
"Ini adalah peta menuju lokasi rahasia pedang itu."
"Kenapa petanya buram begini?"
"Iya maaf. Gak sengaja kecuci, terus kena deterjen pemutih."
.
.
Dua minggu berlalu ...
Dipo terkejut saat melihat Pendek datang lagi ke salonnya dengan senyum sumringah. Setidaknya, kalau senyum seperti itu, kemungkinan maksud kedatangannya bukan untuk komplain dengan pangkasan rambutnya yang kini mirip rambut orang Korea.
Bel di pintu bergoyang dan menimbulkan bunyi yang biasanya membuat Dipo bahagia, karena itu pertanda datangnya pelanggan.
"Bagaimana kabarmu, wahai saudaraku?" tanya Pendek setelah cium tangan pada Dipo seolah Dipo adalah Pak Ustaz.
"Baik alhamdulillah. Kenapa kamu datang lagi? Apa mau dipendekin lagi rambutnya?" tanya Dipo.
"Bukan. Pertama, aku ingin menyampaikan kabar gembira," ucap Pendek dengan senyum dikulum.
"Kabar apa?" tanya Dipo penasaran.
"Begini ceritanya. Waktu menuju Desa Mantan Dukun Santet Taubatan Nasuha, aku melewati Desa Mantanku Bukan Mantanmu. Lalu aku bertemu jodohku di sana. Seorang wanita cantik bertubuh tinggi yang bernama Ayu Ting Gi. Aaaaaakkk!!" tutur Pendek yang tetiba jongkok malu sambil menutup muka.
Dipo sungguh masih berpikir Pendek sebenarnya ketempelan jin saat dicukur dua minggu yang lalu. Jangan-jangan ada jin nempel di penggorengan teflonnya waktu itu, yang dipakai untuk alat bantu cukur si Pendek. Mungkin ada baiknya dia membacakan ayat kursi untuk penggorengannya itu.
Pendek kembali berdiri dan berdehem. Mukanya merona hingga mirip jambu air busuk di pohon. "Singkatnya, aku menikah dengan Ayu Ting Gi. Istriku bilang, dia kepincut hatinya saat melihat rambutku yang menurutnya keren sejadi-jadinya. Mendengar itu, aku jadi merasa utang budi padamu wahai saudaraku. Maka itu, aku datang ke sini untuk membalas kebaikanmu. Aku akan memberitahukan suatu rahasia besar, yang mungkin akan bisa mengubah nasibmu wahai saudaraku."
Dipo berkerut keningnya. "Rahasia apa itu?"
"Akan kuberitahukan, tapi sebelumnya ... ," bisik Pendek sebelum tengak-tengok kiri kanan. "Sebaiknya kita gak bicara di sini, karena salon ini sangat terbuka. Nanti ada orang lihat. Apa ada ruangan tertutup di sini?" tanya Pendek dengan ekspresi seperti orang kebelet buang air besar.
"Ke belakang saja," kata Dipo mengarahkan Pendek menuju pintu belakang ke area rumah tinggalnya.
Mereka kini sudah di belakang. Spatula yang sedang tidur, auto-terbuka mata besarnya, menyadari ada tamu yang dibawa babunya ke rumah.
"Silakan duduk," ucap Dipo sambil menarik kursi, mempersilakan tamunya duduk.
Mereka kini duduk berhadap-hadapan.
"Jadi begini ceritanya. Keluargaku turun temurun adalah pendekar pedang, kecuali Bapakku yang melenceng jadi dukun santet, tapi sekarang dia sudah taubat. Nah. Tiap keturunan nenek moyangku, diberikan pusaka berupa pedang. Seperti pedang yang kupunya ini," jelas Pendek sambil mengeluarkan pedangnya dan meletakannya di meja.
"Berhubung Bapakku menolak menjadi pendekar, maka pedang pusaka yang mestinya jadi milik Bapakku, masih tersimpan di sebuah tempat rahasia," lanjut Pendek dengan mata melotot serius.
"Tempat rahasia?" gumam Dipo. Dadanya mulai berdebar-debar, seolah ia akan menjalani petualangan seperti Tin Tin.
"Betul sekali. Bapak saya bilang, pedang rahasia itu boleh kuberikan pada orang lain yang saya berutang padanya. Jika aku tak sanggup membayar utangku, maka aku boleh memberikan pedang milik Bapakku itu, pada orang tersebut."
Dipo manggut-manggut. "Tapi, di mana lokasi penyimpanan pedang itu? Apa ada petunjuk yang bisa aku ikuti?"
Pendek tersenyum dan merogoh sesuatu seperti gulungan kertas, dari dalam bajunya. Hiih! Dijamin gulungan kertas itu beraroma keringat!
"Ini adalah peta menuju lokasi rahasia pedang itu," kata Pendek seraya melepas karet gelang a la nasi bungkus warteg yang melingkari gulungan kertas itu. Gulungan itu kini digelar di meja.
Spatula otomatis naik ke meja. Kakinya dengan santai menapaki gulungan kertas yang sangat penting itu.
"Jangan, Spatula!!" omel Dipo sebelum menggendong Spatula dan mendudukkannya di pangkuan Dipo. Kepala Spatula celingukan di atas permukaan meja, mengintip kertas itu yang ternyata adalah sebuah peta.
Alis Dipo mengernyit hebat, melihat peta yang tintanya buram itu. Dia memicing, berusaha membaca tulisan-tulisan di peta. Gunung Sabar Menantimu, adalah satu-satunya yang terbaca jelas. Itu adalah nama gunung di dekat lembah desa sini. Di belakang lembah, dia harus melewati hutan terlebih dahulu, sebelum memanjat gunung. Jelas sesuatu yang belum pernah dilakukannya, sebab Dipo bukan tipe pendaki gunung. Mencukur rambut dan rebahan, lebih disukainya.
"Kenapa petanya buram begini?" protes Dipo.
"Iya maaf. Gak sengaja kecuci, terus kena deterjen pemutih," kilah Pandek beralasan.
Dipo geleng-geleng. Alamat nyasar ini mah, batinnya.
"Pedang itu ada penjaganya. Khoddam keluarga kami selama berabad-abad yang lalu. Dia adalah dari golongan jin," ucap Pendek dengan muka serius.
"Jin??" sahut Dipo. Wajahnya kini ketakutan. Malas sebenarnya berurusan dengan jin. Seratus Baron si tukang bully, masih lebih dia sukai ketimbang satu jin.
Pendek manggut-manggut. "Tapi jangan khawatir. Jin itu bukan jin jahat. Hanya saja, dia suka main tebak-tebakan."
"Tebak-tebakan??" ulang Dipo dengan nada ilfil. Dia tidak suka tebak-tebakan. Sebuah bayangan masa lalu yang kelam, muncul di ingatan Dipo, ingatan itu mengalir deras bagai banjir siaga satu saat bendungan jebol.
"Lepasin aku, plis! Aku janji gak akan laporin kalian ke guru!" pinta Dipo memelas. Pergelangan tangan dan pergelangan kakinya diikat dengan tali, di markas besar geng COMBRO (Community Baron). Saat itu adalah masa Dipo masih di-bully secara istiqomah oleh Baron cs. Baron berdiri di depan Dipo, melipat tangan dengan muka bengis a la preman kampung. Di samping dan belakang Dipo, ada kaki-tangan Baron, yang kesemuanya tergabung dalam ikatan persahabatan sesama hobi menjajah. Mungkin masa kecil mereka serupa, yakni terlalu sering menonton film bernuansa zaman penjajahan.
"Enak aja. Gak semudah itu kami lepasin kamu. Jawab dulu tebak-tebakan dariku," kata Baron jumawa.
"Tebak-tebakan??" tanya Dipo pucat. Dia sangat payah dalam tebak-tebakan atau bermain teka-teki.
"Hewan apa yang gak pernah salah?" tanya Baron.
Dipo bengong. Ia memejam dan berpikir keras hingga keningnya berkeringat. "H-Hewan yang gak melakukan kesalahan!" tebak Dipo sok yakin.
"Salah. Jawabannya : hewan kucing ga wrong."
Jawaban itu membuat tawa Baron dan anak buahnya, pecah mengisi ruangan. Dipo menatap datar.
"Karena kamu salah jawab, kamu dihukum. Kelitikin dia," titah Baron.
Seketika, tiga orang siswa mengelitiki pinggang, ketiak dan leher Dipo, hingga Dipo tak kuasa menahan tawanya, meski hatinya pilu ingin menangis.
"Tebak-tebakan kedua," lanjut Baron.
Asem! Tebak-tebakan lagi?? batin Dipo menjerit.
"Kenapa anak kodok jalannya lompat-lompat?"
Dipo menelan ludah. Apa ya? pikirnya. Ini pasti jawabannya ngadi-ngadi, tapi dia tak ada satu ide pun. Dia sering merasa daya kreativitasnya di bawah rata-rata normal.
"K-Karena, kaki kodok nekuk buat ancang-ancang, emang bawaannya mau lompat," jawab Dipo dengan tebakan tidak kreatifnya.
"Salah. Karena anak kodok itu senang, ibunya bukan babi."
Asem! Asem! maki Dipo dalam hati. Siapa sih yang menciptakan tebak-tebakan tidak bermutu itu??
"Kelitikin dia," perintah Baron pada ketiga bawahannya.
Dipo dikelitiki dari tiga arah, membuat kantung kemihnya nyaris menumpahkan isinya. Dipo ngos-ngosan napasnya setelah tertawa kegelian. Ingin menangis rasanya. Dalam hati, Dipo berdo'a. Do'a orang yang terzalimi. Semoga siksaan ini hanya di dunia saja. Dunia sementara. Akhirat selamanya. Wahai kalian anggota COMBRO, kalian bisa seenaknya di dunia yang fana ini. Kelak perbuatan kejam kalian ini akan dihisab! Sebaiknya kalian segera bertaubat wahai durjana!!
"Tebak-tebakan ketiga," lanjut Baron.
Dipo menyumpah dalam hati. Ada berapa tebak-tebakan lagi??
"Mobil apa yang bikin galau?" tanya Baron.
Dipo menghela napas. Percuma rasanya berpikir. Toh jawabannya pasti absurd.
"Gak tau," jawab Dipo pasrah.
Baron nampak tidak suka. "Mikir dulu, dong!"
"Otakku gak diciptakan buat main tebak-tebakan," kilah Dipo.
"Halah. Terus, otakmu diciptakan buat apa?" tanya Baron melipat tangan dengan muka songong.
Dipo terdiam. Iya, ya. Otakku buat apaan? Dia pun tak bisa menjawabnya.
"Mobil mewah," jawab Dipo ngasal.
"Salah. Jawabannya : mobilang sayang, tapi takut ditolak."
Sapi darat! Kambing air! Dipo menyumpah serapah dalam hati. Dia dikelitiki lagi, tapi kali ini, Dipo tak sanggup lagi menahan kencingnya. Dia pipis di celana dan ditertawai semua orang yang ada di markas COMBRO.
Aku benci tebak-tebakan!! Terkutuklah tebak-tebakaaaaannn!!! batin Dipo merana.
"Heh! Saudaraku! Saudaraku!"
Dipo terkejut saat bahunya diguncang oleh Pendek. Kesadarannya telah kembali.
"Tapi, aku sangat payah dalam main tebak-tebakan," kata Dipo lesu.
"Sayang sekali. Karena untuk mendapatkan pedang itu, kamu harus menjawab tiga tebak-tebakan," kata Pendek.
Dipo menjedukkan keningnya di meja, hingga hidungnya dicakar Spatula yang masih dipangkunya.
"Kalau begitu, aku nyerah aja," kata Dipo masih mengheningkan cipta.
"Kamu yakin? Walaupun pedang itu bisa membantu salonmu jadi laris?"
Dipo menegakkan mukanya. Pendek terkejut melihat hidung Dipo yang merah bekas dicakar Spatula.
"Pedang itu bisa bikin salonku jadi laris?" tanya Dipo tak percaya.
Pendek mengangguk. "Bisa," tegasnya, dengan sorot mata meyakinkan, gayanya bagai seorang sales handal.
"Gimana caranya?" Dipo bertanya.
Pendek si pendekar, tersenyum miring, semiring otaknya. "Bagaimana cara pedang itu mengubah nasib salonmu, kamu akan paham sendiri nanti."
Tangan Dipo mengepal gelisah, seperti ulekan cabe rawit.
"Baiklah. Aku akan coba mencari pedang itu!" putus Dipo, meski masih ada keraguan dalam dirinya.
Pendek menyerahkan peta buram pada Dipo.
"Selamat berjuang wahai saudaraku. Do'a restuku menyertaimu," ucap Pendek sebelum pamit pergi.
Do'a restu segala. Macam tulisan di undangan kawinan aja, batin Dipo.
.
.
oh bersambung. uy uy bersamboeeeng!!
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
