5 - Otw TKP Pedang Pusaka

0
0
Deskripsi

"S-Siapa kamu??" 

"Kamu nanyaea? Kamu bertanya-tanyaea?? A ha ha ha ha!! Aku adalah jin penunggu pedang kembar. Namaku adalah Tralala Trilili Senangnya Rasa Hati. Panggil aku Lala."

.

.

"Oke. Bismillah," ucap Dipo sambil membawa tas besar untuk trekking ke gunung. Spatula duduk nangkring di puncak tas, sebagaimana majikan terhadap babunya. Spatula tentunya dibawa serta. Sebab kalau Spatula ditinggal di rumah, nanti kalau tiba-tiba dirinya tak kembali lagi, siapa yang akan mengurus makan, minum dan pup kucing kurang beradab itu yang seringkali pupnya keluar dari bak pasirnya?
 

"Mas Dipo, mau ke mana? Bukannya ini musim kemarau, ya? Kok pakai sweater, jaket dan syal segala?" tanya tetangganya, pemilik warung kelontong.
 

Ah sial! batin Dipo. Padahal dia sengaja berangkat pagi buta, agar tak ada orang yang melihat perjalanan yang mestinya rahasia ini.

"O-Oh. Pak Bersa. Saya mau ... jalan-jalan, Pak. Bosan di salon terus," jawab Dipo cengengesan kepada tetangganya yang bernama lengkap Bersa Tukita Teguh.
 

"Ooh. Jalan-jalan ke mana?" tanya pria paruh baya itu.

Kelihatannya mau ke mana? Masa' iya aku mau ke mall dengan pakaian seperti ini? misuh Dipo dalam hati.
 

"Ke gunung, Pak," jawab Dipo dengan senyum ramah.

"Mau ngapain ke gunung?"

Ah dasar tetangga rese'! Mau ngapain kek! Terserah aku! Dasar Lomba Gurah!
 

"Mau ... nangkap capung, Pak," kata Dipo berdusta maksimal. Memangnya dia anak bocah yang hobi nangkap capung? Tapi berhubung Dipo kurang kreatif dalam berdusta, jadi begitulah jawabannya.

"Ooh--," Pak Bersa kehabisan kata. Wong edan! maki pria itu dalam hati. Anak muda zaman sekarang, sukanya melakukan hal-hal tidak jelas yang gak ada manfaatnya. Dari pada nangkep capung, mending dia promosi apa kek biar salonnya laku, gak sepi kayak kuburan! 
 

"Mari, Pak," Dipo pamit, sebelum tetangga lainnya muncul dan bertanya serangkaian pertanyaan bagai sedang mewawancarai calon pegawai.

Pak Bersa menatap sinis tetangga jomlonya yang telah memunggunginya. Spatula membalas tatapan itu, dengan sorot mata yang menurut Pak Bersa sangat menyebalkan. Seolah-olah bangsa kucing derajatnya lebih tinggi dari bangsa manusia. Bagus deh, kucing kampung itu dibawa juga. Gak nitipin kucingnya ke aku. Males banget ngurusin kucing buluk itu.

Di luar pintu besi yang menutup dinding kaca salon, Dipo memasang pengumuman, yang kemudian dibaca oleh Pak Bersa : 
 

 

PERHATIAN WAHAI PELANGGAN YANG BUDIMAN! 
 

 

AKU AKAN PERGI TUK SEMENTARA. 
 

BUKAN TUK MENINGGALKANMU SELAMANYA. 
 

AKU PASTI 'KAN KEMBALI PADA DIRIMU. 
 

TAPI KAU JANGAN NAKAL. 
 

AKU PASTI KEMBALIIII!

P.S : insyaallah kalau masih ada umur.

 

*Nyanyikan ini dengan nada lagu 'Aku Pasti Kembali' oleh Pasto.
 

~Tertanda, Dipo Satpam, CEO Salon Dipo Les Auto Tjakep

 

Pak Bersa berdecak. "Edan," gumamnya geleng-geleng kepala.

.

.

"Ya ampoon! Peta macam apa sih, ini? Gak kebaca blas! Dasar si Pendek! Mana ada orang yang masukin peta benda pusaka sepenting ini ke dalam rendaman cucian baju??" misuh Dipo jengkel hingga ke ubun-ubun.

Spatula duduk di samping peta, lagaknya seperti paham saja. Mereka berada di tengah ketinggian puncak gunung, setelah akhirnya keluar dari hutan lebat sejam yang lalu dan mulai mendaki. Jika lancar, Dipo dan Spatula mestinya tiba di atas gunung sebelum gelap.

Dipo mengangkat peta dan menerawangnya ke arah matahari siang. Jadi berasa seperti sedang mengecek keaslian uang kertas. Dilihat, diraba, diterawang.

"Ah. Ada yang terbaca sedikit di sini, Spatula! Warung Bu Trans Tivi, ada di seberang gua! Hah! Sebentar. Ini peta tahun kapan? Belum tentu pedagang warung itu masih jualan di sana!" omel Dipo sambil berdiri dan meremas gulungan peta. Dipikir-pikir, salonnya yang ada di Desa 'Di Sini Senang Di Sana Apalagi' saja, sepi bagai kuburan. Apalagi warung Bu Trans Tivi yang lokasinya di atas gunung. Apa bakal ada pembeli? Ada-ada saja manusia.

Kesal, Dipo membuang peta unfaedah itu ke tanah, lalu berjalan ke tepi jurang. 
 

"SIALAN KAMU, PENDEK!! KAMU NGE-PRANK AKU, YA??" jerit Dipo tepat di pinggir jurang. 
 

Suara gema terdengar setelahnya.

"SIALAN KAMU, PENDEK!! KAMU NGE-PRANK AKU, YA??"

Rupanya dia tak ingin bunuh diri, tapi hanya ingin meluapkan kejengkelannya, dengan berteriak hingga terdengar gemanya.

Suara gema itu terdengar keren. Dipo jadi ingin mencobanya lagi.

"DIPO SATPAM, LELAKI PALING GANTENG SEJAGAT RAYAAAA!!" 
 

Kalimat itu kembali terulang suaranya.

"DIPO SATPAM, LELAKI PALING GANTENG SEJAGAT RAYAAAA!!"

Spatula menatap babunya dengan sorot mata iba sekaligus merendahkan. Dasar kampungan, kira-kira demikian makna tatapannya. Spatula memilih kembali makan jatah makan siangnya di mangkuk, dan mengabaikan pria jomlo kesepian yang sedang menjerit di tepi jurang.
 

"BARON!! AKU SUMPAHIN ANAKMU DI-BULLY KAYAK AKU DULU!" 
 

"BARON!! AKU SUMPAHIN ANAKMU DI-BULLY KAYAK AKU DULU!"

Teriakan Dipo lama-kelamaan makin ngaco.

"DIPO SATPAM, IDAMAN PARA WANI--"

Belum sempat kalimat Dipo usai, mendadak sesuatu yang tak terduga terjadi. Tanah di ujung jurang, patah dan menimbulkan suara longsor yang mengerikan.

"AAAA!!! S-SPATULAAAAAA!!!!!" Dipo jatuh dengan posisi tas punggungnya di bawah, menghadap ke arah Spatula yang segera berhenti makan saat melihat babunya terjatuh.

Semua terjadi begitu cepat. Tangan Dipo berusaha menggapai apapun yang bisa diraih, namun tak ada yang bisa dijadikannya tumpuan untuk bergantung. Sekejap, ia menyesali perbuatannya. Mungkin ini karena dia menyumpahi anaknya Baron agar kena bully seperti dirinya dulu. Padahal anak Baron tak berdosa. Lagipula, sekalipun Baron pernah mem-bully-nya, bisa saja Baron sudah bertaubat dan tak mem-bully siapapun lagi. Siapa dirinya, berani-beraninya menyumpahi makhluk Tuhan? 
 

Spatula berdiri di pinggir jurang, mengeong-ngeong ke arahnya. Beberapa potongan tanah menimpa Dipo, sebelum kesadarannya hilang.

.

.

Dipo mendengar suara tanah digali.

Srek! Srek! 
 

Kelopak mata Dipo perlahan membuka. Matahari menjelang sore, menelusup melalui sela pepohonan rindang.

"Meong!" 
 

Seekor kucing hitam, berdiri di dada Dipo dan menjilati pipi Dipo, pertanda kucing itu senang menemukan babunya kembali. Kalau Dipo mati, 'kan repot jadinya. Siapa yang akan jadi pelayan Spatula? Zaman sekarang susah cari babu yang kerjanya bener.

"Spatula? Aku masih hidup?" gumam Dipo berusaha bangkit dari posisi berbaringnya.

Dipo duduk, tersadar bahwa tas punggungnya mungkin adalah penyebab tubuhnya tidak hancur saat terjatuh dari ketinggian belasan meter. Ah bukan. Dia masih hidup karena pertolongan Tuhan, melalui tas punggungnya.

Kakinya terasa nyeri, tapi bisa digerakkan. Tangannya aman. Sepulangnya nanti ke desa, Dipo harus mengobati kakinya yang mungkin memar.

Dipo terdiam saat melihat sebuah lubang gua di depannya.

"S-Spatula, mungkinkah gua ini ... "

Dipo melangkah masuk ke dalam gua. Spatula mengikutinya.

Gelap sekali. Hanya ada bebatuan. Dipo berusaha mencari-cari kemungkinan adanya pedang yang disembunyikan, tapi nihil. Dia tak menemukan apa-apa selain bebatuan dan kelelawar.

Merasa lelah, Dipo menurunkan tas punggungnya dan mengeluarkan botol minuman. Meneguk air sambil bersandar pada batu.

Dipo mendesah lega setelah membasahi kerongkongannya.

"Bukan di sini kali, ya? Mungkin ada banyak gua di gunung ini," keluh Dipo. Membayangkan dirinya harus naik ke atas lagi untuk mengambil peta yang tertinggal, membuatnya merasa malas dan ingin pulang saja. Tapi sebenarnya peta itu tak berguna sepertinya. Gimana sebaiknya? Dipo galau.

Di tengah kegalauannya, mendadak punggungnya menggeser posisi batu.

"Heh??" gumam Dipo bengong. Ia segera berdiri dan menjauh dari batu yang bergeser dan kini mengeluarkan cahaya terang berwarna biru dan merah.

Dipo ternganga saat dari bawah batu itu, perlahan muncul dua buah pedang mengkilap yang serupa, yang tertancap di celah batu. Salah satu pedang mengeluarkan cahaya biru, lalu pedang satunya lagi memancarkan warna merah.
 

Senyum Dipo mengembang. Ia segera menghampiri dua bilah pedang itu dan hendak menyentuh gagangnya, namun tubuhnya terpental seolah ada lapisan pelindung berkekuatan listrik yang menolak siapapun mengambil pedang itu.
 

"Ealaaaah!! Tak semudah itu, Fulgoso!"

Suara lelaki yang genit itu, bergema di dalam gua, mengejutkan Dipo dan Spatula. 
 

Dipo melihat sekeliling, namun tak ada sosok misterius yang dicarinya.

"S-Siapa kamu??" tanya Dipo.

Mendadak asap putih muncul di samping pedang kembar, lalu sesosok lelaki berambut pendek, bertubuh gempal dengan pakaian kerajaan Jawa kuno, berdiri melipat tangan jumawa. Bibirnya diborehi gincu merah.

"Kamu nanyaea? Kamu bertanya-tanyaea?? A ha ha ha ha!!" tawa makhluk itu bergema di ruang gua. 
 

Dipo menatap makhluk itu sebal. Kalau sesama manusia, ingin rasanya menimpuk makhluk yang sedang tertawa di depannya.

"Aku adalah jin penunggu pedang kembar. Namaku adalah Tralala Trilili Senangnya Rasa Hati. Panggil aku Lala. A ha ha ha!"

Harus banget ya, ketawa tiap selesai ngomong satu kalimat? batin Dipo.

"A-Aku Dipo Satpam. Aku sudah diberi izin oleh Pendek Anak Rakyat, untuk mengambil pedang kembar ini. Pendek punya utang padaku, yang tak bisa dibayarnya. Maka dia bilang, aku boleh memiliki pedang ini. Pedang ini katanya aslinya milik Bapaknya yang mantan dukun santet."

Penjelasan Dipo membuat Lala tersenyum sinis.

"Apa kamu sudah diberi tahu? Untuk membawa pedang kembar ini, kamu harus menjawab tiga buah tebak-tebakan!" seru jin itu. 
 

Dipo menelan ludah. Nah ini dia. Apakah dia akan bisa menjawab tebak-tebakan sesaat lagi? Dipo harus berusaha mengatasi kebenciannya pada tebak-tebakan, lalu memiliki tingkat kreativitas absurd yang maksimal, untuk bisa menjawabnya. Mungkinkah dia bisa?

.

.

Bersambung lah yawww. A ha ha ha!
 

 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Juruskembardipo
Selanjutnya 6 - Pedang Kembar
0
0
Aku akan bacakan peraturan tebak-tebakannya. Ada tiga pertanyaan tebak-tebakan. Dan ada dua pilihan bantuan. Call a friend, dan ask the audience. Tapi masalahnya, kamu mungkin gak akan bisa pakai bantuan 'ask the audience,' karena kamu ke sini sendirian, gak ada teman. Kamu kenapa gak punya teman? Introvert? Atau karena kamu miskin banget? A ha ha ha!
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan