"Selamat siang, Yang Mulia!"
"Masih jam 10!"
"Tapi ini udah nggak pagi lagi"
"Tolong jangan ngajak gelut sehari bisa nggak?"
"Iya-iya, sewot amat sih. Tumben nggak keluar hari ini?"
"Kepo"
"Dasar! Jangan lupa besok kita ada janji sama Mama. Udah kosongin jadwal kan?"
"Ah, males banget. Lagian kenapa diiyain sih?! Pasti Mama ngajak manusia satu itu"
"Yaa gimana lagi. Mama bilang udah booking ini itu. Lagian kita juga jarang banget ketemu Mama"
Hari ini, 13 Desember 2019. Ulang tahun kami, aku dan kakak kembarku yang hanya beda 2 menit. Mama yang selalu antusias merayakan setiap momen, mengajak kami makan malam. Tentu saja kakak ku menolak. Tapi bagaimanapun caranya aku memaksanya ikut untuk menghargai Mama.
Tahun ini, tahun kedua kami berkuliah sekaligus, setelah sekian lama akhirnya, berada di kota yang sama dengan Mama. Karena hal itu, Mama sangat bersemangat untuk merayakannya setelah tertunda setahun karena kami sedang sibuk dengan rangkain ospek* saat itu.
"Makan apa kita hari ini?" Celetuk kakak ku sambil membuka kulkas
"Nggak tau. Bingung"
"Ini makanan pada abis, belum belanja ya?"
"Belom. Sebulan ini aku lagi fokus ngerjain tugas besar sama ujian. Lagian kenapa sih nggak bagi tugas?! Apa-apa aku. Bebersih, beres-beres, mikir makan apa, semuanya aku! you enak banget leyeh-leyeh. Huh!"
"Siapa yang leyeh-leyeh?! You kan juga tau UAS kedokteran gimana? Bisa tidur aja udah bersyukur"
"Hilih!"
Begitulah kami mengawali hari bertambahnya umur kami dengan debat kusir.
Akhirnya siang itu kami memutuskan untuk pergi ke pusat perbelanjaan di seberang apartemen. Makan siang, belanja bulanan dan sedikit jalan-jalan untuk melepas penat setelah ujian.
"Mas, ice cream yuk?"
"Abis itu pulang yah? Capek nih"
"Oke"
Walaupun kakak ku ini menyebalkan, tapi aku selalu memanggilnya dengan sebutan Mas untuk menghargainya. Lebih tepatnya menghargai Eyang Kakung yang sudah merawat dan menyayangi kami selama ini. Seperti Papa, Kakung* merupakan pribadi yang tegas dan disiplin. Beliau akan marah jika aku memanggil kakak ku langsung dengan namanya, dan akhirnya jadi kebiasaan bagiku memanggil Zain dengan sebutan Mas Zain.
Saat akan turun menuju pintu keluar, aku melihat sesuatu yang menarik.
"Photobox! Seru kali ya ngajak manusia ini foto buat kenang-kenangan?" Batinku.
Aku segera menarik lengan Mas Zain menuju photobox di ujung lorong.
Sambil terpaksa mengikutiku, dia melontarkan kalimat protes.
"Loh mau kemana? Kan pintu keluarnya disana"
"Kita foto dulu buat rayain ulang tahun"
"Ngapain sih?"
"Ayolah. Buat kenang-kenangan. Itung-itung imbalan aku ngebabu selama ini. Aku yang bayarin deh" Aku membujuknya.
Dengan terpaksa akhirnya dia pasrah menuruti kemauanku. Kebetulan kami satu-satunya pelanggan saat itu.
"Senyum yak, ayok 1..2..3!"
Tass! *bunyi mesin photobox*
Aku puas dengan hasilnya. Walaupun Mas Zain senyum dengan terpaksa dan mengusiliku.
"Nih satu untuk anda" celetukku sambil mengulurkan satu lembar foto kami untuk Mas Zain.
"Buat apaan? Nakutin tikus?"
"Terserah lah yang penting simpen itu foto. Jangan cuma foto doi you aja yang disimpen" godaku.
"Dasar" dengusnya kesal.
Sepulang dari berbelanja aku langsung menata barang dan tertidur hingga sore.
Malamnya, aku baru menyadari keberadaan foto tadi dan langsung menempelkannya di papan yang biasa kugunakan untuk menempel jadwal dan agenda harianku. Di sampingnya berderet fotoku bersama Arsa, pacarku; poster band kesayanganku, Day6; foto biasku, Jae; fotoku bersama sahabatku, Juan, Yasmine dan Mia serta foto usang keluarga kami yang berhasil kuselamatkan sebelum disingkirkan oleh Papa.
Aku memandangi fotoku bersama Mas Zain dengan puas. "Lucu juga", gumamku.
Saat itulah layar HPku menampilkan chat masuk dari Papa di grup yang beranggotakan kami bertiga.
Selamat Ulang Tahun anak-anak Papa, Zain dan Zula.
Semoga Allah senantiasa menganugrahkan kesehatan dan umur yang panjang. Lancar rezeki dan kuliahnya ya nak. Khusus untuk Zula semoga kedepannya semakin nurut dan semakin baik akhlaknya. Aaamiin 🤲🏻
Maaf terlambat ya nak ucapannya, Papa hari ini ada cito* dari pagi.
Singkat, hangat dan sedikit menyebalkan.
***
Keesokan harinya setelah maghrib aku menggedor pintu kamar Mas Zain, mengingatkannya untuk segera bersiap. Tentu saja dia menggerutu.
Pukul tujuh tepat kami turun ke lobi untuk menunggu taksi online yang sudah kami pesan. Sepanjang perjalanan jantungku berdebar kencang. Aku gugup. Setelah sekian lama, kami akan bertemu lagi dengan manusia itu. Apakah makan malam ini akan berjalan dengan lancar? Apakah kedepannya hubungan kami akan membaik?
Tanpa sadar aku mengetukkan jariku berulangkali pada kaca mobil untuk membuatku tenang, yang pastinya menimbulkan protes dari Mas Zain.
"Ssstt! Ngapain sih? Berisik tau!"
Tapi aku tidak menghiraukannya.
Setelah sampai dan menyebutkan nama Mama di resepsionis, seorang petugas perempuan mengantar kami menuju sebuah ruangan privat. Saat pintu dibuka, Mama sudah duduk menanti di dalam. Masih seperti biasanya, anggun dan manis serta berpakaian modis namun tidak berlebihan. Seorang lelaki seumuran Mama berkemeja putih dan berbadan tegap terlihat duduk di sampingnya. Ya, dialah manusia itu. Ayah tiriku. Selingkuhan Mama yang sekarang menjadi suaminya.
"Zain, Zula!" Ketika kami masuk Mama langsung berdiri dan menyambut kami antusias dengan tangan terbuka hendak memeluk.
Aku menyambut pelukan Mama dengan sepenuh hati. Hangat sekali. Sementara Mas Zain menyambut pelukan itu dengan canggung.
"Halo Zain, Zula. Apa kabar?" manusia yang kami panggil Om Firman itu menyapa dan mengulurkan tangannya untuk menyalami kami. Kami bersalaman kemudian Om Firman memepersilakan kami untuk duduk.
Sejauh ini makan malam berjalan dengan lancar. Membuatku lebih tenang dari sebelumnya. Mama terlihat sangat bahagia dan terus mengoceh menanyai kami sepanjang hidangan pembuka dan utama disajikan. Om Firman berusaha mengimbangi Mama dengan memberikan celetukan ringan agar suasana lebih hidup. Aku berusaha bersikap normal, tidak terlihat antusias tapi tetap berusaha akrab. Walaupun kenyataannya ada perasaan tidak nyaman ketika bersama orang ini. Sedangkan Mas Zain, menjawab sekenanya dan lebih terlihat dingin.
Hingga akhirnya, hidangan penutup mulai disajikan. Saat pintu terbuka terdapat iring-iringan staf restoran yang menyanyikan lagu Selamat Ulang Tahun milik band Jamrud sambil membawa kue cokelat bertuliskan Happy 19th Birthday yang di atasnya sudah menyala dua lilin untuk kami tiup. Aku menyunggingkan senyum berusaha terlihat bahagia sambil meraih tangan Mas Zain dan menatapnya, memberikan isyarat memohon agar paling tidak terlihat bahagia untuk menghargai usaha Mama. Walaupun aku tau dia membenci perayaan semacam ini di hari ulang tahun kami.
"..mudah-mudahan diberi umur panjang, sehat selama-lamanya.."
Saat bait terakhir lagu dinyanyikan kami langsung meniup lilin secara bersamaan dan orang-orang bersorak serta bertepuk tangan. Aku kembali menatap Mas Zain untuk memastikan apakah dia masih berusaha tersenyum sekaligus mengangguk mengisyaratkan rasa terima kasihku karena dia telah berusaha menjaga sikap.
Setelah para staf meninggalkan ruangan, kami mulai menikmati hidangan penutup yang telah disajikan.
"Oh iya hampir lupa! Mama punya hadiah untuk kalian" ucap Mama sambil mengeluarkan dua buah kotak kecil untuk kami.
"Selamat ulang tahun ya sayang. Semoga kalian dikaruniai umur yang panjang, sehat selalu dan lancar kuliahnya yah! Boleh langsung dibuka loh. Hihi"
Saat kubuka kotak itu, di dalamnya terdapat gelang berwarna silver dengan liontin berbentuk origami* burung bangau. Cantik dan manis.
"Mau Mama pasangin?"
"Oh, boleh" jawabku menyambut niat baik Mama.
"Pas banget. Cantik di tangan Zula"
"Makasi ya Ma, kadonya"
"Sama-sama sayang. Semoga kalian suka ya!" ucap Mama dengan mata berbinar.
Di sampingku, Mas Zain tersenyum hambar tanpa kata kepada Mama setelah terdiam memandangi jam tangan berwarna silver yang ia dapat.
Setelah makan malam selesai, kami bergegas pergi dengan membawa tentengan kue cokelat yang digunakan untuk tiup lilin tadi. Sesampainya di lobi restoran, Om Firman berpamitan menuju tempat parkir duluan dan meninggalkan kami bertiga untuk memberi ruang bagi Mama mengobrol secara pribadi dengan aku dan Mas Zain sebelum pulang.
"Terima kasih buat hari ini ya Nak. Mama bahagia banget. Maaf Mama cuma bisa kasih ini. Semoga Zain dan Zula suka. Mama harap kita bisa sering-sering ketemu kedepannya" ucap mama sambil meraih tanganku dan Mas Zain.
Aku menyambut ucapan terima kasih mama dengan senyum selebar mungkin.
"Ma.." Tiba-tiba dengan nada dingin dan tatapan kesal Mas Zain yang sedari tadi diam mulai mengeluarkan kata.
"Bisa nggak sih nggak usah ngajak orang itu. Masih syukur Zain mau dateng. Ngapain ngajak dia segala? Harusnya Mama paham"
Astaga. Hatiku mencelos.
"Zain!" Aku menegurnya dengan tatapan marah. Ya, aku memanggil namanya tanpa embel-embel kata Mas. Artinya kesabaranku sudah habis. Rasa marah, sebal dan sedih bercampur jadi satu.
Bisa-bisanya kakak ku dengan sadar melontarkan kata-kata menyakitkan itu di depan umum. Usahaku, dan dia, sedari tadi agar makan malam ini paling tidak berakhir dengan situasi yang baik seakan sia-sia.
Mama mengelus tanganku dan menatapku dengan isyarat untuk bersabar.
Dengan tersenyum dan tatapan lembut Mama merespon.
"Mama tau kok. Mama cuma berusaha supaya paling tidak kalian tidak canggung dengan Om Firman. Mama akui Mama salah, seharusnya tidak egois seperti ini. Mama minta maaf ya. Mama janji kedepannya tidak terulang lagi"
Mas Zain masih terdiam dengan tatapan kesalnya.
"Kalian belum pesen taksi kan? Mama antar ya?"
"Nggak usah!" sahut Mas Zain dengan ketus.
"Zain!" Tegurku
Lagi-lagi Mama mengelus tanganku dan berkata dengan lembut.
"Kalau gitu, sebaiknya kalian segera pesan sebelum terlalu malam. Mama tungguin"
Aku mengangguk dan bergegas memesan taksi online.
Setelah taksi yang kami pesan sampai, tanpa sepatah kata apapun Mas Zain bergegas masuk dan aku berpamitan dengan Mama sambil memeluknya. Dari pintu mobil terlihat Mama melambaikan tangan kepada kami dan kubalas dengan senyum serta lambaian.
Sepanjang perjalanan kami hanya terdiam. Barulah ketika sudah masuk dan sampai di depan pintu unit aku mulai bersuara.
"Maksudnya apa tadi?" Tanyaku dengan nada kesal.
"Apanya?"
"Nggak usah pura-pura bego! Dengan ngomong kaya gitu Mas nyakitin hati Mama dan nggak menghargai Mama!"
"Ngapain aku harus menghargai Mama?! Ngapain aku harus menghargai orang gila hah?!"
"Zain!" Bentakku
"Ibu waras mana yang terang-terangan selingkuh di depan anaknya?!"
"Zain!"
"Ibu waras mana yang tega tiba-tiba ninggalin anaknya tanpa kabar apapun?!"
"Ibu waras mana yang nyuruh anaknya akrab sama selingkuhannya?!"
Darahku mendidih.
"Mama nggak akan sampai selingkuh dan ninggalin rumah kalau Papa nggak semena-mena sama Mama!"
"Oh jadi kamu belain Mama?!"
"Aku nggak belain Mama!"
"Denger ya, kamu nggak tahu seberapa berat tekanan yang ditanggung Papa. Tapi apa?! Bukannya nguatin Papa, Mama malah selingkuh!"
"Zain, please.."
"Jangan pernah berani ajak aku lagi buat ketemu Mama!"
Mas Zain membanting pintu kamarnya, meninggalkan aku yang terisak dan gemetar.
***
*Ospek : Kependekan dari Orientasi Studi dan Pengenalan Kampus
*Kakung : Secara harfiah berarti laki-laki dalam bahasa jawa krama. Tetapi biasa digunakan sebagai panggilan kakek yang merupakan kependekan dari Eyang Kakung atau Mbah Kakung
*Cito : tindakan medis yang dilakukan dengan cepat dan segera tanpa menunggu lama
*Origami : seni melipat kertas dalam kebudayaan Jepang
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰