ANXI Bagian 73 (Suluk)

1
0
Deskripsi

Kalau tau bakal begini, mending aku berangkat Suluk sendirian.

~ Rizky yang merana

.

.

Kalau tau bakal begini, mending aku berangkat Suluk sendirian.

~ Rizky yang merana
 

.

.

***

Wajah Yoga pucat seketika. "Naik truk sayur?? Kamu bercanda, 'kan??"

Demikian reaksi Yoga setelah tahu angkutan yang akan mengantar mereka ke tempat suluk di puncak bukit. Rizky masih mempertahankan senyumnya. Dia harus bersabar. Berurusan dengan seorang tuan muda memang seperti ini. "Enggak bercanda. Aku serius," jawab Rizky.

Memangnya dia pikir ini piknik kelas eksekutif? Rizki membatin.
 

"Nah. Berhubung perjalanan kita masih panjang, sepertinya kita akan perlu bawa air minum botol," kata Rizky.

Setelah mendengar pemaparan yang terdengar kurang menyenangkan di telinga, Yoga memilih duduk merebahkan tubuhnya di atas bangku tunggu. "Aku mau duduk di sini aja. Belikan aku minuman, Ky."

Rizky menatap nanar pria yang sedang duduk santai di hadapannya.
 

Benarkah dia temanku? Kenapa rasanya seperti bosku di kantor?

.

.
 

Setelah menunggu cukup lama, Rizky muncul membawa kantung berwarna putih dengan logo mini market di depannya. 

"Nah ... akhirnya kamu muncul juga. Kenapa lama sekali?" Yoga bertanya sambil bertolak pinggang. Membuat Rizky sedikit banyak mulai kesal dengan tingkahnya.

"Maaf, antrinya lumayan panjang tadi."

Yoga mengambil bungkusan yang dibawa Rizky. "Sini biar kubawain."

"Biar aku aja, gak apa-apa."

Yoga merebut paksa bungkusan itu. "Biar aku yang bawa. Titik. Kamu 'kan lebih pendek dari aku, Ky," ejeknya sambil nyengir. "Nah, sekarang, berhubung sudah jam segini, kita salat jamak aja dulu di musholla bandara. Ya 'kan? Dari pada nanti kita susah cari masjid di luar. Kita 'kan turis domestik," tambah Yoga sambil tertawa. Tawanya nampak tulus. Seperti orang yang tidak sadar kalau sejak tadi sudah membuat orang lain kesal karena tingkahnya.

Rizky terdiam sesaat. Orang yang di sampingnya ini ... nge-boss, hobi memerintah orang lain, sok, tapi entah bagaimana, tetap ada sisi menyenangkan di dalam dirinya. Rizky tersenyum tulus.

Yoga ... orang aneh. 

.

.
 

Setelah salat, mereka berjalan menuju pintu keluar bandara. Melihat plank besar bertuliskan ucapan 'Selamat Datang di Bandara Internasional Minangkabau', dengan latar foto rumah adat Minang, muncul ide di kepala Yoga.

"Ky, foto bareng yuk."

"Hah?"

Tanpa menunggu persetujuan Rizky, Yoga menyetop seorang wanita yang berjalan dengan tiga orang temannya tak jauh dari mereka. "Maaf permisi," sapa Yoga sopan.

Wanita itu dan teman-temannya menoleh. Terkejut saat menyadari yang menyapanya adalah seorang pria tampan. "I-iya?"

"Bisa tolong fotoin saya sama teman saya di sebelah sana?"

Permintaan itu membuatnya agak kecewa. Disangkanya, Yoga mengajak dia foto bersamanya, atau mau mengajaknya kenalan.

Tapi berhubung yang meminta tolong adalah seorang pria ganteng, dilakukannya juga dengan senang hati. Yoga dan Rizky difoto berdiri dengan latar tulisan selamat datang.

Yoga mengambil kembali ponselnya. "Makasih, ya."

Wanita itu nampak malu-malu. "Iya sama-sama. Emm ... apa boleh saya minta tolong difotoin juga? Tapi, fotonya sama kamu boleh?"

Yoga kaget. Kalau perempuan minta kenalan dengannya, itu sudah biasa. Tapi minta foto bareng?? Memangnya dia artis?

Tapi berhubung merasa tidak enak karena tadi dia baru saja minta tolong pada wanita itu, akhirnya dia mengiyakan. "Oke. Boleh. Ky, tolong fotoin ya."

Wanita berambut panjang itu memekik tertahan. "Kyaa! Beneran, nih? Asiikk!"

Ketiga temannya iri melihatnya.

"Aku juga dong!"

"Mas ganteng, aku mau foto bareng juga boleh?"

"Aku juga!"

Walhasil, Rizky sibuk menerima satu per satu ponsel kamera mereka.

Kalau tau bakal begini, mending aku berangkat Suluk sendirian, batin Rizky merana.

.

.
 

Mobil kijang keluaran tahun 2010 itu masih nampak terawat. Akhirnya mereka sudah menduduki jok kursi mobil yang mereka sewa.

Yoga melihat-lihat pemandangan di luar kaca, sementara Rizky bersandar rileks menikmati ketenangan setelah sejak dari bandara, ada saja hal yang membuatnya lelah. Rupa-rupanya, hidup sebagai seorang tuan muda yang setampan Yoga sungguh berat. Dalam hati dia bersyukur menjadi orang biasa kebanyakan.

Rizky melirik temannya yang sedang terpana melihat pemandangan. Kedua telapak tangannya menempel di permukaan kaca sambil sesekali berkomentar, "Ooh ... bagus ya. Aku belum pernah ke Padang sebelumnya."

Rizky tersenyum. "Perjalanan masih jauh, Yoga. Aku tidur dulu ya."

"Oke," jawabnya bahkan tanpa menoleh sama sekali. Konsentrasi tingkat tinggi melihat ke luar kaca.

Tak lama, Rizky tertidur. Yoga mendadak ingat sesuatu yang ingin dilakukannya. Dia mengambil ponselnya dan membuka chat dengan Gito. Mengirim sebuah foto yang tadi diambil di bandara.

Hai To! Fyi, aku lagi di Padang nih. Sama Rizky, teman majelisku. Ada acara di sini. Sekitar 20 hari insyaallah baru balik.

Pesan terkirim tapi nampaknya Gito sedang tidak sempat membaca chat darinya. Dia menyimpan ponselnya dan beberapa saat kemudian, dia pun tertidur menyusul Rizky.

Dua jam berselang.

Gito baru saja menemui seorang klien. Dahinya berkerut saat melihat foto yang dikirim Yoga. Di foto itu, Yoga sedang merebahkan siku tangannya di atas pundak seorang pria yang lebih pendek darinya. Pria yang ternyata adalah teman majelisnya Yoga yang bernama Rizky itu, seperti antara mau dan ogah diajak foto bareng.

Padang? Kenapa mendadak? Dan lagi ... dua puluh hari? Itu lumayan lama. Berarti, Yoga cuti. 

Itu bukan kebiasaan Yoga. Cuti selama itu bukan untuk urusan bisnis. Ini pasti ada sesuatu!

Lantunan qasidah Deen Assalam yang dibawakan oleh Sabyan terdengar dari speaker ponselnya yang dia letakkan di atas meja kubikalnya.

Kalla hadzil ard mataqfii masahah (Seluruh bumi ini akan terasa sempit)
Lau na'isibila samahah (Jika hidup tanpa toleransi)

Gito meraih ponselnya. Nama seorang teman SMA-nya anak klub basket muncul di layar. Gito mengangkat telepon itu.

"Hai Ryan. Assalamualaikum," sapa Gito.

"Wa alaikum salam. To, udah sempet kasih kado ke Erika, belum?"

Gito duduk terdiam. "Erika? Ada apa ya dengan Erika?"

"Waduh gak update nih anak. Erika melahirkan anak pertama! Udah tau belum?"

Kali ini diamnya Gito lebih lama dari sebelumnya.

Ah ... ternyata ini penyebabnya. 

Beberapa menit kemudian, Gito buru-buru menyudahi percakapan mereka. Ryan mengajaknya mampir ke rumah Erika, karena anak-anak yang lain sudah lebih dulu memberinya kado saat di Rumah Sakit.

Erika melahirkan anak pertama setelah sembilan tahun pernikahan. Memang Gito belakangan sibuk sekali di kantor. Tidak sempat buka medsos, dan juga tidak aktif di grup chat.

Gito berdiri di luar gedung kantornya. Sejak tadi dia berusaha menelepon Yoga, tapi tak kunjung berhasil.

"Nomor yang anda tuju, sedang berada di luar jangkauan." 

Gito mematikan sambungan telepon. Mengecek kembali pesan yang baru dikirimnya.

Yoga, aku baru tau dari Ryan. Jangan bilang, kalau kepergianmu ke Padang ada hubungannya dengan Erika yang baru melahirkan?? 

Yoga, aku memang tidak pernah tanya-tanya lagi, tapi 4 tahun sudah berlalu sejak reuni. Jangan bilang kamu masih ... 

Kalau masih, artinya kamu sudah GILA! Fix GILA!
 

Trus kamu ngapain di Padang?

Yoga, kenapa pesanku pending semua? Kamu ditelepon gak bisa-bisa! Balas pesanku, kenapa??

Secepatnya setelah kamu baca pesanku, telepon aku! 

Kalau kamu perlu aku kesana, aku akan menyusulmu. Eh tapi aku belum tentu dapat izin dari istriku. Istriku galak T__T #curcol 

Dan, kesemua pesan itu, statusnya pending. Gito gregetan bukan kepalang. 
 

Aaarrggghh! Yoga, kenapa kamu tidak juga membalas satupun pesanku?? Di luar jangkauan? Lagi di gunung mana sih dia?? 

.

.
 

Yoga menutup hidungnya. Dia nampak sangat tidak nyaman duduk di bangku kayu reyot di belakang truk sayur. Setelah dua jam merasakan nyamannya tidur di mobil sewaan, kini mereka harus berjibaku dengan tumpukan sayur dan buah, plus medan jalanan yang tidak rata. Bergojlakan ke kanan-kiri, bersamaan dengan sayur mayur yang turut bergoyang. Pantas saja mobil sewaan itu tidak mau mengantar ke puncak bukit. 
 

Rizky meledeknya. "Kenapa? Emangnya sayuran bau?"

Mata Yoga memicing saat menoleh ke sampingnya, tempat di mana sayur mayur seperti kol, kentang dan berbagai buah-buahan yang tumbuh di area pegunungan diletakkan.

"Iya. Sepertinya baunya dari sisa sayuran yang diangkut sebelumnya. Bau busuk dikit."

Rizky menghela napas. "Kita harus bersyukur ini truk sayur. Gimana kalo truk kambing, coba??"

Bibir Yoga mencibir. Dia tak akan tahan kalau seandainya truk ini membawa muatan kambing. Dia lebih baik jalan kaki ketimbang harus menumpang di truk kambing!

Yoga mengeluarkan ponselnya. Foto yang dikirimnya ke Gito sudah dilihat, tapi ... Matanya menatap kesal saat melihat tulisan S.O.S No Signal di layar ponselnya. Simbol bar sinyal kosong melompong. Tak muncul satu bar pun!

"Kenapa sih di sini gak ada sinyal sama sekali??" misuh Yoga.
 

Rizky merespon protes Yoga dengan malas. "Ya mau gimana? Ini 'kan di gunung. Kita lagi nanjak ke puncak bukit."

"Lagi pula, gak ada gunanya juga kita pegang hape di tempat Suluk. Selain karena sinyal susah, hape, laptop dan semua alat elektronik akan disita sementara."

Mata Yoga beralih dari layar ponsel ke arah Rizky. "Apa....?? Apa kamu bilang tadi? Hape dan laptop disita sementara??"

Melihat reaksi Yoga membuat Rizky waspada. "I-iya. Kenapa ya?"

"KENAPA?? TRUS GIMANA CARANYA AKU NGURUSIN URUSAN KANTOR??" jerit Yoga panik. 
 

Rizky menggeser posisi duduknya ke arah sayuran yang ditumpuk di sampingnya. "Yeee.... Gimana sih?? Kita 'kan mau Suluk!! Mana bisa Suluk sambil ngurusin bisnis??"

Yoga kembali menatap layar ponselnya dengan tangan gemetar.

MATILAH AKU!! AYAH AKAN MEMBUNUHKU!! 
 

.

.
 

***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Anxi 1
Selanjutnya ANXI Bagian 74 (Suluk)
0
0
Suara air mengalir terdengar mendamaikan. Yoga memejamkan mata. Ada sesuatu dengan tempat ini yang membuat dia merasa dirinya pulang. Padahal ini kali pertama dia menginjakkan kakinya di tanah Sumatera Barat.Saat matanya kembali terbuka, azan Maghrib berkumandang.Allahu akbar. Allaaaahu akbar.Suara muadzin terdengar begitu merdu dan khusyuk. Menyentuh hati yang terdalam.Detik itu juga, Yoga merasa dirinya memang dipanggil ke tempat ini.Pandangannya meremang menatap nyala cahaya kekuningan dari dalam jendela-jendela masjid. Air mata menggenang di pelupuk matanya. Kembali teringat hal yang menggelisahkan hatinya hingga dia ada di tempat ini sekarang. Teringat yang dicarinya hingga melangkah sejauh ini. Demi sebuah ketenangan hati.Tuhan, aku datang.
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan