ANXI (Bagian 31-40)

0
0
Deskripsi

Pintu depan kembali terbuka. Yoga menegakkan posisi duduknya. Matanya membesar saat melihat sosok perempuan yang memasuki ruangan. Yoga menahan napas. Erika nampak cantik dengan rambut terurai sedada, blouse putih dengan motif batik biru tua di bagian tengah, dan rok abu-abu muda di bawah lutut.

Seketika detak jantungnya berdetak lebih kencang. Rasa rindu yang seperti ingin meledak membuat tangan kirinya menahan tangan kanan yang mengepal dengan sendirinya. Teringat dulu saat Erika masih menjadi miliknya.

Bagian 31 (Reuni)

.

.
 

Setiap kali pintu dibuka, dia berharap Erika yang membukanya.

.

.

***

Sebulan kemudian, di pesta pernikahan Gito, Yoga sempat melihat Erika datang bersama Farhan, suaminya. Dia bersembunyi dari mereka, dan akhirnya memutuskan pulang lebih dulu tanpa ikut sesi foto.

Melihat mereka berdua secara langsung terasa lebih menyakitkan ketimbang melihatnya di layar laptop.

Dia berharap Erika akan datang sendirian nanti di acara reuni.

Sebulan setelah Gito menikah ...

Reuni akbar itu resminya berlangsung di gedung sekolah. Tapi Yoga merasa heran saat tidak menemukan Erika di sana. Gito menyadari Yoga yang gelisah sejak tiba di gedung SMA.

"Ada apa Yoga?" tanya Gito.

"Eh ... gak ada apa-apa," jawab Yoga tersenyum, meski Gito masih menangkap kecemasan di matanya.

Sosok Ratih dari kejauhan terlihat oleh Yoga. Dia pun pamit sebentar pada Gito, dengan alasan ingin menyapa Ratih.

"Tih! Apa kabar?" sapa Yoga ramah.

Ratih berbalik dan terkejut saat melihat Yoga yang menyapanya. Yoga kelihatan ganteng sekalipun rambutnya sekarang sudah tidak gondrong lagi seperti waktu SMA.

"Ehh! Kamu, Yoga?? Kabar baik alhamdulillah," jawab Ratih.

Mereka berbasa-basi sesaat, sebelum akhirnya Yoga menanyakan Erika. "Apa Erika akan datang ke reuni hari ini?" tanya Yoga, berusaha terdengar biasa saat menanyakannya.

Ratih melirik layar ponselnya. "Iya nih. Barusan aku chat Erika. Katanya dia kena deadline di kantornya. Sore mungkin kerjaannya baru kelar," jawab Ratih.

Yoga nampak kecewa. "Oh gitu," gumamnya.

Ratih menghela napas. "Ya gitu lah. aku sempet bete sama dia. Pengen ketemuan sama Erika, tapi kalo malem, 'kan acara reuni di sini udah selesai."

Yoga terdiam. Muncul ide di benaknya. "Kalau misalnya ada acara reuni lanjutan malem ini, Erika bisa dateng?" tanya Yoga antusias.

Ratih mengernyitkan dahi. "Reuni lanjutan??"

***

Yoga duduk di bangku taman belakang sekolah. Ini adalah tempat dimana dia dulu menyatakan perasaannya pada Erika. Dia memang sudah berencana ingin melihat tempat ini.

Tangannya mengeluarkan ponsel dari kantung celana. Jemarinya mencari nomor telepon kantor.

"Mieke, tolong booking ruang VIP di Restoran Ikan kita di Pecenongan. Untuk malam ini. Kosongkan ruangan yang paling besar. Kalau sudah ada yg pesan, pindahkan ke ruang lain."

Tak lama, Yoga menyudahi sambungan telepon. Punggungnya direbahkan ke sandaran bangku. Sebelah tangannya bertopang lurus di atas ujung sandaran. Dia masih ingat, saat itu dia duduk di sisi ini. Dan Erika duduk di sampingnya. Sekarang, dia duduk sendirian. Matanya menerawang. Cemas. Apa dia bisa bertemu Erika malam ini?

"Yoga!! Kamu di sini ternyata!" Suara Gito. Yoga mengenalinya.

Yoga menoleh ke arah suara. Ternyata benar Gito mencarinya.

"Lagi ngapain? Dicariin. Kirain kamu cabut duluan gak bilang-bilang," kata Gito.

Yoga tersenyum. "Maaf. Tadi dari toilet, trus kepikiran mampir ke sini," jelas Yoga.

Gito terdiam. Dia tahu kalau tempat ini punya arti tersendiri untuk Yoga. Menyimpan kenangan antara dia dan Erika.

Gito duduk di samping Yoga. "Yoga, kamu yakin mau ngadain acara reuni lanjutan di restoranmu?" tanya Gito.

"Iya. Gak apa-apa lah. Aku lagi pingin traktir anak-anak. Ruangannya lumayan gede kok. Muat sekitar enam puluh orang. Paling yang ikutan sekitar empat puluhan, 'kan? Tadi udah di buat list-nya sama Ratih," lanjut Yoga.

Gito memperhatikan ekspresi wajah temannya dan bertanya dengan hati-hati, "kok gak kayak biasanya kamu hari ini? Ini bukan kebiasaanmu. Mengundang orang-orang ke pesta makan-makan. Kamu 'kan biasanya gak terlalu suka keramaian."

Yoga hanya melirik ke arah Gito sesaat, lalu melemparkan pandangannya ke rumput. "Yah sekali-sekali lah gak apa-apa, 'kan? Kapan lagi kita ngumpul sama anak-anak," kilah Yoga.
 

Tatapan Gito berubah lebih serius. "Ini gak ada hubungannya dengan Erika, 'kan?" tanya Gito terdengar seperti tebakan alih-alih pertanyaan.
 

Sekejap Gito melihat keterkejutan di wajah sahabatnya, tapi Yoga segera menyangkal. "Enggak lah," sahutnya singkat tanpa menatap yang bertanya.
 

Mereka berdua diam. Yoga menelan ludah, khawatir niatnya tercium Gito. Gito memang 'tajam' intuisinya.

"Yoga!!" panggil suara seorang wanita.

Panggilan itu membuat mereka berdua menoleh ke belakang. Ternyata yang memanggil Yoga adalah Lynn. Yoga menghela napas kesal. "Duh ... nongol, dia," gumam Yoga. Gito menahan senyum. Lynn memang adalah fans Yoga yang paling setia. Saking setianya, sampai menikah dan punya anak pun, sikap Lynn pada Yoga sepertinya tidak banyak berubah.
 

Melihat Yoga membuat raut wajah Lynn girang bukan main. 
 

"Yoga, aku ikut ya ke acara reuni lanjutan!" kata Lynn antusias.

Yoga menjawab tanpa melihat wajah Lynn, "iya iya."

Lyn mendadak menyentuh pundak Yoga. "Yoga, kamu kok sombong banget sih sama aku? Aku berapa kali coba telepon nomormu, tapi gak bisa-bisa. Kamu ganti nomor, ya? Kasih tau dong nomor barumu!" pinta Lynn manja.
 

Yoga merasa risi dan menepis tangan Lynn dari bahunya. "Jangan kayak gini, Lynn. Maaf aku gak bisa kasih nomorku ke kamu. Itu nomor untuk urusan bisnis," jawab Yoga beralasan.
 

Lynn masih bermanja-manja dengan Yoga, membuat Gito ikut merasa risi. 
 

"Heh Lynn! Please, deh. Kamu gak malu nempel-nempel gitu ke Yoga? Kamu 'kan udah punya suami dan anak satu!" protes Gito frontal.
 

Lynn terlihat kesal dengan perkataan Gito barusan. Yoga senang Gito menegur Lynn, tapi kalimat 'kamu 'kan sudah punya suami' membuatnya berpikir. Apa yang akan diniatkannya hari ini jika dia bertemu Erika, sebenarnya sama saja, bukan? Dia berharap Erika masih menyukainya, dan berharap mereka bisa kembali dekat seperti dulu. Padahal Erika sudah punya suami.

"Ah nyebelin! Kamu emang dari dulu RESE, To!" maki Lynn berjalan dengan angkuh melewati mereka berdua.

"Biarin! Dasar kegatelan!" sahut Gito masih sinis-sinisan dengan Lynn yang tengah menjulurkan lidah ke arahnya.

Gito menoleh ke Yoga di sampingnya. "Heran tu perempuan satu! Udah sepuluh tahun, masih sama aja kelakuannya!" komentar Gito spontan.
 

"He he ... iya. Aneh juga, ya. Udah sepuluh tahun. Kirain mah udah move on," kata Yoga merespons.
 

Kalimat yang terlontar dari mulut Yoga barusan, membuat mereka berdua terdiam. Yoga refleks menutup mulutnya, dan Gito membuang muka ke arah lain sambil menahan tawa.

SEMPRULLL!!! MEMANGNYA KAMU SENDIRI UDAH MOVE ON???

***

Acara Reuni di gedung sekolah usai sore hari. Mereka yang menyanggupi hadir di acara reuni lanjutan nampak berkelompok masuk ke beberapa mobil, dan mereka janjian bertemu di ruang VIP Restoran Ikan milik keluarga Yoga di Pecenongan.

Sekitar sejam kemudian, sebagian dari mereka tiba di restoran. Sambil menunggu waktu makan malam, mereka sibuk mengobrol, menikmati suasana restoran, dan foto-foto di beberapa spot yang potensial untuk dipamerkan di medsos.

Di ruangan VIP, Yoga duduk di ujung meja panjang. Matanya melirik ke arah pintu masuk setiap beberapa menit sekali. Setiap kali pintu dibuka, dia berharap Erika yang membukanya.

Yoga mencari sosok Ratih, tapi tak ditemukannya. Sebenarnya dia ingin bertanya pada Ratih, apa Erika jadi datang? Jam berapa dia datang? Tapi Yoga tidak mau selain Ratih sampai mendengar dirinya menanyakan Erika.

Yoga menyandarkan punggung ke kursinya dan menghela napas.

Apa Erika tidak jadi datang? batin Yoga galau.
 

Gito memperhatikan gerak-gerik Yoga yang duduk di dekatnya. Menggeleng-gelengkan kepala, melihat sahabatnya yang demikian mudahnya ditebak.
 

Pintu depan kembali terbuka. Yoga menegakkan posisi duduknya. Matanya membesar saat melihat sosok perempuan yang memasuki ruangan. Yoga menahan napas. Erika nampak cantik dengan rambut terurai sedada, blouse putih dengan motif batik biru tua di bagian tengah, dan rok abu-abu muda di bawah lutut.

Seketika detak jantungnya berdetak lebih kencang. Rasa rindu yang seperti ingin meledak membuat tangan kirinya menahan tangan kanan yang mengepal dengan sendirinya. Teringat dulu saat Erika masih menjadi miliknya.

"Eh! Ada Erika!" sahut beberapa anak perempuan berdiri dari kursinya dan mengerumuni Erika.

Mereka bersalaman dan cipika-cipiki, sebelum akhirnya Erika duduk di kursi. Tak ada sedetik pun yang dilewatkan oleh Yoga.

Mereka masih asik mengobrol. Yoga gelisah. Dia ingin bicara berdua saja dengan Erika. Tapi bagaimana caranya?

Di tengah percakapan para perempuan itu, Erika tiba-tiba menoleh ke arahnya. Yoga terkejut. Apa dia kepergok memperhatikan Erika sejak tadi? Yoga tersenyum lembut padanya. Erika sempat terdiam sejenak, lalu akhirnya mengalihkan pandangan.

Yoga menundukkan mata.

Apa dia membenciku? Lintasan pikiran itu muncul begitu saja di benak Yoga.
 

Mata Yoga menangkap seorang staf pria berdiri tak jauh dari jembatan kayu yang menjadi penghubung antara ruang VIP dengan ruang servis. Tangan Yoga melambai ke staf itu, dan orang itu menghampiri Yoga.

"Ya, Pak. Ada yang bisa saya bantu?" tanya staf pria itu menunduk sopan.
 

"Buatkan welcome drink untuk wanita yang di sana itu," kata Yoga sambil menunjuk ke arah Erika. "Dan bawakan menu juga untuknya," imbuh Yoga.
 

"Baik, Pak. Permisi," ucap pria itu pergi menyeberangi jembatan kayu, dan tak lama dia menghampiri Erika. Terjadi percakapan di antara mereka, dan Erika menoleh ke arah Yoga. Yoga tersenyum sambil mengangkat gelasnya. Erika terlihat rikuh, tapi dia menerima welcome drink itu.

Yoga menunggu dengan sabar. Berharap akan ada kesempatan untuknya agar dia bisa bicara dengan Erika. Lalu kesempatan itu datang, saat Erika berdiri dari kursinya dan berjalan ke dek kayu di tepi kolam. Dan di sanalah, percakapan mereka dimulai lagi, setelah waktu mereka terhenti sepuluh tahun lamanya.

.

.
 

***
 

Bagian 32 (Reuni)

.

.

Berikan aku tanda, Erika. 
Berikan aku tanda!

.

.

***

"Yoga?" panggil Erika. Heran mengapa Yoga tidak sanggup meneruskan kalimat itu?

'Waktu kita dulu masih pacaran'. Kenapa? Apa itu sangat sulit diucapkan?

Yoga terkesiap mendengar namanya disebut oleh perempuan yang masih sangat dicintainya.

"Erika, apa kamu benci aku?" tanya Yoga dengan nada sedih pada suaranya.

Pertanyaan itu membuat Erika terkejut. "Benci?? Aku gak pernah benci sama kamu," jawab Erika tanpa jeda.

Yoga merasa lega mendengarnya. Dia tersenyum dan menatap Erika dengan sorot mata lembut.

Kalau begitu, apa masih ada sisa cinta untukku? pertanyaan berikutnya yang tersimpan rapi dalam benak Yoga, dan tak mungkin diucapnya.

Erika terdiam melihat cara Yoga menatapnya. Sorot penuh kelembutan itu memerangkapnya, membuat hatinya kelabakan untuk berpaling.

Kenapa kamu melihatku seperti itu? Yoga? Jangan bilang kamu masih -- Tidak mungkin, 'kan? Selama ini tak pernah sekalipun kamu berusaha menghubungiku lagi. Dan cerita-cerita itu -- Kamu sudah berhubungan dengan banyak wanita selain aku, setelah kita berpisah. Kamu sudah melupakanku, kan, Yoga? Belasan tanya mendesak dada Erika. Menyiksa. Kesemuanya tentunya harus dikurungnya rapat-rapat.

Bibir Yoga bergerak, tapi tak ada satu pun kata yang keluar.

Berikan aku tanda, Erika. Berikan aku tanda! Aku di sini untukmu. Apa kamu masih mencintaiku? Sedikit saja. Sedikit saja sudah cukup untukku.

Cara Yoga menatapnya membuat Erika merasa ingin menangis. Menerbangkan ingatannya akan masa-masa terberat dalam hidupnya, saat berusaha melupakan Yoga. Sempat terlintas di pikirannya saat itu. Mungkinkah dia sudah membuat kesalahan besar? Mungkinkah seharusnya dia tidak memutuskan hubungan mereka? Erika tidak pernah menyangka, berusaha melupakan Yoga akan jadi seberat itu. Dan sekarang Yoga ada di sampingnya. Aroma tubuhnya masih sama. Woody bercampur citrus. Aroma yang dia rindukan.

Yoga, kenapa kita jadi seperti ini sekarang? Bibir Erika bergerak, seolah pertahanan dirinya akan runtuh sesaat lagi.

Pupil mata Yoga mengecil saat melihat tanda itu di mata Erika. Dia masih mengenalinya.

Kamu masih mencintaiku, Erika? Benarkah ini?? Setelah sepuluh tahun?

***

Yoga segera berusaha mengendalikan perasaannya. Air matanya nyaris tumpah. Dia menundukkan pandangan dan menelan saliva. Andai tak ada orang lain di ruangan ini, mungkin dia sudah memeluk Erika.

"Oh ya, Erika. Ini kartu namaku," ucap Yoga merogoh isi dompetnya.

Erika spontan menerima kartu berwarna hitam itu.

"Aku sudah mengganti nomorku. Itu nomorku yang baru. Siapa tahu -- emm -- yah, siapa tahu kamu suatu saat perlu menghubungiku. Kamu bisa hubungi aku kapan saja, kalau kamu perlu bantuan," ujar Yoga salah tingkah.

"Bantuan?" tanya Erika heran.

"Eh ... ya, maksudku -- apa saja. Kalau kamu perlu aku, aku akan ada untukmu," jelas Yoga.

"Oke," sahut Erika singkat, masih sambil mereka-reka jawaban multi tafsir Yoga. Erika memasukkan kartu itu ke dalam dompetnya.

Mereka sempat terdiam sebelum Yoga bertanya, "gimana kabar Ibumu, Erika?"

"Ibuku? Ibuku sehat. Dia baik-baik aja," jawab Erika.

Yoga tersenyum lega. "Syukurlah. Tolong sampaikan salamku untuk Ibumu. Aku utang budi pada Ibumu."

"Iya nanti aku sampaikan. Aku gak pernah tahu kalau kamu sedekat itu sama Ibuku," ujar Erika memicing curiga.

Yoga tertawa. "Ya. Banyak yang kamu gak tau sepertinya," kata Yoga. Erika mencebikkan bibir.

Suara percikan air di kolam, kini terasa akrab di telinga. Percakapan beberapa menit terakhir, entah bagaimana telah mencairkan 'es' di antara mereka.

"Erika, kamu masih ingat waktu aku pernah cerita kalau keluargaku akan membangun restoran ikan kami yang terbesar di Jakarta?" tanya Yoga.

Alis Erika berkerut. Sepertinya dia ingat, waktu itu mereka sedang makan malam di sebuah restoran. Waktu itu, Yoga bercerita dengan penuh semangat.

"Iya aku ingat," jawab Erika mengangguk.

"Nah. Inilah restoran yang aku maksud waktu itu," kata Yoga tersenyum lebar.

Erika melongo. "HAH!!?? Ini restorannya?? Oohh ... ya ya. Pantesan aku dari tadi sejak masuk ke restoran ini kok rasanya kayak pernah lihat di mana. Padahal aku baru kali ini ke sini. Selama ini cuma denger-denger aja," ucap Erika. Terjawab sudah rasa familiar yang janggal, yang entah bagaimana muncul saat melihat restoran ini.

"Gimana? Mirip gak sama yang kujelasin waktu itu?" tanya Yoga antusias.

"Mirip banget! Sampe jembatan kayu yang nyebrang ke ruang VIP ini juga. Persis kayak yang kubayangin waktu dulu kamu jelasin! Restoran ini bagus banget, Yoga," puji Erika dengan mata berbinar. Impian Yoga kala itu, dalam sepuluh tahun mewujud dalam bentuk nyata. Tak ayal membuatnya turut bahagia.

"Kamu masih ingat, aku dulu 'kan juga bilang, kalau nanti kita --" Kalimat itu terputus di bibir Yoga. Keduanya saling tatap dengan raut terkejut. Masih teringat dengan yang diucapkan Yoga saat itu.

"NAH! Pas kamu lulus kuliah, itu PAS banget! Mungkin restoran yang mau kubuat bareng Ayahku udah selesai! Kalo gitu, kita ntar nikahnya di restoranku aja, ya? Gimana?"

Mereka bersamaan menolehkan pandangan ke arah kolam. Yoga mengacak rambut, menyesali ucapannya yang tidak perlu, yang bisa membuat suasana kembali canggung.

Seorang staf laki-laki menghampiri mereka berdua dan berhenti di depan Yoga.

"Permisi, Pak. Hidangannya sudah siap. Apa kami bisa mulai menyiapkannya di meja?" tanya pria itu.

Yoga merasa terganggu dengan kedatangan pria ini. Dia merasa diinterupsi, padahal sangat sulit mencari kesempatan bisa berduaan dengan Erika.

"Heh kamu!! Kamu gak liat kalo aku lagi ngobrol sama paca -- eh -- temenku?? Ganggu aja!!" cetus Yoga tanpa berpikir panjang.

Staf itu segera membungkuk. "Mohon maaf, Pak. Maaf," ujarnya ketakutan.

"Yoga!" panggil Erika dengan suara tegas. Ketika Yoga menoleh padanya, Erika sedang menatapnya sinis dengan tangan terlipat.

Sikap Yoga berubah melunak pada pria di depannya. "E-eh. Ya sudah, siapin makanannya, sana," titah Yoga sekaligus mengusir.

"Baik, Pak. Permisi," ucap staf itu buru-buru pergi ke arah dapur.

Yoga tegang dan tak berani menatap Erika. Dia ingat karena alasan inilah mereka dulu berpisah.

Secara mengejutkan, Erika tiba-tiba tertawa.

"Ya ampun, Yoga! Kamu gak berubah!" kata Erika dengan tawa renyah.

Yoga tersenyum. Sudah lama sekali sejak terakhir dia melihat Erika tertawa.

Erika perlahan terdiam, saat menyadari Yoga tengah memberikannya pandangan hangat itu lagi.

"Erika, kamu tau? Aku sudah mengalami banyak peristiwa. Aku sudah berusaha menjalin hubungan dengan banyak wanita. Banyak sekali. Tapi tidak ada satu pun yang sepertimu," ucap Yoga lembut.

Mata Erika melebar mendengarnya. Mencoba menerka apa maksud perkataan Yoga itu, dengan menahan debaran tak menentu di dadanya.

"Dulu waktu kita putus, kamu bilang kalau nanti akan ada perempuan lain yang bisa menerimaku dengan utuh. Ternyata kamu benar. Perempuan itu ada, tapi ternyata aku tetap tidak bisa bersamanya. Aku --," kata Yoga terputus di akhir kalimat.

Aku tidak bisa bersamanya. Karena aku hanya menginginkanmu. Kalimat yang rasanya ingin segera ditumpahkan Yoga, namun lidah dan bibirnya tak kuasa.

Erika berusaha menerka kelanjutan kalimat itu. Yoga, kamu mau bicara apa sebenarnya?

"E-EHEMM!!" Deheman yang disengaja itu terdengar familiar di telinga mereka. Saat menoleh, Gito sedang berdiri di samping mereka. Erika dan Yoga spontan berdiri.

"Hai Erika! Apa kabar?" sapa Gito mengatupkan tangan di dada.

Erika tersenyum melihat Gito. Dia memang menyadari Gito agak berbeda. Terakhir sebulan lalu saat Erika menghadiri acara pernikahan Gito, Gito menolak dengan halus bersalaman langsung. Dan benar saja, tangannya disatukan di depan dada, sebagai tanda salamnya.

Erika membalas dengan cara yang sama. "Kabar baik alhamdulillah. Kamu gimana, To?"

"Alhamdulillah baik," jawab Gito.

Mereka berbasa-basi sebentar, sebelum Gito menarik tangan Yoga. "Yuk kita masuk. Makanan sudah diantar ke meja," ucap Gito dengan sorot mata tajam ke arah Yoga.

Gito setengah menyeret Yoga ke dalam ruangan, dan Erika berjalan ke kursinya.

"Kamu ganggu aku aja, To!" seru Yoga kesal.

Gito berhenti berjalan dan berbalik badan. Dari ekspresinya, dia jelas sedang marah.

"KAMU yang ganggu ISTRI ORANG, Yoga!! Sudahlah gak perlu pura-pura lagi! Apa yang kamu rencanain malam ini?" tegas Gito tertahan, tak ingin ada orang lain yang mendengarnya selain Yoga.

Yoga membuang muka, tidak berani menatap Gito langsung.

"Kamu pikir aku bodoh? Acara makan-makan ini, sejak awal aku sudah tau maksudmu! Apa yang kamu harapkan? Erika masih mencintaimu, lalu kamu masuk di antara hubungan Erika dengan suaminya, dan Erika akan kembali padamu, begitu??" tebak Gito langsung.

Wajah Yoga memerah. Dia sudah kepergok dan tak bisa mengelak.

"Yoga, aku bertemu dengan Farhan, suami Erika, dua kali. Sekali saat mereka menikah, dan aku bertemu dia lagi di supermarket saat aku dan istriku belanja. Dia sedang bersama Erika saat itu. Di pertemuan yang kedua, aku sempat ngobrol lama dengannya. Walaupun aku baru bertemu dengannya dua kali, aku bisa bilang, dia laki-laki yang sangat baik. Tidak pernah sekalipun penilaianku tentang karakter orang, meleset," kata Gito.

"Jadi, Yoga, aku gak peduli sekalipun Erika benar masih mencintaimu, kalau kamu nekat berusaha memisahkan mereka, AKU TIDAK MAU JADI TEMANMU LAGI! AKU SERIUS!!" ancam Gito.

Mata Yoga terbelalak. Tidak menyangka Gito akan bertindak sejauh itu. Ini tidak adil, pikirnya. Kenapa Gito harus mengancamnya dengan cara itu?

Gito mengembuskan napas. Sorot matanya melunak. Dia menepuk pundak Yoga. "Memisahkan hubungan pernikahan yang telah disambung oleh Tuhan, hanya dilakukan oleh setan. Aku yakin, kamu tidak akan melakukan itu 'kan, Yoga?"

Yoga mengangkat wajahnya dan menemukan sorot mata teduh sahabatnya. Sahabat terbaiknya yang selalu ada di saat-saat terburuk dalam hidupnya. Tentu saja Yoga tidak mau kehilangan Gito. Dia mengangguk pelan.

"Ayo kita makan," ajak Gito.

.

.

***

Bagian 33 (Reuni)

.

.

Ketahuilah, bahwa sesungguhnya kehidupan dunia itu hanyalah permainan dan suatu yang melalaikan, perhiasan dan bermegah-megah antara kamu serta berbangga-bangga tentang banyaknya harta dan anak, seperti hujan yang tanam-tanamannya mengagumkan para petani; kemudian tanaman itu menjadi kering dan kamu lihat warnanya kuning kemudian hancur.

Dan di akhirat (nanti) ada azab yang keras dan ampunan dari Allah serta keridhaan-Nya.

Dan kehidupan dunia ini tidak lain hanyalah kesenangan yang menipu.

(QS. 57:20)

.

.

***

Erika sudah duduk kembali di samping Ratih. Ratih memperhatikan pipi Erika yang merona.

"Ada apa, Erika?" tanya Ratih penasaran.

Erika menggeleng. "Gak ada apa-apa," kata Erika seraya merapikan anak rambut di dekat telinganya dan mengatur napas.

Oh ... aku benar-benar 'kacau'. Apa yang barusan terjadi? batin Erika dengan debaran jantung yang bertalu, efek pasca bercakap-cakap dengan mantan, hanya dalam durasi sekian menit saja, padahal.

Yoga yang duduk di ujung depan, berdiri sesaat dari kursinya.

"Ayo semuanya, jangan malu-malu. Silakan dimakan hidangannya," kata Yoga dengan senyum ramah.

Semua bersorak gembira seolah usia mereka tak bertambah selama sepuluh tahun. Terdengar celetukan di sana-sini. "Makasih, Yoga. Sering-sering ya, nraktir kayak gini," dan celetukan sejenisnya.

Saat mereka sibuk mengunyah, suara-suara mulai teredam. Tiba-tiba seseorang bertanya pada Lynn.

"Lynn, anakmu umur berapa?" tanya seorang pria di seberang meja Lynn.

Yang ditanya membetulkan posisi duduk putrinya yang sedang dia pangku.

"Lyra umur tiga tahun. Anakmu udah dua ya, Jul?" jawab Lynn sambil bertanya balik.

"Iya. Istriku baru melahirkan dua bulan lalu."

Tanya jawab membahas siapa yang baru punya bayi, kemudian merembet ke beberapa orang yang lainnya di ruangan itu.

Erika sedang makan sambil menatap piringnya, saat tiba-tiba suara Lynn terdengar memanggil namanya.

"Erika, kalau kamu? Anakmu ada berapa??"

Suara Lynn terdengar keras, dan membuat semua mata sekarang tertuju ke arah Erika.

Erika berhenti makan. Dia buru-buru menelan sisa makanan di rongga mulutnya dan menengadahkan wajah.

"Emm ... aku belum punya anak," jawab Erika tersenyum kaku ke arah Lynn.

Lynn mengelus kepala putrinya sambil tersenyum penuh kemenangan.

"Oh ya? Bukannya udah lima tahun ya nikahnya? Kasihan banget. Kok bisa belum punya?" tanya Lynn lagi.

"Lagian, rumah kalo gak ada anak 'kan sepi. Apa gak bosen, tuh? Kamu gak khawatir suamimu bosen sama kamu?" imbuh Lynn tanpa sungkan.

Mata Erika melotot. Tiga bilah 'pisau' terasa seperti dilempar bersamaan. 'Kasihan' (pakai 'banget'), 'kok bisa belum punya?', dan 'suami bosan sama kamu'.

"Biasa aja kali, Lynn. Ada yang hamilnya cepet, ada yang belum dikasih. Itu 'kan hal yang biasa. Gak usah lebay lah," tukas Ratih sewot

Semua orang kembali menatap ke arah Erika. Sebagian menatapnya dengan tatapan kasihan.

Erika menelan saliva. Dia tak pernah suka dikasihani.

Erika memberi isyarat tangan ke Ratih yang ada di sampingnya. "It's okay, Tih," bisik Erika. Dia tidak mau ada keributan cuma karena pembahasan anak di meja makan.

Menoleh ke Lynn, Erika tetap berusaha tersenyum walau dengan susah payah. "Belum dikasih. Karena memang belum dititipkan dari Tuhan," kata Erika.

Alis Lynn naik sebelah, seolah meledek jawaban Erika. Tangannya memegang bahu anaknya.

"Ya itu 'kan alasan religiusnya. Alasan 'beneran'nya 'kan pasti ada. Temen kantorku juga ada tuh yang kayak kamu. Malah lebih lama dari kamu. Delapan tahun nikah belum punya anak. Ternyata, temenku itu MANDUL!! Kasihan banget, ya?? Nah, kalo kamu gimana?? Siapa yang mandul? Suamimu ... atau kamu?" ucap Lynn enteng.

APA?? batin Erika syok.

Erika tidak pernah bersiap untuk pertanyaan sefrontal itu. Belum pernah dan bahkan tak terbayangkan akan ada orang yang menanyakan kemandulan dengan cara seperti itu, dan lagi, di depan orang banyak? Sebenci itukah Lynn padanya?

Ekspresi keterkejutan Erika setelah mendengar perkataan Lynn yang menyakitkan, perlahan bercampur dengan kesedihan yang seolah memperlihatkan luka besar di hatinya, membuat Yoga tidak tahan melihatnya.

Suara gebrakan membuat semua orang menoleh hampir bersamaan ke ujung meja. Ternyata Yoga yang memukul meja.

"Lynn, bisa gak kamu diam? Kalau kamu gak tau gimana cara bicara yang benar, lebih baik kamu diam!" bentak Yoga kesal.

Lynn terkejut melihat Yoga memarahinya di depan umum, tapi air mukanya tetap terlihat tenang.

"Oke oke," kata Lynn santai.

Yoga terlihat masih jengkel, terutama karena Lynn nampak menyepelekan kemarahannya. Tapi Gito menahan pergelangan tangan Yoga, mengingatkannya untuk tenang. Yoga kembali duduk di kursinya. Suasana di ruangan itu berubah menjadi tegang.

Lynn kembali menoleh ke Erika. "Ngomong-ngomong, Erika. Apa kamu tau kalau Esti hamil dua bulan?" tanya Lynn.

Erika kembali dibuat terkejut. Bagaimana bisa, Lynn tahu lebih dulu tentang kehamilan sahabatnya ketimbang dirinya?

Erika melihat ke arah Esti dan Ratih bergantian. Esti terlihat panik, tapi dia tidak mungkin menjelaskannya dari tempat duduknya. Dia tidak mau berteriak saat menjelaskan hal pribadi semacam ini.

Ratih berusaha menjelaskan. "Emm ... Erika, ini gak seperti yang kamu pikirkan. Jadi, ceritanya tadi --"

Lynn mengeluarkan ekspresi simpati yang dibuat-buat. "Oh! Jadi kamu belum tau?? Kok bisa, ya? Kupikir kalian dekat. Mungkin mereka berusaha jaga perasaanmu karena kamu belum punya anak."

Erika diam tak sanggup merespon Lynn sama sekali. Ibarat di ring tinju, rasanya dia seperti sudah K.O sejak tadi, tapi terus-terusan dipukuli.

Yoga berdiri dan memukul meja lebih keras.

"OKE, SUDAH CUKUP, LYNN!!! KELUAR KAMU DARI SINI!!" teriak Yoga sambil berjalan ke arah Lynn dan segera ditahan oleh Gito.

"Sabar, Yoga. Sabar!" kata Gito menahan tangan Yoga. Tapi Yoga kelihatan seperti sangat ingin menyeret Lynn keluar dari ruangan. Lynn mulai agak seram melihat Yoga yang seperti akan mengamuk padanya. Beberapa anak laki-laki berusaha membantu Gito menahan Yoga.

Dalam keruwetan pikirannya akibat begitu banyak hal yang terjadi, begitu melihat Yoga marah, dia merasa harus melakukan sesuatu.

Erika berdiri dari kursinya.

"Enggak perlu, Yoga! Tolong jangan usir Lynn! Aku mau pamit kok, sekarang," kata Erika segera.

Semua orang terdiam termasuk Yoga. "Pamit? Sekarang?? Tapi ... kamu belum selesai makan," kata Yoga sempat melirik ke piring Erika yang masih menyisakan makanan.

Erika tersenyum meski ia merasa senyumnya sendiri hambar. "Iya. He he. Gak apa-apa. Aku memang gak bisa lama-lama di sini. Suamiku menungguku pulang."

Yoga terdiam mendengar kata itu. 'Suamiku'. Menyayat hatinya.

Erika segera mengambil tasnya.

"Aku pamit dulu ya, guys. Bye," ucap Erika pergi terburu-buru ke arah pintu. Ratih dan Esti menyusulnya dari belakang. Yoga memarahi Lynn terlebih dulu, sebelum kemudian dia juga ikut menyusul Erika.

Acara reuni lanjutan itu kacau balau.

***

Erika berjalan cepat menyeberangi jembatan kayu. Lampu kerlap kerlip serupa bintang yang melingkari atap jembatan tidak bisa membuat perasaannya membaik sedikit pun.

Pikirannya terus berputar. Mencoba menemukan alasan kenapa dia harus mendengar berita kehamilan Esti dari Lynn.

"Erika!!"

Teriakan itu membuat Erika berhenti berjalan dan menoleh ke belakang. Esti dan Ratih sedang berlari mengejarnya. Mereka sudah berdiri di dekat Erika dan terengah-engah mengatur napas.

Esti menggenggam pundak Erika. "Erika, aku sama sekali gak bermaksud untuk nyembunyiin kehamilanku! Bener, Ka. Kemarin aku baru tau dari dokter kalau aku positif dua bulan. Trus tadi aku baru sempet cerita ke Ratih, eh pas ada Lynn lewat di deket kami berdua. Jadinya dia tau duluan deh. Aku emang mau cerita ke kamu, tapi belum sempet. Beneran deh, Erika. Aku bukannya sengaja nggak cerita!" jelas Esti panjang lebar dengan ekspresi seperti akan menangis. 
 

Erika diam, lalu tertawa geli. Dia jarang sekali melihat Esti bicara nyerocos seperti barusan. Esti biasanya perempuan lembut lemah gemulai. "Iya iya. Aku percaya kok," kata Erika.
 

Mereka berdua merasa lega melihat Erika masih bisa tertawa. 
 

"Erika, kamu yakin mau pulang sekarang? Gimana kalo kita makan dulu aja, Ka? Lynn mah abaikan aja gimana? Ntar kalo dia bikin ulah lagi, aku akan sumpal mulutnya pakai kepala ikan gurame," bujuk Ratih.
 

Erika dan Esti tertawa. "Enggak, ah. Aku emang udah ditungguin Farhan, kok," jawab Erika beralasan.

Ratih dan Esti saling memandang. Erika sedang melarikan diri, mereka tahu. Kalimat pedas tak beretika yang dilontarkan Lynn pasti sudah menyakiti hatinya.

"ERIKA!!" 
 

Mereka bertiga menoleh ke belakang. Ternyata Yoga juga mengejar Erika. 
 

Ratih menarik tangan Esti. "Ti, kita balik yuk," ajak Ratih sambil mengedipkan mata, memberi kode. Esti mengernyitkan dahi, seolah tidak yakin meninggalkan mereka berduaan ide yang bagus, tapi dia akhirnya menurut pada Ratih. 
 

"Erika, kami balik ke ruangan, ya. Kamu hati-hati pulangnya. Ntar kabarin ya say, kalo udah sampe rumah. Salam buat Farhan," ucap Ratih pamit, sekaligus mewakili Esti. Mereka berangkulan bergantian dengan Erika.

Yoga menunggu keakraban tiga sahabat itu dengan sabar. Esti dan Ratih berjalan menyeberangi jembatan kayu sambil melambai ke arah Erika. Esti memberi kode polototan mata, semacam peringatan : ERIKA! INGAT! Kamu udah punya FARHAN! Erika hanya membalasnya dengan tatapan datar.

"Ada apa Yoga?" tanya Erika.
 

Yoga mengatur napas. Dia menggaruk bagian belakang kepalanya. 
 

"Erika, maaf. Aku gak tau kalau Lynn bakalan berulah kayak gitu. Aku udah marahin dia tadi. Kamu gak balik dulu ke ruangan? Makananmu masih sisa banyak. Seenggaknya, kamu selesaiin dulu makanmu, ya?" pinta Yoga dengan rasa bersalah nampak jelas di mukanya.
 

Erika tersenyum dan menggeleng. "Enggak, Yoga. Aku emang udah harus pulang, kok. Makasih ya traktirannya."
 

Yoga nampak kecewa. "Kamu bawa mobil?" tanya Yoga.
 

"Iya aku bawa mobil, kok," jawab Erika.
 

"Aku anter sampe parkiran, ya," kata Yoga, masih berusaha mencari celah untuk mengulur perpisahan mereka, lagi, setelah sepuluh tahun mereka terpisah.
 

"Enggak usah, Yoga. Aku bisa sendiri," tolak Erika halus.
 

Yoga merasa ingin memaksa, tapi dia ingat kalau Erika bukan pacarnya lagi sekarang. Dia menghela napas berat. 
 

"Oke. Hati-hati nyetirnya, --," ucap Yoga lembut. Bibirnya nyaris berucap, "kasih tau aku kalau sudah sampai rumah," tapi dia tidak mungkin bilang begitu, 'kan?

Yoga mengepalkan tangan dan wajahnya terlihat malu. Erika salah tingkah.

"Iya. Emm ... aku pamit, ya. Bye," ucap Erika melambaikan tangan.
 

"Bye,"  sahut Yoga membalas lambaian tangannya. 
 

Yoga menatap sosok Erika dari belakang. Rasa sedih menyergapnya. Dia merasa seolah ini adalah terakhir kalinya mereka bertemu.

Erika mendadak berhenti berjalan dan berbalik. "Yoga!" panggil Erika.
 

Mendengar namanya dipanggil, Yoga berlari mendekatinya. "Ya? Kenapa?" sahut pria itu, tak dapat menyembunyikan rasa senangnya karena Erika memanggil namanya.
 

"A-aku mau minta maaf," kata Erika ragu.
 

Yoga menatap heran. "Maaf? Untuk apa??" tanya Yoga.
 

"Aku pernah bicara sesuatu yang kasar padamu dulu, waktu kita putus," lanjut Erika.
 

Yoga berusaha mengingat. Sepertinya dia tahu kalimat mana yang dimaksud Erika.

"Dari pada aku punya anak seperti kamu, AKU LEBIH BAIK NGGAK PUNYA ANAK SAMA SEKALI!"

Yoga tersenyum tulus pada Erika. "Yang mana, ya? Aku sudah lupa, tuh," jawab Yoga.
 

Erika membalas senyumnya. Dia tahu Yoga masih ingat, tapi Yoga berbaik hati pura-pura lupa, untuk tidak membuatnya merasa bersalah.

Erika menundukkan wajahnya. "Terus ... tentang yang kamu bilang tadi di dekat kolam. Menurutku, kamu cuma belum ketemu dengan wanita itu. Tapi dia ADA, Yoga. Dia pasti ADA. Jadi, kamu cuma perlu mencarinya. Aku mendo'akan yang terbaik untukmu, Yoga," ucap Erika tulus.
 

Kalimat itu membuat ekspresi wajah Yoga berubah sedih. Yoga tidak meresponnya. Bahkan tidak satu anggukan pun. Matanya hanya menatap kosong ke mata Erika.

Erika menarik napas. "Ada satu lagi. Ada yang mau aku kutanya. Dulu aku pernah tanya padamu, tapi kamu gak pernah jawab," kata Erika.
 

Alis Yoga meninggi. Mendengarkan Erika dengan seksama.

"Gimana kamu dulu bisa -- maksudku, kenapa kamu --?" tanya Erika terputus, gugup. Dia akhirnya mengusap bibir dan menghela napas.

"Ya?" tanya Yoga masih menunggu sisa kalimat pertanyaan itu.

"Enggak. Maaf. Setelah aku pikir lagi, sebaiknya aku gak tanya. Dan lagi, sudah gak ada gunanya lagi sekarang," kata Erika lesu.
 

Erika tersenyum tulus. Mungkin ini adalah senyum terakhirnya untuk Yoga, pikirnya. 
 

"Jaga dirimu baik-baik, Yoga," ucap Erika sungguh-sungguh. Yoga berarti untuknya. Meski dirinya sekarang dengan pria lain, tapi dia benar-benar mengharapkan kebaikan untuk hidup Yoga.
 

Yoga terdiam melihat siluet tubuh Erika yang bayangannya yang rebah ke lantai. Suara entakan hak sepatunya terus bergema dan melemah seiring Erika menjauh darinya.

Kenapa? Apa yang salah denganku?

Dulu saat dia membuatku jatuh cinta padanya, aku begitu YAKIN kalau dia 'jodoh'ku. Apapun itu artinya.

Melihatnya sekarang menikah dengan pria lain, apa itu berarti firasatku waktu itu salah?

Tapi bertemu dengannya lagi hari ini, aku masih merasa dia jodohku. Apa aku sudah gila?

Yoga menghela napas panjang.

'Kenapa aku dulu bisa jatuh cinta padamu?', itukah pertanyaanmu, Erika?

Kurasa, kamu tidak akan pernah tahu.

.

.
 

***

Bagian 34 (Harta Karun Yoga)

.

.

Dia memang berbeda. Erika-ku.

.

.

***

Sebelas tahun lalu ...

Kantin ramai seperti biasanya di jam makan siang. Yoga duduk dengan tangan bersandar di sandaran kursi. Rambut panjangnya masih diikat karena dia baru selesai makan. Beberapa anak perempuan yang melintas tak ada yang absen melirik ke arahnya. Cara Yoga mengikat rambutnya selalu sama. Beberapa helai di bagian depannya agak berantakan dan seringkali nyaris keluar dari ikat rambutnya. Tapi justru perempuan-perempuan itu makin histeris karenanya. Mirip mushashi Jepang, katanya. Tapi berhubung Yoga ada keturunan Brazil, jadi mirip mushashi Brazil.

"Hey, Yoga!! Coba ke sini sebentar!"

Yoga menatap dengan angkuh ke arah anak lelaki yang memanggilnya. "Apaan sih?" sahutnya.

"Nih ada album foto pas acara bazar dua minggu lalu!"

Yang memanggil Yoga adalah Juki, salah satu teman sekelasnya yang sering membuat Yoga ilfil karena kegemarannya membahas bodi anak-anak perempuan yang seksi. Sebenarnya wajar karena mereka adalah anak laki-laki yang memasuki usia pubertas. Hanya saja kegemaran Juki memuja bodi perempuan, agak berlebihan menurut Yoga.

Yoga mengembuskan napas kasar. "Awas kalo gak penting!" ancamnya. Yoga berdiri dari kursinya dan menghampiri Juki yang duduk di meja sebelah.

Juki segera menggelar album foto yang dimaksud.

"Kamu tau gak idola rahasia sekolah kita?" tanya Juki.

"Idola? Maksudnya Lynn??" jawab Yoga.

"Ah! Lynn mah udah BASI! Semua orang juga tau, kali!" tukas Juki mengibaskan tangan.

Yoga mengerutkan dahi. Setau Yoga, yang paling cantik sesekolah mereka  ya Lynn.

Jari telunjuk Juki diarahkan ke satu foto di sudut kiri halaman.

"NIH! Erika, anak kelas 2F!" ucap Juki semangat.

Yoga memperhatikan foto perempuan yang bernama Erika itu tak berkedip. "Iya. Lumayanlah. Cakep," komentar Yoga.

Juki terlihat tidak senang dengan komentar singkat Yoga.

"LUMAYAN? Erika tuh cantik BANGET, tau! Aku pernah lihat dia di kelasnya pas lagi lepas ikat rambut. Deuuhh! Keliatan cantikkkk manis bangeeet! Mana tahaan! Terus, aura seksinya keluar juga, men. Kalo diperhatiin, bodinya lumayan oke juga, lho!" kata Juki sambil membentuk siluet tubuh perempuan dengan kedua tangannya.

Juki terkejut saat mendadak Yoga menyentil dahinya.

"KENAPA SIH?? Dikasih liat referensi perempuan cantik, bukannya terima kasih malah sentil-sentil kepala orang!" omelnya.

"Kamu perlu cuci otakmu biar nggak terlalu kotor," kata Yoga dengan tatapan datar.

Juki hampir melanjutkan marahnya, ketika dia melihat Erika dari sudut matanya.

"NAH! Panjang umur! Itu Erika dateng! Belakangmu, Yoga!" tunjuk Juki girang.

Yoga menoleh. Erika sedang berjalan bersama dua temannya, celingukan mencari kursi kosong. Ya, tampang Erika memang lumayan cantik, pikir Yoga. Di tengah pencarian kursi, mata Erika bertemu dengan mata Yoga. Gengsi kepergok, Yoga dengan sengaja membuang mukanya ke arah lain dengan gaya angkuh default-nya. Erika sempat heran dan mengecek kiri-kanan-belakang. Barusan dia lihat ke mana sih? pikirnya.

Itu adalah pertama kalinya Yoga menyadari eksistensi Erika di sekolah. Berbeda dengan Yoga yang memang terkenal sejak awal masuk SMA, Erika tidak begitu mencolok. Dia tidak pernah memodifikasi baju seragamnya agar nampak seksi, tidak berteman dengan anak-anak populer, tidak pernah bergabung dengan geng tertentu, tidak pernah membuat ulah di sekolah. Dia cerdas, tapi tidak pernah masuk ranking lima besar di kelas. Kemampuan olahraganya pun rata-rata. Tapi Erika sebenarnya punya wajah yang cantik. Kalau saja dia mau sesekali mengurai rambutnya dan sedikit berdandan, kecantikannya akan terlihat lebih jelas.

Erika memang cantik. Tapi yang membuat Yoga jatuh hati padanya, bukan fisiknya.

***

Saat kenaikan kelas, kepala sekolah mengumumkan acara kerja bakti dadakan, dengan alasan untuk mempererat keakraban antar murid di kelas baru masing-masing.

Walhasil di hari pertama di tahun ketiganya di SMA, Yoga harus ikut kerja bakti.

Cis! Kerja bakti? Aku? Yang benar aja! Di rumahku aku tidak perlu melakukan apapun. Ada banyak sekali pelayan. Kenapa di sini aku harus kerja bakti?

Ya. Begitulah. Tuan Muda Yoga tidak pernah sekalipun menyapu atau mengepel di sekolah. Semua tugas piket tak pernah dia kerjakan. Sebagai gantinya, dia membayar siapa saja yang mau dibayarnya, untuk menggantikan tugasnya. Dia mengikuti petuah dari ayahnya, yang selalu bilang kalau uang bisa mempermudah hidup, 'membeli' orang, dan menyelesaikan banyak hal. Dan sejauh yang dia tahu, ayahnya benar.

Dengan dasar pemikiran itu, dia berniat untuk kabur dari kerja bakti yang menurutnya tak berfaedah. Adalah suatu hal yang baik, dia selalu memarkir mobilnya di luar gedung sekolah. Dia tinggal memikirkan bagaimana mengeluarkan dirinya dari sekolah, tanpa melalui gerbang.

Yoga berpikir akan kabur melalui taman belakang sekolah. Di belakang semak, ada dinding yang bisa dipanjat. Kalau dia bisa lompat dari sana, dia praktis sudah berada di luar sekolah, dan hanya perlu berjalan memutar untuk bisa sampai di parkiran mobilnya. Gampang, pikirnya.

Dari koridor, ada akses jalan menuju taman belakang, di antara ruang kelas IPA 3 dan IPA 4. Yoga sedang berjalan menuju ke sana. Suasana di lapangan dan koridor agak sepi, karena anak-anak tengah sibuk kerja bakti membersihkan ruang kelas.

Langkah Yoga terhenti saat dia mendengar sekelompok anak laki-laki di teras luar IPA 3 menyebut namanya.

"Ah Yoga mah mana mungkin ikutan acara beginian? Dia 'kan anak orang kaya!!"

"Iya lah. Piket aja dia gak ikutan. Boro-boro deh kerja bakti!"

Yoga segera bersembunyi dan mengintip dari balik dinding. Ada tiga anak laki-laki sedang duduk nongkrong di teras luar kelas, dan seorang anak perempuan sedang berjongkok mengecat dinding luar kelas dengan cat berwarna kuning gading.

Yoga mengenali ketiga anak lelaki itu. Mereka masuk ke dalam kategori 'teman hore'nya.

Maknanya, mereka adalah tipe teman yang hanya muncul di saat hore-hore dan ada perlunya saja. Misalnya, saat perlu bantuan untuk nebeng mobil, atau keperluan lainnya yang memerlukan uang. Dan 'teman hore' akan cenderung menghindar saat sekiranya mereka akan menjadi kerepotan.

"Liat aja rambut gondrongnya. Dia 'kan satu-satunya murid di sekolah ini yang kebal dengan aturan razia rambut!"

"Iya heran. Guru-guru diem aja nggak ada yang berani potong rambut dia!"

"Ah dia itu sebenernya cuma BANCI! Cuma anak orang kaya yang manfaatin kekayaan ayahnya. Paling kalo ada apa-apa, dia cuma bisa merengek di ketek ayahnya!"

Kalimat itu diiringi dengan tawa mereka.

BRENGSEK! batin Yoga kesal sekali. Padahal di kantin mereka kelihatan sok baik padanya. Dia sempat berpikir apa sebaiknya dia keluar dan memunculkan diri di hadapan mereka.

BRAKKKKK!!!

Suara kayu yang keras itu rupanya adalah gagang kuas cat yang dilempar ke lantai dan sempat mengenai ujung ember. Ternyata anak perempuan itu yang membantingnya!

Yoga melotot memperhatikan perempuan itu yang berdiri bertolak pinggang menghadap ketiga anak laki-laki di dekatnya.

"HEH KALIAN!! Orang lagi pada kerja bakti, kalian santai-santai di sini! GOSIPIN ORANG, PULA!!" bentak siswi berambut kuncir kuda itu.

"Kalo mau protes soal razia rambut, protes sana sama pihak sekolah! Jangan bisanya cuma NGOMEL di belakang! Kalo ternyata pihak sekolah gak berani hukum Yoga karena takut dengan kuasa ayahnya, itu bukan salah Yoga! Salahkan sekolah kenapa gak berlaku adil dengan semua muridnya!!" lanjut anak perempuan itu berkacak pinggang.

Ketiga anak itu cuma bengong. Kaget dengan reaksi perempuan itu yang sedari tadi dikira sedang konsentrasi mengecat dinding.

Anak perempuan itu menunjuk satu per satu anak di depannya. "Kamu, kamu dan kamu. Kalian bertiga digabung jadi satu, BELUM TENTU LEBIH BAIK DARI YOGA!! JADI GAK PERLU SOK JELEK-JELEKIN DIA DI BELAKANGNYA!! Aku paling BENCI MUNAFIK seperti kalian! Di depan sok manis-manis, di belakang ngata-ngatain!"

Mata Yoga melebar. Dia teringat Ibunya saat membelanya dari anak SMP yang pernah memukulnya. Tapi yang ini berbeda. Perempuan ini bukan siapa-siapanya.

"Galak banget sih kamu, Erika! Pantesan aja kamu gak laku-laku! Dih galak gitu mana ada yang mau??" sahut salah seorang dari mereka bertiga sebelum tertawa.

Erika mengambil kuas catnya di lantai dan mengarahkannya ke mereka.

"SIALAN!! 'LAKU'?? EMANGNYA YANG JUALAN SIAPA??" teriak Erika mengancam dengan kuas catnya.

Mereka kabur menjauhi Erika sambil berteriak, "jomblo gila!"

Erika masih bertolak pinggang ke arah mereka.

"BRENGSEK!" maki Erika kesal. Dia berbalik dan menghampiri keran air di depan kelas. Yoga segera menyembunyikan wajahnya di balik dinding.

Dia bisa mendengar suara air keran yang mengucur, tapi bukan cuma itu. Suara detak jantungnya terdengar lebih kencang. Wajahnya terasa lebih hangat dan keringat mengalir di dahinya.

Kenapa aku? tanya Yoga pada dirinya sendiri.

Yoga merasakan dorongan yang kuat untuk melihat lagi wajah Erika. Dengan hati-hati dia mengintip.

Erika masih berusaha mencuci tangannya yang terkena noda cat. Sembari mengomel.

"Haduuh! Gak bisa hilang ini cat! Gara-gara mereka! Dasar laki-laki gak berguna!!" ujar Erika misuh-misuh.

Yoga tersenyum geli. Entah kenapa, sekarang dia melihat Erika dengan cara yang berbeda dibanding saat pertama melihatnya di kantin. Erika terlihat jauh lebih cantik di matanya.

Dia orangnya! DIA! tegas Yoga dalam benaknya.

Yoga kembali bersembunyi sambil menepuk dadanya. Menarik napas dan mengembuskannya. Berharap hatinya bisa lebih tenang.

Dia pasti menyukaiku, 'kan? Pasti, 'kan?

Kalau tidak, kenapa dia membelaku sampai seperti itu?

Dengan pemikiran itu, Yoga meminta bantuan Gito untuk mengirimkan surat pada Erika. Memintanya ketemuan dengan Yoga di taman belakang. Yoga nekat menyatakan perasaannya, sekalipun dia belum pernah melakukan pendekatan apapun pada Erika sebelumnya. Dan di luar dugaan, Erika menolaknya langsung. Bahkan tanpa minta waktu memikirkannya dulu.

Aku tak habis pikir. Kalau dia tidak menyukaiku, untuk apa dia membelaku sampai seperti itu?

Dia memang berbeda. Erika-ku.

.

.

***

Bagian 35 (Kecemasan Erika)

.

.

"Seorang mukmin itu bila sangat menginginkan anak (namun tidak mendapatkannya), di surga ia akan mengandungnya, menyusuinya dan tumbuh besar dalam sekejap, sebagaimana ia menginginkannya."

.

.

***

Esti dan Ratih sudah kembali ke ruang VIP. Esti menarik tangan Ratih ke arah teras kayu.

"Tih, sini deh. Aku mau ngomong bentar," kata Esti.

Ratih menurut. Mereka duduk bersebelahan di tepi kolam ikan.

"Kamu sengaja ya, biarin Erika gak tau kalo rencana reuni lanjutan di sini adalah ide Yoga?" tanya Esti serius.

"Iya. Aku emang sengaja," jawab Ratih .

"Kenapa?"

"Kenapa? Kalo aku bilang, Erika gak akan mau datang! Apalagi kalo tau restoran ini punya keluarga Yoga!" kata Ratih berkilah.

"Tapi Tih, kamu sadar 'kan kalo Erika udah punya Farhan? Kurasa, itu hak Erika kalo dia lebih milih gak datang," tukas Esti menunjukkan ketidaksetujuannya.

"Iya lah aku tau. Tapi aku ngerasa, waktu hubungan mereka putus, Erika seperti gak bener-bener bisa putus. Kamu ngerti 'kan, Ti?" tanya Ratih.

Esti tidak menjawab. Tentu saja dia tahu. Dia tahu persis. Karena dia sekampus dengan Erika dulu. Sementara Ratih beda kampus dengan dia dan Erika. Jadi momen terberat Erika saat berusaha melupakan Yoga, dia tahu semua.

"Kamu 'kan kuliah bareng sama Erika. Aku yang beda kampus aja, bisa tau cuma dari pertemuan kami yang jarang. Aku tau Erika tersiksa waktu itu. Kuperhatikan reaksinya setiap nama Yoga disebut," lanjut Ratih.

"Dan lagi, tadi siang di reuni sekolah, Yoga nanyain Erika terus. Aku tau dia perlu bicara sama Erika. Jadi aku biarin mereka ketemu. Supaya mereka bisa menuntaskan yang masih mengganjal di antara mereka berdua," ucap Ratih beralasan.

Esti menghela napas. "Ya sudahlah. Toh sudah lewat. Mereka udah bicara. Aku rasa, dengan kejadian hari ini, Erika gak akan mau lagi datang ke reuni SMA."

Ratih melirik sewot ke arah Lynn yang masih duduk di kursinya. Walaupun Yoga sempat terucap kalimat mengusirnya, Lynn tetap tak bergeming. Dan sama sekali tak kelihatan merasa bersalah.

"Ya. Aku rasa gitu. Terutama kalo Lynn juga hadir di reuni," kata Ratih membenarkan ucapan Esti.

"Aku perhatiin tadi, waktu Erika dan Yoga ngobrol di pinggir kolam ini, Lynn ngeliatin mereka dengan sinis. Mungkin itu juga yang bikin dia kesel sama Erika," kata Esti sebelum mencubit tangan Ratih.

"Udah ah. Kita gak usah bahas aib orang," imbuh Esti terkikik. Ratih memanyunkan bibirnya.

Yoga memasuki ruangan. Dia menutup pintu. Suasana di dalam ruangan sudah kembali santai. Terdengar tawa dan cekikikan di sana-sini. Yoga berjalan ke kursinya dan duduk sambil mengembuskan napas panjang.

Gito menatapnya serius. 
"Gimana Erika?" tanya Gito.

Yoga mengangkat bahu. 
"Yah ... dia baik-baik saja. Tapi setelah insiden barusan, aku rasa dia gak akan mau datang reuni SMA lagi. Mungkin hari ini adalah terakhir kali aku melihatnya," jawab Yoga berat.

Jemari tangan Yoga disatukan di meja dan sorot matanya terlihat lesu.

Gito menepuk lengannya.

"Yoga, sudahlah. Lupakan dia. Erika sudah punya suami. Kalau kamu mau kejar dia sekarang, kamu udah terlambat! Mestinya kamu lakukan dari dulu!" ujar Gito.

Mendengar kata 'terlambat' membuat Yoga kelihatan makin sedih.

Gito mendekatkan kursinya ke arah Yoga.

"Perempuan bukan cuma Erika. Ada banyak perempuan yang baik. Kalau kamu mau, kamu insyaallah BISA bahagia dengan selain Erika," hibur Gito.

Yoga masih menatap kosong ke meja.

Kamu gak ngerti, Gito. Aku udah gak mau lagi dengan mereka! Aku bakal nyakitin mereka, dan aku gak mau itu! batin Yoga.

Gito menghela napas. Dia seperti memahami arti tatapan lemas Yoga.

"Yoga, apa kamu serius masih cinta Erika? Kamu masih berharap kalian bisa -- ?" tanya Gito serius.

Gito tidak menyelesaikan kalimatnya yang menggantung. Walaupun Yoga tidak menjawab, tapi tentu saja Gito sudah tahu jawabannya.

Tangan Gito menepuk pundak Yoga. "Berdo'alah. Yang banyak," kata Gito.

Alis Yoga berkerut. Dia pikir Gito mungkin sedang bercanda, tapi ternyata tidak. Dia nampak serius. Yoga kembali beralih menatap tangannya di atas meja. Mengulang saran itu sambil tersenyum pahit. "Berdo'a. Yang banyak."

Gito meneruskan sarannya, "tapi aku gak nyaranin kamu masih berharap dengannya. Saranku yang terbaik untukmu adalah, carilah kebahagiaan lain. Kadang, kamu tidak menyukai sesuatu, padahal Tuhan lebih Tahu, kalau sesuatu itu lebih baik untukmu."

Yoga kembali menghela napas dan memejam. Dia tidak tahu apa yang harus dilakukannya. Yang dia tahu, dia sudah muak pacaran dengan bermacam-macam perempuan. Dia tidak mau mengulang proses itu lagi, kecuali itu terjadi dengan sendirinya.

Bayangan Erika yang berjalan di koridor menjauh darinya, membuat hatinya teriris.

Apa aku bisa bertemu denganmu lagi, Erika?

Berapa lama lagi? 5 tahun? 10 tahun dari sekarang?

Karena jika benang takdir kita ternyata masih tersambung, aku bersedia menunggumu.

Tidak peduli berapa lama.

***

.

.

Mobil Erika melaju di jalan raya. Bagian macet terparah telah dia lewati. Kalau lalu lintas setelah ini lancar, kemungkinan dia akan tiba di rumah dalam setengah jam.

Suara getar ponselnya membuat dia bergegas mengeluarkan ponsel dan melirik layar. Tertulis nama 'IBU' di sana. Erika menekan tombol loud speaker.

"Assalamualaikum," sapa Ibunya. Entah kenapa mendengar suara Ibunya terasa menenangkan. Di saat di mana dia sedang merasa tertekan. Ibunya sering melakukan itu. Meneleponnya di saat dia merasa terpuruk. Dan biasanya di antara percakapan, Ibunya akan bertanya, "kamu gak apa-apa, 'kan?"

Bagaimana Ibu-ibu bisa punya kemampuan itu? Mungkin itu yang orang sering sebut dengan intuisi seorang Ibu.

"Wa alaikum salam, Bu," sahut Erika.

"Lagi di mana?" tanya Ibunda Erika.

"Di jalan, Bu. Mau pulang. Tadi habis dari acara reuni SMA di restoran," jawab Erika.

"Ooh abis reuni. Seneng dong, ketemu temen-temen lama?"

Erika menggertakkan gigi. 
"Yaah ... iya, seneng. E he he," kata Erika cengengesan. Tiba-tiba dia ingat sesuatu.

"OH! Ibu, dapet salam dari Yoga," ucap Erika.

Ibunya diam sesaat.

"Yoga? Yoga yang mantan pacarmu dulu itu?"

"Iya yang itu, Bu."

Suara Ibunya mendadak terdengar ceria. "WAAH! Apa kabar dia??"

"Baik, Bu. Rambutnya pendek sekarang. Udah gak gondrong lagi kayak dulu."

"Trus, trus. Gimana?? Yoga udah nikah?"

"Belum Bu," jawab Erika tersenyum. Menangkap kekepoan Ibunya.

Ibunya mendengungkan sesuatu, seperti ekspresi kecewa bercampur senang. "Ouw. Be-lum ni-kah, toh? Kok bi-sa, yaa??"

Erika heran mendengarnya. "Ih mana aku tau? Ibu tanya aja sendiri ke orangnya."

Ibunya cekikikan. "Ihi hi. Ya udah tolong sampein sama dia, salam juga dari Ibu Bapak ya."

Erika menggigit bibirnya. "Emm ... aku gak tau kapan bakal ketemu lagi sama dia, Bu."

Ibunya terdengar kecewa. "Yah ... ya udah ntar-ntar aja deh disampeinnya, kalo kamu ketemu lagi."

Erika tersenyum lesu. Mungkin aku tidak akan pernah bertemu dia lagi. Mungkin memang sebaiknya tidak bertemu dia lagi, batin Erika.

"Erika, kamu sudah minum daun herbal yang Ibu kirim?"

"Iya, Bu. Udah, kok. Aku minum terus. Paling minggu depan habis. Udah deh Ibu gak usah kirim ke aku lagi ya. Nanti kalo aku mau pesen lagi, aku 'kan punya nomor telepon penjualnya."

"Lhoo kok gitu? Ibu 'kan emang mau kirim buat kamu."

"Iya, Bu. Soalnya minggu depan aku mau mulai program di Rumah Sakit yang baru kucobain bareng Farhan. Jadi kemungkinan bakal dikasih resep obat baru. Aku agak ngeri kalo minumnya campur bareng herbal."

"Ooo ... ya udah. Bulan depan insyaallah Ibu Bapak mau berangkat Umroh, 'kan. Jadi nanti pulangnya insyaallah Ibu bawain kurma muda ya, buat kamu sama Farhan."

Erika tersenyum. "Iya, Bu. Ntar insyaallah aku dan Farhan anter Ibu Bapak pas berangkat ke bandara."

Mereka masih bercakap-cakap, dan sekitar tiga menit kemudian, Ibunya menyudahi sambungan telepon karena harus membukakan pintu gerbang untuk Bapaknya Erika yang baru pulang kantor.

Erika kembali ditemani sepi. Sejak masuk ke dalam mobil di tempat parkir restoran, dia berusaha keras mengenyahkan peristiwa buruk di ruang VIP restoran dari ingatannya. Sulit. Perkataan Lynn terus berputar di kepalanya.

"Oh ya? Kasihan banget. Kok bisa belum punya?"

"Lagian, rumah kalo gak ada anak 'kan sepi. Apa gak bosen, tuh? Kamu gak khawatir suamimu bosen sama kamu?"

"Ya itu kan alasan religiusnya. Alasan 'beneran'nya 'kan pasti ada. Temen kantorku juga ada tuh yang kayak kamu. Malah lebih lama dari kamu. Delapan tahun nikah belum punya anak. Ternyata, temenku itu MANDUL!! Kasihan banget, ya?? Nah. Kalo kamu gimana?? Siapa yang mandul? Suamimu ... atau kamu?"

Setiap kalimat kembali menusuk-nusuk hatinya. Dia menarik napas panjang. Matanya mulai berkaca-kaca.

O ... ho hooo. Kenapa kamu, Erika? Kamu 'kan sudah sering dengar macam-macam. Sudahlah. Jangan cengeng, kata Erika pada dirinya.

Mencoba menghibur diri, jari Erika menyalakan radio. Saluran pertama, iklan. Dia menekan tombol next. Dangdut. Dia sedang merasa tidak dalam suasana ingin mendengar lagu dangdut. Next. Country song. No no. Next. Metallica. Jelas tidak. Next.

Erika terus menekan tombol next hingga sebuah interview dengan suara teduh seorang laki-laki, membuatnya berhenti.

"Ibu yang baru menelepon kita, beliau sudah sepuluh tahun belum dikaruniai anak. Jangan berkecil hati, Ibu. sebab Nabi Ibrahim 'alaihi salam baru memiliki anak di usianya yang ke-85 tahun.

Dan juga jangan berburuk sangka kepada Allah. Sebab alangkah banyak orang tua yang masuk ke dalam neraka disebabkan oleh anaknya. Orang yang tidak punya anak, di akhirat tak akan dimintai pertanggungjawaban atas perbuatan anaknya.

Sebuah hadits dari Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu 'anhu, ia berkata bahwa Rasulullah shallallahu 'alaihi wa sallam bersabda :

ุงู„ู’ู…ูุคู’ู…ูู†ู ุฅูุฐูŽุง ุงุดู’ุชูŽู‡ูŽู‰ ุงู„ู’ูˆูŽู„ูŽุฏูŽ ูููŠ ุงู„ู’ุฌูŽู†ู‘ูŽุฉู ูƒูŽุงู†ูŽ ุญูŽู…ู’ู„ูู‡ู ูˆูŽูˆูŽุถู’ุนูู‡ู ูˆูŽุณูู†ู‘ูู‡ู ูููŠ ุณูŽุงุนูŽุฉู ุŒ ูƒูŽู…ูŽุง ูŠูŽุดู’ุชูŽู‡ููŠ

"Seorang mukmin itu bila sangat menginginkan anak (namun tidak mendapatkannya), di surga ia akan mengandungnya, menyusuinya dan tumbuh besar dalam sekejap, sebagaimana ia menginginkannya."
 

Mata Erika terbuka lebih lebar saat mendengar ustaz membacakan hadits itu. Setelahnya, pembawa acara berkomentar sedikit dan mengarahkan pada sesi iklan. Terdengar musik pengantar bernada Islami. Erika mematikan radio, dan suasana kembali sunyi.

Cahaya merah-kuning-putih dari bangunan dan lampu jalanan berkelibat di luar kaca jendela mobilnya. Tangan kirinya tiba-tiba menyalakan sen ke kiri. Ban mobilnya berbelok menepi ke kiri jalan. Jalan raya itu cukup lebar dengan bahu jalan yang muat lebar satu mobil.

Dia mematikan mesin, sehingga tak ada suara sama sekali. Lampu depan masih menyala, sinar kuningnya menyorot rumput liar ilalang di tepi jalan, samping trotoar. Mobil-mobil lainnya tetap melaju, berdesing dengan cepat di jalan raya di sisi kanannya.

Mata Erika terasa panas. Erika menutupi wajahnya, beserta bulir air mata yang berjatuhan. Awalnya dia menangis tanpa suara, tapi kemudian suara isak tangisnya terdengar, dan bahunya bergetar.

Aku percaya. Percaya, Tuhan.

Hanya saja, karena lemahnya hatiku, aku belum juga siap untuk menerimanya.

Menerima ketetapan-Mu untukku.

Karena hatiku masih begitu terpaut dengan dunia.
 

Erika terkesiap mendengar jendela mobilnya diketuk. Ternyata seorang waria mengetuknya dengan jari.

Erika menekan tombol di dekatnya, dan kaca mobil di sampingnya perlahan turun. "Ya?" sahut Erika.

"Knapa cyin? Kok nangis? Mau akika hibur?" tanya waria itu.

"Ha?" Erika hanya bisa bengong.

"Kamu suka lagu apa, cyin? Eh, tapi stok lagu akika terbatas nih. Ihi hi," cerocosnya diikuti tawa mirip kuntilanak, membuat muka Erika berubah pucat.

"Akika nyanyi lagu De Masiv aja, yah. Oce! Wan tu tri!" Banci itu melantunkan lagu The Masiv berjudul Jangan Menyerah. Tapi caranya menyanyi membuat lagu yang semestinya sedih itu menjadi lucu.

Erika menggigit bibirnya menahan geli. Dengan sabar menunggu lagu itu selesai dinyanyikan.

Akhirnya lagu itu selesai juga dinyanyikan. Erika segera memberikan selembar uang yang sudah disiapkannya. "Makasi ya," ucap Erika.

Banci itu melotot menatap lembaran uang yang diterimanya. "Ihhh!!! Ciyuss ngasih akika segindang???" ujarnya syok.

Erika mengangguk senang. "Saya pamit dulu ya. Makasih, lho," kata Erika menyalakan mesin mobil.

"Ih!! Akika keles yang harusnya makasih!! Titi dj ya, bok!"

Mobil Erika melaju masuk ke jalur jalan besar. Sementara banci itu masih melambaikan tangan dengan semangat.

Dia memperhatikan mobil Erika dari kejauhan, lalu menghela napas. "Kirain mah orang kalo udah cantik dan kaya, mesti gak punya masalah. Ternyata bisa nangis juga ya. Gimana nasib akika yang muka dan dompet dibawah garis kemiskinan?"

Banci itu kembali melirik selembar uang di tangannya dan tersenyum. "Ih akika gak boleh ngeluh! Alhamdulillah. Bisa buat makan nasi jinggo berapa hari nih?"

***

.

.

Erika memarkir mobilnya di garasi luar dan menggembok pagar rumahnya. Dia berdiri diam sejenak di depan pintu. Kepalanya tertunduk. Hatinya terasa kacau. Setelah dia mengalami penghinaan di depan umum oleh Lynn, dan setelah dia bertemu kembali dengan Yoga, sungguh berat dirasakannya jika dia harus menemui Farhan sekarang.

Erika terkejut melihat pintu mendadak terbuka.

Mata Erika terbelalak saat sebuah pelukan erat yang hangat merangkul tubuhnya. Dia bisa mencium aroma daun mint dari tubuh Farhan. Dulu Erika pikir aroma itu adalah parfum, tapi ternyata bukan.

Itu adalah sabun mandi Farhan. Farhan bilang dia merasa cocok dengan aroma sabun itu dan selalu memakainya sejak awal dia kuliah di Bandung. Erika menyukai aroma itu. Meskipun Farhan tidak pernah memakai parfum, aroma mint itu masih tercium bahkan setelah dia pulang kerja.

Farhan tersenyum lembut. Dia masih merangkul istrinya. "Assalamualaikum, sayang. Selamat datang."

Erika merasa seolah kakinya terbang sedikit dari lantai, dan ada sedikit rasa pusing, bukan dalam arti negatif, tapi 'pusing' efek samping dari rasa melayang. Pelukan Farhan selalu bisa membuatnya merasa seperti itu.

"Wa alaikum salam," sahut Erika.

Farhan melepas pelukannya dan menatap istrinya yang wajahnya merona. Tapi Erika nampak berbeda malam ini. Seperti berusaha menghindari tatapan matanya.

Farhan tersenyum. "Maaf aku tadi baru terima telepon, jadi gak keburu bukain pagar."

Erika merapikan anak rambut di dekat telinganya. Kebiasaannya kalau gelisah.

"Iya gak apa-apa. Aku bisa buka sendiri kok. Barusan juga udah kugembok," kata Erika.

Mereka masuk ke dalam rumah. Farhan menutup pintu dan menguncinya.

"Gimana reuninya? Menyenangkan?" tanya Farhan sambil merangkul pinggang Erika.

Erika hanya mampu membalas tatapan Farhan tiga detik, lalu kembali menunduk.

"Ah...iya, menyenangkan," jawab Erika dusta.

Langkah Erika terhenti saat melihat meja makan sudah ditata rapi dengan sayur dan lauk pauk di atasnya. Dia segera menoleh ke suaminya.

Farhan tersenyum. "Aku udah siapin makan malam. Tadi dari Galeri aku mampir beli lauk. Makan bareng yuk, sayang."

Wajah Erika menampakkan rasa bersalah. "Oh ... aku ... emm," gumam Erika.

"Kenapa? Kamu udah makan ya di restoran? Maaf. Ini salahku. Harusnya aku tanya dulu sebelum beli," ucap Farhan dengan ekspresi sesal.

"Oh bukan. Aku tadi baru ngemil aja sebenernya, tapi aku lagi gak nafsu makan. Maaf, aku gak bisa temenin kamu makan, Farhan. Aku mau istirahat dulu."

Farhan diam sesaat. Dia sudah menangkap ada yang aneh dengan sikap Erika sejak dia membukakan pintu untuknya. Tapi Farhan tetap tersenyum. "Ya udah. Gak apa-apa, sayang. Kamu mungkin kecapean. Nanti sisa makanannya kumasukin kulkas."

"Maaf, Farhan," ucap Erika merasa bersalah. Semestinya itu tugasnya. Tapi setelah begitu banyak hal terjadi seharian ini. Lembur di hari Sabtu hingga sore, lalu peristiwa reuni yang menjadi bencana itu, gabungan rasa sesak dan bersalah di hatinya membuat dia hanya ingin salat, istigfar setidaknya seratus kali, lalu tidur. Dan berharap esok pagi perasaannya akan membaik.

Sebuah kecupan lembut yang mendarat di kening membuat Erika terkejut. Farhan menatap matanya dengan hangat. Sesuatu yang selalu dia lakukan. Farhan adalah laki-laki yang paling sabar yang pernah dia temui. Suaminya itu tak pernah marah sekalipun.

"Gak apa-apa, sayang. Jangan lupa salat Isya dulu, ya. Nanti aku ke kamar setelah selesai makan."

Erika tersenyum mengangguk. Dia membuka pintu kamar dan menutupnya.

Farhan memperhatikan pintu kamar yang tertutup. Pria itu menghela napas dan membatin.

Aku sengaja menyarankan dia untuk datang ke reuni SMA-nya. Kupikir dia akan terhibur bertemu dengan teman-teman lamanya.

Tapi melihat wajahnya sekarang, mungkin aku salah.

.

.

***

Bagian 36 (Kecemasan Erika) 

.

.

Aku takut.

Kalau kita terus seperti ini, tanpa anak, apa suatu saat kamu akan bosan denganku?

.

.

***

Erika sudah mengganti bajunya dengan baju piyama garis-garis. Dia baru saja selesai salat dan istigfar. Tubuhnya direbahkan di kasur bersamaan dengan napas yang terembus lega.

Dia memejam. Dirinya sungguh kacau hari ini. Bagaimana bisa dia terbawa perasaan saat bersama Yoga tadi di restoran?

Tangan Erika menyentuh kening. Bekas kecupan lembut Farhan seolah masih tertinggal di sana.

Sekilas ingatannya membawanya kembali ke saat singkat kebersamaannya dengan Yoga di tepi kolam. Dia masih ingat cara Yoga menatapnya. Jantungnya kembali berdetak lebih cepat.

Astaghfirullahal'azhiim ...

Erika menutupi mukanya yang kembali merona.

Bagaimana aku bisa membalas tatapannya dengan cara itu? Apa aku sudah gila?

Dalam keadaan kacau seperti sekarang ini, mana mungkin Erika sanggup menatap Farhan? Dia begitu takut Farhan akan mampu melihat tenbus ke hatinya yang seolah saat ini sedang ditempeli dengan banyak stiker bertuliskan nama YOGA!

Tidak tenang, Erika bangkit dari kasur dan duduk sambil menutup mukanya. Dia berjalan ke arah meja, meraih tas dan mengeluarkan dompet. Jemarinya merogoh dompet dan mengeluarkan sebuah kartu nama berwarna hitam doff. Sebuah nama dengan tinta perak tertulis di atasnya. YOGA PRATAMA, SE. Direktur Utama.

Erika memandangi nama itu lama, lalu kartu nama itu dibawanya mendekati tempat sampah kecil berwarna abu-abu, yang posisinya tak jauh dari tempat tidurnya.

Matanya kembali mengamati kartu itu. Terasa berat, tapi dia merasa harus melakukan ini.

Maafkan aku Yoga.

Kartu nama itu dibuangnya di tempat sampah.

Erika kembali berbaring di tempat tidurnya. Air matanya menggenang dan jatuh ke pipi.

Aku melakukan hal yang benar. Aku melakukan hal yang benar.

Kalau aku tidak membuangnya, aku takut suatu saat aku benar-benar akan menghubunginya.

Erika menarik napas panjang. Matanya membelalak. Dia ingat ada satu hal lagi yang harus dia lakukan. Erika mengambil ponselnya di dalam tas. Menekan ikon folder berwarna kuning. Di antara beberapa folder, ada satu folder bernama AKUNTANSI. Tapi, isinya sama sekali berbeda dengan namanya.

Jari telunjuk Erika menekan folder AKUNTANSI, dan muncul dua buah foto. Keduanya adalah foto Yoga. Iya, Yoga. Dia masih menyimpannya. Walaupun sejak Erika menjalin hubungan jarak jauh dengan Farhan, dia tidak pernah lagi sekalipun memandangi foto itu, tapi entah kenapa Erika tidak pernah sanggup untuk menghapusnya.

Foto pertama adalah foto yang diambilnya saat mereka dulu sedang minum kopi di sebuah kedai kopi di daerah Kota Tua. Di foto itu, Yoga yang masih berambut panjang sedang difoto sendirian, dengan mata fokus melihat layar laptop. Cahaya dari layar mengenai wajahnya dan membuat bayangan di lekuk bawah mata dan alisnya yang tebal.

Baiklah. Aku akan mulai dari yang ini, batin Erika. Telunjuknya menekan tombol 'Delete', dan muncul sebuah tulisan kalimat pertanyaan meminta konfirmasinya.

Delete selected item? Cancel - Yes

Jari telunjuknya gemetar. Mengarah ke 'Yes'. Jantungnya berdebar, dia menutup mata. Jarinya sudah menekan tombol itu dan foto itu terhapus.

Mata Erika terbuka. Menyadari kalau foto itu sekarang sudah benar-benar musnah. Dia tidak punya back up sama sekali. Rasa lega karena berhasil menghapusnya, bercampur dengan sedih.

Ayo! Satu lagi, Erika!! Kita habisi malam ini juga! Supaya semuanya selesai! ucapnya pada diri sendiri.

Foto kedua adalah foto Erika dan Yoga sedang duduk di kursi kayu di pelataran Kota Tua. Saat itu Yoga meminta seorang laki-laki yang melintas untuk mengambil foto mereka berdua. Foto itu sangat berarti bagi mereka berdua. Hari itu adalah kencan mereka yang paling indah. Langit berwarna biru cerah dan suasana hati mereka sedang berbunga-bunga. Foto itu adalah buktinya. Yoga merangkul pundak Erika. Mereka berdua terlihat sangat bahagia.

Erika kembali menekan tombol 'Delete'. Lalu muncul kalimat pertanyaan itu lagi. Kali ini jari telunjuknya gemetar, lebih dari sebelumnya. Berusaha memaksa dirinya, jarinya mendekat ke layar hingga jaraknya sangat tipis.

Air mata menetes ke pipinya. Bibirnya terbuka.

Aku nggak bisa! Foto yang ini ...

Erika menutup wajahnya. Dia mematikan ponsel dan menaruhnya kembali ke dalam tas.

Nanti. Nanti aku tetap akan menghapusnya. Biar bagaimanapun, foto itu harus dihapus. Tapi mungkin nanti, entah kapan.

Tangannya mengusap air mata dan Erika kembali berbaring di tempat tidur. Memeluk gulingnya erat sambil memejamkan.

Maaf, Farhan. Kamu suami yang terlalu baik untukku.

Aku bukan istri yang baik.

Mungkinkah ini sebabnya aku belum juga punya anak?

Farhan, aku takut. Kalau kita terus seperti ini, tanpa anak, apa suatu saat kamu akan bosan denganku?

Pikiran Erika terus diliputi kecemasan, hingga dia tertidur dengan sendirinya.

***

Pintu kamar terbuka dan Farhan masuk ke dalam. Dia kembali menutup pintu dan berjalan perlahan mendekati istrinya yang sedang tidur.

Dia duduk di tepi kasur di samping Erika, memperhatikan wajah istrinya.

Tadi dia bilang tidak nafsu makan. Seharusnya aku tadi tanya, apa dia sakit?

Tangannya perlahan menyentuh kening Erika, berusaha mengukur temperatur dari kulitnya. Normal, sepertinya.

Mata sayu Farhan mengamati istrinya baik-baik. Jemarinya perlahan menyentuh pipi Erika. Seketika matanya terbelalak.

Basah? Dia baru menangis? Kenapa?

Farhan menghela napas. Selalu begini, pikirnya. Erika selalu menyimpan sakit hatinya sendirian.

Apa lagi sekarang? Apa ada teman lamanya yang membuatnya tersinggung dengan pertanyaan-pertanyaan 'itu'?

Mereka sudah lima tahun belum punya anak, jadi komentar-komentar pedas silih berganti mendatangi mereka. Namun biar bagaimana, Erika lebih sering mengalaminya. Mungkin itu karena dia perempuan. Sementara laki-laki seolah mendapat porsi tekanan sosial yang lebih ringan. Kenapa? Entahlah. Mungkin karena perempuanlah yang semestinya hamil. Perempuan yang memiliki rahim.

Farhan kembali menatap wajah istrinya dengan penuh kelembutan. Walaupun dia adalah seorang yang berkecimpung di dunia seni, Farhan tidak pernah menganggap dirinya orang yang romantis. Dia adalah orang yang logis dan terukur. Emosinya stabil. Dia bukan orang yang mudah terpancing oleh keadaan dan pengaruh orang luar.

Namun bagaimanapun, Erika adalah segala-galanya baginya. Dia mencintainya dengan seluruh jiwa raganya. Kalau Erika sedih, dia ikut merasa sedih. Kalau Erika disakiti, dia ikut merasa sakit.

Tangannya bertumpu di papan tempat tidur, dan tubuhnya membungkuk mendekati Erika. Kulit wajah mereka sudah tak berjarak. Farhan mengecup bibir Erika dengan lembut. Saat dia memberi jarak di antara mereka, ekspresi matanya berubah sedih.

Erika, kadang aku berpikir, kalau kita terus seperti ini, tanpa anak, apa akan datang hari dimana kamu akan bosan denganku?

Pikiran itu membuat perih hatinya. Tidak, pikirnya. Dia harus mengenyahkan pikiran negatif itu.

Tuhan pasti menetapkan yang terbaik untuk kami. Pasti.

Farhan berdiri dan baru akan berjalan mengitari tempat tidur, ketika kakinya tanpa sengaja menendang tempat sampah abu-abu di lantai. Tempat sampah kecil itu terguling dan isinya berserakan di lantai. Farhan melirik sekejap ke Erika. Khawatir istrinya terbangun, tapi ternyata tidak. Erika masih tidur dengan lelap. Syukurlah, pikirnya.

Ceroboh sekali aku, batin Farhan memunguti sampah kertas berserakan. Rata-rata adalah kertas slip dan nota pembayaran belanja di mini market. Sebuah kartu berwarna hitam yang bahannya terlihat mewah, nampak mencolok di mata Farhan. Dia memungut kartu itu. Ternyata sebuah kartu nama. Tapi, kenapa kartu nama dibuang?

Farhan membaca nama yang tertera di sana.

Yoga Pratama.
 

***

"Sayang! Bangun!" Tangan Farhan mengguncang bahu Erika.

"Erhhh," gumam Erika mengucek mata. "Jam berapa ini?" tanya Erika.

Farhan tersenyum lega melihat Erika akhirnya bangun.

"Setengah enam! Kamu belum salat Subuh. Ayo salat dulu, sayang!" jawab Farhan.

Erika segera bangkit dan duduk. "Ya Allah! Setengah enam? Kenapa kamu gak bangunin aku?" tanya Erika panik.

Farhan melipat tangannya sambil tersenyum sinis.

"Haduuhh dari tadi aku udah berusaha bangunin kamu berapa kali. Susahnyaaa minta ampun. Kupikir kamu kecapean semalem, jadi aku salat duluan. Maksudnya mau kasih kamu waktu buat tiduran bentar lagi. Eh taunya setelah selesai salat, kamu masih susah juga dibangunin. Ya udah buruan sana wudu!"

Erika turun dari kasur sambil menggaruk rambutnya. Dia berlari ke kamar mandi.

"Hei, jangan lari-lari, sayang! Ntar jatuh!"

Pintu kamar mandi ditutup oleh Erika.

"Haahh," Farhan menghela napas seraya geleng-geleng kepala. Dia keluar kamar dan menutup pintu.

***

Wajah Erika sudah terlihat lebih cerah setelah selesai salat. Dia membuka pintu kamar dan terkejut mendapati suaminya menyiapkan sarapan.

Erika menutup bibirnya. "Ya ampun. Harusnya aku yang --" ujarnya dengan nada merasa bersalah.

"Tenang, sayang. Cuma roti aja, kok. Gampang. Ntar kamu yang cuci piring ya," kata Farhan nyengir.

Erika duduk di kursi. Di hadapannya teh hangat dan roti selai sudah tersedia. "Maaf aku kesiangan," kata Erika.

Melihat ekspresi merasa bersalah, Farhan tersenyum geli. "Gak apa-apa, sayang. Yuk sarapan."

Beberapa lama tak ada percakapan di antara mereka. Farhan akhirnya bicara. "Sayang, aku punya usul."

"Hm? Usul apa?" tanya Erika sambil menggigit roti.

Farhan tersenyum usil. "Gimana kalo kita liburan ke Garut?"

Erika meletakkan sisa rotinya di atas piring, dan buru-buru menelan sisa makanannya. "Eh? Ke Garut? Maksudnya pas Sabtu Minggu?"

"Bukan. Maksudku seminggu penuh," jawab Farhan.

"Seminggu? Jadi kita cuti?"

Farhan mengangguk semangat. "Iya. Gimana?"

Erika mengusap tepi bibirnya, membersihkan remah roti. "Emm ... aku --," ucap Erika ragu.

Farhan berdiri dari kursinya dan berjalan ke arah Erika. Dia berdiri persis di belakang kursi istrinya. Tangannya menyingkap rambut panjang Erika dan merangkulnya dari belakang.

Farhan berbisik di samping telinga Erika, "maksudku tuh, ini bukan liburan biasa, tapi --"

Wajah Erika memerah saat bibir Farhan mencium tengkuk lehernya, lalu ciuman itu turun ke arah pundaknya.

Erika memalingkan muka dan menutup bibirnya, menahan desahan yang nyaris keluar. Farhan berhenti dan tersenyum mengamati reaksi istrinya.

"Kamu ngerti 'kan maksudku?" tanya Farhan dengan lirikan mata.

"Aku ngerti, tapi --," Erika merapikan rambutnya. "Tapi kayaknya di kantor lagi sibuk-sibuknya. Jadi kemungkinan belum bisa cuti sekarang," lanjut Erika.

Farhan berdiri menegakkan tubuhnya. "Oh gitu? Yah," sahut Farhan lesu.

Melihat kekecewaan di wajah suaminya, Erika berusaha menghibur, "tapi, nanti kalau sudah bisa cuti, aku akan kasih tau, supaya kita bisa siap-siap pesan villa dan segala macemnya."

Farhan terdiam. Dia berjalan kembali ke kursinya dan duduk. "Oke. Itu 'kan cuma usul aja," ucap Farhan sebelum kembali sibuk dengan roti dan tehnya.

Erika melirik suaminya dan menggigit bibir. Apakah dia barusan berbohong? Memang benar di kantornya sedang sibuk, tapi kalau dia agak ngotot, izin cuti mungkin bisa keluar. Hanya saja, Erika merasa hatinya sedang gundah. Setelah kejadian di reuni kemarin, dia merasa ingin menata hatinya kembali.

Maafkan aku, Farhan.

***

Setelah selesai makan, Erika masuk ke kamar, bersiap untuk mandi. Saat duduk di tepi kasur, dia terkejut menemukan kartu nama hitam di nakas.

Tangannya mengambil kartu nama itu dengan hati-hati. Dia mengecek tulisan di kartu itu. Alisnya berkerut melihat nama Yoga terukir di sana.

Lho kok? Semalam aku sudah buang ini di tempat sampah. Kenapa bisa ada di sini? batin Erika heran.

Farhan masuk ke dalam kamar dan membuka pintu lemari pakaian. Dia melihat istrinya terduduk kaku memandangi kartu nama hitam di tangannya.

"Semalam aku gak sengaja jatuhin tempat sampah itu," kata Farhan sambil menunjuk tempat sampah abu-abu di dekat kasur. "Aku nemu kartu nama. Kupikir kamu gak sengaja buang."

Erika spontan menutup tulisan nama di kartu itu. "Oh ... iya," ucap Erika gugup.

"Kartu nama kok dibuang? Disimpan aja, sayang. Siapa tau nanti perlu. Ya 'kan?" kata Farhan.

Wajah Erika nampak pucat. Dia menelan ludah dengan susah payah.

Seharusnya aku tidak membuangnya di sini. Akan kubuang di kantor, pikir Erika.

Farhan menangkap keganjilan pada reaksi istrinya. "Ada apa, sayang?"

Erika menggeleng. "Gak ada apa-apa."

***

Erika dan Farhan sudah berpakaian rapi. Pakaian Farhan tidak seformal Erika, karena Farhan bukan orang yang kerja di gedung perkantoran. Dia hanya mengenakan baju putih lengan panjang berbahan kaus, dan celana bahan hitam. Sementara Erika memakai kemeja putih garis-garis dan rok hitam yang panjangnya di bawah lutut.

Mereka sudah berada di luar pintu. Erika mengunci pintu itu. Farhan memperhatikan istrinya yang cantik dari belakang. Saat Erika berbalik badan, tubuh Farhan sudah sangat dekat dengannya. Tangannya membelai pipi Erika dan dengan cepat Farhan melakukan deep kiss padanya. Saat akhirnya Farhan melepas ciumannya, dia merasa gemas melihat Erika yang malu-malu. Walaupun dia sudah melakukan 'ritual' ini tiap pagi selama lima tahun, Erika masih terlihat belum terbiasa.

"MAMAAA!!! OM FARHAN CIUMAN SAMA TANTE ERIKA LAGIII!!!"

Erika dan Farhan berbarengan menoleh ke arah pagar. Anak laki-laki berusia lima tahun itu bernama Dodo. Dia adalah anak tetangga sebelah, yang kadang hobi ngintip ke rumah mereka.

Beberapa kali di akhir pekan, Erika kadang mengundangnya main ke dalam rumah. Mereka memang sangat dekat dengan tetangga sebelahnya, Ibunya Dodo yang bernama Bu Fitri.

Sejurus kemudian, Ibu Fitri muncul dengan baju santai lengan panjang hitam, dan jilbab putih. Dia menyeret anak badungnya ke rumah. "DODOOO!!! IBU UDAH BILANG, BERESIN DULU MAINANNYA, BARU BOLEH KELUAR! Ternyata kamu di sini!! Kamu gangguin Om Farhan sama Tante Erika lagi, ya? Aduh maaf ya Dodo gangguin Om sama Tante pagi-pagi," kata Bu Fitri sungkan.

Muka Erika terasa panas karena malu. Farhan juga tersipu.

"Ah gak apa-apa, Bu. Namanya juga anak-anak," kata Erika mengulum senyum.

Bu Fitri melanjutkan omelannya sambil menarik tangan Dodo ke rumah. Suaranya masih terdengar dari kejauhan. "Kamu jangan ledekin orang tua kayak gitu! Bikin malu aja!"

Dodo menjawab polos. "Tapi Om dan Tante emang bener ciuman, Ma. Mama kok gak kayak gitu sama Papa?"

"Husss!!! Pssstt!!!" pekik Bu Fitri.

Percakapan mereka membuat Erika makin malu dan mencubit pinggang Farhan. "Makanya kamu jangan kayak gitu di luar rumah. Diliatin anak kecil, jadinya porno aksi deh."

Farhan tertawa. Dia membalas cubitan istrinya. "Iya deh. Di dalem rumah aja ciumnya. Abis salah siapa kamu cantik banget."

"Gombal aja. Ya udah aku berangkat ya," kata Erika mengeluarkan kunci mobilnya di dalam tas dan berjalan menuruni tangga ke garasi.

"Iya. Hati-hati, sayang."

Mereka saling melambaikan tangan.

"Kamu juga, hati-hati, jangan ngebut". Padahal dia tahu Farhan tidak akan ngebut. Farhan selalu menyetir dengan hati-hati.

"Ya," sahut Farhan menunggu sampai mobil Erika berangkat.

Mobil Erika terlihat semakin jauh hingga akhirnya dia tak bisa melihatnya sama sekali. Farhan mengembuskan napas.

Dia menolak ajakanku untuk bulan madu kedua.

Matanya tertunduk ke jalanan aspal.

Mungkin dia sedang tidak mood. Ya sudahlah.

.

.

***

Bagian 37 (Catatan Farhan)

.

.

Besok kita berangkat ke Bandung. Kamu masih gak mau bilang kalo kamu naksir sama dia?

.

.

***

Sepuluh tahun lalu ...

Keputusanku sudah bulat untuk kuliah di jurusan desain. Sesuatu yang sebenarnya ditentang ayahku. Karena ayah lebih suka kalau aku meneruskan usaha pabrik kertas miliknya. Aku berusaha sebaik mungkin menjaga hubungan kami. Setelah akhirnya berhasil membujuk ayah, aku pun berangkat ke Bandung. Hidup sendirian di sana.

Walaupun aku menyukai dunia desain, menyesuaikan diri sama sekali tidak mudah buatku. Orang-orang yang berkecimpung di dunia seni, punya kecenderungan memiliki jiwa yang ingin bebas dan tak terikat pada nilai. Sedangkan sejak SMP, walaupun aku bersekolah di sekolah umum, aku selalu ikut dalam keanggotaan Rohis (Rohani Islam), tidak pernah melewatkan pesantren kilat, dan sering hadir di majelis pengkajian Islam.

Tidak mudah buatku untuk berbaur dengan mereka. Sebagai contoh sederhana, saat aku menolak dengan halus ajakan untuk bersalaman dengan perempuan, mereka selalu memberiku tatapan aneh. Tapi karena kecintaanku pada dunia seni, aku bertekad akan berusaha lulus dengan baik. Jadi aku menerima saja semua respon mereka terhadap 'keanehan'ku. Akhirnya aku mulai bisa berteman dengan sebagian dari mereka, setelah setahun kuliah. Mereka sebenarnya orang-orang baik. Hanya saja mereka berbeda pandangan denganku, dalam hal nilai kesopanan dan pergaulan dengan lawan jenis.

Selama dua tahun pertama kuliah, ada empat perempuan yang mengajakku pacaran. Aku agak kaget sebenarnya. Karena kupikir zaman ternyata sudah bergulir lebih cepat dari yang kubayangkan. Perempuan zaman sekarang ternyata sangat berani mengutarakan perasaannya duluan. Aku bilang pada mereka kalau aku tidak pacaran. Mereka semua heran mendengarnya.

Aku selalu berharap Tuhan akan menjodohkanku dengan seorang perempuan sholehah, dengan aurat tertutup, berhijab syar'i panjang. Perempuan dengan ilmu agama yang mumpuni. Yang nantinya insyaallah akan menurunkan ilmunya pada keturunan kami. Dan Tuhan ternyata memang memasangkanku dengan perempuan yang sangat baik, walaupun dia belum berhijab seperti yang aku harapkan. Tapi aku berharap suatu saat dia akan menutup auratnya, dengan keinginannya sendiri.

Aku bertemu Erika di tahun ketiga kuliah. Saat itu aku sedang bersiap untuk pameran grafis di sebuah kampus di Jakarta. Ya, aku bertemu Erika justru di jakarta, bukan di Bandung.

Siang itu aku mengangkat sebuah kardus berisi gulungan print out gambar, dan beberapa lukisan yang sudah dipigura. Aku membawanya dengan hati-hati, tapi seorang laki-laki tak sengaja menabrakku dari belakang. Beberapa gulungan jatuh ke pelataran kampus. Aku melihat laki-laki itu meminta maaf dengan cara yang unik. Dia menyatukan kedua tangannya di kepala, tapi terus berlari sambil mundur. "MAAF MAAF, BRO! Aku buru-buru banget. Sori banget, ya!!" teriaknya seraya kabur menjauh.

Aku terdiam. Dia panggil aku apa? Bro? Begitukah sikapmu pada saudaramu sendiri? batinku menggeleng.

Aku meletakkan kardus di bawah dan mulai memunguti gulungan kertas. Jemari lentik berkulit putih mengejutkanku. Tangan itu ikut memunguti gulungan kertas. Kepalaku mendongak, dan menyadari kalau parasnya membuatku lebih terkejut. Perempuan ini sangat cantik. Perempuan cantik ada saja di berbagai tempat, tapi yang ini entah kenapa terlihat berbeda di mataku.

Perempuan itu menyerahkan dua gulungan kertas padaku. "Oh harusnya ditaruh di kardus, ya?" tanya mahasiswi itu, baru saja dia akan berjalan ke arah kardus. "Eh ... gak usah. Biar aku yang taruh di kardus. Makasih, ya," kataku.

Dia tersenyum manis dan sontak hatiku ribut bukan main.

"Erika!!" Seorang temannya melambaikan tangan ke arahnya.

Ternyata itu namanya. Erika.

Temannya nampak cantik dan eksotis dengan kulit sawo matang dan berambut panjang. Tapi aku tidak merasakan kesan yang istimewa, seperti yang kurasakan pada Erika.

"Kamu ke mana, sih? Kita 'kan pergi bareng, eh kamunya malah ngeloyor aja misah. Dihh ni anak!" ujar teman perempuannya, agaknya mahasiswi juga.

"Maaf maaf," ucap Erika tertawa.

"Ya udah, ayo cepetan. Pamerannya 'kan udah mau mulai. Ntar gak dapet spot yang oke," kata temannya Erika sambil membawa Erika pergi. Erika terlihat seperti ingin berpamitan padaku, tapi ragu.

Aku agak sedih saat dia pergi. Tapi tadi temannya bilang mereka mau ke pameran. Mungkin aku bisa bertemu dengannya lagi di sana.

Saat aku sedang merapikan barang di dalam kardus, mataku kembali berusaha mencari sosok Erika. Rupanya mereka belum berjalan jauh. Erika terlihat bercakap-cakap dengan temannya, dan mereka berpisah. Temannya pergi duluan, dan Erika berjalan ke arahku.

Aku terdiam, tidak mengerti kenapa dia kembali lagi.

"Kamu perlu bantuan? Kulihat barangmu banyak sekali," kata Erika saat berdiri di depanku.

Aku terpana mendengarnya. Padahal aku orang yang baru saja dia temui. Kenapa dia baik sekali padaku?

Sebenarnya, aku tidak perlu bantuan. Walaupun isi kardus terlihat banyak, isinya kertas dan piguranya pun materialnya tidak berat. Ini enteng buatku. Tapi aku merasa ingin berjalan bersamanya. Jadi kubiarkan dia membawakan beberapa gulungan kertas.

Selama berjalan dengannya, jantungku berisik tak keruan, dan keringat mengucur di dahiku. Aku belum pernah sebahagia itu. Aku baru benar-benar mengerti sekarang, kenapa aku harus menjauhi pacaran. Padahal aku berjalan dengannya di ruang publik terbuka.

Kami sudah tiba di gedung fakultas seni. Erika menyerahkan gulungan kertas ke dalam kardus.

"Makasih banyak, ya," kataku.

"Sama-sama. Siapa namamu?" tanya Erika menyodorkan tangannya.

Aku meletakkan kardus di lantai, dan segera menyatukan tanganku ke dada. "Namaku Farhan. Maaf. Aku gak salaman dengan yang bukan mahram."

Erika terlihat kaget. Ekspresinya bercampur dengan rasa bersalah. "Oh Maaf. Aku gak tau kalau --" kata Erika guguo.

Aku berusaha mengobrol dengannya untuk mencairkan suasana. Beberapa pertanyaan biasa, dia kuliah jurusan apa, dan semacamnya. Ternyata Erika bukan anak fakultas seni, tapi dia anak akuntansi, yang kebetulan diajak temannya ke acara pameran.

"FARHAN AKHTAR!"

Panggilan dengan nada kasar itu kukenali. Seorang perempuan bernama Ari turun dari tangga, dan nyerocos ke arahku.

"DICARIIN KA MANA-MANA!! HADEUUUHH!! ALON PISAANN!!!" omel Ari, si perempuan tomboi itu lalu terdiam saat melihatku sedang bicara dengan Erika. Dia melihat kami berdua bergantian.

"Aduh maap. Saya ganggu, ya?" tanya Ari mengubah nada suaranya menjadi sopan.

Aku memelototinya sekejap, dan beralih ke Erika dengan senyuman. "Erika, aku duluan, ya. Mau nyusun bahan pameran dulu."

"Iya. Semoga sukses ya, Farhan. Nanti aku keliling di sekitar sini, kok. Aku dateng memang untuk liat pameran."

"Oke. Makasih, Erika."

Kami berpisah jalan, dan tinggallah aku dengan si tomboi Ari yang mengamati wajahku dengan curiga.

Aku meliriknya kesal. "Kunaon?" (Kenapa?) tanyaku.

"Kenalan di mana sama perempuan geulis (cantik) begitu? Jarang-jarang liat kamu ngobrol akrab sama yang bukan mahram," goda Ari.

Aku membuang muka. "Gak tau, ah." Ari mencibirku. Dia cekikikan, tahu kalau aku naksir Erika, perempuan yang baru kutemui.

Pameran berlangsung hingga break makan siang. Aku salat Jum'at dan makan bareng Ari dan Dion. Kami bertiga satu angkatan. Saat sedang makan, aku melihat Erika dan temannya berjalan dari arah musholla menuju kantin. Ari menyadarinya. Tiba-tiba dia melakukan hal yang mengejutkan. Dia berdiri dan menghampiri Erika.

HAH!! DIA NGAPAIN?? teriakku dalam hati.

Ari kembali membawa serta Erika dan temannya ke meja kami. "Aku ngajakin mereka makan bareng ya, gaes," kata Ari sambil nyengir puas ke arahku.

"Ayo duduk, Erika dan ... maaf, siapa nama temennya?" tanyaku.

"Esti," jawab wanita hitam manis itu sembari menyodorkan tangan.

Aku mengatupkan tangan di depan dada. "Aku Farhan. Maaf, aku gak salaman dengan yang bukan mahram."

"Oh ... maaf," kata Esti terlihat kaget, seperti reaksi kebanyakan orang.

Ari berusaha bercanda, mencairkan suasana. "Iya, temen kami yang satu ini emang rada antik. Gak pernah mau sentuhan sama yang bukan mahramnya. HARAM, katanya!" Ari menyambung kalimat itu dengan tawa ngakak. Membuatku tersenyum kaku.

Awas kamu nanti, Ri, batinku.

Erika dan Esti duduk di depan kami setelah memesan makanan. Dengan adanya Ari yang julukannya adalah si ember bocor, suasana mengobrol menjadi santai.

"Oh jadi kalian dari Bandung? Trus di sini sampai kapan?" tanya Erika ke arahku.

"Insyaallah besok sore balik ke Bandung," jawabku.

Setelahnya aku terdiam. Menyadari kalau aku cuma dua hari di Jakarta. Lalu nanti setelah kembali ke Bandung, aku tidak tahu kapan aku bisa punya kesempatan ke Jakarta lagi.

Apa aku bisa bertemu Erika lagi?

Pikiran itu membuatku cemas. Meskipun Ari terlihat cuek, tapi dia sebenarnya sensitif. Dia agaknya menyadari perubahan ekspresi wajahku.

Setelah selesai makan, kami kembali ke ruang pameran. Pikiranku agak teralihkan hingga sore hari. Setelah pameran selesai, Erika dan Esti menghampiriku.

"Selamat ya, Farhan. Pamerannya sukses. Karya-karyamu keren deh," puji Erika.

Komentar Erika membuatku tersipu. "Makasih."

Esti tersenyum simpul. Dia seperti memahami suasana di antara kami berdua.

"Erika, aku duluan ke halte, ya. Kamu ngobrol aja dulu sama Farhan," kata Esti.

"Oke. Bentar lagi aku nyusul," sahut Erika terlihat malu mendengar kalimat pamitan Esti barusan. Setelah kami ditinggal berdua, kami sempat diam karena salah tingkah, tapi lalu aku berusaha memulai percakapan. Menanyakan di mana rumah orang tuanya, apa dia punya adik atau kakak, dan pertanyaan yang masih masuk kategori 'normal'. Aku sebenarnya sangat ingin bertanya, apa dia punya pacar atau tidak. Tapi aku tidak berani.

"Farhan, aku duluan ya. Kasian Esti nungguin di halte," ucap Erika pamit.

Rasanya berat sekali. Apa ini adalah terakhir kalinya aku bertemu dengannya?

"Erika, aku juga mau turun ke bawah. Bentar ya kuajakin si Ari. Dia juga udah mau balik kok," kataku.

"Oke," sahut Erika mengangguk. Dia menungguku yang sedang berdiskusi dengan Ari.

"Janten kumaha ieu Farhan? Enjing urang mios ka Bandung. Anjeun henteu keneh hoyong ngomong lamun anjeun naksir sami anjeunna?" (Jadi gimana ini Farhan? Besok kita berangkat ke Bandung. Kamu masih gak mau bilang kalo kamu naksir sama dia?)

"Aku gak berani, tapi ... haduh gimana, ya? Jadi galau," ujarku menggaruk rambut pendek spike-ku.

Ari menepuk keningnya. "Hadeuuhh capek, deh."

Aku menunduk dan memejam seperti sedang mengheningkan cipta. Ari terheran-heran melihatku. Mataku terbuka. Aku sudah mengambil keputusan.

"Ri, tolong bantu aku," kataku serius.

.

.

***

Bagian 38 (Catatan Farhan) 

.

.

"Cukup dijawab 'iya' atau 'enggak'. Farhan cuma mau mastiin.

Dia gak mau pulang ke Bandung membawa penyesalan."

.

.

***

Kami bertiga sudah di dekat pelataran fakultas Seni. Aku, Erika, Ari. Ari sedang berusaha keras menjadi 'penerjemah' antara aku dan Erika.

Walau dia tidak sepenuhnya memahami pola pikirku, tapi dia benar-benar berusaha membantuku.

"Jadi, begini, Erika. Sebelum besok sore kami berangkat ke Bandung, Farhan mau tanya sesuatu yang penting sama kamu," kata Ari memulai aksinya.

"Penting? Apa ya?" tanya Erika melirik ke arahku, membuatku salah tingkah.

Ari terlihat geregetan. "Sok atuh, Farhan! Kamu atau saya yang ngomong, ini?" tanya Ari memastikan.

Suaraku segera gelagapan. Aku tidak menyangka kalau mengutarakan perasaan memerlukan keberanian yang begitu besar. Ternyata perempuan-perempuan yang dulu 'menembak'ku mungkin mencurahkan segenap keberaniannya untuk melakukan ini.

"A-a-aku ... eh ... anu. A-apa kamu --, bibirku bergerak, tapi tidak berhasil merangkai satu kalimat pun.

Ari menutup mata. "Sok lah saya aja yang ngomong! Jadi gini, Erika. Sebelumnya, boleh gak kami tanya hal yang agak pribadi?"

Mata Erika terbuka. "Pribadi? Iya, tanya aja," jawab Erika dengan ekspresi tegang di mukanya.

"Kamu teh udah punya pacar belum?" tanya Ari tanpa basa-basi.

"Pacar? Ng ... lagi gak punya pacar," jawab Erika dengan rona di pipinya.

Ari dan aku saling berpandangan, dan Ari seperti memberi kode 'sikat wae lah, Farhan!'

Aku masih gemetar. "Ka-kalo gitu, apa kamu ... uh ... maksudku ... "

Ari memberikan tatapan putus asa padaku.

"Udahlah, Farhan. Kamu mah hopeless. Jadi gini, Erika. Temen saya yang ajaib ini, si Farhan, naksir berat sama kamu. Nah, dia teh pingin kenal sama kamu, tapi karena dia aneh, dia gak bisa pacaran kayak orang normal. Jadi, -- "

Aku menutup mukaku. Ari #&$*!!!

"Jadi, dia mau tanya dulu sama kamu, apa kamu ada ketertarikan sama dia atau enggak?" lanjut Ari.

Erika menoleh ke arahku tersipu malu, sementara mukaku sudah seperti udang rebus.

Erika kembali menatap Ari.

"Cukup dijawab 'iya' atau 'enggak'. Farhan cuma mau mastiin. Dia gak mau pulang ke Bandung membawa penyesalan," kata Ari spoke person-ku. The best lah dia.

Erika kembali melirik ke arahku. Aku tidak berani menatapnya terlalu lama.

Erika mengangguk pelan. "Iya," jawabnya singkat.

Aku tidak bisa mengungkapkan dengan yang kurasakan saat itu. Rasa syukur yang teramat besar membuat kakiku merasa seolah tidak benar-benar menapak di permukaan bumi.

Ari melotot ke arahku. Seperti memberi aba-aba, memaksaku yang meneruskan percakapan.

"Ka-kalo gitu, apa besok aku bisa ketemu orang tuamu?" tanyaku.

"Orang tuaku?" Erika nampak heran.

Ari berusaha menjelaskan. "Nah. Itu tadi kenapa saya bilang dia aneh. Jadi, berhubung dia gak bisa pacaran kayak orang normal, dia mau bicara dulu sama orang tua kamu. Istilahnya kayak permisi dulu sama wali kamu, macam silaturahmi, begitu."

Aku memberi Ari tatapan datar. Aku memang senang dia mau jadi penengah antara aku dan Erika, tapi ...

Apa dia gak bisa berhenti menyebutku ANEH??

"Ooh iya. Boleh, kalo kamu mau, kamu bisa datang besok. Besok 'kan Sabtu. Aku biasa berangkat ke rumahku dari kos pagi. Kita bisa berangkat bareng," kata Erika.

"Oh gitu? Alhamdulillah. kalo gitu, Insyaallah besok pagi aku udah sampai di sini. Nanti kupesenin taksi. Jam berapa?" kataku dengan semangat berkobar.

***

Saat janjian dengan Erika kemarin, bicaraku lancar, tapi gugupku kumat saat pagi ini bertemu dengannya di halte.

"A-Assalamualaikum. Pagi, Erika," sapaku.

Erika tersenyum manis. "Wa alaikum salam. Pagi, Farhan," sahutnya. Dia mengenakan dress terusan berbahan jeans biru muda, dan rambutnya terurai. Dipulas make up tipis. Kelihatan cantik sekali, membuatku tanpa sadar menahan napas.

Supir taksi sudah menunggu tak jauh dari halte. Aku membukakan pintu belakang untuknya, sementara aku sendiri duduk di samping supir. Aku tak berani duduk di sampingnya. Bisa-bisa aku kena serangan jantung.

Sangat menegangkan saat kami akhirnya tiba di depan pagar rumahnya. Karena pagar dikunci, Erika menekan bel, dan muncul seorang wanita yang aku tebak adalah Ibunya, karena wajah mereka mirip. Ternyata benar dia Ibunya.

Erika menyapanya. "Assalamualaikum, Bu."

"Wa alaikum salam," sambut wanita itu tersenyum, lalu agak heran melihatku berdiri di belakang Erika.

Erika berusaha menjelaskan. "Ibu, dia ... ehm ... dia Farhan, teman baruku."

Kata 'teman' itu membuatku merasa agak aneh, tapi karena aku memang bilang tak bisa pacaran dengannya, jadi kurasa aku sudah cukup senang dia menyebutku temannya.

Aku tersenyum dan menundukkan badanku pada Ibunya. "Assalamualaikum, Tante. Saya Farhan. Maaf mengganggu," sapaku memberi salam dengan caraku yang biasanya, dan Ibunya langsung paham kalau aku menghindari sentuhan langsung. Dia membalas salamku dan tidak terlihat kaget.

"Wa alaikum salam. Sama sekali tidak mengganggu kok. Ayo masuk, Nak Farhan."

Erika segera menyiapkan teh hangat untuk kami. Sementara aku hanya berdua dengan Ibunya di ruang tamu. Rupanya Bapaknya Erika ngantor setengah hari di hari Sabtu. Sayang sekali, padahal aku juga berharap bertemu Bapaknya.

"Jadi, Nak Farhan, boleh Tante tanya, kapan kamu mulai kenal sama Erika?" tanya Ibunya Erika.

"Saya baru kenal Erika kemarin, Tante."

Ibunya melotot. "Hah?? Baru kemarin?"

"Iya, Tante. Saya sebenarnya mahasiswa dari Bandung. Kebetulan ke Jakarta karena diundang pameran seni di fakultas seni kampusnya Erika," jelasku.

"Ooo ya ya. Wow. Maaf Tante agak kaget. Soalnya, Erika sangat jarang membawa teman laki-lakinya ke rumah. Dia enggak sembarangan undang teman laki-lakinya ketemu dengan Ibu Bapak."

Aku mengangguk malu. "Oh ... iya, Tante." Dari kalimat Ibunya barusan, aku paham bahwa sebelum aku, pernah ada laki-laki yang datang menemui orang tuanya. Mungkin mantan pacarnya, kupikir.

Erika datang membawakan nampan yang di atasnya ada tiga cangkir teh. Kami minum teh sambil mengobrol. Ibunya menanyakan tentang kuliahku di Bandung, lalu menanyakan tentang keluargaku di Bogor. Kami cukup lama mengobrol hingga tak terasa waktu Zuhur tiba. Aku dipersilakan salat Zuhur di sebuah kamar tamu. Setelah salat, Ibunya Erika menawarkanku makan siang bersama mereka.

Barulah setelah makan siang, aku mengutarakan niatku berkunjung ke rumah mereka.

"Tante, saya ... emm --," kegugupan itu mulai muncul lagi, membuatku menarik napas panjang sebelum mencoba melanjutkan. "Saya insyaallah sore ini kembali ke Bandung. Saya sudah bicara dengan Erika kemarin. Saya memang tidak bisa pacaran dengan dia, maksud saya, tidak dengan cara umumnya orang berpacaran. Tapi, saya jelas punya ketertarikan dengan Erika. Hanya saja saya merasa jarak justru akan baik untuk kami.

Saya tidak tahu akan bagaimana hubungan kami ke depan, tapi saya berharap hubungan kami bisa tetap baik. Kalau seandainya dalam dua tahun lagi kami lulus kuliah dan masih berhubungan baik, insyaallah saya akan datang ke sini lagi bersama orang tua saya, untuk melamar Erika. Itu kalau Erika bersedia."

Erika dan Ibunya melotot. Ibunya menutup bibirnya, tak menyangka aku akan mengucapkan kata itu. 'Melamar'.

Aku berusaha menenangkan mereka. "Eh ... anu ... tapi itu 'kan masih lama ya. Kita tidak tahu takdir Allah. Kalau memang kami ditakdirkan bersama, saya --," Aku tak sanggup meneruskan kalimat itu karena mukaku keburu merah padam saking malunya. Aku sendiri tidak yakin aku benar-benar mengucapkannya.

Kulihat wajah Erika juga merona. Dia saling bertatapan dengan Ibunya. Ibunya menoleh padaku dan tersenyum. "Iya, Nak. Ibu doakan yang terbaik untuk kalian. Kalau memang kalian berjodoh, mudah-mudahan niat baik Nak Farhan bisa terwujud."

"Amin. Makasih, Tante. Saya juga insyaallah pas libur akhir semester nanti mau berkunjung ke sini lagi, supaya bisa ketemu juga dengan Bapaknya Erika. Sebaiknya saya datang hari apa ya tante?"

"Ooh boleh. Datang hari Minggu aja. Minggu insyaallah Bapak ada di rumah."

"Baik, Tante. Nanti sebelum saya mampir, insyaallah saya akan mengabari."

Kami masih mengobrol hingga nyaris jam dua, sebelum akhirnya aku berpamitan. "Tante, terima kasih makan siang dan ngobrol-ngobrolnya hari ini."

"Sama-sama terima kasih atas kedatangannya kemari, Nak Farhan." Ibunya menoleh ke Erika. "Erika, antar Farhan ke depan ya."

"Iya, Bu," kata Erika tersenyum dan kami berjalan keluar pintu menuju pagar.

Aku sengaja memperlambat langkahku. Rasanya berat harus berpisah dengannya beberapa bulan ke depan. Hidupku sungguh ajaib. Aku baru bertemu dengannya kemarin, dan hari ini aku seperti melamarnya.

"Kamu berangkat sore ini?" tanya Erika yang masih tersipu.

"Iya insyaallah sore ini berangkat naik bis bareng anak-anak yang lain."

Erika mengangguk dan tersenyum sambil menundukkan wajah. "Kamu gak tanya nomer HP dan telepon rumahku?" tanya Erika lagi.

Aku terdiam. "Oh iya, ya."

Erika tertawa lepas. "Kalo aku gak ngingetin, kamu gak akan tanya, ya? Farhan, kamu lucu banget. Trus nanti pas mau mampir ke rumahku lagi, kamu mau ngabarin ke mana?"

Aku tersenyum bahagia. Melihatnya tertawa membuatku merasa ikut senang. "He he. Maaf, nomor HP dan nomor rumahmu berapa ya?"

Setelah mencatat nomor telepon di ponselku, aku masih merasa sangat berat melangkahkan kakiku pergi dari rumahnya.

"Farhan." panggil Erika.

"Ya?" sahutku.

Aku kembali melihat Erika tersipu malu, dan merasa pemandangan itu sangat menggemaskan.

"Hati-hati di jalan, dan kasih aku kabar."

'Kalimat sakti' para pasangan itu sukses membuatku salah tingkah hingga refleks menggaruk rambutku. "I-iya. Insyaallah akan aku kabari kamu. Emm ... Erika, kita gak akan ketemu beberapa bulan, jadi ... kamu --"

Aku tidak juga menuntaskan kalimat itu karena tidak sanggup mengatakannya.

Kamu jangan berhubungan dengan laki-laki lain? Kamu jangan selingkuh? Kali deh aku ngomong gitu. Aku takut sebenarnya. Banyak cerita kudengar dari teman-teman kuliahku. Mereka bilang cinta jarak jauh adalah omong kosong. Dan umumnya berakhir tragis.

Erika tersenyum seolah paham maksudku. "Aku akan berusaha menjaga diriku dengan baik. Kamu juga ya, jaga dirimu dengan baik."

Jawaban itu terasa menenangkan. Kami memang baru kenal sebentar, tapi aku merasa seperti sudah lama mengenalnya. Mungkin kami memang berjodoh. Aku membalas senyumnya. Berharap senyumanku cukup untuk disimpannya dan menemaninya selama ketidakhadiranku.
Kami saling melambaikan tangan.

Alhamdulillah kami berhasil melewati dua tahun dengan hati yang saling terjaga. Kami menikah dan sangat bahagia saat itu. Tapi kami tak pernah menyangka akan menerima cobaan itu.

Lima tahun pernikahan, tanpa anak.

.

.

***

Bagian 39 (Catatan Erika)

.

.

Seperti itulah yang kurasakan saat itu.

The bell is ringing.

Dan aku segera tahu, kalau dia adalah orangnya.

.

.

***

Tujuh tahun sebelum reuni ...

Aku tak percaya ini. Sudah dua tahun sejak aku putus dengan Yoga. Kenapa ini masih terjadi?

Aku memperhatikan tempat sampah di dekat kasur yang penuh dengan gumpalan tisu. Entah sudah berapa lembar tisu kuhabiskan untuk menghapus air mata. Untuk apa ini semua? Untuk siapa?

Biasanya kesibukanku membuatku tak sempat memikirkan yang lain selain tugas kuliah. Tapi menjelang akhir pekan ini, tugas sudah selesai kukerjakan, tak ada kerja kelompok, dan tak biasanya, tak ada ajakan jalan dari Esti. Biasanya dia mengajakku makan di luar kampus atau ke mall.

Setelah lama aku tak memikirkan Yoga, hari ini aku kembali menangis karenanya. Dan setiap aku mengingatnya, aku akan membuka sebuah folder di ponselku. Folder itu kuberi nama AKUNTANSI untuk samaran, tapi isinya sebenarnya adalah dua buah foto kenanganku dengan Yoga. Satu foto adalah foto Yoga yang kuambil secara diam-diam di kedai kopi saat kami dulu jalan bersama. Foto kedua adalah foto kami berdua yang sedang duduk di bangku kayu, di pelataran Kota Tua, saat kami sedang kencan. Itu adalah kencan kami yang paling indah. Langit hari itu berwarna biru cerah, dan kami berdua terlihat sangat bahagia di foto itu.

Setiap kali melihat foto itu, tangisku makin menjadi. Aku merasa seperti orang bodoh, seperti sedang menyiksa diriku sendiri.

Jariku menekan tombol Contact di ponsel. Muncul banyak daftar nama di sana. Aku mencari sebuah nama : Yoga. Iya, aku masih menyimpan nomornya. Setelah putus dengannya, aku sempat mengganti nomorku dengan yang baru, tapi aku tak pernah menghapus nomor ponsel Yoga. Aku tak pernah bisa melakukannya.

Aku merebahkan tubuhku di kasur kamar kosku. Mataku menatap kosong deretan kombinasi angka di layar. Kombinasi angka yang sudah kuhapal di luar kepala.

Kupejamkan mata. Sekarang kondisiku sudah lebih baik sebenarnya. Aku masih ingat enam bulan pertama setelah putus dengan Yoga, aku seperti orang linglung. Pernah suatu siang saat aku berdiri di bus kampus, seorang mahasiswa naik ke dalam bus. Aku tak begitu memperhatikan penampilan laki-laki itu, tapi saat dia melewatiku, aku bisa mencium aroma yang persis sama seperti parfum Yoga. Persis sama! Woody bercampur citrus. Aku berjalan menghampiri laki-laki itu. Dari belakang kulihat rambutnya panjang, dan tubuhnya tinggi, mirip proporsi badan Yoga. Aku memanggilnya, "Yoga!", sambil kutarik tangannya. Ternyata, orang itu bukan dia. Bukan Yoga.

Enam bulan pertama lebih gila dari sekarang. Jadi kupikir, aku mungkin sedang dalam proses melupakan dia. Hanya saja, berapa lama lagi sampai akhirnya aku benar-benar bisa melupakannya?

Setahun setelah putus dengan Yoga, Esti mengenalkanku dengan seorang mahasiswa teman satu jurusannya. Namanya Rhino. Dia laki-laki yang baik dan sopan. Walaupun aku tidak pernah curhat dengan Esti mengenai kesulitanku move on dari Yoga, tapi Esti seperti tahu apa yang sedang kupikirkan.

Tersentuh dengan niat baik Esti, dan karena kulihat Rhino adalah laki-laki yang baik, aku akhirnya sempat jadian dengannya. Tapi kami hanya bertahan enam bulan. Aku merasa ada yang salah dalam hubungan kami. Seperti seharusnya aku tidak bersama dia. Aneh sekali. Aku tak sanggup berpura-pura cinta padanya, dan akhirnya aku memutuskan hubungan dengan Rhino.

Setelah dengan Rhino, beberapa laki-laki di fakultasku berusaha mendekatiku, tapi aku menjaga jarak dengan mereka. Aku tidak mau kejadian dengan Rhino terulang kembali.

Aku kembali membuka mataku. Nomor ponsel itu masih nampak di layar. Ingatanku kembali pada banyaknya momen indahku bersama Yoga. Kami hanya jadian sepuluh bulan saat itu, tapi sepuluh bulan itu sangat padat, karena Yoga tak pernah membiarkanku sendirian. Dia selalu mencari waktu untuk kami bisa bersama. Dia tak pernah mau aku jauh darinya.

Air mataku kembali menetes.

Yoga, apa yang sedang kamu lakukan sekarang?

Pikiran bahwa dia pasti sudah bersama perempuan lain, sangat menyakitkan buatku.

Apa ini? Apa aku menyesal? Apa aku melakukan kesalahan terbesar dalam hidupku? Apa semestinya aku tidak putus dengannya?

Tapi, aku begitu yakin waktu itu.

Yoga, kenapa kamu tidak berusaha menghubungiku lagi? Apa kamu sudah melupakanku? Apa aku sudah tidak penting lagi buatmu?

Mataku buram dengan air mata. Tiba-tiba aku merasakan dorongan yang sangat kuat untuk mencoba meneleponnya.

Jantungku berdebar kencang sambil menatap nomor ponselnya.

Tapi setelah dua tahun aku sama sekali tak berusaha meneleponnya, apa yang harus kujelaskan padanya?

Bukankah aneh kalau aku tiba-tiba meneleponnya? Aku yang dulu memutuskan dia.

Alisku berkerut. Debar jantungku masih belum tenang.

Tidak! Aku tidak peduli lagi! Aku harus bicara dengannya! Aku perlu tahu, apa dia masih punya perasaan padaku atau tidak. Kalau dia sudah melupakanku, aku akan memaksakan diriku melupakan dia. Aku tak peduli walau untuk itu aku harus berpura-pura mencintai orang lain!

Jariku gemetar saat berusaha menekan tombol telepon di layar.

Apa yang pertama kali sebaiknya kukatakan? "Hai Yoga, ini Erika, mantan pacarmu. Kamu masih ingat? He he. Apa kita bisa ketemuan? Ada yang ingin kubicarakan denganmu." Begitukah? Apa itu terdengar cukup normal?

Mataku kupejamkan dan aku nekat menekan tombol itu. Calling.

Aku buru-buru menempelkan speaker ponsel di telingaku. Debar jantungku semakin cepat. "Nomer yang anda tuju, tidak aktif."

Mesin penjawab otomatis itu masih bersuara, tanganku terasa lemas. Sambungan telepon kumatikan. Aku menutup mataku dengan tangan, berusaha membendung air mata.

Dia mungkin sudah mengganti nomornya. Apa yang barusan aku lakukan?

Memangnya kalau aku dan Yoga jadian lagi, apa yang akan terjadi? Hal yang sama akan terulang kembali! Apa aku sudah lupa alasan kenapa aku putus dengannya?

Ponselku bergetar. Telepon masuk dari Esti.

"Ha-halo?" sapaku.

"Erika? Kamu kenapa? Kok suaramu bindeng gitu? Kamu lagi pilek ya?"

Aku segera bangkit dari tempat tidur. "Oh iya, nih. Rada pilek dikit. He he. Kamu lagi di mana, Ti?"

"Aku udah deket nih sama kosanmu."

"Hahh??"

"Iya. Dekeet banget. Ha ha."

Terdengar suara ketukan pintu. Aku segera membuka pintu.

Esti mengembangkan kedua tangannya. "ERIKAAA!!! KEJUTANN!!".

Aku terdiam melihat Esti. Barulah kusadar kalau aku belum sempat menghapus sisa air mata di pipiku.

Wajah Esti perlahan berubah sedih. "Erika?? Kamu kenapa? Kok matamu --"

Pertanyaan itu entah kenapa membuatku semakin sedih. Aku merangkul Esti dengan erat dan menumpahkan tangisku di bahunya.

"Erika?"

Malam itu Esti menginap di kamar kosku dan kami mengobrol sampai menjelang pagi.

***

Dua bulan setelah kejadian itu, Esti mengajakku pergi ke sebuah pameran di fakultas seni. Untuk 'cuci mata' katanya. Esti bilang, mana tahu ada seniman kece yang bisa dikecengin. Awalnya aku merasa malas datang, tapi aku merasa bersyukur akhirnya datang hari itu. Karena di sanalah aku bertemu Farhan, yang kemudian menjadi suamiku.

Pertama kali aku melihat Farhan adalah saat dia menyeberang jalan. Aku baru saja turun dari bus dan sedang berdiri di halte saat itu. Jadi, sebenarnya akulah yang 'menemukan' Farhan lebih dulu. Farhan terlihat kerepotan membawa banyak gulungan kertas dengan kardus. Dia mengenakan jaket yang berbeda dengan anak kampusku, jadi kupikir dia mungkin dari universitas lain.

Aku belum pernah tertarik pada seseorang semata-mata karena alasan fisik. Walaupun Yoga secara fisik lebih tampan darinya, tapi entah kenapa wajah Farhan menarik mataku beberapa detik. Aku terpaku padanya dan tak bisa melihat yang lain di sekitar dia. Aku mendapat kesan berbeda saat melihatnya. Sulit untuk menjelaskannya. Walau aku belum pernah bertemu dengannya, karakter kebaikan dan kelembutan seolah 'tercetak' di wajahnya.

Aku segera istigfar dan melihat ke arah lain. Tapi setelah dia akhirnya melewati halte menuju pelataran fakultas seni, aku kembali menoleh ke arahnya. Rupanya seseorang menabraknya dari belakang dan barang-barangnya berjatuhan di lantai. Yang aku heran, dia sama sekali tidak marah. Kalau itu terjadi padaku, setidaknya mungkin aku sudah berteriak kesal pada laki-laki tak bertanggung jawab yang kemudian kabur itu.

Tanpa pikir panjang aku menghampiri dia dan membantunya memunguti barang-barangnya. Aku sampai lupa meninggalkan Esti di halte. Dia menyusulku dan menarikku berjalan ke arah gedung pameran. Tapi aku merasa berat meninggalkan Farhan membawa barang-barang itu sendirian. Akhirnya aku minta Esti berjalan duluan dan aku akan menyusulnya belakangan.

Selama berjalan di samping Farhan, aku merasa tegang. Apa yang sedang kulakukan? Apa aku sedang PDKT dengannya? Aku malu dengan pikiran itu. Karena jika ini menimpa orang lain, apa aku akan membantu orang itu sama seperti aku membantu dia?

Setelah kami sampai di gedung pameran, kami sempat mengobrol sebentar. Aku menunggunya mengajakku kenalan, tapi dia tidak kunjung melakukan itu. Dan akhirnya aku memberanikan diri berkenalan duluan dengannya. Ternyata dia tidak bersalaman dengan yang bukan mahram. Okh aku malu tak ketulungan. Aku merasa tiba-tiba menjadi perempuan agresif. Rasanya aneh, seperti bukan diriku sendiri.

Kami berpisah saat dia harus mengurus materi pamerannya. Tapi aku masih berharap kami bisa mengobrol lagi. Dan aku senang saat jam makan siang seorang perempuan tomboi yang kukenali sebagai teman Farhan, mengajakku ikut makan se-meja dengan mereka.

Aku baru tahu kalau mereka ternyata adalah mahasiswa dari Bandung yang diundang menjadi peserta pameran. Dan ternyata mereka akan kembali ke Bandung besok sore. Kupikir, itu artinya aku tidak akan bertemu lagi dengannya. Berarti, kami mungkin tidak berjodoh.

Itu yang aku pikirkan. Tapi rupanya aku salah.

Setelah pameran selesai, aku merasa berat untuk pulang. Untuk terakhir kalinya, aku memberanikan diri menghampiri Farhan yang sedang merapikan barang-barangnya. Esti menangkap sinyal kalau aku masih ingin mengobrol dengan Farhan. Dia pamit pergi duluan ke halte.

Setelah beberapa saat, aku jadi khawatir kalau Esti terlalu lama menungguku. Akhirnya dengan berat hati aku pamit. Di luar dugaan, Farhan mengajakku keluar gedung bersama. Aku senang sekali. Tapi ternyata kami tidak berduaan. Dia juga mengajak Ari, teman perempuannya yang tomboi. Aku sempat berpikir, apa mereka punya hubungan khusus. Karena Farhan adalah tipe laki-laki yang tidak bersentuhan dengan yang bukan mahram. Tapi bagaimana bisa dia dekat dengan Ari? Walaupun Ari tomboi, dia tetap perempuan. Aku kesal dengan diriku sendiri. Bagaimana aku bisa cemburu karena orang yang baru kutemui?

Setelah kami di luar gedung pameran, barulah aku tahu kalau Farhan sengaja mengajak Ari karena dia minta tolong Ari untuk jadi 'penengah' antara kami, saat dia mengutarakan perasaannya padaku. Aku bahagia sekali. Tidak menyangka kalau dia menyukaiku. Farhan bertanya melalui Ari, apakah aku ada ketertarikan dengannya. Aku malu mengakuinya. Kulihat Farhan juga salah tingkah. Akhirnya aku mengakui kalau aku memang tertarik padanya. Farhan kelihatan sangat senang. Tapi aku agak bingung waktu dia bilang dia tidak pacaran. Lalu hubungan seperti apa yang dia harapkan untuk kami?

Farhan menanyakan alamat rumah orang tuaku. Aku agak kaget. Untuk apa? Ari bilang, Farhan ingin 'minta izin' atau 'permisi'. Semacam silaturahmi ke keluargaku. Kupikir baiklah, aku dan Farhan sepakat akan berangkat bersama ke rumah Ibu Bapakku esok pagi naik taksi.

Ayahku sedang di kantor, jadi hanya ada Ibu di rumah. Seperti kuduga, Ibuku terlihat terkejut melihatku datang bersama Farhan. Beliau tahu kalau aku tidak pernah membawa sembarang laki-laki ke rumah. Di luar dugaan (lagi), Farhan seperti 'melamar'ku di depan Ibuku. Dia bilang kalau hubungan kami masih baik dua tahun lagi saat kami lulus kuliah, dia akan datang bersama orang tuanya untuk melamarku.

Aku kaget sekali. Dan Ibuku kelihatan tak kalah kaget. Suasana mirip seperti ini dulu pernah kualami saat masih bersama Yoga. Tapi Yoga tidak sampai terucap 'melamar'. Mungkin karena saat itu kami masih sangat muda. Masih SMA.

Merasa tidak enak karena mengejutkan kami berdua, Farhan mengatakan "itu kalau Erika bersedia." Aku memperhatikan sorot matanya. Dan merasakan sesuatu yang belum pernah aku rasakan sebelumnya. Aku pernah mendengar, kalau kita bertemu dengan jodoh kita, kita akan mendengar 'suara bel' itu berbunyi di hati. Seperti itulah yang kurasakan saat itu. The bell is ringing. Dan aku segera tahu, kalau dia adalah orangnya.

Tapi sesuatu mengusikku. Yoga dulu pernah mengatakan ini padaku. Dia bilang, saat dia jatuh cinta padaku (yang aku tidak tahu kapan dan bagaimana itu terjadi), dia langsung tahu kalau aku orangnya. Tapi ternyata kami lalu putus. Apa itu berarti firasatnya salah? Alarm belnya salah?

Aku tidak mengerti. Tapi yang aku tahu, saat itu aku yakin, bahwa Farhan adalah orangnya. Jodohku. Dan kenyataan bahwa dia jauh lebih religius dariku, membuatku tenang. Aku berharap bersamanya aku bisa menjadi wanita yang lebih baik.

Kami berpisah. Farhan berpamitan ke Bandung. Dia terlihat cemas saat akan meninggalkanku. Aku mengerti yang dia pikirkan. Dia nampak khawatir dengan hubungan jarak jauh. Aku bilang padanya kalau aku akan berusaha menjaga diriku dengan baik. Dan aku juga minta dia menjaga dirinya dengan baik.

Dua tahun kami terpisah jarak, tapi aku tetap merasa kami dekat. Farhan tak pernah lupa berkirim pesan denganku setiap hari, dan meneleponku setidaknya seminggu sekali. Aku berusaha menepati janjiku. Sejak aku bertemu dengannya, tak pernah sekalipun aku melihat foto Yoga, dan walaupun terkadang aku masih teringat pada Yoga, aku tidak pernah menangis karena dia lagi. Hanya saja, setiap aku berusaha ingin menghapus foto itu, aku tidak sanggup. Akhirnya dua foto itu tetap kusimpan.

Dua tahun berlalu. Aku dan Farhan menikah. Di hari pernikahan kami, teman-teman SMA-ku hadir. Termasuk Gito yang hari itu datang bersama Mona, pacarnya. Gito seperti bisa membaca pikiranku yang agak heran karena Yoga tidak datang bersamanya. Gito sempat berbisik, "Erika, maaf. Yoga tidak bisa datang. Dia ... sedang di luar kota."

Aku mengangguk. Wajahku tegang, kurasa di bawah sadarku, aku takut nama Yoga sampai terdengar ke telinga Farhan.

Kurasa, walaupun aku mencintai Farhan, aku tetap tidak bisa benar-benar menghapus bayangan Yoga dari hatiku. Dia seperti selalu ada di sisi gelapku, dan sewaktu-waktu bisa meruntuhkan pertahananku saat dia muncul. Hal itu terbukti benar, saat kami berdua akhirnya bertemu kembali di tahun kelima pernikahanku dengan Farhan. Aku dan Yoga bertemu di sebuah acara Reuni SMA.

Aku sungguh tidak mengerti bagaimana aku bisa merasa begitu tegang di dekatnya. Jantungku berdetak seperti anak remaja kasmaran. Sungguh menyebalkan. Aku hampir melarikan diri saat dia berusaha duduk di sampingku. Tapi saat dia bilang ingin bicara, dengan nada memohon, akhirnya kami bicara berdua.

Awalnya dia meminta maaf padaku, karena dia merasa melakukan banyak kesalahan padaku dulu saat kami masih bersama. Tapi kemudian pembicaraannya membuatku bingung, karena aku merasa dia seolah ingin menunjukkan kalau dirinya masih punya perasaan padaku. Dia menatapku dengan penuh kelembutan, membuatku ingat masa-masa berat di saat aku berusaha melupakannya. Saat itu aku menunggu dia menghubungiku lagi, tapi itu tak pernah terjadi. Jadi aku dulu begitu yakin kalau dia sudah move on dariku dan sudah berhubungan dengan wanita lain. Tapi melihat caranya menatapku, aku terbawa perasaan dan aku melakukan sebuah kesalahan besar. Aku membalas tatapannya dengan cara yang sama, seolah memperjelas bahwa aku masih mencintainya. Kesalahan yang sangat besar.

Yoga memberiku sebuah kartu nama. Nomor ponselnya sudah diganti, dan nomor di kartu namanya adalah nomor yang baru. Dia bilang, kapan saja aku memerlukan dia, aku bisa menghubunginya. Apapun artinya itu.

Karena rasa bersalahku pada Farhan, aku membuang kartu nama itu di tempat sampah, tapi rupanya Farhan tak sengaja menabrak tempat sampah kecil di dekat tempat tidur itu, dan dia memungut kartu nama yang sempat kubuang malamnya. Farhan pasti sudah membaca nama yang tertera di sana. Nama yang berusaha kusembunyikan. Yoga Pratama.

Reuni yang meninggalkan rasa sakit di hatiku akibat sindiran pahit Lynn di depan semua orang, dan peristiwa pertemuan kembali dengan Yoga, membuatku kehilangan mood untuk melakukan apapun. Keesokan harinya, Farhan berinsisiatif mengajakku bulan madu kedua ke Garut selama seminggu. Aku menghindarinya dengan alasan sedang sibuk di kantor. Aku merasa bersalah pada Farhan. Tapi aku sungguh tidak sanggup melakukan itu dalam kondisi saat ini. Aku perlu waktu untuk menenangkan hatiku yang di dalamnya ada amarah, kecewa, sakit dan bimbang. Aku cemas dan bingung dengan diriku sendiri.

Dan itu semua, muncul karena kelemahanku, dan mungkin juga karena aku masih jauh dari Tuhan. Ibuku pernah bilang padaku, hanya orang yang mengenal dirinyalah yang mampu mengenal Tuhannya. Dan hanya dengan mengingat Tuhan, hati bisa menjadi tenang.

.

.

***

Bagian 40 (Catatan Yoga)

.

.

Kadang aku bertanya-tanya, untuk apa kita hidup?

.

.

***

Tiga bulan berlalu sejak reuni.

Pintu kaca otomatis itu terbuka. Dua orang staf wanita membungkukkan tubuh mereka pertanda hormat. "Terima kasih," ucap mereka.

Aku mengabaikan mereka dan melangkah keluar dari sebuah apotek mewah. Tanganku membawa sebuah bungkusan berisi beberapa jenis obat.

Bukan aku yang sakit, tapi ayahku. Sebenarnya dia bisa saja menyuruh asistennya, tapi aku tahu dia sengaja menyuruhku. Dia mulai tua dan kadang bermanja-manja padaku. Tiba-tiba minta dibelikan barang lah, minta diambilkan buku lah, minta dipijitin punggungnya lah. Dan hari ini dia minta dicarikan obat untuk darah tingginya yang kumat, beserta beberapa kapsul suplemen impor.

Aku selalu menurutinya. Sekalipun rasanya ingin berkomentar, "kenapa harus aku? Kenapa Ayah gak suruh aja Bastian atau asisten ayah?" Tapi kalimat itu selalu kutahan. Aku tahu walaupun ayah punya ratusan staf yang bisa melayaninya, sebenarnya dia sering merasa kesepian. Sejak Ibu pergi meninggalkan kami, ayah merasa hanya aku satu-satunya yang dia punya.

Kadang kalau kuingat kata-kata kasarku pada ayah saat aku mengamuk setelah melihat undangan pernikahan Erika, aku menyesalinya. Biar bagaimanapun juga, dia ayahku, dan aku tetap sayang padanya.

Usia ayah sekarang 54 tahun. Aku menyaksikan sendiri, ayahku yang dulunya gagah itu, sekarang mulai gampang sakit. Minggu lalu ayahku mulai membahas perpindahan kepemilikan perusahaan ke tanganku. Saat ini ayah masih memegang posisi CEO, sementara aku masih Direktur Utama. Ayah ingin aku menggantikan dia, mungkin dalam tiga tahun lagi.

Itu adalah tanda, kurasa. Ayah mulai kelelahan mengurus 'kerajaan'nya. Aku yang awalnya tak acuh, belakangan mulai berpikir, setelah ayah pensiun, lalu apa yang akan terjadi? Dia akan menikmati sisa hidupnya? Dengan cara apa? Keliling dunia? Apa tubuh tuanya masih sanggup melakukan itu?

Aku tahu setiap orang pasti akan mati, tapi ketika aku membayangkan itu terjadi pada ayahku, aku jadi memikirkannya dengan lebih serius. Jika ayahku mati, semua harta kekayaannya akan jatuh ke tanganku. Lalu jika aku tidak juga menikah, dan aku kemudian mati, ke mana perginya semua pundi-pundi emas itu? Tak ada di antara kami yang bisa memilikinya.

Aku berhenti berjalan dan berdiri di tempat parkir, persis di depan mobil sport merah kesayanganku. Sebuah pikiran mendadak muncul.

Mobil kesayanganku ini juga. Kalau aku mati nanti, akan aku tinggalkan. Aku tidak bisa membawanya.

Pikiran itu membuatku mematung tak bergerak. Menatap mobilku dengan pandangan kosong.

Kadang aku bertanya-tanya, untuk apa kita hidup?

Aku menggelengkan kepala. Kenapa sih aku?

Kakiku berjalan mendekati pintu mobil, dan baru akan membuka pintu, saat kulihat seorang pria paruh baya gelandangan sedang duduk di belakang mobilku, beralaskan kertas koran.

Tanganku melepas kaca mata hitam yang sedang kupakai. "Hey kamu!" kataku.

Pria berjanggut itu menoleh ke arahku. Bajunya compang camping dan kotor.

Aku mengibaskan tangan, berusaha mengusirnya. "Jangan duduk di situ. Mobil saya mau mundur."

Dia buru-buru berdiri dan mengambil kertas koran yang didudukinya, lalu berjalan ke arah trotoar. Aku membuka pintu dan hampir masuk ke dalam mobil, tapi tidak jadi lantaran aku kaget melihat pria gelandangan itu sekarang sedang mengorek-ngorek isi tempat sampah besar yang ada di dekat trotoar.

"HEY!! KAMU NGAPAIN??" tanyaku berteriak.

Pria itu melotot, terkejut mendengar teriakanku. "Eh? Sa-saya lagi cari makan."

Aku mengembuskan napas dengan kasar. Berjalan cepat ke arahnya dan menyodorkan selembar uang kertas dari dompet hitamku. "Ambil ini! Kalo mau makan, cari warung, bukan tempat sampah! Gimana sih?"

Aku berbalik badan dan berjalan menghampiri pintu mobil. Ternyata pria itu mengejarku.

"TU-TUNGGU, TUAN!!"

Aku menoleh ke belakang sambil mengernyitkan dahi. "Apa lagi??"

Mata pria itu berkaca-kaca seperti hampir menangis. "Te-terima kasih banyak, Tuan. Semoga Tuhan membalas kebaikan Tuan. Sa-saya mau kasih sesuatu sebagai tanda terima kasih, tapi saya gak punya apa-apa," katanya merogoh-rogoh kantung celana dan kantung bajunya.

Aku memberi isyarat tanganku pertanda menolak. "Gak usah! Saya gak perlu apa-apa!"

Mata pria itu terbuka lebar saat dia sadar menemukan sesuatu dari kantung bajunya. "Oh ya! Saya tadi dikasih selebaran ini sama orang berpeci putih. Ini buat Tuan. Semoga ada manfaatnya."

Alisku berkerut saat menerima lipatan kertas putih dari tangannya. "Apa ini? Ah sudahlah. Ya sudah, terima kasih." Kertas itu buru-buru kumasukkan ke kantung jas dan aku segera masuk ke dalam mobil.

Setelah mesin menyala dan mobilku keluar dari tempat parkir, kulihat dari kaca spion, gelandangan itu masih tersenyum bahagia.

Apaan sih? Duit segitu doang.

Selembar kertas yang barusan kuberikan padanya, biasa kuhabiskan hanya dalam beberapa menit di kafe.

Mobilku sudah memasuki jalan raya, tapi bayangan pria gelandangan tadi dengan matanya yang berkaca-kaca, entah bagaimana terasa mengisi hatiku yang telah terbiasa kosong.

Kenapa aku jadi melankolis begini? Salah makan apa aku?

***

Setelah tiba di kantor, kesibukan yang menggila membuatku hanya punya waktu sebentar untuk makan siang. Negosiasi dengan beberapa perusahaan dan dua rapat akhirnya selesai jam setengah enam.

Aku masuk ke ruanganku dan duduk di kursi empuk sambil menghela napas lelah. Memejamkan mata sejenak. Tiba-tiba mataku terbuka.

A HA! It's 'Erika time'!!

Begitu aku menyebutnya. Erika time adalah hal yang kulakukan di waktu senggangku. Yang mana itu sangat jarang. Jadi aku senang sekali setiap aku sempat melakukannya.

Tanganku sibuk dengan mouse dan mataku fokus menatap layar komputer. Kubuka short cut akun medsos Erika, dan YES!! Ternyata ada foto upload baru! Aku memajukan posisi dudukku.

Ya ya. Aku tahu ini menyedihkan.

Mataku tidak berkedip menatap foto-foto di layar. Erika sedang merayakan ulang tahun teman kantornya yang bernama Mey. Di sebuah foto, Erika dan tiga temannya sedang merangkul pundak wanita bernama Mey yang dipakaikan topi ulang tahun dari kertas koran. Di depan mereka ada kue ulang tahun dengan angka XX di atasnya. Foto itu diberi caption Selamat Ulang Tahun, Mey! Aku sengaja nggak pasang angka umurmu. Krn sebaiknya di *Sensor ;)

Aku tersenyum saat membacanya. Sepertinya Erika sudah tidak sedih pasca insiden dengan Lynn di Reuni. Syukurlah.

Mataku memperhatikan Erika yang nampak sangat cantik dengan kemeja motif bunga sakuranya. Rambutnya terurai ke bahu kirinya. Aku kembali teringat saat terakhir kami bertemu di acara reuni.

Caranya menatapku waktu itu. Aku tidak mungkin salah.

Jariku menyentuh pipi Erika di layar.

Kamu masih mencintaiku, 'kan, Erika?

Napasku tercekat dan air mataku jatuh. Aku segera menyekanya dengan tangan.

Tidak. Tidak. Aku tidak boleh seperti ini terus.

Dengan berat hati, aku menutup jendela akun medsos Erika. Berdiri dari kursi dan berjalan ke arah meja bulat di dekat jendela kaca. Langit senja memerah. Hari mulai gelap. Sebentar lagi, aku mau pulang.

Bunyi pesan yang masuk ke ponsel membuatku terkejut. Refleks tanganku merogoh kantung jas. Ponsel sudah ada di tanganku, tapi sesuatu terjatuh dari dalam kantung jasku.

Aku melihat benda itu di lantai. Sebuah kertas putih yang terlipat. Kertas ini diberikan oleh pria gelandangan di tempat parkir tadi pagi. Tubuhku membungkuk untuk memungutnya.

Orang itu kasih apaan sih?

Kubuka lipatannya hingga selebaran itu terbaca utuh. Foto sebuah masjid tercetak di sisi atas kanan, dan beberapa baris pengumuman sebuah acara tertulis di sisi tengah kertas.

Kajian Rutin

Majelis zikir Adh-Dhiyaul Lami

Masjid Baitul Kirom, Menteng Jakarta Selatan

Setiap Rabu & Sabtu pukul 20.00 WIB

Di baris paling bawah tertulis sebuah kutipan :

Ingatlah, hanya dengan mengingat Allah hati menjadi tenang" (QS. Ar-Ra'du:28)

Aku membaca kutipan itu sekali lagi dalam hati.

Tenang? Kapan terakhir kali aku merasa tenang?

Kertas di tanganku kulipat kembali dan kumasukkan ke dalam kantung celana. Mataku kembali mengamati langit merah yang mulai gelap.

Hari apa ini? Alisku berkerut sedikit. Rabu.

Kulirik jam tanganku. Aku menarik napas panjang dan mengembuskannya lagi. Aku berjalan dan duduk di kursi. Tanganku sibuk mengetik di situs pencari data di internet. Berusaha mencari tahu segala informasi tentang majelis yang tertulis di kertas itu.

Terdengar suara pintu diketuk.

"Ya?" sahutku.

"Pak Yoga, ayah anda ingin menemui anda," suara Mieke yang barusan mengetuk pintu.

Aku refleks menutup beberapa jendela situs yang sedang kubuka.

"Ya. Tolong persilakan ayahku masuk," kataku.

Pintu terbuka dan Mieke memberi jalan untuk ayahku. Setelah ayahku masuk, Mieke ke luar ruangan dan kembali menutup pintu.

"Kamu belum pulang, Yoga?" tanya Dana.

Aku berdiri dari kursi. "Belum, Yah. Malam ini aku ada acara, jadi pulang ke rumah mungkin agak malam."

Mendengar aku akan pergi ke suatu acara, ayahku nampak gembira. "Wah! Acara apa?? Nah! Gitu dong! Kamu 'kan masih muda. Jalan-jalan, kek, kenalan sama wanita cantik, kek, apa kek. Jangan cuma kantor-rumah-kantor-rumah melulu! Ntar kamu keburu 'jamuran' lho!"

Aku tersenyum kaku ke arahnya. "Acara ... yaa ada, lah. He he," jawabku. Kalau sampai ayahku tahu tempat yang akan kutuju, dia pasti kecewa berat, batinku.

***

Mobil sudah kuparkir di dekat masjid. Orang-orang melirikku dan mobilku dengan tatapan heran.

Kenapa, ya? Apa mereka gak pernah lihat mobil impor parkir di masjid?

Aku melepas kaca mata hitamku. Jas kutinggal di dalam mobil. Aku memakai kemeja hitam dan celana bahan hitam. Aku turun hanya membawa dompet dan ponsel di kantung celana. Kepalaku celingukan, menyadari para jamaah berjalan menuju masjid mengenakan baju putih-putih.

Aku tidak tahu kalau ada dress code-nya. Kenapa di selebaran tidak ditulis?

Langkah kakiku terhenti persis di depan tangga masuk masjid. Mendadak aku merasa ragu untuk menaiki tangga itu. Mataku menengadah, menatap gerbang masuk masjid di atas tangga. Mendadak jantungku berdetak lebih cepat. Aku merasa gugup.

Apa aku melakukan hal yang benar? Apa orang seperti aku pantas hadir di Majelis orang alim seperti ini?

Keraguanku mulai membujukku mencari-cari alasan untuk membatalkan niatku.

Aku 'kan tidak pakai baju sesuai dress code. Bagaimana kalau aku datangnya nanti-nanti saja kalau aku sudah beli baju putih?

Sebuah tepukan hangat di pundakku membuatku menoleh ke belakang.

"Assalamualaikum," sapaan ramah itu diucapkan oleh seorang laki-laki yang mungkin seumur denganku. Dia lebih pendek dariku. Berkulit putih, bermata sipit dan berhidung bangir. Ekspresi wajahnya sangat ramah.

"Wa-wa alaikum salam," lidahku masih kaku mengucapkannya.

Orang itu tersenyum. "Saya belum pernah lihat sebelumnya. Anda baru pertama kali datang?"

"Eh ... iya. Saya baru kali ini ke sini."

Dia menyodorkan tangannya. "Nama saya Rizky."

Aku menjabat tangannya. "Yoga. Yoga Pratama."

"Ayo kita masuk ke dalam," kata Rizky setengah mendorong punggungku. Aku merasa tidak enak menolak ajakannya dan akhirnya aku menaiki anak tangga masjid.

Ada perasaan yang tak bisa kujelaskan dengan kata-kata, saat memasuki gerbang itu.

Seolah aku sedang membuka lembaran baru dalam hidupku.

.

.

*** BERSAMBUNG, ADA ATAU TIDAK ADA YANG TAP LOVE, Insyaallah ***

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi ๐Ÿฅฐ

Kategori
Anxi 1
Selanjutnya ANXI (Bagian 41-50)
0
0
Kami datang kepadamu wahai yang telah menunjuki kami ke jalan yang benar (kami mendatangi panggilanmu wahai Nabi shalallahu 'alaihi wassalam), dan yang telah menyeru kami dengan lemah lembut dan bahasa indah,Renungkanlah cahaya cahaya (Rasul shalallahu โ€˜alaihi wassalam) yang ketika dikatakan kepadanya (shalallahu โ€™alaihi wassalam), sejak kapankah kenabianmu ? , maka sabdanya, โ€œkenabianku sejak Adam 'alaihi salam.โ€~ Maulid Adh Dhiyaul Lami (Cahaya Yang Terang Benderang)
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan