
~~ Be Wise ~~
Harap bijak sebelum membaca, tulisan ini khusus untuk usia diatas 18+
Sebelumnya baca terlebih dahulu part 25 di platform Tiktok @windariw_ supaya tidak terlalu pusing.
Note: Gak usah klik bagian tip, langsung klik support aja. Menghindari pembayaran double.
Terimakasih 💜
🍁 Happy Reading 🍁
Stuck Into You
313
110
4
Selesai
Lanjutan kisah dari Just a Crush, kisah ini masih menceritakan tentang kisah cinta antara Gamma dan Amora, serta Arjune dan Anna.Harap bijak dalam membaca, batas usia yang diperbolehkan disini yaitu 18+ ke atas. Terimakasih 💜
6,104 kata
Dukung suporter dengan membuka akses karya
Pilih Tipe Dukunganmu
Sudah mendukung?
Login untuk mengakses

Selanjutnya
The Perfect Lecture is My Future Husband (END)
17
10
FILE NYA BERBENTUK E-BOOK, JADI JGN LUPA DI UNDUH DULU YAAA.. KARENA CERITA INI UDH END HAL TAK TERDUGA Suasana taman kampus hari ini cukup menyejukkan, angin berembus tak terlalu kencang ataupun lambat, sangat terasa bersahabat. Di sinilah tempat favorit Narra dan Malla untuk mengerjakan tugas kuliah atau untuk sekadar bersantai.
Beberapa detik aktivitas Narra terhenti kala sepasang bola matanya menangkap sosok yang sangat ia kagumi dan bibir ranumnya mulai berucap ngawur. Kalau Narra sudah seperti ini, tidak lain dan tidak bukan pasti ada hubungannya dengan orang yang ia kagumi.
Aduh, jodoh gue yang terlambat dipertemukan, katanya tiba-tiba.
Ya, siapa lagi kalau bukan dosen muda bernama Arga. Narra mengagumi Dosen itu dari semenjak ia duduk di semester awal perkuliahan, dan kini Narra sudah berada di semester akhir perkuliahannya. Wow, cukup lama juga Narra mengagumi sang dosen. Catat, hanya mengagumi saja, tidak lebih.
Masih aja ngarep Pak Arga jodoh lo. Malla berujar sarkas.
Selama gue masih bisa bertemu dengan Pak Arga, selama itu juga gue ngarepin dia. Walau pada kenyataannya gak bisa gue milikin, sih. Hahaha, ucapnya ngasal, tetapi benar berasal dari hati.
Jelaslah dia gak bakal milih lo, orang dia udah punya bini yang mungkin cantiknya lebih dari lo, Ra.
Eh, inget ya, selama kita belom melihat, dilarang untuk meng-judge, bantah gadis itu.
Lagian selama empat tahun Narra mengenal Arga yang katanya sudah menikah dan memiliki anak, sampai sekarang ia belum pernah melihat istri dari dosennya itu, bahkan dalam event besar yang diadakan oleh kampus dan notabene semua kalangan dosen membawa keluarganya. Lain hal dengan Arga, pria itu hanya datang seorang diri. Paling yang pernah dibawa hanya anaknya saja, itu pun hanya satu atau dua kali, dan yang tidak Narra suka, kenapa semua mahasiswa di kampus berpikir kalau istrinya Arga adalah wanita yang paling cantik? Maka dari itu, tidak pernah dikenalkan pada semua orang. Akan tetapi, hanya Narra saja yang tidak setuju kalau istrinya Arga cantik sebelum ia melihat terlebih dahulu orangnya, atau mungkin memang Narra tidak bisa menerima kalau istri Arga benar-benar cantik.
Oke, mungkin alasan kedualah yang lebih tepat kalau Narra tidak mau menyetujui istri Arga cantik. Apa pun yang menjadi alasan Narra, terima sajalah. Semua orang, kan, memiliki hak dalam berpikir dan membuat keputusan, begitu pun Narra.
Iya ya, gue jadi penasaran sama istrinya Pak Arga. Kayak gimana, sih? tanya Malla, lebih tepatnya pada dirinya sendiri.
Au. Narra menjawab singkat yang artinya tidak tahu sambil mengangkat sedikit bahunya.
Sungguh, Narra sangat benci jika sudah membahas istri Arga, tetapi di satu sisi dia pun penasaran.
Nama istrinya aja kita gak tau, tambah Narra, tidak berniat menghentikan percakapan seputar kehidupan Arga.
Oh iya ya. Kalo nama anaknya, tuh, namanya--
Annavel, serobot Narra ketika Malla menggantungkan kalimatnya.
Ho'oh, si Navel. Cie masih hafal aja nama anaknya, goda Malla sambil sedikit menyeringai.
Iyalah. Dia, kan, anaknya Pak Arga, otomatis anaknya gue juga, jawab Narra bangga. Gelar yang cocok untuk Narra sekarang adalah Halu Qeen sesuai dengan namanya, Queenarra.
Nah, kan, nah, kan. Mulai lagi, kan, ngehalunya.
***
Dengan nafas yang masih tersengal, Malla menarik kursi tepat disamping sahabatnya itu. Narra yang menyadari ada sesuatu yang aneh dari sahabatnya itu hanya menaikkan sebelah alisnya.
“Lo kenapa? Abis dikejar rentenir?” Tanyanya sedikit memberikan candaan pada temannya yang bertubuh kecil namun memiliki pipi begitu cuaby.
Malla tidak menggubris candaannya itu, justru ia hanya menggelengkan kepalanya saja. “Gue punya kabar bahagia buat lo.” Sahutnya, masih dengan mengatur ritme nafasnya.
“Apa?” Kening Narra saling berkerut bingung sekaligus penasaran.
“Jangan lupa traktir gue, setelah gue ngasih tau lo!” Syaratnya, sebelum memberitahu kabar yang sudah didapatnya.
“Dih! Apaan dulu beritanya. Kalo emang beneran kabar bagus. Bisa gue pertimbangkan!” ujarnya.
Malla mengguk-anggukan kepalanya penuh kebanggaan dan kemenangan. Bahkan dia sudah bertaruh bahwa Narra akan bersiap untuk mentraktirnya.
Sebelum membuka mulutnya, gadis berambut sebatas bahu itu mengulurkan tangannya tepat dihadapan Narra. Melihat kelakuan aneh Malla, semakin membuat Narra bingung. Karena tidak ingin berlarut dalam kebingungan, dengan cepat ia menjabat tangan Malla.
Seringaian kemenangan Malla mencuat kepermukaan. “Selamat. Dosen pembimbing anda adalah Bapak Diargantara.” Ucapnya yang sengaja dibuat secara formal namun berlebihan itu.
“Gak usah becanda. Gak lucu!” bantahya tidak percaya akan info yang dikatakan oleh Malla barusan.
“Astaga! Beneran. Buat apa gue bohong!” Sahutnya menampilkan mimik seriusnya.
Kedua mata Narra yang memang belo namun terlihat sayu itu sedikit memicing, mencari tahu letak kebohongan diwajah bulat sahabatnya itu. Karena Malla terlihat sangat serius, membuatnya sedikit percaya.
“Beneran?” Tanyanya lagi. Karena tidak ingin masuk kedalam perangkapn kejahilan sahabatnya itu.
Tidak ada jawaban dari Malla, ia hanya mengangkat dua jari telunjuk dan tengahnya keudara membentuk huruf ‘V’.
“Lo dapet info dari mana?” selidiknya lagi, hanya ingin memastikan saja.
“Di mading. Gak percaya liat aja kesana gih.” Jawab Malla sekaligus memberi saran.
Karena sedikit tidak percaya dengan info dari sahabatnya itu, Narra segera bangkit dari duduknya, hanya untuk sekedar memverifikasi saja.
“Traktirannya jangan lupa!” Teriak Malla mengingatkan, kala Narra sudah mulai melenggang pergi.
***
Annavel
Bola matanya menangkap sosok wanita yang ia tahu sangat mengidolakannya itu sedang berdiri di depan mading kampus. Dengan kaki yang sudah dihentak-hentakkannya sangat riang. Hal itu sontak membuat Arga berhenti sejenak, hanya untuk sekadar melihat aksi dari wanita aneh itu.
Seharusnya Arga segera bergegas pergi karena sekretaris kantornya memberi tahukan bahwa ada meeting yang sangat urgent dari kliennya dari Singapore. Selain menjadi dosen di salah satu kampus, Arga adalah seorang pembisnis sukses dalam bidang properti. Semua orang dari dunia bisnis sudah mengakui kehebatannya. Meskipun usianya terbilang masih muda, Arga sudah mampu mendirikan perusahaan miliknya sendiri yang melejit sampai ke berbagai negeri. Ia membangun usahanya sendiri, jatuh bangun sudah ia rasakan berkali-kali.
Namun, jiwa semangat itulah yang seharusnya menjadi inspirasi bagi generasi muda masa kini, dan alasan itu pulalah yang menjadikan Arga untuk menantang diri menjadi seorang dosen. Menjadi seorang dosen tidak termasuk dalam kriterianya dalam berkarir. Akan tetapi, dalam dirinya yang paling dasar, ia menginginkan generasi muda bisa menjadi sukses sebagai pengusaha seperti dirinya, atau bahkan harus bisa melebihi dirinya sendiri.
***
Senyumnya masih terus tercetak jelas di bibir ranumnya. Dengan cepat Narra memeluk neneknya dari belakang sambil mengucapkan salam.
Assalamualaikum, Nek, ucapnya girang. Setelah itu Narra melepaskan pelukannya dan beringsut ke samping Mona, sang nenek.
Mona melirik sebentar cucunya setelah Narra berhasil duduk. Merasa ada yang berbeda dari cucunya, Mona kembali menatap cucu sematawayangnya.
Kayaknya ada yang lagi seneng, dari tadi senyum-senyum terus, tebaknya.
Posisi mereka kini saling berhadapan. Malu karena terus ditatap oleh neneknya, Narra justru lebih lebar menampilkan senyumannya. Ah, lebih tepatnya cengirannya.
Iya, dong, Nek. Hari ini, tuh, aku seneeeng banget. Masih tidak melepaskan senyuman di wajahnya.
Kenapa, sih? Hmmm.
Nenek tau gak, Pak Arga jadi dosen pembimbing aku, Nek. Beritahunya, setelah ia memverifikasi langsung ke mading yang dimaksudkan oleh Malla itu.
Pak Arga dosen yang kamu idolakan itu? tanyanya. Mona sudah mengetahui persoalan Arga karena hampir setiap hari Narra selalu menceritakan sosok itu. Cucunya begitu mengidolakan Arga dan Mona tidak melarangnya. Karena menurutnya, selagi itu baik untuk semangat belajar cucunya, kenapa harus dilarang?
Mendengar pertanyaan neneknya, Narra hanya mengangguk membenarkan. Pokonya aku bahagia hari ini, histerisnya kembali, dan memeluk sang nenek dengan sangat erat.
Ya, Nenek berharap, sih, semoga ini baik buat kamu supaya semakin rajin nyusun skripsinya dan segera lulus kuliah. Tangan Mona yang sudah terlihat kerutannya mengusap-usap pelan punggung Narra.
Aamiin. Aku janji, Nek, akan lulus tepat waktu. Hehehe. Kalo nggak lulus tepat waktu, nanti janji lagi, candanya yang dengan cepat mendapatkan pukulan lembut dari Mona.
Hus, kalo ngomong ya, tegur Mona.
Ya udah, aku ke kamar dulu ya, Nek, mau bersih-bersih terus langsung ke toko. Narra bangkit dari duduknya, menuju kamarnya.
Toko yang dimaksudnya itu toko roti yang diberi nama Mon’s Cake. Toko rotinya sudah hampir seumuran dengannya. Neneknya memang ahli dalam bidang memasak, khususnya dalam pembuatan aneka kue. Skill yang neneknya punya kini menurun kepada Narra, Narra pun tidak jauh hebatnya dengan sang nenek dari segi masak.
Nenek Mona sudah sangat tua, usianya sudah akhir kepala tujuh dan sangat tidak memungkinkan lagi untuk mengelola toko. Sekarang toko roti itu Narra yang mengelolanya, bahkan pembuatan roti pun Narra yang mengaturnya karena rasa roti yang dibuat Narra tidak jauh beda dengan roti yang dibuat oleh Mona.
Justru setelah Narra mengelola toko itu, omzet penjualannya lumayan meningkat karena sekarang tokonya menjual berbagai macam variasi roti, dan Narra adalah orang yang sangat menyukai eksperimen, apalagi dalam dunia masak-memasak.
***
Pagi-pagi Narra dan Malla sudah bertengger manis di kursi kantin. Kantin adalah tempat favorit kedua setelah taman kampus. Terlihat coklat hangat yang dipesan Narra tinggal setengah. Jari tangannya asyik berseluncur pada layar ponsel, begitu pun dengan Malla, tak jauh berbeda.
Lo udah hubungin Pak Arga belom, Ra? tanya Malla, pandangannya masih tetap fokus pada ponsel.
Mendengar nama Arga disebut, seketika Narra menghentikan aktivitasnya dan beralih menatap Malla. Hubungin Pak Arga? Maksudnya gimana? Kening Narra berkerut.
Jangan bilang lo belom hubungin Pak Arga! tebak Malla dan Narra hanya menggeleng pelan. Dodol dasar, gue, sih, udah hubungin dospem gue, udah ngatur jadwal bimbingan juga.
Lah, emang udah bisa bimbingan, ya? tanya Narra yang sama sekali tidak tahu berita apa pun.
Jangankan persoalan bimbingan penyusunan skripsi, Narra tahu kalau dospemnya adalah Arga pun dari Malla. Ya, kalau sahabatnya itu tidak memberitahunya, mungkin sampai sekarang Narra tidak akan mengetahuinya.
Ih, lo, tuh, bener-bener ya. Makanya kalo di kampus, tuh, nyari info kampus, bukannya nyari info soal Pak Arga terus, omel Malla, lebih tepatnya menyindir secara halus.
Dih, nih anak, Sotoy lo. Siapa juga yang nyari info Pak Arga, gak ada kerjaan banget.
Alah, bohong banget, sih, lo. Cibirnya.
Serah lo, deh, La, pasrahnya.
Yakin gak nyari info Pak Arga? ledek Malla.
Iyalah. Narra menjawab dengan sarkas.
Kalo Pak Arga jalan ke sini, yakin gak tertarik? tantang Malla, justru membuat Narra mulai sedikit kepo.
Mana? Gak ada juga. Narra mencari-cari sosok Arga ke kiri dan kanan.
Noh, di belakang lo, tunjuk Malla melalui mulut yang dimonyongkan.
Gadis bertubuh ramping dengan rambut panjangnya itu mengikuti petunjuk Malla. Kepalanya memutar ke belakang dan rupanya memang benar, Arga sekarang sedang berjalan ke arahnya.
Tunggu dulu. Arga tidak sendiri. Pria itu bersama putri cantiknya yang sedang digandeng.
Ra, tumben Pak Arga bawa anaknya ke kampus?
Iya, tumbenan banget, imbuh Narra. Navel cantik banget ya? Gak kebayang pasti ibunya juga cantik, gumamnya.
Bapaknya ganteng, ya pasti anaknya juga cakep, Ra.
Itu, sih, udah jelas, Nirmala. Yang gue omongin itu soal emaknya, bukan bapaknya. Ih, gimana, sih, gerutu Narra. Oke, sekarang mereka jadi memperdebatkan keluarga kecil Arga yang sama sekali tidak ada untungnya untuk mereka pribadi.
Pagi, Pak, sapa Narra dengan sangat beraninya, setelah mendapati sosok Arga yang berjalan hampir melewatinya. Hingga membuat langkah kaki Pria dingin itu terhenti tepat disampingnya.
Pagi, jawab Arga datar dan dingin. Seperti biasa, Arga selalu bersikap demikian, cool tanpa ada senyum ke ramah-tamahan.
Dengan lancangnya Narra berdiri dari kursi dan mulai berjongkok di depan Navel, mensejajarkan tubuhnya dengan gadis kecil dihadapannya kini. Melihat aksi Narra, membuat gadis mungil yang mengenakan kaos warna merah muda dengan rok jeansnya itu semakin mendekatkan diri pada ayahnya, bersembunyi di balik lengan kekar sang Ayah.
Selamat pagi anak Mama, sapa Narra yang tidak tahu malunya.
Mendengar perkataan Narra, Arga lantas sangat terkejut. Bukan hanya Pria itu saja, Malla pun ikut terkejut. Maksud Narra berkata seperti itu, sih, hanya bercanda. Nahasnya, justru bercandaan itu dianggap serius oleh Navel.
Bola mata Navel membulat. Mama? tanyanya yang usianya beberapa bulan lagi akan genap empat tahun.
Iya, Sayang, ini Mama. Sini, Nak, peluk Mama. Dengan tidak sopannya, Narra merentangkan tangan, mengisyaratkan pada gadis mungil itu untuk berhambur ke dalam pelukannya.
Perlahan gadis mungil berpipi gembil dengan rambut yang sudah dikuncir kuda itu mulai melepaskan genggaman tangannya dari sang ayah. Kini ia berjalan santai ke arah Narra yang berjarak satu langkah kaki orang dewasa. Navel memeluk Narra sangat erat, begitu pun Narra membalas pelukan Navel tak kalah eratnya.
Sejujurnya Narra bingung dengan sikap Navel. Pikirnya mungkin karena Navel masih kecil jadi anak itu tidak tahu kalau ucapannya itu hanyalah candaan semata. Namun, di satu sisi, Narra senang bisa memeluk anak dari idolanya itu.
Melihat Narra dan Navel saling berpelukan layaknya seorang ibu dan anak yang terpisah sekian lama, Malla hanya menutup mulutnya karena tidak percaya dengan apa yag sudah dilihatnya. Namun lain hal dengan Arga yang memandang biasa saja walau pada awalnya, lelaki itu pun sama terkejutnya.
Ayo, Sayang, tadi bilang ke Papa katanya mau beli roti, panggil Arga kepada anaknya.
Tapi Navel masih mau meluk Mama, Pa, rengek anak itu.
Iya, Sayang, Papa tau. Navel, kan, belom sarapan. Kita sarapan dulu ya? Arga ikut berjongkok di samping Narra sedangkan Navel berdiri di antara Narra dan Arga.
Navel, Navel sarapan dulu ya sama Papa. Nanti juga, kan, bisa peluk Mama lagi, Nak, bujuk Narra yang dengan ajaibnya cepat dituruti oleh Navel.
Melihat Navel mengangguk, Arga bangkit dari jongkoknya yang sangat tidak nyaman itu. Tangannya meraih tubuh kecil Navel, membawanya ke dalam gendongan. Lalu Arga memutuskan untuk pergi ke ruangannya, mengubah rencana awal yang ingin membelikan roti untuk sang anak. Lebih baik membawa Navel jauh dari jangkauan Narra jika tidak ingin terjadi hal-hal yang tidak diinginkan lagi.
Narra, sehabis makan siang, kamu keruangan saya, perintah Arga sebelum melangkah, meninggalkan kantin.
Lampu ancaman bagi Narra sudah terlihat di depan mata. Mampus, sepertinya gue dalam bahaya, batin sang gadis bermata belo namun sayu itu.
Sebenarnya Arga tidak habis pikir, apa motivasi Narra berucap demikian. Itulah yang sangat ingin Arga tanyakan kepada Mahasiwinya yang katanya sangat mengidolakannya itu. Tujuannya menyuruh Narra untuk datang ke ruangannya itu hanya untuk bertanya soal perilaku anehnya hari ini, dan sudah membuat dirinya tidak nyaman.
***
Sayup-sayup Narra mendengar suara tangisan anak kecil dari arah Arga. Narra mempercepat langkah kakinya, ia berpikir bahwa suara tangisan itu milik Navel. Setelah berada tepat di depan pintu ruangan, cepat Narra mengetuk pintu secara kasar dan tidak beraturan.
Masuk. Terdengar suara perintah dari dalam, tanpa menunggu lama, Narra membuka pintu dan dugaannya benar. Sekarang ia melihat Navel sedang menangis kejer di atas sofa. Narra mendapati Arga hanya terdiam menatapi putrinya di balik meja kerja. Melihat Arga hanya diam saja seperti itu, Narra berinisiatif menghampiri Navel. Dengan sigap ia memeluk gadis mungil itu, mengelus pelan punggung kecilnya, mencoba menenangkan walaupun Narra tidak tahu apakah bujukannya mampu menenangkan Navel atau tidak.
Ma, Papa jahat, adunya diiringi dengan segukan setelah Narra memeluknya. Isakan tangis Navel masih terdengar nyaring, dan itu membuat hati Narra yang entah kenapa terasa sakit mendengar tangisan seperti ini.
Shuuut, Navel gak boleh bilang begitu ke Papa, Nak.
Tapi Papa nggak bolehin Navel buat ketemu sama Mama, adunya lagi masih ditemani sesegukan.
Narra mengalihkan pandangannya ke arah Arga, tetapi laki-laki itu masih sama seperti posisinya saat pertama ia masuk ke dalam ruangan.
Apa susahnya, sih, Pak, turutin kemauannya. Navel, kan, cuma minta buat ketemu saya aja. Permintaan itu, tuh, gak sulit, omel Narra yang tanpa disadari sudah melakukan hal di luar kewajaran antara dosen dan mahasiswa.
Di balik meja kerja, Arga masih diam seribu bahasa, seolah-olah ia tidak mendengar omelan Narra.
Sekarang, kan, Mama udah di sini. Navel nangisnya udah ya? Kalo Navel gak berhenti nangisnya, nanti Mama juga ikutan nangis, bujuk Narra disertai raut wajah sedih dan itu sangat mempan bagi anak-anak seperti Navel.
Loh, ini makanan siapa ya? Kok belom dimakan gini? tanya Narra berpura-pura tidak tahu setelah mendapati sekotak nasi yang masih utuh di atas meja.
Navel gak mau makan kalo bukan kamu yang nyuapin katanya, bukan suara kecil yang terdengar, melainkan suara itu terdengar serak dan ngebas, suara itu jelas milik Arga.
Oh, jadi Navel makannya mau disuapin sama Mama gitu? tanya Narra dibuat-buat manja. Navel hanya menganggukkan kepalanya yang masih dalam pelukan Narra.
Ya udah, Mama suapin ya? tawar Narra yang diangguki oleh Navel.
Anak kecil itu melepaskan pelukannya dan menghapus bekas air mata di pipinya. Duh, manis sekali anak idolanya itu. Melihat Narra yang sangat cekatan dan riang saat menyuapi Navel, membuat Arga sedikit senang sekaligus sedih bersamaan. Seketika Arga teringat akan pertemuan pertamanya dengan Narra. Baginya Narra memang wanita yang berbeda dibanding dengan wanita lainnya. Sikap dan tingkah lucunya mampu membuat siapa pun akan senang melihatnya.
Navel mau minum, Ma. Perkataan Navel mampu membuyarkan lamunan Arga akan sosok Narra. Dengan kecepatan kilat, Arga mengalihkan pandangannya ke sembarang arah.
Mama, Navel udah kenyang. Navel juga ngantuk.
Rupanya, bukan orang dewasa saja yang sehabis makan lalu muncullah kantuk. Anak kecil pun mampu merasakan hal serupa.
Oh, Navel udah ngantuk. Ya udah, kita bobo ya.
Tapi Navel mau bobo sambil dipeluk Mama, pintanya manja.
Bola mata Narra beralih ke arah Arga, dan pandangan mereka bertemu satu sama lain. Sebenarnya ia melihat Arga hanya untuk meminta izin darinya, akan tetapi Arga menanggapinya dengan maksud berbeda.
Laki-laki itu berdehem sebelum bangkit dari tempat duduknya. Ia berjalan gontai ke arah Narra juga Navel. Narra yang melihat Arga berjalan ke arahnya seketika membuat sekujur tubuhnya dingin, ia sangat canggung sekaligus bingung.
Navel bobo dipeluk Papa aja ya? saran Arga ketika sudah berada di samping Navel. Navel menggeleng kencang, tidak mengindahkan tawaran ayahnya.
Gak mau. Navel maunya dipeluk Mama, teriak Navel tidak terima.
Navel, Sayang, gak boleh teriak gitu sama Papa, Nak. Navel bobonya mau dipeluk sama Mama?
Navel mengangguk pelan, matanya memang sudah terlihat begitu mengantuk. Tanpa menunggu izin dari Arga, Narra mengangkat Navel ke pangkuannya dan memeluk tubuh mungil anak itu. Tangan Narra membelai-belai punggung Navel agar cepat menuju alam mimpinya.
Arga yang duduk di samping Narra yang berjarak kurang lebih setengah meter dari Narra sama sekali tidak mengucapkan apa-apa. Ia menyandarkan kepalanya ke kepala sofa, sedikit memejam atas lelahnya hari ini. Jika saja ia tahu dengan membawa anaknya ke kampus akan berakhir seperti ini. Mungkin ia tidak akan membawa putrinya itu, sekalipun putrinya merengek, memaksa.
Di balik bulu mata lentik milik Narra, sebenarnya ia ingin melihat Arga, tetapi apa yang mau dikata, kecanggungan dan ketakutannya melingkupi dirinya sehingga ia berakhir terpaku, tak bisa berbuat apa-apa bahkan untuk bernapas pun Narra tidak mampu. Entah ini harus dikatakan momen berharga atau tidak karena kejadian ini sangat tidak Narra bayangkan sebelumnya.Sungguh bahagia yang tidak bisa dideskripsikan.
Sudah satu jam lebih mereka saling berdiam diri, tidak ada yang mampu memecah keheningan. Masing-masing sibuk akan pikirannya sendiri-sendiri. Navel sudah terlelap dalam tidurnya, terdengar dari embusan napas Navel yang terdengar sangat teratur.
Apa motivasi kamu berkata begitu ke anak saya? tanya pria dengan model rambut comma hair itu, secara tiba-tiba dengan nada yang terdengar begitu dingin, memecahkan kebisuan di antara mereka.
Kalimat pertama yang keluar, tetapi berbau ancaman. Medengar pertanyaan Arga, membuat Narra mengernyit ketakutan. Hmm, an-an, emm, maaf, Pak. Hanya maaf yang mampu keluar dari mulut Narra. Ia sendiri tidak tahu harus menjawab apa karena Narra sendiri pun bingung.
Arga yang melihat ketakutan diwajah wanita yang sedang duduk disebelahnya itu, kembali mengurungkan tuntutannya.
Pegel nggak? tanyanya, mengalihkan topik.
Hmm, emm, sedikit, sih, jawab Narra sedikit canggung.
Gantian aja, biar saya aja yang mangku Navel, tawar Arga.
Gak usah, Pak. Takut Navel-nya bangun, tolak Narra lembut, ia takut kalau Navel bangun dan mungkin akan nangis seperti tadi.
Navel kalo udah pules gini tidurnya, dia nggak akan bangun sekalipun di sekitarnya ada dangdutan, jelas Arga yang sedikit diterima oleh Narra.
Jika saja yang berkata seperti itu bukan Arga, mungkin akan terdengar lucu. Namun, yang berkata demikian itu adalah Arga, si makhluk dingin dan berwajah datar. Arga mendekatkan dirinya ke samping Narra, membuat tidak ada jarak lagi di antara mereka. Tangan kekarnya meraih tubuh mungil Navel, dan itu sontak membuat Narra menahan napas. Sungguh, Narra sangat tidak suka merasa salah tingkah seperti ini. Demi apa pun, seperti ini saja sudah membuat Narra salting tanpa sebab, sungguh aneh.
***
Sehari Mengenal Arga
Kejadian tadi siang sangat menguras pikiran Arga. Pikirannya terus terfokus kepada sosok Narra. Dari awal mengenal Narra, gadis itu sudah mampu menyita pikiran dengan segala aksi konyolnya. Arga memang tahu kalau Narra begitu mengidolakannya, ia mengetahui persoalan itu bukan hanya dari gosip belaka, melainkan dari pernyataan Narra secara terang-terangan kepada dirinya. Menurut Arga, Narra itu unik, dia berbeda dari wanita lainnya.
Arga melirik jam dinding di ruang keluarga. Jarum jam menunjukkan pukul 22.36 WIB. Arga selalu seperti ini, menunggu anaknya yang sudah terlelap tidur sendiri di kamarnya. Ia sengaja berjaga-jaga di depan kamar sang anak, takut kalau Navel membutuhkan sesuatu atau bisa jadi terbangun secara tiba-tiba.
Setengah jam lagi Arga memutuskan untuk pergi ke kamarnya kalau dirasa Navel tidak meneriaki namanya. Namun, rencana awal untuk memutuskan pergi, gagal seketika karena terdengar suara tangisan dari putri kecilnya. Dengan sigap Arga menemui anaknya, mencoba untuk menenangkan, tetapi ada yang berbeda dari teriakan Navel malam ini. Kali ini Navel meneriaki nama Mama dan bukan Papa seperti biasanya, dan hal itu sudah Arga duga sebelumnya.
Ma, Ma, panggilnya sambil terus menangis.
Shhuuut, iya Sayang, ini Papa di sini, kok, ucap Arga menenangkan di balik pelukannya.
Mama mana, Pa? tanya Navel yang hampir bergumam, tetapi masih bisa didengar. Navel mau ketemu Mama, rengeknya.
Iya, Sayang. Besok ya kita ketemu Mama. Sekarang Navel bobo lagi, kan, udah malem, Nak, bujuk Arga dan beruntungnya langsung dituruti oleh Navel. Cukup mudah membujuk anaknya itu, apalagi kalau anaknya igauan seperti ini. Akan tetapi, kalau keadaan Navel sadar seratus persen, mana bisa semudah ini.
Arga mulai membaringkan kembali tubuh mungil anaknya, menyelimuti, dan membelai-belai rambut hitam milik Navel. Tangannya sesekali berpindah ke pipi tembem putrinya lalu mengecup lembut keningnya. Arga memutuskan untuk pergi ke kamarnya setelah Navel sudah cukup pulas, ia juga membutuhkan istirahat karena besok pagi sebelum pergi ke kampus ada beberapa dokumen penting yang harus ditandatangani olehnya, jadi sangat diharuskan Arga pergi ke kantor terlebih dahulu.
***
Papa, teriak Navel sangat ceria.
Arga yang sedang sibuk menyiapkan sarapan di dapur mencoba membalikkan tubuhnya, mencari ke sumber suara milik malaikat kecilnya. Arga mengernyit setelah melihat penampilan anaknya itu. Ada yang aneh pagi ini, tidak biasanya anaknya sudah berpenampilan rapi seperti sekarang, dan ia tebak, anaknya sudah mandi.
Papa, kita jadi, kan, ketemu Mama? Navel udah siap, nih, Pa, todong Navel kepada ayahnya.
Mampus. Rupanya Navel masih ingat dengan janji yang dibuatnya semalam padahal Arga berpikir kalau Navel tidak akan mengingatnya karena tebakan Arga kalau anaknya hanya mengigau saja, bukan sepenuhnya sadar.
Bajunya udah rapi, emang Navel udah mandi? tanya Arga mengalihkan topik pembicaraan. Pria yang mengenakan apron dibalik kemejanya itu berjalan mendekati putri cantiknya..
Udah, dong. Navel mandi sendiri, hehehe, katanya penuh kebanggaan.
Coba, Papa mau cium. Emang iya udah mandi? Arga berjongkok, kedua tangannya memegang bahu Navel lalu menciumnya. Loh, iya udah wangi. Anak Papa pinter.
Senyum Navel semakin mengembang mendapatkan pujian dari ayahnya. Ah, bukan orang dewasa saja yang senang dipuji, anak kecil seperti Navel pun juga sama.
“Kita sarapan dulu ya. Navel duduk dulu di sana,” ajak Arga ke meja makan yang berada di depan counter dapur.
Setelah berhasil mendudukan Navel, Arga kembali melanjutkan aktivitasnya, menggoreng telur dadar yang akan diletakkan di atas roti. Setiap hari memang itulah menu andalan yang dibuatkan Arga untuk putrinya karena memang dirinya tidak pandai memasak. Dulu Navel pernah tidak mau makan hasil masakannya karena bosan harus terus-terusan memakan sarapan yang sama setiap paginya dan itu sangat membuat Arga kelimpungan bukan main.
Sandwich-nya udah siap disantap, ucap Arga layaknya pramusaji.
Yeeeeee! Navel bersorak girang sambil bertepuk tangan.
Abis sarapan kita langsung nemuin Mama, kan, Pa?
Nah, lho, dia masih inget saja. Kedua mata Arga mengedip cepat, ia bingung harus menjawab apa atas pertanyaan anaknya untuk yang kedua kali.
Habis sarapan kita ke rumah Oma, soalnya Papa harus segera pergi ke kantor, ucap Arga tegas. Terlihat kecemberutan di wajah bulat milik anaknya.
Tapi, kan, Navel maunya ketemu sama, Mama, bukan Oma, Papa, rengek Navel bahkan sebentar lagi mungkin anaknya akan kembali menangis.
Jujur, Arga paling tidak bisa membujuk Navel walaupun Navel adalah putrinya sendiri. Ia memang ayah yang payah. Hari ini Papa sibuk. Jadi Navel, Papa titipin ke Oma ya? bujuk Arga dengan intonasi dan mimik wajah datar. Raut yang sangat tidak mempan untuk dijadikan bujuk rayuan.
Navel gak mau! Navel mau sama Mama Nalla! teriak Navel dengan membuang sendok yang sedang dipegangnya ke sembarang arah.
Melihat Navel seperti ini membuat pikiran Arga kacau. Arga berdiri dan mulai menggendong Navel. Sarapan paginya hari ini gagal.
Navel mau ketemu Mama? Ya udah kita berangkat, tukas Arga, membawa Navel keluar lalu masuk ke dalam mobil Toyota Alphard hitam miliknya.
Arga memacu mobilnya dengan kecepatan sedang meski pikirannya sedikit kalut dan kacau, tetapi ia sadar bahwa sekarang ia sedang bersama anaknya. Arga tidak ingin terjadi hal yang tidak diinginkan, maka dari itu Arga harus fokus menyetir dengan baik. Selama perjalanan, di dalam mobil cukup tenang. Navel yang biasanya selalu memutar video Tayonya, kali ini anak itu sama sekali tidak tertarik dengan tontonan favoritnya itu. Sekarang ia lebih memilih diam dan memandangi suasana luar di balik kaca jendela mobil.
Toyota Alphard hitam milik Arga memasuki gerbang berwarna emas yang tingginya kurang lebih 2.5 meter, setelah itu ia memarkirkan mobilnya tepat di depan pintu utama milik keluarganya. Yup, Arga membawa Navel ke rumah orang tuanya sesuai rencana awal, bukan ke rumah Narra yang dijanjikan sebelumnya. Dengan cepat pria itu keluar, dan memutari mobilnya. Ia menggendong anaknya. Navel yang menyadari kalau sekarang dirinya berada di rumah sang nenek kontan meronta-ronta dalam gendongan Arga.
Navel gak mau ke sini Papa. Tangan mungilnya memukul dada bidang ayahnya.
Arga mengabaikan semua penolakan Navel, ia sama sekali tidak memedulikan amukan anaknya. Mama, Arga nitip Navel ya, pinta Arga kepada mamanya, begitu dirinya berhasil membuka pintu. Arga memindahkan Navel ketangan Deby, yang masih mematung didekat tangga. Tanpa penolakan, Deby menerima Navel lalu menggendongnya.
Oma, Navel mau ketemu Mama Nalla, ucap Navel disertai isak tangis.
Wanita yang sebentar lagi memasuki usia kepala lima itu mengernyit ketika cucunya menyebut nama yang tak dikenal. Matanya melirik Arga, meminta penjelasan.
Nalla siapa, Ga? tanya Deby.
Narra, Ma, bukan Nalla. Arga membenarkan.
Oh Narra. Deby membulatkan mulutnya seakan-akan sudah mengenal Narra. Narra siapa, sih, Ga? tanyanya kembali. Ok, sekarang Deby mulai kembali tersadar akan tujuan utamanya.
Mahasiswi di kampus, di tempat Arga mengajar, jawab Arga jujur. Toh, memang iya, kan, Narra adalah mahasiswinya. Jadi buat apa Arga menutupi kebenaran dari mamanya?
Mahasiswi kamu? tanya Deby kembali, dan Arga hanya mengangguk saja sebagai jawaban.
Terus apa hubungannya sama Navel? Kok, Navel bisa kenal, sih? Wanita memang seperti itu, selalu tidak puas dengan satu pertanyaan.
Kemaren, kan, Arga bawa Navel ke kampus, Ma. Kan, Mama juga yang nyuruh Arga buat bawa Navel ke kampus, jawab Arga malas. Jelas malas, wong semua kejadian kemarin gara-gara mamanya yang menyuruh membawa Navel ke kampus. Jadilah Navel ketemu Narra.
Iya Mama tau, Navel ikut kamu ke kampus kemaren. Tapi maksud Mama itu, kok, bisa, sih, Navel manggil Narra dengan sebutan Mama?
Mampus. Arga merasa bagaikan tersambar petir setelah mendapatkan pertanyaan intinya.Sebenarnya Arga sudah menebak pasti pertanyaan itu akan keluar dari bibir mamanya. Akan tetapi, permasalahannya adalah Arga harus menjawab apa? Dan ini semua gara-gara tingkah konyol Narra, kini hidupnya menjadi rumit seperti ini.
Arga ke kantor dulu ya, Ma. Banyak dokumen yang harus Arga tandatangani, elaknya pada akhirnya.
Arga titip Navel ya, Ma. Assalamualaikum, pamitnya buru-buru setelah mencium punggung tangan Deby.
Tanpa menungggu jawaban salam dari mamanya, dengan cepat Arga melenggang pergi. Deby hanya melihat anaknya dengan tatapan penuh keheranan dan keanehan. Tidak biasanya Arga seperti ini, dan Deby mendapatkan sesuatu yang janggal. Pikirnya, pasti ada sesuatu antara Arga dengan Narra, Deby yakin itu. Sepertinya minta diselidiki!
***
Chat Time
Sesampainya di kantor, Arga sudah disuguhi tumpukan-tumpukan dokumen. Jari-jemarinya sangat lihai bermain di atas kertas bersama bolpoin. Mata hitam pekatnya terus menerus menatap tulisan yang sangat membosankan. Arga sempat berpikir kenapa harus berdemo ria menuntut dirinya untuk menandatangani berkas secara bersamaan. Memang tidak bisa, ya, ditunda terlebih dahulu biar tangannya tidak keriting seperti sekarang?
Ya, mau ditunda ataupun tidak, tetap saja setiap hari ada saja yang mesti ditandatangani. Begitulah nasib seorang CEO. Getaran ponsel di saku jasnya mampu menghentikan aktivitasnya. Arga merogoh sakunya, mengambil ponsel lalu menatapnya, melihat isi pesan yang sudah masuk di ponsel itu.
Narra:
Pagi pak, saya Narra. Bapak lagi ada di mana?
Arga mengernyit setelah membaca pesan itu. Sungguh isi pesan yang menurutnya sangat tidak penting, dan jika Arga membalas pesan itu hanya akan menyita waktu saja. Itu pikiran awalnya, entah ada angin dari arah mana yang membuatnya ingin membalas pesan itu.
Arga:
Saya di kantor
Narra:
Hari ini bapak ada jadwal ke kampus nggk?
Arga:
Ada
Narra:
Kalo boleh tau jam berapa ya, bapak ada dikampusnya?
Arga:
Jadwal sehabis Dzuhur, tapi sepertinya saya agak terlambat ke kampusnya. Kerjaan saya masih banyak di kantor. Kenapa?
Arga merutuki dirinya, pasalnya dia bukan sosok yang suka membalas pesan dari mahasiswanya, apalagi pesan itu dikirim lewat WhatsApp. Ia pun membaca kembali pesan terakhir yang sudah terkirim itu. Kenapa juga Arga harus menjelaskannya sedetail itu? Ingin rasanya Arga menghapus pesannya, tetapi sayang pesannya sudah terlanjur dibaca oleh Narra. Jadi, ya, sudahlah. Arga berpasrah diri saja. Toh, juga pesannya tidak terlalu aneh.
Narra:
Aku butuh bertemu dengan Bapak :)
Sumpah demi apa pun, Arga tersentak membaca chat Narra. Berulang kali ia berpikir apa maksud dari pesan itu. Seharusnya Arga bertanya maksud pesan itu kepada Narra, tetapi apa boleh buat, pikiran dan jarinya tidak bisa sinkron.
Arga:
Iya. Siang saya ke kampus
Kan, kan, apa coba yang diinginkan jariku? Kenapa harus mengetik itu wahai jari?
Setelah pesan itu berhasil terkirim, Arga melempar pelan ponselnya ke gundukan dokumen yang ada di depannya. Jari-jarinya menjambak rambut hingga sangat berantakan, tetapi sama sekali tidak mengurangi nilai ketampanannya. Pikirannya terus mengulang kata-kata 'Narra, gadis yang berbeda.' Kata itu terus terulang-ulang bagaikan mantra keajaibannya.
***
Ditempat yang berbeda, Narra masih tidak percaya dengan kejadian hari ini. Ia benar-benar tidak menyangka kalau pesannya dibalas oleh dosen yang sangat ia idolakan. Awalnya ia takut untuk mengirim pesan ke Arga, ia takut kalau pesannya tidak mendapatkan balasan. Narra sudah sangat pesimis, tetapi dengan tekad yang bulat, akhirnya Narra memutuskan untuk mengirim pesan ke Arga, dan Narra pun sudah pasrah. Kalau dibalas, ya, alhamdulillah, kalau pun tidak dibalas, ya sudahlah.
Pikirannya sudah menduga, pasti pesannya tidak mendapatkan respons dari Arga, karena ia tahu kabar bahwa dosen dinginnya itu, sama sekali tidak pernah membalas pesan dari mahasiwa di kampus. Tapi kenyataannya itu salah, justru dosennya itu membalas pesan WhatsAppnya, apakah ini bisa dikatakan suatu keberuntunganya?
Berulang kali Narra membaca riwayat chat-nya dengan Arga. Mungkin kalau dihitung-hitung sudah seratus kali Narra membacanya. Jempolnya sangat asyik menggulir ke atas dan bawah layar ponselnya, tujuannya cuma membaca pesan yang sudah ia baca berkali-kali. Ada chat yang sangat membuat hati Narra melayang-layang ketika membacanya. Di bagian ia membalas pesan yang ia anggap begitu konyol.
Aku butuh bertemu dengan Bapak :)
Bibir Narra terus tertarik ke atas setiap ia membaca bagian itu. Maksud pesan itu, sih, Narra hanya bercanda, dan ia sengaja menyelipkan emoji senyum. Pada saat mengirim pesan itu, ia berpikir pasti Arga tidak akan membalas pesannya lagi, tetapi lagi-lagi dugaannya salah, justru Arga membalasnya, dan balasan chat dari Arga mampu membuat sekujur tubuh Narra terbang ke langit ketujuh.
Arga:
Iya. Siang saya ke kampus
Setelah Narra membaca isi pesan itu, entah kenapa pikiran Narra berkeliaran jauh. Ia merasa kalau ia adalah istri Arga. Narra membayangkan kalau Dosen dinginnya itu akan datang setelah dirinya merengek memintanya untuk segera datang menemuinya. Sungguh lancang tingkat imajinasinya itu. Fix, Narra patut dijuluki sebagai Halu Queen.
Woy. Senyum-senyum mulu. Kesambet lo ya? sentak Malla secara tiba-tiba yang sukses membuat imajinasi Narra buyar.
Kebiasaan, deh. Ngagetin aja hobinya.
Lagian lo kenapa, sih? Gue perhatiin dari tadi senyum-senyum mulu udah kayak orang kesetanan.
Bukannya menjawab perkataan Malla, justru Narra menampilkan senyuman lebar. Senyuman itu semakin mengembang seperti sudah dikasih baking powder-mengembang sempurna.
Nah, kan, senyum lagi. Lu sehat, kan, Ra? tanya Malla sedikit khawatir dengan kondisi temannya
Tau gak, La, gue abis chat-tan sama Pak Arga, jelasnya penuh semangat.
Nih, liat. Narra memperlihatkan chat-nya dengan penuh kebanggaan.
Ini beneran Pak Arga bales chat lo? tanya Malla, masih tidak percaya.
Beneranlah, Oncom, jawab Narra galak, dan langsung mengambil kembali ponselnya dengan gerakan cepat.
Bener-bener ini kejadian yang langka, kata Malla takjub, ia sedikit menggeleng-geleng.
Langka banget, La. Malah saking langkanya, gue berniat buat nge-print chat-tan gue sama Pak Arga, terus gue pampang di mading kampus dan gue umumin ke seluruh penjuru kampus sambil teriak-teriak pake toa. Biar semuanya denger, dan iri sama gue, ucap Narra sambil membayangkan apa yang ia katakan.
Gak segitunya juga keleus. Itu, mah, lebay. Malla menoyor kening Narra dengan jari telunjuknya, menyadarkan temannya untuk kembali ke dunia nyata.
Demi apa pun, ada saja aksi konyol dari temannya itu. Narra memang wanita yang tidak pernah terduga pikirannya. Pasti ada saja tingkah konyol yang membuat Malla tertawa sekaligus malu bersamaan, dan itu sering Narra lakukan entah di tempat umum ataupun di tempat privasi. Wajah dan tingkah konyolnya memang tidak pernah tahu tempat.
***
Semua dokumen penting sudah selesai ditandatangani. Arga memutuskan untuk pergi ke kampus karena ia memiliki jadwal mengajar siang ini. Baru saja kaki Arga melangkah keluar pintu ruangannya, getaran ponsel di sakunya bergetar terus-menerus, menandakan ada sebuah panggilan masuk. Setelah melihat ID calling-nya, dengan cepat Arga mengangkat telepon.
Iya, Ma?
Arga, Navel demam. Kamu cepet pulang ya.
Demam, Ma? Tadi pagi, kan, gak papa.
Pagi emang gak papa, mungkin karena kebanyakan nangis, jadi demam gini, deh.
Astaga. Ya udah Arga pulang sekarang.
Dengan cepat Arga menutup sambungan teleponnya dan bergegas pulang. Mendengar Navel sakit membuat sekujur tubuhnya ikutan sakit. Laki-laki itu mempercepat langkahnya, tetapi entah kenapa ia merasa jarak antara ruangannya dan lift begitu jauh. Untuk pertama kalinya ia ingin menyumpahi arsitek yang telah membangun kantornya ini. Sepanjang koridor kantornya, Arga sama sekali tidak memedulikan sapaan dari para karyawannya. Fokusnya hanya tertuju kepada keadaan Navel, dan ia ingin segera memeluk tubuh mungil putrinya itu.
Sesampainya di basemen, Arga merapalkan doa, semoga jalanan ibu kota siang ini tidak ada kemacetan. Meski harapannya sangat tipis terkabulkan, tetap saja Arga meminta itu dikabulkan. Sayangnya, untuk kali ini Tuhan belum bisa mengabulkannya karena jalanan hari ini cukup macet. Jelas saja macet karena sekarang adalah waktunya makan siang, jadi semua orang sibuk mencari makan. Menghadapi kemacetan seperti ini yang bisa Arga lakukan hanyalah bersabar.
Dua puluh lima menit, akhirnya Arga sampai juga di rumah orang tuanya. Dengan gerakan kilat, Arga menerobos masuk tanpa mengucapkan salam terlebih dahulu. Wajar, kalau panik pasti lupa dengan kebiasaan.
Navel, panggil Arga dengan napas memburu. Sayang, panggilannya lagi. Ia membelai rambut putrinya penuh kasih sayang.
Ma, Navel udah dikasih obat? Arga melirik Deby yang sedang duduk di samping ranjang yang ditiduri Navel.
Baru Mama kompres aja. Belum Mama kasih obat, soalnya Navel, kan, belum makan dari pagi.
Belum makan? Kok, bisa?
Ya gimana mau makan, anak kamu nangis terus dari kamu berangkat ke kantor. Mama ampe pusing gimana lagi cara ngebujuknya.
Tatapan Arga kembali beralih menatap Navel yang masih diam. Mungkin anak itu lelah akibat kebanyakan menangis.
Navel, makan ya? Papa suapin, bujuk Arga yang langsung ditolak oleh gelengan kepala.
Navel mau ketemu Mama Nalla. Suara Navel pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Arga dan Deby.
Iya, tapi Navel makan dulu ya?
Navel menggeleng lagi. Air matanya sudah mulai mengembang dipenjuru matanya, meminta haknya untuk dikeluarkan.
Udahlah, Ga, temuin aja, sih, sama yang namanya Narra-Narra itu. Kamu emang gak kasian ngeliat anak kamu begini terus? Dari pagi Navel nangis, sampe demam begini. Kalau Mama tahu, nih, orang yang namanya Narra itu, udah dari pagi Mama anterin Navel buat ketemu sama Narra, omel Deby yang sangat gereget terhadap anak lelakinya itu.
Arga terlihat berpikir dengan saran yang diberikan oleh mamanya. Sarannya, sih, terdengar mudah, tetapi melakukannya itu yang sulit. Tolong, sampaikan kepada mamanya kalau Arga dan Narra tidak cukup dekat. Mereka kenal pun tidak jauh hanya sebatas dosen dan mahasiswa.
Arga! Kok, kamu malah bengong, sih, Bukannya ajak Navel ketemu sama Narra. Ya kalo nggak, tinggal telpon aja Narra-nya suruh ke sini. Bilang aja kalo Navel sakit.
Sungguh gampang sekali nada bicara mamanya itu. Enteng sekali meminta Narra datang ke sini. Memang Narra itu siapanya Arga? Hanya mahasiswanya saja, tidak lebih.
Arga, panggil Deby penuh penekanan.
Ya udah, kita ketemu Narra, putus Arga pada akhirnya. Mendengar keputusan Arga, membuat bola mata Navel hampir keluar saking senangnya.
Nah, gitu, dong, dari tadi, kek. Mikir gitu aja lama, gerutu Deby yang tidak direspons oleh Arga karena lelaki itu sedang berpikir keras mencari alasan yang logis untuk menjelaskan kepada Narra perihal Navel yang menginginkan bertemu dengannya.
Sebenarnya, setiap Arga bertemu dengan Narra, ia selalu merasa canggung. Mungkin karena ia tahu kalau gadis itu sangat menyukai dirinya. Wihi, pede sekali dia. ***
Rumah Arga
Senyum Narra merekah, bola mata coklatnya sempurna membulat ketika membaca notifikasi pesan WhatsApp-nya.
Arga:
Bisa keruangan saya sekarang?
Gue harus pergi. Narra sedikit mendorong kursi yang didudukinya ke belakang.
Ke mana? Malla menginterupsi sebelum Narra berlalu.
Ada, deh. Narra mengedipkan sebelah matanya, memancing tingkat keingintahuan Malla. Gue duluan, bye, pamitnya, meninggalkan Malla yang masih memasang ekspresi bertanya-tanya.
Setelah sampai di depan pintu ruangan Arga, Narra mengetuk sebanyak tiga kali dan Arga segera menyahut di balik pintu yang masih tertutup itu. Belum sempurna Narra menutup kembali pintu yang telah dibukanya, ia sudah disambut teriakan Navel.
Mama. Navel berlari memeluk Narra, dengan sigap Narra menyambutnya. Narra yang menyadari ada yang aneh dari kondisi Navel sekarang sontak bertanya ke gadis mungil itu.
Loh, kok, badan Navel anget, sih? Navel sakit, Nak? tangan Narra memeriksa kening Navel. Setelah itu, Narra menoleh ke arah Arga, menuntut sebuah penjelasan.
Navel sakit, Pak?
Demam biasa, jawab Arga santai, seakan-akan laki-laki itu tidak peduli dengan kesehatan anaknya.
Bapak, kok, santai banget, sih? Ini Navel lagi sakit, lho, Pak. Harusnya segera dibawa ke rumah sakit, bukan ke sini, cecar Narra yang sangat kurang ajar sekali sebagai mahasiswa.
Navel gak mau ke rumah sakit, Ma. Navel maunya ketemu sama Mama. Navel kangen sama Mama, tapi Papa gak ngizinin Navel ketemu sama Mama, tangis Navel kembali pecah ketika sudah mengeluarkan isi gundah-gulananya. Anak kecil memang selalu begitu, senjatanya adalah menangis dan suka mengadu.
Narra menarik napas berat, sudah dua kali Narra menyaksikan Navel menangis kejer seperti ini, dan mengadu hal yang sama, membuat Narra terus bertanya-tanya. Ke mana sebenarnya mamanya Navel?
Sekarang Navel, kan, udah ketemu sama Mama, jadi jangan nangis lagi, anak pinter gak boleh nangis, bujuk Narra sambil menghapus bekas air mata di pipi tembam Navel.
Kita duduk di sana ya, ajak Narra sambil menggendong anak itu.
Setelah Arga selesai menyiapkan materi untuk kelasnya, dan melihat Navel sudah sedikit tenang bersama Narra, ia berniat pergi untuk memberikan materinya kepada mahasiswanya. Arga berjalan mendekat ke arah Narra dan Navel untuk meminta Narra menjaga anaknya.
Kalo kamu gak keberatan, saya titip Navel ya? Soalnya saya harus ke kelas untuk menyampaikan materi hari ini, pinta Arga dengan wajah datarnya.
Saya sama sekali nggak keberatan, kok, Pak. Jadi bapak pergi aja, biarin Navel sama saya. Dijamin aman. Narra memberikan senyuman terbaiknya agar Arga percaya kalau ia mampu menjaga Navel. Jangankan menjaga Navel, menjaga hatinya untuk tidak berpaling dari Arga saja ia mampu.
Arga hanya mengangguk singkat. Matanya beralih menatap Navel yang sedang sibuk dengan tabletnya. Papa ngajar dulu ya, Nak. Jangan bandel, peringatnya. Oh iya. Navel dari pagi belum makan. Saya minta tolong ke kamu, ajak Navel ke kantin. Ini uangnya. Arga menyodorkan uang seratus ribuan dua lembar.
Sebenarnya Narra ingin mengomeli Arga ketika mendengar Navel belum makan sedari pagi, tetapi apa boleh buat. Narra hanya bisa diam, tidak berani memarahi Arga yang notabene adalah dosennya. Tangan Narra terulur untuk mengambil uang yang diberikan. Ia mengangguk, mengerti dengan perintah yang dosennya itu berikan. Setelah itu, laki-laki itu berdiri dan mencium pucuk kepala Navel sebelum pergi. Seketika pikiran Narra merajalela dengan konyolnya. Ia pun berharap kalau Arga melakukan hal yang sama kepadanya, seperti yang dilakukan Arga kepada Navel.
Astaghfirullah. Narra menggeleng, membuang semua pikiran aneh itu. Sadar Narra, sadar. Kamu siapanya Arga? Hello!
***
Tujuan Narra meminta bertemu Arga karena ia ingin berkonsultasi tentang skripsinya. Namun, apa yang terjadi? Di sinilah Narra, menjaga anaknya Arga. Kegiatannya hari ini tidak sepenuhnya ia benci. Justru Narra sangat menyukainya. Ia bisa berlama-lama dengan Navel, si anak cantik dan pintar. Semua aktivitas sudah Narra dan Navel lakukan dari membelikan makanan, mengajak main, hingga menonton video Tayo sampai Navel tertidur pulas. Akan tetapi, belum ada tanda-tanda kedatangan Arga. Sudah hampir dua jam Arga pergi dari ruangan ini, sungguh betah sekali laki-laki itu memberikan materi kepada mahasiswanya.
Melihat Navel tidur, membuat Narra juga ingin tidur. Bermain bersama anak kecil membuatnya kelelahan. Di satu sisi, Narra juga senang, hitung-hitung sebagai simulasi menjaga anak nanti kalau ia sudah menikah dan punya anak. Wow, jauh sekali ya, pikirannya.
Loh, Navel tidur? Narra tersentak mendengar perkataan Arga yang tiba-tiba. Eh, Bapak udah selesai kelasnya? tanyanya dengan gelagat bingungnya sambil memperbaiki posisi duduknya.
Hmm. Arga menaruh buku-buku yang ada di tangannya ke atas meja kerja. Setelah selesai, ia berjalan menghampiri Narra dan duduk di single sofa yang berada tepat di samping Narra. Makasih ya karena udah mau menjaga Navel, ucap Arga setelah berhasil mendaratkan bokongnya di permukaan kursi.
Narra tersenyum dan mengangguk. Gak apa-apa, Pak. Justru saya seneng bisa membantu Bapak, imbuhnya.
Tadi kamu meminta bertemu dengan saya. Mau membicarakan apa? tanya Arga setelah mengingat pesan yang sudah dikirimkan oleh gadis yang berada dihadapannya.
Narra meneguk salivanya. Hmmm, anu, Pak. Tadinya saya mau konsultasi soal skripsi. Tapi saya gak tau kalo Bapak sibuk dengan Navel, jawab Narra pelan, sedikit menunduk.
Di sini, Narra terlihat layaknya seorang gadis pemalu, berbeda dari biasanya yang suka malu-maluin. Cih, dasar cewek sok jaim di depan cowok yang disukainya.
Oh gitu. Ya udah. Mau mulai sekarang? Kebetulan Navel udah tidur.
Eng-enggak usah sekarang, Pak. Nanti saja, lagi pula saya gak tega liat Navel tidur di sofa begini. Sebaiknya Bapak ajak Navel pulang, kondisi Navel, kan, lagi kurang sehat.
Arga terlihat berpikir atas saran yang diberikan oleh Narra. Gini, deh, saya ajak pulang Navel, tapi kamu juga ikut.
Tunggu dulu, apa maksudnya? Mata Narra mengerjap-ngerjap. Nah, lho, kenapa jadi begini ya ujungnya? Maksud Narra, kan, baik menyuruh Arga pulang, bukan membawa dirinya pulang ke rumah Arga juga.
Hah? Maksudnya, Pak? tanya Narra kaget dan bingung.
Kita bahas skripsi-an kamu di rumah saya. Gimana?
Berulang kali Narra mengerjap dan mencerna omongan yang keluar dari mulut Arga. Narra masih tidak percaya bahwa dosen yang ia kagumi mengajaknya untuk ke rumahnya. Mimpi, kah atau halusinasi?
Gimana? Arga bertanya sekali lagi yang sukses membuat lamunan Narra buyar.
Gimana ya, Pak. Narra terlihat salah tingkah. Saya takut ngerepotin Bapak, tambahnya lagi, berpura-pura. Pada kenyataannya ia senang.
Loh, kan, udah jadi kewajiban saya sebagai dospem. Jadi tenang aja, jelas Arga.
Omongan Arga mampu menarik Narra kembali ke dunia nyata. Narra kembali tersadar, bahwa ajakan Arga untuk ke rumahnya tidak ada maksud lain. Pikirannya saja yang berkeliaran terlalu jauh. Toh, kalau dosen pembimbing tidak bisa ditemui di kampus, mahasiswa bisa meminta ketemu di rumah dosen terkait. Kebanyakan dospem sekarang begitu, sulit untuk meminta bimbingan di kampus. Maunya bimbingan di rumah atau di tempat lain.
***
Ini, sih, Gila
Selama perjalanan menuju rumah Arga, Narra hanya bisa membungkam mulutnya. Duduk di samping Arga yang sedang menyetir bukan hal yang mudah, butuh tenaga ekstra dalam mengatur ritme degup jantungnya agar tidak terdengar oleh Arga, dan butuh ekstra tambahan oksigen juga. Ini kali pertama baginya berada satu mobil dengan dosen yang sangat ia kagumi, bukan hanya sekedar dikagumi saja, melainkan Narra begitu menyukainya.
Sesekali, Narra menengok ke belakang, melihat Navel yang sedang nyenyak dalam tidurnya di atas car seat. Tujuannya, sih, untuk menghilangkan tingkat ke grogiannya, bahkan Narra berharap gadis mungil itu lekas bangun agar bisa mencairkan suasana yang sangat tidak nyaman ini. Namun, sepertinya harapannya tidak akan terkabulkan, dilihat Navel sangat nyenyak sekali.
Tangan Arga melepaskan seat belt yang melingkar di dada bidangnya ketika mobil yang dikendarai berhenti tepat di depan garasi rumahnya. Hal itu pun diikuti oleh Narra. Narra segera bergegas keluar dan membantu Arga untuk memindahkan Navel ke dalam rumah. Arga berjalan terlebih dahulu untuk memasuki rumahnya dengan menggendong Navel. Berbeda dengan wanita yang sejak tadi menahan tingkat kegerogiannya, ia hanya diam mematung sambil mengedarkan pandangannya ke seluruh penjuru rumah Arga yang sangat minimalis. Di bagian depan rumah Arga terdapat taman yang terlihat begitu terawat, sangat pas untuk dijadikan pemandangan.
Kenapa diam aja? Sini masuk.
Suara Arga mampu menghentikan mata Narra yang sangat jelalatan melihat keadaan rumah itu. Narra mulai mengikuti perintah Arga untuk segera masuk. Sebelumnya, Narra harap-harap cemas ketika memasuki rumah Dosennya itu, ia tidak tahu harus bersikap apa ketika bertemu dengan istrinya Arga nanti. Apa ia harus ramah, ataukah bersikap acuh karena sudah berani mengambil Arga terlebih dahulu sebelum Narra bertemu dengan Arga? Di satu sisi, Narra sangat berharap untuk bertemu dengan istrinya Arga. Sungguh, ia sangat penasaran seperti apa, sih, wajah istrinya Arga yang kata rumor di kampusnya begitu cantik, tetapi Narra masih belum bisa menerima kalau istrinya Arga itu cantik.
Kamu tunggu di sini. Saya mau bawa Navel ke kamarnya dulu.
Narra hanya mengangguk, melihat punggung Arga yang berjalan maju menuju kamar Navel. Arga membuka pintu kamar yang bertuliskan My little Princess. Narra duga itu kamarnya Navel. Setelah tubuh Arga sempurna tidak terlihat, mata Narra kembali bekerja, melihat semua isi rumah. Warna rumah Arga didominasi putih dan abu, sangat simpel dan aura dinginnya begitu terasa. Narra melangkah menuju tempat foto-foto yang terpajang di atas meja pajangan. Bibir Narra tersenyum simpul ketika melihat Navel yang masih bayi. Sejak bayi saja aura cantik Navel sudah terlihat.
Mata Narra beralih ke kiri, di samping foto Navel yang masih bayi, ada foto Arga yang sedang menggendong Navel, lalu sebelahnya ada foto Navel yang Narra tebak ketika pertama kali Navel bisa berjalan. Di sana, terlihat Arga sedang merentangkan tangannya dan Navel berjalan penuh kekhawatiran, ada senyum yang sangat lebar dari Arga.
Entah kenapa Narra bahagia melihat senyuman Arga, mungkin karena ia baru melihat senyum lebar Arga meski hanya dalam sebuah foto. Dari beberapa foto yang terpajang, kenapa tidak ada foto Navel bersama ibunya? Kebanyakan hanya foto Navel sendiri, dari bayi sampai sekarang. Ada beberapa foto Arga dengan Navel berdua, tidak ada foto bertiga; antara Arga, istrinya dan anaknya.
Deheman Arga sontak membuat Narra sedikit terkejut, dan itu sukses membuat jantungnya seakan-akan mau copot dari tempatnya. Degupan jantungnya kali ini bukan karena grogi, melainkan karena takut. Takut kalau Arga akan marah karena Narra sudah lancang melihat sesuatu yang belum diizinkan oleh sang pemilik rumah.
Maaf sudah membuat lama menunggu.
Ah? Eh, iya gak apa-apa, kok, Pak, jawab Narra gelagapan.
Alis Narra tertarik ke atas mendengar kalimat pertama yang diucapkan oleh Arga. Sungguh ia tidak percaya. Seharusnya Arga marah, dong, bukannya malah minta maaf seperti ini.
Mau minum apa? tanya Arga yang terlihat ramah, tetapi tetap masih dingin.
Gak usah repot-repot, Pak, tolak Narra basa-basi.
Gak repot, kok. Sudah menjadi tugas pemilik rumah untuk memberikan minuman kepada tamunya.
Tuh, kan, sikap songongnya Arga kembali muncul. Memang sangat tidak bisa tertebak kalimat apa yang akan diucapkan oleh Arga selanjutnya ketika terdengar manis di awal. Lagi-lagi Narra dibuat terbang sekaligus terhempas ke bumi untuk kedua kalinya, dan itu membuatnya ingin memaki dirinya karena selalu tertipu dengan pikiran konyolnya sendiri. Maklum, namanya juga cewek, logikanya digunakan sedikit, yang berperan banyak hanya perasaannya saja, perasaan yang selalu salah oleh kenyataan.
Apa aja, deh, Pak. Semua jenis minuman saya suka. Nada suara Narra terdengar sedikit marah, tetapi pasrah.
Oke. Tunggu sebentar. Arga berjalan ke arah dapur yang kalau dari ruang tamu terlihat jelas karena ruang tamu Arga sangat dekat dengan dapur.
Kali ini Narra memilih untuk duduk dan pandangannya tidak lepas dari aksi Arga. Bagi Narra, kesempatan emas seperti ini sangat tidak layak untuk dilewatkan. Kapan lagi melihat dosen killer, dingin, serta arogan berada di dapur membuatkan minum untuknya?
Silakan diminum. Maaf, hanya teh manis hangat aja. Arga menaruh minuman yang telah dibuatnya ke atas meja tepat di hadapan Narra.
Hehe, makasih. Teh manis memang kesukaan saya, Pak. Narra menampilkan senyuman yang dibuat-buat. Tangannya meraih gelas dan piring yang dijadikan tatakan lalu mulai meminumnya. Lumayanlah, sedikit menghilangkan haus emosinya.
Jadi, mau mulai dari mana bimbingan kali ini? ucap Arga dibuat-buat cool ketika Narra menaruh kembali gelasnya.
Arga duduk di single sofa, kakinya bersilang menumpang, kedua tangannya ditaruh bebas di samping bangku. Sorot matanya memandang tepat di manik mata cokelat milik Narra. Ditatap oleh Arga seperti ini, membuat sekujur tubuhnya membeku. Sungguh, ia tidak kuat jika ditatap demikian. Seharusnya Narra memberanikan diri untuk menatap kembali mata Arga, tetapi kali ini ia benar-benar tidak sanggup, jadi ia lebih memilih untuk menunduk, melewatkan momen berharga seumur hidupnya begitu saja.
Kalo untuk mulai menyusun skripsi, saya sama sekali belum memiliki materinya, Pak. Tapi untuk hari ini saya cuma mau minta saran dari Bapak dan sedikit berkonsultasi, ucapnya takut-takut.
Oke. Rencana mau ngambil apa? Tapi sudah menyiapkan judulnya? Nada bicara Arga kali ini lumayan terdengar santai, tidak ada mengintimidasi sedikit pun karena Arga mencoba untuk membuat mahasiswa yang dibimbingnya nyaman.
Judul, sih, udah adaa, Pak. Tapi saya sedikit bingung.
Bingung? Kenapa harus bingung?
Hah. Narra mendongak, menampilkan wajah cengo setelah mendengar perkataan Arga yang sangat tidak bisa Narra pahami isinya.
Melihat ekspresi wajah Narra seperti ini, ingin sekali Arga tertawa sekeras-kerasnya, tetapi Arga cepat-cepat menepis niatnya jauh-jauh karena tidak ingin menjatuhkan harga dirinya di depan mahasiswanya itu.
Kamu udah punya judul. Judulnya tentang apa? Arga mulai menerangkan dengan detail.
Gini, Pak. Rencananya, saya mau ngambil data-datanya di toko roti saya sendiri. Saya, kan, punya toko roti, nih, Pak. Nah, niatnya, saya mau tau harga pokok produksi dari roti saya sendiri sebelum saya tau harga jual roti saya.
Arga memijat pelipisnya mendengar jawaban Narra, yang Arga tanyakan hanya judulnya, bukan kronologinya. Apa memang sudah menjadi kodrat seorang wanita yang tidak pernah langsung ke intinya saja? Pasti memutar ke mana-mana terlebih dahulu, semuanya dibahas dari A sampai Z. Sama seperti ingin belanja, tujuan awal ingin membeli apa, pas sampai di pusat perbelanjaan, melayap ke mana-mana, mampir ke toko sana dan sini. Ketika semuanya sudah didatangi, baru ingat ke tujuan awal yang diinginkan.
Jadi, judulnya apa?
Hehe ... nah, itu dia, Pak. Saya belum dapet judul yang pas. Saya gak tau. Yang mau saya konsultasikan ke Bapak, sih, minta judul.
Mendengar jawaban Narra, Arga ingin berteriak sekencang-kencangnya di wajah gadis yang ada di depannya sekarang. Sungguh, kesalahan apa yang pernah dibuatnya terdahulu hingga mendapatkan mahasiswa seperti ini? Arga mengembuskan napasnya kasar, sedikit menjambak rambutnya, dan mengusap wajah dengan penuh emosi.
Sekarang saya kasih waktu kamu lima belas menit untuk buat tiga judul.
Apa, Pak? Tiga judul? Plis, deh, Pak, satu aja saya belum dapet-dapet, jawab Narra, memelas.
Waktu dimulai dari sekarang.
Arga melihatkan stop watch yang ada di ponselnya. Ia sama sekali tidak terbujuk oleh wajah melas Narra. Namanya juga Arga, si dosen killer. Mau tidak mau, Narra harus berpikir keras untuk bisa membuat tiga judul skripsi dengan waktu hanya lima belas menit. Gila, bener-bener gila. Seketika ia menyesal mendapatkan dosen pembimbing seperti Arga dan mendadak ia berharap Navel segera bangun agar bisa menyelamatkan dirinya. Sepertinya harapan itu juga gagal.
***
Stop Baper
Selepas pulang dari rumah Arga, senyuman Narra terus berkembang dan jiwa halusinasinya semakin menggila. Selain itu, sederet pertanyaan mampu menyita pikiran Narra tentang keberadaan sosok sang istri Arga. Selama Narra di sana, tidak ada tanda-tanda kehadiran orang lain, bahkan dari besarnya rumah Arga, tidak ada satu foto wanita terpajang di dalam rumah. Ke mana istrinya Arga? Apakah mereka sudah bercerai? Narra menepis dugaannya. Tidak baik berpikir aneh-aneh tentang kehidupan orang.Namun, jika mereka bercerai, itu kabar gembira, dong, buat Narra? Dan itu menjadi peluang besar buatnya. Ah, tidak baik juga berbahagia di atas penderitaan orang. Intinya jangan mencari kesempatan pada kesempitan karena itu amat sangat tidak baik.
Ya, setidaknya pulang dari sana, Narra tidak bertangan kosong. Ada hasil atas usahanya yang dipaksa berpikir untuk membuat tiga judul skripsi sekaligus dalam waktu lima belas menit. Sekarang Narra sudah memiliki satu judul yang dengan langsung diterima sama dospemnya. Maka dari itu, tidak ada usaha yang sia-sia, pun usaha tidak akan mengkhianati hasil, dan itu sudah Narra buktikan dengan sendirinya.
***
Berhubung tidak ada kegiatan penting di kampus, jadi di sinilah Narra berada, di toko roti neneknya Mons' Cake. Sesampainya di toko, ia begitu sibuk, dari mulai melihat pembukuan toko sampai melihat persediaan bahan baku di dapur. Wajar Narra begitu sibuk karena sudah beberapa hari ia tidak mengecek tokonya. Maklum, sibuk dengan urusan perkuliahan.
Selama saya gak ke toko, gak ada kejadian apa pun, kan? Terus gak ada komplen dari pelanggan, kan? tanya Narra ke salah satu staf tokonya, Ani.
Alhamdulillah, nggak ada apa-apa, Teh. Semuanya aman terkendali, jelas Ani sambil terus mengelap meja-meja tempat pelanggan menunggu atau bisa juga sebagai tempat menyantap langsung di tempat.
Luas toko roti Narra tidak terlalu besar ataupun kecil. Di dalam toko, terdapat empat pasang meja untuk para pelanggan, di tengah-tengah ruangan dekat kasir pembayaran. Di bagian dekat pintu dan samping-samping dinding terdapat etalase, tempat menyimpan berbagai macam aneka kue, jadi memudahkan para pembeli untuk memilih roti mana yang akan dibeli. Selain itu, pembuatan roti pun terdapat di bagian belakang, ada juga kantor kecil Narra untuk berpikir dan istirahat sejenak.
Narra berjalan ke arah kasir, duduk di depan komputer. Tangan putihnya menggenggam mouse komputer, bola matanya serius menatap layar. Seperti biasa, mengecek roti mana yang paling cepat sold out biar bisa dijadikan referensi ke depannya.
Suara lonceng di depan pintu berbunyi, menandakan ada seseorang atau pelanggan membuka pintu. Narra tetap tak bergeming meski pelanggan datang, ia masih fokus pada layar komputer.
Ada yang bisa kami bantu, Bu? sapa Ani lemah lembut.
Iya, Mba. Saya pesen kue seperti biasa ya, Mba, buat arisan. Ibu itu berucap santun.
Oh, yang seperti minggu kemarin, kan, Bu? tanya Ani yang kebetulan minggu kemarin melayani si ibu ini juga. Kemudian Ibu itu tersenyum lalu mengangguk.
Ditunggu sebentar ya, Bu. Silakan duduk dulu, Bu, tawar Ani ramah, tetapi ibu itu lebih memilih melihat-lihat etalase yang menampilkan aneka macam kue yang berbentuk lucu-lucu. Narra berdiri, memutuskan ke ruangannya karena tugasnya sudah selesai di bagian kasir. Namun, setelah melihat punggung sang pelanggan, ia menunda niat awalnya karena lebih memilih mendekati pelanggannya. Maksud hati, sih, ingin bersikap ramah.
Permisi, Bu, ada yang bisa saya bantu? tanya Narra sopan dan lembut.
Ibu itu membalikkan tubuhnya lalu menatap wajah Narra. Belum sempat ibu itu berucap, anak kecil yang sedang digandengnya lebih dulu berteriak.
Mama, teriak Navel antusias.
Lho, Navel, ucap Narra kaget.
Berbeda dengan Deby, terlihat kebingungan di wajahnya. Namun, dengan cepat Deby tersadar maksud dari kata Mama yang diucapkan oleh cucunya itu. Dalam hatinya berbicara, ah, gadis ini, toh, yang lagi deket sama Arga.
Navel berlari ke arah Narra, seperti biasa memeluknya walau hanya bagian lutut Narra saja yang mudah dijangkau oleh anak itu. Narra berjongkok untuk memudahkan Navel sempurna memeluknya.
Mama, kok, ada di sini? tanya Navel, terdengar cadel khas anak kecil.
Iya, Sayang. Ini, kan, toko roti neneknya Mama, jelas Narra lembut.
Deby yang melihat aksi cucunya dan Narra hanya menampilkan senyuman saja. Entah kenapa dalam hatinya ada rasa kebahagiaan.
Narra bangkit dari posisi semula lalu tersenyum ke arah Deby. Tangan Narra terulur ke depan wanita itu. Perkenalkan, Bu, nama saya Narra, mahasiswinya Pak Arga, ucap Narra, sedikit canggung.
Deby membalas senyuman Narra lalu menerima uluran tangan itu. Saya Deby, neneknya Navel, ibunya Arga, jawab Deby dengan jelas.
Mendengar kata ibunya Arga, sekujur tubuh Narra beku dan merinding. Mampus, karena telah berpura-pura menjadi mamanya Navel di depan ibunya Arga langsung. Jujur, untuk pertama kalinya ia merasa malu.
Kita duduk di sana, yuk. Mari, Bu duduk dulu, ajak Narra kepada Navel dan Deby dan diikuti oleh Deby.
Res, panggil Narra ke salah satu karyawannya yang lewat.
Iya, Teh? Kenapa? tanya Reres sopan.
Buatin minum ya, pinta Narra lembut lalu diangguki oleh Reres.
Ih, gak usah repot-repot Nak Narra.
Gak repot, kok, Bu. Masa tamu gak dikasih minum, jawab Narra sedikit anggun. Biasalah, jaga image sedikit di depan calon mertua yang terlambat kenal.
Jangan panggil ibu, dong, Nak Narra, panggil aja Mama, pinta Deby.
Bola mata Narra membulat sempurna, kaget bukan main. Hah? Kata pertama yang lolos dari bibirnya. Ia menampilkan cengiran canggung. Narra, kan, bukan siapa-siapa Ibu. Gak enak, masa manggilnya mama, sih.
Masa bukan siapa-siapa, sih. Kan, Navel sudah menganggap kamu sebagai mamanya. Jadi otomatis kamu juga panggil saya mama, jelas Deby, sedikit jail.
Berbeda dengan Narra, wajahnya memerah karena malu. Tangannya menggaruk tengkuk yang tidak gatal. Biasa mencari pengalihan. Silakan diminum, Bu, tehnya, ucap Reres secara tiba-tiba.
Makasih ya, jawab Deby lembut.
Ini, Bu, pesanannya udah siap. Ani membawa beberapa bungkus pesanan Deby.
Oh udah. Makasih ya. Deby menerima bungkusan pesanannya dan segera berdiri untuk membayar ke kasir.
Navel tunggu di sini ya. Oma mau bayar dulu, pinta Deby kepada Navel yang sedang asyik memainkan jari-jemari Narra.
Mendengar perkataan Deby, dengan cepat Narra berusaha mencegah. Ih jangan, Tante, gak papa. Hadiah buat Navel.
Oh nggak, dong. Pesenan Mama banyak. Lagi pula ini masih pagi, pasti belom dapet panglaris, tolak Deby lalu dengan cepat berjalan ke arah kasir, diikuti juga oleh Narra dibelakang.
Gak apa-apa, kok, Tan. Jangan ya? pinta Narra lembut. Masih berusaha.
Deby tetap menggeleng. Ngasihnya nanti saja. Kalo kamu udah resmi jadi mantu, Mama, ucap Deby sambil mengedipkan sebelah matanya dan itu sukses membuat Narra diam seribu bahasa.
Mendengar itu, boleh tidak, sih, Narra terbang ke langit ketujuh?
Saya bayar pake debit ya. Deby menyodorkan kartu ATM-nya ke penjaga kasir.
Setelah transaksi selesai, Deby berjalan ke tempat Navel duduk. Navel, Sayang, yuk kita pulang, ajak Deby pada cucunya.
Navel menggeleng kuat. Navel masih mau di sini, Oma. Navel mau sama Mama Nalla.
Tapi Mama Narra-nya lagi sibuk, Sayang. Kalo Navel di sini, nanti Mama Narra-nya gak fokus kerja, bujuk Deby, tetapi masih ditolak dengan gelengan kepala oleh Navel.
Gak papa, Tante, biarin Navel di sini. Narra juga gak terlalu sibuk, kok.
Serius, nih? Mama takut nanti Navel ngacak-ngacak di sini, yang ada nanti malah ngerepotin semua orang lagi.
Oommaaa, rengek Navel yang mungkin sebentar lagi air matanya akan terjun keluar.
Navel itu anak baik, jadi pasti gak akan ngerepotin. Jadi, Tante, tenang aja, daripada Navel nangis, kan?
Ah iya, seketika Deby teringat beberapa hari yang lalu ketika Navel menangis kejer karena ingin bertemu Narra. Ya udah, deh. Mama titip Navel, ya? Nanti biar Arga yang jemput ke sini.
Mendengar nama Arga disebut, sudah membuat tubuh Narra bergetar. Aduh, sebenarnya hari ini Narra tidak pergi ke kampus karena ia ingin menghindari Arga karena malu dengan kejadian kemarin akibat jalan otaknya yang tidak terlalu encer. Kalau Arga datang ke sini untuk menjemput Navel, mau tidak mau Narra juga pasti bertemu dengannya, dan percuma juga usahanya hari ini untuk menghindar dari Arga.
Oma pulang dulu ya, Sayang, pamit Deby pada cucunya, lalu mengecup ujung rambut Navel. Mama pamit ya. Titip Navel, pamitnya lagi kepada Narra. Deby masih tetap kekeh memanggil dirinya Mama walaupun Narra masih belum berani memanggil Deby dengan panggilan itu.
Hati hati ya, Tant, peringat Narra lembut.
***
Narra tetap fokus memandangi wajah cantik Navel yang sedang tertidur pulas. Walaupun dekat dengan Navel hanya baru beberapa hari saja, tetapi Narra sudah begitu menyayangi Navel, tentunya bukan karena Navel anaknya Arga. Ia menyayanginya tulus, jikalau pun Navel bukan anaknya Arga, ia juga pasti akan tetap menyayanginya.
Jari lentik Narra, terus membelai anak rambut Navel. Hari ini Navel begitu antusias menemani Narra membuat kue. Wajar kalau sekarang Navel tidur begitu pulas. Senyuman Narra tidak pernah hilang jika memandang wajah anak itu.
Di tengah memandangi wajah Navel, Narra mendengar suara ketukan di pintu ruang kerjanya. Segera ia pun bergegas bangkit dari posisinya, berjalan untuk membukakan pintu.
Teh, ada yang nyari di depan, ucap Reres.
Siapa?
Nggak tau. Laki-laki, Teh.
Kening Narra semakin berkerut. Mendadak jantungnya berdegup lebih kencang dari biasanya. Seakan-akan hati kecilnya tahu siapa yang datang padahal kenyataannya Narra sama sekali tidak tahu.
Saya permisi, Teh, pamit Reres dan Narra berjalan keluar ruangan, mencari tahu siapa yang mencari dirinya.
Benar saja dugaannya. Pak Arga, ucap Narra pelan, tetapi masih bisa didengar oleh Arga.
Saya mau jemput Navel, katanya tidak berbasa-basi lagi. Yup, seperti biasa. Sudah tidak aneh lagi.
Navel lagi tidur, Pak, di ruangan saya. Wajah Narra sedikit menunduk.
Boleh saya liat? izinnya dan diangguki oleh Narra.
Silahkan, Pak. Narra berjalan lebih dulu, dan Arga mengikutinya di belakang.
Sesampainya di dalam ruangan, pertama kali yang dilihatnya tentu saja adalah putrinya. Ada senyuman dari bibir Arga ketika melihat putrinya tertidur pulas seperti ini. Namun, alisnya terpaut ketika melihat baju yang dikenakan Navel sedikit kotor oleh tepung. Narra yang menyadari ekspresi aneh dari dosennya itu dengan cepat menceritakan kejadian yang sebenarnya.
Maaf, Pak, tadi Navel saya ajak ke dapur untuk membuat roti. Eh, Navel juga malah ikutan buat, jadi, deh, bajunya kotor sama tepung begini, jelasnya disertai dengan cengiran tak berdosa.
Seharusnya saya yang minta maaf. Navel selalu ngerepotin kamu. Mata Arga menatap tepat di manik mata coklat milik Narra.
Merasa Malu ditatap seperti itu, Narra meneguk salivanya susah payah. Emm, eng-nggak ngerepotin, kok, Pak. Santai aja, toh, saya juga udah nganggap Navel kayak anak saya sendiri. Dengan refleks tangannya menutup mulut. Aish, dasar mulutnya memang susah sekali direm. Maaf, Pak. Keceplosan, ucapnya pelan dan ringan tanpa ada beban.
Arga yang melihat tingkah konyol dan polosnya Narra, sukses meloloskan senyuman di bibirnya. Catat, Arga tersenyum dan Narra pun melihatnya. Wow, sungguh suatu peningkatan bagi Narra. Ini kali pertamanya melihat Dosen nya itu tersenyum seperti ini, dan itu suatu kebanggaan tersendiri baginya. ***
Satu Kenyataan
Pagi yang sangat tenang bagi Arga karena hari ini sikap Navel tidak terlalu membuat pusing dan kewalahan. Hal itu membuat Arga sedikit bernapas lega, dan ia berharap semoga sikap Navel bisa seterusnya seperti ini.
Habis sarapan kita ke rumah, Oma, ya? tutur Arga yang sama sekali tidak dibantah oleh Navel.
“Oke Papa!” seru Navel ceria tanpa penolakan seperti hari sebelumnya.
Dalam perjalanan menuju rumah Deby, banyak pertanyaan yang menghantui pikirannya tentang sikap Navel yang tenang ini. Sebenarnya ada apa dengan anaknya itu? Apa mungkin karena kemarin puas bermain dengan Narra seharian, jadi hari ini Navel tidak merengkek minta bertemu dengan Narra?
Navel, Sayang, panggil Arga kepada Navel yang sedang asyik menonton video Tayo di tabletnya.
Navel mendongak, Iya, Pa?
Navel, kok, tumben gak nangis minta ketemu sama Mama? Pada akhirnya Arga menanyakannya juga, semua keresahan dalam pikirannya.
Kata Mama kemalin, Navel gak boleh buat Papa pusing. Navel gak boleh nangis ngelengek minta ketemu sama Mama telus. Kalo Navel nangis, nanti Navel gak diajak lagi main tepung sama Mama, jelas Navel dengan polosnya.
Kata Mama Narra begitu?
Ada rasa canggung ketika lidahnya harus menyebut nama Narra dengan embel-embel kata 'Mama'.
Iya, Pa. Navel, kan, masih mau maen tepung kayak kemalin.
Arga menggeleng tidak percaya dengan ancaman yang dibuat oleh Narra. Benar-benar tidak bisa diduga. Mulutnya tidak berhenti mengulum senyum, membayangkan wajah polos Narra berkata seperti itu pada anaknya.
Narra, Narra. Arga sedikit bergumam.
***
Assalamualaikum, Ma, teriak Arga sesampainya di dalam rumah Deby.
Waalaikumsalam, jawab Deby.
Omaaa. Navel berlari mendekat ke arah Deby.
Aduh, cucu Oma, kok, cantik sekali, ya? puji Deby lalu mencium kedua pipi gembul Navel.
Ma, Arga titip Navel ya.
Iya.
Arga ke kantor dulu. Assalamualaikum, pamitnya, mencium punggung tangan Deby.
Baru selangkah kaki Arga berjalan, Deby kembali memanggilnya. Ga. Otomatis Arga membalikkan tubuhnya.
Narra cantik, ya? goda Deby disertai seringaian jail.
Arga pikir mamanya memanggil karena ada hal yang penting. Eh, ternyata malah menggodanya seperti ini. Meskipun Deby menggoda anaknya, wajah Arga masih tidak memberikan ekspresi aneh, justru Arga hanya menampilkan wajah datarnya seperti biasa. Melihat wajah Arga biasa saja, membuat Deby berdecih sebal.
Assalamualaikum, pamit Arga kedua kalinya.
Waalaikumsalam. Dasar, punya anak gak berwarna banget, sih, hidupnya. Gak seru, protes Deby. Navel, kamu, kok, punya Papa gitu banget, sih? Heran, deh, Oma, tuh. Gantian, sekarang Deby menggerutu kepada cucunya padahal percuma saja, Navel juga tidak akan paham.
***
Wedeeh, tumben-tumbenan serius banget sama layar laptop, goda Malla tiba-tiba kepada Narra.
Narra tidak menimpali, ia hanya melirik sebentar lalu fokus kembali pada layar laptopnya.
Ngerjain apa, sih? Skripsi? Sebelum duduk, Malla mencoba mendongak ke arah layar laptop Narra.
Sono, ah, diem. Tangan Narra meraup wajah bulat Malla dan sedikit mendorong pelan.
Gak usah diraup juga bisa, kan? Nanti yang ada make up gue ancur.
Shuut. Diem. Telunjuk Narra ditempelkan tepat di bibirnya, mengisyaratkan agar temannya itu untuk diam.
Gue semakin curiga. Lo kemarin diapain, sih, sama Pak Arga ampe serius begini ngerjainnya? Tanya temannya itu yang kebetulan sudah tahu, kalau Narra sudah melakukan bimbingan pertamanya.
Narra menarik napas panjang. Sebenernya gue gak diapa-apain, sih, sama Pak Arga. Cuma gue malu aja pas ditanya ini, itu, gue gak bisa jawab, Malla, suara Narra terdegar frustrasi, apalagi saat mengingat kembali kejadian dua hari yang lalu.
Makanya kalo belom punya bahan buat bimbingan, jangan sok-sok-an minta bimbingan. Kena sendiri, kan, batunya, omel Malla. Dasar sahabat tidak tahu diri. Bukannya menguatkan, eh malah memberikan beban. Eh, iya. Emang lo kemaren bimbingan di mana, sih? Kayaknya gak di kampus, deh, ya?
Mendengar pertanyaan Malla membuat Narra teringat akan suatu hal yang selama dua hari ini menghantui pikirannya, tentang keberadaan istrinya Arga. Hampir aja gue lupa, kan. Untung lo ingetin.
Emang gue udah ingetin apa? gadis bermata sipit itu, mendelik bingung akan perkataan dari sahabatnya itu.
Lo tau gak, La, dua hari yang lalu, kan, Pak Arga ngajak gue bimbingannya, tuh, dirumahnya—
What? Tunggu dulu. Lo diajak ke rumahnya Pak Arga? Sama Pak Arga langsung? Saking terkejutnya, Malla memotong penjelasan Narra.
Iya, ih, gue lagi cerita jangan dulu dipotong. Takut lupa nanti.
Istrinya Pak Arga gimana, Ra? Lo pasti kemaren ketemu, kan, sama istrinya? Gimana? Pasti cantik, kan, ya, Ra? tanya Malla lebih antusias.
Nah, justru itu gue terus kepikiran. Kemaren, selama gue di rumahnya Pak Arga, gue sama sekali gak ketemu sama istrinya.
Sama sekali gak ketemu? Bola mata Malla menyipit, walaupun dasarnya memang sudah sipit.
Mungkin aja kali istrinya lagi keluar rumah. Seperti ada kerjaan di luar gitu? Atau ke rumah orang tuanya. Bisa aja, kan?Tambah Malla lagi, mencoba memberikan beberapa asumsi.
Iya, awalnya, sih, gue berpikir gitu, La. Tapi anehnya, gue ngerasa janggal aja. Masa iya di rumah segede itu gak ada satu pun foto istrinya terpajang! Menurut lo aneh gak, sih?
Biasa aja, ah. Aneh dari mananya, sih, Ra? Emang lo udah kelilingin, tuh, semua sudut rumahnya Pak Arga?
Narra hanya menggeleng mendengar pertanyaan Malla.
Nah, nggak, kan? Jadi jangan dulu berpikir negatif.
Gue gak berpikir negatif, Malla. Suwer, deh. Tapi kenapa gue bisa berpikir aneh, itu karena gue melihat satu meja penuh dengan foto-foto Navel dengan Pak Arga, tapi dari beberapa foto itu, sama sekali gak ada foto istrinya. Salah gak, sih, kalo gue berpikir aneh?
Malla menggaruk kepalanya, perlahan mulai ikut berpikir aneh juga seperti Narra. Apa jangan-jangan mereka udah bercerai, ya, Ra? tebak Malla, ragu dan hati-hati.
Hus, tadi katanya jangan berpikir negatif. Lah, ini lo malah berpikir negatif.
Ya gimana gue gak mikir negatif. Lo yang dorong-dorong gue buat berpikir ke situ.
Menyadari ponselnya bergetar di atas meja, Narra mengambilnya lalu melihat notifikasi masuk. Bola matanya sukses membulat sempurna ketika membaca WhatsApp-nya.
Arga:
Ada dikampus hari ini?
Bisa ketemu?
Narra:
Oh, bisa, Pak. Kapan?
Arga:
Skrg, keruangan saya.
Jantungnya bekerja lebih cepat dari biasanya setelah mendapat pesan dari Arga. Karena tidak ingin membuat Arga menunggu lebih lama, dengan cepat Narra merapikan buku-bukunya. Malla yang melihat Narra terburu-buru seperti itu hanya bisa menatap dengan pandangan bertanya.
Lo mau ke mana? Panik banget kayak yang dikejar rentenir.
Gue harus buru-buru keruangannya Pak Arga.
Ngapain?
Gak tau. Udah, ah, gue pergi dulu, pamitnya dengan tangan yang memegang tumpukan buku dan laptop yang masih dalam posisi menyala.
Jarak kantin ke ruangan Arga lumayan cukup membuat napas ngos-ngosan kalau ditempuh dengan cara sedikit berlari dan terburu-buru. Buktinya, Nafasnya sedikit tersengal-sengal ketika sudah sampai di depan pintu ruangan Arga. Tangannya yang kerepotan membawa tumpukan buku serta laptop berusaha mengetuk pintu dengan hati-hati.
Masuk, perintah dari dalam.
Selepas pintu ruangannya terbuka, lalu menampilkan wajah Narra, kedua alis Arga saling terpaut karena melihat Narra yang sangat kesusahan dengan barang-barang yang dibawanya.
Saya langsung duduk, ya, Pak. Ribet, nih.
Narra meletakkan semua barang bawaannya lebih dulu tanpa menunggu izin dari sang empunya ruangan. Setelah berhasil tersimpan sempurna di atas meja, Narra menarik napas panjang dan sedikit merilekskan tangannya.
Arga berjalan mendekat ke arah Narra lalu duduk di sofa seperi biasa. Kamu masih ada kelas? tanyanya sedikit sinis.
Mmm, enggak, kok, Pak.
Terus, kenapa buku-buku kamu banyak banget?
Oh ini. Ceritanya lagi ngerjain skripsi, Pak. Hehe, kekehnya justru terdengar hambar.
Skripsi? tanya Arga dengan nada sedikit mengejek. Narra hanya mengangguk, membenarkan.
Sudah sampai bab mana?
Mendengar pertanyaan itu, tawa Narra pecah. Haha, latar belakang aja belom selesai, Pak.
Coba saya liat, pinta Arga secara paksa.
Jangan, ah, Pak, nanti aja kalo bab satunya udah rampung, elak Narra sedikit malu.
Justru sebelum rampung lebih sedikit keselnya kalo dapet revisian. Arga memberitahu agar Narra menurut saja. Sini. Ia menyodorkan tangannya, meminta hasil kerja Narra secara paksa. Dengan pasrah, Narra menyerahkan laptopnya.
Kalo font-nya warna merah, itu yang harus kamu revisi, tegas Arga.
Narra mengangguk lemah. Butuh waktu lima menit bagi Arga untuk mengoreksi skripsi yang dibuat oleh Narra, dan setelah selesai, Arga memberikan laptop yang dipegangnya kepada si empunya laptop. Setelah Narra melihat skripsinya yang sudah dikoreksi oleh Dosen berparas dingin itu, bola matanya hampir keluar dari tempatnya.
Plis, deh, Pak, masa merah semua. Gak tau apa untuk bisa jadi satu lembar begini, tuh, butuh waktu lama, wajah Narra memberengut kesal, memberikan protes ketidakterimaan.
Daripada nanti kamu gak dilolosin sama penguji, lebih baik saya yang ngerevisi total dari sekarang. Pilih mana?
Perkataan Arga memang sangat benar, tetapi tetap saja, Narra masih dongkol dengan dosennya itu. Susah-susah berpikir, tetapi sama sekali tidak dihargai seperti ini. Kalau saja tahu disuruh keruangan Arga hanya untuk membahas skripsian saja, mending Narra tidak usah repot-repot datang.
Terus, Bapak nyuruh saya dateng ke sini cuma mau ngoreksi skripsian saya aja? Nada suara Narra masih terdengar sedikit ketus.
Mendengar itu, membuat Arga tersadar akan tujuan utamanya menyuruh Narra untuk datang keruangannya. Nggak, kok. Tujuan saya nyuruh kamu datang cuma mau bahas persoalan Navel.
Navel? Emang Navel kenapa? kening Narra berkerut.
Navel gak apa-apa. Cuma ada yang aneh aja sama sikapnya hari ini.
Tiba-tiba saja perut Narra berbunyi sedikit nyaring, dan itu mampu didengar oleh Arga. Malu, Narra menampilkan cengiran kudanya sambil memegang perut. Aih, hari ini dibuat malu bertubi-tubi di depan Arga.
Arga melihat arloji yang melingkar di tangan kirinya, lalu berkata, Pantes, sudah waktunya makan siang.
Kita cari makan dulu. Arga segera bangkit dari duduknya. Namun, Narra hanya memandangi Arga dengan tatapan tidak mengerti. Ayo, bukannya kamu udah laper, kan? tanya Arga masih dengan muka kanebonya.
Bapak ngajak saya? Jari telunjuk Narra menunjuk pada wajahnya sendiri dengan ekspresi cengonya.
Iya. Emangnya ada siapa lagi di ruangan ini?
Aih, dasar Arga. Ngajak makan wanita, kok, kayak ngajak duel. Sinis bener.
Mau makan apa? tanya Arga sesampainya mereka di kafeteria dekat kampus.
Saya pesen ini aja, deh, Mba, tunjuk Narra pada gambar Beef Teriyaki kepada salah seorang waiters. Kalau urusan makanan, Narra tipe cewek yang tidak terlalu pemilih karena semua jenis makanan ia suka. Mmm, minumnya Lemon Tea Ice aja.
Saya, bebek goreng muda, sama teh tawar hangat, ya, Mba.
Selepas kepergian pelayan, tinggal kesunyian di antara mereka. Masing-masing sibuk dengan pikirannya dan tidak ada yang memberanikan untuk memulai pembicaraan. Dalam pikiran Narra, ia sangat ingin menanyakan tentang keberadaan istrinya Arga yang selalu menjadi misteri bagi Narra sendiri. Batinnya berperang antara harus bertanya atau tidak.
Pak, panggilnya ragu.
Kenapa?
Navel baik-baik aja, kan? Narra sedikit nyeleweng dari pertanyaan utamanya.
Navel baik, tapi sikapnya pagi tadi aneh aja.
Narra membenarkan posisi duduknya, lebih serius dan sedikit condong ke arah Arga. Aneh gimana? Maksudnya, Pak?
Aneh, biasanya setiap pagi uring-uringan ingin ketemu kamu. Tapi tadi pagi sama sekali gak uring-uringan.
Oh, gitu. Kirain kenapa gitu.
Sebenarnya Navel kamu apain, sih, sampe nurut gitu? Padahal ia sudah menanyakan sikap aneh anaknya tadi, tetapi tetap saja ia menanyakan hal yang sama pada Narra.
Ah? Naggk aku apa-apain, kok, Pak. Cuma aku sedikit nakut-nakutin aja, padahal itu cuma pura-pura. Aku gak tau kalau Navel nganggepnya serius. Aku cuma bilang gini aja ke Navel, kalo Navel setiap pagi rewel sama Papa, nanti gak diajak main tepung lagi, gitu aja. Heehe. Kepala Narra sedikit menunduk, takut.
Makasih sudah membuat Navel nggak uring-uringan pagi ini.
Narra mendongak mendengar Arga berterima kasih. Ih, gak usah berterima kasih begitu, Pak. Justru harusnya saya yang meminta maaf karena ulah bodoh saya Bapak jadi ngebeban gini. Coba aja saya gak ngomong kalo saya mamanya Navel. Jujur, Pak, waktu itu saya cuma becanda. Saya gak tau kalau Navel nganggepnya serius. Narra berujar penuh penyesalan.
Wajar Navel antusias pas kamu bilang mamanya, karena selama ini dia gak tahu kata mama.
Maksudnya? Alis Narra saling terpaut. Maaf, Pak, sebelumnya kalo boleh tau memangnya mama Navel ke mana? Narra sedikit ragu, tetapi ia tetap memasuki tahap pertanyaan itu.
Arga masih diam, terlihat sedang menimbang-nimbang.
Maaf, Pak, kalo saya udah lancang bertanya. Kalo pun bapak gak mau jawab juga, gak apa-apa, kok, kata Narra lagi.
Arga menarik napas dalam sebelum bersuara. Dari bayi, Navel sama sekali gak kenal sama mamanya. Makanya, Navel seantusias itu, waktu kamu bilang mamanya.
“Mamanya Navel—”
Istri saya meninggal ketika melahirkan Navel, jelas Arga memotong pertanyaan Narra dan itu sukses membuat Narra terkejut.
Innalilahi wa innailaihi ro'jiun. Maaf, Pak, saya gak tau kalau istri Bapak udah meninggal. Saya gak maksud buat Bapak sedih seperti ini.
Saya gak sedih, toh, udah empat tahun yang lalu, tenang aja. Jadi gak usah ngerasa bersalah gitu. Wajar, kok, kalo kamu gak tau karena semua orang di kampus juga gak ada yang tau soal ini, jelas Arga datar.
Setelah mengetahui kenyataannya, sekarang Narra bingung harus bagaimana. Harus senang, kah, karena cuma dirinya seorang yang mengetahui kenyataan tentang Arga yang sebenarnya? Apakah harus bersedih setelah tahu Navel sudah tidak mempunyai ibu lagi di usianya yang masih sangat dini? ***
PASRAH
Selepas pulang dari kafeteria, ada perubahan sikap dari Narra. Sekarang ia justru lebih pendiam, tidak seperti biasanya. Pikirannya berkecamuk ke sana-ke mari. Entah apa yang membuat hatinya berperang. Sungguh, Narra benar-benar tidak menyangka kalau istrinya Arga sudah lama meninggal, dan yang lebih tidak Narra sangka lagi, Arga mampu bertahan dalam kesendirian membesarkan Navel. Satu kenyataan yang mampu menohok batin Narra, cinta Arga pasti sangat besar kepada istrinya. Dan kenapa juga Narra harus bersedih seperti ini?
Mona yang menyadari ada sesuatu yang aneh dari cucunya itu, segera ia menemui cucunya itu kedalam kamar. Diketuknya pintu kamar cucunya itu, lalu ia buka secara perlahan meski tidak ada sahutan dari dalam sana.
“Kamu kenapa? Kalau ada sesuatu cerita sama Nenek. Jangan dipendam sendiri.” Sahutnya seraya menepuk pelan tubuh cucunya yang sedang bergelung dibalik selimut.
“Narra kangen Ibu Nek.” Ucapnya, setelah tubuhnya terduduk sempurna menghadap sang Nenek.
“Gak biasanya. Kamu kenapa?”
“Nenek tahu kan, kalau Pak Arga itu udah menikah dan punya anak?” Tanya Narra sebelum menjawab kekhawatiran dari Neneknya itu.
Mona mengangguk. “Tahu, kan, kamu sendiri yang ngasih tau ke Nenek.”
“Tadi waktu siang, Pak Arga ngasih tau Aku. Kalau ternyata istrinya itu udah ninggal, waktu ngelahirin Navel.” Beritahunya dengan wajah sendunya.
“Innalillahi.. Insyaallah Surga jaminannya.”
Narra mengangguk setuju. Tapi anehnya, kenapa hatinya sangat sakit hanya karena membayangkan kalau perasaan Arga pada Almarhum istrinya itu begitu besar. Juga ia takut kalau kelak Navel akan membenci Ibu sambungnya seperti dirinya yang sangat tidak suka pada Ibu sambungnya sendiri.
Jujur, Narra sendiri bingung, kenapa dia mengkhawatirkan sesuatu yang tidak menjadi kewajibannya? Apakah ia sudah terlalu percaya diri, kalau dirinya akan menjadi Ibu sambung untuk Navel? Hanya karena Navel sudah memanggilnya ‘Mama’?
***
Baru saja Narra keluar dari kamar mandi, tiba-tiba gawainya yang berada di nakas samping tempat tidurnya bergetar, dengan cepat Narra menyambar benda itu. Bola mata Narra membulat, panik mulai menyerang ketika layar ponselnya menampilkan nama Pak Arga, yang membuat Narra panik adalah dosennya melakukan panggilan video call secara tiba-tiba dan Narra masih dalam kondisi mengenakan handuk mandi saja. Cukup sempurna sekali, ya?
Kebingungan melanda antara harus menjawabnya atau tidak. Kalau menunggu dirinya memakai baju terlebih dahulu, pasti akan memakan waktu lama, dan kalau pun ia menolak panggilan itu, pasti sedikit kurang sopan, juga Narra penasaran ada maksud apa Dosennya itu sampai melakukan panggilan video call seperti ini? Oke, sebaiknya Narra menjawabnya dengan cara tidak menampakkan diri. Idenya oke juga.
Mama.
Baru saja Narra menjawab, sudah terdengar teriakan di layar ponselnya. Narra melihat ponselnya yang semula ia jauhkan dari wajahnya. Eh, halo, Sayang, sapa Narra, salah tingkah sendiri.
Ia malu, ia pikir yang melakukan video call adalah dosen dinginnya itu, rupanya Navel. Kan, malu sendiri karena sudah merasa kegeeran.
Mama, Mama di mana?
Mama di rumah, Nak. Kenapa, Sayang?
Mama baru selesai mandi, ya? Kok, masih pake handuk?
Iya, Sayang. Mama baru selesai mandi. Narra menampilkan cengirannya mendengar pertanyaan polos dari bibir anak bayangannya itu. Navel, Sayang. Navel lagi gak sama Papa, kan? tanya Narra ragu.
Narra takut kalau Arga mendengar pertanyaan Navel yang mempersoalkan dirinya yang hanya mengenakan handuk saja. Bisa turun harga dirinya di mata Arga.
Ekhem.
Deheman seseorang dari seberang telepon menandadakan bahwa orang yang ditanyakan oleh Narra itu, sedang berada disana juga.
Mampus, Arga ada di samping Navel, gerutunya dalam hati.
Nih, Papa ada di samping Navel, Ma, jawab Navel dan menampilkan wajah Arga di sana.
Dengan cepat Narra menjauhkan layar gawai dari wajahnya. Ya, walaupun Narra menjauhan gawainya, ia yakin pasti Arga melihat dirinya karena Narra pun melihat sekilas gambar diri Arga.
Sebaiknya kamu pakai baju dulu, perintah Arga. Navel, matiin dulu, ya, teleponnya? Kasian Mama mau pakai baju dulu.
Ya udah, Ma. Navel matiin dulu, ya, teleponnya. Bye-bye, Mama.
Bye, Sayang. Narra tersenyum ketika tangan Navel melambai di layar teleponnya sebelum panggilan video call itu berakhir.
***
Arga menggeleng selepas panggilan video itu berakir. Entah kenapa sekelebat bayangan Narra yang hanya mengenakan handuk saja terus melintas di benaknya. Sepertinya ada yang tidak beres dengan kerja otaknya.
Papa, panggil Navel yang dengan cepat membuyarkan lamunan Arga.
Kenapa?
Kita ke toko rotinya Mama jadi, kan? tanya Navel polos.
I-iya jadi. Jadi, kok. Aish, kenapa pula dengan lidahnya sampai gelagapan seperti ini.
Papa kenapa? Navel menyadari tingkah aneh papanya.
Aaaah, Papa? Papa gak apa-apa, kok, elaknya segera Kita jalan sekarang aja, ya. Takut macet, ajak Arga, mengalihkan topik pembicaraan.
Navel yang mendengar ajakan dari papanya, dengan cepat lupa akan pembahasannya barusan. Hore! Bental lagi ketemu Mama, teriak Navel sambil bertepuk tangan riang.
Berbeda dengan Arga. Laki-laki itu sibuk dengan ponselnya. Jari jemarinya lihai menari-nari di layar ponsel.
Arga:
Saya skrg sedang jalan ke toko roti kamu. Jangan lupa untuk tidak mengenakan handuk saja.
***
Bola mata Narra hampir saja terjatuh selepas membaca WhatsApp dari dosen dingin, kaku, tetapi disukainya itu. Memang dasar, dosen sableng gendeng. Bisa-bisanya ia mengirim pesan seperti itu, sungguh Narra ingin sekali berkata kasar di depan wajah dosennya.
Dasar dosen out of the box. Untung aja cakep, beh, kalo enggak, udah gue cincang-cincang, dah, gerutu Narra sambil terus berjalan ke ruang tamu rumahnya. Nek, sapa Narra, menghampiri neneknya yang sedang asyik menonton TV.
Narra pamit ke toko, ya? izinnya.
Tumben sore-sore ke toko? Mona mendongak ke arah Narra. Wajar jika Mona bertanya demikian karena cucunya tidak pernah ke toko roti di waktu sore hari seperti ini.
Iya, ada beruang kutub mau mampir ke toko, Nek.
Beruang kutub? Siapa lagi kalo bukan Arga.
Beruang kutub? tanya Mona, tidak mengerti apa yang dikatakan oleh cucunya itu.
Narra berangkat, ya, Nek. Assalamualaikum, pamitnya yang tidak mengindahkan pertanyaan dari sang nenek.
Waalaikumsalam, jawab Mona sambil menggeleng.
Jarak rumah dan toko rotinya tidak terlalu banyak memakan waktu, hanya butuh dua menit saja dengan berjalan kaki. Karena rumahnya terletak di belakang toko roti, tetapi tidak dalam satu bingkai pagar rumah.
Sesampainya di Toko Rotinya, ia berpesan pada Reres, jika ada seseorang yang mencarinya, segera kabari padanya. Setelah mengatakan itu, Narra bergegas masuk kedalam ruangannya.
Namun tidak memerlukan waktu lama, Reres kembali menemuinya di ruangannya. “Teh, ada anak teteh di luar.” Ucapnya sengaja meledek atasannya. Meski Reres adalah pegawai tokonya, tapi hubungan mereka sudah cukup dekat.
Sebelum menemui Arga diluar, ia menyemangati dirinya sendiri.
Oke, Narra, kamu pasti berani ketemu Pak Arga. Jangan lupa untuk tersenyum dan biasa aja, oke?
Mama, teriak Navel sambil berlari ke arah Narra. Tinggal beberapa langkah lagi kaki Narra mendekat ke arah Arga dan Navel, justru anak kecil itu sudah lebih dulu teriak dan berlari ke arahnya,
Aduh, anak Mama, ucap Narra ketika tubuh mungil Navel berhasil memeluknya.
Arga yang melihat anaknya dan Narra saling berpelukan tanpa sadar kakinya berjalan mendekat ke arah mereka. Ada senyuman tipis terlukis di wajahnya.
Mama, Navel mau kita makan malam di lual, ya? pinta Navel dengan wajah polosnya.
Hah? Narra terkejut lalu beralih menatap wajah Arga yang juga sama terkejutnya dengan Narra.
Boleh, kan, Pa? rajuk Navel kepada papanya.
Tanpa bisa menolak, mau tidak mau Arga harus menuruti permintaan putrinya. Toh, juga permintaannya tidak terlalu Arga benci, justru dalam hati kecil Arga, ia bersorak riang.
*** Jalan Pertama
Karena harapan sang anak, maka di sinilah mereka sekarang, di dalam basemen mall terbesar di ibu kota. Dalam perjalanan dari toko roti menuju mall, tidak ada percakapan sama sekali di antara Narra dan Arga, yang menguasai percakapan hanya Navel. Andai kalau tidak ada Navel, pasti Narra akan mati kebosanan berada dalam satu mobil dengan dosen dinginnya itu. Sekarang pun di dalam lift mereka masih membisu, seakan-akan diam adalah suatu kebanggaan untuk dilakukan.
Tangan Narra terus menggenggam erat tangan mungil Navel, mencari kekuatan dan menghilangkan kebosanan. Pikir Narra, apa tidak ada yang menarik dari dirinya, kah? Sehingga Arga terus-menerus diam seperti ini. Dikira tidak jengah berjalan tanpa bercerita. Ingin rasanya Narra memulai pembicaraan, tetapi di satu sisi juga ia bingung harus mengangkat topik pembicaraan apa. Skripsi, kah? Oh, big no, bisa-bisa Narra menggali kuburannya sendiri. Narra menepis jauh persoalan skripsi itu. Daripada berpusing-pusing, lebih baik ia diam saja seperti ini. Oke. Diam lebih baik daripada membahas persoalan skripsi.
Mama. Navel mendongak untuk melihat Narra.
Iya, Sayang, kenapa?
Navel pingin pipis, Ma. Wajah Navel sedikit meringis.
Pipis? Ya udah, kita cari toilet, ya, bujuk Narra yang sama bingungnya. Narra mendongak ke monitor lift, masih satu lantai lagi ke lantai tujuannya.
Pintu lift terbuka, buru-buru Narra berjalan sambil menggandeng tangan Navel. Beruntung, jarak lift dengan toilet tidak terlalu jauh. Hal itu sedikit mengurangi tingkat kecemasan Narra. Tanpa izin lagi dari Arga, Narra langsung menggiring Navel ke toilet wanita. Toh, juga, Arga udah tahu kalau anaknya itu sudah kebelet pipis.
Udah? tanya Arga datar kepada Narra dan Navel setelah keluar dari toilet wanita.
Udah. Narra mengangguk.
Ayo. Lengan kekar Arga, menarik sebelah tangan mungil Navel yang masih bebas karena lengan satunya lagi masih Narra genggam.
Dan jadilah seperti ini, mereka berjalan mengitari mall dalam posisi saling bergandengan tangan dengan Navel yang berada di tengah-tengah mereka. Sekilas, sih, terlihat layaknya keluarga harmonis bagi orang yang tidak mengetahui kebenaran yang sebenarnya.
Mau makan di mana? tanya Arga, kepalanya menengok ke arah Narra.
Hmm, terserah, jawab Narra pelan sambil melihat wajah Arga sebentar lalu kembali mengalihkan ke arah lain.
Aish, tidak kuat juga kalau lama-lama saling pandang seperti itu dengan Arga, yang ada nanti ia ketahuan kalau dirinya salah tingkah.
Sore, Pak, Bu. Boleh minta waktunya sebentar? sapa sang SPG cantik yang mengenakan kemeja pink serta rok selutut.
Terlihat Arga mengangguk, membolehkan.
Silakan dibaca dulu, Pak. SPG itu memberikan selebaran iklan, dan Arga menerimanya tanpa berniat membacanya seperti yang sudah disuruh oleh SPG tadi.
Narra masih diam, menyaksikan. Bola matanya terus bekerja untuk melihat-lihat sekelilingnya. Narra membaca nama toko yang ia lihat, Rumah Potret. Nara duga, sih, ini sejenis studio foto, terlihat dari nama tokonya. Seorang SPG itu dengan semangatnya menceritakan soal keunggulan dari studio fotonya.
Namun belum sempat Arga berniat untuk pergi, dan menolak tawaran yang baru saja SPG tadi tawarkan. Tiba-tiba anaknya berujar, merengek.
Navel mau Pa, Navel mau foto baleng Mama, teriak Navel dengan hebohnya.
Pa, Navel mau difoto, rengeknya lagi, karena Arga belum mengindahkan keinginannya.
Kalau Navel sudah merengkek seperti ini, ya, sudah mau bagaimana lagi, Arga tidak bisa menolak. Ya udah, Mba, saya ambil paket yang barunya, tukas Arga pada akhirnya.
Wanita SPG itu menggiring Arga beserta Narra dan Navel untuk masuk ke dalam studio foto tempatnya bekerja. Sesampainya didalam, petugas Fotografer segera memberikan beberapa pengarahan gaya.
Gaya pertama, Arga duduk di single sofa cokelat, menyilangkan kaki sambil memangku tubuh Navel, sedangkan Narra duduk di samping bibir sofa sebelah Arga dengan menyilangkan kakinya juga.
Maaf, Bu. Tangannya bisa diletakkan di bahu suaminya? pinta si Mas fotografer.
Demi apa pun, Narra ingin sekali melompat dari tempatnya ketika petugas foto itu mengatakan kalau Arga adalah suaminya. Dengan ragu, Narra mengikuti perintah itu, dan Arga terlihat biasa-biasa saja, akan tetapi ujung bibirnya tertarik keatas, begitu samar. Oke, satu, dua, tiga. Senyum.
Gaya kedua, mas berseragam hitam itu menginstruksikan kepada Arga untuk menggendong Navel, sedangkan Narra menggandeng lengan kekar Arga lalu menyandarkan kepalanya di bahu Arga.
Gaya ketiga, mereka bertiga duduk di karpet beludru abu-abu dengan posisi Navel di tengah lalu Narra dan Arga saling mencium pipi gembul Navel.
Untuk yang terakhir, sekarang gantian untuk semuanya cium pipi bapaknya, saran si Mas pengarah gaya tanpa dosa sedikit pun.
Mendengar hal itu, bola mata Narra juga Arga melotot bersamaan. What. Apa-apaan?
Cium? tanya Narra tidak bisa meyembunyikan raut terkejutnya.
Petugas fotografer itu hanya mengangguk, tidak paham letak kesalahannya dimana.
Gak ada gaya lain? tanya Narra mengalihkan bayangan dari cium itu.
Petugas pengambil gambar itu menggaruk tengkuknya, berpikir. Ada, sih. Mba-nya duduk, terus si dedeknya meluk dari belakang sambil mencium pipi Mba, terus Mas-nya tiduran di pangkuan Mba.
What! Narra terus menggeleng. Demi apa pun, pilihan kedua juga tidak memberikan solusi. Dua-duanya sama saja bikin malu dan tak nyaman.
Gini aja, deh, Mas. Kita bertiga saling bergandengan tangan, anak saya di tengah lalu kita, orang tuanya di sampingnya. Gimana? saran Arga mencari jalan tengah.
Arga sangat tahu kalau Narra pasti tidak setuju dengan usul kedua yang sudah tukang foto itu usulkan, karena Arga sendiri juga kurang nyaman kalau harus bergaya seperti itu. Ya, kalau saja hubungan di antara mereka adalah hubungan spesial, pasti akan mudah untuk dijalankan. Lah, mereka, kan, tidak ada hubungan apa-apa, jadi tidak wajar harus beradegan demikian.
Oke, deh, gak apa-apa. Tapi Mas sama Mba-nya saling pandang, ya, tatap tatapan. Kayak yang sedang jatuh cinta pertama kali berjumpa gitu, Mas.
Haduh, benar-benar, ya, tuh, Mas-mas. Bisa aja buat wajah gue memerah terus-menerus. Sungguh, Narra ingin mengakhiri pemotretan ini. Karena ingin segera selesai, dengan cepat Narra mengikuti instruksinya, hal itu pun diikuti pula oleh Arga.
Oke, pas. Saling pandang.
Narra dan Arga mengikuti perintahnya, dan ketika mata mereka saling bertemu satu sama lain, tanpa sadar kedua-duanya saling hanyut dalam perasaan masing-masing, menyalurkan rasa lewat pandangan mata. Entah perasaan apa itu, yang jelas mereka berdua belum menyadarinya. Namun, satu yang dirasakannya. Nyaman.
Oke, selesai pemotretan hari ini. Terima kasih Mas dan Mba, ucap si tukang foto yang menghentikan pertautan pandangan Arga dan Narra.
***
Selesai menuntaskan tujuan awalnya, yaitu makan malam bersama, mereka memutuskan untuk pulang. Mobil Toyota Alphard hitam Arga membelah jalanan ibu kota. Seperti biasa, dalam perjalanan selalu tetap terasa sunyi, masing-masing saling membisu. Masih saja tidak memiliki topik pembicaraan. Jemari Narra terus memainkan tangan Navel yang sudah terkulai lemas karena sudah terlelap saat berada dalam parkiran mall tadi. Jika saja Navel tidak tidur, mungkin perjalanan pulang ini tidak akan sesepi sekarang.
Butuh waktu setengah jam untuk sampai di rumah Narra, beruntung jalanan malam ini tidak terlalu buruk seperti pagi hari. Sesampai di depan rumah Narra, Arga memutuskan keluar mobil terlebih dahulu. Tubuh tegapnya mengitari mobil Toyota Alphard hitam miliknya, kemudian membuka pintu mobil untuk Narra.
Navel mau dipindahin ke car seat, Pak? tanya Narra setelah Arga berhasil membuka pintu mobil. Arga hanya mengangguk.
Apa nggak sebaiknya Navel nginep saja di rumah saya? saran Narra ragu.
Arga mendelik tajam. Kamu bukan sedang menyuruh saya untuk menginap, kan?
What! Bola mata Narra hampir saja melompat dari tempatnya mendengar dosennya berkata demikian. Demi apa pun, bukan itu maksud dari saran yang diberikannya tadi. Kepala Narra menggeleng. Ngapain juga saya nyuruh Bapak nginep di sini? Ge'er, ledeknya lalu membuang muka ke arah lain.
Ujung bibir Arga tertarik ke atas melihat ekspresi wajah Narra yang sangat begitu lucu. Oh Tuhan, sungguh Arga sangat gemas dengan wanita yang ada di depannya sekarang. Tanpa aba-aba, Arga mengangkat tubuh Navel dari pangkuan gadis yang masih terpaku karena malu. Hal itu sontak membuat Narra sedikit terkejut. Setelah tubuh Navel berhasil berpindah, ia memutuskan untuk keluar dari mobil lalu melihat aksi Arga yang sedang menidurkan Navel ke car seat di jok belakang.
Arga menutup pintu mobil dengan tekanan pelan. Ia memutar tubuhnya untuk bisa berhadapan dengan Narra lagi. Laki-laki itu tersenyum begitu kentara. Terima kasih untuk hari ini, ucapnya.
Mendapat senyuman seperti itu, membuat sekujur tubuh Narra membeku. Narra tertunduk malu sekaligus takut. Takut kalau Arga akan melihat wajahnya yang mungkin sudah bersemu merah. Saya juga mau ngucapin terima kasih atas teraktiran makan malamnya.
Arga tertawa renyah yang sontak membuat Narra mendongak, menatap Arga. Tanpa sadar, Narra pun ikut tersenyum melihat Arga tertawa lepas seperti ini. Laki-laki itu berdeham, seolah-olah ada yang tersangkut di dalam tenggorokannya.
Selamat beristirahat. Tangan Arga menyentuh pucuk kepala Narra lalu sedikit mengacak rambut Narra dengan pelan dan penuh perasaan. Dan itu sukses membuat Narra mematung.
Kalau gitu saya pamit. Assalamualaikum.
Waalaikumsalam, hati-hati, Pak, ucap Narra, masih dalam kondisi berpikir.
Salah gak, sih, kalau gue melting? Benar-benar sulit dipercaya atas tindakan Arga tadi untuknya, sungguh hatinya sangat bahagia hingga sulit ia menjelaskan dengan kata.
***Note: File nya berbentuk PDF ya, jadi harus di download terlebih dahulu ..Buka akses dengan payment 200 kakoin, kamu sudah bisa membaca cerita ini sampai end, dan ekstra part nya juga. Terimakasih, salam sayang Jindajoon 💜
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai
syarat dan persetujuan?
Laporkan