Daradasih 1- 5

2
0
Deskripsi

Suma menjulukinya Daradasih karena sama seperti kicau burung Daradasih yang konon bisa mendatangkan musibah, suara merdu Dara pun bisa memicu malapetaka, terutama dalam rumah tangga orang lain.

Licik, tidak bertanggung jawab, dan tega. 

“Daradasih bisa membuang telur burung lain demi keselamatan anaknya sendiri. Kamu juga akan melakukan hal yang sama?” -Suma. 

“Burung itu nggak pernah minta dilahirkan sebagai Daradasih. Semua itu takdir.”-Dara. 

Bab 1

 

Senja baru saja datang ketika seisi kampung Desa Warsa dihebohkan oleh lengkingan suara seorang wanita. Di depan rumah kayu yang salah satu bingkai jendelanya ditutupi kardus, wanita itu berteriak memaki penghuni rumah. 

“Sundal! Nggak tahu diri! Keluar kamu!” 

Teriakan diiringi gerakan kasar mendobrak pintu itu tak hanya menggetarkan bingkai jendela, tapi juga menimbulkan gemetar dari tubuh dua wanita yang saling berpelukan di dalam rumah. 

“Dara, kenapa lagi ini?” 

Suara lirih wanita yang matanya masih bengkak karena menangis itu disambut gelengan kepala dari wanita yang lebih muda. 

Dara, sang putri yang baru saja berusia 16 tahun itu tampak ketakutan. Air matanya masih  membajir saat pintu rumah akhirnya terdobrak oleh seorang pria. 

“Dara, sini kamu! Lonte!” 

Makian yang tiba-tiba menyerbu menyentak Dara dan Asmi, ibunya. Kedua wanita itu membelalak, apalagi ketika tangan kasar sang pria langsung menjambak rambut Dara, menyeretnya ke luar rumah untuk dipertontonkan pada warga yang berkumpul dengan kebingungan. 

“Anak ini sudah menggoda kakak ipar saya! Merayu menjadi selingkuhan Mas Hasim!” teriak pria bernama Lodi. 

“Nggak! Bohong! Nggak benar itu! Om Hasim yang melecehkanku!” bantah Dara. 

“Halah! Sama kayak ibunya! Dulu kan juga selingkuh, makanya ditinggal suami!” teriak Lodi.

“Pelacur!” maki Susi sembari menampar Dara. 

Dara memberontak sambil menangis, tangannya berusaha melepaskan diri dari jambakan Lodi. Asmi pun berteriak-teriak meminta putrinya dilepaskan, tapi Lodi malah menampar Dara dengan kuat. 

Warga kampung pun terbelah, ada yang langsung memaki Dara karena terpengaruh teriakan memilukan Susi, kakak Lodi yang sejak awal memaki-maki Dara. Sebagian berusaha mencerna amukan Lodi dan Susi. 

Namun, tak ada yang menyelamatkan ketika Dara dan Asmi ditendang oleh Lodi dan Susi yang membabi buta. 

“Ada apa ini ribut-ribut?!” 

Teriakan dari pria yang dihormati di desa itu membuat Lodi dan Susi berhenti menganiaya, kerumunan pun terbelah memberi akses Juhri untuk melihat keadaan Dara dan Asmi.

“Pak, tolong, Pak! Saya difitnah,” isak Dara sambil melindungi Asmi yang menangis sesegukan. 

“Fitnah?! Saya melihat sendiri kamu menggoda suami saya! Anak nggak tahu diri! Sundal! Pelacur!” teriak Susi membuat suasana kembali heboh. 

Banyak yang terhasut ikut menghujat Dara dan Asmi yang menangis. Lontaran makian memanaskan situasi yang membuat Juhri berteriak. 

“Diam! Kita selesaikan semuanya dengan damai, jangan pakai kekerasan!” teriak Juhri. 

Tiba-tiba saja suasana menjadi hening. Dengan penuh kebapakan Juhri membantu Dara dan Asmi berdiri lalu mengajak Lodi dan Susi bersama-sama masuk ke rumah. 

“Pak Buri, ayo jadi saksi,” kata Juhri mengajak ketua RT untuk ikut masuk ke rumah. 

Kerumunan pun dibubarkan dengan paksa setelah Juhri berjanji menangani masalah dengan keadilan. 

“Ada apa lagi ini Dara?” tanya Juhri saat mereka masuk ke rumah yang pintunya tertutup. 

“Dara ini pelacur, Pak! Menggoda suami orang!” sahut Susi. 

“Bohong! Anak saya nggak begitu!” bantah Asmi sambil menangis. 

“Dara, apa yang terjadi?” tanya Juhri sambil menatap Dara yang wajahnya sudah berantakan. 

Terus menangis membuat matanya bengkak, pipinya pun memar. Sudut bibirnya juga berdarah. Rambut Dara acak-acakan. 

“Saya nggak pernah menggoda Om Hasim. Tadi saya cuma disuruh ngantar rantang ke bengkel Om Hasim. Di sana dia … dia … “

Dara terdiam karena menangis, tak sanggup meneruskan cerita tentang kebejatan Hasim yang melecehkannya. 

“Dia apa? Aku lihat kamu nyosor ke Hasim! Merayu minta uang dua ratus ribu! Dasar murahan!” maki Susi. 

Mata Dara membelalak, tak habis pikir dengan tuduhan Hasim yang memutarbalikkan fakta. Juga tak mengerti mengapa Susi mengarang cerita.

 Saat Susi datang ke bengkel, Dara yakin wanita itu mendengarnya berteriak minta tolong. Pun saat Susi masuk ke bengkel, Dara sedang dibekap Hasim yang menahannya dalam pangkuan.

Dahi Dara bahkan berdarah karena dilempar Hasim dengan kunci. Saat Susi dan Hasim adu mulut, Dara melarikan diri karena ketakutan pada Hasim. 

“Dara ….”

Juhri baru saja akan bicara ketika terdengar suara seorang pria dari luar pintu yang tertutup. 

“Pak Juhri, kami mau ikut bicara,” kata pria itu sopan. 

Seketika Buri membuka pintu, menatap seorang wanita elegan dengan setelan serba mahal. Kepala Buri menunduk dengan hormat, begitu juga Juhri. Lodi dan Susi pun ikut menunduk hormat saat wanita anggun itu memasuki rumah reyot Dara tanpa membuka sepatu dengan hak tujuh senti yang lancip. 

Hanya Dara dan Asmi yang menengadah dengan tatapan penuh kebencian saat menatap wanita yang dikenal sebagai Ny. Tajaya. Sejenak Vaisa dan Dara saling memandang satu sama lain.  

Bila Dara yang lebih muda tampak sederhana dengan segala beban hidup yang tampak dari wajahnya, Vaisa Tajaya yang delapan tahun lebih tua terlihat berkilau dengan perawatan serba mahal yang tercium dari aroma wangi tubuhnya. 

“Kenapa Ibu Tajaya ke sini?” tanya Susi. 

“Pak Juhri tahu maksudku,” jawab Vaisa sambil menatap Dara yang memelotot ke arahnya. 

“Ucapanku nggak salah kan, Pak? Anak ini bermasalah. Pelacur kecil yang mencoba menipu keluarga kami,” kata Vaisa diiringi teriakan Dara. 

“Aku nggak berbohong! Gasa memperkosaku! Dia mencelakaiku!” teriak Dara dalam pelukan Asmi yang menangis. 

Jeritan Dara tampak memilukan ketika mengulang cerita yang sebelumnya sudah dia tuturkan pada Juhri untuk menuntut keadilan. 

Sehari sebelumnya Dara memberanikan diri mengadukan peristiwa naas yang dialaminya. Diperkosa oleh anak orang kaya yang kebetulan main ke desa, Dara mengadu pada Juhri dengan ketakutan. Namun, Juhri selaku camat sekaligus orang yang dihormati di kampung menyuruhnya pulang dulu untuk melakukan penyelidikan meski Dara sudah membawa banyak bukti. 

Kini Dara tak mengerti mengapa malah dituduh merayu Hasim. Padahal, dia justru dilecehkan Hasim yang mata keranjang. 

“Jalang!” kata Susi sambil menjambak rambut Dara kemudian menamparnya lagi. 

Dara menjerit, Asmi pun mengikuti. Keduanya berteriak meminta keadilan pada Juhri dan Buri yang menatap Vaisa dengan pandangan penuh hormat. 

“Mau bilang kami yang bohong?” tanya Vaisa. 

“Gasa punya pacar yang jauh lebih segalanya dari anak ini, nggak masuk akal tergoda sama orang kampung. Anak ini yang menggoda juga mengancam Gasa sampai dia menderita luka di tangannya. Saya akan tuntut sampai ke penjara!” kata Vasa. 

“Saya lukai Gasa untuk membela diri! Dia memperkosa saya!” teriak Dara pilu. 

“Silakan kalau berani bawa kasus ini ke pengadilan! Saya pastikan kamu yang dipenjara. Apalagi ada bukti kamu memang pelacur yang merayu suami warga!” balas Vaisa sebelum meninggalkan rumah diikuti pria lebih muda yang menatap Dara dalam diam. 

Dara masih berteriak meminta Juhri percaya padanya, Susi dan Lodi pun masih berteriak meminta Juhri mengusir Dara. 

Sementara itu, Vaisa masuk ke mobil mewah yang disopiri pria muda yang mengawalnya. 

“Setelah ini apa, Bu?” tanya Herdi sambil melirik spion tengah.

“Nggak ada apa-apa. Kita kembali ke kota. Capek ngurusin masalah sepele begini,” jawab Vaisa santai. 

“Yang penting mereka sudah terima uangnya, kan? Selebihnya terserah mereka, kita nggak perlu ikut campur,” lanjut Vaisa sebelum menelpon seseorang untuk mengurus keberangkatan ke Singapura. 

“Kami perlu hiburan. Ya, besok kami akan langsung terbang ke sana,” kata Vaisa santai sambil memperhatikan cat kukunya yang berwarna merah muda. 

Herdi tak bicara apa-apa, secepatnya menjauh dari rumah Dara yang diisi teriakan memilukan. 

Teriakan itu baru reda setelah Buri membawa Susi dan Lodi meninggalkan rumah. Tinggalah Dara dan Asmi yang menangis menuntut keadilan. 

“Dara, pergilah dulu ke rumah Pak Buri. Bapak akan berdiskusi dengan ibumu,” kata Juhri mengusir Dara. 

Dalam kekalutan, Dara menurut. Dia percayakan segala masalah buruk yang menimpanya pada Juhri karena Dara yakin camat yang dihormati di desa mereka itu sangat bijaksana. 

Dara tak tahu bahwa penampilan tidak mencerminkan perilaku sesungguhnya.

 

 

Bab 2

 

Dara masih terlalu muda untuk mengerti segala hal buruk yang beruntun menimpanya. Dara hanya mencoba percaya kalau dunia tidak akan mengkhianati kejujuran. Dia tidak berbohong, benar-benar telah diperkosa Gasa juga dilecehkan Hasim.

Dara berharap Juhri bisa menenangkan Asmi serta membantu mereka mendapatkan keadilan. Dara ingin pria itu masuk penjara agar tidak memakan korban lain. 

 Saat Dara mengungsi di rumah Buri untuk mencari ketenangan, di rumahnya Asmi menahan nyeri dan sakit hati karena harus rela digagahi Juhri yang mengintimidasi. 

“Dara nggak akan menang lawan keluarga Tajaya, dia bisa masuk penjara. Tapi saya akan bantu kalian asal Ibu melayani saya dengan baik. Tenang Bu, semua aman!” 

Asmi tak mengerti peliknya kasus hukum yang sedang terjadi. Dia percaya pada Dara yang menderita dan tak ingin dunia memutarbalikkan fakta. Demi menjaga Dara dari tuntutan hukum Vaisa, Asmi pun hanya bisa pasrah merendahkan diri pada Juhri yang berjanji memberinya keadilan. 

Asmi pasrah diikat Juhri di tiang ranjang yang berderit-derit oleh aksi gila Juhri merendahkannya. 

Namun, belum selesai Juhri menikmati sang janda yang harusnya dilindungi, Dara melarikan diri dari rumah Buri. 

Gadis itu tercengang melihat ibunya pasrah direndahkan Juhri yang mengancamnya dengan banyak kata. 

“Nikmati aja, Bu Asmi! Kalau Ibu menurut, Dara nggak akan masuk penjara!” 

Tak pikir panjang, Dara mengambil gunting lalu menyayat punggung Juhri yang terbuka. 

Camat terhormat itu tersungkur sambil berteriak memaki, tapi Dara tak peduli. Dara berteriak meminta pertolongan yang didengar oleh Buri yang menyusul. 

“Pak Buri, tolong! Tolong!” teriak Dara meminta bantuan. 

Buri terbelalak menyaksikan segala yang terjadi, tapi tak berbuat apa-apa sampai Juhri berteriak. 

“Bantu saya!” 

Tergopoh-gopoh Buri membantu Juhri berpakaian lalu melarikannya ke klinik meninggalkan Dara yang menangis pilu menyaksikan kebodohan Asmi yang hanya bisa menangis. 

“Maafkan Ibu, Dara. Ibu takut. Ibu ….”

Dara tak bisa menanggapi Asmi karena terlalu pusing memikirkan kesialan bertubi yang menghampiri mereka.

 Ditipu Gasa yang berpura baik, difitnah Hasim, Susi, dan Lodi hanya karena butuh uang sepuluh ribu sebagai upah mengantar rantang. Kini ibunya pun dibodohi pengayom masyarakat bertampang agamis dan wibawa yang tega merendahkan wanita yang sedang kesulitan.  

Saking lelah memikirkan hidup yang semrawut, Dara ketiduran. 

Matanya baru terbuka ketika mencium bau gosong serta mendengar teriakan marah dari banyak orang. Dengan panik Dara terbangun menyaksikan sebagian rumahnya sudah terbakar diiringi makian warga. 

“Mati saja kalian keluarga pendosa! Penzina! Bisa-bisanya malah memperalat Pak Juhri!” 

“Mati!

“Pergi!”

“Penzina!”

“Janda laknat!”

“Anak sundal!”

Dara panik berusaha menyelamatkan Asmi yang terjebak dalam kamar. Dara berteriak meminta pertolongan, tapi warga yang masih punya hati tak berhasil melawan warga yang terbakar emosi dan benci karena cerita yang telanjur beredar tentang Asmi yang merayu Juhri berbuat zina. 

Dalam beberapa detik Dara yang hampir pingsan digendong seorang pria yang menyelamatkannya dari amukan api, tapi Asmi tak berhasil diselamatkan. 

Ketiga petugas pemadam berhasil mematikan api, Asmi ditemukan tewas kehabisan napas. Sedikit yang bersimpati, selebihnya tetap memaki Dara dan Asmi sebagai biang sial di desa. 

“Usir saja mereka! Jangan makamkan di sini!” 

Di tengah pilu dan duka, Dara masih harus menghadapi amukan warga yang pikirannya sudah terkontaminasi. Di klinik, Dara pun mendapat hujatan, diperlakukan tak manusiawi karena dituduh sebagai ibu dan anak berotak kotor. 

“Itu azab ibumu! Azab karena ngajarin anak berzina!”

“Mau menipu keluarga kaya! Menggoda Pak Hasim, sekarang menjerat Pak Juhri supaya dibela!”

Dengan wajah menggelap, Dara hanya bisa diam saat dipukuli warga yang geram. Menangis pun sudah tak bisa dia lakukan karena air matanya terasa kering. 

Dengan kaki telanjang, baju compang-camping, Dara memeluk jenazah Asmi yang membeku. 

Tak ada yang menenangkan karena warga memilih bersimpati pada Juhri yang masih dirawat menderita luka di punggung. Sebagian warga yang masih punya hati juga tak berani mendekati Dara yang dianggap sebagai musuh kampung. 

Di ruang perawatan yang sunyi, Dara mendengar suara seorang pria muda. Pria itu tertawa meremehkan, tawa yang sama seperti ketika meniduri Dara dengan paksa. 

“Sudah kubilang, kamu itu jangan banyak omong! Mati kan ibumu? Kabarnya sudah dinikmati Pak Juhri juga? Kasihan, ibu anak sama-sama murahan! Pantas aja ibumu ditinggal suami!” 

Dara terdiam, tangannya terkepal, tapi lelaki bernama Gasa yang sudah merenggut kehormatannya itu masih tertawa. 

“Kamu bakal dipenjara karena melukai Pak Juhri. Lebih enak begitu, ada yang ngasih kamu makan. Atau, kalau kamu mau, jadi pelacurku aja. Nanti aku kasih kamu makan!” 

Kata-kata itu sangat kejam dan terasa lebih tak manusiawi karena keluar dari pria yang baru berusia delapan belas tahun.  

“Gasa, ayo pergi!” 

Suara Vaisa pun terdengar memanggil Gasa meninggalkan ruangan.  

“Kalian yang membakar rumah dan ibuku?” tanya Dara dengan suara bergetar membuat Vaisa dan Gasa menoleh. 

Keduanya menatap Dara yang memandangi mereka dengan kebencian, tapi dengan tenang Vaisa menjawab.

“Kamu yang membakarnya. Kamu dan kebodohanmu,” ucap Vaisa sebelum pergi, tapi Gasa masih memandangi Dara. 

“Kalau kamu diam menerima uang yang kami berikan, semua ini nggak bakal terjadi. Ya mau gimana, karena kamu nggak mau, uang itu buat beli bensin dan bayar mereka untuk bakar rumah kamu. Hebat, kan?” kata Gasa dengan tenang. 

Tangan Dara mengepal lagi, tapi kali ini tak memiliki tenaga untuk memaki karena mendengar teriakan warga yang berusaha mengamankan Vaisa dan Gasa. 

“Jangan dekati anak itu! Takutnya malah mencelakai kalian! Ayo pergi!” 

Dengan penuh kelembutan istri Juhri membawa Vaisa dan Gasa pergi. Namun, Dara masih bisa mendengar ucapan Vaisa. 

“Saya cuma prihatin karena ibunya meninggal. Kasihan juga,” ucap Vaisa. 

“Kasihan gimana? Itu hukuman karena sudah mencemari kampung! Biar aja, rasakan azab!” balas istri Juhri dengan suara nyaring. 

Mata Dara terpejam, benar-benar lelah menghadapi dunia yang ternyata tak berpihak padanya. Bayangan kebrutalan Gasa dan Juhri melecehkannya dan Asmi membuat Dara kehilangan kesadaran di lantai kamar yang dingin. 

Namun, dinginnya lantai itu tak bisa menyamai dinginnya hati Dara yang terluka. Saat matanya terbuka, Dara masih menatap jasad ibunya yang dengan cepat diproses oleh seseorang. Kepala Dara masih pening, tapi tak memprotes apa pun. Dalam diam Dara pasrah terombang-ambing di atas mobil yang meninggalkan kampung. 

“Minumlah dulu,” kata pria yang setahun lebih tua dari Dara.  

Lelaki muda bernama Suma itu yang sejak awal mendampingi Dara di mobil jenazah. 

“Minumlah,” ulang Suma. 

Dara bergeming, masih merasakan dendam yang membara. Suma juga tak memaksa lagi, diam saja memperhatikan Dara. 

Malam itu juga Asmi dimakamkan di pemakaman desa lain. Tak ada yang mengantar selain petugas pemakaman, tetua pembaca doa, Jono sang sopir yang mengendarai mobil jenazah, serta Suma, anak Jono. 

“Dara, kami cuma punya uang segini. Kamu bawa ya. Simpan nomor telepon Om, kalau ada keperluan mendesak, telepon Om,” ucap Jono sambil menatap Dara yang masih melamun di pusara Asmi. 

Dara sempat terdiam, tapi sudut matanya melirik lembaran uang lima puluh ribuan yang kumal. Sejak kecil Dara pantang mengemis, tidak suka meminta belas kasih. Namun, saat ini dia benar-benar butuh uang. 

Dara sudah kehilangan rumah, tak bisa juga kembali ke kampung meski untuk tidur di puing bangunan yang runtuh. Berdalih simpati atas kebakaran yang terjadi, Vaisa tidak menggugat Dara ke pengadilan, tapi warga sepakat tidak menerima Dara di kampung itu lagi setelah Juhri menceritakan fitnah keji tentang Asmi yang merayunya. 

“Terima kasih banyak Om,” kata Dara sambil menerima uang lusuh lalu memasukkan ke saku celananya yang juga lusuh. 

“Ayo, kami antar ke kosan dekat sini,” kata Jono sambil memerintah Suma membantu Dara berdiri. 

Tak ada bantahan dari Dara, dengan penuh kesadaran kembali ke mobil jenazah. Suma terus memperhatikan Dara yang tak bersuara, tidak juga menangis. 

Saat diturunkan di depan kos yang sepi, Dara baru menatap Suma yang membantunya keluar dari mobil. 

“Makasih sudah bantu aku,” kata Dara sambil menatap luka bakar kecil di tangan kiri Suma karena menyelamatkan Dara dari kobaran api. 

 

 

 

Bab 3

 

Sepuluh tahun yang berlalu tidak berhasil mengenyahkan luka di hati Dara. Semua kenangan menyakitkan yang terjadi di Desa Warsa terus membekas di benak Dara bahkan semakin hari terasa semakin menyakitkan.

Namun, semua luka itu menguatkan Dara, membuatnya tangguh melewati berbagai kesakitan lain.

“Nggak ada yang lebih sakit dari kehilangan Ibu. Ini nggak seberapa.” 

Dara santai saja menghadapi memar di lengan yang dipertanyakan Suma. Mata Suma menyipit, menilai memar yang jelas perlu pengobatan. 

“Kamu udah makan?” tanya Dara saat Suma mencari salep di kotak obat. 

“Udah,” jawab Suma sembari menyodorkan kaleng salep pada Dara yang tersenyum. 

“Makasih ya,” kata Dara masih sambil tersenyum. 

Namun, hanya sekejap. Berikutnya Dara berlalu meninggalkan Suma begitu saja.  

Di tempatnya berdiri, Suma masih terdiam memandangi kepergian Dara. 

Sepuluh tahun sudah dia mendampingi Dara, mengikuti ke mana pun wanita itu pergi. Suma saksi hidup perjalanan tragis kehidupan Dara setelah diusir dari Warsa dengan fitnah keji yang belum diperbaiki. 

Ada banyak kesulitan yang dihadapi Dara. Putus sekolah, nyaris kehilangan nyawa, diremehkan, dan sebagainya. Namun, Suma nyaris tak pernah melihatnya menangis lagi. 

Sepuluh tahun berlalu Dara menjadi lebih tangguh, bahkan terlalu berani mengambil banyak risiko besar dalam hidup. 

“Kalau mau selamat, syaratnya harus berani! Nggak usah banyak mikir!”

Suma masih ingat ucapan Dara ketika wanita itu mendadak bekerja di kelab malam. Ucapan yang sama disampaikan Dara ketika kepergok menjalin hubungan dengan salah satu pelanggan kelab yang membantunya keluar dari bar tersebut. 

Tak hanya berhenti menjadi pekerja hiburan malam, utang Dara pun mendadak dilunaskan oleh pria eropa yang memberinya banyak tabungan sekaligus membuatnya ketagihan mendekati pria berkantong tebal lainnya. 

Wajah cantik, kulit mulus, tubuh seksi. Ketiganya menjadi modal utama Dara memenangkan hati banyak pria yang rela mengorbankan banyak hal untuk memilikinya. Ditambah dengan suara dan tutur katanya yang menggoda, Dara berulang kali menjerat pria kaya raya dari satu kota ke kota lain. 

Setelah menghela napas pendek, Suma melangkah ke luar rumah sembari memikirkan memar di lengan Dara. 

Sudah tiga bulan Dara dekat dengan Dewa, salah satu anggota dewan perwakilan rakyat tingkat kota Samoa. Dewa selalu beralasan hanya ingin menjadi investor dalam usaha Dara mengelola rumah makan. 

Padahal, di balik alasan itu, Dara menerima banyak kasih sayang dari Dewa yang tergila-gila padanya. 

Memar di lengan Dara didapat dari aksi kekerasan yang dilakukan Arini, istri Dewa. Wanita itu mengamuk mendatangi Dara sembari menyebutnya sebagai pelakor. Satu kali pun Dara tidak membantah, tidak juga melawan atau membela diri meski dipermalukan di ruang terbuka, disaksikan beberapa karyawan dari restoran yang rencananya akan diambil alih Dara. 

“Pelakor! Pelacur!” 

Lamunan Suma tak hanya tersentak oleh kenangan teriakan Arini pada Dara, tapi juga oleh sinar mobil yang baru datang. Setelah menyipitkan mata, Suma membuka pagar, mempersilakan mobil mewah Dewa memasuki halaman. 

“Mas Suma, saya mau lihat Dara!” kata Dewa tergesa sembari melewati Suma begitu saja.

Suma diam saja di tempatnya, tapi perlahan  menatap ke lantai dua, ke arah kamar Dara. 

“Dara, kamu baik-baik aja?”

Suara berat Dewa yang diucapkan sembari menggedor pintu kamar diabaikan Dara. Dengan tenang wanita itu menatap lengannya yang memar. 

“Dara ….”

Suara Dewa menghilang saat terdengar suara pintu dibuka. Lelaki berwajah tenang itu memandangi Dara yang tampak kuyu. 

“Bang, ngapain ke sini? Udah malam loh,” kata Dara lembut. 

Dewa tak langsung menjawab karena matanya sibuk menatap lengan Dara yang memar. 

“Arini udah kelewatan!” kata Dewa emosi. 

Pria itu mendapat kabar dari asistennya tentang keributan di restoran yang akan dikelola Dara, tapi Dara tidak mengadukan apa pun pada Dewa. 

“Siapa yang cerita?” tanya Dara masih dengan suara lembut sembari keluar kamar lalu menuruni tangga diikuti Dewa yang mencemaskannya. 

“Anak-anak. Kenapa kamu nggak lapor ke aku?” tanya Dewa sambil memegangi lengan Dara. 

Seketika Dara berhenti melangkah sambil memandangi Dewa kemudian tersenyum. 

“Buat apa lapor? Yang ada malah ribut besar. Bisa-bisa malah membenarkan tuduhan aku sebagai ani-aninya Bang Dewa,” ucap Dara sembari menjauh dari Dewa. 

Dengan ketenangan Dara berjalan ke dapur kemudian membuat secangkir kopi. Masih mengekor, Dewa memperhatikan gerak-gerik Dara yang menurutnya gemulai. 

Mereka baru saja mengenal, tapi Dewa merasa telah dekat dengan Dara. Awalnya mereka tak sengaja bertemu di salah satu pameran lukisan. Sejak awal Dewa terpana pada Dara yang cantik jelita. Melalui sang asisten, Dewa mengajak Dara bekenalan. 

Hubungan keduanya berlanjut sebagai teman sebelum akhirnya sebulan lalu Dewa menikah dengan Arini karena Dara menolak dilamar. 

“Aku nggak mau menjadi orang ketiga yang menggagalkan pernikahan orang lain. Kalian sudah tunangan, dijalani dengan ikhlas, Bang!”

Tutur kata lembut Dara malah membuat Dewa makin sulit melupakannya. 

 “Aku akan suruh Arini minta maaf sama kamu,” kata Dewa saat Dara meletakkan cangkir kopi di meja bar. 

“Untuk apa, Bang? Yang ada malah ngamuk. Aku bisa diperkarakan sama dia. Bapaknya kan punya jabatan, bisa melakukan apa saja. Sedangkan aku nggak punya dukungan siapa-siapa,” ucap Dara membuat mata Dewa meredup. 

Dewa tahu Dara sebatang kara. Tak memiliki kerabat selain Suma yang dia sebut sebagai sepupunya.  

“Ke rumah sakit ya? Aku obati lenganmu,” kata Dewa sambil menyentuh lengan Dara lagi, tapi Dara mengelak. 

“Abang kan sudah menikah, baiknya nggak kayak gini lagi, Bang. Kalau jadi omongan, karir Abang juga yang dipertaruhkan. Kita hidup masing-masing kayak sewaktu belum kenal ya, Bang?” pinta Dara membuat mata Dewa kembali meredup, lebih redup dari sebelumnya. 

“Dara, tapi ….”

“Kasihan pernikahan Abang, baru sebulan udah bermasalah begini,” sela Dara cepat. 

“Dia salah paham aja. Aku akan ….”

“Mungkin salah paham, mungkin juga dendam,” sela Dara lagi dengan suara pelan. 

“Dendam?” tanya Dewa bingung sambil menatap serius Dara yang menunduk. 

“Dara, dendam apa?” tanya Dewa mendesak karena Dara hanya diam. 

“Bang, janji jangan terkontaminasi ucapanku ya?” balas Dara. 

“Seminggu lalu kami bertemu. Aku melihatnya bersama seorang pria. Kalau nggak salah namanya Andip,” kata Dara lagi membuat wajah Dewa memerah. 

Dengan sebelah tangan terkepal marah, Dewa meraih kopi lalu meneguknya seraya mendengarkan kejadian lengkap yang disampaikan Dara tentang pertemuannya dengan Arini dan Andip. 

Tak sampai habis kopi buatan Dara, Dewa berpamitan diiringi senyum tipis Dara. 

“Kamu bilang apa? Bang Dewa keliatan murka,” kata Suma yang masuk ke rumah untuk memeriksa keadaan Dara setelah bertemu Dewa yang tampak marah. 

“Ketemu istrinya sama mantan pacar di Hotel Sa,” jawab Dara seraya mengambil cangkir bekas Dewa lalu mencucinya. 

Hanya suara keran air yang terdengar, tapi Suma seolah bisa merasakan keributan yang akan terjadi di rumah Dewa. 

“Istirahat,” kata Dara sebelum meninggalkan Suma yang menantikan kabar baru dari Dewa. 

Dua hari kemudian anggota dewan terhormat itu datang lagi ke rumah Dara, tapi pemilik rumah sudah pergi meninggalkan pesan singkat pada penjaga rumah yang baru. 

“Ibu Dara sudah pindah, titip ucapan terima kasih untuk Pak Dewa,” kata sang penjaga rumah membuat Dewa merasakan sesak. 

“Dara, kamu ke mana? Padahal aku sudah ceraikan Arini!” kata Dewa dalam hati. 

Dewa masih terdiam di halaman rumah Dara, mencoba mencari tahu keberadaannya. Saking serius mencari Dara, Dewa mengabaikan telepon dari mertuanya yang terus memaki.

“Ke mana Dewa?! Kenapa dia talak Arini?” teriak Juhri emosi sembari menatap putrinya yang berteriak depresi akibat diceraikan suami di pernikahan yang baru berusia sebulan. 

“Arini, siapa yang mengganggu rumah tanggamu? Siapa?” tanya istri Juhri sambil menangis. 

Arini yang linglung tak bisa menyebut nama Dara karena yang keluar dari bibirnya hanya nama Dewa. Kedua orang tuanya sangat frustrasi menghadapi Arini yang terus mengamuk menghancurkan barang di dekatnya. 

 

 

 

 

Bab 4

 

Ratusan kilometer dari Dewa, Arini, atau Juhri, Dara yang sudah pindah ke ibukota sedang bersantai sembari memperhatikan sosial media dari ponsel.  

Ngeri juga istrinya Pak Dewa, memalukan suami. Menjijikkan. 

Wanita nggak tahu diuntung. Bagus ketahuan baru sebulan nikah. 

Ekspresi Dara tampak tenang ketika membaca banyak hujatan dari netizen yang ditujukan pada Arini yang mendadak viral setelah salah satu akun gosip memposting video amukan Dewa saat memergoki Arini dan Andip di salah satu hotel. 

Tak lama setelahnya, bermunculan foto-foto syur Arini di masa lalu yang diunggah akun anonim. 

Dengan tenang Dara mengambil toples kaca berisi kacang goreng lalu menikmatinya sembari mengingat Arini. 

Arini tidak mengenal Dara karena sejak kecil tinggal bersama keluarga Juhri di ibukota agar bisa mendapatkan pendidikan lebih layak. Arini pun tidak tahu tentang tragedi sepuluh tahun lalu yang menimpa Dara. 

“Tapi dia menikmati hidup dari keserakahan bapaknya,” gumam Dara dalam hati sembari memejamkan mata. 

Masih jelas di ingatan Dara hari saat dirinya ditabrak Arini di pasar dekat tak jauh dari Warsa. Setahun setelah tragedi kematian Asmi. Saat itu Dara yang lusuh mengganggu pandangan Arini yang sudah terlihat elegan karena terbiasa hidup di kota. 

“Kalau jalan hati-hati!” Arini membentak Dara yang menengadah menatapnya. 

“Kamu yang nabrak aku,” balas Dara. 

“Siapa yang lihat aku nabrak dia?” tanya Arini pada karyawan Juhri yang menemaninya juga saksi yang diam saja. 

“Ini putrinya Pak Juhri, nggak mungkin asal menabrak,” kata seorang wanita di belakang Arini. 

Semua orang di pasar itu mengetahui Juhri yang dihormati, tak ada yang berani melawan meski mereka tahu Arini yang menabrak Dara hingga keduanya terpental. Arini sibuk dengan ponselnya. 

“Minta maaf, Mbak,” usul seorang pedagang agar masalah cepat selesai. 

Dara menolak karena tak merasa salah, tapi penjaga Arini memukul belakang kepalanya.

“Minta maaf, daripada kamu tinggal nama! Mau dilaporkan ke bapaknya?!” tanya wanita itu ketus. 

Dara tak punya pilihan karena dipaksa meminta maaf pada Arini yang tertawa setelah mendorong kepalanya dengan kuat. 

“Kalau miskin jangan belagu,” kata Arini di telinga Dara yang terasa tersengat. 

Arini jelas sudah melupakan satu dari sekian banyak tingkah arogannya terlahir sebagai anak dari orang tua yang kaya dan dihormati. Arini bahkan tak tahu kalau Dara yang dekat dengan suaminya adalah wanita yang sama yang dia hina sembilan tahun lalu.  Karena Dara yang sekarang terlihat jauh lebih berbeda. 

Namun, sehari pun Dara tak pernah melupakan peristiwa memalukan di pasar yang terjadi kurang dari lima menit itu. Bayangan keangkuhan Arini yang menurun dari kedua orang tuanya masih terpatri dalam benak Dara, membuatnya makin memejamkan mata.

Saat mendengar kedatangan Suma, Dara baru membuka mata. 

Sambil menghela napas, Suma duduk di samping Dara yang menawarkan kacang goreng. Sekejap Suma tersenyum menatap makanan favorit Dara sebelum ikut mengambil kacang.

“Dibawa ke rumah sakit, mental yang kena,” kata Suma sebelum memasukkan kacang ke dalam mulut. 

“Untung masih hidup. Ibuku mati sesak,” balas Dara tanpa menatap Suma yang memperhatikan wajahnya dengan serius. 

Suma tidak berkomentar, tapi benaknya dipenuhi berbagai tingkah Dara setahun belakangan. Tak hanya menargetkan putri Juhri untuk dihancurkan, Dara juga sudah membangkrutkan bengkel Hasim serta memenjarakan Lodi dengan pasal pengedaran narkoba. 

“Dara, kamu beneran mau kerja?” tanya Suma mengalihkan pembicaraan. 

“Ya, besok sudah interview,” jawab Dara masih tanpa menatap Suma. 

“Yakin?” tanya Suma lagi. 

Perlahan Dara mengalihkan tatapan dari TV ke arah Suma yang serius memandanginya. 

“Tahun-tahun yang berlalu kusiapkan untuk hal ini. Aku nggak pernah seyakin ini. Aku nggak sabar,” kata Dara dengan tenang sebelum meninggalkan Suma sendirian. 

Suma tidak pergi, tidak juga istirahat. Semalaman pria itu terjaga di ruang tamu, padahal Dara tidur dengan pulas setelah meminum obat tidur. 

Besoknya Dara bangun sangat pagi, berdandan dengan teliti agar tak ada cela di wajahnya yang jelita. 

Di depan cermin Dara memandangi diri. Setelan kantor warna putih tampak pas di tubuhnya yang berisi di bagian dada dan bokong. Rok sepan membuat Dara tampak seksi meski tidak mengumbar bagian tubuhnya yang lebih menggoda. 

Sekilas Dara tampak normal, layaknya pelamar kerja pada umumnya. Namun, wangi parfumnya tidak sesederhana tampilannya. Dara memilih aroma dengan saksama, melalui pengamatan yang tidak biasa.  

“Nggak usah ditemenin, semua udah beres,” kata Dara ketika Suma menyambutnya di ruang makan. 

“Sarapan dulu,” kata Suma mengingatkan, tapi Dara menggeleng. 

“Makasih, nanti aku makan di jalan,” kata Dara sembari bergerak mencari sepatu. 

Saat Dara mengenakan sepatu, Suma memasukkan sandwich dalam kotak bekal lalu memberikan pada Dara yang tersenyum manis. 

“Makasih,” kata Dara sebelum menerima kotak bekal warna hijau polos. 

Diiringi tatapan Suma, Dara mengemudikan mobil meninggalkan rumah. 

Posisi yang dilamar Dara dalam PT. Buana Citra Merdeka adalah personal assistant sang direktur utama. Setelah memasukkan berkas lamaran seminggu lalu, kini Dara harus menghadapi interview bersama tiga pelamar lain yang semuanya wanita. 

Dengan tenang Dara memarkir mobil kemudian melirik jam tangan. Sejenak Dara menatap kotak makan pemberian Suma, tapi tak mengambil isinya. Mata Dara fokus menatap ponsel. 

Semenit, dua menit berlalu. 

Dara tidak bersiap ke gedung interview, tapi menatap riasan dirinya di spion. Setelah menarik napas panjang, Dara keluar dari mobil. 

Langkah Dara mengundang tatapan ingin tahu dari beberapa orang yang ada di sekitar, mata beberapa pria tampak menyipit melihat gerakan Dara yang memesona mata. Ekspresi bingung di wajah Dara membuat beberapa pria semakin gemas. 

“Gedung Alfa? Salah jalan, Mbak. Itu di sebelah! Ini gedung Mega!” sahut seorang pria ketika Dara menanyakan pintu masuk ruang interview. 

“Oh, jadi harus keluar lagi ya?” tanya Dara lugu. 

“Nggak usah. Lewat jalan penghubung aja. Masuk pintu di sana, nanti ada jalan penghubung antar gedung. Hati-hati ya, masih ada perbaikan,” jawab seorang pria ramah. 

Dara pun tersenyum ramah lalu melangkah lagi mengikuti petunjuk beberapa pria yang berebut memberinya panduan arah. 

Sesungguhnya Dara tak terlalu mendengarkan karena matanya sibuk mengawasi keadaan sekitar. Setelah berpamitan pada para pemberi arah, Dara bergegas melangkah menuju jalan penghubung dua gedung milik PT. BCM.

Ada beberapa material bangunan yang terserak di lorong yang sedang diperbaiki, tapi tak menyurutkan langkah Dara untuk terus melangkah. Tak lagi terburu-buru, kini Dara melangkah dengan hati-hati. Apalagi saat berpapasan dengan empat pria rapi dari arah berlawanan. 

Dara terdiam sejenak, menyingkir di tepi agar rombongan pria bisa melintas. Pandangan Dara sempat bertemu dengan salah satu pria matang berwajah tampan yang menatapnya dengan dahi berkerut. 

“Harusnya jalan ini ditutup dulu,” kata pria itu pada seseorang di sampingnya. 

Pandangan pria itu kembali mengarah pada Dara yang tersenyum sopan lalu melanjutkan langkah. Namun, tiba-tiba saja Dara memekik sambil mendorong sang pria dengan kuat. 

“Awas!”

Teriakan Dara berpadu dengan teriakan pria lain saat menyaksikan Dara jatuh di atas tubuh pria yang dia dorong. Serentak yang lain berteriak panik karena melihat punggung Dara kejatuhan batu bata dari lantai atas. Begitu juga beberapa tukang bangunan yang berlarian.  

“Pak Kalu! Bapak baik-baik aja?!”

Para pria mulai mempertanyakan keadaan pria yang didorong Dara, tapi pria itu hanya diam memperhatikan Dara yang berusaha berdiri dengan bantuan seorang pria. 

“Mbak baik-baik aja?” tanya Kalu sambil berdiri dan memperhatikan Dara yang mengangguk. 

“Maaf, saya nggak bermaksud lancang. Permisi,” jawab Dara sembari melangkah pergi diiringi tatapan empat pria dan para tukang bangunan. 

Mereka semua memperhatikan blazer bagian punggung Dara yang kotor terkena batu bata. 

Sepuluh menit kemudian  Dara tiba di ruang interview. Dijalaninya proses wawancara dengan tenang. Di sela waktu istirahat Dara memeriksa punggungnya yang terasa nyeri. Namun, Dara berusaha tetap profesional menegakkan tubuh meski jadwal wawancara berikutnya diundur. 

Dara menunggu dengan sabar bersama pelamar lain yang mulai bosan.

“Ini cobaan kalau jadi asistennya pak bos? Disuruh nunggu nggak jelas begini,” gerutu seorang pelamar dengan suara berbisik. 

Dua jam kemudian para pelamar baru melanjutkan wawancara sesi kedua, langsung berhadapan dengan sang direktur utama PT. BCM. Karena datang paling akhir, Dara juga menjadi yang paling akhir diwawancara. 

Punggung Dara sudah sangat nyeri ketika akhirnya dipersilakan masuk ke ruang interview. Dengan wajah tenang Dara menunduk sopan pada pria yang terkejut menatapnya. 

“Selamat siang, Pak!”  sapa Dara sopan sembari tetap berdiri karena belum dipersilakan duduk. 

“Kamu yang pagi tadi menyelamatkan saya?” balas Kalu dengan dahi mengerut.

Pria berusia 39 tahun itu memandangi Dara dengan lekat. 

“Apa ini rencanamu? Mencari muka?” tuduh Kalu langsung membuat wajah Dara meredup. 

Kalu sedang berusaha mendeteksi wajah Dara yang tetap tenang. 

“Kamu sudah tahu siapa saya karena itu pagi tadi menyelamatkan saya?” tanya Kalu lagi. 

“Ya, tentu saja saya tahu kalau yang berpapasan dengan saya pagi tadi adalah calon atasan tempat saya melamar pekerjaan. Maaf kalau saya nggak sopan. Saya spontan mendorong Bapak,” jawab Dara masih tenang. 

Kalu terdiam, mengetuk ujung telunjuk kanan di meja. Sebelah tangannya membuka CV Dara, sesekali matanya memperhatikan Dara yang masih berdiri. 

“Duduk,” perintah Kalu sambil memperhatikan cara Dara duduk. 

Mengikuti Kalu, Dara duduk dengan sopan dan tenang. Namun, pandangannya tetap terarah pada Kalu yang memperhatikannya. 

“Mengapa ingin menjadi asisten pribadi saya?” tanya Kalu. 

Sejenak Dara terdiam lalu menjawab dengan hati-hati. 

“Butuh uang untuk melanjutkan kehidupan, yang terlihat di depan mata saya seminggu lalu adalah peluang pekerjaan ini,” jawab Dara membuat kening Kalu sempat mengerut. 

“Siap bekerja dalam tekanan?” tanya Kalu. 

“Siap,” jawab Dara tenang. 

Kalu sempat berpikir sejenak sambil terus mengamati Dara. Keduanya saling menatap seolah sedang adu pandangan sampai akhirnya Kalu berdiri. 

“Oke, kamu diterima. Masa percobaan satu bulan. Segera hubungi sekretaris saya di depan,” kata Kalu tegas. 

Dara berdiri dengan cepat lalu memberikan senyuman yang membuat Kalu sempat tertegun karena terpesona oleh kecantikan wajah Dara. 

“Terima kasih Pak Kalu,” kata Dara sebelum memundurkan diri untuk menemui sekretaris. 

Sebelum menutup pintu, Dara menatap Kalu sekilas lalu mengalihkan pandangan ke papan nama yang ada di meja. 

Kalu Tajaya. 

 

 

 

Bab 5

 

“Sayang, aku pijat ya?” 

Suara manis Vaisa menyambut kedatangan Kalu. Di kamar utama rumah megah keluarga Tajaya, Vaisa yang berusia 34 tahun tampak bak ratu kerajaan yang bersiap melayani sang raja. Kulit mulusnya terlihat dari pakaian tidur yang menerawang. Aroma parfumnya semerbak memanjakan indera penciuman. Wajahnya semringah menjanjikan kenikmatan. 

Namun, balasan Kalu dingin seperti udara di luar rumah. 

“Udah malam, tidur aja,” balas Kalu sembari melirik jam dinding. 

00.30

“Tapi kamu ….”

“Aku mau tidur,” kata Kalu menyela Vaisa yang sejenak terdiam. 

Vaisa tak bicara lagi, diam saja memandangi Kalu yang melenggang ke kamar mandi. 

Sebelas tahun sudah mereka menikah, tapi Kalu tetap jarang bersikap manis. Hari-hari dilalui Vaisa bagaikan sandiwara belaka. 

Dunia luas mengenalnya sebagai Ny. Tajaya yang memiliki kehidupan sempurna bahagia. Apalagi setelah sang suami menjadi direktur utama menggantikan sang ayah, Johan Tajaya. Bergelimang harta, kuasa, dan bersuamikan pria tampan memesona membuat banyak wanita iri padanya. 

Nyatanya, kehidupan pernikahan Vaisa jauh dari kata luar biasa. 

“Sayang, besok nggak lembur, kan?” tanya Vaisa ketika Kalu keluar dari kamar mandi. 

Kalu tak menjawab, tapi naik ke ranjang dengan posisi telentang, tidak menatap Vaisa yang memandanginya. 

“Jangan lupa, pesta ulang tahun Mama,” kata Vaisa sabar. 

“Hm,” balas Kalu singkat sebelum memejamkan mata. 

Vaisa tersenyum lalu perlahan memeluk tubuh Kalu yang terasa segar sekaligus dingin. Sambil memejamkan mata, Vaisa membayangkan kemeriahan pesta Rita Tajaya yang biasanya menjadi ajang pamer keluarga juga beberapa kolega dekat. 

Dalam pesta seperti itu Vaisa biasa memamerkan kasta tertingginya sebagai istri pewaris kekayaan keluarga Tajaya. 

Berbeda dari sang istri yang membayangkan pesta, Kalu justru memikirkan asisten pribadinya yang baru. 

“Belum menikah, benar lulusan Universitas Gama Daya. Yatim piatu. Baru pindah ke ibu kota, tinggal di Citra Hills.”

“Nggak ada yang aneh, Pak. Pagi tadi dia salah parkir, masuk gedung Mega lalu diarahkan karyawan konstruksi melewati lorong ke gedung Alfa.”

Saat teringat ucapan Jun, asistennya yang menyelidiki Dara, Kalu membuka mata lagi. 

“Nggak ada yang aneh, tapi kenapa terasa aneh?” gumam Kalu dalam hati. 

Perlahan kening Kalu mengerut, terus memikirkan Dara tanpa menyadari Vaisa memperhatikan ekspresinya. 

Paginya Kalu pergi lebih cepat bahkan mengabaikan sarapan serta Vaisa yang menunggunya di meja makan. 

“Nggak sarapan?” tanya Vaisa lembut sambil mengikuti langkah cepat Kalu keluar rumah. 

“Nggak sempat,” jawab Kalu tanpa menoleh. 

Vaisa terdiam di teras rumah, menatap Kalu yang terburu-buru masuk ke mobil. Dengan hormat sopir menundukkan kepala pada Vaisa lalu melajukan mobil meninggalkan kediaman Tajaya. Mata sopir mendelik  ke arah spion,  menyaksikan pemandangan yang sama selama bertahun-tahun. 

Ekspresi lega Kalu yang seolah baru saja terbebas dari jerat menyebalkan. 

Saat tiba di gedung Alfa, Kalu mempercepat langkah menuju ruangannya yang masih sepi karena Kalu datang terlalu pagi. 

Namun, di sudut ruang dekat pintu ruang pribadinya, Kalu melihat Dara sedang serius mendengarkan Jun. 

Dara mengenakan rok sepan di bawah lutut dengan sedikit belahan di atas lutut. Rok warna peach itu berpadu cantik dengan blouse putih lengan panjang yang punggungnya tertutupi oleh rambut panjang Dara. Tangan Dara mendekap beberapa dokumen, ekspresi Dara tampak bersungguh-sungguh saat menatap Jun. 

“Pak Kalu nggak suka lelet, harus tanggap!” 

Jun mengucapkan peringatannya yang didengar Kalu karena sudah mendekat, tapi Kalu tidak menginterupsi apa pun. Berpura tak mendengar, Kalu masuk ruang pribadinya. Lima menit kemudian Jun menyusul. 

“Nggak ada informasi tambahan?” tanya Kalu langsung saat Jun mendekat. 

“Belum ada. Kayaknya murni niat kerja, tapi kita lihat saja beberapa hari ini, Pak,” jawab Jun sambil tersenyum. 

“Aku masih curiga sama kebetulan kemarin,” kata Kalu jujur. 

“Nggak semua wanita berniat buruk sama Bapak,” balas Jun. 

Kalu menghela napas pendek sembari memperhatikan sela tirai yang memperlihatkan dinding kaca yang memperlihatkan Dara yang sibuk mengatur dokumen di meja. 

Meja kerja paling dekat dengan pintu ruangan Kalu itu dulunya milik asisten pribadi junior yang sering berganti-ganti. Namun, sudah dua tahun semenjak sang asisten junior terakhir meninggal dunia, Kalu tidak merekrut pengganti.

Karena Jun akan menikah dan perlu cuti cukup lama, Kalu mencari asisten junior yang bisa menggantikan pekerjaan Jun saat pria itu tak ada. 

“Saya sudah informasikan agenda Bapak hari ini,” kata Jun sopan. 

“Oke, hari ini kamu bisa pergi,” jawab Kalu disambut senyuman Jun. 

Karena akan menikahi wanita dari kota tetangga yang jaraknya cukup jauh, ada banyak hal yang harus dipersiapkan Jun. Kalu memaklumi sang perjaka tua yang sedang sibuk itu hingga membiarkan saja sang asisten kepercayaan mengambil libur mendadak untuk mengurus pernikahan pertamanya. 

“Oke, terima kasih Pak! Kalau ada perlu langsung hubungi aja. Saya bisa langsung kembali,” kata Jun sebelum meninggalkan Kalu yang memintanya memanggil Dara. 

“Ya, Pak?” sapa Dara sopan sambil menatap Kalu yang memandanginya dengan gelisah. 

“Nanti malam ada acara ulang tahun Ibu saya,” kata Kalu sembari berdiri lalu berjalan ke dinding kaca. 

Dara pun memutar tubuh agar bisa terus menatap Kalu yang sudah menutup sempurna tirai pada dinding kaca. 

“Kamu harus hadir. Ada yang harus kamu kerjakan,” ucap Kalu sambil berbalik untuk memandangi Dara lagi. 

"Pakai gaun,” lanjut Kalu. 

“Baik, Pak,” balas Dara singkat. 

Perlahan Kalu menyipitkan mata lalu mendekati Dara yang berdiri dengan tenang, tapi ketenangan Dara menguap ketika Kalu makin mendekatkan diri hingga jarak mereka menjadi tak berarti. Spontan Dara melangkah mundur, tapi mendadak Kalu menahan pinggangnya. 

“Dara, apa yang sebenarnya kamu inginkan dari saya?” tanya Kalu tiba-tiba membuat mata Dara membelalak. 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya Daradasih 6-7
2
0
“Sekalipun taruhannya kematian, aku tetap harus mendapatkannya."*“Siapa wanita ini?” “Pacar Papa.”*Vaisa memekik kaget, langsung terlempar ke masa sepuluh tahun lalu. Vaisa masih mengira dirinya bermimpi atau berhalusinasi, tapi dia yakin yang di hadapannya benar-benar Dara yang mereka permalukan di Warsa. Meski wajah dan rambut Dara jelas telah mengalami peningkatan penampilan, tetap saja Vaisa merasa melihat Dara yang kampungan karena Dara mengenakan baju rumahan milik Bi Pur yang kebesaran. “Mau apa kamu di sini?!” bentak Vaisa setelah kesadarannya kembali.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan