ANXI (Bagian 51-60)

0
0
Deskripsi

"Arisa?" panggil Yunan lembut, pada sosok seorang gadis yang sedang meringkuk di bawah meja makan dengan isak tangis terdengar tertahan.

"Kamu pasti bakal lupa sama aku," ucap Arisa sambil menyeka air matanya.

Yunan terdiam.

"Gimana caranya?"

Pertanyaan Yunan membuat Arisa menoleh ke arah Yunan yang berjongkok demi bisa sejajar dengannya. Alis Arisa bertautan, pertanda bingung dengan pertanyaan Yunan.

"Gimana caranya lupa sama kamu?" ulang Yunan dengan penjelasan akan pertanyaannya.

Pipi Arisa merona merah.

Bagian 51 (Panti Asuhan)

.

.

Dengan kenangan semacam itu, gimana caranya melupakanmu?

.

.

***

Mata Yunan terbuka perlahan. Dia terkejut saat melihat menemukan Arisa di dekatnya. Mata Arisa terlihat lelah seperti kurang tidur. Tapi begitu melihat Yunan membuka mata, Arisa tersenyum lebar.

"Kamu sudah bangun? Alhamdulillah!" seru Arisa penuh rasa syukur.

"Apa yang terjadi?" tanya Yunan memicingkan mata. Dilihatnya rumahnya diterangi lampu-lampu minyak bernuansa temaram.

"Udah, kamu jangan banyak ngomong dulu. Makan dulu nih!" jawab Arisa dengan tampang cemberut, sambil menyodorkan sesendok bubur ayam hangat yang asapnya masih mengepul.

"Siapa yang masak bubur?" tanya Yunan dengan suara yang masih lemah.

"Ibuku sama aku. Yah, aku cuma bagian nyampur bahan-bahannya aja sih. Hati-hati, masih panas," jawab Arisa hendak menyuapi Yunan.

Yunan yang malu disuapi, memilih merubah posisinya duduknya dan memasukkan sesendok bubur ke dalam mulutnya. Kelopak matanya melebar. Enak, pikirnya. Enak banget, malah.

"Hei hei! Pelan-pelan! Jangan buru-buru. Masih panas buburnya!" seru Arisa.

Yunan nyengir. Dia memang kelaparan. Dalam kondisi perut sepertinya sekarang, semua makanan akan terasa enak. Yunan memperlambat kecepatan makannya.

Arisa menghela napas. "Kamu nih, ya. Selalu begitu. Kalau ada apa-apa, gak pernah kasih tau orang lain. Disimpen sendiri. Gimana coba, kalo kemarin sore Mueeza gak ke rumahku? Aku kan gak tau kalau kamu sakit!"

Yunan berhenti makan. "Mueeza?" tanya Yunan.

"Iya. Mueeza ngeong-ngeong gak jelas di teras rumahku, dan seperti ngajak aku ikut sama dia. Ternyata dia lari ke depan pintu rumahmu," jelas Arisa.

Yunan menoleh kanan kiri. "Mana dia?"

"Lagi keluar. Main kali. Dari tadi sih dia tiduran di sampingmu."

"Ooh," sahut Yunan melanjutkan makannya. Diam-diam dia memperhatikan lingkaran hitam di mata Arisa.

"Maaf. Aku ngerepotin kamu," ucap Yunan dengan ekspresi merasa bersalah.

Arisa mengembuskan napas. "Bukan cuma aku. Kemarin Pak Amat terpaksa dobrak pintu depan rumahmu. Soalnya kamu dipanggil-panggil gak nyaut. Pintu dikunci pula! Sekarang jam setengah enam pagi. Pak Amat masih di masjid. Ibuku lagi salat di rumah. Kami dari kemarin gantian jagain kamu."

Yunan melotot. Ternyata dia merepotkan tiga orang, eh ditambah Mueeza jadi tiga setengah. Hmm ... dia terdiam berpikir. Sepertinya ada sesuatu yang dia lupa.

"HAHHH??? AKU BELUM SALAT SUBUH!!" pekik Yunan syok.

Arisa menyemburkan napas. "'Kan gak disengaja. Nanti di-qodho aja lah!"

.

.

Selepas mandi air hangat dan salat Dhuha, Pak Amat datang menjenguk Yunan.

"Gimana badannya udah enakan?" tanya Pak Amat.

"Iya alhamdulillah sudah turun panasnya. Makasih ya, Pak. Saya dengar dari Arisa, Bapak ikut jagain saya semalam," ucap Yunan sopan.

"Iya nak. Nggak masalah kok. Kita di sini kan hidup bertetangga."

"Bapak mau minum apa?" tawar Yunan bersiap akan ke dapur.

"Oh gak usah repot, Yunan. Bapak cuma mau ngomong sebentar sama kamu."

Senyuman di bibir Yunan berkurang saat melihat air muka Pak Amat nampak lebih serius.

Setelah beberapa saat ...

"Panti asuhan??" kata Yunan terkejut.

Yang ditanya mengangguk. "Ini cuma saran, Nak. Pertimbangan Bapak adalah, kamu tinggal di rumah ini sendirian. Tidak ada saudara seorangpun. Kamu 'kan tahu sendiri bagaimana lingkungan tetangga di sini. Kami semua sibuk bekerja, dan sayangnya kami gak bisa menambah anggota keluarga baru di dalam rumah, karena seperti kamu lihat sendiri, rumah di sini kecil-kecil. Bapak khawatir kalau kejadian seperti kemarin sore pas kamu pingsan itu, terulang lagi. Untungnya ketauan. Kalo gak ada yang tau, gimana??

Sedangkan di Panti Asuhan, mereka ada staf banyak. Kamu juga akan punya banyak teman sekamar di sana, jadi kamu gak akan sendirian," jelas Pak Amat.

Yunan terlihat tidak yakin. Apa dia harus meninggalkan rumah ini? Walau rumah ini lebih tepat disebut gubuk, tapi dia lahir dan dibesarkan di rumah ini. Semua kenangan dia bersama mendiang orang tuanya, semuanya ada di rumah ini.

Pak Amat tahu kalau Yunan merasa berat dengan ide itu. "Yunan, kamu masih mau sekolah di sekolah agama?"

Mata Yunan terbuka lebar. "Masih, Pak," jawab Yunan mantap.

Tangan Pak Amat mencengkeram lengan Yunan. "Panti Asuhan bersedia untuk menyekolahkan kamu di madrasah. Kamu tidak perlu repot-repot mengumpulkan uang untuk makan dan sekolahmu. Karena mereka ada dana dari penyumbang."

Mata Yunan berbinar senang. "Be-benarkah?"

"Iya, Nak. Nanti insyaallah Bapak akan jenguk kamu ke Panti. Atau kalau kamu mau main ke sini pas libur sekolah, kamu bisa, kok," imbuh Pak Amat dengan senyum mengembang.

Yunan mulai mempertimbangkan saran itu.

"Seandainya orang tuamu bisa memilih, mereka pasti tidak ingin kamu sendirian. Tapi ini sudah takdir dari Allah. Bapak harap kamu mau memikirkan soal Panti Asuhan ini baik-baik," ucap sahabat almarhum bapak Yunan itu, seraya menepuk pundak Yunan.

Tatapan mata Yunan menerawang, sebelum berubah tegas. "Saya jawab sekarang aja, Pak. Saya sudah ambil keputusan."

.

.

Pak Amat datang bersama seorang pemuda berseragam putih yang ternyata adalah staf sebuah panti asuhan yang ditugaskan untuk melihat kondisi Yunan dan menjelaskan tentang program sekolah untuk anak-anak di panti asuhan. Pihak panti bekerja sama dengan Madrasah Ibtidaiyah dan Pondok Pesantren yang jaraknya bisa ditempuh dengan berjalan kaki.

Putra -- nama staf panti asuhan itu -- merasa Yunan memenuhi persyaratan untuk tinggal di panti. Putra akan mengabari dalam satu atau dua hari. Kalau Yunan diterima, data-data Yunan akan segera diproses, dan minggu depan Yunan sudah bisa mulai tinggal di panti.

Perut Yunan mulas seketika. Dia tak menyangka akan meninggalkan rumah mendiang orang tuanya secepat ini. Segera dibuangnya jauh-jauh perasaan itu. Dia harus bersyukur, sebentar lagi dia akan bisa sekolah ilmu agama, sesuatu yang selalu dia impikan, dan juga merupakan impian mendiang orang tuanya.

Tak lama, Pak Amat dan Putra pamit pulang. Baru saja Yunan akan menutup pintu, suara yang dikenalnya memanggilnya.

"Yunan?"

Yunan menoleh ke belakang. Arisa sedang menatapnya dengan tatapan setengah kosong.

"Ada apa, Arisa?" sahut Yunan.

"Laki-laki yang barusan dari sini, dia siapa?" tanya Arisa terdengar cemas.

Yunan berusaha menebak, reaksi aneh ini mungkin karena, Putra mengenakan seragam bertuliskan nama panti asuhan.

"Kamu buru-buru, Arisa? Masuk dulu, yuk. Aku akan jelasin di dalam," ajak Yunan dengan senyum kaku.

Arisa masuk ke dalam rumah Yunan, tapi hanya sebentar. Beberapa menit kemudian, Arisa berlari ke luar sambil menangis. Yunan berusaha mengejarnya namun gadis itu sudah keburu jauh.

Yunan tak pernah menyangka, di hari-hari terakhirnya tinggal di rumah ini, rumah orang tuanya, dia justru bertengkar dengan Arisa. Tepatnya, Arisa ngambek padanya.

Jari Yunan mengelus wajah Mueeza yang duduk di depannya.

"Mueeza, nanti kamu jangan nyusahin Pak Amat dan keluarganya ya," kata Yunan dengan raut wajah sedih.

Yunan sempat bingung apakah harus membawa Mueeza ke Panti, tapi Pak Amat bersikukuh Mueeza tidak perlu dibawa ke Panti, karena Pak Amat sendiri yang akan memeliharanya di rumahnya. Yunan lega mendengarnya. Mueeza pasti akan senang dipelihara Pak Amat dan keluarganya.

"Mueeza, gimana nih kalo Arisa masih ngambek pas aku berangkat?"

Mueeza hanya menjawab dengan dengkuran, lalu dia bangkit dari duduknya dan kepalanya menyeruduk kening Yunan. Membuatnya tertawa.

"Kamu lagi ngapain, Mueeza? Main seruduk-serudukan?" ujar Yunan terkikik geli.

Tiba-tiba Mueeza menjilati bulunya. "Kamu mau ke mana, Mueeza? Mau main ke luar?"

Setelah puas mandi, Mueeza mengelilingi kaki Yunan sambil mengeong ke arah pintu.

"Oh? Kamu sekarang mau keluar lewat pintu depan?"

Yunan berdiri. "Iya iya. Kubukain, nih."

Saat pintu terbuka, cahaya senja memasuki ruangan. Mueeza berjalan ke luar.

"Daah Mueeza. Jangan jauh-jauh mainnya, ya" kata Yunan melambaikan tangannya, dan Mueeza hanya membalasnya dengan gerakan ekor.

Tak lama, Yunan menyalakan satu per satu lampu minyak di dalam rumah, lalu bersiap untuk salat jamaah di masjid. Rasanya badannya sudah cukup sehat untuk ke luar rumah. Dia kangen masjid. Yunan berangkat ke masjid, tanpa tahu kalau saat itu adalah terakhir kalinya dia melihat Mueeza.

.

.

Yunan meringkuk di balik selimut, dengan air mata membasahi wajahnya.

Arisa membawakan sarapan, tapi dengan suara parau, Yunan meminta Arisa meletakkan makanan yang dibawakan Arisa di depan pintu.

Arisa manut, memaklumi Yunan yang sedang mengalami masa duka selepas kematian Mueeza beberapa hari lalu yang terserempet motor. Pengendara motor di gang mereka itu, langsung tancap gas saat diteriaki beberapa teman Yunan yang menyaksikan kejadiannya.

Setelah meletakkan makanan, Arisa pergi. Yunan sebenarnya senang Arisa sudah tidak ngambek padanya. Tapi dia tidak mau Arisa sampai melihatnya seperti sekarang. Sudah cukup dia melihat Yunan menangis saat orang tuanya meninggal dunia. Sekarang, setelah Mueeza mati, Yunan tidak mau Arisa sampai melihatnya menangis lagi. Siapa saja boleh, tapi jangan Arisa.

Sungguh ajaib. Mueeza muncul persis saat kedua orang tua Yunan dimakamkan. Lalu Mueeza pergi persis saat Yunan akan pindah ke tempat baru. Seolah tugas kucing itu menemani Yunan di rumah ini, telah tuntas.

Dia tak bisa membayangkan besok akan pindahan ke panti asuhan, tempat tinggal barunya. Yang memberatkan hatinya hanya satu. Meninggalkan Arisa.

.

.

Esoknya ...

Yunan sudah siap dengan tas besar di teras rumahnya. Staf panti sudah menunggunya di luar gang, karena mobil tidak muat masuk ke dalam.

Beberapa orang teman Yunan dan tetangga, mengucapkan salam perpisahan.

"Tante, Arisa mana, ya?" tanya Yunan saat tak menemukan sosok gadis itu.

"Arisa ... dia ... ," jawab ibunya Arisa dengan lenguhan napas lelah.

.

.

"Arisa?" panggil Yunan lembut, pada sosok seorang gadis yang sedang meringkuk di bawah meja makan dengan isak tangis terdengar tertahan.

"Kamu pasti bakal lupa sama aku," ucap Arisa sambil menyeka air matanya.

Yunan terdiam.

"Gimana caranya?"

Pertanyaan Yunan membuat Arisa menoleh ke arah Yunan yang berjongkok demi bisa sejajar dengannya. Alis Arisa bertautan, pertanda bingung dengan pertanyaan Yunan.

"Gimana caranya lupa sama kamu?" ulang Yunan dengan penjelasan akan pertanyaannya.

Pipi Arisa merona merah.

Yunan mengulurkan tangannya. "Keluar dari sana. Antar kepergianku. Jangan khawatir. Insyaallah nanti kita tetap bisa bertemu," kata Yunan terdengar seperti titah ketimbang permintaan.

Arisa meraih tangan Yunan. Mereka bergandengan tangan sampai Yunan menaiki mobil panti di tepi jalan raya.

Keduanya saling melambaikan tangan. Bayangan akan Arisa yang berdiri di halaman rumahnya, membawakan kue di saat angin bertiup dingin dan perut Yunan terasa perih melilit karena kelaparan, muncul di ingatannya.

Senyum hangat menghiasi wajah Yunan.

Dengan kenangan semacam itu, gimana caranya melupakanmu, Arisa?

.

.

***

 

Bagian 52 (Hidup Baru - Yunan)

.

.

Saat seseorang memasak untuk kita, itu adalah bentuk dari 'sejuta rasa cinta' yang diletakkan di atas piring.

.

.

***

Dua belas menit sebelum azan Subuh.

Masjid komplek di perumahan bisa ditempuh sepuluh menit berjalan kaki dari rumah Erika dan Farhan. Yunan sudah seminggu tinggal di rumah ini. Rumah orang tua angkatnya. Erika dan Farhan bilang saat dia baru tiba di sini, kalau rumah ini sekarang adalah rumahnya juga.

Saat Yunan baru tiba di sini, yang pertama kali dia tanyakan pada Farhan adalah 'di mana masjid?'

Dia senang saat tahu kalau jarak masjid tidak jauh. Berharap akan berangkat ke masjid bersama ayah angkatnya, tapi ternyata itu tidak terjadi. Tetap sama seperti saat dia hidup sendiri di rumah lamanya. Yunan tetap berangkat ke masjid sendirian.

Yunan sudah mengenakan baju koko dan peci putih. Dia berdiri persis di depan pintu kamar Farhan dan Erika. Tangan kanannya diangkat dan ujung sudut jari telunjuknya sudah siap mengetuk pintu putih itu. Tangannya berhenti bergerak. Alis Yunan berkerut sedikit. Ragu. Selama seminggu ini, tiap jelang Subuh, mengetuk pintu kamar Farhan menjadi sesuatu yang tak pernah luput dilakukannya. Berusaha mengajaknya salat Subuh berjamaah di masjid. Kalau kali ini Farhan masih memilih untuk salat di rumah saja, dia berpikir untuk tidak akan mengetuk pintu ini lagi. Dia merasa tidak enak sebenarnya. Khawatir mengganggu. Yunan membuang embusan napas dan akhirnya mengetuk pintu itu.

"Ya, Yunan?" Suara Farhan terdengar seperti masih separuh mengantuk. Dia menjawab dari dalam kamar.

"Em ... aku ... ," jawab Yunan ragu.

"Sebentar, ya," sahut Farhan dengan suara langkahnya mendekati pintu. Farhan muncul mengenakan kaus oblong putih dan celana boxer hitam di bawah lutut. Dia mengucek matanya sambil tersenyum.

Yunan menunduk kikuk. "Maaf aku ganggu," ucapnya.

Farhan tertawa pelan sambil mengusap kepala anak angkatnya itu. "Apa sih, kamu? Gak ganggu sama sekali. Ada apa, Yunan? Hebat kamu udah rapi jam segini."

Dia berbicara perlahan dan hati-hati. "Em ... Ayah mau Subuh jamaah di masjid? Kalo jalan sekarang, insyaallah sampai masjid sebelum azan."

Mata Farhan melirik ke atas. Berpikir. "Mm ... sepertinya Ayah salat di rumah aja. Kamu berangkat aja, ya," kata Farhan sambil mengusap kepala Yunan.

Yunan mengatupkan bibir. Seperti ingin bicara, tapi kemudian memutuskan membatalkannya. Dia tersenyum tulus. "Iya, Yah. Aku berangkat dulu ya," sahut Yunan menunduk, dan dengan gerakan yang terasa wajar, dia mencium punggung tangan Farhan. Farhan tersenyum merasakan taburan rasa nyaman di relung hatinya. Yunan adalah anak yang dididik dengan adab yang baik oleh orang tuanya. Penghormatan pada orang tua, sudah menjadi kebiasaan buatnya.

"Iya. Hati-hati," kata Farhan melepasnya pergi dengan usapan hangat di punggung. Setelah menutup pintu kamar, dia tersenyum sendiri.

Rupanya seperti ini rasanya kalau ada anak yang saleh tinggal di rumahku. Menyenangkan.

Sebenarnya, dulu sebelum menikah, Farhan tidak pernah absen salat berjamaah di masjid. Tapi sejak menikah, dia semakin jarang salat berjamaah di masjid. Dan tadi malam pun, lagi-lagi dia tidak terbangun tahajud. Dia tidak bisa mengandalkan Erika untuk terbangun tahajud, karena untuk salat Subuh pun dia harus dibangunkan.

Farhan memperhatikan istrinya yang masih tertidur lelap. Kakinya melangkah mendekati tempat tidur. Dia naik ke atas kasur dan merangkak di atas tubuh Erika yang masih berselimut.

"Sayang, sayang. Bentar lagi azan. Bangun," bisik Farhan.

Erika menggumam. "Uhm. Aku masih ngantuk."

Farhan mengguncangkan lengan istrinya. "Ayo bangun, yuk. Subuh jamaah."

Mata Erika terbuka sedikit. "Dua puluh," gumamnya.

Farhan mengernyit heran. "Hah? Dua puluh?"

Mata Erika mulai kembali terpejam. "Dua puluh menit lagi. Zzzz."

Sepasang mata itu sudah tertutup sepenuhnya. Erika nampaknya sudah kembali ke alam mimpi. Kalau sudah seperti ini, Farhan akan sulit membangunkannya. Pria itu menghela napas.

.

.

Suara gesekan spatula dengan penggorengan berwarna silver, yang berpadu dengan suara minyak memanasi irisan daging ayam cincang, kacang polong dan potongan wortel berbentuk dadu, kemudian diredam dengan gumpalan nasi putih, yang kemudian berubah warnanya menjadi kecoklatan. Erika menambahkan bumbu dan sedikit kecap. Tangannya sibuk mengaduk.

Aromanya seketika mengisi udara di ruang makan. Yunan menatap punggung Erika dengan mata berkaca-kaca. Berusaha menahan gejolak perasaannya. Padahal baru setahun lebih sedikit, tapi rasanya seperti sudah lama sekali sejak seorang Ibu memasak untuknya. Oh, dia ingat. Waktu dia pingsan karena demam tinggi, Ibunya Arisa pernah memasakkan bubur ayam untuknya. Tapi saat itu dia tidak melihat proses memasaknya sama sekali. Beda rasanya saat melihatnya langsung. Saat seseorang memasak untuk kita, itu adalah bentuk dari 'sejuta rasa cinta' yang diletakkan di atas piring.

"Hmm ... baunya enak banget, sayang," puji Farhan melirik istrinya dari balik lembaran koran yang sedang dia baca. Erika yang sedang memakai kain celemek tosca, di mata Farhan nampak cantik sekalipun belum mandi. Rambutnya dikuncir kuda, membuat tengkuk lehernya terlihat.

Erika menoleh sesaat ke arah suaminya. "Mumpung hari Sabtu. Kapan lagi liat aku masak, 'kan? Hari biasa pasti beli makanan di luar," kata Erika dengan cengiran.

Farhan menengok ke Yunan yang duduk di sampingnya. "Ya 'kan Yunan? Baunya aja udah sedap."

Yunan segera merubah ekspresi wajahnya. Berusaha nampak ceria. "E-eh. Iya, Yah. Baunya enak."

"He? Matamu rada berair, ya? Apa gara-gara bumbu masakannya?" tanya Farhan.

Yunan melotot dan segera sibuk mengucek matanya. "Masa? He he. Iya mungkin karena bumbu."

Tak lama, nasi goreng ayam dihidangkan di atas meja dan mereka makan dengan gembira. Terutama Yunan. Ini benar-benar suasana baru untuknya. Dia merasa terharu.

Selepas makan, Yunan segera berdiri dari kursinya. Tangannya dengan sigap menumpuk piring kotor, gelas dan sendok garpu.

"Yunan! Kamu istirahat aja sana. Semalem kamu juga yang nyuci. Biarin aja yang ini gilirannya Ayahmu!" Erika mengatakannya sambil mengedipkan mata ke Farhan. Yang dimaksud hanya senyum sambil mengerlingkan mata.

"Gak apa-apa. Cuma cuci piring aja. Insyaallah aku sendirian juga bisa, kok," kata Yunan tersenyum ikhlas. Tentu saja. Buatnya, ini kecil. Dibanding semua pengorbanan Ayah dan Ibu barunya. Mereka sudah mendaftarkan Yunan ke sebuah Madrasah Ibtidaiyah. Dan hari ini adalah hari pertamanya masuk sekolah. Hari Sabtu ada kelas setengah hari.

Farhan tersenyum. "Yang bener nih gak mau Ayah bantuin? Ayah gak akan nawarin bantuan dua kali. Jangan nyesel, lho." Erika mencubit lengan Farhan, membuat suaminya itu tertawa.

Yunan menjawab dengan senyum tulus. "Beneran gak apa-apa. Aku udah biasa, kok." Pandangannya kini fokus ke tumpukan cucian piring yang diletakkannya di atas sink. Dia menyalakan keran air, dan suara air mengalir, berganti mengisi ruangan. Erika duduk di samping Farhan. Mereka saling pandang, lalu tersenyum melihat Yunan. Keberadaan Yunan terasa bagai berkah di rumah mereka. Belum pernah mereka melihat anak seumur Yunan yang begitu penurut, lembut tutur katanya, rajin membantu pekerjaan rumah tangga dan rajin beribadah.

Erika sedang mengelap meja, saat Yunan selesai mencuci piring. Erika menyuruhnya mandi dengan halus. "Sudah selesai? Mandi, ya. Hari ini pertama kali ke sekolah, 'kan? Mandinya mau pake air panas gak?"

"Iya aku mandi dulu, Bu. Enggak perlu air panas. Aku biasa mandi pake air dingin," jawab Yunan.

Farhan melipat korannya dan meletakkannya di atas meja. "Nanti Ayah yang antar kamu, ya."

Yunan nampak terkejut. "Oh?? A-aku gak diantar insyaallah bisa sendiri kok, Yah!"

Farhan menggeleng tegas. "Enggak. Kamu -- diantar -- Ayah. Titik."

Yunan nampak malu. Dia mengangguk pelan. "Iya, Yah."

Farhan tersenyum puas. "Nah, gitu dong."

.

.

Mobil Toyota Camry hitam itu sudah berhenti sempurna di depan gedung sekolah. Yunan meraih tangan Farhan dan mencium punggung tangannya. Farhan sangat menyukai 'prosesi' itu, dan seperti biasa dia membalasnya dengan usapan lembut di kepala Yunan.

"Nanti dijemput setelah Zuhur, ya?" kata Farhan.

"Iya, Yah. Assalamualaikum," ucap Yunan pamit.

"Wa alaikum salam," balas Farhan.

Mereka saling melambaikan tangan. Yunan sudah membuka pintu mobil, tapi kemudian tidak jadi melangkah. Dia memutar tubuhnya menghadap Farhan. "Mm ... Ayah, aku mau tanya," kata Yunan tiba-tiba.

Farhan mengangkat kedua alisnya. "Ayah juga mau jawab," sahut Farhan otomatis.

Mereka berdua tertawa. Yunan mengerti kalau Farhan berusaha membuatnya merasa rileks. Semingguan ini, Yunan masih merasa canggung dengan perubahan hidupnya yang mendadak.

"Ada apa, Yunan? Tanya aja," kata Farhan santai.

"Kalau dari rumah Ayah, ke arah rumah lamaku, naik angkot apa, ya?"

Farhan nampak heran. "Ngapain naik angkot? Kapan aja kamu mau ke sana, tinggal bilang sama Ayah. Ntar kita bisa bareng ke sana. Lagian, kenapa masih sebut itu 'rumah Ayah'? Itu 'kan rumah kamu juga, Yunan. Sebut aja 'rumah kita'."

Yunan menggaruk belakang kepalanya sambil tersenyum malu. "Eh iya. Rumah kita," ucap Yunan. Sepertinya dia perlu waktu untuk membiasakan diri dengan banyak istilah baru.

Farhan kembali mengusap kepalanya. "Ya udah cepetan masuk. Ntar telat."

Yunan mengangguk dan turun dari mobil. Dia menutup pintu mobil dan berjalan ke arah pintu gerbang.

Farhan teringat sesuatu. Dia segera menurunkan kaca mobil dan berteriak. "YUNAN!!"

Yunan menoleh ke belakang. "Ya?" sahutnya.

Senyum Farhan mengembang tulus, dan ucapannya menyadarkan Yunan bahwa hari ini hari yang bersejarah untuknya. "SELAMAT HARI PERTAMA SEKOLAH!!"

Mendengar itu, tenggorokannya terasa tercekat. Sebenarnya semalam dia susah tidur karena terlalu gembira, masih tak percaya kalau hari ini dia benar-benar akan sekolah untuk pertama kali dalam hidupnya. Dia sulit menggambarkan, rasa syukur dan terima kasihnya pada dua orang yang baru dikenalnya, Erika dan Farhan. Dua orang yang tiba-tiba masuk dalam hidupnya. Tuhan telah memberinya kemudahan, melalui tangan kedua orang itu. Ibu dan Ayah angkatnya.

Yunan melambaikan tangan dengan semangat. Sambil berusaha menahan haru yang nyaris membuat matanya berkaca-kaca, dia tersenyum lebar. "TERIMA KASIH, AYAH!"

.

.

***
 

Bagian 53 (Hidup Baru - Yunan)

.

.

Kenapa Yunan, dan kenapa sekarang? 
 

Tidak mungkin hanya kebetulan.

.

.

***

Alis Yoga berkerut menatap layar komputer di hadapannya. Layar itu memperlihatkan sebuah foto yang baru di-upload 2 hari yang lalu di wall medsos Erika. Di foto itu ada Erika, Farhan dan seorang anak laki-laki yang belum pernah dilihatnya. Anak itu ada di tengah di antara Erika dan Farhan. Mereka berfoto dengan latar belakang sebuah pantai dengan pohon kelapa dan langit yang biru cerah.

Keponakan? Tapi, Erika anak tunggal. Mungkin keponakan dari Farhan?

Itu yang dipikirkan Yoga awalnya. Tapi setelah membaca komentar di bawahnya, dia akhirnya paham.

Ratih Ayu Septiana : Oooowwhh!! Ini Yunan yang kamu ceritain ya, cyin?

Erika Destriana Putri : Iyaa Tih :)

Esti Dwi Oktavia : Alloowww dedek Yunan! Kamu ganteng! Ka, ntar kl udh gede, gmn kl kita jodohin sama anakku? 20 taun lg lah :D

Erika Destriana Putri : jiaahh! :D :D ntr ajalah diaturnya. 20 taun masi lama, keles.

Vanny Rivaldi : Selamat ya Erika :) Semoga Yunan kelak jd anak yg berbakti sama kalian berdua. *ikutsenang.

Erika Destriana Putri : Amiin. Thanks, dear ;)

Mata Yoga melebar.

Anak angkat? Benarkah?

Dia memang menangkap kesan bahwa Erika sangat ingin punya anak, saat pertemuan terakhirnya di acara Reuni setahun yang lalu.

Tapi ... anak angkat? Dia benar-benar ingin punya anak rupanya.

Yoga memang beberapa kali pernah mendengar tentang 'anak pancingan', suatu cara yang biasa dilakukan para wanita yang belum juga punya anak, yaitu dengan mengambil seorang anak angkat, dan kemudian biasanya tak lama si wanita tersebut hamil. Tapi tidak dengan Erika. Dia yakin Erika bukan salah satu diantaranya. Perempuan dengan hati seperti Erika, pasti melakukannya karena empati dan kasih sayang.

Yoga kembali menatap foto kebersamaan mereka. Di foto itu mereka nampak bahagia dengan senyum merekah. Dia segera membuang muka.

Ah. Biar gimanapun, anak itu bukan anak kandung mereka. Dia hanya anak angkat.

Rasa yang 'gelap' dan getir itu berkecambuk dalam dadanya. Membuatnya merasa sesak. Yoga menutup jendela medsos itu dari layar. Dia melonggarkan ikatan dasinya dan berdiri dari kursi. Kakinya melangkah ke tepi dinding kaca dan melihat ke bawah. Sesuatu yang biasa dilakukannya kalau dia bosan atau penat.

Perasaan apa ini? Sungguh memuakkan!

Salahku. Salahku. Kenapa aku masih juga membuka medsosnya?

Sebenarnya dia tahu. Penyakit yang tengah menggerogoti hatinya itu bernama 'iri'. Rasa itu bercampur dengan perasaan bersalah. Karena tidak seharusnya dia kesal saat melihat Erika bahagia. Seharusnya dia ikut merasa bahagia. Tapi kenapa?

Suara ketukan pintu membuat Yoga terkesiap dari lamunannya.

Yoga menjawab setengah galak, "YA?"

Pintu dibuka, dan Mieke muncul dengan mimik waspada. "Pe-permisi, Pak. Saya bawa laporan studi kelayakan yang Bapak minta."

Yoga meliriknya sesaat dengan tatapan tajam, lalu dia kembali melihat ke luar kaca. "Ya. Terima kasih."

Mieke berjalan perlahan mendekati meja Yoga. Dia baru akan meletakkan map itu di atas meja, tapi kemudian ragu, karena dilihatnya di atas meja ada beberapa tumpukan dokumen yang berbeda. Yoga mungkin sengaja mengelompokkannya.

"Emm -- maaf, Pak. Sebaiknya saya taruh di mana file ini?" tanya Mieke hati-hati.

Yoga berdecak tak sabar. "Ck. Taruh di mana aja, lah."

"I-iya, Pak," jawab Mieke sambil meletakkan dokumen di sisi paling kiri dari meja Yoga.

Tiba-tiba Yoga membentak Mieke. "JANGAN TARUH DI SITU!!! NTAR JATUH! TARUH DI TENGAH AJA!!"

Mieke terperanjat, saking kagetnya dia memeluk map yang dipegangnya. "I-iya, Pak. Maaf. Maaf!"

LHAAA TADI KATANYA TARUH DI MANA AJA?? Gimana sih si Bos? batin Mieke merintih.

Dengan tangan gemetar, Mieke memindahkan map itu ke tengah meja. "S-saya permisi dulu, Pak."

Yoga tidak menjawabnya. Tanpa ba-bi-bu, Mieke segera mengangkat kakinya keluar ruangan. Di luar pintu, dia masih berwajah pucat.

ADA APA YA?? KOK SI BOS KUMAT LAGI ??

Sementara Yoga di dalam ruangan sedang menutup wajahnya dengan kedua tangan.

Astaghfirullah. Kenapa aku --??

Dia mengurut tulang hidungnya sambil menarik napas panjang. Sesudah ini, dia perlu minta maaf pada Mieke.

AKU GAK AKAN BUKA MEDSOS ERIKA LAGI!! GAK AKAN!!

.

.

Malam Jum'at setelah pulang dari salat Maghrib di masjid, Yunan mengurung diri di dalam kamarnya.

Farhan mengetuk pintu kamarnya. Yunan bergegas membukakan pintu.

Seiring pintu itu terbuka, aroma wangi menyeruak ke luar. Farhan familiar dengan aroma ini.

"Iya, Yah?" sapa Yunan.

Farhan tersenyum melihat anak angkatnya itu masih memakai baju koko putih yang sama yang baru dipakainya pulang dari masjid.

"Mau makan bareng? Ibu udah pulang tuh. Bawain ikan gurame goreng kesukaanmu," kata Farhan.

"Iya, Yah. sebentar lagi aku nyusul insyaallah," jawab Yunan.

"Ya udah jangan kelamaan ntar makanannya keburu dingin."

"Iya, Yah," sahut Yunan dengan cengiran.

Farhan baru akan menolehkan badannya dan kembali melangkah menuju ruang makan, tapi persis sebelum Yunan menutup pintu kamarnya, sudut mata Farhan sempat melihatnya. Sebuah rekal Qur'an (alas duduk untuk Al-Qur'an berupa kaki kayu bersilang), dengan Al-Qur'an yang terbuka di atasnya.

Pintu kamar Yunan tertutup. Mendadak Farhan berhenti berjalan. Kakinya kembali melangkah ke depan pintu kamar Yunan. Dia merasa ragu, tapi akhirnya menempelkan telinganya persis di permukaan pintu putih itu.

Yunan rupanya sedang membaca Al-Qur'an. Sebentar saja, pikirnya. Dia hanya penasaran surat apa yang sedang dibaca anak angkatnya itu.

وَجَعَلۡنَا فِيۡهَا جَنّٰتٍ مِّنۡ نَّخِيۡلٍ وَّاَعۡنَابٍ وَّفَجَّرۡنَا فِيۡهَا مِنَ الۡعُيُوۡنِۙ‏ ﴿۳۴﴾

( 34 ) Dan Kami jadikan padanya kebun-kebun kurma dan anggur dan Kami pancarkan padanya beberapa mata air,

لِيَاۡكُلُوۡا مِنۡ ثَمَرِهٖۙ وَمَا عَمِلَتۡهُ اَيۡدِيۡهِمۡ‌ؕ اَفَلَا يَشۡكُرُوۡنَ‏ ﴿۳۵﴾

( 35 ) supaya mereka dapat makan dari buahnya, dan dari apa yang diusahakan oleh tangan mereka. Maka mengapakah mereka tidak bersyukur?
سُبۡحٰنَ الَّذِىۡ خَلَقَ الۡاَزۡوَاجَ كُلَّهَا مِمَّا تُنۡۢبِتُ الۡاَرۡضُ وَمِنۡ اَنۡفُسِهِمۡ وَمِمَّا لَا يَعۡلَمُوۡنَ‏ ﴿۳۶﴾

( 36 ) Maha Suci Tuhan yang telah menciptakan pasangan-pasangan semuanya, baik dari apa yang ditumbuhkan oleh bumi dan dari diri mereka maupun dari apa yang tidak mereka ketahui.

Farhan tahu surat apa itu. Surat Yasin. Dia mencoba mengingat, hari ini hari apa.

Kamis malam. Malam Jum'at.

Kapan terakhir kali dia membaca surat Yasiin? Sepertinya bulan lalu saat ada tetangga yang meninggal dunia. Padahal dulu dia rajin membacanya. Ustaznya dulu bilang, kalau tidak bisa membacanya setiap malam, setidaknya bacalah surat Yasiin setiap malam Jum'at, malam yang mulia.

Karena dulu sangat sering membacanya, Farhan sempat hapal. Sekarangpun, sepertinya dia masih hapal. Kalaupun ada yang lupa, mungkin hanya beberapa ayat saja.

Farhan berdiri mematung, masih di luar pintu kamar Yunan.

Kenapa aku bisa ada di titik ini sekarang?

Dia menyadarinya. Kemunduran semangatnya dalam beribadah, sekarang nampak nyata di hadapannya, saat seorang anak bernama Yunan memasuki rumahnya.

Farhan memutar tubuhnya menjauh dari pintu kamar itu.

Farhan mengenali aroma kamar Yunan. Wangi kayu gaharu. Mengingatkannya saat dia dulu rajin ke majelis. Dulu, Farhan dan teman-temannya membeli wewangian di sebuah toko herbal tak jauh dari majelis pengajian.

Aroma itu membuatnya mendadak rindu pada suasana itu. Momen saat dirinya bersemangat mencari ilmu agama.

.

.

"Yunan, besok mau main ke rumah lamamu?" tanya Farhan.

Yunan segera menelan sisa makanan di mulutnya. "Eh? Besok?" serunya terkejut.

"Iya, besok. Biasanya 'kan Sabtu Ayah ngantor setengah hari, tapi besok Ayah libur. Mau ke sana? Enaknya berangkat jam berapa, ya? Mau pagi atau siang?"

"Emm ... pagi setelah jam sembilan?" tanya Yunan ragu.

Farhan mengedipkan mata. "Oke, bos!" Sebutan 'bos' itu membuat Yunan malu.

Menjelang tidur, Yunan gelisah lantaran terlalu bahagia.

BESOK?? Beneran BESOK mau ke sana? Ketemu ARISA???

Dia terkejut dengan pikirannya sendiri. Kenapa cuma Arisa? Di sana kan juga ada Pak Amat, Ibunya Arisa, lalu ada Jaja, ada Ali, dan yang lainnya. Kenapa barusan nama Arisa yang muncul?

Alis anak itu berkerut. Ini adalah pembahasan yang 'berat' untuk seorang anak polos bernama Yunan.

Ah gak tau, ah. Aku harus tidur cepat, supaya bisa terbangun tahajud dan gak kesiangan.

Dia segera mengerjakan amalannya sebelum tidur. Jarinya memutar tasbih. Istighfar seratus kali, Al Ikhlas, Al Falaq, An Nas, ayat kursi dan ditutup dengan do'a sebelum tidur. Dia mengusap telapak tangannya ke wajah, dan memaksakan diri untuk tidur.

Malamnya, dia bermimpi. Dalam mimpi itu, dirinya, Mueeza, dan Arisa berada di sebuah ruangan yang hangat diterangi oleh lampu kekuningan. Mereka sedang duduk di atas tikar. Makan sambil bersenda gurau. Mimpi indah itu membuat Yunan tidur tersenyum.

.

.
 

Setelah mobil diparkir di tepi jalan raya, Farhan dan Yunan berjalan kaki memasuki gang yang di sisi kirinya mengalir kali kecil.

Ini pertama kalinya Farhan diajak mengenal lingkungan lama Yunan, tempatnya dahulu berjibaku bertahan hidup sebelum akhirnya jadi penghuni panti asuhan.

Rumah-rumah mungil dari kayu dan bambu, terpisah oleh kebun. Hanya beberapa rumah yang material dindingnya bata disemen plester.

Belum sampai ke rumah lama Yunan, mereka bertemu Pak Amat. Yunan segera memperkenalkan Farhan sebagai ayah angkatnya. Pak Amat girang dan terharu sekaligus. Dengan mata berkaca-kaca, dia mengundang Farhan dan Yunan mampir ke rumahnya.

Karena kampung itu kecil, kedatangan Yunan segera mendapat sambutan dari teman-teman lamanya. Arisa salah satu di antaranya.
 

Yunan berdiri dari kursi tamu Pak Amat, saat melihat Arisa datang. Wajah keduanya berseri-seri.

"Kamu lagi main ke sini? Kapan datang?" tanya Arisa.

"Baru aja datang. Langsung diajak ke rumah Pak Amat. Sebentar, Arisa," kata Yunan menghampiri Farhan.

Yunan berbisik pada Farhan yang duduk di sampingnya, "Ayah, aku ke luar sebentar ya."

Farhan mengangguk. Agaknya paham kalau anak perempuan teman Yunan yang satu ini berbeda dari teman-temannya yang lain.

.

.

"KAMU DIADOPSI?" pekik Arisa tak percaya.

"Iya," jawab Yunan malu.
 

"Alhamdulillah. Berarti, kamu sudah tingal di rumah barumu selama dua minggu?" tanya Arisa gembira. 
 

Yunan mengangguk. Arisa melirik sesaat ke arah pintu rumah Pak Amat yang terbuka, dan melihat Farhan yang sedang mengobrol dengan para tetangga.

"Apa mereka baik padamu, Yunan?" bisik Arisa.
 

Yunan mengangguk. "Iya mereka sangat baik."

Arisa nampak tidak puas dengan jawaban singkat itu. Yunan memang selalu begitu. Tidak seperti dirinya yang tanpa ditanya, bisa bercerita panjang lebar tinggi. Yunan selalu hanya menjawab seperlunya.

"Kamu senang di sana?" Arisa bertanya lagi.

Kembali mengangguk dengan ekspresi senyum yang sama, Yunan menjawab, "iya, aku senang. Di sana masjid dekat. Jalan kaki cuma sepuluh menit sampai."

Arisa menghela napas. "Bukan gitu. Maksudku, kamu senang gak tinggal bareng mereka?"

"Iya aku senang," jawab Yunan yang tetap singkat seperti jawaban pertanyaan sebelumnya. 
 

Arisa menyentuh keningnya seperti sedang sakit kepala. Tapi kemudian dia tersenyum tulus pada Yunan. "Syukurlah. Kalau kamu senang, aku juga senang."

Mereka mengobrol tetap sambil berdiri. Yunan cerita juga kalau dirinya sudah masuk sekolah untuk pertama kalinya. Dia menceritakan teman-teman barunya di sekolah yang juga baik padanya.

Tak lama, Farhan menghampiri mereka. Yunan mengenalkan Farhan pada Arisa, sebelum Farhan dan Yunan berjalan ke rumah lama Yunan.

.

.
 

Farhan tersadar dari lamunannya dan kembali meresapi suasana rumah Yunan. Ada sesuatu yang membuat dia merasa betah berlama-lama di dalamnya. Sekalipun rumah ini sangat kecil dan kondisinya kurang baik, dengan dinding retak di beberapa bagian, cat dan lapisan kayu pintu terkelupas, tapi sejak Farhan menapakkan kakinya di rumah ini, ada perasaan damai dan teduh yang tak bisa dijelaskannya. 
 

"Suasana rumah ini mengingatkan ayah pada rumah almarhumah nini ayah di Garut," kata Farhan.

"Nini?" tanya Yunan.

Farhan mengangguk. "Ya. Almarhumah neneknya ayah," jelasnya.
 

Farhan menceritakan tentang almarhum nininya pada Yunan. Sekalipun nini diajak tinggal bersama di rumah ayahnya Farhan di Bogor, nini tetap memilih tinggal di desanya yang tenang. Padahal nini tinggal sendiri di sana. Suaminya sudah lama tiada. Sewaktu Farhan kecil, dia pernah menginap 1 minggu di rumah nini. Jadi tahu persis kegiatan nini sehari-hari. Pukul tiga dini hari, nini sudah menimba air untuk wudu. Salat malam nyaris tak pernah ditinggalkannya. Selepas salat malam, tadarus Qur'an dan zikir tak terputus hingga waktu Subuh. Setelah salat Subuh di masjid kecil di kampungnya, nini kembali membaca buku kesayangannya yang setiap pagi dan petang selalu dibacanya. Amalan. Ratib. Zikir harian. 'Pegangan' sebagai muslim, kata nini. 
 

Nini-nya sudah menghadap Allah. Saat itu Farhan sedang di tengah ujian semester akhir kuliahnya. Segera setelah mendengar kabar dari ayahnya, tanpa pikir panjang, Farhan berangkat ke Garut. Tetangga nini adalah yang pertama kali menemukan jasadnya. Nini meninggal dalam keadaan masih mengenakan mukenah selepas Subuh. Tertidur di atas sajadah. Dengan buku amalan-nya di dekatnya, dan tasbih di genggaman tangannya. Farhan teringat, saat mendengar bagaimana nini meninggal, dia menangis. Sungguh kematian yang sangat indah. Dulu yang dirasakannya adalah, dia ingin kelak kematiannya seindah itu.

Perasaan damai dan teduh yang dirasakannya saat di rumah nini, sama dengan yang dirasakannya sekarang di rumah Yunan. Farhan memejamkan mata. Suara aliran air kali terdengar sayup. Dia mencoba membayangkan, di mana Yunan biasa salat di rumah ini?. Mengingat bilik kamar sangat kecil, kemungkinan besar dia salat di sini. Di ruang tengah. Dengan suasana teduh, sunyi, hanya ditemani oleh suara aliran air kali, sesekali terdengar suara tawa riang anak-anak di luar rumah. Tanpa televisi, tanpa alat elektronik, tanpa ponsel, tanpa komputer.

Farhan bisa membayangkan ibu kandung Yunan yang sedang mengajari anaknya mengaji. Kemungkinan kegiatan itu juga berlangsung di ruangan ini. Luar biasa, sungguh. Jika saja dia bisa bertemu mereka, orang tua kandung Yunan. Ingin dia bertanya, "bisakah kalian jelaskan padaku, bagaimana cara kalian mendidik anak seperti dia? Seperti Yunan."

Farhan membuka kelopak matanya, lalu melihat ke arah cahaya dari luar pintu.

Seandainya Yunan adalah anak kandungku, dengan semua fasilitas dan uang yang kumiliki, apa aku mampu mendidiknya hingga menjadi Yunan yang seperti sekarang ini?

Lantunan adzan membuyarkan lamunan Farhan. Farhan dan Yunan berangkat ke masjid untuk salat Ashar.
 

Farhan merangkul pundak Yunan dengan santai. Yunan sempat agak terkejut, tapi kemudian rasa nyaman membuatnya tersenyum. Mereka berjalan bersama, menuju masjid melewati jalanan kecil yang mendaki.

Kenapa saat itu Erika justru memilih Yunan dan bukan anak yang masih bayi atau balita?.

Tidak mungkin hanya kebetulan.

Kenapa Yunan, dan kenapa sekarang?

Farhan merasa yakin. Allah kelak akan memberikan jawaban atas pertanyaannya itu. Sekarang ini, hatinya dipenuh rasa syukur karena Allah telah menempatkan anak sebaik Yunan di tengah keluarga mungilnya.

.

.
 

***

Bagian 54 (Life Goes On)

.

.
 

Semoga 'sandiwara' ini segera selesai.
 

.

.

***

Suasana pesta bernuansa klasik itu, berlangsung di sebuah ballroom mewah di salah satu gedung tinggi perkantoran ibukota. Tiang-tiang berprofil lengkung khas arsitektur klasik, lipitan tirai-tirai sutera putih, dan tempat lilin dari perak, memperkuat kesan klasik pada tema pesta malam itu.

Suara gelas kaca yang berdenting, bercampur dengan suara tawa anggun khas sosialita, diiringi alunan komposisi tuts piano karya Chopin berjudul Nocturne in Eb Op 9 No 2. Kesemuanya membuat nuansa klasik semakin kental. Para tamu pesta, lelaki bangsawan dan para wanita berkelas, nampak larut dalam suasana.

Orang-orang nampak ceria, kecuali seorang pria yang lebih memilih menyendiri, kalau tidak mau disebut 'kabur'. Yoga berdiri di sebuah balkon di lantai 15. Dia mengenakan jas dan celana panjang yang semuanya serba putih sesuai dengan dress code pesta. Sedangkan kemeja dan dasinya berwarna perak. Sikunya bertopang di atas railing beton putih yang berbentuk lengkung khas arsitektur klasik. Matanya menyiratkan kebosanan, menatap ke bangunan-bangunan di bawah. Lampu-lampu bangunan dan kendaraan yang melintas, nampak berkilauan seperti bintang, namun tetap tidak membuatnya merasa senang. Nampak jelas kalau dirinya sebenarnya tidak ingin berada di tempat ini. 
 

Pesta sosialita. Sesuatu yang dia benci. Sejak sejam lalu, dia sudah memaksakan otot-otot pipinya direnggangkan. Memasang senyum palsunya. Istilah lainnya adalah 'senyum komersial', atau 'senyum bisnis'. Karena para tamu pesta malam ini, rata-rata adalah kolega ayahnya, rekan bisnis, dan yang 'menyeret' Yoga ke tempat ini adalah ...

Mendadak jari telunjuk dan jempol seseorang menjepit otot pipi kanan Yoga.

"ADUH!!" Yoga melotot ke samping. Orang itu ternyata tak lain dan tak bukan adalah ayahnya.

"Ngapain sih, Yah?? Pake nyubit pipi segala?" protes Yoga.

Danadyaksa, ayahnya yang telah memasuki usia keemasannya, tetap nampak gagah sekalipun helai rambut putih mulai nampak di sebagian rambutnya. "Jangan pasang tampang menyebalkan seperti itu, Yoga! Kamu tahu 'kan kita ke sini untuk apa? Senyumlah sedikit!"

Tangan Yoga mengusap pipinya yang baru saja dicubit ayahnya sendiri. Dia masih kesal karenanya. "Aku 'kan dari tadi senyum! Capek juga pura-pura senyum sejam, Yah! Give me a break, lah."

Ayahnya mendekat dan berbicara setengah berbisik. "Sebentar lagi Pak Jimmy akan datang dengan putrinya, Aurelia."

Yoga melengos dan melempar pandangannya ke bawah balkon. Melihat reaksi anak semata wayangnya, membuat Dana jengkel. Kali ini dia mencubit pipi anaknya itu dengan dua capitan di kiri dan kanan. 

Serangan dadakan itu mengejutkan Yoga. Dengan kondisi kedua sisi pipinya dicubit, susah payah dia berusaha berteriak tertahan. "AYAHH!! AHAAN SIH??" seru Yoga terdengar salah bicara karena sulit bicara benar dengan kedua pipi dicubiti.
 

Dari sudut matanya, Dana melihat orang yang ditunggunya telah memasuki ruangan pesta dan sedang berjalan mendekat ke arah mereka berdua. Dia segera melepas cubitannya. Tangannya sekarang menepuk pundak Yoga dan berbisik, "Yoga, mereka sudah datang. Di belakangmu. Ingat! S E N Y U M!!" Kata 'senyum' diucapkannya dengan penekanan disertai mata mendelik.

Yoga memejam dan menghela napas. Suara langkah sepatu laki-laki dan hak sepatu wanita terdengar mendekat ke arahnya. Yoga memutar tubuhnya dan memasang senyum terbaiknya. Karena Yoga sudah terlatih dengan senyum palsunya sejak remaja, senyumnya tetap terlihat alami dan mempesona.

Pak Jimmy adalah seorang pengusaha kelas kakap seperti ayahnya, dan putrinya yang bernama Aurelia, sesuai dengan foto yang pernah dilihat Yoga, wanita itu sangat cantik dan anggun. Warna kulitnya putih cerah, matanya lebar dengan bulu mata lentik, bibirnya dipulas lipstik matte pink muda. Rambut lurus panjangnya nampak berkilauan mirip model iklan shampo. Dengan gaun putih panjang dan aksesoris bando berenda putih, dia terkesan seperti gadis polos yang manis.

Dana segera menyambut kedatangan mereka. "Selamat malam, Pak Jimmy. Selamat datang!" Dana dan Jimmy bersalaman. 
 

"Selamat malam pak Dana. Maaf saya baru bisa hadir jam segini," ucap Jimmy dengan ekspresi sungkan.

"Ah tidak apa-apa. Saya maklum. Tiap orang 'kan punya kesibukan masing-masing," sahut Dana seraya melirik ke Aurelia. "Selamat malam. Ini pasti Nona Aurelia," sapa Dana.
 

Jimmy merangkul punggung putrinya. "Iya benar, Pak. Aurel, beliau ini Pak Dana yang ayah ceritakan."

Aurelia menunduk hormat dan menyalami Dana. "Selamat malam, Om. Saya Aurelia."

Dana nampak terkesan dengan gerakan Aurelia yang lemah gemulai. Pastilah wanita ini tipikal wanita lembut yang disukai kebanyakan pria. Cantik pula. Dia merasa bersyukur. Membayangkan jika wanita seperti ini menjadi menantunya, alangkah beruntungnya.

"Aurelia, kenalkan, ini putra Om, Yoga," kata Dana.

Wanita itu tersenyum manis pada Yoga, dan Yoga membalas senyumnya. "Selamat malam, Yoga," sapa Aurelia. 
 

Yoga baru saja akan menyodorkan tangannya, tapi rupanya Aurelia lebih dulu memberikan punggung tangannya. Yoga memahami gesture itu. Khas bangsawan wanita. Dia menerima tangan wanita itu, membungkukkan tubuh dan dengan anggun mencium tangan Aurelia. "Selamat malam, Nona Aurelia."

Dana dan Jimmy nampak senang dengan pemandangan itu. Jimmy yang pertama berkomentar. "Wah wah. Kelihatannya mereka bakal cocok."

Dana tertawa pelan. "Iya, Pak. Putri Bapak cantik sekali. Pasti mirip Ibunya."

Mendengar nama 'Ibu' disebut, Yoga menyadari raut wajah Aurelia mendadak berubah. Hanya sedetik, lalu dia membuang muka ke arah lain.

"Ah bisa saja Pak Dana. Putra Bapak malah lebih ganteng dari di foto. Menurun dari ayahnya," puji Jimmy.

"Ah Pak Jimmy berlebihan," kata Dana. Mereka tertawa. Dana mengarahkan mereka untuk masuk ke dalam ruangan pesta. "Ayo mari, Pak. Kita ngobrol sambil duduk di dalam. Meja sudah disiapkan."

Dana membiarkan Jimmy dan putrinya memasuki ruangan pesta lebih dulu. Saat dia dan Yoga menyusul, Dana mengedipkan mata seraya mengacungkan jempol pada Yoga. Pertanda 'Good job, my son! Lanjutkan!'

Sementara Yoga hanya membalasnya dengan mata memicing sinis. Dia menghela napas.

Semoga 'sandiwara' ini segera selesai.

.

.

Hidangan super mewah telah tersaji di meja berlapis taplak putih. Lobster, sup asparagus, daging asap dan steak panggang. Seperti biasa, porsi makan orang kaya selalu lebih banyak dari yang diperlukan. Dan berhubung mereka makan sedikit, bisa dipastikan makanan yang tersisa akan cukup banyak.

Selama beberapa saat, hanya terdengar dentingan sendok garpu di atas piring. 
 

Dana yang memulai percakapan. "Kalau boleh tau, Aurelia kuliahnya jurusan apa ya?" Dana bertanya sambil melirik bergantian ke Jimmy dan putrinya.

Jimmy yang segera menjawabnya. "Aurel lulusan Sastra Perancis. Dia memang gak ada minat ke bisnis, Pak. Jadi nanti yang take over perusahaan, kakaknya yang laki-laki."

"Ooh gitu. Iya, sih. Kalau perempuan, 'kan bisa fokus ke keluarga lebih baik ya, Pak," kata Dana.
 

"Betul betul. Makanya saya selalu bilang sama Aurel, supaya dia cepet nikah. Biar saya juga bisa momong cucu. Bukan begitu, Pak Dana?" Komentar itu disambut derai tawa mereka. Aurelia hanya tersenyum dengan anggun. Sementara Yoga tersenyum kaku.

HEH?? ANAK?? CUCU? Kenapa bahas itu sekarang?? Baru juga ketemu! misuh Yoga dalam hati.

Dana dan Jimmy nampak asik dengan diskusi mereka. Aurelia perlahan melahap makanan di piringnya dan sesekali menimpali dengan senyum manis. Yoga mulai 'gerah' dengan pertemuan ini. Dia berpikir harus cepat-cepat menyelesaikan makannya. Setelah itu, dia akan cari alasan untuk bisa 'kabur' dari tempat ini.

Saat makanan di piring Yoga hampir habis, meja mereka didatangi dua orang pria yang ternyata adalah rekan kerja Dana dan Jimmy. 
 

"Pak Jonny dan Pak Siregar, datang juga ternyata? Wah sudah lama kita gak ngumpul, Pak," sapa Dana.

"Iya nih. Lama gak brain storming. Saya pingin diskusi bisnis sama Pak mentor Danadyaksa. Ayo Pak kita ngobrol, yuk," kata salah satu dari mereka. 
 

Menyadari ada Yoga dan Aurelia di meja itu, mereka merasa tidak enak. "Oh maaf mengganggu. Saya gak tau kalau sedang ada pertemuan keluarga."

Yoga segera melihat celah untuk kabur. Dia berdiri dari kursinya sambil merapikan jas dengan elegan. "Jangan khawatir, Bapak-bapak. Tidak mengganggu, kok. Saya kebetulan mau cari udara segar di balkon. Silakan duduk di sini. Masih ada kursi kosong."

Mereka menatap Yoga dengan tidak yakin. "Wah yang bener, nih? Saya jadi gak enak."

"Bener, kok. Silakan, Pak." Yoga menggeser kursinya ke arah luar, agar mereka bisa leluasa duduk.

Dengan pancaran mata kemenangan, Yoga menundukkan kepalanya sedikit, tanda berpamitan dengan ayahnya. "Ayah, aku ke balkon dulu, ya."

Dana tentu saja menyadari jalan pikiran anaknya. Yoga baru saja akan meninggalkan meja, saat Dana mendadak memanggilnya. "Tunggu, Yoga."

Panggilan itu membuat langkah kaki Yoga terhenti. "Ya, Ayah?" sahut Yoga menoleh ke ayahnya.

"Ajaklah Aurelia bersamamu ke balkon," kata Dana terdengar seperti perintah.

Mata Yoga melebar. "Hah?"

Pancaran kemenangan kini berpindah ke bola mata Dana. "Ya. Ajak Aurelia bersamamu. Supaya kalian bisa lebih akrab, ya 'kan?"

Menyadari Aurelia tengah menatapnya, Yoga segera merubah ekspresi kekecewaan di wajahnya, menjadi senyum palsunya yang biasanya. Kali ini agak sulit, tapi dia tetap berusaha tersenyum. "Baik, Ayah." 
 

Yoga menghampiri kursi Aurelia dan membungkukkan tubuhnya. Menawarkan tangannya untuk diapit. "Nona Aurelia, mau ikut saya ke balkon?"

Wanita itu tersenyum manis. "Dengan senang hati," jawabnya. Dia menerima uluran tangan Yoga dan mereka berjalan berdua bak pangeran dan putri raja di kisah Rose of Versailles. Orang-orang saling berbisik, mengomentari betapa mereka nampak serasi.

Sementara itu, hati Yoga kusut bukan main. Di belakangnya, Dana mengiringi kepergian mereka dengan senyum puas.

Kamu pikir bisa main kabur-kaburan denganku, bocah? batin Dana. 

Wajah Yoga nampak tenang di luar, namun berteriak di dalam. AYAAAAHHHHHH!!!! @#KZL!!!!!!! 

.

.
 

Tangan Aurelia masih mengamit lengan Yoga, saat mereka sampai di balkon. Balkon klasik itu diterangi cahaya lampu dinding berwarna kuning lembut.

Yoga terkejut saat tiba-tiba Aurelia melepas pegangan tangannya. Dia mengintip ke dalam ruangan pesta. Memastikan ayahnya dan Dana sedang super sibuk dengan rekan-rekan kerja mereka. Dan benar, sepertinya mereka sibuk mengobrol dan tidak memperhatikan ke arah balkon.

"Fiuh," hela wanita itu lega. Saat berbalik badan, Yoga sedang menatapnya heran. "Ngapain liat-liat?" Pertanyaan ketus itu membuat Yoga semakin kaget. Apa wanita ini adalah wanita yang sama dengan yang tadi dikenalkan Pak Jimmy?

Wanita itu mengarahkan jari telunjuk ke Yoga. "Kamu. Ambilkan aku kursi. Aku gak mau berdiri di balkon. Pegel, tau!"

Alis Yoga berkerut. Gengsinya tersulut. Apa?? Aku? Seorang Yoga Pratama, diperintah untuk mengambil kursi?? 

Ekspresi herannya kini berganti dengan sinis. "Kamu aja sana, ambil kursi sendiri! Emang kamu pikir aku siapa, hah? Pelayanmu?"

Aurelia melengos. "Huh oke. Kalo gitu, aku akan bilang pada Om Dana, kalau kamu gak mau ngambilin aku kursi. Kok bisa ya ada laki-laki yang nolak permintaan tolong dari seorang perempuan lemah seperti aku? Payah. Gak gentle banget."

Mata Yoga terbelalak.

Dia berani mengancamku?? 

.

.

***
 

Bagian 55 (Life Goes On) 

.

.

"Aku mengerti perasaanmu, tapi, bersenang-senang dengan apa yang kamu sebut dengan 'pelarian' itu, tidak akan bisa memberimu ketenangan. 
 

Itu hanya akan menenggelamkanmu dengan cara yang lain."

.

.

***
 

Tatapan Yoga mulai nampak galak seolah taring muncul dari bibirnya. Tangannya mengepal dengan sendirinya. Dia berusaha mengatur napas, menjaga emosi.

Astaghfirullah. Aku gak boleh marah. Gak boleh. Jangan terpancing dengan wanita iblis bermuka dua ini. 

Tanpa sepatah kata pun, Yoga meninggalkan balkon dan masuk ke ruangan pesta. Tak lama, dia muncul ke balkon bersama seorang staf gedung yang berseragam kemeja putih dan rompi hitam. Staf itulah yang mengangkat kursi.

"Saya taruh di mana, Pak?" tanya pria muda berusia awal 20-an tahun itu.

Yoga menunjuk pojok kiri balkon. "Letakkan saja di situ."

"Baik, Pak." Dia menurunkan kursi yang diangkatnya dengan hati-hati. Sementara Yoga tersenyum angkuh ke arah Aurelia.

"Sudah, Pak. Ada lagi yang bisa saya bantu?" tanya pelayan itu sopan.

Yoga mengeluarkan selembar uang dari dompetnya. "Sudah, itu saja. Terima kasih. Ini tip buatmu."

Pria itu nampak senang. "Terima kasih, Pak. Permisi." Pria itu pergi meninggalkan mereka berdua di balkon.

Aurelia menatap Yoga dengan tajam. Jelas dia lebih berharap Yoga yang mengangkat kursi untuknya.

Yoga berjalan ke belakang kursi dan menyentuh sandaran kursi. Dengan sikap hormat yang dibuat-buat seolah meledek, dia sedikit membungkukkan badannya. "Silakan duduk, tuan putri Aurelia."

Wanita itu menghampiri kursi dan duduk sambil kesal. Dia menyilangkan kaki kanan di atas kaki kirinya dengan cuek, hingga roknya sedikit tersingkap. Rok yang semestinya panjang itu, kini naik hingga sedikit di atas lutut.

Yoga refleks membuang pandangannya ke arah lain. Aurelia segera menyadarinya. "Kenapa kamu? Ada masalah dengan cara dudukku? Kayak belum pernah liat kaki perempuan aja."

"Bukan urusanmu. Terserahku mau liat ke mana," sahut Yoga.
 

Aurelia mengangkat alisnya karena masih heran dengan reaksi Yoga barusan. Dia menghela napas dan membuka tas mungilnya. Mengeluarkan sebatang rokok dan pemantik.

Suara pemantik saat Aurelia menyalakan ujung batang rokok itu membuat Yoga menoleh. Wanita yang beberapa saat lalu dia nilai berkarakter polos dan lembut itu, kini tengah menghisap asap rokok dan mengembuskannya ke udara. Untung bagi Yoga, arah angin tidak sedang bertiup ke arahnya. Walau Yoga tidak punya alergi apapun, dia tidak pernah suka dengan asap rokok.

Yoga mengernyitkan dahi. Mulai menebak-nebak. Apa wanita di sampingnya ini punya kelainan jiwa? Semacam kepribadian ganda?

"Ngapain liat-liat? Ada masalah sama perokok?" ucap Aurelia ketus.
 

Yoga tidak menjawab. Dia berusaha tak acuh dan kembali melempar pandangannya ke arah jalanan di bawah balkon. Balkon itu sunyi untuk beberapa saat. Mereka hanya ditemani angin malam dan kepulan asap rokok yang terbang menjauh.

"Aku akan langsung saja, Yoga Pratama. Pertama, aku gak berminat untuk dijodohkan dengan siapapun, termasuk kamu. Dan sekalipun aktingmu lumayan, kamu tidak bisa menipuku. Kamu juga gak mau dijodohkan denganku. Iya, 'kan?" 

Yoga melotot ke arahnya. Pandangan mereka bertemu. Aurelia tersenyum sinis. "Ayahku tidak tahan melihat kelakuanku yang menurut ukurannya, terlalu liar. Well, mungkin itu ada benarnya. Aku gak peduli." Dia menarik napas dan mengembuskannya bersamaan dengan asap rokok. "Tapi, seburuk apapun aku, sebenarnya aku gak tega melihat ayahku sedih. Jadi aku pura-pura jadi anak penurut malam ini."

"Dan kulihat, ayahmu juga sama, 'kan? Dia kelihatannya begitu semangat ingin melihatmu menikah. Kamu sendiri, datang ke sini malam ini, dengan alasan yang sama denganku, 'kan? Cuma untuk bikin ayahmu senang. Apa tebakanku benar?"

Yoga diam tak menjawab. Untuk Aurelia, raut wajah Yoga sudah cukup untuk menjadi jawaban. Dia tersenyum. "Bagaimana kalau kita bikin kesepakatan, Yoga?"

Setelah lama diam, akhirnya Yoga merespon. "Kesepakatan apa?"

"Gimana kalau kita pura-pura jadian?"

"Hah??" sahut Yoga dengan kernyitan di alisnya.
 

"Tenang. Cuma sampai tunangan aja. Nanti kita bikin drama yang judulnya 'batal nikah'. Gampanglah, kita bisa cari alasannya. Cuma supaya mereka agak tenang sedikit. Aku gak tahan tiap hari diceramahi soal pernikahan."

Yoga kembali memberikan Aurelia tatapan heran. Dia sungguh tak bisa mengikuti jalan pikiran wanita di hadapannya ini.

"Untuk apa kalau akhirnya kita bakal putus? Bukannya nanti setelah sempat tunangan lalu putus, malah bakal bikin mereka makin sedih? Ide yang aneh."

Aurelia mengangkat bahunya sambil mencibir. "Well, kalo gitu, sampe nikah aja gimana?"

"HAHHH??" pekik Yoga syok.
 

Teriakan Yoga membuat Aurelia sedikit panik dan melirik ke arah ruang pesta. "Pssst!!! Gak usah teriak gitu, kenapa?? Nanti mereka malah ke sini!"

Yoga menggeleng sambil menyentuh keningnya. "Sampai nikah, gimana maksudmu?"

Aurelia sudah kembali rileks. Dia menjawab dengan tenang seolah pembicaraan ini tak ada artinya untuknya. "Iya. Maksudku, kita nikah aja. Tapi gak ngapa-ngapain. Aku punya beberapa pacar, tapi semuanya binal dan gak ada satupun yang ayahku suka. Kalo sama kamu, jelas ayahku pasti suka. Kamu tenang aja, Yoga. Kamu bisa tetap bebas seperti pria single. Kamu bisa ngapain aja, sama siapa aja, aku gak peduli. Nanti setelah, ... hm -- say -- 1 atau 2 tahun, kita tinggal cerai aja. Selesai."

Mata Yoga terbelalak. Apa yang di hadapannya saat ini benar-benar manusia?

Aurelia tersenyum santai. "Gimana? Deal?"

Yoga mengembuskan napas berat. "Maaf, cara pandang kita tentang pernikahan, jelas beda jauh. Buatku, pernikahan sesuatu yang sangat agung. Aku gak mau ikut rencana sintingmu itu."

Aurelia berhenti menghisap rokok. Batang rokok dia biarkan menggantung di sela jarinya, dan asapnya terbang menjauh dari mereka berdua. "Benarkah? Pernikahan adalah sesuatu yang agung buatmu? Lalu kenapa kamu belum nikah juga sampai sekarang?"

Yoga membuang muka. "Bukan urusanmu."

Mereka terdiam. Aurelia nampak berpikir keras. "Apa itu ada kaitannya dengan mantan pacarmu yang bernama Christy?"

Mendengar nama Christy disebut, Yoga merasa risih. "Jangan sebut nama itu! Aku gak mau dengar namanya lagi!" Yoga tidak heran Aurelia bisa tahu. Saat itu rumor buruk antara dia dan Christy sukses diliput media, bukan hanya berupa foto, tapi bahkan video pertengkaran Yoga dan Christy, viral di y*utube dan tersebar di berbagai medsos.

Aurelia tersenyum nakal. "Christy Christy Christy!" ulang wanita itu sengaja.

Urat marah mulai muncul di kening Yoga. "AKU BILANG JANGAN SEBUT NAMA ITU!!!"

Wanita itu tertawa terpingkal. "HA HA HA!!! Ternyata kamu lucu sekali, Yoga!"

Yoga jengkel setengah mati pada manusia di sampingnya. Kenapa? Tuhan, kenapa bisa ada makhluk seperti dia? 

Setelah Aurelia puas dengan tawanya, dia kembali bertanya. "Apa benar karena dia?"

Yoga menjawab singkat. Berharap Aurelia akan diam setelah dia menjawab. "Bukan. Bukan karena wanita sial itu."

Mendengar jawaban itu, Aurelia diam sejenak. "Owh. I see. Bukan karena dia. Tapi karena wanita yang lain. Mungkin lebih tepatnya, mantanmu yang lain."

Yoga menutup kedua matanya dan menarik napas. "Sudah. Cukup, Aurelia. Jangan pancing amarahku."

Yang diajak bicara nampak tidak terpengaruh sama sekali dengan emosi Yoga yang bagai kawah gunung berapi yang siap meledak. Dia kembali menghisap rokoknya dan mengembuskan asapnya. "Anyway, santai aja. Panggil aku Aurel juga boleh."

Melihat Aurelia begitu rileks, Yoga semakin kesal. Wanita ini ... apa akal sehatnya sudah mati?? Selain tidak sopan, dia juga gak ada takutnya sama sekali padaku! 

"Gak perlu menyalahkan orang lain! Memangnya kamu sendiri gimana? Kamu sendiri juga belum nikah sampai sekarang, 'kan? Padahal usia kita cuma beda setahun!" kata Yoga.
 

Mendengar pertanyaan Yoga yang membalikkan lagi pertanyaan tentang pernikahan, membuat wanita itu terdiam. Dia menjatuhkan batang rokok dan menginjaknya dengan hak sepatu. Yoga memperhatikan benda yang kini menjadi sampah di lantai. Satu lagi penyebab ketidaksukaannya pada perokok. Kebiasaan membuang puntung rokok seenaknya seolah dunia bagi mereka adalah tempat sampah raksasa.

"Alasanku belum nikah sampai sekarang? Kamu benar-benar mau tahu?" tanya Aurel terdengar menantang.
 

Yoga tidak menjawab. Ekspresi wanita itu berubah menjadi lebih serius. Angin malam membuat helai rambut panjang Aurelia menyentuh pipinya dan membuat matanya menyipit.
 

"Karena aku sudah memahami, bahwa pernikahan adalah omong kosong," imbuh Aurel.

Jawaban itu membuat Yoga heran. Setaunya, ayah dan ibu Aurelia hingga saat ini masih menikah. Tidak seperti orang tuanya yang pernikahannya sudah lama bubar.

Keheranan itu ditangkap oleh Aurelia. Dia meneruskan penjelasannya. "Ibuku selingkuh. Aku memergoki perselingkuhan itu dengan mata kepalaku sendiri. Aku memaksa masuk ke dalam kamar hotel yang mereka booking. Selera Ibu sangat rendah. Selingkuhannya adalah seorang laki-laki bayaran. Sungguh menjijikkan."

Raut wajah Yoga berubah simpati. Sekalipun Aurelia berusaha menampakkan ekspresi dingin, tapi Yoga tetap bisa menangkap kesedihan dalam suaranya.

Aku mengerti sekarang. Semua orang punya porsi cobaan masing-masing. Bahkan seorang wanita urakan yang sinting seperti Aurelia. 

Aurelia menghela napas. Ini pertama kalinya dia menceritakan hal yang sangat pribadi. Sekalipun dia punya teman-teman wanita sesama sosialita, tak ada yang membuatnya merasa cukup nyaman untuk menceritakan hal yang sebenarnya adalah aib keluarga. Tapi entah kenapa di depan laki-laki yang baru ditemuinya ini, dia merasa bisa menceritakannya. Dadanya terasa lebih lapang. Lega rasanya, seperti baru saja menurunkan beban berat yang selama ini dipikulnya sendirian.

"Ayahku tidak tahu tentang perselingkuhan itu. Ibu memohon padaku untuk tutup mulut. Saat aku tanya padanya, kenapa dia melakukan itu, tebak apa jawabannya."

Mereka sama-sama diam beberapa saat. Lalu Aurelia melanjutkan kalimatnya. "Dia bilang, dia sudah lama tidak cinta lagi pada Ayahku. Dia sudah lama kehilangan rasa itu. Dan karena kekosongan di dalam hatinya, dia melakukan hal yang menjijikkan itu."

Aurelia mempertemukan ujung ibu jari dan jari tengah ke udara. "Awalnya, rasa cinta itu ada. Lalu --" Dia menjentikkan jarinya hingga berbunyi. "Suatu hari, rasa itu menghilang. Just like that."

Yoga masih diam. Menyadari beratnya beban percakapan ini, dia khawatir melontarkan kata-kata yang salah.

Wanita di hadapannya tersenyum getir. "Dan itulah pernikahan, yang kamu bilang sebagai sesuatu yang agung. Semuanya ... omong kosong."

Sunyi kembali menyergap mereka. Yoga akhirnya bicara. "Kenapa Ibumu tidak memilih perceraian?"

Bibir Aurelia melengkung ke bawah dan bahunya naik seolah mencibir. "Alasan standar. Karena 'demi anak-anak'. Padahal aku dan kedua kakakku sudah dewasa. Aku yakin kami akan bisa menerimanya, jika memang perceraian itu lebih baik untuk kami semua. Sejujurnya, aku mulai meragukan alasan itu. Aku rasa bukan itu alasannya."
 

Aurelia menggesek jemarinya sebagai isyarat. "Mungkin karena uang? Entahlah."
 

Aurelia berdiri dari kursi dan melepaskan tatapan kosong ke bawah balkon. "Ibumu lebih baik dari Ibuku, Yoga."
 

Mendengar Ibunya disebut-sebut, Yoga menoleh terkejut ke arahnya. 
 

"Aku sudah dengar tentang Ibumu, Claire. Kamu mungkin membenci Ibumu karena dia pergi meninggalkan rumah. Tapi Yoga, yang dia lakukan tetap lebih baik dari apa yang dilakukan Ibuku."
 

Yoga nampak enggan membahas Ibunya. "Siapa bilang aku membenci Ibuku? Jangan sok tahu." 
 

Aurelia tersenyum mengejek. "Oh aku salah, ya? Baiklah, kamu tidak benci Ibumu. Kamu cuma kecewa karena dia pergi begitu saja."
 

Yoga kembali dibuat kesal. "Sudah. Cukup. Silakan kalau mau cerita tentang Ibumu, tapi jangan bawa-bawa Ibuku."
 

Aurelia tertawa. "Oke oke, maaf. Aku gak akan bahas Ibumu lagi."
 

Mereka berdiri dalam diam. Yoga mendadak menyadari sesuatu. Mereka berdua sama-sama berasal dari golongan orang kaya. Sama-sama terjebak di tengah pesta sosialita yang tidak mereka suka. Dan satu persamaan lagi, mereka sebenarnya merindukan kasih sayang seorang Ibu. 
 

Namun kenyataan sama sekali berbeda dengan apa yang mereka harapkan. Sungguh, kalimat 'Uang tak bisa membeli kebahagiaan', terasa begitu picisan, hingga seseorang mengalaminya sendiri.
 

Yoga menunduk sesaat sebelum bicara. "Maaf. Aku ikut prihatin. Aku mengerti kalau kamu merasa perlu pelarian untuk masalahmu itu. Aku mengerti perasaanmu, tapi, bersenang-senang dengan apa yang kamu sebut dengan 'pelarian' itu, tidak akan bisa memberimu ketenangan. Itu hanya akan menenggelamkanmu dengan cara yang lain."

Alis Aurelia berkerut mendengarnya.

"Sebab hanya dengan mengingat Allah, hati menjadi tenang," lanjut Yoga.

Kutipan ayat Al-Qur'an itu malah membuat Aurelia semakin heran. "Hah?" sahutnya.

"Aku serius prihatin dengan masalahmu. Semoga kamu bisa melaluinya dengan baik. Tapi maaf, aku tidak mau ikut dengan rencana pura-pura menikahmu itu. Setelah mendengar yang kamu ceritakan barusan, aku tetap yakin pada pendirianku. Bahwa pernikahan adalah sesuatu yang sakral. Karena sumpah pernikahan, adalah sumpah di hadapan Tuhan. Terserah kalau kamu mau berpikir aku kolot."

Aurelia masih nampak syok. Dari tadi dia berusaha meyakinkan pendengarannya masih normal. Benarkah ini? Seorang Yoga Pratama yang dulunya terkenal playboy itu, kini di hadapannya bicara tentang mengingat Allah?

"Sejak awal aku datang ke sini karena berusaha menjaga perasaan ayahku. Aku tau dia berusaha keras mengatur pertemuan kita malam ini. Tapi aku tidak terpikir untuk menjalin hubungan serius dengan siapapun, setidaknya saat ini."

Yoga memunggungi Aurelia dan bersiap pergi dari balkon. "Aku pergi dulu. Jaga dirimu baik-baik. Assalamualaikum." 

Setelah Yoga melangkah beberapa detik, Aurelia tersadar dari keheranannya. "HE-HEI!!! Kamu mau ke mana?"

"Mau pamit sebentar sama ayahmu. Aku akan menunggu ayahku di mobil saja."

Jawaban itu kembali membuat Aurelia terdiam. Yoga kembali memunggunginya, tapi kemudian dia berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. "Oh ya. Saranku, cepatlah bertaubat."

Mata Aurelia melotot mendengarnya. Bertaubat?

"Ya. Mumpung masih hidup. Dan lagi, kiamat sudah dekat," kata Yoga tersenyum dan pergi melambaikan tangan tanpa melihat ke belakang. Meninggalkan Aurelia yang terbengong-bengong di balkon.

HAHHH?? APAAN ITU BARUSAN? TOBAT?? KIAMAT?? APA DIA KIAI ATAU USTAD?? 
 

.

.
 

***

Bagian 56 (Life Goes On)

.

.
 

Ada banyak hal yang membuat dua orang tidak bisa lagi bersama. Cinta tidak se-sederhana itu.

.

.

***

Yoga dan Dana duduk bersebelahan di kursi belakang mobil limosin hitam yang tengah melaju di jalan raya. Dilihat dari ekspresi wajahnya, Dana jelas kelihatan tidak senang.

"Ayah gak percaya kamu mendadak pamit di tengah pertemuan tadi. Kamu bahkan kembali ke meja kita tanpa membawa Aurelia bersamamu. Ayah malu sekali sama Pak Jimmy!" kata Dana jengkel.

Yoga terdiam sambil menatap ke luar kaca mobil di sampingnya.

"Maaf, Yah. Setelah bicara dengan Aurelia, aku menyadari kalau kami gak ada kecocokan. Lagi pula, aku jenuh sekali dengan suasana pesta. Hampir dua jam kita di sana."

Jawaban itu membuat Dana semakin kesal. "Kamu gak bisa mengambil kesimpulan secepat itu! Bagaimana bisa tahu kalau kalian gak bakal cocok, cuma dari obrolan singkat?"

"Obrolan singkat itu sudah cukup buatku," jelas Yoga.

Dana menggelengkan kepala. "Ayah bener-bener gak habis pikir. Apa kamu tahu, berapa banyak waktu ayah dan Bastian terbuang, untuk mengatur pertemuan kalian malam ini? Berapa hari libur yang kami korbankan, untuk menseleksi calon pasangan buat kamu??"

Yoga menjawab singkat, "tapi, aku 'kan gak pernah minta."

Tangan Dana mulai digunakannya untuk menopang kening. Menahan sakit kepala. "Kamu harus ingat, Yoga! Usiamu makin lama makin bertambah. Coba lihat, berapa banyak temanmu yang sudah menikah?? Yang satu angkatan sama kamu, semuanya sudah menikah! Dan banyak diantara mereka yang sudah punya anak!"

Bola mata Yoga mulai mengerling ke atas.

Oh Tuhan. Mulai lagi ceramah ini, batin Yoga.

Yoga menutup daun telinganya dengan kedua tangan. "LAAA LAA  LAAA! AKU GAK DENGEER! AKU GAK DENGEEERR!!" pekik Yoga.

Reaksi itu membuat Dana murka. Dia memaksa Yoga membuka sumbatan telinganya dan menjewer telinga kanannya.

"ADUHHH!!!" rintih Yoga.

"DENGERIN KALO ORANG TUA NGOMONG!!!" bentak Dana gemas.

Sementara supir pribadi berkaca mata hitam yang sedang menyetir di kursi depan, berusaha menahan tawanya. Sekalipun dia tidak berani mengintip melalui kaca spion, dia bisa membayangkan drama komedi keluarga yang tengah terjadi di kursi belakang mobil.

Yoga mengusap telinganya yang kini berubah warna menjadi agak kemerahan. "Ayah! Kenapa sih aku dijewer?? Emangnya aku anak kecil, apa??"

Dana mengacungkan jari telunjuk ke wajah Yoga. "KAMU MEMANG ANAK KECIL!! KAMU ITU ANAK KECIL YANG TERJEBAK DI TUBUH ORANG DEWASA!!"

Yoga melotot mendengarnya. "Gak pernah ada tuh yang bilang aku kayak gitu! Cuman Ayah aja!"

Dana tersenyum sinis. "Huh. Tunggu aja sampe nanti ada yang bilang kayak gitu. PERSIS kayak apa yang ayah bilang tadi!"

Yoga melengos dan kembali melemparkan pandangan ke jalanan. Mobil perlahan berhenti karena terkena antrian lampu merah di perempatan jalan. Seorang anak laki-laki yang usianya kisaran kelas 3 SD, menghampiri pintu depan di dekat supir. Dia mengeluarkan kerincingan dan mulai mengamen. Bernyanyi entah lagu apa.

Dana memberi instruksi pada supir. "Usir aja dia!"

Yoga menoleh ke ayahnya, dengan raut wajah tidak suka.

Dana berusaha menjelaskan cara pikirnya. "Orang-orang itu cuma mau pake cara males buat cari uang. Kita harus kasih mereka pelajaran, bahwa kalo mau kaya itu harus kerja keras!"

Supir di depan mengangguk. "Baik Tuan besar."

"Tunggu!" Yoga membuat pak supir membatalkan isyarat tangannya untuk mengusir pengamen itu.

"Ya Tuan muda?" sahut sang supir.

Dengan cepat Yoga mengeluarkan selembar uang dari dompetnya dan memberikannya pada supirnya. "Ini. Kasih ke dia."

Supir itu menerima selembar uang dari Yoga dengan tatapan tidak yakin. "Mm ... anu, Tuan Muda. Apa Tuan tidak salah lihat? Apa ini gak terlalu banyak untuk dia?"

Yoga kembali melempar pandangan ke luar kaca. "Gak. Kasih aja," jawab Yoga mantap.
 

"Baik, Tuan Muda," kata supirnya patuh. Kaca mobil depan diturunkan sedikit, dan supir itu memberikan selembar uang yang nilainya tidak lazim diberikan pada pengamen. 
 

"Ma-makasih, Om!!" seru anak itu tersenyum girang dan berlari menjauhi mobil mereka.

Dana nampak terheran-heran. "Yoga, kamu boros banget kasih segitu buat anak itu!! Kamu harus tahu, yang kamu lakukan itu, sama sekali gak mendidik mereka!" protes Dana.

Yoga menoleh. "Ayah, apa kita jadi miskin karena ngasih mereka uang itu?" tanya Yoga.

Alis ayahnya meninggi. Tentu saja, mereka sama-sama tahu, uang itu tak ada artinya dibanding semua harta yang mereka miliki.

Yoga tidak menunggu jawaban dari ayahnya. "Enggak, 'kan? Kita gak jadi miskin cuma karena kasih dia uang itu. Ya sudah. Kasih ajalah kenapa, sih?"

Mata ayahnya memicing. Seolah tidak yakin. Apa ini Yoga yang sama dengan yang selama ini dia didik? Ke mana semua pandangan tentang pola pikir orang miskin, yang selama ini dia tanamkan sejak Yoga kecil?

Lampu lalu lintas berubah menjadi kuning, lalu hijau. Mobil kembali melaju. Dan Yoga kembali menghindari tatap muka dengan ayahnya. Dia lebih suka melihat ke jalanan kota di malam hari.

Peristiwa dengan anak pengamen barusan, mengingatkan Yoga pada kata-kata pimpinan Majelis, yang di salah satu ceramahnya mengingatkan untuk memberi, terutama saat di hadapan kita ada orang yang meminta. Anak pengamen itu memang bukan pengemis, namun dia berharap orang akan memberinya karena lagu yang dinyanyikannya.

Sudah 9 bulan sejak Yoga rutin hadir ke majelis. Dia sudah mulai terbiasa dengan bacaan ratib, maulid dan selawat. Walau dia hanya melakukannya di majelis saja. Sementara di kantor dan rumah, dia baru berusaha rutin salat wajib, salat sunah Dhuha dan zikir. Salat sunah yang lainnya belum dikerjakannya dengan alasan klasik. Sibuk, dan saat malam hari, lelah dan ngantuk menyerang.

Walaupun jika dibandingkan dengan orang-orang majelis selain dirinya, Yoga tidak merasa menjadi orang yang rajin beribadah, tapi dia memang merasa lebih tenang. Hidup terasa lebih 'terarah'. Setiap usai pengajian hari Rabu malam, dia akan berusaha menjaga dirinya dari maksiat, hingga tiba waktu pengajian berikutnya hari Sabtu. Lalu begitu juga halnya dari hari hari Sabtu ke hari Rabu. Karena dia merasa malu jika hadir ke majelis dengan membawa jejak kotoran maksiat di anggota tubuhnya. Kajian rutin di majelis, menjadi sesuatu yang ditunggunya. Saat memasuki masjid itu, rasanya seperti memasuki dunia yang sama sekali berbeda dengan kesehariannya. Lama-kelamaan tumbuh rasa kasih sayang pada pimpinan majelis dan orang-orang yang sering ditemuinya di sana.

Hanya saja ada hal yang masih sulit dihindarinya : bersentuhan dengan perempuan yang bukan mahram. Yoga masih berat untuk mempraktekkan itu. Urusan kantor dan urusan seperti pertemuan barusan dengan Aurelia, membuat dia merasa, suka tidak suka, tetap harus melakukannya. Kadang dia merasa, itu hanya alasan yang dicari-carinya. Alasan sebenarnya kenapa dia masih belum bisa melakukannya adalah, karena imannya yang masih lemah. Dan karena pendapat orang lain tentang dirinya, masih menempati porsi besar dalam prioritasnya.

Di majelis, Yoga selalu duduk di deretan belakang. Dan biasanya Rizky selalu duduk di sampingnya. Namun sekalipun dia ada di deretan belakang, beberapa kali saat ceramah, dia mendapati pimpinan majelis berkontak mata dengannya. Hanya satu atau dua detik, lalu beliau tersenyum padanya. Senyum yang menyejukkan hati. Sekalipun Yoga sudah sering memimpin banyak rapat, dan bernegosiasi dengan petinggi perusahaan, berhadapan dengan orang-orang kaya terpandang, tapi dia merasa tidak sanggup berlama-lama menatap beliau. Ada rasa malu, seolah tatapan beliau sanggup tembus melihat ke hatinya. Hatinya yang masih kotor. Dia takut, akan apa yang mungkin dilihat beliau pada dirinya.

Yoga menyadari bahwa majelis zikir telah menjadi tempat bernaung bagi jiwanya yang kering. Dan siramannya setiap minggu, membuatnya sanggup melewati dari satu minggu ke minggu berikutnya, dan dari bulan ke bulan berikutnya. Maka dia tidak pernah pelit memberi sumbangan di kotak amal. Yoga seringkali sengaja datang lebih awal, atau pulang lebih akhir, untuk memasukkan uang yang jumlahnya tidak sedikit, ke dalam kotak amal masjid. Sedekah sembunyi-sembunyi. Amal yang menurut pimpinan majelis, bisa menghapus dosa.

Mata Yoga masih menyusuri sekelibatan lampu-lampu kota di jalanan. Dia mengingat bagaimana awal dari kunjungan pertamanya ke majelis. Saat itu dia merasa hatinya tersiksa karena belum juga bisa merelakan Erika. Dan sekarang, setelah 9 bulan hadir di majelis, sekalipun dia merasa lebih sanggup melewati hari-harinya, tapi dia menyadari bahwa dia masih menyimpan harapan itu. Harapan untuk bisa memiliki dia. Erika.

Di 3 bulan pertama setelah reuni, Yoga berharap Erika akan menghubunginya. Tapi itu tidak terjadi. Tidak sekalipun. Meskipun setiap ponselnya berbunyi, dia selalu berharap itu dari Erika. Dia bertanya-tanya, mungkinkah Erika sudah membuang kartu nama darinya?.

Lalu sejak Yoga mulai mendekat ke majelis, dia tidak berani berharap Erika menghubunginya. Sekalipun Erika benar menghubungi dia, lalu apa? Mereka janjian? Bukankah itu sama artinya dengan berselingkuh dengannya di belakang suaminya? Dia takut. Takut dengan dosa. Sudah begitu banyak dosa dikumpulkannya dulu saat dia berpacaran dengan beragam wanita. Sudah cukup. Dia tidak mau lagi menambah kotoran di hatinya.

Yoga menopang dagunya dengan tangan. Tenggelam dalam lamunan.

Life goes on.

Orang bilang, perasaan akan hilang, jika lama tak saling jumpa.

Benarkah itu? Benarkah akan datang hari dimana aku akan melupakanmu sepenuhnya, Erika?

Dana memperhatikan putranya yang sedang sibuk dengan pikirannya sendiri. Dia menghela napas. "Yoga, kamu masih belum bisa melupakan dia?" 

Yoga terkesiap dan menoleh ke ayahnya. "Hah??"

Dana memberinya tatapan lelah. "Dia. Perempuan yang namanya kamu sebut, waktu kamu kesurupan dulu. Siapa namanya? Erika?"

Wajah Yoga merona karena malu. Dia segera salah tingkah, bercampur kesal. "Apaan sih Yah?? Siapa juga yang kesurupan??"

"Kamu 'kan dulu sampe pecahin semua barang-barang! Itu kalo bukan kesurupan, apa namanya??"

Yoga membuang muka dan diam tak menjawab.

"Sudahlah. Lupakan saja dia. Kamu harus melihat ke depan dan menjalani hidupmu. Move on, lah. Mau sampai kapan kamu begini?" kata Dana mulai memberi ceramahnya.
 

Mata Yoga berubah sayu. Barusan tadi di balkon, melalui Aurelia, dia belajar sesuatu. Ternyata, cinta bisa pudar. Cinta bisa hilang. Yang menempatkan perasaan itu di dalam hati adalah Tuhan. Dan jika Tuhan Berkehendak, perasaan juga bisa hilang. Seperti yang pernah dikatakan pimpinan Majelis. "Allah Maha Membolak-balikkan hati."

Buktinya, dia dulu tak pernah membayangkan Erika akan meninggalkannya. Dan saat bertemu kembali dengan Erika sepuluh tahun kemudian, dia juga tak pernah menyangka kalau Erika ternyata masih memendam rasa padanya. Tapi, itu setahun yang lalu saat reuni. Sekarang? Tak ada yang tahu.

Apakah cintanya padaku masih tersisa? Atau dia sudah melupakanku sepenuhnya, dan memulai lembaran baru kehidupannya bersama suami dan anak angkatnya?.

Yoga mendadak bicara setelah lama terdiam. "Ayah," panggil Yoga. Dana menoleh padanya.

"Apa Ayah masih mencintai Ibu?"

Pertanyaan yang tiba-tiba itu, membuat ayahnya terkejut dan salah tingkah. "Ngomong apa kamu? Jangan merubah topik. Kenapa jadi kamu yang nanya Ayah?"

Dengan ekspresi datar, Yoga kembali menegaskan pertanyaannya. "Sudahlah, Yah. Tolong dijawab aja. Apa Ayah masih cinta pada Ibu?"

Melihat keseriusan di mata Yoga, Dana menghembuskan napas. "Dia Ibumu. Biar bagaimanapun, dia adalah orang yang melahirkan kamu. Tentu saja Ayah sayang padanya."

Ini pertama kalinya mereka membahas Claire. Biasanya, topik ini adalah topik yang dihindari. Yoga tersenyum mendengar kejujuran dari ayahnya. "Seandainya Ibu kembali ke rumah, apa Ayah akan menerimanya lagi?"

Dana terdiam agak lama. "Tidak."

Jawaban itu membuat Yoga heran. Dana meneruskan kalimatnya. "Itu hal yang berbeda. Terus terang, Yoga. Walau Ayah mengakui telah melakukan hal yang salah pada Ibumu, tapi Ibumu juga telah melakukan kesalahan besar. Sebagai seorang istri, Ibumu tidak patuh pada suaminya. Dan kesalahan berikutnya, jangankan meminta maaf, dia bahkan pergi begitu saja. Meninggalkan suami dan anaknya yang masih kecil. Ayah tidak bisa menerima itu."

Dalam beberapa detik, tak ada yang bicara. Warna warni lampu kendaraan dan bangunan, berkelibatan, dan biasnya sesekali menerangi wajah mereka berdua.

"Cinta dalam dunia nyata, tidak sama seperti cinta di film-film picisan itu, Yoga. Ada banyak hal yang membuat dua orang tidak bisa lagi bersama. Cinta tidak sesederhana itu."

Kalimat terakhir dari ayahnya membekas dalam hatinya.

Ada banyak hal yang membuat dua orang tidak bisa lagi bersama. Cinta tidak se-sederhana itu.

Benar. Seandainyapun aku mendapat kesempatan bersatu kembali dengan Erika, apa aku mampu menjaga hubungan kami? Dahulu saat kami pernah bersama, berapa kali aku telah menyakiti hatinya? Apa dia mau menerimaku dengan tulus?

"Sudah! Jangan coba-coba mengalihkan perhatian! Kamu pikir ayah akan masuk jebakanmu?" omel Dana.
 

Yoga mengernyitkan dahi mendengar kata 'jebakan'. Memangnya dia mau menangkap tikus?

"Ini SANGAT PENTING, Yoga! SANGAT PENTING!! Kalau kamu tidak juga menikah dan punya keturunan, SIAPA yang akan mewarisi perusahaan kita?? Kamu sadar 'kan kalau total seluruh harta dan aset kita sudah bukan ratusan milyar lagi! Tapi TRILYUNAN!! TRILYUNAN, YOGA!! SIAPA YANG AKAN MEWARISI ITU SEMUA??" teriak Dana jengkel.

Pak supir di depan mengangkat alisnya hingga melewati batas kacamata hitamnya.

WUIH!! Tuan Besar, kalo bingung, kasih saya aja! Duit segitu kalau dibagi-bagi sama orang sekampung, langsung pada kaya mendadak berjamaah! batin pak supir. 
 

Yoga tersenyum jahil. "Gampang. Sumbang aja semuanya ke masjid."

Jawaban spontan itu membuat pak supir di depan kembali terkaget-kaget.

Udah GILA nih Tuan Muda!! jerit sang supir dalam hati.
 

Dana melotot. "HAHHH?? SUMBANG SEMUANYA?? KAMU UDAH GILA YA????"

Melihat ayahnya kaget, membuat Yoga tertawa puas. "HA HA HA!!! Iya, Yah. Sepertinya aku memang sudah GILA!!"

Setelah mengoceh panjang lebar tinggi, akhirnya Dana lebih tenang. Dia melonggarkan dasinya. Bicara dengan putra semata wayangnya yang rada aneh ini membuat dia merasa lelah. "Hahhh! Ayah capek ngurusin anak kayak kamu, tahu!! Sekali-kali nurut, kek! Kamu terima ajalah perjodohanmu sama Aurelia! Wanita cantik dan polos begitu, di zaman now ini udah susah carinya!"

Mendengar kata 'polos' diucapkan untuk menggambarkan wanita sinting yang baru ditemuinya tadi, membuat wajah Yoga pucat.

"Ayah," kata Yoga menatap Dana dengan penuh keseriusan sembari mencengkeram bahu ayahnya. "Malam ini aku mengalah dan datang menemui wanita pilihan Ayah. Tapi tolong jangan paksa aku menikahi dia, Yah. Kalau Ayah masih memaksa, Ayah bisa bunuh saja anak Ayah satu-satunya ini. Bunuh saja aku, Yah. Ketimbang aku harus hidup sama dia."

Dana terperanjat. "KALIAN NGOBROL APAAN SIH TADI DI BALKON??? EMANGNYA DIA SEGITU PARAHNYA??"

.

.
 

***

Bagian 57 (Menyambung Tali Yang Terputus)

.

.

Orang-orang saleh itu, punya tingkat kesadaran yang sangat tinggi tentang kematian. 
 

Hingga di setiap tarikan napas mereka, mereka selalu dalam keraguan, apakah mereka akan sanggup menarik satu napas lagi setelahnya?

.

.

***
 

Sejak tadi Yunan diam saja di dalam mobil. Fahan melirik sekejap ke arahnya. "Yunan, kamu mau denger radio atau musik apa gitu?" tanya Farhan. Mereka baru saja pulang dari kunjungan ke rumah lama Yunan. Persis sebelum berpamitan, Farhan mengamati  Yunan yang nampak berat hati meninggalkan Arisa.
 

Yunan yang tadinya sedang melihat ke jalanan, menolehkan wajahnya. "Oh? Musik? Maksudnya, kayak qasidah atau selawat?" 

Farhan agak kaget mendengar tebakan itu. Dia segera menyadari pertanyaan yang diajukannya adalah pertanyaan bodoh. Bagaimana dia bisa lupa kalau Yunan sejak kecil tidak pernah mendengar radio dan menonton televisi ? Bahkan di rumah barunya pun, Yunan lebih memilih mengunci diri di kamar ketimbang nonton televisi.

"Eh ... hmm. Enggak juga, sih. Agak ... beda. Eh beda banget, ding. Hihi," jawab Farhan gagal menahan rasa geli setelah mendengar respon Yunan. Betapa anak angkatnya ini SANGAT polos. Jika diibaratkan dengan kertas, Yunan adalah sebuah kertas putih kosong yang masih tersegel dan belum pernah ditorehkan coretan apapun.

"Dulu di masjid, suka nyanyi qasidah sih, bareng temen-temenku. Diajarin pak ustaz," jelas Yunan.

Farhan tersenyum. "Ntar deh ayah cari lagu qasidah sama selawat, ya. Sekarang, dari pada sepi banget, kita ngobrol aja yuk."

"Boleh, Yah. Mau ngobrol apa? Terserah ayah aja."

"Kalo gitu, ayah boleh nanya gak?" 
 

Yunan mengangguk tanda setuju.

"Temenmu yang namanya Arisa itu, dia keliatannya spesial buat kamu ya?"

Mata Yunan melotot dan segera salah tingkah karena pertanyaan itu. "Emm ... spesial itu maksudnya gimana Yah?"

"Yaa maksudnya spesial itu, beda dari yang lain."

"Ehm ... ya dia memang beda sih, Yah. Soalnya, dia satu-satunya temenku yang perempuan. Lainnya laki-laki semua."

"Ooh," sahut Farhan. Sunyi sesaat, sebelum Farhan melanjutkan pertanyaannya. "Cuma itu aja? Yakin nggak ada alasan lainnya?"

Wajah Yunan merah padam karena malu. "Ayah, apaan sih? Aku gak ngerti maksud Ayah apa."

Farhan tergelak. "HA HA!! Gak ngerti, tapi kok mukamu malu-malu gitu??" 
 

Yunan membuang muka ke arah jalanan. Penasaran, memangnya seperti apa ekspresinya sekarang? Tapi dia terlalu malu untuk bercermin di kaca spion.

Tawa Farhan reda. "Yunan Yunan. Kamu masih kecil. Hidupmu masih panjang, Yunan."

Kalimat itu membuat Yunan terdiam menundukkan wajahnya. "Dulu almarhumah Ibuku selalu mengingatkanku akan kematian," kata Yunan tiba-tiba.
 

Farhan melirik sesaat ke sampingnya, dan dilihatnya anak angkatnya itu memasang raut wajah serius. "Kematian?" sahut Farhan.
 

Yunan mengangguk. "Iya. Ada sebuah kitab yang pernah dikisahkan Ibuku. Kitab itu berisi kisah-kisah para sholihin. Orang-orang saleh di masa lalu. Apa yang dikisahkan Ibu dari kitab itu, sangat berkesan buatku.

Ibu bilang, orang-orang saleh itu, punya tingkat kesadaran yang sangat tinggi tentang kematian. Hingga di setiap tarikan napas mereka, mereka selalu dalam keraguan, apakah mereka akan sanggup menarik satu napas lagi setelahnya?"

Farhan menatap Yunan lebih lama. Anak itu kini tersenyum padanya.

"Ibu bilang, itu sebabnya mereka tidak pernah lepas dari zikir. Di setiap tarikan napas mereka. Mereka begitu takut, kalau-kalau saat nyawa mereka dicabut, mereka sedang dalam keadaan lalai dari mengingat Allah."

Farhan merasa, hening terasa berbeda kali ini. Hening yang disertai perenungan.

"Ada salah satu kisah di dalam kitab itu. Rabi' bin Khaitsam. Dia menggali liang kubur di dalam rumahnya. Setiap hari, beberapa kali dia masuk ke dalamnya. Katanya, 'Andaikan ingat akan kematian' terlepas dari hatiku sesaat saja, tentu rusaklah hati ini'."

Farhan mengamati, tatapan mata Yunan nampak tenang saat menceritakannya. Tentunya ini bukan cerita pengantar tidur yang biasanya didongengkan Ibu pada anaknya.

Itu kah yang diajarkan orang tuanya sejak dia kecil? Subhanallah, batin Farhan.

"Ibu bilang, dunia penuh dengan ketidakpastian. Kecuali kematian. Kematian pasti mendatangi semua makhluk. Tidak peduli bayi, anak-anak, remaja, dewasa. Kita tidak pernah tahu kapan kematian akan datang. Jadi, kita tidak tahu apa hidupku masih panjang atau tidak."

Yunan tersenyum lembut pada Farhan. Dia kembali menatap ke kaca depan mobil. Matanya terpaku pada sebuah gerbang di depan mereka, berjarak kira-kira seratus meter. Di tengah gerbang, terdapat plank petunjuk arah jalan dengan latar berwarna hijau tua. Jari telunjuk Yunan tiba-tiba menunjuk ke arah marka jalan itu. Farhan refleks mengikuti arah jarinya.

"Seandainya orang-orang saleh itu hidup di zaman sekarang, dan mereka duduk di kursi kita. Mereka mungkin tidak yakin, apakah mereka masih tetap hidup saat sampai di bawah gerbang itu," kata Yunan.
 

Farhan mengamati gerbang petunjuk jalan di depan mereka, yang semakin lama semakin dekat jaraknya. Dengan kecepatan mobilnya sekarang, kemungkinan dalam lima detik mereka akan sampai di gerbang itu. Mereka berdua sama-sama diam. Hingga yang terdengar hanya suara mesin dan putaran roda.

Di bawah sadar, Farhan menghitung mundur. Lima ... empat ... tiga ... dua ... 
 

Gerbang itu sudah persis di depan mereka. Satu ...

WUZZHH!! 
 

Mobil mereka baru saja melewati gerbang. Farhan mengembuskan napas yang ternyata tanpa sadar sedari tadi ditahannya.

Sementara Yunan tersenyum santai. "Alhamdulillah. Kita masi hidup ya, Yah. Kalo kata ustazku, itu artinya kita masih dikasih kesempatan untuk membersihkan hati."

Farhan berusaha tersenyum walau masih agak sulit. "O-oh iya benar. Alhamdulillah," ucap Farhan gugup. Dalam tegangnya otot wajahnya, dia menelan ludah.

YA ALLAH! APA ANAK ANGKATKU ADALAH SEORANG SUFI?? 
 

.

.
 

Makan malam baru saja usai. Seperti biasanya, Yunan segera membereskan piring kotor, bahkan tanpa diminta.

"Assalamualaikuum! Yuuuunaaann!!" Suara anak perempuan itu terdengar nyaring dari luar pagar. Mereka bertiga menoleh ke arah pintu. Yunan, Farhan dan Erika.

Erika segera mengambil alih piring yang sedang ditumpuk Yunan. "Tuh, ada temenmu di luar. Biar Ibu aja yang cuci piring. Kamu keluar aja. Kasian temenmu nungguin."

Yunan merasa tidak enak pada Erika. "Aku keluar dulu ya, Bu. Nanti biar aku yang cuci piring, Bu."

Erika tersenyum penuh arti. Dia mencengkeram bahu Yunan dan memutar tubuhnya hingga membelakanginya. Tangannya mendorong punggung Yunan pelan. "Udaahh sana keluar temuin temenmu. Gak usah pikirin cucian."

"I-iya, Bu. Aku keluar dulu." Yunan keluar melalui pintu depan dan menutup kembali pintu itu. 

Erika memindahkan piring kotor ke sink dapur, dan mulai mencuci. Setelah mencuci sebagian, Erika mematikan keran air dan melirik suaminya yang sedang duduk termenung di kursi. Matanya menerawang ke atas meja makan.

"Farhan?" panggil Erika. 
 

Yang dipanggil masih diam. Erika agak mengeraskan suaranya. "FARHAN!!"

Mata Farhan melebar, seolah baru terbangun dari mimpi. "Eh?"

Erika sedang menatapnya heran. "Ngapain? Kok bengong?? Ntar kesambet, lho! Hii ... amit-amit!"

Farhan tersenyum geli. "Enggak. Gak bengong. Cuma lagi mikir aja."

"Mikir apa, sih? Ekspresi mukamu itu lho. Udah kayak presiden lagi pusing mikirin demo rakyat aja." 
 

Komentar itu disambut tawa oleh Farhan. Ini salah satu yang disukainya dari istrinya. Erika memang punya selera humor yang lebih baik darinya. Sementara dia sendiri, memang cenderung lebih serius.

Percakapan mereka terpotong oleh suara pintu depan yang terbuka. Yunan memasuki ruang depan dengan menggenggam sebuah buku di tangannya.

Farhan menyandarkan punggungnya ke kursi dan tersenyum ke arah Yunan. "Siapa temenmu yang datang malam-malam begini?"

Rasa bersalah segera nampak di wajah Yunan. "Iya maaf ya, Yah. Lain kali aku akan bilang sama temenku untuk jangan bertamu malam-malam."

Farhan segera menegakkan posisi duduknya. "Bukan! Bukan gitu maksud Ayah, Yunan. Boleh kok temenmu datang malam-malam. Toh kita belum tidur."

Erika memberinya kode peringatan ke suaminya dengan meninggikan sebelah alisnya. Rasa bersalah itu kini menular ke Farhan. Dia lupa kalau Yunan anak yang sangat santun.

Farhan berdiri menghampiri Yunan dan merangkul pundaknya. "Temenmu minjemin kamu buku? Buku apa?"

Yunan menghadapkan sampul buku itu hingga Farhan bisa membaca judul buku yang hurufnya berwarna putih, dengan latar warna buku berwarna ungu tua. "Buku Belajar Bahasa Arab tingkat Dasar, Yah. Ini punyaku. Linda yang pinjem. Barusan dia balikin ke aku, Yah."

Farhan nampak heran. Anak perempuan meminjam buku anak laki-laki, dan dikembalikan di malam hari? 
 

"Ooh. Tadi lama juga kamu di luar, ya? Kalian ngobrol dulu?" tanya Farhan.
 

Yunan menjawab dengan wajah polosnya. "Iya, Yah. Dia ngajak aku ngobrol. Nanya kegiatanku di sekolah, trus ngajakin aku ke majelis bareng minggu depan. Tapi aku bilang aku sudah terlanjur janjian berangkat bareng Sony." 
 

Farhan mengenali Sony sebagai salah satu teman di sekolah yang dekat dengan Yunan. Awalnya Yunan yang mengajaknya ke majelis tak jauh dari masjid di rumah mereka. Lalu lama-kelamaan, Sony jadi sering ikut pengajian bareng Yunan.

"Hmm," gumam Farhan berpikir. Dari cerita Yunan, Farhan merasa yakin 85% anak tetangga yang namanya Linda itu naksir Yunan. Trik meminjam buku itu modus lama. Rupanya masih berlaku di zaman sekarang. Farhan mengulum senyum. Membuat Yunan terheran-heran. 
 

"Ada apa Yah?" tanya Yunan.

Dia mengelus kepala anaknya. "Gak apa-apa, Yunan. Kamu polos banget. Hi hi." 
 

Alis Yunan berkerut, dari ekspresinya, seolah ada tanda tanya besar tertulis di wajahnya. 
 

.

.
 

***

Bagian 58 (Menyambung Tali Yang Terputus)

.

.

"Kalau kita dekat dengan seseorang, hanya ada dua kemungkinan. Kita yang mempengaruhi mereka, atau mereka yang mempengaruhi kita."

.

.

***
 

Lampu kamar sudah dimatikan. Penerangan hanya dari cahaya redup lampu malam berwarna kekuningan temaram. Sudah lewat tengah malam, dan Farhan belum bisa tidur. Dia masih memikirkan percakapannya dengan Yunan di mobil, saat mereka pulang dari rumah lama Yunan.

Erika menyadari ada yang tidak biasa dengan suaminya. Dia memutar tubuhnya hingga menghadap Farhan. "Kamu belum tidur, sayang?"

Farhan tersenyum lembut padanya. "Belum. Aku belum bisa tidur. Mungkin sebentar lagi. Kamu tidur aja, sayang," jawabnya seraya mengelus rambut Erika.

"Ada apa?" tanya Erika khawatir, menyadari ada yang tidak beres dengan kemurungan suaminya.
 

Farhan menghela napas. "Gak ada apa-apa. Aku cuma --" Farhan diam sesaat. Erika nampak semakin cemas. Apa ada hal buruk terjadi?

Melihat istrinya khawatir, Farhan jadi merasa bersalah. Dia mencubit pipi istrinya pelan. "Gak ada apa-apa, kok. Jangan khawatir. Aku cuma lagi mikirin Yunan."

"Yunan? Yunan kenapa?" tanya Erika lagi.

"Belakangan ini, aku lebih dekat dengan dia, karena aku sering mengantarnya ke sekolah dan ke rumah lamanya," kata Farhan memulai penjelasannya.
 

Erika mengangguk. "Iya aku tahu. Aku memang sengaja biarin kalian sering jalan bareng."

Farhan tersenyum menyelidik. "Kamu sengaja ya, gak pernah mau ikut setiap kali aku dan Yunan ngajakin kamu?"

Erika tertawa pelan. "Iya aku sengaja. Biar kalian lebih akrab. Kalo sesama laki-laki 'kan beda. Dia bisa nanya macem-macem ke kamu."

Mereka terdiam sesaat. Farhan kembali menggali memorinya saat mengobrol dengan Yunan di mobil. 
 

Erika nampak penasaran. "Trus? Emang Yunan kenapa?" 

Farhan nampak lebih serius. "Yunan bukan anak biasa. Kamu tahu itu, 'kan?"

"Iya aku tahu. Aku tahu sejak awal aku ketemu dia di panti," jawab Erika tersenyum mengenang pertemuannya dengan Yunan. "Aku merasa bersyukur. Tuhan sungguh baik mengizinkan kita menjadi orang tua angkatnya. Ya 'kan, sayang?"

Farhan tersenyum dan mengecup kening Erika dengan lembut. "Iya. Aku juga. Aku merasa terharu. Dititipkan anak seperti dia, adalah sebuah kehormatan untuk kita."

Air muka Farhan kembali serius. "Erika, kita harus jaga dia baik-baik. Aku merasa, karena dia bukan anak biasa, mungkin kelak dia akan jadi seseorang yang tidak biasa. Orang besar. Orang yang penting untuk umat muslim."

Mata Erika perlahan melebar. "Orang besar?" gumam Erika mengulang dalam hati, apa yang dikatakan Farhan barusan. Orang yang penting untuk umat muslim? Erika penasaran, apa yang sudah Farhan alami bersama Yunan selama mereka pergi bersama?

Farhan menatap lurus ke mata Erika. "Erika, berjanjilah. Apapun yang terjadi, kita harus mendukung dia dengan segala yang kita punya, supaya dia kelak bisa jadi guru agama."

Erika menelan ludah. Menyadari kalau beban percakapan ini terasa berat. Dia membalas tatapan suaminya dengan kesungguhan. "Iya. Aku janji. Insyaallah, kita akan mengusahakan supaya Yunan suatu saat bisa jadi guru agama."

Farhan tersenyum. Dia memeluk istrinya dan memejam. Allah mendengar percakapan mereka ini, pasti. Farhan berharap Allah rida dan memudahkan niat baik mereka.
 

*** 

 Enam bulan sejak Yunan tinggal bersama Erika dan Farhan.

Pagi itu Farhan sedang sarapan sambil membaca surat kabar. Yunan masih mengunyah roti bakarnya, dan Erika sedang mencuci tangan di sink dapur.

"Yunaaaannn!!"

Suara anak laki-laki yang bervolume keras itu membuat Farhan menurunkan surat kabar yang sedang dibacanya. Dia beradu tatap dengan Yunan. "Tuh, temenmu di depan," ucap Farhan pada Yunan.
 

Yunan entah kenapa nampak segan menyahuti panggilan itu. "Iya, Yah. Aku keluar dulu," katanya sebelum berdiri dari kursinya dan keluar rumah. Tak lama, Yunan sudah kembali ke ruang makan.

Farhan mengamati ekspresi kurang nyaman di wajahnya. "Kok cepat? Siapa yang barusan datang?"

"Oh ... em. Itu tadi Revan," jawab Yunan gugup.

Revan adalah salah satu anak komplek yang rumahnya tak jauh dari rumah mereka. Hanya selisih satu blok saja.

Farhan masih merasa penasaran. "Dia ngajakin kamu main?"

"Iya, Yah. Dia tahu aku hari ini sekolah cuma sebentar. Jadi dia ngajakin main nanti setelah siang."

Penjelasan Yunan terasa seperti belum tuntas. Jadi Farhan bertanya lagi. "Trus? Kamu bilang iya?"

Yunan terdiam sejenak, sebelum menjawab dengan ragu. "Aku bilang, nanti aku gak bisa ke rumahnya. Ada tugas yang harus kukerjakan."

"Ooh," gumam Farhan meneguk sisa kopinya yang sudah tidak panas lagi. Dia menyadari ada yang disembunyikan Yunan, tapi Farhan tidak bertanya lagi.

***

Siang itu saat jam istirahat, Farhan seperti biasa menjemput Yunan ke sekolahnya. Karena tempat kerjanya tidak terlalu formal, dia bisa melakukan ini. Hal yang biasanya dilakukan ibu-ibu. Menjemput anak pulang sekolah. Sementara kantor Erika begitu kaku dan memiliki peraturan ketat. Untuk izin sekalipun, terkadang agak sulit. Maka jadilah Farhan berperan ganda. Ayah sekaligus Ibu.

Mobil sudah berhenti sempurna di tempat parkir di luar gedung sekolah. Anak-anak berseragam baju koko putih, berhamburan keluar dari gerbang sekolah. Setelah menunggu beberapa menit, Yunan muncul diantara anak-anak itu. Dia sedang berjalan sambil mengobrol dengan teman akrabnya yang dikenalinya bernama Sonny. Farhan tersenyum melihat anak angkatnya itu. Hanya perasaannya sajakah, atau dia memang nampak berbeda diantara teman-temannya? Kulit wajah Yunan aslinya agak kecoklatan. Tapi entah bagaimana, wajah Yunan kelihatan lebih cerah, bahkan dibandingkan dengan anak-anak lain yang berkulit putih.

Saat melihat Farhan sudah menunggunya, dia segera berpamitan dengan Sonny dan mempercepat langkahnya menghampiri mobil Farhan.

Saat sampai di samping pintu kemudi, Yunan berbicara dengan napas tersengal. "Apa aku terlalu lama? Maaf ya, Yah," ucap Yunan dengan ekspresi merasa bersalah.

Farhan tersenyum geli. "Enggak, kok. Ayah baru nyampe. Ayo naik."

Yunan duduk di samping Farhan dan menutup pintu mobil. Seperti biasa, tanpa disuruh, Yunan memasang seat belt-nya.

Farhan memperhatikan gerak-gerik Yunan. 
 

"Ada apa Yah?" tanya Yunan.

"Lain kali, kalo kamu lihat ayah udah dateng, gak perlu buru-buru kayak tadi. Jalan santai aja. Ayah 'kan bisa nunggu."

"Hah? Oh. Aku cuma khawatir. Soalnya setelah nganter aku ke rumah, ayah 'kan harus ke kantor lagi. Aku gak apa-apa kok, Yah. Gak kecapean," kata Yunan. Namun pernyataan bahwa dia tidak kecapean itu disampaikannya dengan napas tersengal ala Senin-Kamis.

Farhan menahan senyumnya sambil menggelengkan kepala. Seperti biasa. Yunan selalu lebih memikirkan orang lain. "Hh. Yunan Yunan."

Mesin mobil dinyalakan dan mobil itu melaju meninggalkan area sekolah. Setelah sekitar sepuluh menit, mereka sudah berada di jalan utama.

Seperti biasa, Yunan lebih memilih diam jika tidak diajak bicara. Farhan melirik ke arahnya sedetik. 
 

"Yunan," panggil Farhan.

Yunan segera menoleh. "Ya, Yah?"

"Apa ayah boleh tanya?"

Yunan mengangguk.
 

"Apa kamu punya banyak teman di kompleks kita?" 
 

"Teman? Iya aku berteman dengan mereka."

"Berarti, kamu gak kesulitan berteman dengan mereka?"

Kali ini Yunan nampak ragu menjawab. "Emm ... yah. Ada beberapa yang -- hmm -- maksudku, aku dekat dengan sebagian dari mereka."

Farhan terdiam. Pikirannya sibuk memilah kata. Yunan adalah anak yang sangat hati-hati dalam berperilaku dan berucap. Itu karena adab dan akhlaknya yang baik. Dia pastilah tidak akan mau membicarakan keburukan orang lain. Yunan akan berusaha menghindari hal semacam itu.

"Ayah perhatikan, ada beberapa anak yang memang sengaja kamu hindari. Apa tebakan ayah benar?"

Pertanyaan itu membuat Yunan salah tingkah. "Ehm. Aku --" Yunan teringat kembali pengalaman buruknya saat pertama kali diajak bermain ke rumah anak yang bernama Revan. Awalnya dia sama sekali tidak punya pikiran buruk, tapi Yunan sungguh terkejut saat teman barunya itu memperkenalkannya pada hal-hal baru yang belum pernah dilihatnya. Hal-hal yang dia tahu, terlarang. Terutama untuk anak seusia mereka. Mereka bahkan belum menginjak usia 12 tahun, bagaimana bisa majalah dewasa itu ada di bawah tempat tidur temannya? Dan video porno di layar tab itu? Sungguh menjijikkan. Yunan nyaris muntah melihatnya. Di kampungnya dulu, tak pernah ada temannya yang seperti itu.

Yunan menggelengkan kepala. "Enggak, Yah. Aku bukannya menghindari mereka. Aku cuma berusaha memilih, dengan siapa sebaiknya aku berteman."

Farhan berpikir. Kedua hal itu sebenarnya serupa. Tapi memang tidak sama. 'Menghindar' lebih terkesan negatif.

"Karena, almarhumah ibuku dulu pernah bilang, dalam sebuah hadits, Rasulullah shalallahu 'alaihi wa salam berkata, 'agama seseorang itu, tergantung agama temannya'. Jadi kalau aku tidak hati-hati, aku bisa terkena pengaruh dari teman yang akhlaknya buruk."

Farhan tersenyum. "Ayah percaya penilaianmu. Ayah gak maksa kamu kok, Yunan. Kamu boleh berteman dengan siapapun yang kamu suka."

Yunan merasa lega. Tadinya dia pikir Farhan sedang menasehatinya karena dia beberapa kali menolak setiap diajak main ke rumah Revan dan beberapa temannya. "Makasih ayah," ucap Yunan tersenyum.

Mereka berdua diam. Sibuk dengan pikiran masing-masing. Mendadak Yunan kembali bicara. "Kalau kita dekat dengan seseorang, hanya ada dua kemungkinan. Kita yang mempengaruhi mereka, atau mereka yang mempengaruhi kita. Itu makanya, aku sangat hati-hati memilih."

Farhan tertegun mendengarnya. Mendadak sebuah kilas balik, muncul di ingatannya. Suatu saat di masa lalunya, saat dia masih remaja dulu, hingga dia di bangku SMA, Farhan adalah seorang remaja yang rajin 'menghidupkan' masjid, dan rutin ke majelis ilmu. Saat kuliah, lingkungan yang berbeda membuat dia tak serajin sebelumnya. Namun, saat itu, dia sesekali masih menghadiri kajian rohani Islam.

Dan sekarang? Jangankan menghadiri kajian. Selain salat Jum'at, dia nyaris tidak pernah salat berjamaah di masjid.

Bagaimana dirinya bisa ada di titik ini sekarang?

***

Keesokan harinya.

Pagi itu, hawa dingin terasa menusuk. Tapi Farhan sepagi ini sudah mandi. Tubuhnya merasa segar. Setengah jam yang lalu, untuk pertama kalinya setelah lama dia kesulitan terbangun di sepertiga malam, akhirnya Farhan berhasil bangun lebih awal dan salat dua rakaat. Dia menatap Erika yang tubuhnya masih berselimut bagai cangkang kura-kura. Farhan sudah berusaha membangunkan istrinya itu, tapi tidak juga berhasil. Dia menghela napas, keluar dari kamar tidur dan menutup pintu.

Kakinya melangkah ke ruang makan. Tangannya menarik mundur sebuah kursi dan duduk di atas kursi kayu itu. Jemarinya saling bertaut, dan matanya menatap ke atas meja.

Teringat kembali kalimat Yunan kemarin.

"Kalau kita dekat dengan seseorang, hanya ada dua kemungkinan. Kita yang mempengaruhi mereka, atau mereka yang mempengaruhi kita."

Farhan mengerti sekarang. Selama ini, alih-alih mengarahkan istrinya untuk lebih taat beribadah, yang terjadi malah sebaliknya. Farhanlah yang justru menurun semangat ibadahnya. Menurun semangatnya menimba ilmu agama.

Mendadak ingatan Farhan terlempar ke masa setahun lalu dimana dulu dia pernah menemui Gito. Saat itu dia pernah mencurigai Erika berselingkuh dengan seorang pria bernama Yoga. Gito akhirnya berhasil meyakinkannya bahwa perselingkuhan itu tidak terjadi dan hanya ada di pikirannya saja. Di antara percakapan mereka, Farhan ingat pernah bertanya pada Gito.

"Apa Yoga seorang muslim?"

"Ya. Dia sedang berusaha menjadi seorang muslim. Malah, kadang saya merasa, dia berusaha lebih keras dari saya."

"Benarkah? Kalau begitu, saya juga akan berusaha lebih keras lagi."

Dulu Farhan berkata begitu. Tapi, nyatanya, sejak peristiwa itu hingga kini, tak ada usaha apapun yang dilakukannya. Dia masih menjadi muslim yang malas seperti biasanya. Belum juga meningkatkan ketaatannya.

Farhan mengeratkan tautan jemarinya.

Kira-kira, apa yang terjadi pada laki-laki itu? Yoga Pratama.

Sudahkah dia akhirnya berhasil melupakan Erika?

Pikiran itu segera dienyahkannya. Tidak semestinya dia memikirkan orang itu. Seharusnya dia fokus dengan dirinya dan keluarganya. Namun entah bagaimana, sejak melihat foto pria itu tersimpan di ponsel Erika, dia merasa ada persaingan diantara mereka berdua. Di antara Farhan dan Yoga.

Raut wajah Farhan terlihat lebih tegas. Dia bertekad. Dia tidak akan kalah dari pria itu. Yoga Pratama. Saat ini, dia memenangkan Erika. Erika ada di sampingnya. Dan juga, untuk urusan akhirat, dia tidak mau kalah darinya.

Saat ini, Farhan menyadari dia kembali dipengaruhi oleh orang yang dekat dengannya. Yang mempengaruhi dia sekarang adalah ...
 

"Ayah?"

Farhan menoleh ke belakang. Yunan tengah menatapnya tak berkedip. Dia terheran-heran. Apa gerangan yang membuat Farhan terbangun sepagi ini? Farhan nampak segar dengan rambut pendeknya yang masih setengah basah. Dia juga mengenakan baju koko dan celana panjang putih.

Melihat anak kesayangannya datang, Farhan tersenyum dan berdiri dari kursi. "Kamu sudah siap? Ayah menunggumu dari tadi. Ayo kita salat Subuh berjamaah."

Wajah Farhan nampak tenang dan cerah. Ini adalah ajakan sholat berjamaah pertama yang didengarnya dari ayah angkatnya. Setelah enam bulan Yunan tinggal bersamanya, di awal-awal minggu, dia berusaha mengajak Farhan salat berjamaah di masjid, dan Farhan selalu lebih memilih salat di rumah. Dia pikir akan selamanya seperti itu. Tapi ternyata ...

Mendadak Yunan teringat masa lalunya saat ayah kandungnya masih hidup. Dulu setiap akhir pekan saat ayahnya tidak ke pasar, Yunan selalu berangkat sholat berjamaah bersama ayahnya. Dan melihat Farhan di hadapannya mengajaknya ke masjid, dia merasa semakin sayang padanya. Hatinya semakin bisa menerima Farhan seperti ayah kandungnya sendiri. Matanya berkaca-kaca, tapi air mata itu segera ditahannya.

"Iya, Yah," jawab Yunan.

Farhan merangkul pundak Yunan, yang telah dianggapnya seperti anak kandungnya sendiri. Mereka berjalan ke pintu depan dan tangan Farhan membuka gagang pintu.

Dalam hati Farhan berdo'a.

Bismillahirrahmanirrahim. Ya Allah, izinkanlah aku menyambung kembali tali yang putus. Semoga Engkau jadikan aku hamba-Mu yang taat kepadamu. Dan kali ini, semoga Engkau jadikan aku istiqamah dalam ketaatanku. 
 

.

.
 

***

Bagian 59 (Pengakuan)

.

.

"Kamu sudah ingat suaraku? Atau kita perlu kenalan lagi, Yoga Pratama?"

.

.

***

Pintu kaca otomatis terbuka. Dua orang pelayan di sisi kanan dan kiri, membungkukkan tubuh mereka. "Selamat datang," sapa mereka sopan.

Yoga memasuki restoran mewah yang interiornya bernuansa renaissance. Kursi-kursi empuk sewarna emas, berlapis kain dengan motif tanaman jalar, berpadu dengan lampu-lampu gantung kristal. Lantunan musik seriosa menyempurnakan suasana.

Namun dengan kesemuanya itu, Yoga sama sekali tidak terkesan. Dia sedang tidak mood untuk menikmati hal-hal printilan semacam itu. Itu karena, waktu istirahatnya yang berharga harus diganti dengan kehadirannya di tempat ini. Sebuah restoran mewah yang jarak tempuh normal dari kantornya semestinya sekitar setengah jam, tapi Yoga menyetir sendiri dan terjebak macet sejam di jalan.

Semuanya dimulai dari sebuah telepon masuk ke ponselnya, tepatnya di jam makan siang. Telepon itu dari sebuah nomor yang tidak terdaftar di contact list-nya. Yoga sempat mengabaikannya, dan membiarkan nada getar terus beradu dengan permukaan meja makan di sebuah ruangan lounge eksekutif.

DRRTT!! DRRRTT!! DRRTTT!!

Yoga berharap, siapa pun itu yang meneleponnya, lama-kelamaan akan menyerah. Dia melanjutkan prosesi makannya dengan anggun. Tapi tidak untuk waktu yang lama. Setelah  semenit penuh ponselnya bergetar, Yoga menelan sisa makanan di mulutnya, buru-buru menyeka bibirnya dengan sapu tangan putih, lalu dengan gerakan kasar, menyambar ponsel itu dengan tangannya.

"UURRGGH!!! SIAPA SIHH??" bentaknya geram.

Dia menekan sebuah tombol di tengah keyboard, dan menjawab telepon dengan kesal,  "ASSALAMUALAIKUM!!! DENGAN SIAPA INI??"

Sang penelepon terdengar tidak heran mendengar respon galak darinya. Yang menghubunginya ternyata adalah seorang wanita.

"Wa alaikum salam. Wah wah. Tuan muda Yoga sedang emosi rupanya? Emang ada ya orang yang ngucapin 'Assalamualaikum' sambil marah kayak gitu? Hi hi," ujar sang penelepon.

Yoga terdiam. Suara ini sepertinya familiar di telinganya.

Karena Yoga tidak merespon, wanita itu kembali bicara. "Kamu sudah ingat suaraku? Atau kita perlu kenalan lagi, Yoga Pratama?"

Mata Yoga terbuka lebar. Dia ingat suara siapa ini. Aurelia! "KAMU WANITA IBLIS BERMUKA DUA!!"

Teriakan Yoga membuat beberapa direksi perusahaan menoleh ke arahnya. Yoga segera menyadari kecerobohannya. Dia menutup bibirnya dan berjalan keluar dari lounge yang khusus diperuntukkan bagi level eksekutif di perusahaan.

Sementara Aurelia terdengar tidak rela dengan sebutan yang baru didengarnya. "APA KAMU BILANG?? IBLIS BERMUKA DUA?? Trus kamu pikir kamu siapa? Malaikat, gitu? Ciss. Jangan bikin aku ketawa."

Yoga sudah di koridor di luar lounge. "Sudah enam bulan sejak terakhir kita ketemu. Apa maumu, Aurelia?" tukas Yoga ketus.

"Aku mau ketemuan denganmu malam ini di sebuah restoran. Detail tempatnya akan kukirim via chat."

Yoga berpikir hingga alisnya berkerut. "Sebentar. Kamu tahu nomorku dari siapa?"

"Ya dari ayahmu, lah! Dari siapa lagi? Aku dapat nomor ayahmu dari ayahku. Saat aku menelepon ayahmu, beliau terdengar bahagiaaa sekali. Setelah ayahmu memberikan nomormu padaku, katanya aku bisa meneleponmu kapan saja aku mau. 'Anggap saja Yoga calon suamimu'. Begitu katanya. HA HA HA!!"

Wajah Yoga pucat mendengarnya.

AYAAAHHH!!! @#KZL!! jerit Yoga dalam benak.

"Dengar, Aurelia! Aku sudah gak mau punya urusan denganmu lagi. Kamu ngajak ketemuan untuk apa?" respon Yoga to the point tanpa basa-basi.

Aurelia terdengar ragu menjawab, "ada yang mau kubicarakan."

"Ya udah. Bicara aja sekarang lewat telepon!"

"Gak bisa. Ini gak bisa kubicarakan lewat telepon. Kita harus ketemu langsung!"

Yoga mengusap dahinya. Wanita ini memang keras kepala. "Arrghh!! Ya udah! Ntar kabari aja. Sekarang aku gak bisa terima telepon lama-lama. Sebentar lagi ada meeting."

Warna suara Aurelia langsung berubah lebih cerah. "Nah gitu dong. Oke! Nanti kukabari!"

"Udah 'kan? Assalamualaikum!" ucap Yoga, masih terdengar galak. Tanpa menunggu jawaban salam, Yoga memutuskan sambungan telepon. Dan sekarang, di sinilah dia. Sebuah restoran mewah. Restoran semacam ini sebenarnya biasa jadi tempat favorit generasi ayahnya. Lebih tepatnya, kalangan orang kaya di generasi ayahnya.

Tidak kusangka, selera wanita itu ternyata tempat seperti ini. Sama sekali tidak sesuai dengan sifat aslinya yang urakan.

Dari kejauhan, Yoga sudah melihat wanita itu yang sedang duduk di pinggir jendela kaca. Menyadari kedatangan Yoga, Aurelia berdiri dari kursinya dan melambaikan tangan. Yoga berjalan ke arahnya.

Aurelia nampak sangat cantik dengan gaun terusan kerlip emas. Rambutnya kali ini dikuncir poni. Dengan kecantikannya, orang mungkin akan mengira dia seorang model.

Dengan gerakan anggun, dia tersenyum dan memberikan punggung tangannya. Sementara Yoga memicingkan mata.

"Apa ini maksudnya? Kamu berharap aku akan mencium tanganmu? Maaf ya. Aku gak mau. Waktu itu aku terpaksa, karena aku di depan orang tua kita," kata Yoga ketus.

Aurelia mendengkus kesal. "Kamu memang payah. Nggak gentle."

Tanpa dipersilakan terlebih dahulu, Yoga dengan santai duduk di kursi persis di depan kursi Aurelia. "Ya ya. Aku memang gak gentle. Bodo amat. Hh ... capek, tahu. Aku kena macet sejam di jalanan."

Aurelia ikut duduk sambil kesal. Dia menghabiskan waktu lama sekali di salon langganannya sebelum ke restoran ini. Dan Yoga seperti tidak bergeming melihat penampilannya. Seolah dia sama seperti wanita-wanita kebanyakan. Apa laki-laki di depannya ini sudah sakit mata? Setidaknya puji sedikit kek usahanya berdandan!

Melihat pelayan di seberangnya, dia memberi isyarat tangan, dan pelayan laki-laki itu mendatanginya. "Ya, Tuan? Ada yang bisa saya bantu?"

"Tolong bawakan saya menu," kata Yoga seolah sudah biasa jadi pelanggan di restoran itu.

"Baik, Tuan. Permisi," kata pelayan itu pergi meninggalkan mereka.

Yoga menyandarkan punggungnya di bantalan kursi dan tangannya melonggarkan dasi. Sementara Aurelia memperhatikan gerak-geriknya. Saat pertemuan pertama mereka, dia sudah menyadari kalau Yoga laki-laki yang tampan. Tapi saat itu dia sedang rapi-rapinya. Sekarang? Aurelia heran bagaimana Yoga bisa tetap tampil menarik hanya dengan kemeja dan dasi, plus wajah kusut karena sedang kesal?

Pelayan itu dengan cepat menghampiri meja mereka. "Permisi, Tuan. Ini menunya."

Yoga menerima menu yang dilapis dengan beludru hitam itu. Dia membuka-buka menu dengan cepat dan memilih makanan. "Spaghetti daging, jus jeruk dingin."

Pelayan itu segera mencatat dan menerima kembali menu yang telah dilipat oleh Yoga.

"Mohon tunggu sebentar," ucap pelayan itu sebelum berlalu meninggalkan mereka.

Aurelia memajukan posisi duduknya. "Yoga, nanti aku yang akan bayar semuanya."

Alis Yoga naik, seolah tersinggung. "Enggak. Ditraktir wanita gak ada dalam kamus hidupku."

Aurelia menahan senyum. Yoga Pratama yang ada di hadapannya, masih menjadi pria menyebalkan yang sama dengan yang ditemuinya enam bulan lalu.

Yoga melipat tangannya dan menatap Aurelia dengan mata menyelidik. "Jadi, apa yang mau kamu sampaikan padaku? Sebaiknya ini penting, karena aku sudah mengorbankan waktu istirahatku yang berharga."

Wanita itu salah tingkah. Dia tidak menyangka Yoga akan menanyakan itu sekarang. Padahal dia baru saja tiba di restoran. "Emm ... gimana kalau kita santai dulu, Yoga? Kamu 'kan baru datang. Gimana kalau kita makan hidangan pembuka dulu? Aku tadi sudah pesan. Kita ngemil dulu, ya? Sambil nunggu makanan pesananmu datang."

Yoga nyaris protes, tapi Aurelia dengan cepat memberi isyarat pada pelayan, dan tak lama hidangan pembuka datang. Roti bagguette bruschetta daging sapi itu dihidangkan hangat-hangat dan aromanya begitu menggoda selera.

Mata Yoga memperhatikan lapisan keju yang mencair di bagian atas, menyatu sempurna dengan irisan daging asap. Dia menelan ludah. Setelah meeting tadi sore, dia memang belum sempat makan apapun. Dan saat terjebak macet di jalanan, perutnya sempat keroncongan.

Yah boleh juga lah. Ngapain juga buru-buru? Toh aku sudah terlanjur sampai di sini.

Aurelia menyadari binar-binar bahagia di mata Yoga. Dia tersenyum mempersilakan tamunya makan. "Ayo Yoga, jangan malu-malu. Makan, yuk."

Dengan gerakan kilat, Yoga mengangkat dua potong roti mewah itu ke piring mungil putih di depannya. "Malu? Kenapa aku harus malu? 'Kan aku yang bakal bayar semua ini."

Aurelia menghela napas. Yoga Pratama. Masih songong seperti biasanya. Sebelum dirinya dikenalkan dengan Yoga, dia sebenarnya sudah sering mendengar cerita tentang pria di hadapannya ini. Tentu saja, di antara kalangan wanita sosialita muda, Yoga Pratama termasuk salah satu yang paling sering menjadi bahan gosip mereka. Beberapa temannya pernah berusaha melakukan pendekatan pada Yoga, tapi selalu ditanggapi dengan dingin.

Yoga mengiris roti dan mulai melahap hidangan pembuka yang dengan segera lumer di lidahnya. Aurelia tersenyum melihat bagaimana hidangan pembuka di atas meja itu telah membuat mood Yoga nampak membaik.

Tak lama kemudian, pelayan datang dan meletakkan hidangan utama pesanan mereka.

"Gimana, Yoga? Kamu suka dengan restoran ini?" tanya Aurelia berbasa-basi.

Yoga berhenti mengunyah dan menyeka sisa makanan dengan serbet putih. "Restoran ini old banget. Ini beneran seleramu?"

Aurelia nampak kecewa. "Yah. Kirain kamu suka sama style klasik kayak gini. Berarti aku salah tebak dong."

"Emangnya kamu pikir aku satu generasi sama ayah kita? Restoran ini mah selera mereka!"

Wanita itu tertegun. Dari penampilan Yoga yang berkelas, siapa pun akan menebak kalau Yoga adalah tipe pria kaya yang gemar makan di tempat-tempat mewah semacam ini. Karena secara fisik, gaya klasik seolah tercipta untuk disandingkan dengan seorang Yoga Pratama.

Hidangan pembuka sudah habis dan mereka mulai menikmati hidangan utama. Yoga begitu khusyuk makan. Tak ada diantara mereka yang bicara. Hanya terdengar suara sendok garpu. Aurelia sesekali mencuri pandang ke arah Yoga. Di pertemuan pertama mereka, Aurelia memang tidak ada niatan sama sekali untuk menyetujui rencana perjodohan mereka berdua. Tapi, belakangan sesuatu yang besar terjadi dalam kehidupannya.

Spaghetti di piring Yoga hampir habis. Dia mendadak teringat kalau Aurelia belum juga memberikan penjelasan padanya tentang tujuannya mengajak ketemuan.

"Nah. Sekarang, aku minta kejelasan. Sebenarnya, untuk tujuan apa kita bertemu sekarang?" tagih Yoga.

Aurelia mendadak merasa gugup. Kali ini dia tak bisa lagi mengulur waktu. "Ehm ... a-aku," ucap wanita itu tegang.

Yoga mengernyitkan dahi. "Udah, cepetan ngomong aja kenapa, sih? Pake gagap segala. Apa yang mau dibicarakan sebenarnya?" desak Yoga seraya kembali meneguk jus jeruknya.

Jemari Aurelia meremas serbet putih di tangannya. 
"A-AKU SUKA KAMU, YOGA!!!" jeritnya tertahan.

Mata Yoga terbelalak. Jus jeruk yang diminumnya muncrat keluar sedikit, dan untungnya dia punya refleks yang bagus. Tangannya segera menutup bibir, dan tak ada setetes jeruk pun yang tumpah ke lantai.

Dengan gerakan cepat dia meraih serbetnya dan mengelap sisa air di bibirnya. Dia memicingkan mata ke arah wanita di depannya.

"Kamu bilang apa tadi? Kamu bercanda, 'kan?" tuduh Yoga. Mana mungkin wanita urakan yang liar di hadapannya ini, naksir dirinya?

Wanita itu menatapnya tak berkedip. Ekspresi malu-malunya nampak natural dan tak dibuat-buat.

"Aku serius. Aku suka kamu, Yoga."

.

.

***

Bagian 60 (Pengakuan)

.

.

Manusia melewati detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, tahun demi tahun, melakukan hal-hal tidak bermanfaat. 

 

Dan terkadang, waktu digunakan untuk berbuat maksiat kepada Allah, yang sejatinya sama dengan berbuat zalim pada diri sendiri.

.

.

***

Ungkapan rasa Aurelia yang diulang itu membuat Yoga sedikit banyak terpengaruh. Detak jantungnya semakin cepat. Dia sudah lupa kapan terakhir kali mendengar pengakuan cinta dari wanita. Setelah putus dari Christy, dia memang sengaja membuat batas dengan beberapa wanita yang berusaha mendekatinya. Hingga tak ada satupun yang berani menyatakan perasaan padanya. Dan sekarang ...

Sepasang mata Aurelia tengah menatap lurus padanya. Yoga sudah tahu bahwa wanita ini aslinya urakan, tapi rasa malu yang berusaha dibendungnya, saat mengutarakan perasaan, tak bisa dia sembunyikan.

Yoga menundukkan pandangan.

Tidak. Tidak. Ini aneh, batin Yoga.
 

"Aku gak ngerti. Setelah enam bulan kita gak ketemu, kamu mendadak menghubungiku dan minta ketemuan, lalu sekarang kamu bilang suka padaku?" tanya Yoga.

Yoga menggelengkan kepalanya. "Kasih aku penjelasan, Aurelia."

"Panggil aku Aurel," kata lawan bicara Yoga.

Jawaban singkat itu membuat dahi Yoga berkerut. "Hah?"

Aurel menghela napas. "Sejak pertama kali kita ketemu, aku udah bilang, kamu boleh panggil aku Aurel."

Yoga mendengkus. "Ya ya. Aurel. Emang apa bedanya sih? Cuman selisih dua huruf aja."

"Beda, tau! Cuma orang dekat aja yang panggil aku Aurel!" tukas Aurel.

Yoga mulai merasa tidak sabaran. "Oke. Fine. Aurel. Cepat jelaskan padaku, kenapa kamu tiba-tiba jadi begini? Apa yang kamu rencanakan sebenarnya? Apa kamu masih mau coba skenario 'pura-pura nikah' mu itu? Kalau iya, aku gak mau ikutan."

Aurel buru-buru menggelengkan kepala disertai kibasan tangan. "Enggak! Sama sekali gak ada hubungan dengan itu!"

Yoga melihat ekspresi Aurel yang nampak serius. "Trus kenapa kamu tiba-tiba seperti ini?"

Mata Aurel menunduk ke permukaan meja. Jemarinya saling bertaut. Gelisah. "Aku. --"

Yoga berusaha bersabar menunggu kalimat lanjutannya, tapi lama sekali, Aurel tidak juga bicara. Dia mendadak berdiri. "Kalau kamu nggak ngomong juga, aku pergi nih sekarang."

Aurel menjulurkan tangannya dan memberikan isyarat untuk mencegah kepergian Yoga. "JANGAN!! Jangan pergi! Oke, aku akan jelasin."

Yoga kembali duduk, masih dengan perasaan heran.

Ada apa sih sebenarnya? Kenapa wanita yang urakan semacam Aurelia jadi seperti ini? Pasti sesuatu sudah terjadi padanya, pikir Yoga.
 

Aurel menurunkan tangannya ke bawah meja dan mulai meremas gaunnya. "Aku ... bulan lalu, baru saja ... aborsi."

Mata Yoga terbelalak. Tubuhnya terasa kaku. Dia mencoba meyakinkan dirinya, akan apa yang baru saja keluar dari bibir Aurel. Salah dengarkah telinganya? ABORSI??

Keheningan yang terasa menyayat itu, akhirnya mendesak air mata Aurel menetes satu demi satu membasahi wajah dan gaunnya. Dia kembali bicara, kali ini dengan suaranya gemetar. "Setelah pertemuan kita enam bulan lalu, aku mengabaikan nasehatmu, dan kembali pada kehidupanku yang liar, bebas, yang selama ini kupikir, adalah cara terbaik untuk melarikan diri dari semua tekanan, dan rasa benciku pada Ibuku.

Lalu, suatu hari, aku baru tersadar kalau aku sudah 'telat' tiga bulan. Ternyata, aku hamil. Tentu saja, dengan hidupku yang kacau balau, aku tidak bisa meminta pertanggungjawaban pacarku, yang jumlahnya ada tiga orang itu. Ha ha. Aku gak tau yang mana ayah dari anakku. Ha ha. Eh, aku gak punya anak, ding. 'Kan sudah aku bunuh sendiri. Ha ha," kata Aurel seperti tidak bisa berhenti bicara. Dia berusaha melucu, tapi dalam kondisi seperti ini, dia tidak tahu bagaimana caranya.

Tatapan Yoga berubah menjadi iba. Sorot matanya lebih lembut. Dia mengambil tisu di atas meja dan memberikannya pada Aurel.

Aurel menerima tisu itu. "Ma-makasih," ucapnya menyeka air mata dan menarik napas.

"Aku tadinya berpikir, 'sudah, lakukan saja. Aborsi, lalu selesai'. Sudah bukan cerita baru lagi, beberapa temanku juga ada yang melakukan itu. Mereka bilang, itu adalah 'jalan pintas'. Solusi terbaik. Akhirnya aku melakukan itu. Tapi, saat aku melihat janin itu dikeluarkan, aku --"

Air mata Aurel kembali menetes, kali ini lebih deras. "Aku sadar kalau aku sudah melakukan kesalahan besar. Kehamilan itu adalah akibat dari perbuatanku yang memang seharusnya kuterima. Janin itu tidak bersalah sedikit pun. Kenapa aku harus membunuhnya? Aku menyesal. Tapi semuanya sudah terjadi. Aku gak bisa kembali ke detik sebelum aku memasuki ruangan sialan itu. Ruang aborsi! Aku benci semuanya! Benci aroma obat bius di ruangan itu, benci dengan alat-alat yang mereka pakai untuk mengeluarkan janinku, benci dengan wajah dokter itu, yang memakai masker hijau, sesaat sebelum aku dibius. Dan yang paling aku benci, adalah diriku sendiri. Bagaimana aku bisa mengabaikan naluri keibuanku, dan malah memilih untuk melakukan hal pengecut itu. Aborsi."

Yoga masih terdiam sambil menatap Aurel dengan rasa kasihan.

Aurel kembali menyeka air matanya. "Satu minggu aku mengurung diri di kamar. Merenungi baik-baik hidupku yang kacau. Lalu aku teringat kamu, Yoga. Aku masih ingat yang pernah kamu katakan di balkon."

Bibir Aurel tersenyum manis saat mengingat kalimat yang dikatakan Yoga saat itu.

"Maaf. Aku ikut prihatin. Aku mengerti kalau kamu merasa perlu pelarian untuk masalahmu itu. Aku mengerti perasaanmu. Tapi, bersenang-senang dengan apa yang kamu sebut dengan 'pelarian' itu, tidak akan bisa memberimu ketenangan. Hanya akan menenggelamkanmu dengan cara yang lain." 

"Aku sadar, kalau saat itu kamu tulus mengatakannya. Dan ucapanmu itu, terbukti benar. Aku sudah ditenggelamkan oleh pelarianku, yang tadinya kupikir adalah jalan keluar dari masalahku," lanjut Aurel.

Mereka berdua diam. Mata mereka bertemu.

"Aku memikirkanmu terus, Yoga. Setelah aku ingat baik-baik, malam itu untuk pertama kalinya aku menceritakan masalahku pada orang lain. Dan aku sendiri tidak mengerti, kenapa aku bisa menceritakannya padamu, laki-laki yang baru pertama kali kutemui? Aku tidak pernah terbuka pada siapa pun, termasuk pada pria-pria itu, yang berstatus 'pacarku'. Kemudian aku menyadarinya, bahwa aku merasa nyaman saat bersamamu," 

Kali ini Aurel kembali terlihat malu-malu. Yoga hanya melihatnya dua detik, lalu dia menundukkan pandangannya.

Aurel kembali menyatukan kedua tangannya di atas meja. "Setelah seminggu mengurung diri, aku menahan diri untuk menghubungimu. Aku memberi waktu untuk menata hatiku, sekaligus memastikan perasaanku padamu. Dan setelah sebulan, aku merasa mantap ingin menemuimu."

Melihat Yoga yang sepertinya sedang berpikir keras, membuat Aurel menerka-nerka. Apakah Yoga masih merasa tidak yakin dengan pengakuannya? 
 

"Yoga, aku sudah putus dengan pacarku, eh -- pacar-pacarku. Untuk pertama kali dalam hidupku, aku ingin mencoba menjalin hubungan yang serius dengan laki-laki. Aku sadar, pertemuan pertama kita meninggalkan kesan buruk bagimu. Tapi, apa kamu mau mempertimbangkan aku untuk jadi pasanganmu?" pinta Aurel serius.

Yoga kembali menoleh padanya. Dilihatnya kali ini raut wajah Aurel menyiratkan kecemasan karena berharap.

"Aku janji, akan berusaha membuatmu suka padaku!" imbuh Aurel dengan kesungguhan.
 

Mata Yoga terbuka lebih lebar. Kalimat itu membuat ingatannya terlempar pada suatu masa yang lama sekali. Saat dia memohon agar Erika bersedia menjadi pacarnya.

"Erika ... jadianlah denganku. Aku akan membuatmu menyukaiku!" 

Ingatan itu membuat tatapan matanya sayu.

Erika, kenapa selalu kamu? 

Bahkan saat yang ada di hadapanku adalah wanita lain, kenapa selalu kamu yang muncul di ingatanku? 

Menyadari pikiran Yoga yang sepertinya menerawang entah ke mana, Aurel memanggilnya. "Yoga! Yoga?"

"Eh ... ya?" sahut Yoga tersadar dari lamunannya.

Aurel memicingkan matanya. "Hei! Aku lagi serius! Kamu malah bengong!"

"Maaf," Yoga tertegun setelah bibirnya mengucap kata itu. Kata maaf. Kata yang dulu tak pernah sudi dia ucapkan. Barulah setelah dia beberapa kali hadir di majelis, dia merasa hatinya melunak. Kata 'maaf' menjadi lebih mudah diucapkannya. Dulu saat dia bersama Erika, tak pernah sekalipun dia meminta maaf. Satu kesempatan saat reuni, membuat dia akhirnya untuk pertama kalinya, menyampaikan kata maaf pada Erika, setelah sepuluh tahun mereka berpisah.

Yoga mengusap wajahnya.

Astaghfirullah. Kenapa dia lagi yang aku pikirkan? batin Yoga. 

Aurel memandang heran gerak-gerik lelaki di hadapannya. "Kamu kenapa sih?"

Yoga menghela napas. "Maaf. Aku gak bisa menjalin hubungan denganmu."

Aurel nampak kecewa. "Kenapa?? Setidaknya, kasih aku kesempatan sekali. Kalau kita jadian, kita bisa kenal lebih dekat. Kalau kamu gak kasih aku kesempatan, gimana kamu bisa tau kita bakal cocok atau enggak. Ya 'kan?" 

Yoga menatap lekat bola mata Aurel. Wanita ini ternyata benar-benar serius dengannya. Dirinya mulai bimbang.

Apa sebaiknya aku menerimanya? Siapa tahu, bersama dia, aku akhirnya akan bisa melupakan Erika?

Mendadak serangkaian peristiwa antara dirinya dengan seorang wanita di masa lalu, menyergap ingatannya. Wanita itu bernama Tania. Mantan pacarnya. Wanita kedua dalam hidupnya, setelah dia putus dengan Erika. Dulu, atas dasar pertimbangan yang sama, dia menerima Tania. Dia berharap, bersama Tania, dia bisa melupakan Erika. Tapi yang terjadi bahkan lebih buruk dari sekedar sebaliknya. Yoga bukan hanya gagal mencintai Tania, tapi dia juga menyakiti perasaan wanita baik seperti Tania. Tania adalah wanita yang sangat feminin dan lembut. Tulus mencintai Yoga, dan poin terpentingnya adalah, dia menerima Yoga APA ADANYA. Yoga yang pada saat itu, memiliki temperamen emosi yang sangat tidak stabil. Yoga yang sama sekali tidak bisa menghargai orang-orang miskin yang dianggapnya memiliki level lebih rendah dari dirinya. Yoga yang sombong dan angkuh. Dan dengan semua kesabaran Tania, Yoga membalasnya dengan sebuah kata 'putus'. Dia tidak tahan berpura-pura mencintainya. Padahal, sebagai seorang wanita, Tania nyaris tanpa cela. Secara fisik dia cantik, feminin, lemah lembut, dan tipe wanita yang ingin dilindungi pria manapun yang melihatnya. Tapi tetap saja, Yoga telah gagal mencintai Tania.

Dan sekarang, apakah dia pantas berharap kalau Aurelia kelak mungkin akan membuat dia berhasil melupakan Erika?

Dan lagi, bukan hanya itu masalahnya.

Yoga menopang keningnya dengan tangan. Kembali teringat semua hal fisik yang dilakukannya bersama Tania, dulu saat mereka bersama. Semua sentuhan, semua ciuman yang membakar nafsunya. Semuanya sama saja, bisa berujung pada kejadian nahasnya bersama Christy, mantan pacarnya yang lain.Saat bersama Christy, Yoga berakhir bermalam di apartemennya. Dia sendiri tak ingat apa yang terjadi malam itu, karena Christy memasukkan obat ke dalam minumannya. Paginya, Christy bilang, mereka berdua telah ...
 

Semuanya sudah terlanjur. Waktu tidak bisa diputar balik. Dengan uang sebanyak apapun, siapa pun tak akan bisa melompat ke satu detik yang telah lalu. Waktu, tak ternilai harganya. Tapi seringkali diremehkan oleh manusia. Mereka melewati detik demi detik, menit demi menit, jam demi jam, hari demi hari, tahun demi tahun, melakukan hal-hal tidak bermanfaat. Dan terkadang, waktu digunakan untuk berbuat maksiat kepada Allah. Yang sejatinya sama dengan berbuat zalim pada diri sendiri.

Yoga menggelengkan kepala. "Maaf aku gak bisa. Aku gak mau pacaran lagi. Aku sudah mengalami banyak hal di masa laluku. Dan aku menyesalinya."

Aurel nampak heran. "Trus, kalau kamu gak mau pacaran, maksudnya gimana? Kamu maunya langsung nikah aja, gitu?"

Yoga terdiam sejenak. "Iya. Kalau aku merasa yakin dengan seorang wanita, akan lebih baik kalau aku langsung melamarnya. Aku sudah gak mau melewati proses pacaran lagi. Aku gak mau mengotori tubuh dan pikiranku dengan pacaran."

Aurel tertegun. Ternyata seorang Yoga Pratama memang sudah berubah. Berita-berita bahwa dia dulunya adalah seorang playboy, semua telah menjadi masa lalunya yang ingin dikuburnya dalam-dalam.

Alis Aurel mengernyit. Dia kembali menatap Yoga dengan serius. "Kalau begitu, NIKAHI AKU, YOGA!!"

Mata Yoga melotot. "HAH???" 

Apa dia bilang barusan?? 

Dia baru saja melamarku??? 
 

.

.
 

*** BERSAMBUNG, ADA ATAU TIDAK ADA YANG TAP LOVE, Insyaallah ***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Anxi 1
Selanjutnya ANXI (Bagian 61-70)
0
0
Ka-kalau pria itu kamu, aku mau! Seandainya kamu mendatangi ayahku dan melamarku, aku akan menerimamu tanpa pikir panjang. Yoga, apa kamu mau mempertimbangkanku untuk jadi istrimu?? Aku janji, akan membuatmu jatuh cinta padaku, setelah kita menikah! kata Aurel tanpa ragu.Mendengar permintaan yang tulus dan setengah memelas itu, Yoga terperanjat. Aurel ... Mata mereka bertemu, dan kali ini Yoga ikut salah tingkah. Dia tidak menyangka, Aurel menyukainya sampai seperti itu.Menikah dengan Aurel? pikir Yoga, berusaha membayangkannya. Aurel memang bukan tipe wanita lembut seperti Tania. Dan dia punya sejarah kelam di masa lalunya. Noda hitam karena pergaulan bebas. Tapi, bukankah mereka sama? Yoga juga punya sejarah yang kelam bersama Christy. Dan melihat kesungguhan dalam permintaannya, bisa jadi Aurel bahkan bersedia mengubah semua perilakunya, demi dirinya. Demi seorang Yoga Pratama. Mungkinkah mereka bisa bahagia hidup bersama di bawah ikatan pernikahan?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan