
Part 1-3: 1. Bhre & Arina, 2. Saling Bergantung, 3. Hero (The Very Best of Brown Eyes)
Part 1-3 GRATIS
Part 1. Bhre dan Arina
“Arina…”
“Rinn….”
“ARINAAAAAA!!!!!!!” Seorang bocah SMA kelas 10 akhirnya berteriak kencang di depan gerbang rumah temannya. Sudah berkali-kali ia memanggil, tapi orangnya tidak juga muncul, mereka sudah hampir terlambat berangkat ke sekolah.
“AAAA….”
“RINN…”
“AAAAAAAAAAAAAAA!!!!!!” Teriaknya lagi, sampai orang-orang yang sedang melintas di jalanan menoleh ke arahnya
brak!! brak!! brakk!!
Gadis tinggi bongsor itu berlari keluar rumah, rok panjangnya yang cukup ketat membuat larinya agak lambat. Lagi-lagi deh, untuk seragam sekolah dia harus inisiatif jahit sendiri, sama seperti jaman SMP, kalau pakai yang dari sekolah, mau ukurannya XL kek, XXXL pun, di Arina selalu kekecilan.
“Bhre… ban sepedaku kempessss!” ucapnya lirih ketika sampai di gerbang rumahnya sambil ngos-ngosan
“Loh kok bisa?! Kemarin baik-baik aja kan?!”
Kemarin sore mereka sudah mencoba sepeda mereka masing-masing, hadiah karena berhasil masuk SMA yang sama, diberikan oleh ayah mereka. Saking senangnya, mereka bersepeda keliling komplek, hingga matahari terbenam
“Iya, tapi semalam aku emang ngerasa ban-nya agak kempes, lupa ngecek lagi pagi ini. Papa-ku udah berangkat ke toko, gak ada pompa. Harus di bawa ke bengkel” Arina menjelaskan panjang dengan ekspresi begitu khawatir, mereka berdua sudah janji akan naik sepeda barengan ke sekolah. Karena sudah memimpikan ini sejak lama, Arina merasa sedih angan-angannya berangkat sekolah naik sepeda barang Bhre tidak terwujud di hari pertama sekolah. Bagaimanapun, hari pertama sekolah-kan hari yang paling bersejarah
“Ya udah, aku kira kenapa. Nanti sore aja kita bawa sepeda kamu ke bengkel, ayo sekarang kita berangkat sekolah. Keburu telat!”
“Ya udah kamu berangkat duluan deh, aku nanti ke pangkalan ojek dulu, semoga masih ada yang kosong” ucap Arina sambil mengunci gerbang rumahnya
“Ngapain nyari ojek! Ayo bareng aku! Naik di belakang ini loo, kamu berdiri, aku bonceng”
Sepeda Bhre itu memang sepeda cowok yang besar, kalau menurut Arina sepeda Bhre cukup kokoh, berbeda dengan sepedanya yang memang khusus sepeda cewek. Tapi tetep aja, berat badan Arina kan 100 kilo, bisa gawat kalau dia ikutan naik di sepeda itu
“Gak ah! Sepeda kamu bisa kempes kalau aku naik, aku lari aja deh, kamu sana berangkat dulu” Arina melihat jam di pergelangan tangannya, bahkan mau jalan ke pangkalan ojek pun akan menghabiskan banyak waktu, sama aja, dia bisa telat juga kalau tetap nekat nyari ojek dulu
“Gak!!! Sepeda kuat ini!!!, kamu gimana sih! Aku loo calon pembalap! Bonceng kamu itu urusan kecilll!!” Ucap Bhre berseloroh dengan percaya diri
Arina tampak berpikir sebentar, kalau naik sepeda bareng Bhre, tentu saja dia masih ada kesempatan tidak terlambat sekolah dibanding harus lari, dia kan gak jago lari, baru beberapa meter aja udah ngos-ngosan.
“Ayo jangan terlalu banyak mikir, beneran terlambat nanti kita!!!!!” Bhre menarik tangan Arina, agar perempuan itu segera naik ke bagian belakang sepedanya, dan berpegangan pada punggungnya.
…
Benar saja. Sepanjang jalan, apalagi kalau ada tanjakan, Bhre harus mengayuh sepedanya lebih kencang, agar bisa melewati tanjakan, kalau saja dia memelankan kayuhan sepeda, mereka berdua bisa terjatuh. Sepeda kalau mau seimbang, harus dikayuh terus-terusan. Itu yanag Bhre selalu ingat.
Arin agak takut-takut melihat usaha Bhre mengayuh sepeda dengan sekuat tenaga, Bhre tampak begitu berkeringat karena pagi begini sudah bersusah payah. Belum lagi teman-teman sekolah mereka yang melihat aneh ke arah mereka, beberapa bahkan tertawa.
Ya iyalah, seorang Bhre yang kurus krempeng, membawa sepeda besar, dan satu ekor dugong berada di belakangnya. Pemandangan ini pasti terlihat lucu bagi orang-orang, Arina yang badannya lebih besar malah santai berpegangan di bahu Bhre, ketika temannya itu terlihat mati-matian mengayuh sepeda. Itu membuat Arina merasa bersalah juga dan ingin lompat saja ke jalanan.
“Bhre aku turun yaaa, udah deket kok” ucapnya di tengah Bhre masih berusaha mengayuh ditanjakan
“Udah diem aja, aku bisa” Bhre membalas sambil terengah-engah,
…
“Gimana, oke kan? Kita gak jadi telat?” Bhre berucap bangga, tapi sambil mengelap keringat yang mengucur deras di dahinya
Arina mengangguk, tapi ia sudah berjanji di dalam hati. Ini kali terakhir ia akan nebeng di sepeda Bhre, besok-besok dia akan bawa sepedanya sendiri, gak akan dia biarkan sepedanya kempes lagi seperti hari ini.
Bukan hanya Arina yang ditertawai karena jadi tontonan anak-anak sekolahan di jalan tadi, Bhre juga ikut di ejek, terutama sama teman sekelas mereka, mau-maunya Bhre numpangin Arina, pake sepeda lagi. Mending kalau pake motor. Begitulah komentar anak-anak, membuat Arina ciut sepanjang hari.
Sebenarnya teman-teman di kelas mereka cukup baik, tapi kalau sudah berkaitan dengan berat badan Arina, yang memang paling gendut di kelas, anak-anak mulai deh mengejeknya.
Bhre yang masih melihat raut wajah sendu Arina di jam istirahat, mendatanginya.
“Udah, jangan dipikirin. Lihat tuh mereka, mereka udah lupa bahkan sama omongan mereka tadi pagi. Gak usah dipeduliin, karena mereka juga gak peduli omongan mereka sendiri” ucap Bhre sambil memegangi bahu Arina, kemudian berlari menyusul anak-anak cowok pengejek berat badannya itu keluar kelas.
Bhre itu aneh, dia tidak punya musuh, walaupun teman-temannya dia rasa bersalah mengejek Arina, bukan berarti dia harus memusuhi mereka. Maka dari itu pergaulan Bhre luas, dia tidak memasukan segala omongan jelek ke hati, tidak seperti Arina. Liat aja, baru aja kegiatan MOS selesai, baru satu hari kegiatan belajar di sekolah, Bhre sudah dapat teman-teman baru. Tidak seperti Arina yang masih malu-malu seperti ini.
…
Sekolah SMA mereka secara teknis itu satu yayasan dengan sekolah SMP mereka sebelumnya, jadi sebetulnya masih banyak teman-teman SMP yang satu sekolah dengan mereka. Tapi bagi Arina tetap saja beda, ada anak-anak baru dari SMP lain, kalaupun ada teman-teman dari SMA yang sama, kebanyakan beda kelas dari SMP dulu. Jadi Arina masih segan untuk terlalu ramah seperti Bhre. Ini aja keajaiban banget, Bhre dan Arina kembali satu kelas. Padahal mereka gak pernah minta sama sekali.
Arina sih merasa beruntung, Bhre itu temannya bahkan dari sebelum masuk TK, jadi kalau berada di sekitar Bhre rasanya sudah paling aman.
…
“Gimana hari pertama jadi anak SMA?” Papa bertanya pada Arina sambil memompa ban sepeda,
Setelah Arina menginfokan ban sepedanya bocor, papanya berinisiatif langsung membeli alat pompa kecil, prediksinya mulai sekarang, ban kempes akan sering terjadi.
Arina dan Bhre ketika SMP, berangkat sekolah diantar jemput Papa Arina atau Ayah Bhre secara bergantian, mereka sering banget telat di jemput. Gimanapun kedua orang itu pebisnis, Papa Arina dengan toko bangunanya, Ayah Bhre dengan bengkelnya, jadi gak pernah di jemput tepat waktu, ada saja pekerjaan mereka yang harus dilakukan dahulu sebelum menjemput. Itu mengapa ketika sudah SMA, Bhre dan Arina sepakat untuk minta sepeda ke orang tua masing-masing agar lebih bebas dan gak mesti nunggu jemputan. Kebetulan lokasi SMA mereka juga lebih dekat dengan rumah dibanding sekolah SMP, hanya sekitar 1 kilometer lebih sedikit
“Apaan, langsung apes. Ban sepedaku langsung kempes, mana ketauannya udah mepet jam masuk sekolah. Aku numpang di Bhre, malah diketawain anak satu sekolah, katanya sepeda Bhre gak seimbang gara-gara aku yang numpang” Arina bercerita sambil cemberut
Papanya hanya tertawa mendengar curhatan itu, membuat Arina makin jengkel
“Ya udah, berarti nanti kalau gantian sepeda Bhre yang kempes, kamu dong yang boncengin”
Arina mengangguk, dia juga mikir begitu, dia ingin menunjukkan ke teman-teman satu sekolah, dia juga bisa boncengin Bhre!
“Oh iya pa. Mulai sekarang aku ke makam naik sepeda ya, boleh lebih sering kan? Kan udah ada sepeda”
“Ngapain sering-sering sih nak, udah… sebulan sekali aja, makamnya cukup dibersihkan sebulan sekali”
“Ya gak bersihin makam doang pa, ya berkunjung!!!” Arina berucap tegas
Kalau ada anak perempuan yang sama sekali gak takut ke makam sendirian, tidak peduli pagi, siang atau sore, mungkin itu cuma Arina, Arina rajin sekali ke makam mamanya, sekalian ke makam Ibu Bhre yang berada di kawasan yang sama. Arina senang membersihkan area makam mamanya sekaligus makam Ibu Bhre. Bhre sudah janji, nanti kalau dia sudah siap, Bhre akan mengunjungi makam ibunya yang Bhre tidak pernah kunjungi lagi setelah hari pemakaman. Entah kapan itu, jadi Arina selalu bersiap-siap dengan rutin membersihkan makam Ibu Bhre secara berkala, siapa tau Bhre tiba-tiba mendadak ingin berkunjung kan…
“Ya sudah, boleh. Tapi ingat kewajibannya ya, ingat jadwal bersihkan rumah kapan, bajunya jangan lupa di cuci dan setrika, kalau itu semua sudah dibereskan, baru boleh ke makam”
“Oke papaaaa!!” Arina menjawab riang, kemudian menaiki sepedanya yang sudah padat ban-nya, meluncur ke rumah Bhre untuk mengajak kawannya itu bersepeda lagi, kali ini bersepeda di lapangan komplek, kebetulan tidak ada kegiatan disana hari ini, jadi bisa digunakan untuk bermain.
…
Part 2. Saling Bergantung
"Bhre! Kamu makan bakwan aku, iiihhhh"
"Balikin!!"
Anak perempuan bertubuh gempal itu ingin menjambret potongan bakwan yang ada ditangan sahabatnya
"Ndut, eh eh eh! ini udah aku makan. Itu kan masih ada satu" Bhre menjauhkan setengah potongan bakwan yang ada di tangan kanannya
"Ini gak ada udangnya!! Kamu makan yang ada udangnya itu"
"Aku mau yang udang," Arina masih merengek di hadapan sahabatnya itu sambil memukul-mukul lengan Bhre dengan cukup keras
"Apa sih! Bakwan pake udang atau gak pake udang rasanya sama" Bhre masih ngotot tidak ingin memberikan potongan bakwan yang tersisa
"Gak mau, aku suka yang ada udangnya" Arina tidak mau kalah
"Eh ini sisa ndut! Udah masuk ke mulut" Ucap Bhre kemudian memasukan semua sisa potongan bakwan itu ke mulutnya hingga penuh
"Bhreeee!!" Arina histeris bakwan kesukaanya sudah habis masuk ke mulut Bhre
"Kenapa sih? Aku beliin di kantin nih sekarang yang pake udang" Bhre bangkit dari duduknya
"Udah habis! Itu sisa satu!" Teriak Arina dan menelungkupkan kepalanya ke meja tempat duduknya
Bhre jadi bingung harus gimana
"Ya udah besok aku beliin deh bakwan udangnya 5 yang pake udang"
"Bener ya?" Arin langsung menegakan tubuhnya, 5 bakwan udang kata Bhre. Itu jumlah yang cukup banyak, bakwan udang harganya 2 ribu satu biji.
"Iya bener"
"Besok berarti kamu harus lari ke kantin kalo udah bel istirahat. Biar gak kehabisan! Inget ya?" Arina memajukan jari kelingkingnya agar Bhre mau menepati janjinya
"Iyaya!!" Bhre melingkarkan jari kelingkingnya ke jari kelingking Arina singkat, kemudian berlari ke lapangan olahraga untuk bermain basket dengan teman-teman cowok dikelasnya.
Setelah jam istirahat ini, adalah pelajaran Matematika. Tapi info dari ketua kelas, Bu Sri sang guru matematika mendadak pulang lebih awal karena sakit. Mereka diminta mengerjakan 5 buah soal yang telah ditulis di papan. Tapi penghuni Kelas IPA 5 itu sudah berhamburan menikmati jam kosong.
Arina mengambil buku tugas matematikanya untuk menyalin soal. Tapi ngerjainya nanti aja, nunggu Bhre menjawab soal-soal itu duluan. Arin tinggal meniru cara penyelesaiannya. Hehe.
...
"Om Bob! Bhre ada???" Arina dengan riang masuk ke halaman rumah Bhre
"Haloo Arina! Ada tuh di dalem lagi nonton, mau belajar ya?"
Ayah Bhre yang bernama Om Bobby itu melihat buku tulis ditangan Arina, Arina memang sangat sering datang ke rumah itu membawa buku tulisnya. Membuat Om Bobby begitu senang tiap kali Arina datang, karena saat itulah Bhre mau juga ikut belajar, pikirnya.
Padahal beliau tidak tau saja, Arina sering mendatangi rumah Bhre karena kebanyakan ia buntu dan tidak pernah paham cara menyelesaikan soal Matematika, Fisika, Kimia apalagi Biologi yang hafalan.
Arina bukan sekedar salah jurusan, tes untuk masuk kelas IPS dan Bahasa juga tidak menunjukkan hasil yang baik, sebetulnya dari tes kognitifnya, guru menyarankan Arina masuk kelas bahasa, kelas dengan pelajaran yang paling mudah dipahami, Arina yang merasa gak cocok juga belajar bahasa asing akhirnya meminta guru agar mengizinkan dia masuk kelas IPA, walaupun kelas IPA paling akhir gak apa-apa, yang penting IPA!
…
"Nah jadi intinya itu kita nyari nilai x,y dan z. X itu buat harga satu pulpen, y buat satu buku, z nya buat satu penggaris. Nah kalo udah ketemu ketiganya, baru bisa dimasukin ke persamaanya."
Jelas Bhre pelan dan menulis yang dijelaskannya tadi ke buku tulisnya, Arina yang duduk di depannya sudah memijit pelipis. Entah dimana bagian yang tadi tidak ia dengar, tapi dia sendiri masih bingung dari mana Bhre mendapatkan huruf x,y dan z itu padahal gak ada pernyataan itu di soal
"Ini pelajaran matematika yang tergolong gampang ndut, nanti kalau kita naik kelas makin ribet materinya. Setidaknya kamu harus paham cara ngerjain ini dulu, biar besok di kelas tiga pas ujian sekolah, kamu tetep bisa ngerjain. Kamu masih inget kan yang aku bilang? SMA itu beda dengan SMP, kalau SMA harus lebih serius karena bisa menentukan jurusan kuliah kita nanti" jelas Bhre pelan sambil mulai menghitung angka-angka yang ia tulis di buku
Bukannya ikut mengerjakan, Arina meraih kresek kripik bumbu balado yang tadi Om Booby belikan untuk teman belajar, sambil memperhatikan Bhre yang dengan lancarnya mengerjakan soal per soal dengan penyelesaian yang mendetail.
"Nah begini, beres kan" Bhre menutup pulpennya, dan bergegas mengambil kripik di depan Arina. Aroma sedap kripik balado yang dimakan Arina dari tadi mengganggu hidungnya.
Arin mengambil buku Bhre, dan menyalin semua jawaban itu ke bukunya. Bhre hanya diam saja, asik dengan kripik balado.
"Bhre bilangin Om Bob ya, besok malem papa ngajakin barbeque-an bareng karyawan toko"
"Ya." jawab Bhre sambil berusaha menelan kripik,
"Tapi aku gak bisa ya ndut. Mau jalan bareng Hana" jawab Bhre sambil menjilat-jilat tanganya yang penuh dengan bumbu kripik balado
"Ooh jadian ya? Cieee! Gak sia-sia aku terima suratnya"
"Arina emang makcomblang sejati euyyyy!" Ucap Arina bangga
"Iih justru karena itu!! Ini karena dia maksa. Ini gegara kamu terima suratnya! Coba kalo gak, aku gak akan terhubung sama dia" Bhre memutar matanya jengah
"Gak boleh gitu, semua orang juga tau Hana itu pengen banget deket sama kamu, bahkan dari kita SMP. Jangan sok jual mahal deh, belum bisa move on dari Nadia ya?" Goda Arin lagi
"Gak ya!! Hana itu terkenal matre! Temen-temen udah banyak yang jadi korbanya"
"Oooooo" Arin gak ambil pusing dengan itu, lagian yang bakalan habis duitnya kan Bhre, bukan Arina. Hehe
...
"Minggu depan mau ditemenin ke makam gak?" Arina menawarkan sambil terus menekan stik ninetendo, menemani Bhre bermain sebentar menjelang malam. Lagian papanya belum sampai rumah, Arina males sendirian di rumah
"Hmm?"
"Ohhh" Bhre awalnya bingung dengan maksud perkataan Arina, kini mulai sadar. Minggu depan peringatan dua tahun Ibu-nya meninggal
"Belum tau…"
Tentu saja, maksudnya belum tau Bhre adalah belum tau mau ikut ke makam atau tidak.
Arina tidak pernah menyalahkan jika Bhre selalu absen ke makam ibunya, walaupun Om Bob terbilang rutin kesana, Bhre yang paling terpukul ketika kehilangan ibunya. Jadi keengganannya ke makam bukan karena tidak mau, Bhre hanya belum siap mengingat momen traumatis itu. Arina bisa mengerti…
"Udah dua tahun ya ndut" Bhre menatap Arina
"Mama gak ada..." lanjut Bhre sambil tersenyum getir
"Ternyata aku bisa bertahan sampe sekarang. Apalagi ayah, aku dulu ngira ayah bakal depresi berat" Bhre merebahkan badanya, mengingat lagi masa-masa terberat dihidupnya
"Harusnya memang begitu kan, tante berharap kalian bisa hidup tanpa dia. Apalagi kamu Bhre, perjalanan kamu masih panjang" Jawab Arina sambil menepuk bahu Bhre pelan, berusaha menengkan.
Arina jadi menyesal membuka topik tentang Ibu Bhre.
…
"Arina, titip ya buat Bhre. Bilang hadiah dari aku"
Tiba-tiba Hana menghampirinya yang sedang berada di luar kelas karena jam olahraga,
Arina menerima bingkisan itu dengan ragu-ragu.
"Hmm, aku coba ya. Tapi Bhre biasanya nolak kalo dapet hadiah kayak gini Han" jawab Arina dengan jujur, karena tidak sekali dua kali Bhre menolak atau membuang hadiah dari orang yang ia anggap asing atau orang yang dia kurang suka
"Pasti Bhre mau kok, dia kan udah jalan bareng aku kemarin. Tapi dari kemarin dia off terus, gak bisa di sms. Jadi aku titipin di kamu yaah" Ucap Hana dengan riang,
Ini Hana emang gak tau atau gimana sih, ya iyalah off terus. Nomor Hana kan udah diblok!
"Oke tapi kalo dia nolak, aku kembaliin ya hadiahnya" Ucap Arina agar Hana tidak berharap lebih
"Pasti diterima kok" Hana masih penuh keyakinan
"Oiya Arina, lain kali ke sekolah sisiran yah! Rambut kamu ngembang gitu, jangan lupa rambutnya dikasi minyak rambut kek biar rapi dikit" Ucap Hana tiba-tiba kemudian pergi begitu aja,
Sesaat Arina terdiam mendengar kata-kata itu, ia tatap dirinya di kaca jendela kelas.
Rambutnya yang pendek seleher dan mengembang, badanya yang tinggi bongsor. Kalau kata teman-temannya, ia terlihat seperti raksasa. Ditambah baju olahraganya yang kesempitan, membuat Arina sadar penampilannya memang memalukan.
…
Part 3. Hero
Pagi ini masih berkabut, bahkan awan masih juga menutupi pedesaan yang biasanya nampak di bawah bukit disana. Tapi tiga orang ini sudah berada di sini lengkap dengan Bunga Lili putih kesukaan perempuan yang telah berbaring di tempat ini sejak dua tahun lalu. Arina akhrinya pergi ke makam Ibu Bhre bersama Om Bob dan papanya. Bhre, tidak ikut. Anak itu mengurung diri di kamar sejak pagi, Arina sudah paham maksud Bhre jika sudah mengurung diri begitu.
"Om Bob ngapain sih pa?" Arina menatap ke arah ayah Bhre yang semakin jauh dari pandangan, menuruni bukit
"Nemuin penjaga makam, ngasi bingkisan itu yang dia bawa"
"Oh aku baru tau Om Bob akrab dengan penjaga makam"
"Istri penjaga makamnya sedang sakit keras, jadi Om Bob pengen bantu"
“Papa gak mau bantu juga?” Tanya Arina,
“Ya kalau papa sudah, kemarin papa sudah ke rumahnya”
“Waw jadi kemarin papa ke makam mama juga dong?”
“Iya mampir sebentar,” Tumben papanya gak ngajak bareng kalau ke makam, biasanya papanya selalu ngajak
"Tunggu Om Bob ya, doa-nya bareng" Papanya meminta pada Arina setelah selesai menyiram keramik yang telah ia gosok sejak tadi. Kini makam itu tampak bersih dari lumut-lumut yang telah menghijau.
Arina mengangguk mantap, sambil tersenyum puas dengan hasil pekerjaanya. Arina memandang foto di makam itu lekat, walaupun dua tahun telah berlalu, masa-masa Tante Arlin melawan kanker selama lima tahun, dengan Bhre yang selalu ketakutan kehilangan ibunya masih jelas dibayangan Arina. Arina bahkan sempat menemani Bhre 24 jam dirumah, ketika Tante Arlin harus ke Jakarta untuk pengobatan, Bhre tidak ingin sendiri, Bhre selalu takut kehilangan ibunya.
Mengingat lagi ketika momen Tante Arlin meningal, Arina seperti tidak sanggup mengingat betapa terpuruknya Bhre saat itu. Bhre diam, menangis diam-diam di kamarnya, tapi menangis setiap hari, hingga tangannya bergetar. Bhre tidak sekolah nyaris dua sebulan, hanya tidur, tidak makan tidak minum, begitu terus… Arina selalu mendatangi kamarnya kala itu, berusaha agar Bhre makan barang sesendok, setelah itu bebas kalau mau tidur lagi.
Bhre sampai harus ke psikolog untuk mengobati duka-nya, awalnya tidak ada perubahan, lambat laun ketika Arina menariknya untuk keluar kamar untuk main Ninetendo, Bhre beberapa kali mau. Jadi Arina setiap hari mengajaknya melakukan aktivitas di dalam rumah, sebelum berangsur Bhre mau keluar rumah, dan kembali riang gembira seperti sekarang. Ya walaupun ketika ada momen untuk mengenang kembali ibunya seperti sekarang, Bhre akan kembali ke mode mengurung diri, tidak apa-apa, yang paling penting, Bhre masih mau kembali beraktivitas seperti biasa.
"Yuk doa" tanpa sadar, Om Bobby telah kembali ke makam. Menyusul Arina dan papanya, duduk bersila di dekat nisan dan mencium nisan Tante Arlin setelah berdoa
"Oiya, sebentar om" Arina mengeluarkan vas bunga putih dengan corak bunga berwarna ungu dari papper bag yang dibawanya, segera ia melepaskan Bunga Lili yang telah mereka beli tadi dan memasukan batang bunga-bunga itu ke vas yang dibawanya
Perpaduan Bunga Lili dengan warna vas yang serupa menambah kesan indah di makam itu
"Oooo Arina, ini yang kata Bhre prakarya di sekolah ya?" Om Bob memegangi vas bunga itu sebelum meletakannya di samping foto
"Arina tau aja tantenya suka warna putih. Makasi yaa" Om Bob mengusap kepala Arina menunjukan kebanggaannya pada anak kawan sekaligus tetangganya itu
"Sama-sama om" Arina senang sekali hasil karyanya yang masih kurang simetris itu di puji-puji
...
"Ayo Arina mau sarapan apa, om traktir deh"
"Mie ayam om, mie ayam! mie ayam!" tanpa berpikir panjang Arina menjawab dengan yakin
"Pagi-pagi masa makan mie ayam, papa gak mau ah" Papa Arin sontak menolak
Arin cemberut mendengar penolakan Papanya.
"Gak masalah sih, om mau aja makan mie ayam" Arina kembali tersenyum ketika mendapat dukungan
"Sudalah dam, ngalah aja sama anak" Om Bob menasehati papanya yang memang suka banget melarang Arina makan ini dan itu
“Berat badannya Bob, nambah terus. Kalau begini, kapan dietnya ini anak”
“Gampang itu, dietnya besok aja. Ya gak Arina?” Ayah Bhre memang paling pengertian, sedangkan papanya selalu meminta Arina untuk diet, diet dan diet. Bahkan Arina sekarang sudah di larang masak sendiri, segala makanan, untuk sarapan, makan siang dan makan malam, papanya yang ngatur. Karena kalau Arina masak sendiri atau beli makanan di luar pasti makan sembarangan, sukanya junkfood atau gorengan.
…
"Mie ayam bakso 2, sama baksonya aja 1 mangkok ya mas" papa Arina mendahului memesan sebelum Arina menyebutkan pesanannya
"minumnya air putih biasa 3" lanjut papanya
"Paaa!! aku mau teh manis" Arin menolak
"Gak boleh! udah makan berat jangan minum manis-manis dulu" Papanya dengan tegas menolak
Kadang ia harus tegas agar Arina tidak mengikuti nafsu makannya yang memang sangat besar itu
...
Sepulang Arina dari pemakaman dan makan mie ayam yang ditraktir Om Bob, tidak lupa sebungkus bubur sudah Arina beli, sudah dihidangkan dalam sebuah mangkok.
Tok… tok… tok…
“Bhre, sarapan yukk. Boleh masuk gak aku?” Arina bertanya dengan hati-hati, tidak ada yang tau Bhre di dalam kamar sedang apa, bagaimana kondisinya, bisa diganggu atau tidak. Pokoknya Arina harus hati-hati, tapi di waktu yang bersamaan, kalau bisa jangan biarkan Bhre terlalu lama sendiri.
1 menit
2 menit
5 menit
tidak ada jawaban.
“Kalau kamu gak jawab, aku masuk aja ya ini…” Arina sudah bersiap membuka gagang pintu kamarnya, gak tau deh di kunci atau tidak, yang penting coba saja dulu
Ckleek…
Yass pintunya gak dikunci, Arina membuka pintu lebih lebar
Kamar gelap, lampu mati, jendela tertutup rapat, komputer mati, seperti tidak ada kehidupan. Bhre, menutup diri dengan selimut hingga ke ujung kepala,
“Mau makan sekarang, atau nanti?” Arina menawarkan, 30 detik tidak juga ada jawaban
“Kayanya kalau aku tinggal, kamu tetep gak makan ya…”
“Aku nyalain lampu ya,” Arina kembali meminta izin, pokoknya harus izin semua, agar tidak ada kesan bahwa Arina memaksa semuanya kepada Bhre,
“Jangan,” Bhre membuka sedikit selimutnya,
“Ya udah buka jendela ya,” Arina kembali menawarkan,
“Jangan” Jawab Bhre kembali,
“Laa gimana, kamu mau sarapan gelap-gelapan begini?”
Bhre membuka selimut hingga pingganya, bau. Dia pasti gak mandi dari kemarin,
Arina tidak bertanya lagi, Bhre sudah membuka selimut, artinya dia mengizinkan Arina untuk berada di kamar itu.
“Sarapan dikit aja ya, sumpah ini tiga sendok doang, habis itu udah.” Arina cepat-cepat menyendok bubur dan menyodorkan ke mulut Bhre yang masih tiduran
Bhre bangkit dari tidurnya, menerima satu suap bubur itu dan mengunyah dengan lambat, Arina tidak berbicara, dia menunggu hingga Bhre selesai mengunyah, namun tangannya sudah siap dengan satu sendok lagi. Tangan kirinya juga sudah siap sedia membawa gelas berisi air.
Bhre makan 3 sendok bubur, dan meminum air putih hingga habis. Kemudian kembali tidur dengan selimut kembali menutupi seluruh tubuh.
Arina hanya bisa menarik napas panjang, besok sudah harus sekolah, sepertinya Arina harus buat alibi ke guru-guru kalau Bhre sedang demam dan mungkin belum bisa sekolah hingga beberapa hari ke depan.
…
“Gimana Arina, Bhre mau makan?”
“Mau Om Bob, aku janji cuma tiga sendok. Dia beneran makan tiga sendok,” ucap Arina agak menyesal, harusnya dia bilang lima sendok, biar banyakan dikit
“Gak apa, yang penting udah ada makanan masuk ke perutnya”
“Iya Om. Tapi besok gimana ya? Udah Senin, harus sekolah. Besok kayanya ada ujian harian gitu,”
“Tenang… besok Bhre pasti berangkat sekolah, om jamin. Nanti malam om coba bujuk dia ya”
Arina mengangguk,
“Tolong ya om, aku gak tega liat dia begitu”
Om Bob mengangguk, “Kali ini gak akan lama kok Rin. Gak seperti dulu, sekarang fase-nya Bhre bisa sambil diajak ngobrol” Jelas Om Bob
Aku percaya omongan Om Bob, konsultasi Bhre ke psikolog nyaris setahun itu pasti membuahkan hasil. Bhre juga sudah lebih terbuka jika ada bahasan tentang Tante Arlin, Arina tau dia hanya masih perlu waktu untuk menempatkan kesedihannya.
…
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
