
Tiara yang periang berubah menjadi muram dan pendendam. Sejak dia ditinggal Sakha, calon suaminya. Tepat saat hari pernikahan mereka. Sakhakabur dengan Alea, sahabat Tiara. Tiara depresi.
Karena berkhianat pada Tiara, Alea dan Sakha sering tertimpa sial. Tiara bersorak gembira dengan kesialan keduanya. Dia begitu dendam dengan keduanya.
Dirga dijodohkan dengan Sisilia. Tapi, Dirga tidak pernah mencintai Sisilia Dirga mau melakukan perjodohan itu hanya karena rasa sayangnya pada mamanya.
Tiara...
Bab 1. Dirgantara Rakabumi
Perempuan bertubuh mungil itu menutup pintu mobil tanpa tenaga. Hingga, dia harus kembali menutup mobil dengan lebih keras.
“Nanti sore, tunggu Ayah. Jangan naik ojek online. Biar Ayah yang jemput kamu,” kata seorang lelaki dengan rambut memutih secara keseluruhan.
“Iya,” hanya kata itu yang keluar dari bibir perempuan berambut sepunggung itu. Tatapannya begitu sayu.
“Kuat ya. Ayah yakin, kamu bisa menghadapi hari ini,” lelaki tua di dalam mobil itu tersenyum yakin, menguatkan putrinya. Wajahnya terlihat sangat tegar menatap putrinya.
Perempuan muda itu, sama sekali tidak membalas senyum ayahnya. Bibirnya tetap saja melengkung ke bawah, seperti sebuah perahu karam. Tatap matanya sayu. Dengan malas, dia melambaikan tangan pada ayahnya.
Ayah perempuan itu, menyalakan aplikasi taksi online di handphonenya. Dan, mulai mencari penumpang. Mengambil salah satu penumpang yang terdekat dengan lokasinya.
“Ayah kerja dulu. Kamu kuat. Ayah percaya itu,” lelaki tua itu kembali tersenyum menguatkan putrinya. Lalu, mobil pun meluncur pergi. Hingga tidak terlihat lagi.
Pradnya Tiara Maheswari berdiri seorang diri, memandang gedung Universitas Angkasa yang menjulang ke langit. Pandangannya kosong. Kakinya melangkah dengan lemas. Tidak ada semangat dalam tiap langkahnya. Hanya sekadar menjejakkan kaki, menjalani hari.
Tiga hari berlalu sejak kejadian buruk itu. Kakinya harus melangkah lebih jauh. Bukan sekadar pergi ke kamar mandi ataupun ke ruang makan. Pagi itu, dia bertekad pergi ke kantor. Dan, itu merupakan siksaan baginya.
“Semangat pagi! Ibu Tiara!” pekik Kartono mengelegar, mengejutkan lamunan Tiara. Security itu mengepalkan telapak tangan kanannya dan mengangkatnya ke atas. Senyum Kartono security itu begitu ramah.
“Pagi Pak Kartono,” Tiara menjawab sapaan Kartono dengan tidak semangat. Bibirnya tersenyum datar.
Tiara menatap jam dinding di atas pintu masuk gedung Universitas Angkasa, pukul tujuh pagi. Tiara masih menyeret kakinya. Memaksakan diri untuk kuat berdiri dan melangkah. Bisa apa lagi Tiara, selain menjalani hari-harinya.
Rasanya, dia ingin sekali sembunyi di balik bed covernya. Tidur dua puluh empat jam. Tidur selamanya. Tanpa perlu dibangunkan siapapun, termasuk pangeran katak.
“Pagi Bu Tiara,” kata salah seorang cleanning service yang sedang mengelap kaca jendela.
“Pagi,” jawab Tiara. Tersenyum datar dan melanjutkan langkah malasnya.
Tiara merasa sangat berat menjalani pagi itu. Merespons semua sapaan. Berinteraksi kembali dengan semua orang di kantornya. Jika saja bisa. Dia ingin sekali pergi sejauh-jauhnya. Hingga tidak ada yang mengenalinya sama sekali. Tidak ada yang tahu kejadian Sabtu pagi itu. Sabtu pagi yang buruk
Saat Tiara sudah memakai baju pengantin dan menunggu calon suaminya, Sakha datang ke rumahnya. Penghulu, kedua orang tua, serta semua tamu, sudah menunggu calon mempelai pria. Tapi, Sakha tidak hadir. Semua mata memandang Tiara dengan wajah kasihan. Belum cukup kesedihan Tiara. Rumor beredar dengan cepat. Sakha pergi dengan kekasih barunya, Alea. Dan, Alea tak lain adalah sahabat Tiara.
Hancur hati Tiara.
Pagi itu. Di Universitas Angkasa. Semua mengenalnya. Kejadian sabtu pagi itu sudah tersebar di semua group chat Universitas Angkasa. Cleanning service, security, karyawan, dosen hingga rektor, semua pasti sudah mengetahui kemalangan Tiara di hari pernikahannya.
“Pagi, Tiara. Sudah sembuh?” tanya Jessy staf bagian akademik.
“Sssst, Tiara kan nggak sakit. Dia cuma istirahat saja di rumah,” bisik Stephanie staf bagian keuangan.
Walaupun Stephanie berbisik. Tapi, Tiara bisa mendengar kalimat Stephanie dengan jelas. Tiara berusaha tetap kuat. Tapi, tetap saja, Tiara merasa tidak nyaman.
Kedua sorot mata Tiara begitu tajam, ke arah Stephanie dan Jessy. Tanpa berkata apapun, dia berlalu meninggalkan keduanya. Kali ini, flat shoes-nya melangkah dengan lebih kuat daripada sebelumnya.
“Wajah Tiara jutek amat. Pantas ditinggal calon suaminya,” cela Jessy.
“Jessy! Bisa jaga mulut nggak sih! Teman lagi kena musibah malah ngomong kayak gitu,” maki Stephanie meninggalkan Jessy.
Tiara yang sudah meninggalkan keduanya, masih sempat mendengar perkataan kedua temannya itu. Tiara teringat perkataan ayahnya. Dia harus kuat menghadapi hari itu.
Tiara melewati koridor kampus, beberapa mahasiswa, karyawan dan dosen melewati koridor itu. Beberapa menyapa Tiara, beberapa terlihat tidak peduli.
Kuat. Kuat. Kuat. Kata Tiara dalam hati. Tiara harus kuat menghadapi hari pertamanya bekerja, setelah gagal melangsungkan pernikahan. Dia tidak mungkin mengurung diri selamanya di dalam kamarnya dan tidak berhubungan dengan dunia luar.
Bagi Tiara, hari pertama itu terasa sangat menyiksa. Tapi, Tiara percaya, esok dia akan lebih baik. Seminggu setelah ini dia yakin semua akan baik-baik saja. Hanya kepercayaan itu yang bisa membuatnya kuat.
Human Resource Departemen. Terlihat tulisan itu di sebuah pintu ruangan. Tiara membukanya.
“Pagi, Mbak Tiara,” sapa Warno, cleanning service.
“Pagi,” kata Tiara tanpa senyum, dan melangkah mendekati meja kerjanya.
“Saya turut berduka, Mbak,” kata Warno memberikan tangannya untuk berjabat tangan.
Tiara menatap tajam Warno. Lalu, dia menarik kursinya dengan kasar.
“Maaaaaf, Mbak Tiara. Maaaaaaf,” Warno berlari ke arah pintu, lalu keluar dan segera menutup pintu.
Di luar pintu, Warno berkata seorang diri.
“Waduh, bodoh sekali aku. Kok bisa aku ngomong seperti itu di depan Mbak Tiara. Kasihan Mbak Tiara,” kata Warno seorang diri.
“Ada apa?” tanya Sugeng, cleanning service.
“Aku ketemu mbak Tiara di ruangannya. Lalu aku bilang, saya ikut berduka,” kata Warno.
“Waduh! Nooo. Kalau ngomong dijaga. Kasihan Mbak Tiara. Kamu kalau ketemu Mbak Tiara, lebih baik diam saja,” kata Sugeng.
“Iya, Mbak Tiara berubah. Biasanya tiap pagi kalau ketemu aku, Mbak Tiara kan selalu senyum manis dan selalu ngasih semangat pagi. Ini enggak. Beda jauh. Wajahnya sangat muram. Kata-katanya pun sangat ketus,” kata Warno.
“Kita doakan saja, No. Biar Mbak Tiara dapat jodoh yang lebih baik lagi,” kata Sugeng.
“Amin,” kata Warno.
***
Tiara memandang sekeliling ruangan itu. Ruangan yang dia rindukan. Tiara memegang meja kerjanya, tidak ada sedikit pun debu yang menempel. Warno dan Sugeng pasti selalu membersihkan mejanya setiap hari. Tiara memandang kalender mejanya yang penuh coretan.
Tiara duduk di kursinya. Memejamkan mata. Menghela nafas panjang. Berharap hari itu lebih indah dari hari kemarin. Berharap ruangan itu bisa menyibukkannya, tidak seperti kamarnya yang selalu membuatnya ingin tidur seharian, melupakan semua lukanya.
Kedua mata Tiara kembali terbuka. Di dalam ruangan itu masih sepi. Tidak ada seorang pun. Dia bersyukur. Dua rekan kerjanya di departemen itu adalah lelaki. Dan, Tiara yakin, lelaki tidak suka memperbincangkan orang lain. Jadi, dia merasa aman.
Seseorang membuka pintu HRD.
“Hai Tiara. Nice to meet you,” sapa Kenzo seperti hari-hari biasanya. Kenzo menuju meja kerjanya. Di samping meja kerja Kenzo, terdapat kaca besar yang tertempel di dinding. Kenzo menatap wajahnya. Memperbaiki tatanan rambutnya. Memperbaiki kerah bajunya yang sebenarnya sudah sempurna. Kenzo tersenyum pada cermin.
Tiara memandang Kenzo sekilas. Lalu, wajahnya kembali menatap layar monitor.
Kenzo, pria metroseksual dengan rambut yang selalu licin, hasil dari pomade. Dia staf HRD bagian lecture and employee development.
Pintu ruangan kembali terbuka.
“Tiaraaa!” seru Pandji, manager HRD dengan wajah sangat bahagia melihat Tiara. “Bapak senang sekali Tiara sudah masuk. Sabar, Tiara.”
“Iya, Pak,” kata Tiara singkat dengan senyum datar.
“Percaya sama Bapak, jodohmu pasti jauuuuh lebih baik dari lelaki yang meninggalkan kamu,” kata Pandji berusaha menguatkan Tiara.
Pandji, lelaki tua yang seusia dengan ayah Tiara. Selalu menganggap orang yang lebih muda darinya adalah anaknya, termasuk Tiara.
Tiara membuka email kantornya. Satu hari cuti menikah. Puluhan email rekrutmen masuk ke inboxnya. Sabtu hingga Senin saat di rumah, Tiara hanya tidur dan sedikit makan. Bahkan dia sangat malas mandi. Malas ganti baju. Malas membuka jendela kamar. Cemas melihat matahari terbit. Dikhianati Sakha dan Alea secara bersamaan, Tiara merasa sangat hancur.
“Tiara, Bapak minta maaf, tidak bisa bantu cek email rekrutmen. Tolong Tiara handle sendiri. Kemarin, Bapak dan Kenzo sibuk persiapan outdoor training dosen dan karyawan,” kata Pandji.
“Iya, Pak,” kata Tiara singkat, sambil membaca satu persatu email rekrutmen.
***
Hari beranjak siang. Tiara masih membaca satu persatu email yang menumpuk di inbox-nya. Dan, membuat catatan di buku rekrutmennya.
“Tiara, Kenzo, Bapak pergi makan siang dulu,” pamit Pandji sambil melangkah ke arah pintu.
Pandji selalu makan siang di rumahnya. Berdua dengan istrinya. Makan masakan istrinya. Selalu. Setiap hari. Tanpa jeda. Kebetulan rumah Pandji tidak terlalu jauh dari kantor.
“Tiaraaaa. Aku pergi dulu ya. Kamu mau makan siang bareng aku?” tanya Kenzo sambil menatap cermin di sampingnya, kembali memoleskan pomade pada rambutnya yang sudah licin.
“No. Thanks!” kata Tiara singkat, sambil mengangkat kelima jarinya terbuka.
Kenzo, memiliki komunitas makan siang, Tony dosen dan Wahyu staf hubungan masyarakat. Ketiganya penggemar fotografi.
Tidak biasanya Kenzo mengajak Tiara makan siang dengan dengan kawan-kawannya. Bagaimana jika kekasih Kenzo, Laura tahu saat Kenzo mengajak Tiara makan siang. Tiara bisa dimaki habis-habisan oleh Laura.
Telepon berdering.
“Tiara, makan bareng yuk,” ajak Stephanie.
Tiara menolaknya.
Telepon kembali berdering.
“Makan di mana, Tiara? Sama aku yuk,” ajak Sandra, staf bagian jabatan akademik.
Tiara juga menolaknya.
Tiara menutup pintu, menyerahkan kunci ruangan pada Warno.
Dan, berjalan seorang diri.
***
Siang itu, di foodcourt begitu ramai. Semua meja terisi. Hanya ada satu meja yang kosong. Sebuah meja dengan dua kursi. Tiara segera duduk di salah satu kursi itu. Kini tersisa satu kursi di depan Tiara.
“Aduh, aku lupa belum pesan makanan,” pikiran Tiara yang sejak tadi kosong, membuatnya lupa.
Di foodcourt itu tidak terdapat waitres. Pembeli harus memesan makanan secara langsung pada penjual kedai. Lalu, membawa makanan sendiri ke meja. Tiara binggung. Jika dia membeli makanan, itu berarti dia harus meninggalkan kursinya. Dia pasti akan kehilangan tempat duduk.
Tapi, bagaimana caranya memesan makanan. Tidak mungkin teriak pada penjual kedai. Mereka sangat sibuk melayani pembeli yang datang ke kedai. tidak mungkin menghiraukan teriakan Tiara.
Seorang lelaki yang tidak dikenal, datang menghampiri meja Tiara. Lelaki itu memakai kemeja lengan pendek, kotak-kotak, perpaduan warna biru muda dan putih. Dengan celana blue jeans. Lelaki itu menghampiri Tiara dengan membawa baki berisi makanan.
“Hai. Aku duduk sini ya. Semua meja sudah penuh. Oh iya, perkenalkan. Namaku Dirgantara Rakabumi. Kamu boleh memanggilku Dirga, atau Tara atau Raka atau Bumi juga boleh,” kata lelaki itu dengan penuh rasa percaya diri sambil mengulurkan tangan kanannya untuk berjabat tangan dengan Tiara. Wajah dan bibir lelaki itu tersenyum sangat ramah.
Tiara diam. Dia tidak menjawab sama sekali perkenalan itu. Di hari pertamanya bekerja, setelah acara pernikahannya yang gagal. Kenapa dia harus bertemu dengan lelaki cerewet seperti Dirga.
Dirga kebinggungan karena sapaan hangatnya tidak bersambut.
“Tangan kamu membeku? Sampai tidak mau menjabat tanganku. Ok. Nanti, kalau tangan kamu sudah mencair. Kita kenalan lagi,” kata Dirga sambil duduk dan mulai menyeruput es cincau miliknya.
“Segarnyaaaa!” pamer Dirga.
Melihat Dirga meminum es cincau, Tiara menelan ludahnya sendiri. Dia merasa sangat haus.
“Oh iya. Kita bertemu tidak sengaja di sini. Dan, ada hal penting yang harus kamu ingat. Kita hanya berteman. Kamu tidak boleh jatuh cinta sama aku. Ok,” kata Dirga sambil memberikan senyumnya yang sangat manis.
Mata Tiara melotot dengan sangat tajam ke arah Dirga. Mulutnya maju beberapa senti. Dia terlihat sangat geram. Tidak ada dalam pikirannya untuk jatuh cinta lagi, sejak Sakha mengkhianatinya. Apalagi jatuh cinta dengan lelaki asing cerewet seperti Dirga.
Tiara berdiri. Menatap sekeliling food court. Matanya mencari kursi kosong. Tapi, tidak ada satu pun kursi kosong di sana.
Dengan geram, Tiara kembali duduk di tempatnya. Tiara sama sekali tidak menatap ke arah Dirga. Pandangannya ke arah kedai makanan.
Dirga mulai menyendok nasi dan cumi, lalu menyuapkan ke dalam mulutnya.
“Hmmm, enak banget nih. Sumpah. Nasi madura ini enak banget,” puji Dirga sambil mengunyah makanannya, dengan mata yang terlihat sangat menikmati makanannya.
“Lho, kamu nggak pesan makanan? Atau kamu puasa?” tanya Dirga melihat di depan Tiara kosong, tanpa makanan dan minuman.
Tiara tidak peduli dengan semua perkataan Dirga. Dia tidak menjawabnya.
“Kruk, kruk,” Tiara berharap Dirga tidak mendengar bunyi perutnya.
Tapi, mata Dirga yang semula menatap makanannya kini langsung berubah menatap wajah Tiara. Lalu, berubah menatap perut Tiara.
“Kamu lapar? Kok nggak pesan makanan?” tanya Dirga. “Pesan donk,” saran Dirga sambil memasukkan rempeyek udang ke dalam mulutnya. Lelaki itu mengunyah dengan sangat nikmat di depan Tiara.
Tiara sangat geram. Wajahnya memerah. Dia membayangkan mulut Dirga adalah kertas. Dan, Tiara akan merobeknya menjadi serpihan-serpihan kecil, lalu melemparnya. Agar lelaki itu berhenti mengunyah di depan orang yang kelaparan.
Kemarahan Tiara pada Dirga, semakin membuat perutnya melilit. Dia harus segera makan. Harus segera menemukan cara agar bisa memesan makanan tanpa kehilangan kursinya.
***
Bab 2. Nasi Madura
Pikiran kosong, membuat Tiara lupa, gimana prosedur foodcourt. Pembeli harus memesan dan membayar makanan secara langsung di kedai, sebelum dia duduk di kursi. Setelah mendapatkan kursi kosong. Tiara tidak bisa meninggalkannya, dia tidak mau kehilangan tempat duduknya.
Tiara berpikir, apa sebaiknya dia minta tolong pada Dirga untuk membelikannya makanan. Tapi, dia begitu membenci lelaki menyebalkan itu.
Sementara itu, Tiara tidak bisa meminta tolong cleanning service untuk memesankan makanan. Karena, cleanning service di sana hanya untuk mengambil piring dan gelas kotor di meja, membersihkan meja dan menyapu. Cleanning service pun hanya ada dua. Tidak ada waiters di sana.
Tiara tidak tahan lagi. Dia sangat lapar.
Tiara berdiri.
“Ini kursiku!” kata Tiara dengan ketus, tanpa menatap Dirga. Lalu, melangkah meninggalkan kursinya.
“Tunggu!” kata Dirga menghentikan makannya.
Tiara menghentikan langkahnya. Tapi, dia tetap tidak menatap Dirga.
“Ini maksudnya apa? Kamu nitip kursimu ke aku?” tanya Dirga.
“Iya!” kata Tiara ketus.
“Ok. Kujagain kursimu. Tapi, kamu bilang yang sopan sama aku. Mas Dirga, aku nitip kursi ya. Tolong jagain. Jangan sampai dipakai orang lain kursinya,” kata Dirga.
Tiara mendengus. Dia tidak menuruti permintaan Dirga. Dia melangkah dengan cepat, meninggalkan kursinya.
Urban Foodcourt, Tiara memandang papan nama besar itu.
Lalu, dia mengalihkan pandagannya pada eboni coklat muda yang melingkar di lengan kirinya. Pukul dua belas siang lebih lima belas menit.
Tiara melayangkan pandangannya pada kedai-kedai yang berderet, termasuk antrian pembeli yang tidak sabar karena lapar dan ingin mengejar waktu.
Ada dua puluh kedai di Urban Foodcourt. Pengunjung dimanjakan dengan aneka ragam makanan. Lima belas kedai makanan; cwie mie malang, soto madura, sate dan gulai kambing, nasi bakar, nasi madura, pecel, batagor dan siomay bandung, ayam geprek dan ayam goreng tepung, mie ayam jakarta, bubur ayam jakarta, bakso malang, pempek palembang, mie goreng dan nasi goreng, capcay dan tamie goreng, dan nasi padang. Lima kedai minuman; cincau dan boba, jamu, jus,, es krim, teh dan kopi.
Kedai mana yang akan Tiara pilih. Hari-hari sebelumnya, Tiara tidak pernah binggung memilih makanan untuk makan siang. Tiara kerap kali memilih nasi madura. Itu adalah makanan favoritnya. Tapi, tidak untuk hari itu. Tiara tidak akan memesan nasi madura. Dia tidak ingin makan siangnya sama dengan Dirga. Walau, dia sangat suka makan nasi madura.
“Mau pesan minum dulu, Kak?” kata gadis muda penjual minuman jamu yang sepi pembeli.
“Ada minuman dingin; sinom, beras kencur, gula asem. Ada minuman hangat juga; wedang jahe, wedang pokak, wedang serai, wedang secang. Semua baik untuk kesehatan, Kak,” gadis berkerudung itu mempromosikan minumannya.
“Sinom satu,” kata Tiara.
Beberapa menit kemudian, segelas sinom lengkap dengan es batu sudah ada di tangan Tiara.
Tiara kembali melayangkan pandangan pada kedai makanan. Dia menghampiri kedai pecel, letaknya di dekat kedai nasi madura. Di sana menyediakan tiga macam pecel. Pecel madiun, pecel tumpang kediri, dan pecel semanggi suroboyo.
Kedai pecel itu kosong. Hanya ada meja etalase dengan semua bahan-bahan pecel, dan beraneka bumbu pecel. Ke mana penjual pecel itu pergi. Mungkinkah dia ke kamar mandi.
“Mbak Tiara!” sapa Bok Ma, penjual nasi madura yang letaknya ada di dekat kedai pecel.
“Eh, iya, Bok,” kata Tiara dengan irit senyum.
“Waaah, selamat ya untuk pernikahannya. Nasi madura lengkap kan hari ini? Nasi tetap separuh kan?” kata Bok Ma sambil memasukkan nasi ke dalam piring, menyiapkan nasi madura untuk Tiara.
Tiara kebinggungan menghadapi bok Ma. Wajah bok Mah begitu ramah. Hari jumat yang lalu, Tiara cerita pada bok Ma, dia akan menikah di hari Sabtu. Lidahnya kelu, dia tidak ingin menghancurkan senyum dan keramahan bok Ma dengan cerita malangnya.
“Khusus hari ini, Mbak Tiara nggak perlu bayar. Spesial kado pernikahan dari Bok Ma buat Mbak Tiara,” kata Bok Ma, sambil menyendokkan sambal pencit ke dalam piring Tiara.
Tanpa sadar, air mata menetes di pipi Tiara. Dia perih menahan lukanya. Tiara ingin sekali memeluk bok Ma dan cerita tentang pernikahannya yang batal. Tapi, dia harus kuat. Harus kuat. Tidak ada drama di Urban Foodcourt siang itu. Seluruh foodcourt tidak perlu tahu kalau pernikahannya gagal.
“Lho, kok nangis, Mbak. Terharu sama hadiah kecil ini. Sudah, jangan dipikirkan. Bok Ma ikhlas kok. Maaf, Bok Ma cuma bisa ngasih sepiring nasi madura buat Mbak Tiara,” kata Bok Ma menyerahkan sepiring nasi madura pada Tiara.
Tiara tidak sanggup menolak pemberian bok Ma.
“Makasih banyak, Bok,” ucap Tiara, bibirnya tulus tersenyum untuk bok Ma.
“Semoga selalu berbahagia ya, Mbak,” doa bok Ma.
“Amin. Makasih, Bok,” kata Tiara. Lalu, dia berbalik meninggalkan kedai nasi madura bok Ma. Dia tidak ingin berlama-lama ada di dekat bok Ma. Dia cemas bisa merusak senyum bok Ma.
Tiara berjalan perlahan, membawa sepiring nasi madura dan segelas es sinom. Dia menatap kursi-kursi foodcourt. Masih berharap ada kursi kosong selain di depan Dirga.
Urban Foodcourt memiliki banyak meja dan kursi, semua meja terbuat dari kayu jati, dan semua kursi terbuat dari rotan. Ada beberapa bangku panjang yang terbuat dari kayu jati. Dan, semuanya berwarna coklat muda. Meja panjang dengan bangku panjang, meja dengan delapan kursi, meja dengan empat kursi, maupun meja dengan dua kursi, semua sudah terisi.
“Ada kursi kosong!” seru Tiara seorang diri.
Ada meja panjang, dengan delapan kursi, dan ada satu kursi kosong. Tiara segera menuju ke kursi kosong itu. Langkahnya cepat penuh semangat. Akhirnya, dia tidak semeja dengan Dirga.
Tiara tidak berkata apapun. Dia langsung duduk tanpa permisi di kursi kosong itu. Tidak peduli dengan tujuh orang yang sudah duduk di kursi yang semeja dengannya.
Tujuh orang yang semeja dengan Tiara, serentak menghentikan makan mereka. Semua menatap Tiara.
Saat itu, Tiara baru saja memegang es sinomnya. Dia merasa semua mata tertuju ke arahnya. Dia menatap orang di depannya sambil minum es sinomnya.
“Maaf ya, Mbak. Kursi itu tidak kosong. Itu milik teman kami. Teman kami belum datang. Mbaknya bisa pergi dari kursi itu sekarang?” pinta perempuan di depan Tiara dengan ketus.
Tiara terbatuk. Dia tersedak. Untung minumannnya tidak menyembur ke arah orang di depannya. Tiara belum pergi dari kursinya.
“Bisa pergi sekarang, Mbak?” kata perempuan berambut pendek di depan Tiara dengan lebih ketus.
“Dia masih tersedak Cil,” kata lelaki di samping Tiara.
Tiara segera berdiri dan berlalu dari meja itu, dengan membawa sepiring nasi madura dan es sinom.
“Kenapa hari ini buruk sekali!” Tiara kembali mendengus.
Dia masih melihat semua kursi yang ada di foodcourt. Masih berharap ada kursi kosong.
“Tiaraaaa!” seseorang memanggil nama Tiara. Dia merasa bahagia, mungkin kawannya ingin menawarkan kursi kosong untuknya.
Tiara mencari sumber suara. Stephanie berteriak memanggil nama Tiara. Stephanie ada di sebuah bangku panjang bersama beberapa karyawan Universitas Angkasa. Tiara menghampiri mereka, sambil mencari ruang kosong diantara bangku panjang itu.
“Sudah dapat kursi?” tanya Stephanie ramah pada Tiara.
“Belum,” kata Tiara.
“Geseran dikit donk, kasih Tiara tempat duduk,” pinta Stephanie pada teman-temannya.
“Geseran gimana. Ini dah mepet banget. Sudah nggak bisa gerak lagi,” tolak Farah.
“Eh, Tiara. Aku minta maaf nggak bisa datang ke acara pernikahanmu. Tapi, ada yang kirim video ke aku. Itu, video akad nikahmu, saat kamu nungguin Sakha. Tapi, dia....” Farah tidak bisa melanjutkan perkataannya.
“Diaaaam!” Stephanie yang ada di dekat Farah, segera menutup mulut Farah dengan telapak tangannya.
Seketika itu, Tiara merasa sangat sesak nafas. Tanpa pamit, Tiara meninggalkan bangku panjang itu. Siapa yang menyebarkan video akad nikahnya. Giginya gemeletak. Dia begitu geram.
Tanpa mencari kursi kosong lagi. Tiara kembali ke kursinya. Kursi di depan Dirga. Dia tidak peduli lagi dengan Dirga. Saat itu, dia hanya ingin segera makan dan kembali ke ruangannya.
Tiara sudah sampai di meja Dirga.
“Duk!” Tiara meletakkan dengan keras es sinom dan nasi madura miliknya. Dengan kasar, Tiara menarik kursinya, lalu duduk.
“Tenang, tenang. Sabar, Mbak. Kalau piring dan gelasnya pecah, kamu nggak bisa makan. Jadi, tenang. Pelan-pelan saja,” Dirga berusaha menenangkan Tiara.
“Aku sudah sempurna kan menjalankan tugasku. Kursimu kujagain. Dari tadi banyak yang akan duduk di depanku. Tapi, kubilang, itu kursi kawanku,” terang Dirga menyombongkan diri.
Piring Dirga sudah kosong. Dia sedang meminum es cincau miliknya. Es cincau itu pun habis.
“Wow. Ternyata kita sehati ya. Kita tidak sengaja bertemu di sini. Makanan kita sama. Dan, baju kita hari ini pun sama,” Dirga kagum.
Tiara baru menyadari bahwa seragam hari Selasa yang dia pakai, blus lengan panjang biru muda. Dengan rok biru tua, sepanjang sepuluh senti di bawah lutut. Baju Dirga kotak-kotak, perpaduan biru muda dan biru tua. Dengan celana biru tua. Detik itu juga, Tiara membenci warna biru.
“Jangan-jangan kita berjodoh ya. Eh, tapi jangan jatuh cinta denganku. Kita cuma teman makan siang. Yaaaa mungkin saja. Mungkin suatu saat nanti kita berjodoh,” kata Dirga lagi.
Tiara melotot dengan sangat tajam ke arah Dirga.
“Woooow. Jangan marah, Mbak. Tenang, tenang. Aku kan sudah bilang berkali-kali. Kita cuma teman makan siang. Ok,” kata Dirga.
“Mbaknya sabar. Makan perlahan-lahan. Silakan menikmati makan siang, Mbak. Ingat jam istirahat hanya sebentar. Itu kasihan udangnya belum dimakan. Nanti si udang kabur ke sungai deh,” goda Dirga. “Eh tapi, itu cumi hitammu kenapa banyak banget porsinya. Aku tadi cuma dapat cumi sedikit. Atauuuu, kamu kelaparan dan minta dibanyakin cumi hitamnya yaaa.”
Tiara makin geram dengan lelaki cerewet di depannya itu. Dan, dia belum menyentuh sama sekali makan siangnya.
“Sudah habis. Kamu bisa pergi!” kata Tiara dengan ketus. Kali ini matanya tajam menatap Dirga.
“Ngusir nih, Mbak! Aku masih mau jagain Mbaknya makan lho,” kata Dirga dan langsung disambut dengan tatapan tajam mata Tiara.
“Maksudku, aku mau temani Mbaknya makan siang. Biar nggak ada yang gangguin. Nggak pa pa kan kupanggil Mbak. Binggung sih, harus panggil apa. Aku sudah ngasih nama lengkapku, Mbaknya sama sekali nggak bilang namanya siapa. Kalau kupanggil Mbak Jutek boleh?” goda Dirga sekali lagi.
Tiara memejamkan mata. Dia berusaha meredakan emosinya. Berusaha fokus dengan makanannya. Karena, jam makan siang segera berakhir. Dia berusaha untuk tidak peduli dengan semua perkataan Dirga.
“Lho, Mbaknya mau makan atau mau tidur? Bangun, Mbak. Foodcourt untuk makan bukan tempat tidur,” goda Dirga.
Cerewet!
Tiara hanya memaki dalam hati. Rasanya rugi menghabiskan energi untuk memaki lelaki di depannya itu. Dia begitu lelah berhubungan dengan lelaki menyebalkan seperti Dirga.
Kembali membuka matanya. Tiara menatap jam tangan di lengannya. Pukul dua belas lebih empat puluh lima menit. Kurang lima belas menit lagi, jam makan siangnya berakhir.
Gimanapun juga, Tiara harus segera menyendokkan makanan ke dalam mulutnya. Walaupun ada lelaki menyebalkan di depannya. Dia tidak ingin terlambat masuk ruangan, hanya karena gangguan saat makan siang. Tiara harus bisa melewati makan siangnya hari itu. Secepatnya makan. Dan, sesegera mungkin kembali ke ruangannya.
Tiara berusaha fokus dan hanya menatap nasi madura miliknya. Saat itu juga, Tiara membayangkan sedang menata ribuan batu bata di depannya. Agar suara Dirga tidak terdengar. Agar wajah menyebalkan Dirga tidak terlihat.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
