
Vita harus hidup dibawah aturan papanya. Tidak boleh pacaran, bahkan tidak boleh berdekatan dengan pri manapun. Sampai-sampai gadis itu tidak pernah merasakan indahnya pacaran seperti teman-teman sebayanya. Hingga suatu hari tepatnya sebulan sebelum wisuda, kedua sahabatnya menyuruh Vita untuk mencari pacar. Mereka berharap saat Vita wisuda nanti, sudah ada seorang pria special yang menemani gadis itu.
Atas dorongan dari kedua sahabatnya, akhirnya Vita memberanikan diri melanggar aturan papanya....
Di sebuah mobil mewah yang melaju normal terdapat seorang pria yang sedang menatap fokus ke arah jalanan, sementara di kursi sebelahnya seorang gadis berusia dua puluh dua tahun tengah memainkan ponselnya. Keduanya tampak terdiam, hanya ada suara nafas yang saling bersahut-sahutan. Si gadis tak berani memulai pembicaraan, sedang si pria dewasa tampak dingin dan tak berniat sedikitpun untuk mengeluarkan sepatah katapun.
Keadaan itu berlangsung cukup lama. Bukan hanya cukup lama, memang dari dulu mereka berdua tidak pernah berbicara kalau tidak ada hal yang penting. Mobil berhenti tepat di gerbang sebuah kampus.
“Pa, aku masuk dulu,” ujar Vita dengan nada terdengar sangat kaku. Vita mengatakan itu sebagai formalitas saja. Layaknya anak dan ayah pada umumnya, walau pada kenyataannya hubungan mereka tidak terlalu dekat sebagai mana mestinya.
“Hm,” sahut Raka dengan nada datar terkesan dingin. Bahkan Raka tidak menolehkan kepalanya sama sekali ke arah anaknya.
Vita menutup pintu mobil dan tak berapa lama mobil melaju meninggalkan gadis itu seorang diri. Vita mengembuskan nafasnya dengan kasar lalu berbalik dan berjalan masuk ke dalam kampusnya.
Langkah gadis itu menuju ke arah kantin untuk menemui kedua sahabatnya yang sudah berada di sana.
Vita melambaikan tangannya saat melihat kedua sahabatnya.
“Ngapain lo ke sini?” tanya Gea dengan nada terdengar sinis.
Vita tersenyum lalu mengambil duduk di sebelah gadis itu.
“Mau ketemu kalian berdua lah,” sahut Vita tak tersinggung sama sekali dengan nada yang digunakan Gea kepadanya.
“Elo kan udah lulus, tinggal nunggu wisuda doang. Ngapain ke kampus, ngerusak pemandangan aja,” ujar Rosa menimpali.
“Iya,” sahut Gea sewot.
Vita tertawa mendengar perkataan kedua temannya itu.
“Aku ke sini mau bikin kalian termotivasi supaya cepet lulus,” sahut Vita hingga membuat kedua gadis itu cemberut.
“Sombong banget, mentang-mentang tinggal wisuda doang,” ujar Gea sambil mengerucutkan bibirnya.
“Tega banget lo, ninggalin kita berdua di sini,” ujar Rosa.
“Aku nggak ninggalin kalian berdua ya, catet itu baik-baik, tapi kalian berdua yang nggak pernah serius kuliah,” sahut Vita.
“Udah berapa kali aku bilang sama kalian jangan bolos kelas, tapi kalian berdua susah dibilangin,” ujar Vita mencoba mengingatkan kedua temannya.
“Iya sorry, kami yang salah,” ujar Rosa menyadari kesalahannya.
“Eh ngomong-ngomong, bokap lo udah ngizinin elo pacaran belom?” tanya Gea mengubah topik pembicaraan.
Vita mengembuskan nafas dengan kasar.
“Ngeliat ekpresi lo, gue tebak elo belom ngomong sama bokap lo,” ujar Gea tepat sasaran.
“Iya, kamu kok tahu?” tanya Vita.
“Vita… Vita, gue kenal sama elo bukan sehari dua hari, tapi udah bertahun-tahun, jadi gue tahu elo itu orangnya kayak apa. Lagian gue bingung sama elo, masa ngomong sama bokap sendiri susah banget. Emang bokap lo masih sama kayak dulu, dingin dan datar?” tanya Gea penasaran.
Vita mengangguk lemas.
“Sebenernya elo sama bokap lo kenapa sih Vit?” tanya Rosa heran.
Vita mengedikkan bahunya, tanda bahwa ia sendiri pun tidak tahu.
“Coba nanti elo minta izin sama bokap lo, apalagi wisuda udah didepan mata. Masa pas wisuda elo masih jomblo aja,” ujar Gea dan diangguki oleh Rosa.
“Oke, nanti aku coba ngomong sama papa,” sahut Vita pada akhirnya.
“Gitu dong, lagian anak sama bapak nggak pernah komunikasi, aneh banget,” ujar Gea yang gemas sendiri dengan keluarga sahabatnya itu.
Mereka berdua sudah tahu seperti apa Vita saat bersama Raka sang ayah. Vita lebih banyak diam, sementara ayah gadis itu sangat jarang mengeluarkan kata. Mungkin karena itulah Vita menjadi pendiam saat bersama ayahnya. Karena tidak ada topik yang bisa mereka bahas layaknya anak dan ayah pada umumnya. Jangankan Gea dan Rosa, Vita sendiripun merasa aneh. Bahkan Vita merasa kalau papanya tidak pernah menyayanginya. Saat ini saja Vita sudah sangat bersyukur lantaran papanya masih mau membesarkan dirinya dan memenuhi semua kebutuhannya, dari pendidikan dan fasilitas mewah seperti ponsel keluaran terbaru yang ia pegang saat ini. Ia mendapatkan segalanya kecuali kasih sayang seorang ayah.
Vita ingat betul kapan terakhir papanya menggendong dan bermain dengannya, kira-kira saat dirinya naik ke kelas tiga sd. Sejak saat itu papanya bukan hanya tidak mau main lagi dengannya melainkan selalu berusaha menghindarinya. Bahkan sikapnya mendadak berubah, datar dan dingin seperti saat ini. Entah apa yang menyebabkan sikap papanya berubah begitu drastis. Vita sendiri pun tidak tahu.
“Heh! Kok malah bengong,” ujar Rosa menyadarkan Vita dari lamunannya. Gadis itu melambai-lambaikan tangannya di depan wajah Vita.
“Jangan bengong, gue ngeri elo kesambet penunggu sini,” ujar Gea sambil bergidik ngeri.
“Nggak mungkin, palingan elo berdua yang kesambet penunggu sini, biar jadi mahasiswi abadi di kampus ini,” balas Vita.
“Coy! Coy!” ujar Gea panik.
“Amit-amit jabang bayi,” ujar Rosa sambil mengetuk meja tiga kali.
Vita tertawa girang melihat kedua sahabatnya terlihat sangat panik.
“Ati-ati kalo ngomong. Elo nggak pernah denger apa, kalo perkataan itu sebuah doa, jadi elo nggak boleh ngomong sembarangan lagi,” ujar Rosa panik.
Rosa panik lantaran ia tidak mau menjadi mahasiswi abadi di kampus ini, apa kata kedua orang tuanya, yang pasti mereka berdua bakal marah dan ikut menanggung malu.
“Iya deh iya, sorry. Aku cabut lagi omonganku barusan,” ujar Vita.
Kedua sahabat Vita pun menghela nafas lega setelah mendengarnya.
“Jangan lupa nanti elo ngomong sama bokap lo,” ujar Gea mengingatkan.
Gea melihat ke arah jam tangannya lalu memekik kencang.
“Omegat!!”
“Kenapa lo?” tanya Rosa heran.
“Gue lupa sebentar lagi ada kelas dosen killer, gue nggak boleh telat karena kalo telat gue bakal ngulang disemester depan. Dan gue males ketemu sama dia lagi,” ujar Gea lalu gadis itu menghabiskan minumannya sebelum pergi.
“Ck! Keliatan banget nggak mau rugi,” ujar Rosa dan diangguki Vita.
“Pak aku mau pesen mie ayam sama lemon tea,” ujar Vita kepada penjual di kantin tersebut.
“Iya neng, tunggu sebentar,” sahut si penjual dengan ramah.
Di kantin tersebut banyak cowok yang mengamati Vita dari jauh, sebab kecantikan Vita di atas rata-rata gadis di kampus ini. Bahkan saking cantiknya sampai-sampai gadis itu tampak seperti bidadari yang terdampar di bumi. Wajahnya imut, kulit putih mulus dan glowing alami, bibir berwarna pink, rambut coklat panjang dan lurus, dan badannya body goals, semua yang ada pada Vita merupakan impian setiap wanita. Namun anehnya gadis itu selalu menjomblo dari dulu. Bahkan disaat teman-temannya sudah memiliki beberapa mantan. Vita tidak pernah sama sekali dekat dengan satu pria pun.
Semua pria di kampus ini lebih memilih mengamati dan mengagumi paras Vita yang menawan dari kejauhan. Mereka semua tak berniat sedikitpun mendekati Vita dan mengajak gadis cantik itu berkenalan. Mungkin mereka semua minder atau tak percaya diri mendekati gadis secantik Vita.
Sementara gadis itu tak pernah sekalipun mengamati pria-pria di sekitarnya. Gadis itu justru merasa kalau dirinya kurang cantik dan kadang-kadang minder sendiri. Dan hal itu yang membuat kedua sahabat Vita gemas sendiri dengan tingkah Vita yang mender padahal memiliki paras yang sangat cantik. Kalau saja Gea dan Rosa pria, mereka berdua pasti akan berkelahi untuk memperebutkan Vita. Vita yang mendengar celotehan kedua sahabatnya itu justru menganggap keduanya hanya sedang menghiburnya saja, tidak lebih.
Gea, Rosa dan Vita tengah berdiri di depan kampus menunggu jemputan masing-masing. Gea menunggu jemputan dari kekasihnya, sementara Rosa menunggu dijemput sopirnya sementara Vita menunggu papanya. Mobil kekasih Gea yang lebih dulu sampai.
“Gue pergi dulu ya, bye!”
Gea melambaikan tangannya ke arah kedua sahabatnya sambil tersenyum bahagia.
Tak lama kemudian mobil jemputan Rosa datang dan berhenti tepat di depan mereka berdua.
“Tumben papa yang jemput, pak Agus kemana?” tanya Rosa heran karena biasanya yang menjemputnya pak Agus, sopir di rumahnya.
“Pak Agus lagi sakit, jadi papa yang jemput kamu,” sahut papa Rosa.
Rosa masuk ke dalam mobil lalu memeluk papanya dengan manja. Karena Rosa jarang bertemu papanya lantaran akhir-akhir ini papanya sangat sibuk, jadi saat papanya sudah tidak sibuk lagi bahkan bisa menjemputnya, Rosa merasa sangat senang.
Vita melihat kedekatan ayah dan anak itu dengan tatapan iri, andai saja ia dan papanya bisa seperti itu. Pasti Vita merasa sangat senang.
“Kamu belum dijemput?” tanya papa Rosa sambil menatap ke arah Vita.
Vita tersenyum tipis.
“Belum om, mungkin sebentar lagi papa dateng,” sahut Vita.
“Om anterin ya,” ujar papa Rosa dengan ramah.
Vita menggelengkan kepalanya.
“Nggak usah, itu mobil papa udah dateng,” sahut Vita sambil menunjuk ke arah mobil mewah yang melaju ke arahnya.
“Kalo gitu om duluan,” ujar papa Rosa sebelum melajukan mobilnya.
“Bye Vita, jangan lupa lo harus ngomong,” ujar Rosa mengingatkan gadis itu lagi.
Vita hanya mengangguk sambil tersenyum.
Mobil yang dikendarai Raka berhenti di depan Vita. Tak ada perkataan, bahkan pria dewasa itu tidak menolehkan kepalanya ke arah Vita sama sekali. Tatapan pria itu fokus ke depan.
Vita mengembuskan nafas panjang sebelum masuk ke dalam mobil.
Setelah Vita memakai sabuk pengaman, mobil langsung melaju begitu saja. Vita memainkan ponselnya sambil berpikir bagaimana ia harus memulai pembicaraan.
Sesekali Vita melirik ke arah papanya sambil menggigit bibir bawahnya.
Gadis itu mulai mengumpulkan keberaniannya.
“Kamu mau bicara apa?” tanya Raka sambil menyetir.
Deg!
Vita terkejut karena papanya menyadari kalau ia hendak berbicara dengannya.
“Itu pa,” sahut Vita gugup takut papanya marah. Walau selama ini Vita tidak pernah sekalipun melihat papanya marah-marah, tapi bagi Vita diam dan dinginnya pria itu menandakan kalau papanya sedang marah.
“Apa? Ngomong yang jelas,” pinta Raka yang terlihat tak suka Vita berbicara berbelit-belit.
“Aku boleh nggak pacaran tahun ini?” tanya gadis itu takut-takut. Vita tak berani menatap ke arah papanya, gadis itu memilih menundukkan kepalanya sambil memainkan jari di atas pangkuannya.
“Nggak boleh,” sahut Raka tanpa basa-basi terlebih dahulu.
“Kenapa?” tanya Vita seraya menolehkan kepalanya ke arah papanya yang sedang fokus menyetir.
“Aku kan udah lulus kuliah, tinggal nunggu wisuda aja, kenapa masih nggak boleh pacaran?” tanya Vita tak habis pikir.
“Papa bilang nggak boleh, ya nggak boleh,” sahut Raka mutlak dan tidak bisa diganggu gugat.
“Tapi kan aku udah dewasa,” protes Vita yang tampak kesal.
“Justru karena kamu udah dewasa papa makin khawatir sama kamu,” ujar Raka.
“Tapi kan…”
“Nggak ada tapi-tapian, papa harap ini terakhir kalinya kamu bahas soal pacaran,” ujar Raka.
Vita langsung diam seribu bahasa, tak berani mengeluarkan sepatah katapun. Suasana di dalam mobil itu sangat senyap seperti biasanya.
Dalam hati Vita sedang menggerutu kesal dengan perkataan papanya. Entah sampai kapan ia akan terus mendapat predikat jomblo sejati. Vita memang cerdas dan rajin sampai-sampai gadis itu lebih dulu lulus dibandingkan dengan kedua sahabatnya, tapi dalam percintaan sepertinya ia harus gigit jari.
“Sampe kapan papa ngelarang aku pacaran?” batin Vita dengan bibir mengerucut.
“Sampe aku tua,” batinnya lagi.
Raka hanya melirik Vita sekilas lalu kembali fokus mengendarai mobilnya.
Sesampainya di kamar, Vita langsung melemparkan dirinya ke atas ranjang yang sangat empuk. Gadis itu menendang-nendang udara saking kesalnya.
Papanya sudah sangat keterlaluan, waktu ia masih SMA, papanya melarang ia pacaran. Padahal masa SMA adalah masa yang paling indah untuk pacaran. Papanya selalu menyuruh Vita fokus belajar saja. Dan kini setelah ia sudah menyelesaikan kuliah bahkan sebentar lagi ia akan diwisuda, papanya masih saja melarangnya pacaran.
Vita merasa penasaran, apa yang terjadi kepada papanya hingga melarangnya pacaran dari dulu. Vita merasa kalau papanya mengalami trauma dimasa lalu yang menyebabkannya mengambil sikap seperti itu.
Vita harus mencari tahu masa lalu papanya terlebih dahulu. Supaya ia bisa meyakinkan papanya kalau ia sudah dewasa dan sudah bisa menjaga diri sendiri, jadi papanya tidak perlu khawatir yang berlebihan sampai-sampai tidak membiarkan dirinya pacaran sama sekali.
Tapi sepertinya Vita tidak bisa melakukannya seorang diri, ia memerlukan bantuan dari kedua sahabatnya. Gadis itu yakin dengan bantuan kedua sahabatnya, penyelidikan ini akan berhasil.
Akhirnya Vita bangun dari ranjang dan mencari ponselnya yang berada di dalam tas miliknya. Buru-buru gadis itu mengirim pesan kepada kedua sahabatnya dan menyuruh keduanya untuk menginap di rumahnya malam ini.
Gea dan Rosa dengan cepat membalas chat dari Vita dan mengiyakan ajakan gadis cantik itu. Namun tiba-tiba Vita menepuk jidatnya. Gadis itu lupa meminta izin terlebih dahulu kepada papanya.
“Gawat aku lupa!” ujar Vita panik.
Mau tidak mau ia harus menelfon papanya untuk meminta izin, tadi papanya hanya menjemputnya dari kampus setelah itu papanya harus kembali lagi ke kantor.
Vita menarik nafas panjang terlebih dahulu sebelum menelfon papanya. Setelah ia sudah siap, barulah ia menggulirkan layar ponselnya mencari kontak papanya lalu menekan tombol panggil.
Vita menunggu dengan jantung berdetak kencang.
“Ada apa menelfon?” tanya Raka dengan nada datar.
“Papa sibuk nggak?” tanya Vita.
“Nggak, ada apa?”
“Pa, boleh nggak…”
“Papa nggak mau denger kamu minta izin pacaran, papa udah bilang tadi,” potong Raka yang tak mau mendengarkan perkataan Vita terlebih dahulu.
“Bukan itu pa,” ujar Vita dengan cepat.
“Lalu apa?” tanya Raka.
“Boleh nggak temen-temen aku nginep di rumah?” tanya Vita dengan cepat sebelum papanya memotong lagi perkataannya.
“Laki-laki atau perempuan?” tanya Raka.
“Perempuan, Gea sama Rosa,” sahut Vita.
“Boleh,” sahut Raka cepat.
“Makasih pa,” ujar Vita lirih.
“Hm,” sahut Raka sebelum sambungan telefon terputus.
Vita mengembuskan nafas lega setelah meminta izin papanya yang sangat menyeramkan. Bagi Vita papanya lebih menyeramkan dibandingkan dengan dosen killer di kampusnya.
Setelah semua beres, kini gadis itu mulai membereskan kamarnya karena kedua sahabatnya akan menginap di sini. Dan sekarang kedua gadis itu sudah berada di jalan menuju ke rumahnya.
Selain menyelidiki papanya, rencananya Vita ingin menonton drama korea dengan kedua sahabatnya itu.
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
