mencari keberadaan Fay di hotel-hotel terdekat karena Dave tahu Fay tak punya kerabat. 

Fay yatim piatu, sejak kecil hingga dewasa tinggal di panti asuhan. Dave adalah orang yang memberinya rumah dan keluarga. 

“Sialan, ke mana kau, Fay?!” maki Dave frustrasi. 

Rasa takut dan cemas mulai mendominasi Dave hingga dirinya mengabaikan panggilan telepon dari Jenia yang juga merasa cemas sekaligus penasaran. 

Dave terus memeriksa parkiran hotel berharap menemukan mobil Fay agar dirinya lega. Andai melihat keberadaan mobil Fay, Dave akan pulang dan memikirkan cara lain bicara dengan Fay. Dave tak mau menelpon Fay, tak mau juga menghubungi salah satu teman Fay.

Selain tak yakin Fay mau menginap di rumah orang lain, Dave juga tak mau masalah keluarga mereka terungkap. 

Namun, dari setiap hotel yang dia datangi, Dave tidak melihat mobil Fay. Dave terus memeriksa hotel lain, padahal mobil Fay terpakir di halaman rumah sakit. 

Dengan kepala pening Fay memegang kepalanya yang sakit kemudian pelan-pelan keluar dari mobil untuk mencari bantuan. 

“Fay!”

Teriakan dari seorang pria yang menemukannya membuat Fay lega hingga pasrah saja pandangannya menjadi gelap. Sedetik kemudian Fay tak sadarkan diri di pintu IGD. 

Dalam ketidaksadarannya Fay bermimpi menjalani pernikahan yang bahagia bersama Dave dan Miya. Mimpi itu adalah bagian dari masa lalu indah Fay sebelum kedatangan Jenia. 

Meski tidak disukai keluarga Dave, Fay tidak peduli karena kehadiran Dave dan Miya cukup membahagiakannya. Namun, semua bahagia itu musnah ketika Jenia merebut perhatian keduanya. Tak hanya Dave, Jenia juga berhasil membuat Miya lebih berpihak padanya. 

Fay masih mencoba bertahan dan memaklumi alasan Dave bersikap baik pada Jenia, tapi semuanya semakin mengerikan bagi Fay ketika enam bulan lalu dia mengalami kecelakaan hingga koma selama sebulan. 

Berdalih membantu mengurus Miya, Jenia tinggal di rumah Dave. Saat Fay tersadar dari koma, dirinya harus menerima kenyataan sang buah hati berjarak darinya dan lebih mencintai Jenia bahkan pernah memanggil wanita itu sebagai Mama Jenia. 

Fay marah besar, memaksa Miya mengubah panggilan Mama untuk Jenia. Kerasnya sikap Fay pada Miya membuat pertengkaran lagi dengan Dave. Pertengkaran demi pertengkaran yang disebabkan oleh kecemburan Fay makin membuat hubungan mereka retak. Tiap kali Fay dan Dave bertengkar, Jenia menenangkan Miya hingga gadis kecil itu makin lengket padanya.

Dua bulan lalu Fay menjadi lebih emosional. Fay sering sakit kepala dan suasana hatinya terus memburuk terkait Jenia, Dave, dan Miya. Fay selalu mencurigai semua tingkah laku suami dan anaknya, apalagi ketika keduanya berbisik-bisik sambil tertawa. 

 Melihat Fay terus marah membuat Miya memilih semakin menjauh dari ibunya. Apalagi Barbara dan Judy juga terus memanipulasi Miya untuk lebih mencintai Jenia yang penyabar dan penyayang. 

Di saat Fay menegur Miya yang berbuat salah, Jenia selalu muncul sebagai pembela yang membuat Miya merasa nyaman. Teguran Fay pada Miya juga membuat Dave makin murka dan seperti lingkaran setan, mereka terus bertengkar dan bertengkar. 

Dave merasa Fay berlebihan dan tak masuk akal karena menjadi wanita pemarah yang tak tahu tempat. Dave masih bisa menerima Fay bertengkar dengannya, tapi Dave tak terima Fay marah-marah di depan keluarga apalagi Miya. 

“Sudah kubilang aku dan Jenia tidak memiliki hubungan apa pun! Berhentilah cemburu buta!”

“Jangan menyalahkan Jenia, dia sudah baik pada kita. Jadilah seperti dia agar tak terus menakuti putrimu sendiri!”

Sakit hati Fay ketika Dave terus membela Jenia semakin membesar ketika tak sengaja dia mendengar Miya mengatakan lebih senang tinggal bersama Jenia. Miya bahkan mengatakan lebih baik  saat Fay terus tidur di rumah sakit. 

Miya tidak mengatakan hal itu di depan Fay, tapi secara tak sadar ketika mengobrol dengan Jenia dan Judy yang mengajaknya bermain. Dua hari kemudian Fay yang sering sakit kepala akhirnya mendapatkan hasil pemeriksaan kesehatan.

“Hasil diagnosis di rumah sakitmu yang lama itu salah, Fay! Kau menderita kanker otak! Berobatlah sebelum terlambat!” 

Vonis itu Fay terima beberapa jam sebelum mengetahui Dave membelikan gaun untuk Jenia. Saat itu Fay duduk linglung di rumah memikirkan kabar mengerikan tentang nasib jiwanya. Fay ingin bicara dengan Dave, tapi pria itu tak pulang-pulang meski berulang kali Fay menelpon. 

Dave asyik menyenangkan Miya dan Jenia di mall, dan sengaja mengabaikan panggilan telepon dari Fay yang dia kira hanya ingin mengganggu. 

Stres membuat Fay mengamuk ketika mengetahui Dave membeli gaun untuk Jenia. Belum sempat memberitahukan penyakitnya, Fay malah mendapatkan ancaman perceraian lagi dari Dave.

“Fay, mengapa kau terus kekanakan? Sudah kubilang anggap saja Jenia sebagai saudaramu! Dia sudah membantu menjaga Miya, mengapa kau perhitungan untuk sebuah gaun? Aku lelah kalau begini terus!”

“Saudara? Kau bahkan lebih memperhatikannya daripada Judy! Kau mengutamakannya daripada aku! Ke mana kau saat kukatakan kepalaku sakit? Kau malah mengantarnya ke mall!”

“Kau kan bisa istirahat. Hanya sakit kepala, haruskah aku langsung berlari pulang? Jangan kekanakan!”

 Dalam diamnya di kamar mandi Fay mencoba menenangkan diri. Fay tidak sakit kepala biasa, tapi dia sadar Dave tidak mengetahuinya. Teringat masa lalu ketika Dave selalu mencemaskan sekecil apa pun penyakitnya, Fay makin sedih. 

Kini Dave tak punya banyak waktu memperhatikan perubahan pada diri Fay apalagi memanjakannya seperti dulu. Padahal, Dave pernah meninggalkan rumah di tengah malam karena Jenia menelpon mengatakan perutnya sakit. 

“Penyakitmu harus segera diobati, Fay!” 

Peringatan dari Dallas, teman sekolahnya, membuat Fay memutuskan mundur dari kehidupan Dave. Apalagi setelah dia mendengar tawa bahagia Miya ketika ditemani tidur oleh Jenia dan Dave. 

“Selamat tinggal, Sayang. Mama menyayangi Miya, selalu. Mama tidak akan merebut kebahagiaan Miya.”

Dalam keadaan tak sadar Fay bermimpi memeluk putri kecilnya bersama Dave, tapi perlahan keduanya direnggut oleh Jenia yang tersenyum bak malaikat.

“Jenia, kalau waktu bisa diputar mungkin saja kita bisa mengulang segalanya!”

“Mama Jenia, Miya menyayangi Mama! Jangan bersedih!”

Kata-kata yang diucapkan Dave dan Miya bukanlah halusinasi Fay, tapi kenyataan yang tak sengaja dia dengar. Deretan kata itu terasa makin menyakiti kepala Fay, menggerogoti kewarasannya yang membuatnya menjadi lebih gila seperti tuduhan Barbara dan Judy.

Sementara itu, di jalanan yang sepi Dave menjambak rambut dengan frustrasi. Tangannya bergetar memegang ponsel. Setelah mempertimbangkan banyak hal, Dave menghubungi nomor telepon Fay. 

Namun, operator memberi kabar kalau nomor yang dia tuju sedang tidak aktif.

 

Bab 3

 

“Mama ke mana, sih?” 

Sekuat hati Dave mencoba tenang menatap Miya yang kebingungan karena sudah dua hari tak melihat Fay. Biasanya  setiap pagi sang ibu selalu ada di ruang makan, menyiapkan makanan untuknya dan Dave. Meski kadang Miya lari-lari minta dipangku Jenia yang sarapan sendiri di halaman belakang, Miya selalu memperhatikan Fay yang menuangkan susu atau mengoles roti untuknya. 

Setiap pagi Fay juga masih menyisir atau menguncir rambut Miya meski tak jarang Jenia mengulang kunciran berbeda dengan banyak alasan. 

“Miya, ayo pergi sekolah! Hari ini Aunty Jenia akan mengantar Miya lagi!” seru Jenia sambil menatap Dave yang mengucapkan terima kasih atas bantuan Jenia mengalihkan perhatian Miya. 

“Papa, kami pergi dulu,” kata Jenia pada Dave yang mencium Miya. 

“Bersenang-senanglah, Princess!” seru Dave sambil memeluk Miya yang tertawa. 

“Bye, Papa!” seru Jenia diikuti Miya. 

Masih duduk di kursinya, Dave memperhatikan Miya yang tertawa bahagia dalam gandengan Jenia. Keduanya tampak seperti ibu dan anak yang harmonis. 

Dulu Fay dan Miya juga sangat akrab sebelum Jenia hadir merebut posisinya. Datang sebagai wanita patah hati yang mengalami tekanan mental di industri hiburan, tiba-tiba Jenia meminta perlindungan Dave. 

Sejak awal Fay tak setuju atas keramahan Jenia yang bolak-balik mendekati keluarganya, tapi Dave sulit menolak. 

Jenia datang setelah menjalani operasi perut yang disebutkan akibat gangguan pencernaan dan tekanan mental. Kondisinya tidak baik dan sempat kritis. Dalam masa kritisnya, Jenia menyebut nama Dave berulang kali hingga ayahnya, Tuan Jack Carson yang terhormat sekaligus pemilik sebuah perusahaan besar berjanji akan mengantar Jenia kepada Dave bila putrinya pulih. 

Jenia belum pulih benar ketika dipertemukan lagi dengan Dave yang sedang mengalami masalah keuangan di perusahannya. Ayah Jenia meminta maaf atas putusnya pertunangan mereka di masa lalu kemudian membantu masalah perusahaan Dave dengan harapan Dave juga membantu memulihkan Jenia yang masih depresi. 

“Jenia tidak butuh apa-apa. Hanya teman.”

Hanya teman. Dave menganggapnya seperti itu, tapi tidak dengan Fay. Perhatian yang diberikan Dave untuk Jenia yang rapuh membuat Fay cemburu, apalagi Barbara dan Judy juga sering memanasi menyebut Jenia lebih pantas bersanding dengan Dave. 

Mula-mula Jenia datang satu dua kali, perlahan menjadi rutin dan sering bermain bersama Miya. Jenia pandai merebut hati Miya, Barbara, Judy, bahkan Dave. Mereka semua menyayangi Jenia yang cantik, rapuh, dan baik hati. Sebaliknya, mereka makin kesal pada Fay yang berubah menjadi seperti monster karena sering marah. 

Dengan mudahnya Dave menganggap Jenia sebagai bagian dari keluarga di saat Fay tak terima melihat Dave menggendong Jenia yang kakinya terkilir setelah terjatuh ketika bermain sepeda dengan Miya. 

“Tuan Dave, ada pengacara yang ingin bertemu,” ucap Bibi Maggie membuyarkan lamunan Dave tentang keberadaan Fay yang belum ditemukan. 

Menduga pengacara itu kiriman Fay, Dave menemuinya dengan antusias. 

“Tuan Dave Ellison?” sapa seorang pria berumur sambil mengulurkan tangan. 

“Saya Matt, pengacara Nyonya Fayre yang diberi kuasa penuh olehnya untuk menyelesaikan perceraian di antara kalian,” lanjut Matt membuat Dave menatapnya dengan marah. 

“Di mana Fay? Aku tidak ingin permainan ini diteruskan!” marah Dave. 

“Tuan, ini bukan permainan. Nyonya Fayre telah mendaftarkan perceraian tanpa perebutan apa pun. Dia menginginkan perpisahan tanpa huru-hara. Nyonya Fayre tidak menggugat hak asuh Nona Miya atau harta. Dia hanya meminta agar Tuan Dave tidak menggugat rumah di Northing yang sudah Tuan berikan sebagai hadiah untuknya,” balas Matt. 

“Rumah di Northing? Dia di sana?” tebak Dave yang baru ingat kemungkinan tersebut. 

Rumah di Northing adalah hadiah yang diberikan Dave ketika Fay melahirkan Miya. Rumah itu tak pernah mereka tempati karena berada jauh di pinggiran kota. Dengan harga lebih dari satu miliar, rumah itu adalah hadiah termahal yang pernah diberikan Dave. 

Dave tak berpikir Fay ke sana karena rumah itu sedang disewakan. 

“Tidak. Rumah itu sudah dijual,” jawab Matt kembali mengejutkan Dave yang memelotot. 

“Omong kosong apa ini?!” maki Dave tak terima. 

“Saya rasa ini bukan omong kosong, Tuan. Nyonya Fayre tidak menggugat secara asal. Dia melampirkan banyak bukti atas ketidakcocokan hubungan kalian,” jelas Matt. 

“Bukti?” tanya Dave emosi. 

“Tuan Dave Ellison mengizinkan wanita lain tinggal di rumah ini meski Nyonya Fay keberatan,” jawab Matt. 

Wajah Dave merah padam. Kesal dan marah pada Fay yang mengumbar masalah rumah tangga mereka. Dave takut berita yang disampaikan Fay pada Matt meluas dan tercium oleh media lalu merusak reputasi Jenia kemudian membangkitkan kemarahan Jack Carson. 

Namun, kemarahan Dave kali ini didominasi oleh rasa malu juga kecewa atas keputusan sepihak Fay untuk bercerai. 

“Di mana dia? Kami harus bicara!” sentak Dave emosi. 

“Mohon maaf, saya tidak berhak memberitahu. Nyonya Fayre ingin putus hubungan dengan masa lalunya. Dia ingin memulai hidup baru dengan tenang, mohon menghormati dan menghargai keputusannya,” ucap Matt. 

“Lagipula, bukankah hal itu yang kalian inginkan? Mengusir Nyonya Fay dari kehidupan bahagia kalian?” lanjut Matt. 

Sedetik kemudian Dave mengusir Matt sambil menyumpahinya. 

 

 

Bab 4

 

Dave masih menolak bersikap kooperatif menerima gugatan perceraian. Dia ingin bertemu Fay, tapi wanita itu tak bisa ditemukan bahkan sampai tiga hari berlalu lagi. 

“Fay menggugatmu? Apa dia minta harta?” tanya Barbara ketika akhirnya mengetahui perceraian yang diajukan menantunya. 

“Tidak! Fay tidak meminta harta apa pun!” jawab Dave frustrasi.

“Akhirnya dia sadar juga! Baguslah! Percepat prosesnya, segeralah menikah dengan Jenia!” seru Barbara bahagia. 

“Sejak dulu Mama tahu kalian tidak cocok! Hanya saja kau mencoba bertahan demi Miya. Sekarang tak ada lagi yang harus dipertahankan. Dia sendiri yang meninggalkanmu, meninggalkan anaknya! Wanita tidak tahu diri!” sahut Barbara. 

“Cukup, Ma!” 

Tanpa sadar Dave membentak Barbara yang memelotot. Tak ingin berdebat lebih jauh tentang Fay, Dave meninggalkan rumah. Pikiran Dave sangat kalut, cemas dan takut mulai menyerangnya lagi memikirkan Fay yang masih belum berhasil dia temukan. 

Teman-teman Fay tak tahu keberadaannya. Mereka bahkan mengaku tak pernah berhubungan dengan Fay semenjak wanita itu tersadar dari koma. 

Frustrasi membuat Dave merenung seharian di kantor. Meski malam sudah datang, Dave masih mengurung diri di kantor. 

“Dave, aku masuk!” 

Tanpa menoleh Dave tahu kalau pemilik suara yang sedang membuka pintu adalah Jenia. Dalam balutan baju kasual yang cantik, Jenia meletakkan makanan di meja. 

“Makanlah, sudah beberapa hari kau tak makan,” ucap Jenia. 

“Bagaimana aku bisa makan?” balas Dave sambil memperhatikan Jenia yang menguarkan aroma tak asing di penciuman Dave. 

Parfum floral dan aroma alkohol bercampur di dekat Jenia. Dave tahu ada yang salah pada wanita itu, tapi Dave enggan membahasnya. 

“Mengapa harus tak makan? Kau ingin mati?” tanya Jenia sambil membuka kotak makanan. 

Dave tetap tidak menyentuhnya, tapi dengan cekatan Jenia menyuapkan potongan daging ke mulut Dave. 

“Jenia, pergilah,” tolak Dave sambil memalingkan wajah ke arah lain. 

“Kau membingungkanku, Dave,” ucap Jenia sambil meletakkan garpu lalu berpindah tempat duduk di sofa yang ada di hadapan Dave. 

“Kau bilang Fay telah berubah. Kau tak bisa meninggalkannya kecuali dia sendiri yang pergi. Kini dia memutuskan pergi, apa yang membuatmu tertekan? Bukannya kau merasa tertekan ketika masih bersamanya?” tanya Jenia. 

Dave mendesah, bingung dan tak tahu bagaimana membalas pertanyaan Jenia. Di satu sisi Dave menyesal pernah mencurahkan isi hatinya pada Jenia terkait perubahan perilaku Fay yang menjadi mengerikan. 

Sikap pemarah Fay yang menjadi lebih sensitif, keengganan Fay untuk disentuh dengan alasan sakit, pertengkaran demi pertengkaran melelahkan yang menurut Dave hanya disebabkan oleh masalah sepele. 

Dave menyadari tak seharusnya menceritakan masalah rumah tangga mereka pada Jenia. Namun, ketika Jenia mendekat lalu memijat pundaknya, Dave terlena. 

“Mungkin Fay benar-benar marah besar. Salahku lupa memberitahu kalau kita akan makan malam, tapi aku juga takut memberitahunya lewat telepon. Aku takut dia mengamuk lalu melukai Miya saat tak ada kita di rumah,” kata Jenia. 

Dave membenarkan alasan Jenia yang tidak memberitahu kalau mereka akan makan malam bersama Jack Carson yang berencana membantu Dave memperluas bisnisnya ke kota lain.  

Seringkali Fay marah ketika mengetahui Dave makan malam bersama Jenia. Meski ada orang lain, Fay selalu menduga Dave dan Jenia berduaan saja. 

Fay tak sepenuhnya salah. Meski makan malam diawali dengan banyak orang, biasanya Dave dan Jenia memang berakhir berduaan menghabiskan makanan. Mereka akan mengobrol santai membahas banyak hal yang tak jarang membuat Dave terbahak-bahak mengingat masa lalu mereka. 

Bagi Dave itu bukan masalah besar karena hanya mengobrol, tapi Fay sakit hati membayangkan waktu Dave dihabiskan bersama Jenia. 

Dave dan Jenia nyaris tumbuh besar bersama. Mendiang ayah Dave adalah teman dekat Jack Carson karena itu mereka berdua dijodohkan. Dave menerima perjodohan itu karena merasa tidak memiliki masalah dengan Jenia yang cantik, tapi Jenia tidak mau menikah dengan Dave. 

Jenia kira menolak pernikahan tak akan menjadi masalah. Dia pikir Dave akan menunggunya. Siapa sangka Dave malah jatuh hati pada karyawannya, Fay yang yatim piatu. Saat keduanya menikah, Jenia baru sadar kalau dirinya mencintai Dave dan tak rela dilupakan. 

Mencoba mengalihkan perhatiannya dari kehidupan romantis Dave, Jenia menyibukkan diri di dunia hiburan. Namun, kelamaan Jenia makin iri pada kehidupan menyenangkan Fay sebagai istri Dave yang dimanja pria itu. 

“Jenia, kita harus menghentikan ini,” kata Dave sembari menjauhkan tubuhnya dari Jenia.

Spontan Jenia mengangkat tangan lalu memandangi Dave yang berdiri di hadapannya. 

“Ini tidak baik untukmu. Jangan temui aku saat tak ada orang begini,” kata Dave dengan tenang. 

“Kau takut apa?” tanya Jenia sambil mendekati Dave. 

“Takut rumor buruk menyerangku? Atau takut Fay mengamuk? Kalau keduanya tak mungkin mengusik lagi, apa kau masih takut?” tanya Jenia sambil menyentuh dada Dave. 

“Jenia ….”

“Dave, ayolah! Mengapa kau tak jujur saja pada dirimu sendiri?” sela Jenia sambil menatap Dave yang menjauh lagi. 

Dave tidak bicara apa-apa dan Jenia menarik napas panjang. 

“Maafkan aku,” kata Jenia pelan sambil memijat dahi. 

“Semuanya salahku, kan? Aku yang memaksa menunggu meski kau masih mencintai Fay. Masalahnya, aku tak yakin kalian itu masih saling mencintai. Oh tidak, kurasa sejak awal memang tak pernah ada cinta di antara kalian, kan?” celoteh Jenia. 

“Kau hanya menjadikan Fay sebagai pelarian semata. Fay menjadikanmu ladang hartanya! Kalian … kasihan Miya. Dia menanggung kesedihan karena kalian …. Oh, apa yang kubicarakan? Maafkan aku,” ucap Jenia sembari memundurkan diri lalu duduk di sofa memandangi Dave yang mengerutkan dahi. 

“Kau mabuk lagi, Jen?” tebak Dave. 

“Mabuk? Tidak. Aku hanya minum sedikit. Hanya sedikit dan sedikit karena aku kesepian. Aku bingung karena kau menyalahkanku,” jawab Jenia. 

“Aku tidak menyalahkanmu,” balas Dave sambil mendekati Jenia yang berdiri sambil tertawa. 

“Tidak menyalahkanku? Nyatanya kau mendiamkanku, Dave! Kau memusuhiku! Apa salahku? Fay yang memutuskan pergi, aku bahkan tak tahu mengapa dia pergi. Kalau tahu, aku mau kok mendatanginya untuk minta maaf atau bersujud di depannya. Karena apa? Karena aku mencintaimu, aku tak suka dia memarahimu!” omel Jenia membuat Dave terdiam. 

Bagi Dave, Jenia tak sepenuhnya asal bicara karena wanita itu sudah pernah berlutut di depan Fay. 

Saat itu terjadi pertengkaran antara Dave dan Fay yang marah karena Dave membiarkan Miya tidak latihan menari untuk acara sekolah karena ingin bepergian dengan Jenia. Alih-alih melarang, Dave membiarkan Miya bersenang-senang bersama Jenia di mall.

Saat mengetahui putrinya berbohong, Fay marah besar lalu muncul lah Jenia membela Miya. Saat Miya menangis, Jenia memeluk lalu meminta Dave membawanya ke kamar sementara Jenia tetap meladeni Fay yang masih marah. 

“Miya tak tahu apa-apa. Semua salahku. Tak seharusnya kau mengamuk pada anak-anak,” kata Jenia ketika Dave pergi. 

“Kalau kau tahu Miya hanya anak-anak, harusnya kau punya otak! Mengapa kau menculik putriku dari jadwal latihannya! Kau tak punya hak!” marah Fay. 

“Aku sudah minta izin Dave,” kata Jenia membela diri. 

“Dave? Dia tak pernah bilang tidak padamu!” teriak Fay emosi. 

“Lalu aku harus apa? Kau selalu bilang tidak padaku,” balas Jenia. 

“Pergilah dari hidupku, Jenia! Pergilah dari hidup kami! Jangan ganggu anak dan suamiku!” teriak Fay marah. 

Hanya kalimat itu yang didengar Dave ketika kembali lalu tiba-tiba saja dia melihat Jenia berlutut di hadapan Fay sambil menangis. 

“Maafkan aku, Fay. Kau bisa marah padaku, tapi jangan membuat Miya menangis. Dia anakmu, dia tak tahu apa-apa. Aku yang bersalah.”

Ketika itu Dave marah besar. Di hadapan Fay, Dave menarik Jenia untuk berdiri lalu di hadapan Jenia, Dave membentak Fay. 

“Apa yang kau lakukan pada Jenia? Tidak bisakah kau sedikit saja menunjukkan rasa hormatmu pada orang lain?!” bentak Dave. 

Fay tercengang, belum sanggup bicara ketika Dave membawa Jenia ke kamar lalu menenangkannya. 

Fay tak tahu apa yang terjadi antara Dave dan Jenia di kamar tamu, tapi yang jelas Fay semakin emosi apalagi ketika Dave datang lalu kembali memarahinya karena menyuruh Jenia berlutut. 

“Aku tidak menyuruh Jenia berlutut! Dia yang ….”

“Sampai kapan kau akan begini, Fay? Sampai kapan?!” bentak Dave menyela. 

Pertengkaran itu terngiang tak hanya di kepala Dave, tapi juga di kepala Fay yang masih berbaring di rumah sakit. 

Di tempat berbeda, keduanya mengenang hal sama dari sudut padang yang juga berbeda. Fay mengingat pertengkaran itu sebagai bukti hilangnya kepercayaan Dave padanya. Fay yakin Jenia mengadu yang tidak-tidak dan Dave tidak memberinya kesempatan membuktikan kebenaran. 

Sementara itu, Dave masih mengira Fay bersalah telah memerintah Jenia berlutut. Dalam pikiran Dave, Fay telah dibutakan kecemburuan yang tidak pada tempatnya. 

“Kau benar, Fay, kita lelah,” gumam Dave sambil menatap pintu yang masih terbuka setelah Jenia meninggalkannya. 

Cepat-cepat Dave mengejar Jenia lalu membawa wanita itu pulang. 

Sementara itu, di rumah sakit Fay berusaha tersenyum menatap Dallas yang menjenguknya. 

“Aku sudah mengaturnya, Fay. Kau bisa menjalani pengobatan di sana,” kata Dallas sambil menyentuh tangan Fay yang diinfus. 

“Kau yakin akan melakukannya sendirian?” tanya Dallas. 

“Sejak awal aku hidup sendirian. Aku lahir dan besar tanpa orang tua, sekarang pun aku tak punya siapa-siapa. Tak apa, aku sudah siap,” jawab Fay yakin. 

Dallas diam saja sambil memandangi tangan Fay yang di matanya melambangkan kerapuhan. Namun, saat Dallas mendongak menatap mata Fay, pria itu melihat kekuatan. 

Secara kasatmata Fay adalah wanita yang telah dihancurkan oleh suami dan keluarganya serta penyakit mematikan yang datang secara bersamaan. Namun, semangat Fay untuk bertahan hidup tetap berkobar. 

Selain memutuskan bercerai untuk meninggalkan keluarga yang sudah tak menginginkan kehadirannya, Fay juga memutuskan menjalani pengobatan terkemuka di Saranta, kota berjarak delapan ratus kilometer dari tempat mereka saat ini.

“Kalau tak ada yang menginginkanku lagi, tak masalah. Aku masih menginginkan diriku. Aku mencintai hidupku, Dallas. Aku akan menjalani hari baru meski tak ada yang mencintaiku lagi karena aku harus mencintai diriku sendiri.”

Seminggu lalu Fay menemui Dallas meminta bantuan pengaturan pengobatan di kota medis Saranta. Fay juga menceritakan keputusannya meninggalkan Dave dan Miya. 

“Kau akan sembuh, Fay. Aku akan selalu mendoakan hal itu,” kata Dallas sambil tersenyum pada Fay yang matanya mengharapkan keajaiban. 

Bab 5

 

“Papa, Mama ke mana, sih? Sudah lama tidak pernah pulang.” 

Celotehan Miya membuat Dave terserang sesak napas karena tak bisa memberi jawaban. Sebelum bibirnya terbuka, Jenia mengambil alih keadaan. 

“Miya tak membutuhkan Mama, kan?” tanya Jenia di hadapan Dave. 

Mata Miya bergerak melirik Dave yang duduk di sampingnya. Tak langsung menjawab, Miya menatap Jenia yang tersenyum. 

“Aunty akan menemani Miya belajar! Ayo belajar lagu baru!” seru Jenia seraya menggelitik pinggang Miya. 

Merasa geli Miya tertawa-tawa lalu mengalungkan tangannya di leher Jenia yang memeluknya. Keduanya berguling-guling di sofa, di dekat Dave yang nyaris kehilangan napas. 

Biasanya Dave ikut tertawa menyaksikan permainan kecil dan keakraban antara Jenia dan Miya, tapi kali ini Dave tak bisa ikut bersenang-senang. 

Ada rasa sakit dalam dada Dave ketika mengingat berita perceraian dari pengadilan yang akhirnya tiba di tangannya. 

“Nyonya Fayre merasa kehilangan kebahagiannya. Dia juga tidak ingin kalian lebih lama merasa tidak bahagia bersamanya. Nyonya Fayre ingin semuanya bahagia.”

Ucapan Matt ketika menanggapi amukan Dave yang masih belum siap bercerai membuat Dave tersentak oleh kenyataan Fay merasa telah kehilangan kebahagiaannya. 

“Apakah tawa bahagia Miya bersama Jenia benar-benar menyakiti Fay?”

Pertanyaan yang menggerogoti kepala Dave membuatnya berdiri lalu menjauhi Miya dan Jenia yang masih bermain-main di sofa. 

“Papa, nanti menyusul ke kamar ya! Aunty Jenia tidak bisa mengambil biola di atas lemari!” pinta Miya. 

“Ya,” jawab Dave tanpa menoleh. 

Dulu, biasanya Dave akan langsung menyusul ke kamar Miya. Bersama Jenia, Dave ikut bermain-main dengan putrinya. Namun, kini Dave malah masuk kamar lalu menguncinya. Sambil memandangi cincin yang ditinggalkan Fay, Dave merenung. 

Mulanya Miya adalah anak yang pendiam dan pemalu dengan orang baru. Hanya bersama keluarga, Miya mau membuka diri. Anehnya, selain pada Fay, Miya juga terbuka pada Jenia.  Miya bahkan bangga mengenalkan Jenia pada teman-temannya dan setelahnya menjadi lebih berani. 

“Aunty Jenia seorang artis cantik yang membanggakan!” 

Kata-kata itu adalah kalimat yang diduplikat Miya dari Barbara dan Judy. Biasanya Dave tidak mempermasalahkan kalimat lucu yang keluar dari bibir Miya, tapi kini Dave mulai mempertimbangkan perasaan Fay ketika mendengarnya. 

“Miya hanya anak-anak. Haruskah kau terus marah pada anakmu?”

Mata Dave terpejam mengingat salah satu pertengkaran mereka tatkala Fay mendengar Miya memanggil Jenia dengan sebutan Mama Jenia. 

“Miya hanya anak-anak karena itu harus diluruskan. Mengapa membiarkannya memanggil Jenia sebagai Mama? Apa kau yang menginginkan panggilan itu? Kau ingin menggantikan posisiku dengan Jenia?!” balas Fay marah. 

“Kau tak masuk akal, Fay! Itu hanya omongan anak kecil! Janganlah terus memperkeruh suasana!” marah Dave. 

Saat itu Dave sangat lelah karena baru pulang bekerja dan mendengar laporan Jenia yang mengadu Miya menangis setelah dimarahi Fay. 

“Sampai kapan kau membiarkan Jenia tinggal di rumah ini?! Aku tak butuh dia! Aku bisa mengurus putriku sendiri!” sahut Fay. 

“Tapi nyatanya Miya butuh Jenia! Kau bahkan tak bisa mengajarinya menari dengan benar. Jenia bahkan bisa mengajarinya bermain piano dan biola! Jenia bisa membantunya menumbuhkan percaya diri. Miya berteman baik dengan Jenia, tolonglah jangan mengusik mereka!” balas Dave mengungkit kebaikan Jenia. 

“Kau atau Miya yang butuh Jenia?! Aku muak, Dave. Muak! Aku tak ingin ada wanita lain dalam pernikahanku!” teriak Fay. 

“Kecilkan suaramu! Jangan menyinggung Jenia!” balas Dave sambil mencengkeram lengan Fay. 

“Jenia tidak pernah mengganggu, kau saja yang selalu merasa terusik. Dia justru membantu perkembangan Miya!” lanjut Dave. 

“Aku tak mau kau mempermasalahkan kehadiran Jenia lagi. Keluarganya sudah banyak menolong bisnisku. Jenia juga pernah menyelamatkan hidupku! Hanya membiarkan Jenia tinggal di sini seharusnya bukanlah hal sulit, toh dia membantu Miya juga! Tolong, hormati dan hargai Jenia seperti kau menghormatiku!” perintah Dave. 

Ingatan pertengkaran itu kini membuat Dave merasa tak tenang. Hatinya gelisah mengingat banyaknya kata-kata otoriter penuh tekanan yang dia berikan pada Fay. 

“Kau melakukan hal yang benar. Fay memang harus disadarkan. Sudah terlalu lama kau memanjakannya. Hanya bersikap baik pada Jenia apakah sulit? Fay sangat egois!” 

Ucapan Barbara yang disampaikan ketika melihat Dave dan Fay bertengkar kini membuat Dave menarik napas panjang. Dave pernah meyakini ucapan ibunya benar meski hati kecilnya juga merasa Fay tak salah. 

“Aku istrimu, Dave, bukan Jenia. Aku ibu Miya, bukan Jenia. Mengapa kau datang ke acara sekolah Miya bersama Jenia? Ingin mengumumkan pada dunia kalau kalian adalah keluarga?” 

“Kau masih sakit, Fay. Lagipula ini keinginan Miya, aku hanya menyenangkan dan tak mau mengecewakannya. Mereka sudah berlatih saat kau koma!” 

“Miya lagi? Kau selalu menggunakan Miya sebagai alasan. Kau tahu sebagai orang tua kita harus meluruskannya. Bila Miya menginginkan kau menikahi Jenia, apa kau juga akan menurutinya?!” 

“Berhentilah membicarakan omong kosong! Miya tak akan meminta hal tak masuk akal, tapi mungkin saja akan kupertimbangkan hal itu kalau kau terus berperilaku buruk! Lama-lama aku muak menghadapimu! Kalau Miya lebih menginginkan Jenia sebagai ibunya, seharusnya kau berkaca menyadari kekuranganmu, bukan terus menyudutkan Jenia!” 

Dahi Dave terasa sakit ketika mengingat pertengkaran lainnya saat Fay mengetahui Dave mengajak Jenia menghadiri kompetisi keluarga di sekolah Miya. Acara itu diumumkan ketika Fay masih koma dan Dave telanjur membiarkan Miya mengajak Jenia menggantikan Fay. 

Ketika akhirnya Fay sadar dan diperbolehkan pulang, Dave tetap merahasiakan acara itu dari Fay karena mengira istrinya belum benar-benar pulih. Selain itu, Dave tak mau mengecewakan Miya dan Jenia yang sudah berlatih kekompakan bernyanyi dan memainkan piano bersama serta ketangkasan estafet balon. 

“Dave, apa kau tidur?”

Ketukan halus di pintu kamar membuyarkan ingatan Dave tentang banyaknya pertengkaran dengan Fay belakangan ini. Perlahan Dave membuka pintu lalu menemui Jenia yang membawakan kopi untuknya. 

Tidak membawa Jenia ke kamar, Dave melangkah ke sofa terdekat. 

“Apa keputusanmu?” tanya Jenia. 

“Aku harus bertemu Fay. Ini tidak benar. Ada banyak pertengkaran yang tidak kami selesaikan,” jawab Dave sambil menyentuh cangkir kopi. 

“Tapi dia kan tak mau menemuimu. Mungkin Fay memang sudah tak mau mengurus kalian,” kata Jenia. 

“Rasanya tidak mungkin,” balas Dave. 

“Apa yang tak mungkin di dunia ini?” balas Jenia sambil menyentuh paha Dave. 

“Kau pun pernah bersalah,” kata Jenia sambil menggerakkan tangannya di paha Dave. 

Spontan Dave menjauh sambil meletakkan cangkir kopi di meja. 

“Jenia ….”

“Aku tahu itu salahku, tapi kau juga salah, kan? Kau … kapan sih kau berhenti bersikap munafik, Dave? Untuk apa kau terus menahanku di sini kalau kau tak memiliki sisa perasaan untukku?” tanya Jenia. 

Dave terdiam, sangat lelah mendengarkan Jenia yang terus merongrongnya. Awalnya Dave tidak merasa memiliki hubungan khusus dengan Jenia karena dia mencintai Fay. Namun, suatu hari saat Fay koma, Dave pernah khilaf. 

Terus bersama Jenia yang menggoda serta penat menghadapi banyaknya masalah hidup membuat Dave nyaris meniduri mantan tunangannya. Walau tak jadi, tapi keduanya sudah berciuman sangat intim. Dave yang tersadar langsung menjahuhi Jenia yang esok hari berinisitif meminta maaf atas kesalahannya memancing Dave. 

Jenia berjanji tidak akan menggoda lagi, Dave pun berusaha menjauhi Jenia. Namun, sulit benar-benar menjauh karena Miya seolah mengikat mereka dan Dave tak berani menyinggung Jack Carson atau menyakiti perasaan Jenia yang rapuh dan mudah sakit. Apalagi Jenia pernah menyelamatkan nyawa Dave ketika pria itu nyaris kejatuhan material bangunan. Jenia mendorong Dave hingga kakinya yang terluka.

Dibutakan oleh ego sebagai pria yang berkuasa, nyatanya Dave malah menikmati sensasi memiliki dua wanita. Meski tidak secara resmi menyebut Jenia sebagai kekasih, tapi Dave membiarkan saja wanita itu ada di dekatnya. 

Dave merasa nyaman dimanjakan Jenia yang juga menyayangi Miya di saat Fay berubah perangainya menjadi lebih emosional dan memuakkan bagi Dave. Di saat Fay selalu berprasangka dan marah-marah, Jenia selalu muncul sebagai wanita yang menghibur Dave dengan lelucon segar atau pengalaman bersenang-senang menikmati berbagai hiburan di kota mereka. 

Namun, kini Dave merasa dirinya telah benar-benar bersalah pada Fay yang akhirnya memutuskan bercerai. 

“Jen, bisakah kau pulang saja? Aku minta maaf, tapi sepertinya kau tak pantas terus tinggal di sini,” kata Dave mengejutkan Jenia. 

Jenia tak mau pergi karena keinginannya  adalah hidup bersama Dave, tapi dia sudah belajar untuk bersandiwara mengalah. 

“Kalau itu ….”

Jenia hampir bicara ketika pintu kamar Miya terbuka. Dengan mata setengah terpejam, Miya terseok-seok mendatangi Jenia. 

“Aunty, temani Miya,” rengek Miya sembari terus berjalan. 

“Oh Sayang! Ada apa? Miya mimpi buruk?” tanya Jenia sembari mendekat dan langsung menggendong tubuh mungil Miya. 

“Ya, Miya ingin ditemani tidur!” rengek Miya manja. 

“Baiklah, ayo tidur!” balas Jenia sembari melangkah, tapi Miya memekik lagi. 

“Papa juga! Temani Miya!” rengek Miya. 

Dave gelisah, enggan menuruti keinginan Miya, tapi Dave tak tahan pada rengekan putrinya. Dengan pasrah Dave menyusul ke kamar lalu tidur di sisi kanan Miya. Gadis kecil itu berada di tengah, terjepit antara Dave dan Jenia. 

“Tidurlah, Aunty akan menemani,” bisik Jenia. 

Miya tersenyum lalu memeluk Jenia kemudian tertidur. Di samping Miya, Dave menatap langit-langit kamar, enggan menatap wajah Jenia yang memandanginya. 

“Kau masih ingin aku pergi? Siapa yang akan menemani Miya?” tanya Jenia. 

“Demi Miya. Aku akan menjaga jarak darimu. Hanya demi Miya aku akan tetap di sini. Kumohon, jangan menyakitinya. Ibunya sudah tak peduli dan memilih meninggalkannya, haruskah aku juga menyakitinya?” tanya Jenia. 

Dave kalah telak. 

Meski tak bicara, nyatanya Dave tak kuasa mengusir Jenia yang tampak berharga di mata Miya. Selain itu, ucapan Jenia juga membuat Dave memikirkan sisi egois Fay. 

“Jenia benar, kalau dia mencintai Miya, tak seharusnya Fay pergi. Apa memang tak ada lagi cinta di hatinya untuk kami?” tanya Dave di dalam hati. 

Dave belum yakin akan jawaban pertanyaannya, tapi Barbara dan Judy terus memberinya racun yang menyakiti. 

“Kalau Kak Fay wanita baik, tak mungkin dia meninggalkan Miya!”

“Perempuan macam apa yang bisa pergi begitu saja tanpa memikirkan anaknya?!” 

“Mungkin Kak Fay telah memiliki lelaki lain. Dia sengaja menjadikan Jenia sebagai alasan untuk berpisah!” 

“Mama tak akan heran bila menemukan Fay bersama lelaki lain!”

“Kak, lebih baik Kakak setujui perceraian itu lalu menikahlah dengan Jenia. Dia lebih peduli pada Miya dan lebih bisa mengurusnya. Jenia juga masih mencintai Kakak!”

“Sudah jelas cinta Jenia pada Kakak lebih tulus karena dia kan kaya, tidak butuh uang Kakak. Sementara Kak Fay, kita tahu dia miskin dan hanya menginginkan harta Kakak!” 

Meski terus dirongrong, Dave belum juga menandatangani persetujuan perceraian. Dave masih berusaha menemukan Fay untuk memperjelas perpisahan mereka. 

Namun, satu minggu kemudian Dave tak sengaja melihat Fay di depan toko baju. Dari seberang jalan Dave melihat Fay dirangkul oleh seorang pria yang wajahnya dikenali Dave. 

Dallas Garret, dokter umum yang juga putra pemilik rumah sakit. Teman sekolah Fay yang pernah dikenalkan dua tahun lalu. 

Secara finansial Dave tahu Dallas jauh berada di atasnya. 

“Jadi, inikah jawabannya?” tanya Dave geram sambil mengepalkan tangan. 

Dave tak lagi memiliki kekuatan untuk mengejar Fay, sisa tenaganya hari itu dia gunakan untuk memaju mobil dengan kecepatan tinggi guna menandatangani surat persetujuan perceraian. 

Sementara itu di dalam mobil, tenaga Fay juga habis setelah mendadak dirinya mengalami muntah-muntah di dalam toko. Fay merasa mual setelah melihat baju anak kecil yang mirip dengan milik Miya. 

Rindu pada putri kecilnya membuat Fay tertekan hingga kehilangan kesadaran di toilet toko. Panik membuat para karyawan mencari kerabat Fay di ponsel baru Fay yang hanya memiliki nomor telepon Dallas dan Matt. 

Karena Dallas ada dalam panggilan terakhir, karyawan toko menelpon Dallas untuk menjemput Fay yang tersadar beberapa menit kemudian. 

“Fay, minggu depan kau sudah bisa ke Saranta,” kata Dallas sambil memperhatikan Fay yang menopang kepalanya di jendela mobil. 

“Ya, aku sudah siap,” gumam Fay tanpa membuka mata. 

“Aku sudah siap dengan segala kemungkinan,” tambah Fay sembari meneteskan air mata karena teringat Miya yang memeluk dan menciumnya. 

“Kalaupun harus mati dalam kesendirian, tidakkah itu lebih baik daripada mati dalam keluarga yang bergembira atas kepergianmu?”

Dallas ikut merasa sedih ketika teringat alasan Fay kukuh sendirian menjalani pengobatan di Saranta.

 

Bab 6

 

“Aunty, bisakah membuat pancake keju? Bibi Maggie tidak bisa. Katanya hanya Mama yang bisa.” 

Suara lugu Miya membuat kepala Dave menoleh menatap putri kecilnya yang sedang merayu Jenia. Mereka masih tinggal bersama karena Miya masih membutuhkan Jenia dan Dave tidak sanggup mengusir Jenia. Barbara dan Judy mendukung penuh keinginan Miya. 

“Bagaimana kalau kita mencobanya bersama?” balas Jenia. 

“Hore! Terima kasih, Aunty!” seru Miya kesenangan. 

Dave tidak terlalu memperhatikan lagi keributan di dapur yang diciptakan Jenia dan Miya karena saat mendengar atau melihat keakraban keduanya, hati Dave justru sakit. 

Harusnya kau yang di sini, Fay. Bagaimana bisa kau meninggalkan tanggung jawabmu sebagai seorang ibu?

Dave merasa marah pada Fay karena meninggalkan Miya yang masih mencarinya. Keributan ingin mencicipi pancake keju juga diyakini Dave hanya alasan Miya yang sebenarnya merindukan Fay. Barbara dan Judy terus mengumpat dan menyumpahi Fay yang benar-benar menghilang serta menyalahkan Fay sebagai ibu tidak bertanggung jawab. 

Namun, di sisi lain Dave tahu dirinya juga bersalah karena dialah yang memberi celah pada Fay untuk melarikan diri. 

“Menikahlah dengan Jenia agar tidak menjadi pembicaraan orang lain karena kalian terus tinggal bersama,” nasihat Barbara ketika memergoki Dave berdiri di tangga, mengintip Jenia dan Miya yang mencicipi pancake mereka. 

“Rasanya tidak sama seperti punya Mama!” teriak Miya membuat Barbara segera berlari ke dapur untuk menenangkan cucunya. 

“Tapi buatan Aunty Jenia juga enak, kan?” tanya Barbara. 

“Egh, tidak begitu enak. Punya Mama enak,” jawab Miya lugu. 

“Miya, tidak boleh begitu. Aunty Jenia sudah berusaha, Miya harus menghargainya,” nasihat Barbara. 

“Tidak apa-apa, Bibi. Aku memang tidak pandai memasak,” kata Jenia malu sembari melirik Dave yang meneruskan langkah ke kamar. 

Dalam kesendiriannya Dave merenungkan ucapan Barbara. Dulu saat Fay memprotes keputusan  Dave yang mengizinkan Jenia tetap tinggal di rumah mereka, Barbara mengabaikannya. Padahal, Fay juga membahas rumor buruk yang bisa tersebar bila Jenia terus tinggal bersama mereka. 

Ketika Fay menyajikan telur agak gosong untuk Dave, Barbara mencercanya. Di depan Miya dan Jenia, Barbara menyebut Fay tak pandai memasak lalu memuji telur buatan Jenia lebih enak dimakan dan dipandang mata. 

Barbara bahkan mengajak Miya menertawakan telur buatan Fay seperti masakan anak TK. 

Kini saat melihat ibunya membela Jenia habis-habisan, Dave baru mernyadari tak seharusnya Fay diperlakukan seperti itu. Padahal, dulu saat Fay masih ada, Dave mengabaikannya. Berulang kali Fay memprotes sikap Barbara, Dave malah meminta Fay memaklumi ibunya yang sudah tua. 

“Fay, kau di mana?” gumam Dave ketika membuka laci nakas dan menemukan cincin yang ditinggalkan Fay. 

Satu bulan sudah berlalu semenjak Dave melihat Fay bersama Dallas. Satu detik pun Dave tak mau mencari tahu hubungan keduanya. Hati Dave terlalu hancur hingga dengan mudah memercayai asumsi yang disodorkan Judy. 

“Pasti Kak Fay berselingkuh dengan pria yang lebih kaya dari Kak Dave. Lupakan saja dia, terimalah Jenia yang tulus.”

Dave tidak menyanggah, tapi tidak juga serta merta menerima hati Jenia yang masih tinggal bersamanya. Jauh dalam hati kecilnya Dave berusaha menyangkal prasangka perselingkuhan Fay. Dave juga  tidak pernah menceritakan tentang Fay yang dilihatnya bersama Dallas. 

Meski hatinya hancur dan sakit membayangkan pengkhianatan Fay, Dave masih berusaha berpikir positif karena dia  mengenal Fay sebagai perempuan baik yang tidak gila harta. Namun, perpisahan mereka membuat Dave kebingungan. Fay tidak menggugat harta bersama, tapi tega menjual rumah di Northing yang merupakan hadiah dari Dave. Selain itu, Fay juga membawa semua perhiasannya. 

Dave tak tahu kalau Fay membutuhkan banyak uang untuk memulai hidup barunya di Saranta. Biaya keberangkatan, biaya membeli rumah sederhana, biaya hidup, biaya pengobatan, biaya memulai bisnis kecil untuk bertahan hidup. 

“Fay, apa kau benar-benar tidak mencintaiku lagi? Apakah Jenia hanya alasanmu untuk pergi?” gumam Dave yang masih juga mencari pembenaran dari sikap salahnya menghadirkan Jenia dalam pernikahan mereka. 

Sementara itu, Fay sedang memulai hari-hari barunya di Saranta yang sempat tertunda. Dalam kesendiriannya Fay hanya berbekal nama Dallas untuk mempermudah urusannya di Rumah Sakit Saranta. Saat menjalani pemeriksaan, Fay terus memeluk foto Miya, putri yang membuatnya sempat menunda keberangkatan. 

Fay sudah berusaha mengikhlaskan Dave meski kenangan manis bersama pria itu terus teringat dalam benaknya. Namun, ternyata sulit bagi Fay untuk melupakan Miya, gadis kecil yang dilahirkannya dengan suka cita. 

Dua minggu lalu Fay baru bisa pergi ke Saranta dan dua hari lalu dirinya mulai menjalani rawat inap untuk melalukan serangkaian pemeriksaan dan tes sebelum mengambil pengobatan dengan metode penyinaran. 

Sendirian, Fay menjalani hari-harinya di rumah sakit. Teringat perpisahannya dengan Miya, Fay menangis lagi. 

“Miya senang bersama Aunty Jenia?” tanya Fay di malam memutuskan pergi dari rumah. 

Sambil menemani Miya tidur, Fay menciumnya. 

“Aunty Jenia baik. Tidak bisakah Mama berhenti marah-marah pada Aunty Jenia? Kasihan, dia menangis tiap kali Mama marah,” jawab Miya. 

“Apa Miya sedih bila Aunty Jenia sedih?” tanya Fay. 

“Ya,” jawab Miya lantang. 

“Bagaimana kalau Mama sedih?” tanya Fay. 

“Mengapa Mama sedih?” balas Miya. 

Perlahan Fay memeluk Miya untuk menyembunyikan air mata. 

“Mama mencintai Miya,” bisik Fay. 

“Maafkan Mama karena belakangan ini sering marah. Miya tidak akan melihat Mama marah lagi,” janji Fay. 

“Benarkah? Mama tidak akan memarahi Aunty Jenia juga?” tanya Fay senang. 

“Miya mencintai Aunty Jenia?” tanya Fay. 

“Ya, Miya mencintai Aunty Jenia,” jawab Miya lugu. 

Fay tidak bertanya lagi, tapi dicuminya Miya lalu ditemani sampai putrinya tertidur. Ketika Miya terlelap, Fay baru menangis. Apalagi ketika dia menemukan buku gambar Miya yang terjatuh di kolong tempat tidur. 

Dalam buku gambar itu terlihat coretan khas anak-anak yang melukiskan tiga orang manusia. Satu orang wanita dewasa, satu pria dewasa, dan satu anak perempuan. Yang melukai hati Fay, di bawah setiap gambar tertulis setiap nama. 

Papa Dave, Miya, Aunty Jenia. 

Gambar itu bahkan dilengkapi coretan bentuk hati. 

“Miya, Mama tidak pernah menyalahkan Miya. Semua ini takdir Mama. Selamanya Mama menyayangi Miya karena itu Mama harus pergi. Kelak Miya dewasa tak perlu memaafkan kelemahan hati Mama yang tidak kuat bertahan di sisi Miya,” gumam Fay sebelum tertidur karena pengaruh obat. 

Fay tak tahu kalau Dallas menjenguknya setelah berhasil mengajukan pengunduran diri di rumah sakit Madsara demi menemani proses pengobatan Fay di Saranta. 

“Bagaimana mungkin hubungan darah diputuskan?” gumam Dallas ketika menemukan foto Miya yang digenggam Fay bersama sebuah buku kecil. 

Namun, Dallas tidak mau ikut campur masalah pribadi Fay. Hari-hari berikutnya Dallas hanya fokus menemani dan membantu Fay menjalani proses pengobatan kanker di otaknya. 

*

Satu bulan kemudian Dave, Miya, dan Jenia bersiap di bandara. Ketiganya berpamitan pada Barbara dan Judy yang tampak gembira. 

“Bersenang-senanglah!” seru Judy sambil menempelkan tangannya pada Miya yang tertawa-tawa. 

Miya dan Jenia tampak gembira sedangkan Dave pura-pura ikut senang. Dave terpaksa menuruti keinginan Miya yang merengek ingin ikut Jenia ke Saranta. 

“Dave, ayolah. Acaraku hanya satu hari, selebihnya akan kutemani kalian bermain di Saranta. Ada banyak tempat wisata di sana yang cocok untuk anak-anak!” kata Jenia berusaha meyakinkan. 

Jenia mendapat undangan pernikahan kawan artisnya di Saranta. Dia tidak memaksa Dave menemaninya, tapi memprovokasi Miya untuk ikut bersenang-senang di Saranta. 

“Dave, pergilah. Kasihan Miya. Dia butuh hiburan! Kau juga!” Barbara ikut memanasi. 

Sebenarnya Dave tak berminat bersenang-senang karena semnjak Fay pergi, dia merasa kehilangan semangat hidup. Pertengkaran yang semula dia sebut melelahkan nyatanya Dave rindukan. Bukan perdebatan mereka yang Dave inginkan, tapi wajah, sentuhan, serta suara Fay yang telah lama menghilang. 

Sesekali Miya juga masih menanyakan keberadaan Fay karena Dave belum menurunkan foto-foto Fay yang ada di rumah, termasuk foto pernikahan mereka. Beralasan menjaga hati Miya, Dave melarang Barbara membuang foto Fay. 

“Biar bagaimanapun Fay ibunya. Aku tidak akan menghapus memori tentang Fay untuk Miya. Kelak Fay sudah tenang, dia pasti kembali mencari Miya,” kata Dave yang masih berharap Fay muncul lagi membatalkan perceraian. 

Melalui Miya dan Barbara, Jenia berhasil menyeret Dave menemaninya berlibur di Saranta. Jenia tidak bisa memaksa Dave menemaninya ke pesta karena Dave bersikukuh menolak dengan berbagai alasan, tapi Jenia cukup senang karena membayangkan akan tinggal bersama di hotel. Meski ada Miya, Jenia tak keberatan. 

Misi Jenia adalah lebih mendekatkan diri pada Dave yang dia curigai belum bisa melepaskan bayangan Fay. 

“Papa, nanti kita akan bermain apa saja?” tanya Miya ketika duduk di kursi pesawat. 

Sambil menatap Dave, Miya mengambil tangan Jenia yang baru saja memakaikan sabuk pengamannya. 

“Entahlah, kita lihat nanti di sana,” kata Dave sambil tersenyum. 

“Tunggu Aunty untuk bersenang-senang ya. Setelah pesta usai, Aunty akan menyusul kalian!” seru Jenia bersemangat. 

Miya ikut bersemangat lalu tertidur membuat Jenia kesepian karena Dave juga tertidur. Namun, Jenia merasa senang. Diambilnya foto grup bersama Dave dan Miya yang sedang tidur. 

“Aku akan seutuhnya memilikimu lagi. Pasti,” gumam Jenia di dalam hati. 

Rupanya Saranta tidak terlalu menarik bagi Miya. Saat Jenia menghadiri pesta yang mulai sejak sore, Miya yang bosan di hotel memaksa Dave mengajaknya jalan-jalan. Tak mau putrinya terus merengut, Dave membawa Miya menyusuri taman kota di dekat hotel. 

Taman itu dipenuhi aneka pedagang kecil dan penjual souvenir Saranta. 

“Papa mau es krim!” pinta Miya ketika melihat pedagang es krim yang menggunakan sepeda. 

Sejenak Dave terdiam karena teringat Fay yang menyukai es krim vanila sama seperti Miya. Dengan lambat Dave menyela kerumunan taman mendekati penjual es krim yang tidak terlalu ramai.

 Dengan topi bundar, Miya celingukan melihat keramaian taman. 

Tiba-tiba saja Miya menyipitkan mata ke arah sebuah booth yang dipenuhi balon. Perlahan Miya bergerak menjauhi Dave yang mengejarnya. 

“Miya, mau ke mana?” tanya Dave panik karena Miya mulai berlari. 

“Mama! Itu Mama!” jawab Miya mengejutkan Dave. 

Sambil menarik tangan Miya, Dave menatap ke arah yang ditunjuk putrinya. Mata Dave memelotot melihat sosok Fay yang tersenyum ramah membagikan balon dan brosur pada setiap orang yang melewatinya. Di samping Fay ada badut beruang yang bergoyang-goyang menarik minat pengunjung terutama anak-anak. 

“Mama! Mama!” teriak Miya histeris sembari melepas tangan Dave untuk mendatangi Fay yang seketika menoleh. 

Dave pun mengejar Miya, ikut terperangah melihat wanita yang terdiam memandangi keduanya. Sejenak Dave memperhatikan perubahan dalam diri Fay. 

Rambut cokelat Fay yang dulu sepinggang kini dipotong sepunggung. Tampak lebih rapi dan terlihat  halus meski tertiup angin. Wajah Fay terlihat berseri-seri dan tubuhnya juga tidak sekurus terakhir kali mereka berpisah. 

Secara keseluruhan Fay tampak lebih baik dari sebelumnya ketika masih tinggal bersama Dave. 

“Mama, kenapa Mama ada di sini?” tanya Miya sembari langsung memeluk kaki Fay. 

Mata Fay memelotot memandangi Miya yang tiba-tiba menangis. 

“Miya selalu menunggu Mama pulang,” kata Miya membuat Dave menelan ludah. 

“Fay, apa yang kau lakukan di sini?” tanya Dave setelah bisa bersuara. 

Dave tampak bingung karena Fay terlihat canggung dipeluk Miya. 

Namun, kebingungan Dave semakin berlipat-lipat ketika mendengar suara Fay yang dia rindukan. 

“Egh, maaf, kalian siapa? Apa kita saling mengenal?” tanya Fay. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Day by Day 7-8
9
0
“Papa cepat! Jangan sampai Mama dibawa lari beruang itu!” teriak Miya sambil terus berlari. Takut tertinggal, Dave langsung menggendong Miya kemudian berlari mengejar Dallas yang memasukkan Fay ke mobil. *“Jen, maaf aku tidak bisa meneruskan liburan bersamamu. Aku tidak bisa meneruskan semua ini. Aku dan Miya akan pergi,” jawab Dave membingungkan Jenia.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan