Ex's Invitation — TUJUH

28
3
Deskripsi

setelah baca part 6 gimana tanggapan nya?

Happy Reading,

Jindajoon💜 

—Aqila Pov'

 

Dilema dan bingung menjadi satu kesatuan dalam pikiranku pagi ini, harusnya di hari weekend seperti aku yang seorang karyawan swasta biasa, harusnya merasa tenang dan senang. Bukan merasa bingung seperti sekarang.

Sebenarnya aku sama sekali tidak ingin menginjakkan kakiku dipernikahan Galuh, sama sekali tidak mau!

Tapi aku kembali dilema hanya karena perkataan tak seberapa Zanna dan Zulfa. Ya, kemarin selepas pulang dari kantor, aku menceritakan persoalan undangan Galuh. Dan dengan antusiasnya mereka menyarankan agar aku harus datang. Katanya, aku harus membuat Galuh merasa menyesal telah menyelingkuhiku, juga menyesal telah putus denganku.

Persoalan pamer bahwa aku baik-baik saja dan jauh lebih baik dari calon istrinya pada mantan ku itu, sebenarnya bukan menjadi kebiasaan ku, justru aku tidak ingin seperti itu. Karena menurutku hanya membuang-buang waktu saja dan seperti terlihat belum move on saja jika harus seperti itu.

[Lo harus dateng! Titik! Jangan lemah hanya karena menghindar!]

-Zanna-
 
 

Sudah ratusan chatt dengan isi yang sama yang Zanna kirimkan padaku. Berulang kali pun aku selalu mendesah gelisah.
 

                         [Lo temenin gue, baru gue dateng!]

                                                                        -Aqilla-
 
 

[Udah gue bilang, gue gak bisa, malam ini mau ngedate sama Adit. Kan katanya Daniel mau nemenin Lo?]
 

-Zanna-
 
 

              [Kenyataannya dia gak ada ngabarin gue]
                        [Mungkin dia cuma pura-pura mau                                                                 nemenin gue?]
 

                                                                       -Aqilla-
 
 

[Ya, lo lah yang ngehubungin dia, kan lo yang butuh bantuan dia? Cepetan telpon si Daniel]

--Zanna-
 
 

"Kampret!" Umpatku setelah membaca balasan pesan Zanna.
 


Segera ku lempar ponsel ke atas bantal, sudah tidak ada lagi niatan untuk membalas pesan Zanna. Se'enaknya saja dia menyuruhku untuk menghubungi Daniel lebih dahulu. Sudah cukup waktu dua hari yang lalu meminta dia untuk bertemu di kafe, aku tidak ingin menghubunginya lebih dulu lagi. Aku malu!

Apalagi setelah kejadian mau menabrak pintu kafe, lalu berakhir dengan Daniel yang menuntun ku jalan sampai ke parkiran dengan tanganku yang masih berada dalam genggamannya.

Oh,, sangat memalukan!

Ya, setelah kejadian itu, aku dan Daniel belum bertemu lagi, karena memang tidak ada jadwal pemotretan di kantor.

Bahkan laki-laki itu pun, sama sekali tidak menghubungiku via apapun, setelah hari itu!

Lalu sekarang, Aku harus menghubunginya terlebih dahulu?

Oh,, itu namanya aku yang tidak tahu malu!

Aku kembali merebahkan tubuh diatas kasur, menatap langit-langit kamar dengan pandangan kosong.

Sungguh nikmat sekali merebahkan diri di hari libur seperti ini.

Baru saja mataku hendak terlelap, tiba-tiba aku mendengar ketukan pintu kamar.

"Tumben banget sih ibu ngetuk-ngetuk kamar? Biasanya juga langsung masuk!" Pikirku dalam mata yang masih enggan membuka.

"Papa boleh masuk?" Teriak suara berat dibalik pintu kamar.

Aku yang malas untuk bangun, dengan sigap aku menegakkan punggung, menstabilkan kesadaran dengan 100 persen, setelah mendengar suara yang begitu aku rindukan.

Segera ku menurunkan kaki, kemudian berlari sedikit cepat untuk membuka pintu kamar. Hanya untuk memastikan bahwa aku tidak sedang bermimpi.

"Papa?" Seruku dengan sedikit terkejut, tidak menyangka dengan apa yang sedang aku lihat.

Segera ku berhambur ke dalam pelukannya. Menumpahkan segala kerinduan pada Papa setelah 3 bulan lebih kami tidak saling bertemu .

Aku memeluk Papa dengan sangat kencang seperti orang yang tidak ingin kehilangannya. Terlalu berlebihan sih, tapi tidak apa, karena aku sangat merindukannya!

"Qilla kangen papa,, kangen banyak-banyak!" Sahutku manja masih dalam pelukan Papa.

Tangan kekar Papa, mengelus-elus lembut punggungku, sesekali bergerak mengelus belakang rambut. Membuat aku ingin menangis mendapatkan perlakuan hangat seperti ini.

"Udah gede juga, masih aja manja!" Ejek Papa seraya tertawa kecil atas tingkah lakuku.

"Biarin, Qilla manja nya kan ke Papa? Bukan ke Papa orang!" Aku menatap wajah gagahnya dengan sedikit merajuk.

Papa kembali tertawa atas jawaban nyeleneh ku itu. "Udah saatnya kamu bermanja sama suami kamu, bukan sama Papa lagi." Papa menjawil hidungku dengan gemas.

Mendengar sindirannya membuat aku melepaskan pelukan, lalu sedikit menjauh dari Papa dengan tatapan sebal.

"Aqilla kan belum punya suami, baru punya Papa aja, jadi gak apa-apa dong,, kalo manja nya ke Papa." Aku menjulurkan lidah, kemudian tersenyum menang.

Papa hanya geleng-geleng kepala, seraya mengacak-acak rambutku dengan gemas.

"Kedepan yuk, Ibu kamu udah nunggu mau makan bannang-bannang." Ajak Papa, dan aku hanya mengangguk setuju. Setelah berdecak pelan karena sikap posesif nya Ibu terhadap Bannang-bannang favoritnya itu.

Aku melingkarkan tangan di lengan kekar Papa dengan manja, selama perjalanan menuju ruang keluarga dirumah ini.

Kehadiran Papa membuat ku lupa akan keresahan dan kebimbangan ku untuk menghadiri acara pernikahan Galuh yang diadakan hari ini.

"Lama banget sih, ibu udah gak sabar nih, pengen nyobain bannang-bannang!" Omel Ibu saat kami sudah berada dalam jangkauan pandangan ibu. Aku hanya mencebik gemas, kemudian memberikan senyuman manis ala aku.

Pelukan tanganku dilengan Papa, terpaksa terurai ketika kaki kami sudah berada di sofa ruang keluarga, Aku sengaja memilih duduk berjauhan dari Ibu dan Papa. Memberikan waktu pada Papa untuk duduk berdampingan bersama Ibu.

Yah,, walaupun aku masih rindu dan ingin terus berdekatan dengan Papa, tapi aku sadar, bahwa Papa pasti merindukan sosok wanita terhebat yang sudah mengurusku seorang diri.

"Papa tuh kebiasaan, kalo pulang gak pernah ngabarin. Padahal kan Qilla bisa jemput Papa di bandara." Cecar ku sebal, setelah mulai menikmati Bannang-bannang khas Makassar yang sangat manis itu.

Jujur, aku tidak terlalu menyukai Bannang-bannang, mungkin karena terlalu manis menurut ku. Herannya kenapa Ibu sangat menyukai Bannang-bannang ya?

"Selagi masih ada Taxi yang berkeliaran di Bandara, Papa tidak akan merepotkan kamu, apalagi dihari libur kamu." Sahut Papa dengan tenang.

Aku kembali berdecak sebal dengan pemikiran Papa yang terlalu mementingkan hari liburku itu. Bukan sekali dua kali Papa pulang tanpa di jemput di Bandara seperti sekarang ini, melainkan hampir sering selalu seperti itu. Padahal kan aku juga ingin seperti anak yang lain, yang selalu menjemput Papanya di Bandara selepas pulang bertugas.

Aku hanya mengambil satu roll Bannang-bannang, dan itu pun tidak bisa aku habiskan semuanya. Aku hanya mencicipi nya lalu kembali meletakkan nya, membiarkan Ibu yang menghabiskan nya.

"Kata Ibu, tahun ini kamu mau pergi ke korea lagi, mewakili perusahaan?" Tanya Papa mengganti topik pembicaraan.

Aku mengangguk dengan senyuman lebar menghiasi wajah. "Heumh, kali ini konsep Qilla di terima lagi sama bapak CEO. Rencananya minggu depan berangkat nya, sih." Jelasku dengan sedikit bangga.

"Anak Papa emang hebat! Papa bangga!" Senyuman ceria kembali melebar setelah mendengar pujian dari Papa.

"Papa tau gak, anak kita pergi ke Korea sama siapa?" Tanya ibu, yang jelas-jelas berbau-bau pancingan, membuat ku mendelik kaget dan resah.

Senyum jahil ibu, sudah terukir disudut bibirnya, dan itu membuat perasaan ku sedikit tidak enak.

Alamat ini, pasti akan semakin panjang dan runyam jika Papa tahu dengan siapa aku pergi. Pasalnya Ibu memang sudah tahu persoalan Daniel yang akan menemani ku ke Korea.

"Sama siapa sih Bu?" Sahut Papa menimpali masih dengan tenang, namun tidak merubah raut penasaran nya.

"Sama Daniel!" Ibu berseru begitu heboh.

Aku memejamkan mata, sambil sesekali menelan ludah dengan risau setelah bibir Ibu berhasil mengeluarkan Nama Daniel.

"Daniel siapa?" Papa memicing semakin penasaran, bola matanya bergerak melihat kearah ku dan ibu secara bergantian.

"Temen kantor Pa." Jawabku dengan cepat. "Bukan siapa-siapa nya Aqilla kok!" Tambahku lagi, lebih dulu menjelaskan, agar Papa tidak berpikir macam-macam.

"Lho,, Papakan gak nanya apa-apa, kalau Daniel siapanya kamu?"

Bagaikan tersambar petir setelah mendengar kalimat Papa barusan. Dengan kikuk, aku menggaruk tengkuk kepala. Ishh..

Pandangan Papa semakin memicing, sedangkan Ibu hanya tersenyum puas.

Ck! Sungguh Aku tidak suka disidang seperti ini!

"Ya, maksud Qilla tuh, supaya Papa gak mikir macem-macem gitu." Ucapku sedikit kelabakan membela diri.

"Lebih dari temen kantor juga, kita gak apa-apa ya Pa?" Ucap Ibu mengompori.

"Ibuu..." Desisku panjang, dengan wajah yang sudah memelas.

"Daniel itu anak baik lho Pa, beberapa kali dia kesini, Ibu suka. Kalo Papa ketemu dia, Papa pasti juga suka sama sikap ramahnya." Beritahu Ibu dengan semangat 45.

Disini Ibu sudah seperti sales yang sedang menawarkan produk pada customer nya, melihat ibu yang seperti itu membuat ku hanya bisa menunduk dalam.

Karena bagiku, obrolan mengenai Daniel akan membutuhkan waktu panjang. Dilihat dari ke antusiasan dari dua sejoli ini.

"Daniel itu tampan Pa tapi gemesin, ibu yang udah tua aja, seneng liat wajahnya. Wajahnya tuh, selalu bikin sayany. Apalagi ditambah sikap ramahnya, hmmh, sempurna deh."

"Waah,, Papa semakin penasaran ingin ketemu Daniel."

"Tapi sayang Pa, kayak nya anak kita gak tertarik deh sama laki-laki baik seperti Daniel." Sindir Ibu.

"Kok bisa? Kenapa?"

"Tanya aja sama anak kamu Pa."

Papa menyentuh punggung tangan ku, membuat aku mau tidak mau harus mendongakkan wajah.

"Kenapa? Kamu perlu bantuan Papa untuk mencari tahu, kalau dia adalah laki-laki yang tepat buat kamu? Biar Kamu yakin?" Tanya Papa dengan wajah super serius nya.

Aku menggeleng lemah. "Bukan gitu Pa, dia emang baik, tapi kan Qilla gak tau perasaan dia ke Qilla yang sebenarnya seperti apa?" Jawabku jujur. "Bisa jadi kan, dia cuma menganggap Qilla sebagai teman aja, gak lebih?" Tambahku lagi.

Yah, walaupun dua hari lalu Daniel sempat menyinggung soal pacaran, tapi aku sama sekali tidak menganggap perkataan nya dengan serius.

"Laki-laki itu kalo udah sering ke rumah si wanita, apalagi udah ketemu ibu nya, udah pasti kalau dia itu serius. Punya maksud itu." Ibu menjawab alasanku.

"Ibu lupa dengan mantan-mantan Qilla sebelum nya? Semua mantan Qilla juga datang kesini, ketemu Ibu. Tapi kenyataannya apa? Mereka semua sampah Bu!" Jawabku pelan, sangat pelan, mengungkit kembali kisah masa lalu. Meski didalam hati menahan kekesalan ketika harus mengatakan itu.

Hatiku perih, jika membahas rasa kecewa dan patah hati ku terdahulu. Kepingan-kepingan masa lalu yang tiba-tiba kembali utuh, terputar jelas seperti film. Bayangan kelam dan menyakitkan itu, hadir kembali.

"Ibu gak pernah lupa, siapapun laki-laki yang menyakiti kamu, bukan kamu aja yang tersakiti, tapi ibu jauh lebih merasa sakit. Tapi Ibu gak ingin, melihat kamu terus terperangkap dengan rasa ketidakpercayaan pada laki-laki."

Buliran air mata jatuh begitu saja mendengar perkataan ibu yang sebelumnya belum aku dengar secara langsung seperti ini.

Aku tahu, Ibu mana yang tidak akan sakit hati, bila hati putrinya tersakiti hanya gara-gara laki-laki brengsek.

"Ibu melihat harapan baik ketika pertama kali Daniel kesini, dia dengan rela membantu kamu sampai akhir."

Aku tidak bisa merespon dengan kata-kata, lidahku kelu. Tenggorokan ku seakan tercekat oleh sesuatu.

Bukan hanya ibu yang tersentuh akan sikap baik yang Daniel tunjukkan, aku pun menyadari akan hal itu. Akan tetapi aku terus menepis rasa baper jauh-jauh, karena aku hanya ingin melindungi hatiku dari rasanya patah hati—lagi.

“Maafkan Papa, karena Papa selalu tidak berada disamping kamu, disaat Kamu membutuhkan bantuan dan pelukan.”

Aku kembali mendongakkan wajah, menghapus jejak air mata yang melintasi pipi begitu saja. Sudut bibirku tertarik keatas, menerbitkan sebuah senyuman.

"Udah ah, stop bahas-bahas hal yang ga penting. Harus nya kita happy karena Papa udah pulang." Kataku mengubah topik.

Walaupun aku masih kesal, tapi aku berusaha baik-baik saja, aku tidak ingin berlanjut dalam kekesalan tak beralasan, bukannya hidup terus berjalan kan?

 

                                     🌼🌼🌼

 

Kali ini, aku membantu ibu untuk memasak makan malam keluarga, biasanya aku malas harus berurusan dengan hal yang berbau-bau dapur, aku seperti itu karena aku terlalu sibuk dengan pekerjaan, juga aku sama sekali tidak handal dalam hal masak-memasak.

Aku sendiri heran, kenapa aku tidak jago dalam bidang dapur, padahal ibu sangat jago sekali, apalagi hasil masakan ibu, pasti akan selalu enak.

Yah, pada akhirnya aku memutuskan untuk tidak datang ke acara pernikahan mantan. Biarkan saja aku dicap lemah atau belum menerima kalau mantanku itu menikah. Terserah dengan pemikiran orang-orang—ku tak peduli, yang pasti, alasanku tidak datang, karena aku tidak memiliki teman kondangan.

Lebih mengesalkan jika harus datang seorang diri ke acara pernikahan, apalagi itu pernikahan mantan.

Aku tidak memberi tahu Zanna dan Zulfa lagi kalau aku memutuskan untuk tidak datang, bahkan aku juga tidak mengikuti saran Zanna untuk menghubungi Daniel agar menemani ku ke undangan mantan!

Karena aku masih tahu diri, jika hubungan ku dan Daniel belum sedekat itu.

Aku dan ibu begitu sibuk berperang di dapur, sedangkan Papa? Mungkin Papa sedang berada di teras rumah dengan koran ditangannya.

Yah, meskipun ini sudah berada di era digital, tapi papa tetap melestarikan kebiasaan dulunya, yaitu membaca koran di sore hari. Katanya dengan membaca koran atau buku, membuat daya ingatnya akan terus terjaga, meski usianya terus berlanjut.

"Habis dipotong, jangan lupa sayurnya dicuci ya?" Ibu mengintruksi tanpa repot melihatku yang sudah berkeringat.

"Siap komandan!" Sahutku, sambil memberikan hormat.

"Kamu gak pergi ke nikahannya Galuh?" Kali ini ibu menatapku.

Aku hanya menggendikan bahu dengan acuh. "Males ah, mending disini malam mingguan bareng Papa sama Ibu."

"Ih,, ibu kan belom izinin kamu ikut malam mingguan bareng."

Aku hanya melotot mendengar candaan ibu. "Pliss deh Bu, udah bukan ABG lagi, segala pake malam mingguan." Cibirku.

"Bilang aja iri, gak punya pasangan!" Ledek ibu lagi dengan puasnya.

Yang bisa aku lakukan, hanya mendesah panjang. Tidak teman-temanku tidak juga ibu ku sendiri, kenapa hobinya selalu membully soal kejombloanku, sih?

"Aqilla.." Panggil Papa disela-sela perdebatan kecil ku dengan ibu.

Kepalaku menengok ke arah Papa, dengan badan yang masih fokus menghadap tempat pencuci piring.

"Iya kenapa Pa?" Sahutku, dengan tangan yang masih fokus mencuci sayuran.

"Ada Daniel didepan." Beritahu Papa dengan ujung bibirnya tertarik keatas, menggoda ku.

Bibirku sudah melongo seperti kambing conge saking terkejutnya.

Kok bisa dia disini?

Ngapain?

Aku kan tidak menghubungi dia?

Bermacam pertanyaan berseliweran diotakku atas kehadiran Daniel secara tiba-tiba di sini.

"Gak usah bo'ong deh, emang Papa tau wajahnya Daniel seperti apa?" Kilahku berusaha untuk tidak percaya.

"Papa emang belum tau wajahnya seperti apa. Tapi Papa tau dia itu Daniel, setelah dia ngasih tau."

"Jadi beneran Daniel ada disini?" Tanyaku sedikit tidak percaya, bahkan aku kembali memasang wajah cengo bodohku.

"Ciee yang dijemput pacar ke nikahan mantan." Ejek Ibu yang sudah mulai terdengar.

"Apa sih Bu, jangan gosip!" Bantahku seraya mencuci tangan.

"Ternyata Daniel beneran ganteng ya? Mirip Papa waktu muda." Sahut Papa ikut menimpali.

"Udah Ibu bilang kan? Makanya ibu langsung tertarik pas pertama kali bertemu."

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala dengan pasrah, atas perilaku kekanak-kanakan nya Ibu dan Papa. Bisa-bisanya mereka mengomentari seseorang yang kebetulan sedang berada disini.

Aku yang hendak menemui Daniel di ruang tamu, tiba-tiba ibu kembali mengejek.

"Ciee,, hati-hati jangan gemetaran gitu, jangan gerogi!"

Apa siih?

Aku tidak menimpali, langkah kakiku terus terayun keruang tamu. Tentunya dengan rasa sedikit gugup juga. Senyum ceria kembali ku dapatkan dari laki-laki itu, setelah melihat nya sedang terduduk manis di sofa. Dia sudah mengenakan stelan jas formalnya berwarna hitam dengan kemeja yang senada juga, tak lupa, dengan model curtain hair nya, semakin menambah tingkat ketampanan serta kegagahannya.

Aku menelan ludah dengan susah payah, melihat sosoknya yang begitu tampan. Aku sungguh terpesona tanpa bisa ku cegah.

"Kamu ngapain kesini? Udah rapi lagi?" Tanyaku seraya menelisik penampilan nya dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Kamu kok belom siap?" Bukan jawaban yang aku dapatkan, seperti biasa, dia menjawab pertanyaanku dengan pertanyaan lagi.

"Lah, emangnya kita mau kemana?" Aku sudah mendarat kan bokongku diatas sofa yang tidak diduduki Daniel.

Kami saling bersebelahan, tentunya dengan posisi sofa yang berbeda. Kami duduk sama-sama diujung sofa yang kita duduki.

Daniel menatapku dengan heran setelah aku melayangkan pertanyaan itu.

"Ke nikahan pernikahan Mantan kamu!" Jawabnya, sengaja menekan kan kata Mantan diakhiri kalimat nya.

Aku menatapnya dengan wajah terkejutku, kenapa dia bisa tahu? Padahal aku tidak memberitahu nya?

 

post-image-673ef0655ce4e.jpg

 

                                   🌼🌼🌼
 

- Daniel POV -

Hari libur aku selalu menyempatkan untuk joging pagi-pagi. Yah, meskipun tidak terlalu sering, tapi setidaknya dua minggu sekali aku menjadwalkan nya, itupun jika hari weekend tidak mengambil job wedding.

Aku yang sudah siap mengenakan setelan joging, kaos polo putih serta celana pendek yang lumayan cukup ketat sebatas lutut dengan handuk kecil berwarna putih yang sudah terlampir indah dileherku. Segera ku memutuskan untuk keluar dari apartemen, rencananya sih aku hanya berkeliling sekitaran taman yang dekat Apartemen saja.

Baru saja aku membuka pintu apartemen, sosok mungil yang sudah lama aku tidak melihatnya sedang tersenyum manis kearahku. Dengan pakaian yang sangat rapi dan trendy.

"Tumben ada disini?" Sahutku sedikit aneh dengan kedatangannya tiba-tiba.

Bibirku pun mengukirkan sebuah senyuman kala dia berhambur kedalam pelukanku. Aku pun balas memeluknya, sesekali tanganku menepuk-nepuk pelan punggung kecilnya.

"Aku kangen tau!" Dia mendongakkan wajah, beserta ekspresi cemberut lucunya.

Aku mengangguk, seraya menyempilkan kekehan kecil saat melihatnya merajuk seperti ini. Pelukan kami sudah sepenuhnya terurai, netranya mengamatiku begitu dalam dari ujung rambut hingga ujung kaki.

"Mau joging?" Matanya memicing tidak percaya dengan apa yang dilihat mengenai outfit ku pagi ini.

Aku hanya menaikkan satu alis dengan heran atas pertanyaan nya. "Enggak! mau ke kantor." Dengusku sedikit greget. Dia tertawa kecil mendengar candaanku itu.

"Kamu mau ikut, atau nunggu di dalam aja?" Tanyaku. Karena aku masih tidak tahu apa yang menjadi tujuannya datang ke sini.

"Jogingnya sekitaran sini kan?" Pupil matanya kembali memicing.

"Iya,, sekitaran taman aja, capek kalo jauh-jauh."

"Yaudah deh, Naila ikut." Ia tersenyum, lalu menggamit lenganku.

Tanpa menunggu lama lagi, kami pun segera turun ke lantai bawah. Mulai mengeksekusi rencana joging pagi.

"Kamu yakin, mau joging pake dress gini?" Aku menatapnya dengan tatapan ragu.

"Enggaklah, Naila nunggu di kursi taman aja, tuh deket yang jualan." Dia menunjuk pada stand penjualan makanan yang hanya ada setiap pagi dihari libur saja.

Aku mencebik, tertawa kecil dengan jawaban nya. Harusnya aku tidak merasa heran lagi, karena tidak mungkin seorang Naila Meisie Cavan akan pergi joging, dan aku sangat mengenal dia.

"Yaudah tunggu disini, Mas gak lama kok jogingnya, paling 15 menitan." Ucapku setelah kami berada di kursi taman.

Dia mengangguk mantap, lalu mengulurkan tangannya, menengadah. "Minta uang, buat jajan." Cengirnya.

"Gak liat, Mas gak ada kantong?" Aku meraba tubuhku sendiri, memberitahunya bahwa aku tidak membawa uang sama sekali.

"Hp aja Mas gak bawa."

Dia berdecak sebal dengan wajahnya yang sudah cemberut. Aku sendiri heran, kapan dia akan mulai dewasa nya? Padahal usianya sudah menginjak di angka 20 tahun.

"Yaudah, pake uang Kamu dulu. Nanti Mas ganti." Seruku memberi solusi.

Dan tanpa penolakan, dia tersenyum senang. Yang bisa aku lakukan hanya geleng-geleng kepala atas sikapnya yang selalu kekanak-kanakan itu.

Setelah berdiskusi cukup panjang, aku mulai berlari kecil mengelilingi taman Apartemen tempat tinggalku. Bukan hanya aku saja yang berolahraga seorang diri, tapi banyak juga orang-orang yang sedang melakukan hal yang sama. Kebanyakan semuanya hanya berjalan sambil mengobrol santai bersama pasangan nya.

Sesuai janji, karena sudah 15 menit aku berlari, aku memutuskan untuk menghampiri Naila, yang kini masih setia menunggu duduk disana.

Aku berseru takjub setelah melihat banyak bungkus makanan diatas meja. "Kamu laper?" Seruku setelah berhasil duduk disampingnya.

"Mau.." Dia menyodorkan sosis bakarnya yang tinggal seperempat lagi.

Aku menggeleng, menolak tawarannya. Aku hanya mengambil botol minuman lalu menenggaknya hingga menyisakan sekitaran 150 ml lagi.

"Kamu gak mungkin kan ke sini, cuma karena kangen sama Mas aja?" Tanyaku membuka obrolan, setelah degup jantungku sudah mulai kembali normal lagi, efek dari berlari.

"Kenapa? Ada pesan dari Mama atau Papa?" Tebakku yang sudah tahu maksud dari kedatangannya ke sini.

"Mas disuruh pulang besok, katanya ada acara keluarga." Beritahunya.

Aku menarik nafas lalu mengeluarkan nya secara perlahan, jika sudah mendapatkan perintah untuk pulang. Bagiku, kata pulang adalah kata yang paling berat untuk aku jalani. Aku selalu merasa tidak tenang jika sudah berada dirumah. Kupingku selalu panas jika sudah mendengar Papa yang selalu menyuruh ku untuk melanjutkan mengelola perusahaan.

Apalagi Mama, setiap aku pulang, Mama selalu melontarkan pertanyaan yang sama terus-menerus soal 'kapan nikah?'

"Besok Mas sibuk!" Jawabku dengan berbohong.

"Mas,, kalo Mas gak pulang besok, nanti Naila yang kena imbasnya." Naila memberengut sebal.

"Sekali aja, buat misi Naila berhasil." Mohonnya yang sudah memasang wajah sendu, seraya menangkupkan tangannya didepan wajah.

"Liat besok aja. Tapi Mas gak janji."

Dia tersenyum puas, seakan-akan aku sudah memberikan jawaban yang dia harapkan. Walaupun kenyataannya aku masih ditahap ragu.

Naila Meisie Cavan adalah adik kandung ku satu-satunya, selisih usia kami cukup jauh, 10 tahun. Tapi tidak membuat kami saling menjauh, ya walaupun aku memutuskan tinggal seorang diri di Apartemen, tapi kami sering bertemu diluar hanya untuk sekedar bermain saja.

 

                                 🌼🌼🌼

 

Naila tidak ikut masuk ke Apartemen, gadis kecil itu memilih untuk bertemu dengan temannya setelah selesai menyampaikan pesan dari Mama. Aku pun tidak memaksa dia untuk tinggal lebih lama, karena aku tidak ingin dicap sebagai Kakak yang posesif ataupun otoriter.

Sesampainya di Apartemen, segera ku membersihkan diri dari keringat yang sudah mengering dengan sendirinya akibat mengobrol terlalu lama di taman bersama Naila tadi.

Sebuah kenikmatan yang sederhana hanya karena mendapat kan guyuran dingin setelah melakukan aktivitas lari di pagi hari.

Tidak membutuhkan waktu lama dalam membersihkan tubuhku, hanya membutuhkan waktu kurang lebih 15 menit saja didalam kamar mandi.

Sebelum memutuskan untuk membuat sarapan, aku mengecek keadaan ponsel, siapa tahu ada notifikasi masuk dari seseorang, terkhusus notifikasi dari Aqilla.

Lagi-lagi aku mendesah kecewa, dari sekian banyak notifikasi, hanya grup WhatsApp saja yang mendominasi. Justru orang yang aku harapkan sama sekali tidak menampakkan namanya.

Alunan musik Pop berjudul 'Cinta kan membawamu kembali' dari Band Dewa 19 mengalun merdu menemani ku dalam memasak sarapan pagi. Pagi hari ini aku membuat menu omlet, sambil menunggu nasi matang di rice cooker.

Suara khas Ari Lasso, berhasil membuat bibirku sesekali bergerak ikut bernyanyi mengikuti lagu yang sedang ku play di aplikasi Spotify.

Setelah Nasi matang, dan omlet pun siap untuk disantap tanpa menunggu lama lagi, segera ku menuntaskan sarapan pagi yang sudah tidak pagi lagi.

Musik yang sebelumnya aku putar, tiba-tiba berhenti karena ada panggilan masuk dari seseorang. Dahiku mengernyit setelah melihat nama yang tertera dilayar ponsel.

"Zanna?" Ucapku sedikit heran.

Tidak biasanya dia menelepon ku, ah bukan, maksud ku ini adalah kali pertama Zanna menelpon ku dihari libur. Makanya aku sedikit heran dan terkejut.

"Hallo Zan?" Sapaku, menghentikan aktivitas sarapan yang baru saja dimulai.

"Iya hallo Niel,, sori nih, ganggu siang-siang." Terdengar nada suara sungkan di seberang sana.

"Gak apa-apa, santai.. kenapa, ada apa?"

"Aqilla, ada ngehubungi kamu gak?" Tanyanya tiba-tiba, membuat ku kembali mengernyit heran.

"Enggak ada, kenapa sih? Gak terjadi sesuatu sama Aqilla kan? Dia baik-baik aja kan?" Sederet pertanyaan kekhawatiran ku, aku layang kan pada Zanna.

Terdengar tawa yang cukup nyaring diseberang sana, membuat ku bingung. "Tenang cuy, selow. Qilla baik-baik aja kok." Jawabnya masih dengan tawa kecilnya.

Tanpa sadar aku mendesah lega, entah sejak kapan aku menahan nafas.

"Syukur deh, saya kira terjadi apa-apa sama dia."

Zanna berdehem, aku kembali mendapatkan nada yang sungkan dari nya.

"Ada sesuatu yang mau kamu sampaikan ke saya?" Tanyaku, membuka jalan agar dia merasa nyaman, untuk menyampaikan niatannya meneleponku.

"Iya,, ini persoalan Aqilla." Cicitnya pelan. "Maaf banget, kalo kesannya aku ikut campur soal hubungan kamu dan Aqilla." Tambahnya lagi.

"Gak apa-apa, justru saya yang berterima kasih, kamu sudah mau menjembatani saya dan Aqilla." Sahutku tenang. "Jadi,, tentang apa kali ini?"

"Kamu,, tau kalau mantan Aqilla hari ini nikah?"

"Tau sih, tapi gak tau, kalau hari ini acaranya. Karena Aqilla sendiri gak ngasih tau ke Saya." Baritahuku dengan jujur.

"Hmmmh,, gitu yaa. Udah aku tebak sih, pasti tuh anak gak akan ngehubungi kamu, padahal udah aku suruh buat telepon kamu, buat nemenin nya ke undangan."

"Saya juga, udah dari jauh-jauh hari, menawarkan diri buat nemenin dia ke acara nikahan mantannya itu. Tapi sama sekali gak di gubris." Ringisku sangat menyedihkan atas diriku sendiri.

"Yah,, kamu tau sendiri lah, gengsi nya tuh gede banget. Pertimbangan nya juga banyak."

Aku mengangguk setuju, atas perkataan Zanna itu. "Terus, tujuan kamu telepon saya apa nih?"

“Kamu bisa temenin Aqilla ke undangan mantannya itu? Katanya dia mau dateng kalo ada temennya. Nah berhubung kali ini aku udah ada janji sama pacar, jadi aku gak bisa temenin dia?”

"Memang nya kalau saya tiba-tiba datang, tanpa dia minta. Dia gak akan marah?" Tanyaku sedikit takut dan bingung.

Jujur, aku sangat ingin menemani nya kesana. Tapi aku juga menghargai keputusan nya yang tidak memintaku untuk menemani nya.

"Enggak akan, pasti dia seneng!" Jawabnya sangat percaya diri. Membuat tingkat keberanian ku menambah 50 persen.

"Itu jawaban Aqilla apa jawaban kamu Zan?" Sindirku, yang hanya dihadiahi kekehan kecil darinya.

"Aku sih! Haha.. tapi aku mewakili Aqilla. Udah ah, pokonya kamu harus ke rumah Aqilla, jemput dia. kalo perlu paksa aja, kalo dia nolak."

"Oke deh!" Sahutku mengakhiri obrolan panjang hari ini.

Meski sedikit bimbang, tapi aku sudah bertekad untuk menjemput nya. Sudah menjadi kebiasaan jika aku memaksa nya jika dia menolak.

 

                                  🌼🌼🌼

 

Aku yang hendak menancap gas mobil, ponselku kembali berdering. Kali ini adalah panggilan masuk dari sahabat ku Ravi.

"Yo! Kenapa?" Tanyaku tanpa berbasa-basi lagi.

"Badminton yuk sekarang. Cuaca sore seger buat main badminton!" Ajaknya penuh semangat.

"Gak bisa, sekarang gue mau ke kondangan." Tolakku dengan cepat.

"Emangnya siapa yang nikah? Kok gue gak dapet undangan?"

"Yang nikah sekarang, bukan orang yang Lo kenal." Sahutku sedikit gemas.

"Memangnya sejak kapan, orang yang Lo kenal, gak gue kenal?"

Aku menyunggingkan sebuah senyuman mendengar perkataan polosnya itu.

Apa yang dikatakan Ravi memang sepenuhnya benar. Siapapun orang baru yang kami temui atau kami berkenalan dengan orang baru diantara kami, pasti kami seling menceritakan atau mengenalkan satu sama lain. Saking sudah dekatnya hubungan pertemanan kami.

Tapi, aku belum memperkenalkan sosok Aqilla pada Ravi!

"Gue sendiri gak kenal, sama yang nikah sekarang!" Jawabku semakin membuat nya bingung.

"Lah, gimana sih. Lo masih waras kan Niel?"

"Waras lah, sejak kapan gue gila!" Dengusku berdecak sebal. "Udah ah, nanti gue kasih tau, kalo ketemu!" Putusku mengakhiri panggilan.

Jika harus menjelaskan dengan rinci padanya, itu hanya akan membuat ku semakin lama lagi ke rumah Aqilla. Apalagi langit sudah mulai menampakkan senjanya.

 

                                 🌼🌼🌼

 

Keraguan kembali menyerang ketika mobil ku sudah terpakir di depan gerbang rumah Aqilla. Pupil mataku menyipit, melihat sosok gagah yang belum pernah aku lihat dirumah Aqilla.

Aku berjalan dengan detak jantung yang cukup cepat dari biasanya. Senyum mengembang sudah terpasang otomatis dibibir kala langkah kakiku sudah berada didepan teras rumah Aqilla.

"Sore Om.." Sapaku, yang sangat tidak tahu dirinya aku memanggil nya om.

Padahal aku sendiri tidak tahu laki-laki yang sedang duduk sambil membaca koran itu siapa?

Laki-laki berperawakan gagah itu, menghentikan aktivitas membaca nya, lalu melipat koran yang berada dalam genggmannya. Matanya menatapku dengan tatapan bertanya.

"Sore.. siapa ya?" Tanyanya ramah, meskipun berperawakan gagah, tapi beliau sangat santun.

"Saya Daniel Om.." Ucapku memperkenalkan diri.

Ada binar keterkejutan dimatanya ketika aku menyebutkan nama. Melihatnya seperti itu membuat dahiku mengerut bingung.

Apakah laki-laki didepan ku mengenalku?

"Oh,, ini toh yang namanya Daniel. Salam kenal, Saya Bima Papanya Aqilla." Beritahunya yang sukses membuatku melongo takjub.

Aku menelan ludah susah payah, pasalnya aku belum mempersiapkan diri untuk bertemu dengan Papanya Aqilla. Bagaimana bisa hari ini aku bertemu dengan laki-laki yang menjadi cinta pertamanya Aqilla?

Sungguh aku tidak memiliki persiapan apapun! Bahkan aku sendiri belum mencari tahu soal pekerjaan Papanya Aqilla, atau apapun itu. Aku sama sekali tidak mengetahui apa-apa.

Aku menggaruk tengkuk, memasang senyuman ramah yang menjadi andalanku.

"Oh iya,, halo om, salam kenal juga. Maaf, saya gak tau kalo om itu Papa nya Aqilla." Aku membungkukkan setengah badan sebagai bentuk sopan.

Beliau pun berdiri, lalu menepuk pelan bahuku, sambil memberikan seulas senyuman. "Gak apa-apa, wajar. Soalnya Om juga jarang di rumah." Katanya. Aku masih tersenyum canggung sekaligus bingung harus bereaksi apa.

"Kesini pasti mau ketemu Aqilla ya?" Tebaknya, sembil mengerlingkan matanya menggodaku.

Lagi-lagi aku tertawa malu, mendapati nya menggodaku. "Iya,, Om, mau jemput Aqilla." Sahutku hati-hati.

"Oh gitu,, yaudah yuk, masuk dulu, Aqilla lagi di dapur sama Ibunya." Ajaknya, seraya berjalan lebih dulu. Aku pun balas mengikutinya dibelakang.

"Duduk dulu, santai! gak usah merasa canggung sama Om." Katanya sambil mempersilahkan ku untuk duduk.

Tidak lama, laki-laki yang bertubuh tegap itu melenggang pergi kedalam. Mungkin sedang mencari Aqilla, memberitahunya prihal kedatanganku.

Aku kembali mengedarkan pandangan kesetiap penjuru rumah Aqilla, sambil menunggu kehadiran wanita itu. Ini adalah kali keduaku masuk ke rumah Aqilla, walaupun aku udah sering berkunjung ke sini, tapi kunjungan ku hanya sampai di teras rumah saja.

"Kamu ngapain kesini? Udah rapi lagi?" Pertanyaan pertama yang keluar dari bibir mungil Aqilla setelah melihat kehadiran ku.

"Kamu kok belom siap?" Aku mengabaikan pertanyaan nya.

"Lah, memangnya kita mau kemana?" Tanya nya lagi, dengan raut kebingungan diwajah, membuatku heran sendiri.

"Ke nikahan pernikahan Mantan kamu!" Kataku, sengaja menegaskan kata mantan. Agar dia segera mengerti maksud dari kedatangan ku sekarang.

"Cepetan siap-siap. Keburu malem!" Perintahku seenaknya, tanpa menyadari bahwa aku masih bukan siapa-siapa nya.

"Oke! Tapi tunggu dulu, kok kamu tau sih, hari ini nikahan nya Galuh?" Tanyanya lagi, mengehentikan nya yang hendak berdiri.

"Nanti aku ceritakan detail nya pas dijalan." Pungkas ku, yang berhasil membuat nya nurut.

Aqilla kembali meninggalkan ku seorang diri disini, lalu tidak lama digantikan dengan kehadiran Papa dan Ibunya.

Om Bima duduk di tempat yang sebelumnya Aqilla duduki, sedangkan tante Mulya meletakkan satu cangkir teh hangat diatas meja, lalu menyodorkan nya untuk ku.

"Sambil menunggu Aqilla bersiap, diminum dulu teh hangatnya." Ucap ramah Tante Mulya seperti biasa.

Aku mengangguk, seraya menampilkan senyuman. "Makasih tant, padahal gak perlu repot-repot." Sahut ku.

"Gak repot kok. Tante gak mau kamu jenuh karena harus nunggu Aqilla bersiap. Asalkan Nak Daniel tau aja, Aqilla kalo bersiap itu, lama nya pake banget." Tante Mulya meringis khawatir.

"Gak apa-apa tant, wanita kan emang persiapan nya lama, udah kodrat nya. Jadi udah gak aneh lagi."

Tante Mulya mengangguk. "Yaudah kalo gitu, Tante tinggal dulu ya. Biar Om yang nemenin kamu disini." Katanya lagi, lalu melenggang pergi.

Selepas kepergian Tante Mulya, keadaan diruang tamu cukup hening. Aku kebingungan harus membahas topik pembicaraan apa dengan Papanya Aqilla?

"Diminum dulu ya om.." Pintaku pada Om Bima.

"Iya, silahkan silahkan!"

Dengan hati-hati aku menyeruput teh hangat buatan Tante Mulya, dengan otak yang terus bekerja keras mencari topik pembahasan, agar rasa canggung ini lekas mengudara.

"Kamu sudah lama kenal Aqilla?" Pertanyaan pertama keluar dari mulut Om Bima setelah aku berhasil meletakkan kembali cangkir teh pada tatakan piring.

"Belum lama sih Om, sekitaran dua atau tiga mingguan."

Kulihat Om Bima hanya menganggukkan kepalanya. "Aqilla itu anaknya ramah kalau sudah saling mengenal. Tapi untuk mendekatinya sangat sulit, apalagi sama laki-laki yang baru ditemuinya." Beritahunya. Membuat ku mendengarkan nya dengan serius.

"Katanya, kamu yang akan menemani Aqilla ke Korea ya? Perjalanan bisnis nya?"

"Ah,, iya Om. Kebetulan selain saya kenal sama CEO peruahaan nya Aqilla, saya juga kenal sama CEO yang akan menjadi partner perusahaan Aqilla di Korea nanti."

"Om titip Aqilla selama di Korea ya. Tolong jaga dia. Dibalik sikap mandirinya, dia juga seorang wanita yang lemah."

Aku mengangguk mantap, menerima titah dari Om Bima, tanpa di minta pun aku pasti akan menjaganya.

"Pasti Om!" Dua kata yang aku ucapkan dengan mantap. Dan aku sudah berjanji pada diriku sendiri.

Lagi, Om Bima mengangguk lalu tersenyum hangat. "Om boleh tanya sesuatu?" Tanyanya, membuat aku sedikit merasa takut akan pertanyaannya.

"Silahkan Om. Kalo pertanyaan nya bisa saya jawab, maka saya akan menjawabnya."

"Kamu. Menyukai anak Om?"

Satu kalimat yang sukses membuat ku terdiam membisu, bahkan untuk mengedipkan mata saja, rasanya sulit sekali.

Apakah reaksiku terlalu berlebihan, hingga Papanya Aqilla bisa menebak gelagatku?

"Kalo memang kamu menyukai Aqilla, hanya satu yang Om minta dari kamu. Tolong cintai Aqilla sampai akhir. Jangan hanya sebatas rasa penasaran saja, lalu menghilang meninggalkan luka!"

Aku membasahi bibir yang tiba-tiba terasa kering, hatiku tiba-tiba menceleos perih mendengar permintaan tulus dari seorang Ayah.

Entah rasa sakit seperti apa yang sudah Aqilla tanggung dari para laki-laki yang mengkhianati nya, sampai menorehkan luka dan kekhawatiran berlebih dari sosok sang Ayah.

Aku menatap dalam manik mata Om Bima. "Terlepas dari cara kerja Takdir, saya akan pastikan untuk terus berada disisinya. Saya akan terus berusaha untuk tidak menyakiti Aqilla, Om" Aku berucap dengan segenap keseriusan.

Entah ada keberanian apa, hingga aku berucap demikian. Perkataan itu tidak hanya keluar dari mulut ku saja, tapi aku berjanji pada diriku sendiri, serta akan mempertanggung jawabkan apa yang sudah aku ikrarkan.

"Karena saya, terlalu mencintai anak Om"

 

                                     🌼🌼🌼

 

- Aqilla POV -

 

Sudah berapa pasang baju aku keluarkan dari dalam lemari, lalu aku letakkan diatas kasur. Hingga membuat keberadaan kasurku tidak terlihat lagi permukaannya akibat tumpukan gaun-gaun.

Aku sendiri bingung harus mengenakan baju yang mana? Karena aku sama sekali tidak ada persiapan sebelumnya. Memang awalnya kan aku sudah tidak berniat untuk pergi ke acara pernikahan Galuh. Tapi kenapa tiba-tiba Daniel datang, lalu mengajak ku untuk pergi?

Argh!

Bahkan aku sendiri tidak tahu, kenapa bisa dia tahu mengenai kapan acara pernikahan nya Galuh? Sedangkan aku sama sekali belum memberitahunya.

Laki-laki itu memang sulit untuk ditebak jalan pikirannya!

Aku yang masih termenung didepan lemari yang sudah terbuka, pupil mataku menangkap satu dress gaun berwarna hitam elegan, yang sudah sangat lama aku tidak mengenakan nya, bahkan untuk sekadar mengingat kapan aku membeli gaun itu pun, aku sudah lupa, saking sudah lamanya.

Tanganku segera mengambil hanger yang menggantung baju tersebut. Mataku terus menelisik, sekaligus menimbang dengan serius.

Jika aku mengenakan gaun ini, itu berarti aku dan Daniel mengenakan warna yang sama, matching sih dengan jas yang di kenakan Daniel. Tapi lagi-lagi aku ragu, masa kita hitam-hitam, orang-orang tidak akan menyangka kita sedang berduka cita kan?

Namun, sisi otak jahatku kembali meronta. Akan tujuan awalku yang sebelumnya pernah terbesit dipikiran, jika aku mengenakan gaun ini, plus senada juga dengan Daniel, bukannya bagus ya, dan semakin terlihat serasi dan elegan. Jadi aku bisa memberikan sikap intimidasi pada kedua mempelai nanti saat memberikan ucapan selamat diatas panggung pelaminan.

Yah! Jika aku dan Daniel mengenakan pakaian yang selaras dan matching, mungkin semua orang termasuk Galuh akan berpikiran bahwa aku dan Daniel adalah pasangan!

Ok!

Senyum devilku mencuat kepermukaan. Untuk malam ini, aku mengabaikan prinsipku yang tidak ingin memanfaatkan laki-laki.

"Maaf,, untuk malam ini saja. Tuhan,, jangan hukum aku karena sifat jahatku pada Daniel!"

 

                                     🌼🌼🌼

 

Semua mata menatap ku dengan pandangan sedikit melongo, ketika aku berdiri tepat dihadapan orang-orang rumah termasuk Daniel.

Laki-laki itu sama sekali tidak berkedip saat aku menampakkan diri dengan penampilan yang sudah siap untuk pergi.

Melihat reaksi semua orang sama, membuat ku dilanda bingung. Jangan bilang aku tidak cocok mengenakan dress ini?

"Kenapa? Qilla salah kostum ya Bu?" Tanyaku sudah meringis, menatap wajah Ibu.

Ibu menggeleng, masih dengan ekspresi melongo nya. “Cantik. Matching sama Jas yang di kenakan Nak Daniel. Elegan.” Sahut ibu, melirik Aku dan Daniel secara bergantian.

Aku tersenyum masam, mendengar jawaban ibu. Walaupun tujuan ku ingin dianggap pasangan dengan Daniel oleh orang lain, tapi kenapa aku jadi merasa terbebani setelah mendengar jawaban ibu, ya?

"Yaudah berangkat gih. Takut keburu makin malem. Nanti yang ada acaranya udahan, pas kalian sampe!" Seru Papa, mengingatkan.

Aku pun mengikuti saran yang Papa berikan. Lalu mengulurkan tangan untuk berpamitan pada Ibu dan Papa.

"Aqilla berangkat dulu!" Pamitku, diikuti Daniel.

"Jangan ngebut-ngebut dijalan nya." Ibu memperingatkan ketika kami sudah berada diambang pintu.

Mobil Daniel terparkir diluar gerbang, membuat aku berjalan sedikit jauh dengan hills tujuh centi yang ku kenakan.

"Kenapa pake gaun yang terbuka sih?" Seru Daniel disampingku.

Aku menatapnya dengan tatapan heran. "Kenapa? Ini gak terlalu terbuka kok. Gaun nya masih panjang melewati lutut." Bantahku sedikit sengit.

"Gak terbuka gimana, leher sama bahu kamu terbuka bebas gitu." Dia masih ngotot, bahkan raut kekesalan diwajahnya sudah mencuat kepermukaan.

"Ini masih dibatas normal!" Aku segera memperlebar langkah kaki ku, agar segera sampai ke mobil Daniel.

Heran! Padahal dia Fotografer, sering memotret model yang jauh lebih sexy dalam berpakaiannya. Kenapa bilang gaun ku terbuka? Yang jelas-jelas masih dibatas normal!

Aku duduk dikursi penumpang dengan wajah sedikit tertekuk karena perdebatan kecil tadi. Disini bukan hanya aku saja yang memasang wajah marah, begitu pun dengan laki-laki yang duduk disampingku. Dia sama sekali tidak membuka suaranya.

Baguslah, justru aku suka tidak terlibat pembicaraan dengan dia selama perjalanan.

Butuh waktu 25 menit untuk sampai di gedung hotel tempat acara pernikahan Galuh diadakan.

Aku bergegas turun dari mobil, ketika Daniel sudah memarkirkan mobilnya. Laki-laki itu pun, mengikuti, lalu berjalan mengitari mobil, mendekat kearahku.

Aku yang melihat dia masih memasang wajah dinginnya, hanya mendesah sebal.

"Kalo kamu gak niat nemenin saya, yaudah gak usah ikut turun." Kataku membuka suara setelah cukup lama saling terdiam.

Tidak ada balasan apapun darinya, hanya tangannya yang terulur, meraih tanganku, lalu digenggamnya. Kemudian dia berjalan tiba-tiba, membuat aku mengikutinya.

Aku terus meliriknya dalam diam, sebelah tangannya yang tidak menggenggam tanganku, ia masukkan kedalam saku celananya.

Sesampainya di depan pintu ballroom hotel, tanganku yang semula ia genggam. Kini ia pindahkan ke lengannya, hingga membuat tanganku melingkari lengannya.

Aku menatapnya dengan tatapan bertanya, sekaligus menolak secara bersamaan.

"Biar seperti pasangan pada umumnya." Beritahu nya seakan tahu atas reaksi penolakanku.

Setelah mengisi form kedatangan sebagai tamu undangan, kami melanjutkan langkah selanjutnya. Yaitu menemui kedua mempelai yang sudah siap berdiri disinggah sana. Untuk menerima ucapan selamat dari para tamu undangan.

Detak jantungku berdegup dengan hebatnya, entah karena efek akan bertemu dengan mantan sialan itu, atau karena seseorang disampingku yang sedang aku gandeng ini. Aku sama sekali tidak tahu penyebabnya apa.

"Gak usah tegang, dia cuma mantan kamu!" Ucapnya membuat ku berhasil menatapnya.

"Apa sih! Siapa yang tegang."

Dia tersenyum mengejek. "Kalo gak tegang, gak mungkin dua tangan kamu sampe mencengkeram erat lengan aku."

Sontak membuat ku segera melepaskan tangan dari lengan kekarnya. Namun itu tidak berlangsung lama, dengan posesif nya Daniel menempatkan tanganku lagi ditempat semula. Aku kembali menggandeng lengannya. Tentunya setelah aku memukul pelan lengannya itu.

Tiba saatnya aku berhadapan langsung dengan mantan terkutuk itu, mata kami bertemu, setelah lama tidak saling bertemu setelah kejadian putus malam itu.

Aliran darahku naik ke atas ubun-ubun, saking murkanya melihat wajahnya kembali. Ingin rasanya aku menampar wajahnya yang terlihat berseri-seri itu, sungguh aku tidak ingin menyentuh tangannya.

"Selamat ya!" Kataku singkat dan dingin. Tanpa ada embel-embel doa setelah ucapan selamat.

Aku menatap sinis kedua pasangan yang sudah resmi berstatus suami-istri itu. Rupanya dia menikah bukan dengan wanita yang menjadi selingkuhannya ketika sedang bersama ku dulu. Wanita yang berdiri disamping nya, sama sekali tidak aku kenali. Namun tetap saja, kena imbasnya, dengan tatapan sinis ku.

"Aqilla,, makasih ya, udah menyempatkan hadir." Sahutnya ramah seperti dahulu.

Cih!! Dasar laki-laki yang tidak tahu diri.

Daniel menggenggam tanganku dengan erat, jari-jemari kami saling terpaut. Membuat amarah ku, sedikit mereda hanya karena genggamannya.

Aku tersenyum sarkas. "Semoga kamu setia dengan pasangan kamu yang sekarang!"

Wanita yang sedari tadi menggandeng lengan Galuh, menatap bingung kearahku setelah aku mengatakan demikian.

Senyuman bersalah diwajah Galuh, terbit dipermukaan wajahnya, laki-laki itu sedikit menunduk.

"Aku minta maaf, karena sebelumnya sudah menyakiti kamu." Katanya pelan.

Dasar pembohong ulung! Bukannya aku tersentuh dengan kata maafnya, justru aku semakin mencebik kesal!

"Gak perlu Mas. Justru perilaku Mas dulu, telah membuka jalan untuk kami, bisa bersama!"

Itu adalah perkataan Daniel setelah cukup lama hanya menyaksikan perang kecil antara aku dan Galuh!

Aku menatapnya dengan sedikit terkejut. Laki-laki disampingku hanya memberikan seulas senyuman yang begitu manis, membuat siapapun yang melihatnya pasti akan dibuat jatuh cinta karena senyuman nya itu.

"Terimakasih karena sudah melepaskan wanita sehebat Aqilla untuk saya." Tambahnya lagi dengan wajah seriusnya.

Kalimat itu bukan kali pertama aku dengar dari Daniel. Dulu, pada Ansel pun ia juga mengatakannya dengan sama. Namun anehnya, kenapa sekarang ada gelenyar aneh didalam hati kecilku, saat mendengarnya berkata demikian.

"Mas Daniel. Mau di foto gak bareng mempelai?" Seru petugas fotografer yang sudah siap dengan kameranya.

Alisku saling terpaut dengan panggilan tiba-tiba dari fotografer itu pada Daniel?

Apa sesama fotografer sudah saling kenal? Makanya fotografer itu mengenal Daniel?

"Boleh. Foto yang bagus ya, Yan!." Sahut Daniel dengan akrabnya.

Daniel segera menyuruh ku berdiri disamping mempelai wanita, kemudian dia pun berdiri disampingku, dengan tangannya yang sudah melingkar di pinggangku, membuat tubuhku menegang karena perlakuannya.

Setelah sesi foto selesai, dan sesi memberi selamat pada kedua mempelai serta para orang tua mempelai selesai. Aku dan Daniel turun dari panggung pelaminan. Tentunya dengan Daniel yang membantu ku turun dengan hati-hati.

Daniel menghampiri fotografer tersebut, hanya untuk memberi salam ala laki-laki, lalu kemudian dia kembali lagi padaku.

"Mau cari makan dulu?" Tanyanya setelah berdiri tepat di sampingku.

"Kamu kenal sama fotografer itu?" Tanyaku mengabaikan pertanyaannya.

Dahinya saling terpaut, menatap heran wajahku. "Kamu gak kenal Piyan?" Tanyanya membuat ku semakin bingung.

Pasalnya aku sama sekali tidak merasa bertemu dengan fotografer itu. Aku menggeleng samar. "Saya ngerasa belum ketemu dia deh."

"Astaga, padahal aku pernah bawa Piyan ke kantor kamu, membantu aku motret."

"Masa sih? Mungkin saya gak ngeuh kali." Sahutku tidak perlu ambil ribet.

"Makanya jangan aku terus yang kamu perhatiin. Tapi team aku juga dong." Ejeknya membuat ku melongo sambil berdecih sebal.

"Pede! Siapa juga yang merhatiin kamu." Aku melenggang pergi menuju stand minuman dan makanan.

Namun pada saat aku hendak meminum minuman pilihan ku, tiba-tiba saja sebuah Jas tersampir dibahuku. Hingga membuat tubuhku terbungkus oleh Jasnya.

Aku menengok pada seseorang yang sudah melakukan hal itu untuk ku. Mataku mendapati Daniel yang memasang wajah biasa saja.

"Suhu AC di sini dingin. Udah aku bilang, jangan pake baju yang terbuka." Katanya, memberikan alasan atas sikapnya yang tiba-tiba melampirkan Jasnya di bahuku.

"Aku juga gak mau, mata lelaki disini, menikmati leher jenjang kamu, dan bahu kamu dengan bebas." Tambahnya lagi membuat aku semakin tercekat, melihat wajahnya yang sangat serius mengatakan hal itu.

Jika saja aku tidak memakai blush-on, mungkin aku akan ketahuan jika aku sekarang sedang melting mendapatkan perlakuan hangatnya.

 

                                     🌼🌼🌼

 

Kami sudah berada didalam mobil lagi, dalam perjalanan pulang. Jas Daniel masih setia menempel dibahuku, membuat laki-laki yang sedang fokus menyetir itu hanya mengenakan kemeja hitam saja. Tapi itu tetap tidak mengurangi tingkat ketampanannya.

Ashh! Sial kenapa aku jadi terus memujinya sih? Hanya karena sebuah perhatian kecilnya.

Aku berdehem, menstabilkan rasa aneh yang mencuat dalam permukaan. Aku melirik nya pelan, sebelum mengeluarkan obrolan.

"Tadi,, Papa saya gak nanya aneh-aneh kan?" Tanyaku.

Ya. Aku tahu, harusnya aku menanyakan hal itu tadi ketika berangkat, bukannya sekarang. Tapi karena waktu berangkat aku sudah keburu kesal dengan kritikan Daniel soal gaun yang aku pakai, jadi aku mengurungkan pertanyaan ku itu.

Dia melihatku sekilas. "Enggak kok!" Sahutnya.

Tapi anehnya, aku merasakan hal yang janggal. Aku merasa kalau Papa ku sudah mengatakan hal aneh-aneh.

"Kalau Papa berkata aneh-aneh, jangan kamu pikirin." Peringatku.

"Perkataan orang tua itu gak ada yang aneh." Jawabnya, semakin membuat ku yakin, bahwa Papa pasti sudah membicarakan sesuatu pada Daniel.

"Tuhkan! Bener. Jadi Papa udah ngomong apa aja sama kamu?"

"Cuma pembahasan antar pria!" Jawabannya ambigu.

"Iya! Apa?" Gereget ku semakin penasaran.

"Kalo aku kasih tau, nanti kamu gak percaya lagi." Tuduhnya.

"Jangan negatif thinking dulu. Gak baik!"

"Biasanya kan kamu gitu?" Dia menatapku, membalikkan kataku.

"Ish,, jadi laki kok dendaman!" Sindirku dengan sengaja.

"Oke! Aku salah lagi." Sahutnya pelan. Membuat senyum ku melebar.

"Jadi, Papa ngomong apa?" Aku terus mengulangi pertanyaan yang sama, sampai Daniel menyerah untuk memberitahuku, mengenai obrolannya dengan Papa.

“Papa kamu, nyuruh aku buat gak ninggalin kamu."

Aku terdiam.

Rasanya perih mengetahui kalau Papa mengatakan hal itu pada Daniel.

Aku tahu, pasti Papa merasa bersalah karena kisah percintaan ku yang terus-terusan gagal. Walaupun pada kenyataannya, Papa sama sekali tidak melakukan kesalahan.

Disini, murni karena kesalahanku yang tidak bisa memilih laki-laki yang tepat untuk diriku sendiri.

Tapi tidak dengan pemikiran seorang Ayah!

"Saya berharap, kamu tidak memberikan jawaban yang membuat Papa saya berharap!" Kataku setelah cukup lama terdiam.

"Aku akan mempertanggung jawabkan, apa yang sudah aku ucapkan."

Aku menatapnya dalam, terkejut dengan jawabannya!

"Aku sudah berjanji pada Papa Kamu dan diriku sendiri, untuk tidak meninggalkan kamu."

"Jangan berjanji pada sesuatu yang belum pasti!" Sahutku sarkas!

"Kamu juga tidak berhak bertanggung jawab seperti itu." Tambahku dengan suara dingin.

"Aku tahu, aku memang belum berhak. Tapi aku serius!" Dia menyempatkan melihat ku, memandang wajahku dengan serius.

Argh! Kenapa keadaan nya menjadi seperti ini?

"Aku ingin menjalin hubungan serius sama kamu!" Ucapnya lagi, kali ini tangannya meraih tanganku yang sedang memainkan clutch yang berada dalam pangkuan.

Entah untuk keberapa kalinya, tangannya menggenggam tanganku. Kali ini terasa cukup erat, seakan-akan ia sedang memberitahukan soal keseriusannya.

Aku mengalihkan pandangan keluar jendela, menatap kosong. Tanpa menepis genggaman tangan Daniel.

"Saya belum bisa!" Sahut ku pelan, seraya memejamkan mata. Menghirup oksigen dengan banyak, agar dapat menyalurkan keresahan ku disetiap hembusan nafas.

"Tidak apa-apa, aku akan terus berusaha sampai kamu yakin dengan aku." Katanya mantap.

"Asalkan kamu, memberi aku kesempatan." Tambahnya sangat lembut sekali membuat ku merasa dilema secara bersamaan.

Untuk pertama kalinya, aku percaya bahwa dia mengatakan hal itu dengan serius. Tidak seperti hari-hari biasa, yang selalu aku anggap hanya sebuah bualan dan gombalan semata.

Jika saja rasa takutku dalam menjalin hubungan tidak terlalu besar, mungkin aku akan terbuai dengan kata-kata manisnya yang seakan candu itu.

Aku selalu menepis rasa percaya ku pada nya, hanya karena trauma yang sudah mengakar di pikiranku.

Tapi aku akan berusaha mencoba secara perlahan untuk mempercayainya, walaupun aku masih mengenakan benteng pertahanan.

 

                                  🌼🌼🌼

 

To be continued 😘

“Wanita tidak bercerita, tapi memiliki segudang trauma”

7.400 kata nih, jadi wajib banget buat like dan komen sebagai bentuk apresiasi dan absensi.

Happy Reading and Thank You 

Salam sayang,

Jindajoon 💜 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
JungkookBts
Selanjutnya Ex'a Invitation — DELAPAN
14
2
jangan lupa berikan komentar dan likenyaahappy reading,Jindajoon 💜
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan