Ex's Invitation — DUA

57
17
Deskripsi

Hai, kembali lagi di Part 2,, jangan lupa untuk meninggalkan komentar dan love nyaa, setelah membaca part gratis ini.

Happy Reading,

Jindajoon💜

—Aqilla Pov’

 

Sepanjang perjalanan menuju kantor, Zanna dan Zulfa tidak henti-hentinya membahas tentang laki-laki yang kami temui tadi sewaktu makan siang. Aku heran, kok bisa Aku punya rekan kerja yang cerewet nya mengalahkan Ibu-ibu di pasar. Zanna dan Zulfa itu layaknya bagaikan anak kembar siam, cerewet nya sama! Bahkan nama mereka pun sama-sama berawalan huruf-Z. Tapi sayangnya mereka bukan kembar siam, melainkan kembar sial. Itu menurut versi ku.

"Qilla,, kalo misalkan Lo gak mau sama tuh cowok, Gue siap nampung kok!" Zulfa merubah posisi duduknya, ia berusaha untuk melihatku yang sedang duduk dibelakang, ia terlihat sedikit kesusahan karena seat belt yang membungkus dirinya.

"Gue masih gak habis fikir, kok bisa yaa, dia masih inget wajah Lo, Qill?" Zanna mengabaikan perkataan Zulfa, dia masih asyik menanyakan hal yang sama ditengah fokusnya menyetir.

Aku menghembuskan nafas dengan lelah, mencari stok sabarku yang lain agar sanggup mendengar perkataan Zanna dan Zulfa yang terus mereka ulang-ulang itu.

Tuhan! Aku lelah dengan dua manusia ini. Yang satu sangat penasaran, dan satunya lagi terus meminta laki-laki yang kenyataan nya bukan siapa-siapa Aku. Namanya saja Aku tidak tahu, kenapa dua anak ini menuntut ku secara bersamaan?

"Qillaa!! Jawab!" Teriak dua makhluk itu dengan serempak.

"Not my business!!" Jawabku singkat dan jelas.

Keduanya hanya berseru dan berdecak sebal dengan respon ku itu.

Aku mengalihkan pandangan keluar jendela, melihat mobil lain yang melaju diluar, lebih menarik dibanding mendengarkan celotehan tak bermanfaat dari dua sejoli yang sedang duduk didepanku sekarang.

"Gue tebak sih, pasti dia naksir Lo deh, Qill!"

"Sumpah yaa, gue masih kebayang-bayang lesung pipinya. Segitu tuh dia gak ketawa, tapi garis lesung pipinya bisa keliatan. Apa kabar kalo ketawa? Pasti makin cakep!"

"Kalo gak naksir, gak mungkin dia inget wajah Lo sampe sekarang. Secara tamu undangan nya si Ansel kan banyak?"

“Huaaa!! Gue mau dia Qilla! Gue tergoda wajah mulusnya. Kalo tau dinikahan mantan lo bakal ketemu cowok seganteng dia, tau gitu, gue aja yang nganter lu kondangan semalem.” 

Meski Aku tidak menanggapi ocehan mereka berdua. Tapi Aku sedikit terkekeh, mendengar percakapan mereka yang sama sekali tidak nyambung itu, dua-duanya sibuk dengan topik nya masing-masing.

 

                                🌼🌼🌼

 

Satu makhluk sudah kembali ke meja kerjanya, beruntungnya Zulfa bekerja di bagian resepsionis, jadi Aku bisa terbebas darinya dengan cepat. Namun, sebelum Aku benar-benar masuk, Zulfa masih tidak berhenti mengoceh kan hal yang sama.

"Qilla,, jangan kasih kesiapa-siapa kalo Lo gak mau!"

Aku hanya menggeleng-gelengkan kepala, Dasar kurang obat! Umpatku dalam hati.

Baru beberapa langkah Aku berjalan, suara yang Aku kenal pemiliknya itu berseru memanggil namaku.

"Aqilla Maheswari!"

Itu suara Mas Rangga!

Untuk pertama kalinya, selama lima tahun Aku bekerja disini, Aku merasa senang Mas Rangga memanggil ku. Ah, andai saja, jika Aku tidak ingin menghindari Zanna yang berdiri disamping ku ini, sudah dipastikan Aku malas mendengar panggilan Mas Rangga.

Mas Rangga adalah atasanku di Divisi Operasional, jabatannya sebagai Chief Operation Officer atau sering akrab disebut Direktur Operasional. Pria  itu adalah laki-laki yang selalu semangat mendekatiku, akhir-akhir ini. Hal itulah yang menjadi Alasanku untuk menghindarinya.

Tapi sayangnya, Aku tidak bisa sepenuhnya terhindar darinya. Karena posisiku di kantor ini adalah sebagai Fashion Manager. Sudah menjadi tugasku untuk berhubungan langsung dengan Mas Rangga.

Aku juga bertanggung jawab atas pemilihan produk yang akan dipasarkan. Selain itu juga, Aku mengatur dan mengawasi peran pendukung dalam produksi produk fashion, seperti mengawasi fashion stylist, Makeup Artist juga Fotografer. Semuanya memiliki tugas untuk mengolah produk secara langsung hingga membentuk menjadi sebuah karya yang siap untuk di pasarkan.

Aku bekerja di salah satu perusahaan e-commerce yang bergerak di bidang fashion, bisa dibilang Aku sangat berperan penting di perusahaan, meski secara tidak langsung. Sudah lima tahun Aku bekerja disini, dan membutuhkan 2 tahun untuk mencapai posisiku yang sekarang.

"Ke ruang meeting 3 sekarang!" Beritahu Mas Rangga singkat, lalu laki-laki itu berjalan begitu saja, menuju ruangan yang baru saja ia sebutkan.

Biasanya Aku tidak langsung pergi jika Mas Rangga menyuruhku, aku pasti selalu berpura-pura mencari kesibukan yang lain cuma untuk dijadikan sebagai alasan agar bisa telat menemuinya. Itulah kebiasaan ku yang sebenarnya, tapi berbeda dengan kali ini, karena alasan yang sama. Aku sudah seperti karyawan baru yang masih penurut, bergerak cepat mengikuti apa yang sudah diperintahkan oleh atasan.

Sebenarnya Aku sudah tahu, alasan Mas Rangga menyuruhku ke ruang meeting itu akan membahas apa! Karena sebelumnya, selama satu bulan terakhir Aku dan Mas Rangga cukup sering berdebat atas pemilihan seorang model yang akan dijadikan sebagai Brand Ambassador untuk produk terbaru di Perusahaan Aku bekerja.

Sekuat apapun Aku menolak, suaraku sama sekali tidak digubris oleh kebanyakan orang-orang di kantor. Apalagi jika seorang Chief Executive Officer sudah memberikan keputusan finalnya.

Hari ini sudah pasti, Aku disuruh harus menemui seorang fotografer yang katanya sangat hits. Fotografer yang akan Aku temui hari ini akan mengurus pemotretan produk terbaru yang akan siap launching di bulan Desember mendatang.

"Saya kira orangnya udah dateng Mas." Seruku seraya menarik kursi untuk Aku duduki.

"Udah dateng kok, sekarang dia lagi di ruangan Mr. Bryan." Beritahu nya, menyebukan nama CEO perusahaan ini, informasi yang diberitahu Maa Rangga, hanya ku tanggapi dengan oh saja.

"Dia sudah setuju dengan kontraknya, tapi kalo misalkan Kamu ingin menjelaskan lebih detail lagi, tinggal diatur aja."

"Ya kalo dia udah setuju, terus ngapain saya disini?" Tanyaku yang tidak mengerti maksud dari kehadiran Aku di ruangan ini.

Kulihat Mas Rangga menatap ku sebentar, lalu ia hanya mendesah.

Why?

Ada yang salah dengan pertanyaan Aku? Secara dia sudah setuju dengan kontraknya, otomatis dia sudah baca isi keseluruhan nya dong?

"Aqilla Maheswari calon istri saya,, kalau dia udah tanda-tangan kontrak, itu berarti kerjaan kamu akan segera dimulai."

Aku paling muak kalau Mas Rangga sudah memanggil Aku dengan embel-embel calon istri!

"Mas Rangga yang terhormat,, mohon untuk di filter lagi perkataan nya ya?" Kataku pelan, berusaha untuk tidak terbawa emosi.

Dia,, seperti biasa, hanya mengangguk lalu menampilkan cengiran khasnya yang selalu membuat aku bergidik ngeri.

"Setelah dia kesini, saya tinggal ya, nanti kamu langsung diskusi kan saja konsep nya mau seperti apa."

Aku mengangguk paham, apa yang di maksud kan Mas Rangga, sudah menjadi makanan ku sehari-hari disini.

Baru saja, aku hendak membuka tablet, berencana untuk membaca kembali konsep yang Aku buat, tiba-tiba ada suara ketukan pintu. Membuatku segera mengalihkan pandangan ke sumber suara.

"Dengan Mas Daniel ya? Silahkan Masuk Mas." Sambut Mas Rangga dengan antusias.

Aku mengedipkan mata beberapa kali saat melihat siapa yang baru saja ku lihat. Bibir ku hampir melongo dibuatnya saking tak terduganya.

Begitu pun dengannya, ekspresi nya tak jauh beda dengan ku. Ada keterkejutan sangat jelas diraut wajahnya.

"Saya Rangga, sebagai direktur operasional disini. Dan dia Aqilla Maheswari manager yang mengatur semuanya." Mas Rangga memperkenalkan ku dengan singkat.

Ada senyuman ramah di wajah laki-laki yang beberapa menit lalu baru saja aku temui di tempat makan siang tadi.

Pria itu, mengulurkan tangan "Saya Daniel Adelio Cavan. Saya sendiri yang akan turun langsung untuk memotret."

Aku menjabat tangannya yang lumayan cukup besar jika dibandingkan dengan tanganku.

"Saya Aqilla Maheswari, yang bertanggung jawab dalam keperluan pemotretan ini."

Dia masih tersenyum, bahkan kali ini senyum nya sangat lebar, hingga memperlihatkan lesung pipinya dengan jelas. 

"Senang bertemu dengan anda. Semoga kita bisa bekerja sama dengan baik." Katanya lagi, yang masih setia menjabat tanganku.

Aku memberikan seulas senyuman dan mengangguk, lalu ku tarik lenganku dengan cepat darinya.

"Baik, karena sudah saling berkenalan. Saya berharap kita bisa menyelesaikan ini dengan sebaik-baiknya. Karena saya masih ada meeting yang lain, jadi saya harus pamit." Ucap Mas Rangga sedikit tidak enak, terlihat dari raut wajahnya.

"Nah, Mas Daniel, jika ada sesuatu yang harus ditanyakan atau apapun itu, silahkan diskusikan langsung sama Aqilla." Pesan Mas Rangga, sebelum benar-benar berlalu.

Setelah kepergian Mas Rangga, kini hanya tertinggal Aku dan Daniel berdua di ruangan yang cukup besar ini. Dia duduk di sebrangku, hanya meja panjang yang menjadi pembatas diantara kami.

Aku berdehem, untuk mencairkan suasana. Tidak biasanya Aku merasa bingung sendiri diruang meeting, padahal ini bukan kali pertama Aku bertemu dengan fotografer baru.

"Gak nyaman ya? Gara-gara kejadian tadi ditempat makan?"

"Hah?"

Aku terperangah mendengar pertanyaan nya. Sesaat pandangan kami saling bertemu, dia menatapku dengan lekat, membuat nafasku tercekat. Segera ku alihkan pandangan ke pintu, berharap rasa gugup ini tak lagi menyerang.

"Haruskah kita luruskan soal tadi siang?"

"Enggak!" Tolakku cepat, kulihat dia sedikit melongo tak percaya, atas respon penolakan ku itu.

Melihat wajahnya yang begitu, mendadak Aku tersihir dengan parasnya yang lumayan cukup tampan.

Aku baru tersadar, bahwa laki-laki yang duduk di hadapanku ini, memiliki paras yang tampan nan manis. Dia mengenakan kemeja putih polos dipadupadankan dengan stelan Jas berwarna hitam bergaris. Rambutnya yang sedikit menutupi alisnya menambah kesan manis pada penampilannya.

"Aqilla Maheswari,, tolong fokus!" Batinku mengingatkan.

Setelah Aku kembali menemukan fokus dan mulai bisa mengatasi kegugupan yang menyerang sebelum nya. Aku mulai menjelaskan satu persatu padanya, dari mulai konsep serta waktu pelaksanaannya.

"Jadi,, yang menjadi brand ambassador untuk produk kami adalah seorang model terkenal yaitu Ansel diantoro beserta istrinya."

"Kamu baik-baik saja bekerja dengan mereka?" Tanyanya tanpa ku duga pertanyaan itu akan keluar dari mulutnya.

'Baik-baik saja?'

Mendapatkan pertanyaan itu, membuat Aku bingung akan kondisiku yang sebenarnya. Aku sendiri tidak tahu, apakah Aku akan baik-baik saja, bekerja bersama mantan dan keluarganya!

"Memang nya kenapa? Aku baik-baik saja!" Seru ku dengan angkuh, berusaha agar terlihat baik-baik saja.

"Semakin keras kamu menutupi, semakin jelas terlihat kalau kamu tidak baik-baik saja."

"Jangan so tahu!"

Dia hanya tertawa, atas respon ku tersebut. Issh,, sangat menyebalkan!

Tuhan! Maafkan Aku karena beberapa saat lalu, Aku pernah merasa tersihir oleh ketampanannya.

post-image-673b49a50f2fe.jpg

                                

                                   🌼🌼🌼
 

Salah satu kenikmatan di dunia adalah bisa merebahkan diri setelah lelahnya bekerja seharian. Sudah hampir seminggu aku selalu pulang larut malam, dan malam ini pun sama seperti hari-hari sebelumnya.

Kata orang, bekerja sewajarnya. Kalau mati perusahaan bisa cari pengganti. Perkataan itu tidak ada yang salah, tapi aku sedikit tidak setuju. Karena menurutku, perkataan itu hanya berlaku bagi orang yang memiliki orang tua kaya raya. Kalau orangnya itu seperti aku, yang masih mendirikan botol saus dengan dibalik, tutupnya berada dibawah ketika sedikit lagi mau habis, jangan so-soan bersantai. Hidup tidak selunak tissue terkena air, hidup itu keras, dan dunia kerja sama kerasnya.

Baru saja empat atau lima jam mataku terpejam, suara alarm sudah mulai mengusik telingaku. Dengan mata yang masih tidak ikhlas untuk terbuka, aku berjalan menuju kamar mandi. Jika saja Papaku adalah Bernard Arnault pemilik Louis Viuitton Moet Hennessy (LVMH), orang terkaya nomor 1 di dunia, kalau tidak salah. Sudah dipastikan Aku tidak akan sekerja keras ini. Tapi sayangnya Papaku hanyalah seorang TNI-AD. Meskipun Aku bukan anaknya Bernard Arnault, tapi Aku bangga menjadi anaknya Bhima Maheswari, itulah nama Papaku. Yang sekarang masih berada di perantauan, mengemban tugasnya teruntuk negara tercinta.

Hari ini aku hanya mengenakan kemeja putih serta rok span selutut, dengan rambut yang kubiarkan terurai, seperti biasa. Yah, meskipun aku selalu pulang malam, selalu lembur. Itu tidak membuatku malas untuk berkeramas.

"Hari ini bakal lembur lagi?"

Aku hanya mendesah lalu mengangguk mendapatkan pertanyaan seperti itu dari Ibu.

"Bawa kunci cadangannya, biar gak usah bangunin Ibu."

Woh! Aku tertawa miris mendengar keluh kesah Ibu. Rupanya bukan aku saja yang merasa lelah, tapi ibu juga, beliau menyerah karena harus bangun disaat-saat waktu tidur nyenyaknya.

"Bu,, doain Aqilla ya, supaya dapet suami yang kaya raya, biar Qilla gak kerja bagai kuda terus." Pintaku pada Ibu, sambil mencium tangannya untuk pamit pergi kerja.

"Ibu gak perlu mantu kaya. Dapet mantu yang mau nikahin kamu aja, Ibu udah bersyukur."

Aku hanya menelan ludah, tidak mampu berkata-kata apa lagi jika Ibu sudah berkata demikian. Keinginan ibu hanya satu, yaitu melihatku—anak semata wayangnya menikah. Sampai sekarang pun aku belum bisa mewujudkan keinginan itu, karena nyatanya menikah itu tidak semudah berbicara.

 

 

                                🌼🌼🌼

 

 

Kebiasaan ku sesampainya di kantor, aku tidak langsung ke ruangan, tapi aku selalu menyempatkan diri mengunjungi toilet terlebih dahulu.

Aku yang sedang mencuci tangan di wastafel, melirik sekilas kearah cermin, karena kehadiran Zulfa disampingku.

"Hari ini technical meeting pemotretan kan ya Qill?"

"Hemmh, kenapa?" Tanyaku sedikit sinis. Karena apa? Karena aku sudah mencium bau-bau permintaan aneh.

"Mas fotografer ganteng datang dong?" Tanyanya dengan binar mata yang ceria.

"Kenapa? Jangan bilang Lo mau ikutan meeting juga?" Tuduhku. Seakan tahu, apa yang akan dikatakan Zulfa selanjutnya. Tapi memang sebenarnya aku sudah hafal dengan jalan pikirannya.

Senyumnya semakin lebar, memperlihatkan sederet gigi putihnya yang sudah diveneer.

"Ih,, ko Lo tau sih?" Katanya sambil menyenggol bahuku. "Tapi kalo lo mengizinkan, gue ikhlas ikutan meeting!"

"Itu sih maunya Lo!" Semburku, membuat senyuman lebarnya sirna.

"Bye,, gue duluan." Kataku tanpa mempedulikan teriakan zulfa di belakang.

Sesampainya diruang kerja, aku menarik kursi, lalu ku letakkan tas di atas meja—disamping komputer. Baru saja aku sempurna duduk dan menyandarkan punggung ke sandaran kursi. Zanna datang dengan setumpuk berkas ditangannya dari arah studio foto yang berada di kantor ini.

"Qill,, tadi Lo dicari Mba Sarah." Beritahu Zanna seraya meletakkan berkas-berkas diatas meja kerjanya. Kebetulan posisi mejaku berada diujung paling depan, menghadap meja para staff lainnya. Sedangkan meja Zanna berada tepat di samping kiriku.

"Ngapain sih nenek lampir, masih pagi juga!"

"Au,, katanya kalo lo udah datang, langsung ke ruangannya."

Aku hanya menggeram malas, selain Mas Rangga, Mba Sarah adalah manusia kedua yang paling aku hindari di kantor ini. Aku malas jika harus bertemu dengannya, bukan apa-apa setiap kali kami bertemu, dia selalu mengibarkan bendera permusuhan.

Aku pun heran, dia selalu menganggapku sebagai rivalnya, padahal kami bekerja di divisi yang berbeda, jabatan dia pun lebih tinggi dariku. Jika dilihat dari konteks nya, sebenarnya divisi kita itu saling ketergantungan satu sama lain.

Tapi satu sih yang aku tahu, alasan dia membenciku, yaitu karena Mas Rangga. Setahuku, sebelum aku bekerja disini, Mba Sarah sudah lebih dulu menyukai Mas Rangga, tapi sampai sekarang aku gak tahu kenapa kapal mereka masih belum berlayar.

Dengan malas aku mengetuk pintu ruangan yang bertuliskan 'Chief Marketing Officer' tempat keberadaan Mba Sarah.

"Mba manggil saya?" Kataku langsung setelah berhasil masuk ke ruangannya.

Tatapannya selalu sama, mendelik tajam, sangat tidak bersahabat. Issh,, andai saja posisi kita setara, sudah kucolok tuh matanya. Yah, walaupun dia bukan atasan ku di divisi aku, tapi aku masih menghargainya sebagai atasanku.

"Nanti saya minta laporan technical meeting hari ini. Kamu buat dua, jangan Rangga aja yang kamu kasih." Katanya beitu ketus.

"Baik Mba.." Jawabku yang masih mencoba sabar.

"Cuma itu aja kan Mba? Gak ada lagi?"

"Iya! Emang apa lagi, saya butuhnya cuma itu aja."

Astaga, cuma mau minta itu saja, tapi aku harus repot-repot ke ruangannya? Padahal kan bisa beritahu Zanna, sewaktu dia datang ke divisiku tadi—heran.

Aku meninggalkan ruangnya dengan sedikit perasaan dongkol, untung aku tidak bekerja di bawah kepemimpinan nya, kalau aku satu divisi dengannya, bisa bisa tekanan batin tiap hari.

 

                                🌼🌼🌼

 

 

"Ansel sama istri nya beneran bisa datang?" Tanya Zanna saat kami sedang mempersiapkan keperluan technical meeting hari ini.

Technical meeting hari ini, bukan Mas Rangga yang memimpinnya, melainkan aku sendirilah yang memimpin. Karena technical meeting kali ini lebih banyak membahas tentang konsep dilapangan nanti.

"Menejernya sih bilangnya bisa. Kebangetan kalo gak dateng, gak profesional namanya."

"Mereka bakal dateng berdua?"

"Gak tau, bukan urusan gue mereka mau datang bareng atau enggak."

Bodohnya, aku masih saja menanggapi pertanyaan receh nya Zanna.

Satu persatu orang-orang yang ikut dalam technical meeting hari ini mulai berdatangan. Masing-masing sudah duduk di kursinya yang sudah disiapkan.

Di ruang meeting ini sudah ada tentunya asisten aku, perwakilan dari tim makeup, fashion stylist yang kebetulan itu adalah tugasnya Zanna, juga sudah ada beberapa orang dari bagian logistik dan anak-anak design grafis.

"Maaf saya gak telat kan?" Tanya Daniel tiba-tiba, setelah mulai bergabung bersama kami yang sudah duduk terlebih dahulu.

"Enggak kok Mas tenang aja. Silahkan duduk Mas." Zanna mempersilahkan Daniel dengan sangat berlebihan.

"Jangan cuek gitu,, buruan sapa, FG hits lho." Zanna bergumam pelan, disertai lirikan matanya yang memberikan instruksi.

Aku hanya memberikan senyuman singkat, sebagai tanda selamat datang untuknya. Setelah itu aku kembali fokus pada MacBook yang sudah kubuka sejak beberapa menit lalu.

Meski sekilas melihatnya, aku tahu dia mengenakan kaos polos putih menjadi dalaman kemejanya, yang beberapa kancing atasnya sengaja tidak ia kancingkan, serta celana jeans yang senada—warna hitam.

Modis banget, pikirku saat melihat penampilannya hari ini. 

Dia mau kerja, apa tebar pesona?

 

post-image-673b646c4a0b7.jpg

 

Selang dua menit kedatangan Daniel, Ansel juga Naura yang diikuti oleh manager nya masing-masing pun hadir di ruang meeting, namun tidak lama para manager kembali keluar, menyisakan Ansel dan Naura saja.

"Baik,, karena semuanya sudah hadir, berhubung disini saya yang memimpin meeting kali ini. Sebaiknya kita mulai meeting hari ini." Aku mulai membuka pembicaraan.

"Sebelumnya,, saya mengucapkan terimakasih pada Mba Naura dan Mas Ansel, karena sudah meluangkan waktu nya di waktu sibuknya." Kulihat Naura dan Ansel mengangguk sekilas, ada seulas senyuman diwajah mereka.

"Saya juga mengucapkan terimakasih pada Mas Daniel, karena sudah berkenan hadir." Aku memberikan senyuman getir padanya, tapi berbeda dengannya, justru dia tersenyum dengan manisn dan menatapku dengan tatapan yang sulit aku deskripsikan.

Aku mencoba untuk mengabaikannya, biarkan dia mau seperti apa, aku tidak akan terusik.

Ku lanjutkan kembali sesi pembukaan meeting hari ini. "Juga tak lupa, aku terimakasih pada rekan-rekan kantor semua." Aku menunduk hormat.

Setelah selesai sesi pembukaan, aku mulai menjelaskan konsep pemotretan untuk produk yang akan launching nanti. Dari mulai membahas waktu pelaksanaannya, tempat pemotretan juga produk apa saja yang akan digunakan oleh Brand Ambassador kali ini.

"Pelaksanaan untuk pemotretan nya dilakukan pekan depan. Bagaimana ada yang mau ditanyakan atau ada masukan?" Tanyaku, setelah bagian penting selesai aku jelaskan.

Semua yang hadir pada technical meeting hari ini, sudah memegang rundown acara masing-masing. Biar memudahkan mereka untuk memahami jalannya acara nanti yang akan dilaksanakan.

Kulihat Naura mengangkat sebelah tangannya. "Disini,, saya dan Ansel satu frame di pekan kedua, bisa gak kalau jadwalnya dirubah jadi pekan ketiga?"

"Baik gak masalah." Kataku seraya mengangguk. Lalu beralih menatap Mas Romi yang bertanggung jawab dibagian logistik.

"Mas Romi,, mohon di catat yaa." Kataku lembut, sambil memberikan seulas senyuman hangat.

Aku kembali mengalihkan pandanganku pada Daniel yang kebetulan duduk disamping sebelah kiriku. "Untuk Mas Daniel, apakah ada perubahan jadwal?"

Dia masih seperti biasa, selalu tersenyum setiap kali aku melihatnya. 
"Saya setuju dengan rundown acara nya." Jawabnya sangat santai.

"Baik karena semuanya sudah sepakat dan tidak ada lagi yang ditanyakan. Meeting hari ini saya akhiri sampai disini, terimakasih dan sampai jumpa di pekan depan." Ucapku mengakhiri pertemuan hari ini.

Satu-persatu semuanya mulai berpamitan, karena memang sebentar lagi jam makan siang. Meeting kali ini cukup memakan waktu yang lumayan lama, sekitar 2 jam kurang lebih.

"Rim,, jangan lupa laporan nya buat dua salinan ya." Pintaku pada Rima yang sedang merapikan peralatannya.

"Iya Mba siaap, saya izin duluan ya Mba." Aku hanya mengangguk.

"Gue juga duluan, udah janjian mau makan siang sama Adit." Zanna menepuk bahuku pelan.

"Mas Daniel,, saya duluan." Pamitnya pada Daniel yang masih saja setia di tempat duduknya.

Aku yang masih sibuk dengan MacBook, tidak mempedulikan kehadiran Daniel. Namun, dalam hati, sedikit heran kenapa laki-laki itu masih ada disini sih? Kapan dia berencana pulang nya?

Selang beberapa detik kemudian, suara ketukan meja yang diketuk beberapa kali, berhasil mengalihkan atensiku dari MacBook, ke wajahnya, tidak ada suara yang mengiringi tatapanku padanya. Namun, tak menunggu lama, suaranya pun terdengar. 

"Mau makan siang bareng?" Tanyanya yang sukses membuat tatapan mata sayuku, berubah melotot dalam hitungan detik.

"Maaf,, kita tidak sedekat itu, untuk pergi makan siang bersama." Tolakku kemudan, dengan dahi sedikit mengernyit heran.

Kulihat dia menggeser tubuhnya yang masih duduk di atas kursi. Kini posisinya lebih dekat dengan ku, hampir beberapa sentimeter lagi bahu kita akan saling menempel.

Dia tidak mengatakan apa-apa, hanya melihat ku, membuat aku sedikit mendorong tubuhku, untuk menjauh.

"Aap-apaa?" sialnya, suaraku sedikit terbata.

Dia tidak melakukan hal aneh-aneh, hanya terus menatap ku, kali ini tatapannya lebih dalam, membuat aku sedikit membeku ditatap seperti itu. Padahal suhu air conditioner disini masih normal seperti biasa.

"Segini masih kurang deket?" Katanya.

Aku sedikit tercengang, pikiranku tidak bisa memproses perkataannya dengan baik.

"Dasar laki-laki aneh!" Kataku, lalu pergi meninggalkan ruang meeting dengan cepat.

Oh Tuhan!

Kenapa aku selalu dipertemukan dengan laki-laki aneh?

Kali ini jauh lebih aneh!

 

                                     🌼🌼🌼

 

Membebaskan diri dari makhluk aneh adalah pilihan yang tepat. Saking buru-buru nya, aku meninggalkan MacBook ku di ruang meeting, hanya karena ingin segera terbebas dari makhluk aneh bernama Daniel Adelio Cavan.

Aku sendiri pun heran, kenapa harus menghindar? Padahal dia hanya mengajak makan siang, bukan mengajak ke jurang, tapi anehnya kenapa aku harus takut?

Entahlah,, aku merasa kalut sendiri.

Hari ini aku memilih makan siang di kantin, meskipun aku bosan dengan menu makan siang yang di siapkan oleh kantin yang menunya itu-itu saja, untuk sekarang aku bisa mentolerir nya.

"Ada menu apa Bu siang ini?" Tanyaku ramah, pada panjaga kantin yang bertugas, sedikit berbasa-basi, padahal tanpa repot ditanya pun, aku sudah tahu, menunya apa.

"Oh ini, Mba. Menu utamanya ada rendang." Sahut Ibu kantin dengan semangat.

Mendengar menu makan siang hari ini yang tumben-tumbenan beda, mata ku berbinar semangat. Segera aku mengambil kotak makan siang yang sudah terisi oleh beberapa lauk-pauk didalamnya.

Aku berjalan semangat kearah tempat nasi berada.

"Nasinya yang sedang aja bu."

"Pake kuah gak mba?"

"Boleh deh, jangan banyak-banyak."

"Tumben Mba sendiri, temen-temen nya kemana?" Tanya si ibu penjaga kantin, seraya menuangkan satu sendok kuah sup ke kotak makanku.

"Sibuk Bu, sama pasangannya nya." Jawabku sekenanya.

"Oalah,, Mba Qilla juga jangan mau kalah sama temen-temennya."

Aku hanya tertawa geli mendengar perkataan Ibu kantin.

"Siaap Bu. Besok saya bawa pasangan!" Kataku berbohong.

Aku memilih duduk di meja makan yang sedikit mojok, setidaknya menurutku disini jauh lebih terlihat tenang dibandingkan meja yang paling depan. Karena di depan banyak orang-orang kantor yang berlalu lalang, dan itu sangat mengganggu.

Satu sendok sudah berhasil mendarat sempurna didalam mulutku. Makanan kantin tidak sepenuhnya buruk, justru sangat nikmat karena gratis.

Hampir saja aku tersedak, saking terkejutnya, melihat seseorang yang aku hindari, tiba-tiba duduk tepat didepanku. Aku melongo tidak percaya dengan apa yang aku lihat.

Sungguh membuat nafsu makanku menghilang seketika, padahal aku baru saja menghabiskan setengah porsi makan siangku.

"Kamu ngapain disini? Ngikutin saya?" Tanyaku sinis. Aku sudah tidak bisa lagi mengontrol diriku. Tidak peduli dia siapa.

"Saya kesini cuma mau ngasih ini." Dia meletakkan MacBook ku di atas meja, serta meletakkan satu botol air mineral.

Melihat apa yang dia bawa, membuat aku sedikit tercengang tidak menyangka. Bukan MacBook yang membuat aku terenyuh, tapi air mineral lah yang membuat aku sedikit tersentuh, sekaligus teringat bahwa Aku lupa tidak membawa Tumbler minuman yang aku tinggalkan di ruang kerja.

Aku menelan ludah dengan berat. "Makasih.." kataku lirih, agak sedikit malu, ya.

Dia hanya menggendikan bahu dengan bangga, bibirnya selalu menampilkan senyuman. Seketika aku berpikir, apakah dia selalu seperti ini kesemua wanita?

Kalau iya! Issh,, dasar buaya darat!

"Bagaimana bisa kamu makan tanpa membawa minum?"

"Saya bisa menunda minum." Jawabku masih angkuh. "Lagian, tuh disana ada mesin penjual minuman." Tunjukku dengan dagu, pada mesin minuman yang berada di depan pintu masuk kantin. Dia pun balas mengikuti arahan yang aku maksud.

"Oke! Saya kalah!" Pasrahnya.

Jika saja aku tidak sedang menjaga image ku didepannya, mungkin aku sudah tertawa terbahak-bahak melihat ekspresi pasrahnya. Ah kalau saja dia tahu, aku tidak membawa uang, mungkin dia tidak akan pasrah secepat ini.

"Yasudah, kalau kalah, kenapa masih disini?"

"Menunggu kamu makan."

"Saya bukan anak kecil, yang harus di tungguin."

"Memangnya saya bilang kamu anak kecil?"

"Issh,, menyebalkan! Pergi sana cari makan!" Usirku sudah mulai kembali kesal.

Bukannya lekas pergi, justru dia semakin santai, dengan melipat kedua tangannya didada, sambil bersandar disandaran kursi. Jangan lupakan, dia masih terus melihat ku.

"Memangnya kamu gak laper?"

"Laper.." Jawabnya santai.

"Ya terus,, kenapa gak makan?"

Sumpah demi apapun, aku tidak mengerti dengan jalan pikirannya.

"Kamu nyuruh saya makan? Bukannya kamu sendiri yang bilang, kalau kita tidak sedekat itu untuk sekedar makan siang bareng?"

Arghh!!

Bukan itu maksudku, aku tidak menyuruh nya untuk makan bareng di sini, tapi aku menyuruhnya untuk pergi dari sini.

Ingin rasanya aku meninju wajah mulusnya itu. Biar kubuat banyak lubang diwajahnya, agar bisa menemani lesung pipi yang dia punya itu.

 

                                  🌼🌼🌼

 

Jalanan kota sedikit sepi jika sudah tengah malam seperti ini, jika sepi seperti ini cukup takut sekaligus lumayan cukup menenangkan karena tidak terlalu macet.

Lima belas menit lagi, aku akan sampai di kediaman rumah Ibu Mulyasari, beliau adalah wanita yang sudah melahirkan Aku ke dunia ini.

Disaat sedang asyik-asyiknya menyetir sambil menikmati lagu It's You - sezairi dengan berat hati aku harus menepikan mobilku kepinggir.

Mobil aku tidak mogok, tapi sepertinya ada permasalahan dengan bannya. Dengan malas aku keluar, dan benar saja rupanya dugaanku.

"Issh,, kenapa harus bocor sekarang sih? Kenapa gak pas nyampe aja di rumah?" Protesku pada mobil.

Aku melirik jam dipergelangan kiriku, jarum jam menunjukkan pukul 23.05 WIB, aku mendesah kecewa. Mana ada bengkel yang masih buka di jam segini?

Dan satu hal lagi, aku tidak tahu cara memasang ban mobil. Aku tidak ahli dalam hal dongkrak-mendongkrak. Aku lemah, aku hanya seorang wanita biasa pada umumnya.

Haruskah aku tinggalkan saja mobil nya disini?

Tapi aku mau naik apa sampai rumah? Jam segini mana ada taxi lewat. Pesan ojek online juga, pasti bakal lama lagi, itupun belum tentu ada yang minat nerima penumpang di jam segini.

Aku berjongkok pasrah dan bingung, kenapa hari ini sangat sial sekali?siang aku direpotkan dengan makhluk astral bin aneh, lalu sekarang aku direpotkan oleh mobil.

Lengkap sudah penderitaan ku!

Aku yang hendak bangkit untuk berjalan kaki saja, tiba-tiba lampu mobil menyorot ke arah ku, hingga membuatku sedikit memejamkan mata.

Perlahan aku membuka mata, setelah lampu mobil sudah tidak se-menyilaukan tadi. Rupanya mobil itu pun berhenti tepat di belakang mobilku dengan lampu sein yang sengaja masih menyala.

"Kenapa, mobil itu mogok juga?" Tanyaku pada diri sendiri.

Awalnya aku bahagia memiliki teman se-penderitaan, tapi setelah tahu siapa yang turun dari mobil itu, membuat aku kembali mengumpat dalam diam.

"Lho,, Aqilla, kenapa? mogok mobilnya?"

Wajahnya terlihat syok, melihat aku di jalan pada jam segini.

Bukannya senang, justru aku semakin kesal dengan kehadiran dia. Kenapa sih, diantara jutaan manusia dimuka bumi ini, kenapa harus dia yang ada dihadapanku sekarang?

"Kenapa sih, kamu disini? Kamu sengaja ngikutin saya?" Omelku, tidak mempedulikan pertanyaannya.

"Sumpah saya gak ngikutin kamu, kalo tadi siang, memang benar saya ngikutin kamu. Tapi kalau malam ini, ini murni takdir yang bekerja."

"Serah deh!" Ketusku tidak mau debat.

Aku tidak memberitahu kan penyebab mobilku berhenti disini, tapi dia langsung menemukan sumber penyebab nya, karena posisi aku yang berdiri tepat di salah satu ban yang bocor.

"Bannya bocor?!" Serunya. "Kamu bawa ban serepnya gak?" Tanyanya dengan memasang wajah sangat serius.

"Ada.." kataku seraya berjalan ke belakang, membuka bagasi mobil.

Baru saja aku membuka bagasi mobil, Daniel sudah mengambil alih, dia menggeser posisi ku. Tangannya dengan cekatan membuka bawah bagasi, tempat dimana ban cadangan berada.

Setelah berhasil mengangkat ban serep, dia kembali berseru.
"Waduh, ban ini juga kurang angin."

Aku hanya meringis miris, entah sudah berapa lama aku tidak mempedulikan kehadiran ban serep itu.

"Kamu gak pernah cek ban serep?"

"Gak sempet, gak inget juga."

"Kebiasaan cewek kek gini nih. Suka gak prepare."

"Kamu nyalahin saya? Emang saya bakal tahu, kalau ban mobil saya bakal bocor hari ini." Kataku kembali nyolot.

"Justru itu, karena kita gak pernah tau kapan bakal bocor, harus nya kamu antisipasi." Katanya menasehati, sambil kembali memasukkan ban serep ketempat nya semula.

Aku tidak mau membalas perkataannya lagi, tubuh ku sudah lelah, kali ini aku membiarkan nya menang sekali.

Setelah dia menutup pintu bagasi, aku berjalan ke depan, membuka pintu mobil untuk mengambil tasku, lalu pulang tanpa repot lagi berdebat.

"Kamu mau kemana?" Dia berseru, melihatku yang berjalan pergi tanpa pamit.

Aku masih berjalan, tidak menggubris teriakannya. Namun baru beberapa langkah, dia mencekal tanganku.

"Apa lagi sih? Saya mau pulang." Kataku dengan nada suara yang masih tinggi.

"Saya antar. Gak baik cewek jalan sendiri tengah malem begini."

"Gak perlu!" Dengan keras kepala, aku menepis lengannya, lalu kembali melanjutkan langkah.

Lagi,, dia mencekal lenganku, kali ini dia berdiri didepan, menghadang jalanku. Sorot matanya tajam, hingga siapa pun yang melihat nya pasti bergidik ngeri.

"Mau saya gendong, atau jalan sendiri ke mobil?" Ujarnya sangat dingin.

Tanpa memiliki pilihan lain, sekaligus aku tidak bisa menolak lagi, akhirnya aku memutuskan untuk mengalah, membiarkan dia membawa ku pulang.

Maka disinilah aku berada, duduk dikursi penumpang, teat  disamping nya. Setelah meninggalkan mobilku sendirian disana.

"Rupanya rumah kita searah. Kamu udah tinggal lama disana?" Katanya, setelah aku berhasil memberitahukan alamat rumah ku.

"Lumayan, dari lahir saya sudah tinggal disana."

Aku mendengar kekehan kecil dari mulutnya, setelah aku mengatakan hal barusan. Padahal tidak ada lucu-lucunya tapi kenapa dia tertawa?

Makhluk aneh memang beda!

"Woh lama berarti ya!" Kulihat dia manggut-manggut sambil tersenyum.

"Kamu sering pulang malem, atau emang baru malam ini?"

"Memangnya kenapa?" Bukannya menjawab, justru aku malah balik bertanya.

"Enggak kenapa-kenapa,, kalo kamu sering pulang malem, tanpa memedulikan ban serep kayak tadi, kamu memang hebat, keren!"

"Kamu nyindir saya?" Aku menatap tajam kearahnya.

"Astaga! Bisa gak sih, sekali aja kamu gak negatif thinking ke saya!"

"Gak bisa, kalo orangnya itu kamu!"

Lagi, dia kembali terkekeh. Sebenarnya dimana letak lucunya sih? Disini aku lagi emosi, bukan sedang melucu.

"Sebenarnya apa sih kesalahan saya? Sampe-sampe kamu sangat membenci saya?" Tanya nya, dengan menyisakan kekehan kecilnya.

Jujur,, aku sendiri pun tidak tahu, awal mula kenapa aku bisa membencinya. Tapi sebenarnya aku tidak membenci dia kok, aku cuma kesel saja, tapi entah karena apa. Aku tidak tahu.

"Emang saya membenci kamu? Pede!" Seruku, berusaha menyangkal nya.

"Kalo gak benci, berarti kamu suka saya dong?" Tebaknya sambil menyeringai jahil.

"Issh!! Amit-amit.. enggaklah, fitnah itu namanya." Aku mengetuk-ngetukan tanganku ke dashboard mobilnya.

"Semakin disangkal, semakin iya."

"Terserah..."

"Awas,, nanti jatuh cinta!" Godanya lagi, yang semakin membuat aku bergidik ngeri.

Dalam hati aku terus mengatakan 'amit-amit' semoga aku tidak jatuh cinta sama orang aneh yang sedang mengantar ku pulang.

 

                                 🌼🌼🌼

 


To be continued 😘

5000 kata nih, boleh kali kasih like dan komennya, sebagai bentuk apresiasi buat akuw. hehe

Terimakasih semuanya, aku sayang kalian 💞

Bye,, see u next chapter 🤗

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
JungkookBts
Selanjutnya Ex's Invitation — TIGA
36
10
Hai,, selamat datang di part 3, jangan lupa tinggalkan jejak komentar dan love nyaa. thank you 🥰 Happy Reading,Jindajoon💜
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan