
Orang Tua Elisa tiba-tiba bercerai di saat sang Ibu baru saja divonis kanker. Tanpa ada rasa belas kasih, Ayahnya pergi begitu saja karena sang Ibu tidak bisa melahirkan anak laki-laki.
Setelah Ibunya meninggal, Elisa berniat untuk balas dendam kepada sang ayah. Tapi Pria yang mencintainya justru menghalangi.
Akankah dendam ibunya terbalaskan?
BAB 9
Setelah hari itu, Daniel dan Elisa benar-benar tidak berkomunikasi kembali kecuali meeting online. Bahkan setelah satu bulan yang dijanjikan Elisa di awal sudah lewat dan sudah kembali menginjak dua minggu setelahnya. Membuat Daniel semakin tidak karuan.
Pintu kantornya tiba-tiba diketuk dan sosok wanita masuk ke dalam kantornya setelah dipersilahkan. Membuat Daniel terkejut, ingin rasanya tersenyum lebar saat melihat Elisa akhirnya datang ke kantornya. Berada di dekatnya.
Hei... bukannya masih marahan? Tapi sepertinya sudah tidak lagi bagi Daniel. Rasa rindu justru bisa mengalahkan amarahnya. Makanya dia ingin sekali tersenyum.
“Saya ingin membahas beberapa hal mengenai project ini secara langsung karena kebetulan baru selesai meeting internal dengan tim.” Daniel mengangguk.
Dia sama sekali tidak mendengarkan segala hal yang dibahas. Daniel hanya melihatnya, melihat wajahnya, matanya, dan... bibir merahnya yang sejak tadi bernyanyi entah apa.
Daniel sesekali mengangguk meski tidak tahu hal yang dibahas. Dia pun terlihat berdiri dan berjalan kesana kemari sambil mengangguk. Bahkan tanpa Elisa sadari, Daniel sudah mengunci pintu ruangannya dan kembali menghampiri dan berdiri di belakangnya.
“Jadi bagaimana, Pak?” Tanya Elisa menyudahi diskusinya.
Daniel yang sama sekali tidak mendengarkan pembahasan yang disebutkan Elisa sempat bingung. Hingga Wanita itu ikut menoleh ke belakang karena atasannya belum memberikan jawaban.
Betapa kaget Elisa saat tahu Daniel berdiri di belakangnya terlalu dekat hingga membuatnya harus mendongak ke atas untuk melihat laki-laki yang ternyata tersenyum padanya sejak tadi.
Daniel memenjarakan tubuh Elisa dengan kedua tangan yang menopang di meja kiri kanan gadis itu. Membuat jarak diantaranya semakin dekat.
“Menurut kamu... gimana?” Tanya balik Daniel padanya sambil mengecup singkat kepala Elisa.
“Pak.” Elisa beranjak dari kursinya yang justru saat berbalik membuat Daniel kembali merapatkan tubuhnya.
“Saya tanya... menurut kamu gimana dengan hal yang kamu diskusikan barusan?” Tanyanya sambil memperhatikan wajah Elisa yang panik dan memerah.
Dia pun mengambil sebagian rambut gadis itu dan menciumnya. Wangi segar shampoo Elisa menyeruak dari rambut halusnya.
“Jangan kurang ajar, Pak.” Jawabnya ketus sambil mengambil rambut yang sejak tadi diendus Daniel.
“Kurang ajar? Apa kamu tau seperti apa kurang ajar itu?” Elisa hanya diam melihat Daniel yang mulai terlihat kesal.
Daniel mengendurkan dasi yang mencekiknya dan membuka kancing atas kemejanya agar dapat bernafas lebih leluasa.
“Kurang ajah itu, ketika kamu permainkan hati aku yang sudah begitu setia nungguin kamu tapi kamu malah berselingkuh. Ketika kamu suruh aku tunggu satu bulan tapi sudah satu setengah bulan masih belum kasih aku kepastian. Ketika aku begitu sabar menunggu supaya…” Elisa menarik kerah Daniel agar bisa mendekatkan wajah mereka dan menyentuhkan bibirnya.
Daniel yang masih kaget dengan kejadian itu hanya diam, matanya masih terbuka lebar. Ini kedua kalinya Elisa menciumnya terlebih dahulu.
Elisa merasa ciumannya tak dibalas yang justru membuatnya malu dan melepaskannya. Wajahnya terlihat sangat merah apalagi Daniel masih melihatnya.
“Maaf... aku...” Daniel mencubit lembut dagu Elisa agar menatapnya yang saat ini sedang tersenyum.
“Let me take the lead.” Dia pun mencium Elisa dengan lembut. Bahkan kedua tangan gadis itu sudah memeluk pinggang Daniel.
***
“Let's get married.” Ucap Daniel sambil memeluk erat Elisa.
Setelah ciuman yang terjadi di kantor mereka. Sorenya Daniel membawa Wanita itu ke apartemen dan mengajaknya bermalam disana.
Elisa yang sedang memejamkan matanya langsung membuka dan menoleh ke belakang. Terlihat Daniel tersenyum padanya bahkan mengecup bibirnya singkat.
“Nikah?” Daniel mengangguk.
“Kamu tau, seorang Pratama tidak boleh menikahi perempuan yang sudah tersentuh. Kecuali mereka memang seorang janda.”
Daniel mengusap tubuh Elisa dengan tangannya. Mengagumi setiap lekuk tubuh kekasihnya. Setelah itu kembali memeluk dan mengecup bibirnya.
“Aku nggak tahan kalau kamu pasrah begini, Elisa. Aku ingin miliki kamu secepatnya.” Elisa terkekeh gembira karena bisa membuat Daniel sepenasaran itu padanya.
“You have to know. How does it feel? When I'm inside you.” Bisiknya.
“Emang kayak gimana?” Tanya Elisa iseng membuat Daniel gemas bahkan menggigit lembut bahunya yang terbuka membuat Wanita itu geli hingga tertawa.
“Makanya ayo kita nikah.” Jawab Daniel.
“Mama juga udah nanyain kamu... malah nyuruh kamu main kerumah.”
“Papa kamu?” Tanya Elisa penasaran.
Daniel terdiam. Dia teringat kembali pembicaraannya berdua dengan sang papa.
Flashback On
“Sejak kapan kamu pacaran sama Elisa?” Tanya papanya dua hari setelah peresmian gedung project.
“Baru beberapa hari, pa.”
“Berarti masih bisa kan?”
“Bisa apa, pa?”
“Putus sama dia.” Daniel terlihat tidak percaya dengan ucapan papanya yang dia kira akan mendukungnya.
Daniel sangat tahu selera menantu idaman papanya. Berpendidikan dan cerdas... seperti Elisa. Bahkan dulu saat Arin mencoba mendekatinya kembali setelah putus, papanya melarang Daniel untuk berpacaran dengannya karena kepintaran Arin terbilang standar.
“Tapi pa... Elisa sudah sangat sesuai dengan kriteria yang papa mau. Meski dia tidak lulus kuliah tapi kemampuannya diakui oleh Om Alex, bahkan rencana skripsinya saja bisa direalisasikan oleh perusahaan Prajaya.”
“Bukan itu yang menjadi masalah, Daniel.”
“Terus apa masalahnya, Pa?”
“Dia nggak akan bisa kasih kamu keturunan anak laki-laki!” Sungguh kata-kata diluar prediksi Daniel.
Bagaimana papanya bisa berkata seperti itu? Apa dia seorang peramal yang hanya melihat orang saja ternyata bisa tahu bisa melahirkan anak laki-laki atau perempuan?
“Apa?”
“Kamu harus punya anak laki-laki sebagai penerus Pratama, Daniel. Karena laki-laki itu pemimpin. Kalau kamu sama Elisa, kalian cuma bisa punya anak perempuan. Itu pun kalau Elisa ‘sehat’.”
“Maksud papa apa sih? Kenapa jadi bahas seperti ini? Lagian aku gak masalah punya anak perempuan sebanyak-banyaknya tanpa anak laki-laki. Asal perempuan yang aku nikahi itu Elisa.”
“Papa nggak setuju. Keturunan kamu harus anak laki-laki dan Elisa nggak bisa kasih kamu itu!”
Flashback Off
“Dia…”
“Papa kamu nggak setuju kalau kita bersama?” Tebak Elisa.
Daniel hanya tersenyum sambil merapikan rambut Elisa serta mengecup singkat beberapa kali di wajahnya.
“Kita bisa nikah di luar negri. Nggak harus disini.” Ucapnya tiba-tiba tanpa menjawab pertanyaan Elisa.
Elisa bangun dari posisi tidurnya dan kembali menoleh ke arah Daniel yang masih merebahkan diri di sampingnya.
“Berarti bener, papa kamu nggak setuju?” Daniel menunduk masih tidak menjawab.
“Daniel.”
“Nggak usah peduliin dia, toh dia cuma papa tiri. Nggak ada ngaruhnya sama masa depan aku. Setidaknya mama sudah merestui kita.” Elisa menumpukan kepala di kedua lututnya.
“Apa alasan papa kamu?” Daniel menatap Elisa yang terlihat penasaran.
Daniel bingung apakah harus mengutarakan alasan sebenarnya atau tidak kepada kekasihnya. Tapi sekilas dia berpikir kembali kalau alasan papanya begitu konyol. Sok menjadi peramal padahal tidak tahu apa-apa.
“Dia bilang kamu nggak bisa kasih aku anak laki-laki. Dia juga nyuruh supaya kamu cek kesehatan untuk tahu seberapa sehat kamu untuk bisa memiliki keturunan.” Elisa tertawa renyah.
‘Terjadi lagi.’ Gumamnya dalam hati.
Kata-kata keturunan anak laki-laki yang dulu membuat ayahnya menceraikan Ibunya dan meninggalkannya dalam keadaan begitu sakit. Sekarang hal itu terjadi lagi… padanya.
Adakah lawakan yang lebih lucu dari ini? Yang bahkan sudah membuat Elisa tertawa hingga mengeluarkan air mata saking lucunya. Bahkan Daniel dibuat bingung karenanya.
“Apa kamu... juga mengharuskan istri kamu punya anak laki-laki?” Tanyanya setelah dia puas tertawa.
Elisa sudah pasrah dengan jawaban apapun dari mulut Daniel. Jika dia berpikiran sama seperti papa tirinya, maka Elisa akan langsung pergi dari kehidupannya. Dia tidak ingin drama yang sama seperti ibunya.
Tapi tanpa diduga Daniel menggeleng. Cukup menenangkan karena memiliki pemikiran berbeda.
“Aku nggak peduli, anak laki-laki maupun Perempuan... sama aja. Asal...” Daniel menarik kembali Elisa dan merebahkan di atas kasurnya.
“Itu anak kita... dari rahim kamu, yang udah aku cetak sedemikian rupa supaya mirip kita berdua.” Tutupnya lalu kembali mencium kekasihnya yang tentu saja disambut dengan penuh cinta.
--00--
BAB 10
“Akhirnya calon mantu mama datang juga.” Sambut Tiara, mama Daniel saat mereka sudah berkumpul di ruang tamu.
Elisa hanya tersenyum. Hari ini untuk kedua kalinya Elisa bertemu dengan Tiara Pratama. Pandangannya yang begitu teduh bisa membalikkan hati Elisa bahkan sejak pertama mereka bertemu.
Tiara terlihat begitu, ramah, dan sayang padanya. Benar-benar karakter seorang Ibu idaman yang dulu pernah Elisa rasakan dari Ibunya yang sudah meninggal dan juga neneknya.
Apalagi Daniel juga memiliki sifat penyayang yang sama dengan Ibunya yang membuat Elisa pun luluh dan menerima cintanya.
Henry, Papa Daniel yang memperhatikan sejak tadi hanya diam, terlihat raut wajah tidak senang. Elisa merasa aneh. Padahal waktu peresmian beberapa bulan lalu, papa Daniel memperlihatkan wajah sedihnya. Sekarang justru wajah tidak suka padanya. Tapi Elisa tidak peduli. Pusatnya hanya di Tiara dan Daniel. Dia akan membiarkan Henry seorang diri dengan pikiran dangkalnya.
Seharian ini Elisa benar-benar dimanja oleh Tiara dan Daniel. Bahkan dia sempat berpikir, apakah ini yang membuat Henry nyaman di keluarga Pratama? Dimanja dengan penuh kasih sayang.
“Apa maksud kamu deketin Daniel?” Tiba-tiba Henry sudah berada didekat pintu toilet saat tadi Elisa ijin untuk ke toilet di lantai dua.
“Bukan urusan, OM.” Ucapnya sama ketusnya.
Elisa baru akan pergi tapi tangannya ditarik kasar oleh Henry hingga dia berbalik kembali menghadapnya.
“Jangan dekati Daniel. Kamu nggak pantas disini.” Elisa menaikkan sebelah alisnya.
Dia menghentak tangannya agar terlepas dari Henry. Membuatnya benar-benar marah saat ini. Apalagi Henry dengan berani menyentuhnya tanpa ijin.
“OM siapa? Sampai bisa bilang kayak gitu?” Henry menekan otot rahangnya menahan kesal.
“Daniel anak saya, ini keluarga saya.” Mata Elisa membulat.
“Lalu saya siapa, OM?” Henry tidak menjawab.
Dia memasukkan kedua tangannya kedalam saku, memandang rendah Elisa.
“Kamu... orang yang nggak akan bisa kasih keturunan anak laki-laki... sama seperti Anne, Ibu kamu.” Elisa mendengus dan tersenyum sinis.
“Masih inget mantan ternyata. Kirain udah lupa.” Henry melihat ke arah lain tidak menjawab.
Henry Pratama, atau dengan nama asli Henry Basil sebelum diganti nama menjadi bagian keluarga Pratama merupakan ayah kandung Elisa yang dengan tega bercerai dari Ibunya dan pergi begitu saja karena tidak bisa memberikan anak laki-laki untuknya. Orang yang paling dibenci Elisa seumur hidupnya.
“Sebaiknya kamu pergi menjauh. Sampai kapanpun, saya tidak akan merestui kalian.”
“Kenapa? Karena saya tidak bisa punya anak laki-laki? Atau karena kami saudara tiri?”
“Kamu sudah jawab sendiri alasannya.” Henry langsung pergi meninggalkannya menuju ruang kerja.
Emosi Elisa tidak bisa terbendung lagi. Dia kembali masuk ke dalam toilet dan menangis disana.
“Kamu cape, El?” Tanya Daniel saat mengantar Elisa pulang.
Dia mengusap lembut dahi Elisa, membuatnya nyaman dan bahkan ingin tidur karenanya. Elisa menggeleng.
“Maaf ya, mama aku ngajakin kamu ini itu tadi. Dia keliatan seneng banget soalnya pas ketemu kamu.” Elisa tersenyum.
“Aku seneng kok. Mama kamu baik. Aku malah jadi inget almarhumah Ibu.” Daniel tersenyum.
Tangannya menggenggam tangan Elisa. Lalu menariknya mendekat dan menciumnya.
“Maaf ya. “ Elisa menggeleng.
“Justru aku seneng. Aku jadi ngerasa Ibu ada didekat aku. Aku... kangen.” Matanya langsung berkaca-kaca dan mulai menangis.
Daniel menepikan mobilnya. Dia mencoba menenangkan Elisa dengan mengusap lembut kepalanya.
“Kalau gitu, kamu bisa kok sering-sering ketemu mama. Dia pasti seneng banget. Apalagi kamu juga udah anggap mama kayak Ibu kamu sendiri.” Elisa tersenyum setelah dia mengusap kasar air matanya.
Tapi senyumannya hilang saat mengingat kembali percakapannya dengan Henry.
“Daniel.” Panggilnya saat mobil sudah melaju kembali.
“Papa kamu nggak suka aku.” Daniel diam, dia pun tahu itu.
“Tadi dia sendiri yang bilang.” Daniel menoleh kaget padanya.
“Maksudnya?”
“Tadi pas aku dari toilet, papa kamu ngajak aku ngobrol. Aku disuruh jauhin kamu karena aku nggak pantes buat kamu. Soalnya aku nggak akan bisa kasih kamu anak laki-laki kalau kita nikah.”
Daniel mendengus kasar. Dia sama sekali tidak menyangka kalau papanya akan mengatakan langsung kepada Elisa dengan begitu berani di belakangnya.
“Aku nggak nyangka papa berani ngelabrak kamu langsung kayak gitu.” Elisa terdiam.
“Nanti biar aku yang bicara sama papa. Kamu... nggak usah khawatir ya.” Elisa mengangguk.
Dia tersenyum... penuh kemenangan. Dia tahu pasti kalau Daniel akan memihaknya.
***
“Pa... kenapa papa ngomong kayak gitu ke Elisa?” Tanya Daniel yang dengan sengaja kembali ke rumah orang tuanya.
Padahal seharusnya dia pulang ke apartemen yang baru saja dibeli saat kantor barunya berada di lokasi yang agak jauh dari rumah keluarganya saat ini.
Di ruang santai tersebut tidak hanya ada papanya, mamanya pun ada disana. Sepertinya Daniel memang sengaja berbicara didepan mamanya agar tau pemikiran dangkal suaminya.
“Ngomong apa?” Kali ini Tiara yang bertanya sambil menatap Daniel dan Henry bergantian.
“Daniel...”
“Papa bilang kalau Elisa nggak pantes jadi istri aku, ma. Karena dia nanti nggak bisa kasih aku keturunan anak laki-laki sesuai keinginan papa.” Jelas Daniel sambil menatap kedua orang tuanya.
“Padahal apapun jenis kelaminnya, aku akan tetap sayang karena dia darah daging aku dari istri masa depan aku, Elisa.” Tiara menatap suaminya yang masih diam memasang wajah datar.
“Papa juga minta Elisa untuk jauhi aku. Padahal apa hak papa? Aku sendiri yang berhak menentukan masa depan aku. Dan aku memilih Elisa untuk jadi istri dan ibu dari anak-anak aku kelak.”
“Pa.” Tiara memanggilnya.
Ingin mencoba memastikan bahwa yang diucapkan Daniel sebelumnya adalah salah karena Tiara sendiri juga menyukai Elisa dan tidak mempermasalahkan jenis kelamin cucunya nanti.
Henry mendengus, dia masih terdiam. Mencoba menarik nafas sebelum mengawali pembicaraan.
“Ya… papa bilang seperti itu sama Elisa.”
“Pa...”
“Papa... tidak merestui hubungan kalian, Daniel.” Daniel terlihat kesal, dia menoleh ke arah mamanya meminta dukungan.
“Ma...” Mamanya masih diam.
“Mungkin nanti kita bicarakan lagi ya, sayang.” Daniel kembali kesal.
Benar-benar dibuat kesal. Pertama karena hubungannya tidak direstui papanya dan kedua mamanya tidak mendukungnya.
Dia kembali mengepalkan tangannya. Benar-benar tidak menyukai momen ini, disaat keluarganya tidak mendukung pilihannya.
“Aku nggak butuh restu kalian. Aku akan tetap menikahi Elisa. Direstui... atau tidak.” Daniel pun keluar dari rumah tersebut dengan pikiran kacaunya.
“Pa...” Panggil Tiara, baru pertama kali ini Daniel menentangnya karena seorang perempuan.
Tiara sendiri menjadi bingung, dia harus mendukung siapa jika seperti ini. Dua laki-laki ini adalah orang yang sangat disayanginya. Kenapa harus memihak ke salah satu kalau bisa dua-duanya?
“Gapapa, ma... Daniel nggak akan menikah dengan siapapun tanpa restu dari kita.” Tiara mengangguk.
“Tapi kenapa papa bilang kayak gitu ke Elisa? Dia perempuan baik. Mama suka sama dia, Pa.”
Henry pun melihat seharian tadi Tiara begitu senang saat bersama Elisa. Berbeda sekali dengan sebelumnya. Dia terlihat menemukan teman bermain yang se frekuensi saat bersama Elisa.
Tapi bukan itu masalahnya, kan? Masalahnya adalah Elisa merupakan anaknya yang tidak diketahui oleh semua keluarga Pratama. Sejak awal dia bekerja sebagai dosen di Universitas Pratama sudah menyatakan kalau dia masih single.
Sehingga dia bisa dengan mudah mendekati Tiara, Ketua Yayasan Pratama yang saat itu berstatus Janda anak satu yang ditinggal mati oleh suami terdahulunya.
Daniel kecil sering dibawa oleh Tiara ke Yayasan yang kebetulan masih berada di lingkungan Universitas Pratama. Dan dia jatuh hati kepada mereka berdua. Apalagi saat itu Anne, istrinya sekaligus Ibu Elisa tidak bisa memberikan anak laki-laki padanya.
--00--
BAB 11
“Anak laki-laki harus hadir sebagai keturunan Pratama, ma. Supaya masa depan keluarga ini tidak jatuh ke pihak lain.”
“Tapi pa, mama kan juga anak perempuan Pratama.” Henry mengangguk sambil mengusap tangan Tiara.
“Ya betul. Tapi Ayah kamu punya anak laki-laki sebagai penerus utama. Jadi kehadiran kamu di keluarga Pratama adalah hadiah berharga bagi kami orang luar.” Tiara tersipu malu.
Sejak dulu Henry sangat bisa mengambil hatinya. Terutama disaat dia sudah pasrah dengan kehidupan cintanya sepeninggal suami terdahulunya.
“Tapi kenapa papa bisa yakin kalau Elisa tidak bisa kasih keturunan anak laki-laki bagi Daniel?” Henry diam.
“Entahlah, firasat papa kuat banget. Papa nggak mau nanti kalian menyesal.” Tiara kembali terdiam.
Sejak menikah dengan Henry dulu, mereka memang belum memiliki anak hingga saat ini dan tidak akan pernah, karena rahim Tiara sudah diangkat bersamaan dengan lahirnya Daniel karena ada masalah kesehatan.
Beruntung Henry tidak mempermasalahkan itu karena sudah ada Daniel dalam kehidupan mereka yang sangat dia sayangi bahkan didik benar-benar hingga menjadi pintar seperti saat ini.
Sepertinya pemikiran Henry saat ini tidak bisa diubah, makanya Tiara tidak akan memaksanya untuk berubah. Dia hanya berdoa semoga waktu bisa mengubah pola pikir Henry dan menerima Elisa sebagai menantunya.
Makanya tadi dia pun tidak langsung mendukung Daniel begitu saja. Harus tahu dulu pokok permasalahannya dengan benar.
‘Semoga Daniel mau bersabar.’ Batin tiara.
***
“Kawin lari? Ke... Aussie?” Tanya Elisa kaget sekaligus bingung karena usulan Daniel.
Daniel mengangguk mantap. Tekad dia sudah bulat ingin menikahi Elisa meski tanpa restu orang tuanya. Dia sudah tidak peduli lagi dengan mereka. Yang diinginkannya saat ini adalah Bersama kekasih hatinya.
Elisa tidak bisa begitu saja menerima ajakan Daniel. Bukan seperti ini rencana awalnya. Dia ingin membuat ayahnya kalah darinya dan meminta maaf kepada mendiang ibunya. Akibat perbuatannya dahulu.
Ini bukan soal cinta tak mendasar antara dirinya dan Daniel. Ini tentang balas dendam Elisa terhadap ayahnya. Dan bukan ini rencana yang telah disusunnya.
Dia harus membuat keluarga Daniel membenci ayahnya dan pergi meninggalkannya. Bukan justru Daniel yang meninggalkan mereka seperti ini. Elisa tidak mau.
“Papaku nggak setuju, mama juga diem ajah. Kalau disini… nggak ada yang akan dukung kita. Mending kita nikah diluar negri aja, El. Disana lebih mudah, perbedaan dari segi apapun diterima dan pernikahannya pun resmi.” Jelasnya.
“Tapi aku bener-bener nggak suka ide ini, Daniel. Kawin lari.” Elisa menatap Daniel yang menaruh harapan padanya.
“Aku ingin... pernikahan kita direstui oleh orang tua kamu. Setelah itu baru kita adakan di luar negeri atau dimanapun terserah kamu.” Daniel terlihat tidak suka dengan ide Elisa.
Padahal saat ide ini tercetus, Daniel pikir kalau Elisa akan langsung setuju padanya. Sehingga mereka bisa segera berangkat ke benua seberang dan kembali lagi setelah resmi menjadi suami istri. Tapi ternyata pemikirannya salah dan tidak sesuai harapan.
Elisa tidak menyukai ide itu. Atau justru dia tidak ingin menikah? Entahlah, Daniel sudah malas bertanya. Dia bangkit dari kasurnya dan pergi ke kamar mandi. Meninggalkan Elisa yang masih merebahkan diri di kasur.
Elisa mengambil ponselnya di atas nakas dan menelpon seseorang.
“Daniel ngajak kawin lari keluar negeri.”
“.....”
“Ya nggak bisa lah, itu akan hancurin rencana kita.”
“.....”
“Iya, ini lagi diusahain.”
“.....”
“Oke, sudah dulu. Danielnya sudah selesai dari toilet.”
Elisa langsung menutup panggilan secara sepihak. Sesuai dugaannya, pemikiran penelpon tadi pun sama. Elisa harus mencegah Daniel kawin lari dengannya. Kalau tidak, rencana mereka akan gagal total.
Keluar dari kamar mandi, badan Daniel sudah lebih segar karena ternyata dia baru saja mandi. Tapi setelah itu ternyata tidak kembali ke kasurnya melainkan keluar kamar.
Elisa yang dihiraukan seperti itu akhirnya juga ikut mandi dan keluar kamar Daniel setelahnya. Mencari sosok kekasihnya yang ternyata sedang duduk santai sambil menikmati kopi hitam buatannya.
“Daniel.” Panggil Elisa.
“Hmm...” Daniel menjawab tanpa menatapnya. Hanya bermain ponsel sambil menikmati kopinya.
Elisa harus apa agar Daniel bisa yakin untuk tidak mengajaknya kawin lari. Dia benar-benar bingung. Belum lagi dengan usulan sang penelpon tadi untuk mencoba bertingkah manja pada Daniel agar mau menurutinya.
Bertingkah manja itu seperti apa? Sebelum keluar kamar, dia membaca dulu di berbagai artikel yang ada di internet mengenai cara mendekati pria, cara membuat pria bertekuk lutut, hal-hal yang disukai pria dari seorang wanita, tanda pria sayang padamu, semacam itu. Dia coba baca semua hingga tertariklah kesimpulan akan sikap yang harus dia lakukan... bersikap manja. Sama seperti usulan sebelumnya.
Sebuah kekonyolan lain yang coba dilakukannya. Memakai baju Daniel yang cukup besar hingga menenggelamkan sebagian besar tubuhnya. Dengan celana... ah sudahlah lepas ajah. Toh nggak keliatan.
Semua sudah siap. Tinggal mempraktekkan semua tips yang baru saja dibacanya tadi.
Elisa langsung duduk di pangkuan Daniel dan memeluknya yang tentu saja membuat laki-laki itu kaget. Semuanya membuatnya kaget.
Mulai dari Elisa duduk dipangkuannya, memakai pakaiannya yang cukup besar sehingga bahunya terekspos, belum lagi ketika Elisa menekuk kakinya, terlihat jelas paha mulusnya yang tidak tertutup apapun. Daniel harus menelan ludahnya berkali-kali karena pemandangan penuh tantangan ini.
“kamu marah, sayang?” Daniel membulatkan matanya, dia pun tersenyum. Belum lagi saat kedua tangan Elisa yang mengalung di leher mengusap lembut tengkuknya.
“El...” Panggilnya.
Elisa melepaskan pelukan dan menatapnya dengan tangan yang masih mengalung di leher Daniel.
“Damn, you look so hot.”
***
‘Gimana?’ Tanya si penelpon keesokan harinya saat Elisa sudah pulang ke rumahnya yang diantar dengan enggan oleh Daniel karena masih ingin bersamanya.
‘Berhasil. Daniel nggak jadi ajak kawin lari. Dia mau coba pastiin supaya dapet restu dari orang tuanya.’
‘Oke. Sesuai rencana semula ya.’
‘Siap.’ Panggilan pun diakhiri.
Elisa tersenyum bahkan terkekeh membayangkan kembali adegan semalam ketika dia berhasil menggoda Daniel tapi dengan sengaja Daniel mencoba menahannya karena dia seorang Pratama. Terlebih lagi, dia ada niat untuk menikahi kekasihnya tersebut.
Flashback On
“El, gimana bisa kamu godain aku kayak gini? Kamu bikin aku jadi lebih ingin cepat-cepat nikahin kamu. Kalau bisa detik ini juga.”
Daniel tidak bisa benar-benar menikmati pemandangan yang berada dibawahnya. Dia hanya bisa mengagumi dan menyentuh sedikit dari semua godaan yang disajikan kekasihnya.
“Kalo gitu ayo kita nikah... tapi dengan cara yang benar.” Kali ini Elisa membalikkan tubuh Daniel sehingga dia berada diatasnya.
“Aku mau dapet restu orang tua kamu. Aku mau diakui sebagai istri di keluarga kamu. Seorang Pratama, Daniel sayang.”
Daniel terlihat tidak konsentrasi saat tubuh bagian bawah mereka saling bersentuhan.
“Daniel, ingat... kamu Pratama.” Daniel mendengus.
“Justru karena aku Pratama cuma bisa sampai sejauh ini.” Daniel membalikkan kembali tubuh Elisa hingga gantian dia berada di atasnya.
“If I’m not. I’ll be inside you since then, sayang.” kekehnya.
“Aku nggak masalah kamu siapa, Daniel. Tapi aku tetap ingin pernikahan kita direstui orang tua kamu.” Daniel tidak menjawab.
“Daniel!” Pekik Elisa.
“Okay... okay... I will…”
Flashback Off
“Siap-siap, ‘Ayah’... aku akan balas dendam demi Ibu.”
--00--
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
