I loved you first

2
0
Deskripsi

“Ayo, jadiin aku selingkuhanmu!” 

Selama sembilan tahun Ilham mencoba menyimpan rasa cintanya pada Ola rapat-rapat, membiarkan hal tersebut hanya untuk diketahui oleh dirinya dan Tuhan. Namun, sepertinya rasa cinta tersebut tidak lagi dapat Ia simpan ketika wadahnya, hatinya, tidak lagi sanggup menyimpan rasanya yang begitu meluap. 

Tidak, ketika setiap kali Ia menoleh, kini Ola ada di sebelahnya. 

Tidak, ketika setiap kali Ia mencoba meraih, Ola menarik tangannya. 

Apa yang Ia harus lakukan padahal ini semua hanya pura-pura?

Ilham

i loved you first

Selama sembilan tahun ini bukan berarti Ilham menutup hatinya untuk wanita lain, dirinya memiliki beberapa hubungan yang cukup serius dan dalam waktu yang cukup panjang, salah satunya ketika dirinya di London dan terakhir setahun yang lalu. Semua hubungan yang Ia jalani betul karena dirinya menyukai pasangannya bukan karena pelarian atau caranya untuk melupakan Ola, hanya saja sebesar apapun rasa suka dan usaha yang Ia berikan sepenuhnya untuk pasangannya saat itu, rasa tersebut ternyata selalu dirasa tidak cukup bagi pasangannya yang berujung hubungannya diakhiri oleh para mantannya. Akhirnya Ilham menyadari bahwa sebesar apapun rasa sukanya pada seseorang, rasa tersebut tidak akan pernah bisa melampaui, bahkan menyamai atau mendekati rasa cintanya untuk Ola. Bagi Ilham, mencintai Ola sudah seperti bernapas, sesuatu hal yang memang sudah sewajarnya Ia lakukan. Meskipun begitu tidak pernah sekalipun Ilham berpikir untuk menyatakan atau menunjukkan perasaannya pada Ola, dirinya pun tidak pernah berpikir bahwa Ola akan mencintainya kembali. Bagi Ilham, selama dirinya masih dapat berada di sisi Ola meskipun selamanya akan dianggap seperti seorang adik, selama Ia dapat menjaga dan melihat Ola bahagia, itu sudah cukup. Dirinya sudah berdamai dengan hal tersebut.

Tapi, ketika Ola meminta bantuannya untuk menjadi selingkuhan pura-puranya, Ia tersadar bahwa Ola tidak pernah melihatnya sebagai seorang laki-laki. Apalagi Ia tahu betapa Ola sangat mencintai Rama karena jika tidak maka Ola tidak akan merasakan rasa sakit yang terlalu dalam ketika mendapatkan perlakuan buruk dari Mama Rama. Itulah yang membuatnya sangat menentang permintaan Ola dan marah, bukan pada Ola namun pada dirinya yang ternyata masih menyimpan harapan padahal sangat tahu bahwa perasaannya hanya akan merusak hubungannya dan menyulitkan Ola. Rencananya hari ini Ia akan menolak mentah-mentah ide gila tersebut tetapi ketika Ia melihat Ola kembali memasang ekspresi yang sama seperti sore itu membuat Ilham mengubah semua rencananya. 

“Kamu masih butuh bantuan aku? Ayo, jadiin aku selingkuhan kamu.” Ucapan itu keluar begitu saja dari mulutnya, Ilham dapat melihat bahwa Ola sangat terkejut dari tatapan matanya dan tidak ada satu katapun keluar dari mulut Ola yang hanya memandang dirinya, mencoba mencerna ucapan Ilham.
“…Ham, tapi yang kayak kamu tanya kemaren…”
“Aku bakalan pastiin hubungan kita akan tetep sama kayak sekarang, nggak akan ada yang berubah. Sama aku, kamu boleh egois, kamu boleh cuma mikirin diri kamu sendiri.” Jawab Ilham dengan nada serius, “Sekarang apa yang harus aku lakuin? Kita mulai dari mana?” 

Ola mengerjapkan matanya, sepertinya masih tidak percaya bahwa Ilham akhirnya menyetujui rencana gilanya, “Sebentar, kasih waktu aku satu menit untuk proses ini. Aku masih nggak percaya kalau kamu tiba-tiba setuju sama permintaan aku.” Jawab Ola, 

“Jangan kelamaan mikir, aku bisa aja berubah tiba-tiba.” Ucap Ilham sedikit meledek Ola, mencoba mencairkan suasana di antara mereka yang sedikit berubah karena panggilan telepon dari Mama Rama. Ilham melirik ke arah sampingnya, sebuah senyum kecil terukir di bibirnya ketika Ia melihat Ola sedang mengerutkan dahinya, tanda bahwa Ola sedang berpikir keras. Paling tidak ekspresi pedih di wajah Ola sudah menghilang. “Gimana kalau misalnya gara-gara ini, kita malah jadi jauh. Tadi aja kamu cuekin aku. Kalau sampai kita jadi musuhan gimana?” 

“Emangnya bocah SD pake musuh-musuhan segala…”
“Bukan gitu maksudnya, Ilham!” Omel Ola, Ilham memahami maksud Ola. Wanita itu tidak ingin hubungan pura-pura mereka membuat keduanya berada di suatu hubungan yang canggung jika salah satu diantara mereka, lebih tepatnya Ilham karena tentu saja Ola tidak menganggap dirinya sebagai seorang laki-laki, terbawa perasaan. 
“Nggak akan, kayak yang tadi aku bilang. Aku akan pastiin hubungan kita akan tetap kayak gini. Nggak akan ada yang berubah. Nggak ada musuhan, nanti anak aku nggak bisa ketemu Neneknya gimana?” 
“Serius dulu, Ham. Oke, kita anggap clear ya untuk masalah itu. Yang kedua, kalau kamu dicap jadi pebinor gimana? Terus kamu di bash sama orang-orang, jadi bahan omongan, apalagi kamu jadi selingkuhannya aku. Downgrade banget dari mantan-mantan kamu, atau kecengan kamu sekarang yang model itu, temennya Hannah.” 
“Yang pertama, emang kita ini siapa Keola? Artis? Pejabat? Siapa yang mau nge-bash aku? Butiran debu gini siapa yang peduliin sih? Yang kedua, siapa yang bilang Jessica itu kecengannya aku? Pasti si Pio Maung. Aku lagi nggak deketin siapapun dan Jessica bukan gebetan aku, dia mau ngedeketin Ibnu tapi nggak bisa makanya nempelnya ke aku. Yang ketiga, downgrade apaan sih, La. Kamu ngaca gih, cantik, gemesin gini masa dibilang downgrade, kalau dibandingin sama model-model juga cantikan kamu sayangnya ukuran kamu travel size aja.”
“Oke stop, dilarang body shamming!!!” Ola langsung melempar cat toys yang tergeletak di lantai ke arah Ilham yang terlihat sedang menahan tawanya, 
“Lah! Aku nggak lagi body shamming, aku lagi muji kamu itu.” 
“Serius dulu Ilham.” 
“Oke, oke…Kita balik bahas masalah bashing, nggak akan ada yang nge-bash aku. Kalaupun jadi ada yang kecewa sama aku, itu urusan aku tapi yang harus aku pastiin, nggak ada satu orang pun yang berpikir jelek tentang kamu.”

Ola menghela napasnya panjang, Ia berjalan menuju sofa dan mengambil tempat duduk di samping Ilham. “Kamu tuh bisa serius nggak sih, Ham? Jangan malah jadi fokusnya ke aku. Sekarang pikirin deh kalau sampai nanti temen-temen kamu, atau bahkan sampai orang kantor kamu juga tahu, gimana? Aku nggak mau nama kamu jadi jelek, padahal ini cuma pura-pura aja atau kalau sampai Mami tau, gimana kalau Mami tau terus mikir aku ngegoda kamu untuk jadiin kamu selingkuhan aku, terus Mami jadi benci sama aku?”

“Aku nggak bercanda, to be honest I don’t think that this fake affair will affect to my image, it’s not because of… I hate to said it…my playboy image, but because I’m a man, La. Yang akan kena bash orang-orang malah kamu. I’m not the one who is in the relationship right now, I’m not the one who’s going to betray my partner, and the most important fact here is I’m not the women here. Aku yang harus mastiin kamu baik-baik aja, aku yang akan pastiin nggak akan ada orang yang jahatin atau ngomongin hal yang buruk tentang kamu once we start this…this plan. Dan aku nggak mau denger kamu bilang nggak apa-apa.” 

“…Okay…” Ucap Ola pelan sambil menundukkan kepalanya, 
Ilham memandang Ola yang masih menundukkan kepalanya, “Mami juga nggak akan benci kamu, aku ngomong gini bukan biar kamu tenang tapi benar-benar karena emang apapun yang kamu lakuin, Mami nggak akan benci sama kamu. Kalau emang kamu tetap khawatir, aku akan pastiin Mami nggak tau apa-apa tentang ini. Aku janji.” Ucapan terakhir Ilham membuat Ola mengangkat kepalanya, 
“Oke…” Jawab Ola, terlihat keraguannya sedikit menghilang, 
“Oke, terus ada lagi nggak yang mau kamu debatin?” Ola menggelengkan kepalanya, “Berati kita deal, ya? Terus rencana kamu gimana? Atau daripada aku pura-pura jadi selingkuhan, kenapa kamu nggak bilang kalau kamu emang udah nggak cinta sama dia dan sekarang sukanya sama aku?” 

“Kayak yang aku bilang kemaren, Rama nggak akan gampang percaya kalau tiba-tiba aku bilang bosen, atau suka sama orang lain. Kalaupun aku bilang gitu, dia akan ngelakuin berbagai cara untuk buktiin dia yang lebih baik. Jadi emang harus…agak ekstrim.” Jelas Ola, “Aku udah mikir ini seharian kemarin bahkan sampai tadi, tapi emang cuma ini satu-satunya. Lebih cepat lebih baik, lebih bikin Rama sakit hati dan benci sama aku, lebih baik.”
“Kalau Rama sakit hati, emang kamu nggak akan sakit juga?” Tanya Ilham pelan, melihat Ola yang sama sekali tidak menjawab pertanyaannya membuat hati Ilham terasa sakit. Lagian ini juga salahnya, kenapa juga Ia harus bertanya hal tersebut, sudah pasti Ola yang akan lebih sakit di sini. Ilham berdeham, “Ehm, terus kita harus ngapain sekarang?” Tanyanya, mencoba mengubah topik pembicaraan. 
Ola memandang Ilham, lalu sambil tersenyum lemah Ia berkata,
“Pertama-tama…Photoshoot.”

*

“Post ini di twitter?” Ilham memandang layar ponselnya, dari sekian banyak foto yang mereka ambil, Ola memilih untuk Ilham mengunggah foto Ola yang sedang bermain dengan Momo di kasurnya, “Seriusan?”
“Iya, post di twitter, aku post foto yang ini di akunku, kamu post yang itu di akun kamu…” Jelas Ola, “Buruan!”
“…Aku post foto kamu di kamar apart-ku? Jam segini?...Yakin, Kak?”
“Sumpah ya, Ham…Muka doang playboy, giliran begini ciut! Setiap takut keluar deh tuh panggilan Kak-nya.”
“Muka doang ya, aku mah selalu setia. Cintanya sama satu orang doang.” Ucap Ilham pelan, tidak berharap ucapannya didengar Ola namun tentu saja Ola memiliki pendengaran yang tajam karena Ia langsung membalas ucapan Ilham,
“Kamu masih belum move on dari Sheila? Sheila pasti bakalan liat post kamu juga...atau aku aja yang post nggak apa-apa, kamu nggak usah…” 
“Nggak apa-apa…” Ilham langsung menggelengkan kepalanya, “Bukan karena itu, lagian Sheila udah punya pacar juga, bentar lagi mau nikah. Aku sama dia juga putusnya baik-baik, udah move on lama.”
“Yakin?” Ola memandang Ilham dengan tatapan ragu, membuat Ilham langsung mengubah ekspresi dan nada bicaranya agar dapat menghilangkan keraguan Ola. 
“Beneran, aku tadi ngomong gitu karena sebel aja kamu bilang aku playboy!”
“Siapa tadi yang bangga banget sama image playboy nya?”
“Oke oke, aku post foto ini!” Ujar Ilham, akhirnya mengalah meskipun hatinya, “Aku post setelah kamu. Kayak gini ya postingan aku.” Ilham menunjukkan layar ponselnya ke arah Ola yang langsung menggeser duduknya menjadi lebih dekat dengan Ilham. 
“Okay, aku posting foto Momo yang ini yaaa…” Ucap Ola, gantian menunjukkan tweet yang akan Ia posting ke Ilham, yang hanya menganggukan kepalanya karena sedang berusaha menjaga kondisi jantungnya. Biasanya sedekat apapun Ola dengan dirinya, Ia masih dapat mengontrol detak jantungnya tapi melihat Ola berada di apartemennya untuk pertama kali, bermain bersama Momo, dan tampak terlihat begitu nyaman di sampingnya membuat seluruh pertahannya luruh. Sepertinya ini semua dampak karena dirinya dapat menampilkan foto Ola di akun publik twitternya, seakan memberikan sebuah ilusi bahwa Ia dapat membuat hal ini menjadi kenyataan. Ilham memejamkan matanya, mencoba mengatur pikiran dan hatinya, Ia harus tetap berkepala dingin, dirinya sudah berjanji tidak akan merusak hubungannya dengan Ola. Fokus utamanya adalah menjaga Ola, bukan menambah pikiran Ola dengan perasaannya. Saat ini Ola yang harus Ia perhatikan, bukan memberi makan ego dan harapan untuk hatinya.

“Ham…” Ola menyenggol bahu Ilham dengan bahu mungilnya, “Kamu ngantuk? Capek ya?” Tanya Ola dengan suara pelan, Ilham membuka matanya lalu menggeleng, 
“Nggak, kok. Udah postingnya?” Tanya Ilham, yang dibalas Ola dengan anggukan sambil menunjukkan layar ponselnya, memperlihatkan bahwa sudah banyak orang yang mengomentari postingan Ola di kolom reply, terkekeh ketika mengenal siapa saja yang memberikan komentar. “Aku posting ya kalau gitu?” Ilham memandang Ola, untuk memastikan sekali lagi, 
“Iya, posting gih.” Jawab Ola, Ilham mencoba mencari keraguan di suara dan tatapan Ola yang sayangnya tidak ada keraguan sedikitpun yang terdengar dan terlihat. Ilham membaca Bismillah dalam hati sebelum akhirnya Ia menekan ‘send’. Permainan mereka kini dimulai, apapun yang akan terjadi nanti Ia hanya berharap hasil akhirnya Ola bahagia.

“Sumpah ya Hilman gercep banget, semuanya dia komenin.” Komentar Ola sambil membaca satu persatu balasan di tweet miliknya dan Ilham, “Ini lagi Aca cuma fokusnya sama Momo. Kamu harus hati-hati kalau bawa Momo, Aca kalau udah niat bisa-bisa diculik si Momo.” Ucap Ola mencolek pipi gemas Momo yang saat ini sedang mendengkur dengan tenang dalam pelukan Ilham, 
“Anak papa emang pesonanya kuat ya, gak manusia gak kucing pada naksir semua. Gemesssssssnyaaaaaa…” Ilham menciumi Momo yang masih tertidur dengan tenang berulang kali, Ola langsung melempar bungkus permen yupi ke arah Ilham karena geli melihat tingkah laku Ilham.
“Tapi emang Momo pesonanya luar biasa, siapa dulu Neneknya kan aku…”
“Dih, ini semua DNA-nya Haku yang bikin Momo segemes dan secakep ini, nggak ada sedikitpun dari Neneknya…” Ledek Ilham, “Eh, udah jam segini, kamu belum mau pulang?” Tanya Ilham ketika melihat ke arah jam, 
“Eh iya, maaf ya Ham. Kamu udah ngantuk? Ke kamar gih tidur, nanti aku pulang sendiri aja naik taksi atau taksi online juga gampang.” 
“Nggak ada ya pulang naik taksi jam segini, bahaya tau! Aku nggak ngantuk, nggak capek, malah aku mikirnya kamu yang capek seharian tadi katanya cuma bisa istirahat sebentar aja.” Jelas Ilham, “Nggak ada apa-apa, kan?” Melihat Ola yang terlihat enggan pulang ke rumah membuat Ilham khawatir karena biasanya Ola selalu ingin pulang lebih cepat karena tidak tenang meninggalkan Ninik lama-lama. Ola terlihat terdiam, mencoba mengatur jawaban yang akan diberikan kepada Ilham,
“Pasti ada apa-apa, keliatan banget. Masa nggak mau curhat sama selingkuhannya.” Ilham melirik ke arah Ola, mencoba mengubah suasana hati Ola dengan sebuah ledekan, yang dibalas sebuah tatapan Ola yang tidak kalah jahil.
“Pura-pura, kali?”
“Ya, pura-pura juga pacar bukan?” 
“Selingkuhan doang mana punya hak…”Jawab Ola sambil tertawa keras ketika melihat Ilham memegang dadanya pura-pura terasa sakit karena ucapan Ola, “…di Rumah ada Rama, terakhir chat dari Pio dia masih nungguin di depan rumah. Kalau pulang sekarang pasti bakalan ketemu dia dan aku belum mau ketemu atau ngomong sama dia…soalnya…” Ola kembali terdiam, Ia tahu sebenarnya ada hal lain yang membuat dirinya masih tidak mau bertemu dengan Rama, pasti berhubungan dengan telepon dari Tante Ratna tapi Ilham tahu Ola belum bisa menceritakannya dan Ilham tidak akan memaksa Ola untuk bercerita. Ia melihat Ola kembali memainkan kedua tangannya, beberapa hari ini dirinya melihat ada satu kebisaan yang Ola lakukan setiap Ia merasa tidak nyaman, salah satunya adalah kebiasaan Ola meremas tangannya sendiri. Mengingat terakhir kali Ola melakukan itu berujung dengan kedua telapak tangannya berdarah membuat Ilham mencoba mengalihkannya dengan menarik kedua tangan Ola lembut, lalu memberikan sebuah boneka kecil.
“Telapak tangan kamu belum sembuh, mending mainin bonekanya Momo aja.” Jawab Ilham yang dibalas Ola hanya dengan anggukan, “Terus, kalau emang belum mau pulang, yaudah di sini aja. Kalau mau pulang kamu bisa bilang ke aku nanti aku yang anter, jam berapapun.”

Ola memandang Ilham, terlihat ingin menolak kedua tawaran Ilham yang langsung dilanjutkan lagi oleh Ilham, “Nggak ada naik taksi online atau blue bird sekalipun, Aku nggak percaya. Lagian kamu mau Aku mati ditangan Pio sama Aca, ngebiarin kakaknya pulang sendirian? Belum lagi kalau sampai Ninik tau. Sama aja itu kamu mau bunuh aku!” Ujar Ilham kembali mencoba meringankan suasana, sebuah senyum kecil terlihat dari wajah Ola, “Nah, gitu dong, senyum…” Ilham memandang Ola dengan tatapan lembut, tanpa disadari tangannya mengelus pipi Ola. Ilham terdiam begitu menyadari tangan kanannya yang saat ini sedang memegang pipi kiri Ola, dan pemilik pipi tersebut hanya balas memandangannya dengan mata membesar, terkejut. Ilham langsung menarik tangannya, namun tidak ada satu katapun yang keluar dari bibirnya dan keduanya hanya bisa memandang dengan tatapan saling terkejut. 
“FUCK ANJING GUE HARUS APA!!!” Teriak Ilham dalam hatinya, untungnya ponsel Ola berbunyi menyelamatkan suasana canggung di antara Ilham dan Ola. 

“H-Halo, Pi…Gue masih di apartemennya Ilham. Hmm…Iya…Nggak…Nggak… Iya, sama Ilham bentar lagi…Nanti ya, gue pasti ceritain tapi nggak sekarang…Oke… beneran udah pulang kan? Nggak nungguin di depan rumah juga?...Oke, oke, thank you. Oke, bilang ke Ninik jangan nungguin gue ya, langsung tidur aja. Lo juga…Iya…oke. Bye.” Ola langsung memandang Ilham begitu telepon antara dirinya dan Pio telah berakhir, 
“Udah waktunya Cinderella pulang? Dimarahin sama ibu tiri ya?” Tanya Ilham sambil beranjak dari sofa sambil menggendong Momo yang masih ada dalam gendongannya, tetap tertidur dengan nyaman, Ola terkekeh sambil mengangguk, “Pio makin tua makin galak. Kamu ngasih dia makan apa sih? Galak sama judesnya gak ketulungan. Bentar ya, aku naro anak gemesku dulu di kasur dia sama ganti baju dulu bentar.” Ucap Ilham sambil menciumi Momo yang tetap mendengkur. Begitu Ia menaruh Momo di kasur mungil miliknya, Ilham segera mengambil sweater berwarna biru gelap dan celana pendek dan mengganti pakaian kerjanya. Sebelum keluar kamar Ia mengambil sebuah hoodie dari lemari, kemudian memastikan kondisi jaketnya dalam keadaan bersih sebelum akhirnya dirinya berjalan keluar kamar, menghampiri Ola yang saat ini sedang berdiri di depan jendela besar yang menghadap ke jalan raya besar, memperlihatkan kelap kelip lampu Jakarta.
“Kamu nggak bawa jaket kan? Ini pake jaket aku.” Ucap Ilham sambil menyodorkan jaket yang segera diambil oleh Ola, “Mau jalan sekarang atau masih mau di sini? Atau nginep aja sekalian, lagian udah jam setengah dua belas. Udah kemaleman, aku takut berubah jadi tikus di tengah jalan nih.”
Ola terkekeh mendengar lawakan garing Ilham, Ia menarik nafas panjang, “Masalahnya di rumah ada ibu tiri, kalau aku nggak balik yang ada kita berdua dikutuk.” Ola memandang Ilham lama, membuatnya sedikit kikuk, “Makasih ya, Ham. Makasih karena kamu mau bantuin aku tanpa maksa aku untuk cerita, maafin kalau aku jadi bawa kamu ke permasalahan pribadi aku, maaf kalau aku bakalan banyak ngerepotin kamu.”
“Itulah fungsinya selingkuhan, jadi tenang aja.” Ilham mengedipkan matanya, sebuah tawa lepas dari Ola membuat hati Ilham menghangat. Apapun yang akan terjadi Ia akan memastikan Ola akan selalu tertawa dengan lepas seperti ini.

*

Drrtt…drrtt…drrttt… 
Deringan ponsel yang berada di atas nakas membuat Ilham terbangun, yang langsung Ia matikan tanpa mengecek siapa yang menghubunginya namun ternyata hal yang salah karena kini intercomnya yang berbunyi berulang kali. Dengan kesal Ilham membuka matanya lalu mengecek jam melalui layar ponselnya, 
“Anjing, ini baru jam 7 pagi, siapa sih yang udah bertamu kayak nggak punya tata krama aja!” Makinya, namun tetap enggan beranjak dari tempat tidurnya, Ia kembali menarik selimutnya. Seakan mengetahui bahwa Ilham mulai terlelap kembali kini ponselnya kembali bergetar, dengan kesal Ia mengangkat telepon dan menyapa Sang penelepon dengan nada tinggi dan kasar, 
“Halo?!” 
“Kenapa telpon gue nggak diangkat dari tadi? Kenapa gue nge-bell apartemen lo, nggak lo buka? Buruan buka, gue pegel nungguin lo di lobby setengah jam!” Terdengar suara omelan panjang dari sebrang teleponnya, 
“Pio? Anjir lo yang dari tadi ganggu gue tidur? Lo ngapain anjir jam segini ke rumah gue, Pi? Gue baru tidur jam 2 ya anjir, tolong biarkan gue menikmati pagi hari gue dengan tenang.” Keluh Ilham, masih dengan mata terpejam, “Balik nanti aja boleh nggak?” Ia mendengar Pio membalasnya dengan decakan, kesal dengan jawaban Ilham.
“Lo mau samperin gue sekarang atau gue bakalan bikin ricuh di lobi? Pilih antara salah satu itu, lo tau kan kalau gue nggak pernah bercanda.” Ancam Pio yang membuat Ilham mengerang kesal, “Tiga…Dua…Sat..”
“Oke, oke, Violet! Oke! Kasih gue waktu 15 menit, gue bakalan turun ke bawah. Sekalian cari kopi. Lu kapan nggak nyusahin gue sih, anjir.” Maki Ilham lalu mematikan teleponnya, Ia memandang langit-langit kamarnya, menghela nafas panjang. Ini semua salah dirinya semasa kecil, harusnya Ia tidak mengiyakan ajakan Pio untuk menjadi temannya, maka tidurnya hari ini akan lebih tenang dan dirinya bisa menikmati harinya dengan nyaman. “Eh, tapi kalau gue nggak kenal sama Pio, gue nggak akan ketemu sama Ola? Anjir emang Pio.” Ilham kembali menghela napasnya, sebelum akhirnya Ia beranjak dari duduk dan menuju ke arah kamar mandi. 

Ilham melihat seorang gadis dengan rambut panjang yang dikepang dua dengan bucket hat berwarna beige sedang berdiri membelakanginya, meskipun Ilham hanya melihat punggung mungil itu namun Ia tahu bahwa saat ini sahabat kecilnya, Violetta Putri Hidayat, saat ini sedang memasang ekspresi penuh amarah dengan pikiran penuh ribuan pertanyaan yang akan Ia lontarkan kepadanya. Ilham menghela napas panjang, mempersiapkan jiwa dan raganya, 

“Oi.” Ilham mendorong pelan punggung Pio yang langsung membalikkan tubuhnya, dan tepat seperti dugaan Ilham, gadis itu langsung menatapnya dengan tatapan tajam dan siap mengoyak, “Simpen dulu ya omelan lo, gue masih ngantuk dan butuh kopi.” Ucap Ilham sambil berjalan menuju salah satu toko kopi langganannya yang tidak terlalu jauh dari lokasi apartemennya dan dapat ditempuh dengan berjalan kaki, satu-satunya toko kopi yang sudah buka sejak pukul 6 pagi setiap weekdays, termasuk hari Jumat. Ilham menoleh ke belakang dan mendapati Pio masih mengikutinya meski dengan muka masih ditekuk, membuat Ilham menggelengkan kepalanya. 
“Weits, Bang Ilham. Tumben hari jumat pagi udah kemari aja!” Sapa seorang laki-laki yang baru saja menaruh pot besar di depan toko kopi bernama ‘Garden of Words’, “Biasanya baru abis jumatan ke sini. WFO hari ini atau gimana?” 
“Oi, Bang Wisnu. Kaga bang, gue WFH tapi kedatengan badai nih pagi-pagi jadi butuh asupan kopi dari pagi. Lah, lo juga tumben shift pagi, Bang, si Eko mana?” Ilham merangkul bahu orang yang Ia panggil Bang Wisnu dengan akrab sambil masuk ke dalam toko, “Biasanya dia yang jaga kalau jumat pagi.” 
“Katanya dia ada kuis, jadi tuker shift sama gue.”
“Luar biasa ya pemilik GOW kita emang sayang karyawan banget.”
“Gimana nggak gua sayang, adek bontot gue itu. Lu mau mesen apa? Kayak biasa?” Tanya Bang Wisnu sambil memasang apron yang Ia sampirkan di gantungan dekat kasir,  
Ilham mengucek matanya sambil menggeleng, “Nggak bang, gue Ice Americano, no sugar ya. Pi, lo apaan?” Tanya Ilham sambil menoleh ke arah Pio yang berdiri di sampingnya, yang membalas pertanyaan Ilham hanya dengan pandangan malas lalu berjalan menuju tempat duduk paling ujung. Ilham menghela napasnya, “Yang satunya Espresso, double shot, Bang.” 
“Siapa, tuh? Tumben lo sama cewe, biasanya sama belahan jiwa lo si Hilman atau gak si Ibnu. Mana pagi buta lagi lu, gue aduin ke Mami lu baru tau rasa.” 
“Jangan mikir aneh-aneh, Bang. Itu si Pio.” 
“Oh, Pio! Akhirnya keliatan juga bentukan Pio kayak gimana, selama ini gue pikir garang-garang kayak tukang tinju, ternyata cantik, Ham. Lu sama Hilman mulutnya nggak beres juga.”
“Lo nggak kenal dia, Bang. Belum kena tinjunya soalnya. Lo pikir kenapa gue rela bangun pagi dan ketemu sama dia di sini bukan di apart aja? Kalau gue kenapa-napa, biar ada saksi mata.” Jawab Ilham yang dibalas Bang Wisnu dengan tawa menggelegar, tampak tidak percaya dengan ucapan Ilham. Di mata Bang Wisnu, Pio terlihat sangat normal, seorang gadis cantik berambut panjang yang terlihat polos dan ramah, tapi tentu tidak di mata Ilham. Meskipun saat ini Ilham sedang membelakanginya, Ilham tahu bahwa Pio pasti sedang memandangi segala gerak-geriknya dengan tatapan tajam siap menerkam seperti Hyena sedang mengincar mangsanya. 
“Ah, lo ada-ada aja. Udah buruan lo duduk, dari tadi si Pio ngeliatin ke sini, tar minuman lo gue anter. Lagian sok imut banget lo nungguin di sini, biasanya juga gue anter ke meja.” Lagi-lagi Ilham hanya menghela napasnya panjang, enggan menuju ke tempat Pio yang saat ini sedang menunggunya, 
“Bang bener-bener lu, Bang. Nggak bisa ngerti sikon banget.” Ilham menoleh dan mendapati dugaannya sangat tepat, membuat Ilham bergidik takut. Ilham membalikan tubuhnya, mencoba berpikir. 

Apa dirinya harus kabur? Dia bisa aja langsung lari keluar, tapi Pio pasti akan langsung mengejar dia dan Ilham nggak berani membayangkan apa yang akan terjadi kalau sampai Pio berhasil menangkapnya. Atau, telepon Ola? Ilham menggelengkan kepalanya. Hal yang paling tepat untuk bisa kabur dan selamat dari cengkraman Pio memang cuma Ola, tapi dia tahu hal tersebut hanya akan membuat Ola semakin merasa bersalah dengan dirinya dan hanya akan menambahkan pikiran Ola. 

“Berarti emang satu-satunya gue harus hadapin Pio Maung…Bang, lo pokoknya jangan kemana-mana ya, standby. Harus ada saksi mata.” Pesan Ilham pada Bang Wisnu, sebelum akhirnya Ia membalikkan tubuhnya dan berjalan ke arah Pio. 
“Gue pikir lo bakalan kabur.” Ucap Pio begitu Ilham menarik kursi di depannya, Ilham mendengus memasang wajah kesal karena dituduh padahal jantungnya mencelos, terkejut campur takut karena Pio bisa mengetahui salah satu rencananya tadi. 
“Ngapain kabur? Emang gue ada salah apaan? Gue cuma lagi ngobrol aja sama Bang Wisnu.” Jawab Ilham, berusaha terlihat santai. 
“Siapa tau lo emang ada salah sama gue.” 
“Pi, lo nggak usah muter-muter deh, lo mau nanya apaan sampe pagi-pagi ke apart gue padahal lo sendiri nggak bisa bangun pagi. Emang lo nggak kerja?” 
“Kak Ola kenapa? Dia lagi ada masalah sama Rama? Terus kalian berdua kenapa tiba-tiba selalu bareng, ngapain Kak Ola di apartemen lo sampe tengah malem?” Tanya Pio beruntut, Ilham sudah menduga tujuan utama Pio menghampirinya pagi ini pasti karena Ola, terutama setelah postingan mereka di twitter ketika saat itu Ola bahkan tidak menanggapi semua chat dan telepon yang masuk untuknya. 
“Lo udah nanya sama Ola?” Pio menganggukan kepalanya, “Terus?” 
“Gue rasa Kak Ola nggak jujur sama gue, ada yang dia tutupin.” 
“Dan lo pikir gue tau?”

Pio menatap Ilham, mencoba menimbang-nimbang sebelum akhirnya menjawab, “Yang pasti kalau ada sesuatu hal yang Kak Ola nggak bisa ceritain ke gue atau Aca, atau bahkan ke Kak Tita, dia pasti cerita ke lo. Dan biasanya masalahnya parah. Gue cuma mau tahu kalau Kak Ola nggak kenapa-napa. Itu doang.” 
Ilham terdiam lama, sedikit terkejut dengan jawaban Pio karena selama ini dirinya tidak merasa Ola memiliki kepercayaan sebesar itu padanya, “Gue gak bisa cerita apapun ke lo, karena itu hak Ola. Jujur saat ini yang gue tau pun masih sedikit, dia juga nggak banyak cerita sama gue, dan gue masih nunggu dia siap untuk cerita. Kalau lo tanya kondisi dia gimana, dia lagi nggak baik-baik aja. Stop, jangan dipotong dulu.” Ucap Ilham melihat Pio yang mau memotong ucapan Ilham, “Nggak, dia nggak sakit, secara fisiknya…tapi gue rasa dia capek, burn out, entahlah, karena lo tau kan kondisi toko lagi rame banget, Warung Ninik juga mau kedapetan project event kan? Mungkin dia ngerasa overwhelm dengan itu semua jadi lagi butuh space buat diri dia sendiri, buat dia sedikit egois…yang mungkin jadinya berdampak ke hubungan dia sama Rama, maybe. This is just my own speculation. I know nothing about their relationship.”
“…Terus, lo sama Kak Ola?” Tanya Pio, “Lo ada apa sama Kak Ola?” 
“Ada apa gimana?”
“Tiba-tiba lebih deket dari biasanya…tiba-tiba ke apartemen lo, gue aja belum pernah ke apartemen lo.” Ujar Pio, membuat Ilham menggaruk lehernya yang tidak gatal. Apa yang harus Ia jawab, dirinya sebenarnya sudah membahas ini dengan Ola kemarin. Langkah selanjutnya setelah postingan di twitter adalah menebar rasa curiga pada Rama dan tentunya akan berdampak juga pada orang-orang terdekat mereka yang akan memberikan banyak pertanyaan. Dirinya dan Ola harus dapat menjawab pertanyaan mereka dengan tepat agar orang-orang di sekitar mereka percaya, sebelum akhirnya mereka dapat menjalankan langkah terakhir mereka.
“...Lo tau kan, Pi, gue gimana…” Jawab Ilham, sengaja memberikan jawaban ambigu. Pio menatap Ilham tidak percaya, 
“Lo masih suka sama Kak Ola?” Tanya Pio, “Bukannya lo lagi deket sama Sheila? Eh, Sheila mah mantan lo ya yang mau nikah itu. Siapa sih, temen modelnya si Hannah juga, Siska? Sica?” 
“Jessica…”
“Iya, Jessica!” 
“Bukannya lo lagi deket sama dia?” 
“Jessica lagi ngedeketin Ibnu.” 
“Terus, lo beneran ngedeketin Kakak gue, gitu?” Pio memundurkan punggungnya ke belakang kursi, “Lo gila kali. Ham, lo jangan macem-macem ya, Kak Ola udah punya Rama, mereka udah pacaran lama banget, gue rasa tinggal nunggu tanggal baik aja mereka nikah, kalau Ninik bilang besok tanggal baik mereka pasti langsung nikah.” Ilham mendengus geli mendengar ucapan Pio, membuat Pio mengerutkan dahinya, “Lo kenapa reaksinya gitu. Lo tau sesuatu kan?” 

“Yang gue tau, si Rama Rama itu nggak se-bagus yang lo bayangin. Masih mendingan gue lah.”
“Mending belah mananya, coba jabarin sini sama gue. Okelah kalau dari segi keluarga, keluarga lo sama dia sama-sama kaya raya. Tapi secara individu, pertama karir, Rama udah mapan tuh, bukan junior lagi, lah lo masih anak buah. Tampang? Yang menang dari lo cuma alis lo doang, selebihnya udah pasti Rama lah. Loyalitas? Mereka udah pacaran 10 tahun sekarang mau tahun ke sebelasnya mereka, lo dalam 10 tahun belakang ini pacarnya 10. Terus, sekarang lo mau bilang mendingan lo?” 
“Mantan gue gak sampe sepuluh anying.”
“Oke gue ralat, mantan lo cuma tiga tapi lo bikin sakit hati puluhan wanita gara-gara suka tebar pesona. Intinya…lo nggak ada apa-apa kan sama Kak Ola? Lo nggak nyembunyiin sesuatu kan dari gue?” Pio mencondongkan tubuhnya ke arah Ilham, matanya menatap Ilham lekat-lekat, seakan hal tersebut dapat mengintimidasinya. Dulu ketika Ia masih berusia belasan tahun, setiap kali Pio melakukan hal tersebut padanya, tanpa Ia sadari seluruh rahasia terdalamnya dapat Ia ceritakan pada Pio saking takutnya, sekarang Ia hanya menghela napasnya panjang, 
“Intinya…urusan cinta gue, bukan urusan lo.” Ucap Ilham sambil menyentil dahi Pio, “Udah ah, ini ngomong-ngomong mana kopi gue ya, kok nggak dateng-dateng… Bang, Oi, Bang Wisnu!” Panggil Ilham, dengan wajah tanpa dosa pemilik toko kopi tersebut datang menghampiri meja mereka dengan membawa nampan berisi dua kopi pesanan mereka.
“Bang, lo lama amat. Gue hampir ketiduran ini nungguin kopi gue.” 
“Kalian ngobrolnya serius banget, mau gue samperin takut ganggu.” Jawab Bang Wisnu, “Halo, Pio…Akhirnya saya ketemu juga nih sama yang namanya Pio.” Sapaan ramah dari Bang Wisnu membuat Pio langsung melirik ke arah Ilham, sudah pasti curiga Ilham memberikan informasi-informasi palsu kepada orang-orang.
“Gue sama Hilman sering curhat kekerasan yang lo lakuin, kita butuh saksi hidup kalau suatu saat tiba-tiba gue atau Hilman ilang, mereka bisa nyari lo duluan.” Jawab Ilham seakan mendengar isi hati Pio, “Bang, harus diingat baik-baik ya. Pokoknya kalau gue tiba-tiba hilang nggak ada kabar, tersangka utamanya dia ya.” 

Pio memandang Ilham, lalu menoleh ke arah Bang Wisnu dengan senyuman manis di wajahnya, “Tenang aja Bang Wisnu, kalaupun Ilham atau Hilman hilang, semuanya udah saya atur rapih dan nggak akan nyeret Bang Wisnu sama sekali. Jadi, nggak perlu takut.” Jawab Pio lembut, Bang Wisnu yang melihat senyuman Pio tanpa sadar menjauhkan tubuhnya satu langkah. Ilham yang melihat reaksi Bang Wisnu itu langsung tertawa keras. 
“Percaya kan lo sekarang Bang, sama gue! Ahahahahaha…” 
Pio memasang sebuah senyuman yang membuat Bang Wisnu hanya dapat membalasnya dengan senyuman kaku campur takut dan segera pamit undur diri dari hadapan Pio, diiringi dengan tawa keras Ilham. 
“Pi, lo kurang-kurangin pi kayak setannya, temen lo tuh dikit kalau nanti bakal jodoh lo kabur juga gimana. Lo tua nanti siapa yang nemenin, Pi?” Tanya Ilham setelah akhirnya puas tertawa, Pio mendelik mendengar ucapan Ilham, 
“Nggak ada urusannya lo pusingin jodoh gue! Lagian gue tinggal paksa lo lah nemenin gue sampe tua. Bermanfaat dikit lo jadi temen gue.” 
“Gue udah nyerah nemenin lo dari gue umur sembilan tahun, udah saatnya posisi gue digantikan sama manusia malang lainnya. Gue juga mau nikmatin hidup gue sebagai manusia bebas, bukan budak lo. Si Genta apa kabar tuh, udah lama gue nggak liat dia? Biasanya ngintilin lo mulu kayak anak kucing. Masih hidup kan dia, belum lo jadiin tumbal ilmu hitam lo?” Ucap Ilham sambil menyeruput Ice Americano miliknya, 
“Genta lagi ngurusin banyak project, sibuk.” Jawab Pio singkat, 
“Kata gue ya, Genta naksir cuy sama lo.”
“Tau dari mana?”
“Kalau nggak naksir kenapa dia masih betah main sama lo? Lo galak banget gini.”
“…Lo masih main sama gue dan nggak naksir gue, tuh.”
“Hmm, ya juga ya…Berarti teori gue salah, mungkin emang Genta kayak gue, dia kasian kalo lo ditinggal karena nanti yang main sama lo siapa lagi coba.”
“Lo tuh selalu ngeremehin gue nggak punya banyak temen, ya. Temen gue banyak.” Ucap Pio kesal, “Hannah, terus…”
“Terus?” Ilham tertawa keras, “Kan, nggak ada lagi kan. Temen lo tuh cuma gue, Hilman, Hannah, sama Genta. Jangan masukin Teh Anin, dia udh satu paket sama Ola, Aca. Temen kantor lo nggak masuk karena lo nggak pernah main di luar hari kerja sama mereka. Gue rasa di depan mereka lo juga jaga image.” Ledek Ilham semakin tertawa keras karena melihat Pio yang kini hanya bisa memasang muka cemberut, tersadar kalau memang temannya hanya sedikit. 

Temannya ini memang dari luar terlihat seperti cewek cantik gaul yang super duper supel tapi kenyataannya dia sangat pemalu dan tidak mudah untuk membuka obrolan apalagi jika berada di lingkungan baru. Dibandingkan melakukan kegiatan di tempat yang banyak orang, Pio lebih nyaman untuk berada di tempat yang tenang sehingga Ia bisa bercengkrama dengan teman-temannya. Ilham ingat betul, pertama kali dirinya dan Pio berkenalan. Saat itu, Ia merupakan anak pindahan dan Mami mendaftarkannya untuk ikut mobil antar jemput. Di saat yang lain sudah bergerombol dengan kelompoknya masing-masing, hanya Pio sendiri yang duduk di kursi depan dan karena dirinya anak baru jadi mau nggak mau tempat duduk yang tersisa hanya kursi depan dengan Pio. Semenjak itulah dirinya menjadi sahabat Pio. 

Berbanding terbalik dengan Ola yang terlihat seperti anak yang pendiam dan pemalu, justru temannya sangat banyak. Ola pernah menjadi anak OSIS dan ketua mading ketika SMA. Setiap hari pasti selalu ada teman Ola yang datang ke rumah untuk belajar kelompok atau sekedar main di rumah. Ketika kuliah, Ola juga bagian dari BEM dan aktif di seluruh kegiatan mahasiswa. Ilham ingat bagaimana Ola terlihat sangat bersinar saat itu, dan dirinya sangat merindukan sinar itu kembali muncul dalam diri Ola. Dirinya teringat ucapan Ola semalam, ketika Ola menyebut dirinya sendiri downgrade. Apa yang harus Ia lakukan untuk mengembalikan rasa percaya diri Ola? 

“Ham!” Pio menjentikkan jarinya di depan wajahnya, mengembalikan pikirannya yang sedang melayang kembali ke ‘Garden of Words’, Ia melihat Pio sedang memandangi dirinya dengan tatapan khawatir, “Lo masih sadar kan? Dari ketawa tiba-tiba bengong, sampe hp lo bunyi juga nggak sadar.” Ucap Pio, yang membuat Ilham tersadar bahwa ponsel di kantung jaketnya sedari tadi berbunyi, Ia mengambil dan melihat nama Ola di layarnya. 

“Halo, La…Hmm? Aku lagi sama Pio, nih…” Ucap Ilham sambil beranjak dari duduknya, menjauh dari Pio agar dapat menginformasikan apa saja yang Pio tanyakan kepada dirinya,
“Pio ke apart?” Tanya Ola, 
“He’eh, ini lagi di toko kopi yang aku ceritain ke kamu kemaren. Dia tadi dateng jam 7 pagi buta, kirain kamu tahu dia mau kesini.”
“Dia nggak bilang apa-apa, tapi aku udah curiga sih dia pasti bakalan langsung nyamperin kamu. Dia nggak gangguin kamu, kan? Kok kamu nggak bilang ke aku, sih?” Terdengar nada khawatir pada suara Ola membuat Ilham tersenyum, mungkin bisa dibilang ini adalah bless in disguise, jika tanpa rencana gila ini mana mungkin Ola akan menghubunginya pagi-pagi, atau mengkhawatirkan dirinya seperti ini. 
“Kayak nggak tau Pio aja, aku bilang ke kamu juga percuma. Dia pasti bakalan tetep neror aku, dia nggak nanya macem-macem, kok. Katanya dia juga udah nanya langsung ke kamu tapi masih ngerasa ada yang ditutupin sama kamu.” Jawab Ilham, 
“Iya, kemaren malam dia nanya dan aku emang cuma bilang kalau lagi terlalu overwhelmed aja dan begitu waktunya tepat, bakalan ceritain semuanya ke dia. Kamu juga jawabnya nggak aneh-aneh kan?” 
Ilham terkekeh, tiba-tiba ingin menjaili Ola, “Emang jawaban yang aneh kayak gimana? Dia nanya ke aku, aku sama kamu tuh ada apa, ya aku bilang…” Ilham sengaja memotong ucapannya, menunggu reaksi Ola, meskipun tidak mungkin dirinya memberitahukan jawaban sesungguhnya pada Ola,
“Kamu bilang apa?”
“Aku bilang…kamu pengen liat apartemen orang ganteng kayak apa…”
“Untung aku nggak ngomong langsung hadap-hadapan kalau nggak tinju aku udah melayang. Jawab yang bener!” 
“Nggak kok, aku nggak jawab apa-apa, sengaja biar dia yang nebak-nebak.” Ucap Ilham, “By the way, kamu udah sarapan?” Tanya Ilham agak ragu-ragu menanyakan pertanyaan terakhir, 
“Hmm…nggak sempet, dari tadi yang take away rame. Paling nanti jam 9-an sebelum meeting sama brand yang mau bikin event itu. Kamu?” Mendengar pertanyaan itu membuat hati Ilham tiba-tiba terasa penuh, 
“Baru ngopi…Goodluck untuk meetingnya, semoga lancar ya. Kabarin aku ya kalau nanti malam jadi.” Ucap Ilham, 
“Doain ya, nanti aku kabarin! Jangan lupa makan. Bye, Ham.” 
“Kamu juga. Bye, Ola…”

Ilham menyandarkan kepalanya di tembok sambil memegang jantungnya yang masih berdebar tidak karuan, dadanya terasa begitu penuh membuatnya ingin berteriak kencang, namun menahan diri karena mengetahui dirinya sedang berada di tempat publik. Terakhir kali Ia merasakan hal ini ketika dirinya SMA, ketika Ola memeluknya di malam itu setelah itu rasanya Ia belum pernah merasakan hati sepenuh ini, meskipun terasa sakit namun entah mengapa membuatnya tidak dapat berhenti tersenyum. Ilham memejamkan matanya, mencoba menenangkan dirinya. Apapun yang Ia rasakan saat ini harus dapat Ia kontrol, jangan sampai perasaannya mengacaukan segalanya. Ilham menarik napas panjang, setelah yakin hatinya lebih tenang Ia berjalan kembali ke mejanya. 

“Lama amat. Telepon sama siapa? Kerjaan?” Tanya Pio, 
“Hmm? Oh, bukan, sama Ola.” 
“Kak Ola doang jauh-jauh amat ngangkat teleponnya. Ngomongin gue ya lo?” 
“Kata gue periksa, Pi. Mungkin gejala narsis lo makin parah.” 
“Terus ngapain tuh tadi gue liat pegang-pegang dada sama nempel-nempel tembok, sakit jantung lo?”
“Pi, kata gue wudhu. Biar setan ilang, mulut lo kayak lagi kesambet setan, jahat banget. Udah ah, gue mau balik ke apart, mau mandi. Udah jam setengah 9, lo emangnya nggak telat ke kantor?” 
“Gak lah, dari apart lo ke kantor gue tinggal naik MRT, 15 menit juga nyampe.”
“Mau gue anter ke stasiun?”
“Gue tau lo cuma basa-basi, jadi gue udah pesen gojek. Tungguin gue sampe ojeknya dateng.” Perintah Pio sambil beranjak dari kursinya dan berjalan ke arah luar ‘Garden of Words’ dengan Ilham mengikutinya di belakang. 
“Bang, cabut dulu ya!” Pamit Ilham, 
“Oke. Bye, Pio. Sering-sering mampir!” Ucap Bang Wisnu yang dibalas Pio dengan anggukan dan senyuman sopan. 
“Pi, menurut lo Bang Wisnu gimana?” 
“Kenapa emangnya?”
“Gue lagi mau nyomblangin Bang Wisnu, tapi mau tanya lo dulu, kesan pertama lo pas ngeliat dia gimana?” Tanya Ilham, menunggu jawaban dari Pio yang sedang mencoba mengingat apa yang Ia rasakan ketika melihat Bang Wisnu. 
“Baik, sopan kayaknya, nggak genit, He’s supposed to be rich ya kalau bisa buka warung kopi segede itu di area sini. Sejauh ini 75 of 100 sih. Mau lo kenalin ke siapa emang? Kak Ola?”
“Gila kali, nggak mungkin lah gue nyomblangin dia ke Ola.”
“Ya sih, nggak mungkin karena Kak Ola udah punya pacar jadi jangan ada yang macem-macem.” Ucap Pio, terdengar sedikit mengancam namun diacuhkan oleh Ilham, 
“Gue mau ngenalin dia sama Teh Anin, kayaknya bakalan cocok. Eh, itu bukan sih abang gojek lo?” Tanya Ilham, ketika melihat seorang bapak pengendara ojek online yang menghampiri mereka, “Atas nama siapa, Pak?” 
“…Mba Pio, bukan?”
“Betul, Pak. Saya…Pakai helm ya, Pak.” Ucap Pio, lalu mengambil helm yang disodorkan ke arahnya,
“Hati-hati, Pi. Pak, bawa motornya hati-hati, ya.” 
“Ham…” Pio yang baru saja mau menaiki motor tiba-tiba membalikan tubuhnya, lalu memandang Ilham sebelum berbicara, “Jangan suka sama Kak Ola.” Ucap Pio kemudian menaiki motor dan meninggalkan Ilham yang terdiam, masih mencoba mencerna ucapan Pio.

*

Ilham memarkirkan motornya di depan Warung Ninik, tersenyum ketika melihat Ola melambaikan tangannya dari balik jendela yang membuatnya ingin berlari ke dalam dan memeluk gadis tersebut. Ilham kembali memejamkan matanya, mencoba mengontrol keinginan dirinya yang semakin hari semakin tidak dapat dikontrol. Ia sudah janji pada Ola untuk tetap menjaga hubungan mereka, namun kedekatan mereka membuat Ilham menjadi tamak. Setelah Ia dapat mengatur pikiran dan hatinya, Ilham menggantung helmnya dan berjalan masuk ke dalam toko. 

“Ham, tunggu ya, aku masih ngerapihin sesuatu nih.” Ujar Ola,
“Ada yang perlu aku bantu, nggak?” Tanya Ilham sambil menarik kursi di depan Ola, memandangi Ola yang sedang sibuk mengetik sesuai. 

Mendengar pertanyaan dari Ilham membuat gadis itu mendongakkan kepalanya lalu memasang sebuah cengiran, “Nggak kok, udah selesai. Tapi ini ada yang harus aku rapihin karena mau aku kirim besok, jadi biar bisa cepet selesai.” 
“Tumben cuma sendirian, Teh Anin sama Aca kemana?”
“Hmm, mereka udah balik duluan. Tadi aku pikir bakalan lama, ternyata selesainya cepet. Terus karena kamu mau kesini jadi mereka balik duluan.” Jelas Ola dengan pandangan masih fokus pada sesuai di laptopnya, 
“Tadi gimana meetingnya?”
“OH IYA! Setelah tiga tahun, akhirnya untuk pertama kalinya Warung Ninik akan jadi tempat untuk event!” Seru Ola, “Mereka dari brand skincare, terus mau ngadain private party untuk re-launch produk merekaaaaa!” Sebuah semburat kebahagiaan terlihat pada wajah Ola, membuat Ilham tidak dapat mengalihkan pandangannya. Sinar yang selama ini menghilang muncul kembali, sosok Ola di hadapannya memiliki semburat yang sama seperti dulu.
“Berarti yang lagi kamu buat ini untuk acara itu?”
“Iya, hehehe. Aku lagi buat rough menu untuk event mereka. Soalnya mereka minta custom menu makanan sama minumannya supaya bisa match sama tema acara mereka. Jadi aku lagi nyusun menunya dulu sebelum aku ajuin ke mereka.”
“Harganya?”
“Mereka udah ngasih batas budget mereka, jadi aku menu yang aku ajuin udah sesuai sama budgetnya sih.” Jawab Ola penuh semangat, “Ini semua karena kamu, tau.” 
“Kok karena aku?”
“Ya, kan kamu yang rekomendasiin Warung Ninik ke Meira, sampe akhirnya Meira ngeshare di sosmednya dia, dan viral, terus dilihat sama brand itu. Jadi, ini semuanya gara-gara kamu. Kata Aca sama Teh Anin juga gitu, katanya kamu lucky charmnya Warung Ninik.”
Ilham tertawa keras mendengar penjelasan Ola, “Terima kasih kalau kamu bilang itu karena aku, tapi semuanya itu karena kamu sendiri. Kalau makanan kamu nggak enak, pasti Meira nggak akan jadi pelanggan tetap Warung Ninik yang berarti dia nggak akan bikin review yang viral itu dan nggak ada brand yang tau tempat ini. Tapi, makanan kamu enak. banget malah. Jadi sebenernya, lucky charm-nya Warung Ninik ya kamu.” 

Ola memicingkan matanya, membuat Ilham memandang dengan ekspresi bingung, “Kenapa ngeliatin aku kayak gitu?” 
“Ini ternyata yang bikin cewek-cewek naksir kamu.” 
“Hah?”
“Mulut kamu terlalu manis, bahaya. Perasaan pas SMA kamu polos banget, kerjaannya berantem, disenyumin sama temen-temen cewek aku mukanya langsung merah. Di UCL kamu ngambil jurusan arsitek atau jadi tukang gombal?”
“Kamu tuh kemakan black campaignnya Pio, pasti dia kan yang nyebarin berita-berita kalau aku suka tebar pesona? Seumur aku hidup, aku baru pacaran tiga kali dan selalu tahunan. Nggak ada ya aku tebar-tebar pesona, aku mah setia anaknya.”
“Terus kenapa kamu putus sama Sheila? Aku kaget tahu tiba-tiba tahu kalian putus.” Tanya Ola, “Eh, aku cross the line ya, sorry kalau aku sembarangan nanya kepo kayak emak-emak,” 
 

Ilham menggelengkan kepalanya sambil tersenyum, Ia mencoba mengingat alasan kenapa dirinya dengan Sheila bisa putus, atau lebih tepatnya mengapa Sheila mengambil keputusan untuk mengakhiri hubungan mereka yang saat itu akan menginjak tahun ketiga. Pacar terlamanya. 
“Sheila mau ke jenjang yang lebih serius, sedangkan aku masih berpikir kita terlalu muda, masih banyak yang harus aku capai, karir aku belum stabil masih jadi pegawai kontrak, mau aku kasih makan apa dia nanti.” Jawab Ilham, 
“Kamu sedih nggak, tahu kalau dia mau nikah?” Tanya Ola lagi, Ilham menggelengkan kepalanya, 
“Aku malah bahagia dan tenang akhirnya dia bisa ketemu orang yang bisa ngasih apa yang ngga bisa aku kasih untuk dia.” Ola memandang Ilham lama sebelum akhirnya berkata, 
“Okay, aku tarik kata-kata aku. Kamu bukan playboy. Semoga kamu bertemu dengan jodohmu, Nak.” Kata Ola, menepuk bahu Ilha berulang kali sambil memasang senyum bijak, membuat Ilham tertawa keras.
“Udah ah, buruan! Aku laper nih, kita mau makan kan?” 
“Iya, sebentar kasih aku waktu…15 menit lagi.” Ujar Ola dan kembali memandang laptopnya dengan tatapan serius. 

Ilham memandang Ola sambil menopang dagunya dengan tangan kanannya. Pertanyaan Ola membuatnya mengingat kembali ucapan Sheila di hari mereka putus, sebenarnya alasan Sheila mengakhiri hubungan bukan karena Sheila menginginkan kepastian hubungan mereka, tapi alasan lain yang juga mengubah dirinya. Ilham masih ingat semua kata-kata Sheila hari itu, seminggu setelah makan malam dengan Mami, Ninik, dan kakak beradik Hidayat. Sebelumnya mereka masih baik-baik saja, bahkan ketika acara makan malam, Sheila terlihat sangat senang, dia bisa langsung akrab dengan Ola yang baru pertama kali Ia kenalkan secara langsung selama hampir tiga tahun hubungan mereka, dan tentunya Sheila juga terlihat nyaman dengan Pio dan Aca yang sudah bertemu dengan Sheila lebih dulu dibandingkan Ola. Semua masih baik-baik saja hingga seminggu kemudian, Sheila meminta mereka mengakhiri hubungannya.

“Aku tahu kamu selalu tulus sama aku, ketika kamu bilang kamu cinta aku, aku tahu kalau kata-kata itu jujur. Aku bisa ngerasain kalau kamu bener-bener cinta aku. Nggak ada sedikitpun ucapan dan perbuatan kamu yang buat aku ragu sama rasa cinta kamu ke aku. Tapi selama ini aku tutup mata, aku pura-pura nggak lihat kalau sebenernya hati kamu nggak akan pernah bisa untuk aku sepenuhnya. Aku pikir karena apa yang Papa kamu lakuin ke Mami, jadi kamu nggak bisa ngasih hati kamu ke aku sepenuhnya, karena kamu ngejaga diri kamu. Tapi, ternyata aku salah. Selama seminggu ini aku coba berpikir baik-baik, mencoba untuk mengingat hubungan kita sebelumnya, dan akhirnya aku baru sadar kalau ternyata alasan kamu nggak bisa buka diri kamu, alasan kamu nggak bisa ngasih diri kamu seutuhnya bukan karena orang tua kamu, tapi karena Mba Ola. Kamu tahu Ham, cara kamu natap Mba Ola itu beda.”
“Sheila, Kak Ola itu bener-bener udah aku anggap kayak Kakak aku sendiri…”
“Aku tahu kalau kamu sendiri nggak sadar sama perasaan kamu karena kamu selalu sembunyi dibalik kata itu. Kamu sembunyiin perasaan kamu di balik kata ‘Kakak’ sampai akhirnya kamu ke brainwash diri kamu sendiri kalau perasaan kamu ke Mba Ola memang hanya sebatas ‘Kakaknya Sahabatku’ dan aku nggak nyalahin kamu, tapi aku nggak bisa jalanin hubungan kita lagi.”
“Sheila, please…”
“Ham, aku sayang banget sama kamu dan berat buat aku untuk lepasin kamu karena aku cinta kamu. Tapi, kalau emang kamu sayang aku, tolong lepasin aku. Aku berhak untuk dapatin pasangan yang bisa kasih diri dan cinta dia seutuhnya buat aku. Dan kamu, kamu juga berhak untuk bisa memberikan seluruh diri dan cinta kamu untuk orang yang kamu sayang.”

Sheila memintanya untuk dapat jujur pada dirinya sendiri, untuk dirinya dapat memberikan seluruh diri dan cintanya pada Ola, namun satu-satunya yang dapat Ilham lakukan satu tahun sejak itu hanya dengan tidak memanggil Ola dengan panggilan Kakak lagi. 

Klinting…
Ilham melihat Ola mendongakkan kepalanya, melihat ke arah pintu yang berada di balik punggung Ilham dan ekspresi wajahnya langsung berubah membuat dirinya langsung mengetahui siapa yang baru saja datang tanpa perlu membalikkan tubuhnya. 
“Kalian cuma berdua?” Ujar suara itu, 
“Kenapa nggak bilang kalau mau kesini?” Tanya Ola, 
“Aku perlu ijin kah untuk ketemu pacar aku sendiri?” Rama mengembalikan pertanyaan Ola dengan sebuah pertanyaan, nada dalam ucapan itu entah mengapa membuat Ilham terasa kesal. Ia tahu bahwa ucapan tersebut untuk menyindir dirinya, namun Ilham mencoba untuk tidak terpancing dengan tetap mengarahkan pandangannya pada Ola. Gadis di hadapannya masih memandang Rama, tidak terlihat tanda-tanda Ola merasa tidak nyaman ataupun tanda untuk meminta bantuan darinya sehingga Ilham hanya duduk diam di posisinya. 
“Kita perlu bicara. Udah tiga hari kamu ngehindarin telepon sama chat aku.” 
“Kamu tahu alasan aku apa.” 
“Menurut aku kita bisa bahas ini berdua aja,” 
“Nggak, Ilham tetep di sini, Kamu yang pergi karena nggak ada yang perlu dibahas, kamu sendiri tahu permasalahan ini sebenernya ada di mana.” 
“La, come on.” 
“Kalau kamu nggak mau pergi, aku yang pergi.” Ujar Ola sambil menutup laptopnya, lalu merapihkan kertas-kertas di atas meja dan memasukannya ke dalam tote bag miliknya. Melihat itu Rama hanya menghela napas panjang, sambil mengacak rambutnya. 
“Kamu tuh ada apa sih tiba-tiba? Sebelum ini kita masih baik-baik aja. Aku salah apa?” Tanya Rama, “Kalaupun aku ada salah ngomong, bukannya malah manas-manasin aku sama tingkah kamu, yang ada jadi kamu yang keliatan nggak baik.” 
“Maksud kamu apa ya?”
“Menurut kamu selama tiga hari ini sampai malam pergi sama dia, main di apartemen dia, posting-posting di twitter itu enak dilihat? Kamu tuh pacar orang, jangan kayak cewek nggak bener lah posting kayak gitu.” Ucapan Rama membuat Ilham yang sedari tadi menahan diri untuk tidak ikut campur langsung berdiri dari duduknya, menatap Rama dengan pandangan menantang. 
“Ham…” Terdengar suara Ola dari belakangnya, dan juga sebuah genggaman dari tangan mungil Ola pada lengannya, mencoba menenangkan Ilham agar tidak emosi. “Rama, ini masalah kita, nggak usah bawa-bawa Ilham. Lagian kalau kamu juga bisa ketemu sama orang lain, kenapa aku nggak boleh?” Perkataan Ola membuat Ilham menoleh memandang Ola, terkejut. Berharap dirinya tidak salah dengar perkataan Ola. 
“…Kamu tahu aku butuh waktu untuk nyelesaiin itu…”
Ola hanya memandang Rama dengan tatapan lelah, “Ram, aku capek. Sekarang kamu tahu kan kenapa aku nggak mau ketemu selama tiga hari ini?” Ucap Ola, “Sekarang, please kamu pergi dari sini. Aku mau tutup toko dan kamu ngeganggu.”  
“Aku nggak akan pergi sampai kamu mau dengerin penjelasan aku.” 
“Rama, kamu tahu aku kan? Kamu tahu kan semakin kamu maksa aku, semakin aku akan ngejauh dari kamu.”
“Oke, oke. Sampai kapan aku harus nunggu kamu?” Tanya Rama, 
“Warung Ninik mau ada event, selesai event kita ngobrol. Setelah tanggal 25.”
Rama memandang Ola yang hanya balas menatap Rama seakan menegaskan bahwa tidak ada penawaran, apa yang dia minta tidak dapat diganggu gugat. “Aku masih bisa chat kamu?” Yang dibalas Ola dengan sebuah anggukan, Rama mendekat ke arah Ola lalu mengenggam tangan Ola pelan,
“Aku harap kamu bisa percaya aku. I miss you…and I love you so much.” Ucap Rama lalu berjalan meninggalkan Ola. 

Seharusnya saat itu Ilham tidak menoleh, karena dengan begitu dia tidak akan melihat ekspresi Ola. Ekspresi yang membuatnya sangat yakin bahwa mungkin ini adalah karmanya karena selama ini telah menyakiti hati orang-orang yang mencintainya dengan sepenuh hati. Karma untuk Ilham adalah harus memberikan sepenuh diri dan hatinya pada seorang wanita yang tidak dapat memberikan sepenuh diri dan hati untuk dirinya.

*

Ilham memberhentikan motornya di depan rumah Ola, yang sepanjang perjalanan hanya terdiam, membuat hati Ilham terasa sangat sakit. Dirinya ingin tertawa, mencintai Ola ternyata seperti bermain rollercoaster, pagi hari hatinya terasa dipenuhi kupu-kupu dan di malam hari ini Ia merasakan ribuan jarum menusuk jantungnya.

“La, kita udah nyampe.” Ucap Ilham sambil menepuk pelan punggung tangan Ola yang memegang pinggangnya, membuat Ola tersadar dari lamunannya dan memandang ke arah sekeliling mereka.
“Loh, kita kok di rumah?” Tanya Ola dengan nada terkejut. “Kita bukannya mau makan?” Tanya Ola lagi, yang dibalas Ilham dengan sebuah gelengan. 
“Udah terlalu malem, kamu juga pasti capek, daripada kita makan di luar, mendingan di rumah aja dan abis itu kamu bisa langsung istrirahat.” 
“Maaf ya…” Ucap Ola pelan,
“Hm?” Ilham menoleh ke belakang untuk dapat memandang wajah Ola, “Kamu tadi ngomong apa?” Ilham balas bertanya, 
“Nggakk, nggak ngomong apa-apa kok!” Ujar Ola, mencoba membuat suaranya terdengar lebih ceria sambil memegang pundak Ilham untuk menjaga keseimbangannya ketika turun dari motor Ilham. “Yaudah, kamu langsung balik gih…” Ucapnya begitu sudah turun dari motor, Ilham mengamati gerak-gerik dan raut wajah Ola, lalu dengan lembut melepas hem di kepala Ola sambil berkata,
“Jangan ngerasa bersalah, kita nggak jadi makan bukan karena kejadian tadi bikin aku tip-toeing di deket kamu Aku nganterin kamu balik biar bisa istirahat, besok kamu harus nyiapin banyak hal lagi, kan? Terus, nggak usah kepikiran aku bakalan makan apa, aku bukan Ilham umur belasan tahun yang kalau gak ada temen makan jadi nggak makan. Sekarang pikirin diri kamu dulu aja, gausah mikirin yang lain.” Ilham memberikan sebuah senyuman untuk menenangkan gadis di hadapannya yang pasti merasa bersalah karena kejadian di Warung Ninik tadi. Ola balas memandang Ilham dan raut wajahnya berubah, sebuah senyuman yang tampak lebih lepas terpasang di wajah mungilnya membuat Ilham tanpa sadar mengacak puncak kepala Ola. 
“Heh? Gak sopan sama orang tua???” Omel Ola dengan nada bercanda, membuat Ilham semakin mengacak rambut Ola untuk menggodanya, 
“Mulai muncul deh si paling orang tua nya, padahal keliatan masih bocil gini. Udah sana masuk. Jangan lupa cuci kaki, cuci tangan, sikat gigi ya sebelum tidur. Jangan ngemil lagi kalau udah sikat gigi ya, Cil.” Ledek Ilham,
“Bocil, bocil, kualat baru tau rasa. Udah sana kamu balik, awas bawa motornya jangan ngebut-ngebut ya.” Ola menepuk punggung Ilham lembut, “Eh! Jaket kamu!” Seru Ola begitu tersadar bahwa dirinya masih mengenakan jaket milik Ilham, 
Ilham menahan Ola yang sudah mau membuka jaket dengan menarik hoodie jaket dari belakang dan memasangkannya ke kepala Ola, “Jaketnya di kamu dulu. Besok malem aku jemput lagi, kita makan malem bareng ya. Janji?” 
Ola hanya mengerjapkan matanya, lalu menganggukkan kepalanya. 
“Nah, sekarang mending kamu masuk ke rumah duluan, kunci pintu-pintunya, baru aku pulang. Jangan protes, aku nggak akan pulang kalau kamu nggak masuk ke rumah duluan.”
“…Aku nggak suka kalau kamu tiba-tiba dewasa kayak gini…”Ucap Ola sambil memicingkan matanya ke arah Ilham, tanpa menunggu jawaban Ilham, gadis tersebut langsung membalikan tubuhnya dan berjalan masuk ke rumah. 

Setelah mengunci gerbang, Ola melambaikan tangannya dari balik pagar dan berjalan masuk ke dalam rumah. Melihat Ola telah masuk ke dalam rumah, Ilham menyalakan mesin motornya namun ketika Ia baru saja ingin melajukan motornya, Ia melihat sesosok laki-laki keluar dari sebuah mobil yang terparkir tidak cukup jauh dari rumah Ola. Ilham menghela napasnya begitu sosok yang sedang berjalan ke arahnya terpapar sinar lampu motornya. 
“Kita bisa ngobrol berdua?” 
“Di depan perumahan ada warung kopi.” 
“Oke, ketemu di sana.” Ucap laki-laki tersebut sebelum Ia berjalan kembali ke mobilnya. Ilham mengenakan helmnya, lalu melajukan motornya, melewati mobil milik Rama yang kemudian mengikutinya dari belakang.

Ilham menaruh helm miliknya di atas stang motor, kemudian berjalan masuk ke dalam warung kopi. Dirinya memesan secangkir kopi hitam, dan mengambil duduk di bagian dalam warung kopi. 5 menit kemudian Rama datang, laki-laki tersebut terlihat mencari Ilham kemudian berjalan ke arah tempat duduk Ilham ketika Ia menemukannya. Keduanya hanya terdiam, Rama sendiri hanya bersuara ketika Ia memesan kopi yang sama seperti Ilham. 

“Lo ngajak gue ketemu buat ngobrol atau emang cuma mau ngopi aja?” Tanya Ilham, membuka percakapan di antara keduanya meskipun dirinya tahu bahwa saat ini Rama sedang mencoba mengatur pikirannya. Melihat Rama yang langsung menghampirinya tidak lama setelah Ola masuk ke dalam rumah, dan selama Ia dan Ola di depan rumah dirinya tidak melihat ada mobil yang lalu lalang, maka bisa dipastikan Rama sudah berada di depan rumah Ola sebelum mereka tiba dan pastinya melihat keduanya dari dalam mobil.
“Ola baik-baik aja?”Tanya Rama akhirnya, 
“Menurut lo?” 
“…Gue pikir dia emang lagi nggak baik-baik aja, tapi gue liat dia kalau sama lo baik-baik aja.” Rama mengurut pelipisnya, “Gue nggak tahu salah gue apa, sebelumnya kita masih chat dan teleponan kayak biasa, terakhir chat gue bilang kalau nyokap mau ke tempat dia, tiba-tiba semaleman dia nggak ada kabar dan pulang-pulang sama lo. Abis itu sampe sekarang telepon dan chat gue gak dibales.” 
Ilham memandang Rama yang masih mengurut kedua pelipisnya, tidak seperti Rama yang selama ini dia lihat, rambutnya terlihat berantakan dan sepertinya Rama sudah tidak merapihkan janggut dan kumisnya beberapa hari ini. Melihat kondisi Rama yang sepertinya tidak jauh lebih baik dari Ola,
“Apa gue ceritain tentang nyokapnya?” Ilham mencoba menimbang-nimbang, kemudia Ia bertanya, “Lo bilang kalau terakhir komunikasi pas lo infoin ke Ola kalau nyokap lo mau ketemu dia. Lo udah sempet nanya nyokap lo?”
“Maksud, lo?” 
“Ya, maksud gue mungkin nyokap lo sama Ola ketemu dan ada sesuatu yang akhirnya bikin Ola seperti ini?” 
Rama memundurkan tubuhnya, bersandar pada kursi, lalu menggelengkan kepalanya, “Nyokap gue bilang dia nggak ketemu sama Ola. Lagian apa hubungannya sama nyokap gue sampai Ola marah kayak gini?” 
“Mungkin nyokap lo yang nggak cerita ke lo?” 
“Lo kenapa jadi arahinnya ke nyokap gue yang nggak ada hubungannya antara gue sama Ola, ya?” Terdengar suara Rama meninggi tanda dirinya defensif dan tidak suka dengan arah pembicaraan Ilham, “Yang gue mau pastiin di sini, lo ada apa sama Ola?” 
“Lo sama sekali nggak melihat apa hubungannya nyokap lo sama hubungan kalian?” Tanya Ilham tidak mengindahkan kalimat terakhir dari Rama,  
“Ola cerita ke lo tentang perjodohan gue?”

Mendengar perkataan Rama membuat Ilham mencoba menghubungkan dengan ucapan Ola di Warung Ninik tadi, dan malam sebelumnya ketika Tante Ratna menghubungi Ola. Ilham tertawa pelan, lalu menggelengkan kepalanya, tidak menyangka dirinya pernah meyakini Rama adalah orang yang terbaik untuk menjaga dan mencintai Ola, “Dan lo masih coba nyalahin Ola dengan bawa-bawa gue.” 
“Ola tahu kalau gue akan selesaiin masalah itu.” 
“Lo mau tahu masalahnya apa, kan?” Tanya Ilham, “Masalahnya ada di lo. Lo terlalu pengecut, dan sikap pengecut lo itu yang bikin Ola sakit. Gue luangin waktu untuk ngobrol sama lo berpikir mungkin gue bisa bantu kalian tapi ternyata gue salah. Lo nggak pantes buat Ola.”
“Lo tau apa tentang gue sama Ola.”
“Yang gue tau, lo udah bikin sakit Ola dan gue nggak akan diem aja.” 
“Ola pacar gue. Dan lo cuma adek kecil di mata Ola.”
“Lo nggak akan ngajak gue ketemu kayak gini kalau lo masih berpikir Ola cuma ngelihat gue sebagai adek kecil sahabatnya Pio.” Ilham berdiri dari duduknya, lebih lama lagi keduanya tidak akan dapat berbicara dengan tenang seperti ini lagi, sudah pasti mereka akan adu jotos dan hal tersebut hanya akan membuat beban pikiran Ola. 
“Gue minta lo jauhin Ola. Dia punya gue.”
“Ola bukan barang, dia punya hati dan pikiran. Selama Ola masih minta gue untuk di samping dia, gue akan tetap di samping dia. Kalo lo emang masih mau pertahanin hubungan lo sama Ola, jangan jadi pengecut, gue rasa lo sebenernya tahu masalah utama kalian apa. Tapi lo takut. Selama lo masih jadi pengecut, gue nggak akan diem aja sekarang. Gue bakalan bikin Ola ngeliat ke arah gue.” Ilham menepuk bahu Rama pelan, lalu berjalan ke arah motornya. Meninggalkan Rama yang masih terdiam memandang gelas kopinya yang tidak Ia sentuh sama sekali.

Selama sembilan tahun ini Ilham selalu berlari dari perasaannya yang berujung Ia menyakiti hati banyak orang dan juga dirinya sendiri. Selama ini Ia pikir mencintai Ola dari jauh sudah cukup karena sudah ada orang yang lebih baik darinya di samping Ola. Tapi melihat Rama seperti seorang pecundang yang hanya bisa terdiam dan menutup matanya dari rasa sakit Ola, membuatnya tidak lagi ingin mencintai Ola dari jauh. Ia akan menunjukkan cintanya pada Ola, membuat Ola bahagia dan melihat dirinya.

*

Hilman, sahabatnya memandang Ilham dengan muka bingung campur kesal, bingung karena tumben sahabatnya itu datang tanpa menghubungi, kesal karena Ia harus menghentikan permainannya di PS5 untuk membuka pintu apartemen studionya. 

“Lesu amat muka lo.” Komentar Hilman yang melihat Ilham masuk ke dalam dengan wajah kusut dan langsung menelungkupkan tubuhnya di sofa kulit panjang milik Hilman,
“Lo nggak bawa makanan? Si anjing, udah gangguin gue lo nggak bawa apa-apa lagi ke sini.” 
“Go food aja.” Ucap Ilham dengan wajah masih menelungkup di sofa Hilman, 
“Lo yang bayar ya.”
“Lo yang ambil ke resepsionis.”
“Iye anjing. Lo kenapa sih? Biasanya kalau kayak gini gara-gara Mba Ola, nih. Kata gue cari cewek, setahunan ini lo udah kayak orang gila.” 
“Nggak bisa gue, udah mentok sama Ola.” 
“Mau jadi perjaka tua lo? Mba Ola udah ada cowoknya, siapa tuh lupa mulu gue namanya dia. Gue ingetnya mobil dia doang, terakhir ketemu kayaknya dia bawa Tesla.” 
“Rama. Tadi dia bawa Porche 911 GT3.”
“Bangsat, terakhir gue ketemu awal tahun nggak sih, 6 bulan lalu berarti. Gue udah dua tahun bawa Brio itu juga baru selesai cicilannya.”
“Tiga hari lalu dia bawa BMW 840I.”
“Kata gue mending lo nyerah, gue tau lo juga kaya raya, tapi kalau dibandingin sama Rama lo tetep keliatan kayak rakyat jelata.” Saran Hilman, “Walaupun gue tahu banget Mba Ola bukan tipe yang ngeliat kekayaan tapi sebagai orang waras masa lebih milih lo sih dibanding Rama.” 
 

Ilham mengubah posisi menelungkupnya menjadi memandang langit-langit apartemen Hilman, “…Gue lagi jadi selingkuhannya Ola.” 
“Nah, kan, apalagi kalau jadi APAAN? SELINGKUHAN?” Hilman yang sedang asik mencari makanan di Gofood hampir menjatuhkan ponselnya saking kagetnya, “Gue nggak salah denger kan? Lo nggak lagi halu kan?”
“Ola minta tolong ke gue karena Rama nggak akan mau putusin dia, jadi harus cari cara ekstrim biar mereka bisa putus.”
“Dengan lo jadi selingkuhannya?” Tanya Hilman histeris, yang dijawab oleh Ilham dengan sebuah anggukan, “Kenapa Mba Ola mau putus, perasaan mereka happy-happy aja makanya lo uring-uringan mulu?” 
“Karena ternyata Rama lagi dijodohin sama keluarganya.” 
“BANGSAT?” Hilman berteriak kencang, berjalan ke arah Ilham lalu duduk di atas meja yang berada di samping sofa tempat Ilham berbaring, “Tiba-tiba gue nggak bisa mikir. Coba bantu gue urutin ini semua, jadi Mba Ola mau putus sama Rama?”
“Iya…”
“Karena dia mau putus, dia minta lo jadi selingkuhannya tapi…cuma pura-pura?”
“Gue sebenernya kalau beneran juga nggak apa-apa.”
“Anjing, diem dulu. Ini semua karena si Rama dijodohin keluarganya sama orang lain makanya Mba Ola mau putus tapi Rama nggak mau, jadi Mba Ola ngajak lo pura-pura jadi selingkuhan supaya kalau ketahuan si Mba Ola bakalan diputusin sama Rama?” 
“Ginian aja otak lo cepet nangkep, Man.” 
“Anjing, ini realita apa plot drama korea kesukaannya Mita?”
“Gue juga berharap ini cuma halu gue aja.”
“Atau mungkin ini emang cuma rekayasa otak lo doang saking desperate-nya lo pengen pacaran sama Mba Ola?”
“Goblok anjing pikiran lo. Kaga lah, beneran ini.”
“Bangsat, pantesan lo upload foto-foto itu di twitter??” Teriak Hilman lagi begitu menyadari bahwa temannya tidak sedang berhalusinasi, “Gue udah curiga karena kok bisa lo posting Mba Ola, selama ini lo kan cuma bisa kayak stalker posting Mba Ola di akun kosongan lo. Sampai gue sempet mikir apa lo lagi sakit keras terus udah mau mati jadinya udah ugal-ugalan aja posting Mba Ola di akun publik lo.”
“Mending lo wudhu dulu, Man. Mulut lo ngga ada adab banget.” 
“Gue kristen anjing ngapain lo nyuruh gue wudhu.”
“Yaudah lo minum air suci deh, biar mulut lo nggak kayak setan.”
“Mabok aja apa kita?”
“Nggak dulu, gue mau tobat biar doa gue diterima sama Allah.”
“Anjing, beneran mau ugal-ugalan lo?”
“Menurut lo gue egois nggak ya kalau gue nunjukin perasaan gue buat Ola?” Tanya Ilham pada sahabatnya yang tampak sedang berpikir keras, 
“Tergantung…Kalau misalnya Mba Ola emang cinta banget sama Rama, dan sebenernya problem Rama bisa diselesaikan sama dia, dengan lo masuk dihubungan mereka ya, egois sih.” Jawab Hilman, “Tapi, kalau ternyata emang Mba Ola juga nggak cinta lagi sama Rama dan lo yakin bisa bikin dia bahagia daripada sama Rama, kenapa nggak?” 
“Ola masih cinta sama Rama…”
“Tau dari mana? Kalau masih cinta ngapain coba dia sampai ngajak lo jadi selingkuhan pura-puranya dia?”
“Kan gue bilang, karena Rama mau dijodohin biar diputusin.”
“Yaudah lah lo tikung aja si Mba Ola.”
“Lo ngasih saran yang bener dong!”
“Mau saran kayak gimana lagi bangkeeeee. Sat gue gofood kopi nih, lo mau apa?” 
“Ice americano.” 
“Nggak makan lo?” Tanya Hilman, 
“Nggak napsu. Kopi aja.” 
“Yodah gue pesen martabak aja ya. Transfer ke gopay gue ya, met.”
“Iya.”
“Met…”
“Apasih!” 
“Itu hape lo geter-geter anjing.” Ilham mengangkat kepalanya, mencari ponselnya yang Ia letakan di meja, langsung menegakkan tubuhnya begitu melihat nama yang tampil di layar ponselnya, 
“Ya, La?” Sapa Ilham, sebuah senyuman mengembang di wajahnya begitu mendengar suara Ola, “Hah? Kok tau aku di apartnya Hilman?” Tanya Ilham sambil melirik ke arah Hilman yang saat ini sudah menjauh dari jangkauan Ilham, 
“Aah, si Hilman ngepost di twitter. Nggak kok, nggak ada apa-apa, itu si Hilman aja yang kurang kerjaan. Iya, rencananya mau nginep di apartnya Hilman. Udah, udah makan kok. Nggak, nggak akan begadang. Iya…Iyaaa…Oke, sampai besok…” Hilman yang melihat wajah lusuh sahabatnya berubah menjadi cerah langsung tertawa kencang, 
“Muka lo langsung sumringah cuma karena ditelepon Mba Ola, gimana kalau Mba Ola ngajak lo jadian? Jantung lo berhenti gue rasa saking shock dan bahagianya.” Ucap Hilman, “Mana sok imut banget si anjing, nurut banget lagi cuma iya iya aja. Baru kali ini gue liat lo bisa nurut, emang pawang lo cuma Mba Ola.” 
“Lo posting apaan sat di twitter?” 

Hilman hanya tertawa keras ketika melihat Ilham berteriak kesal karena melihat postingan Hilman di twitter. “Jangan marah, gara-gara postingan gue itu mba Ola nelpon lo!” Tawanya semakin keras karena Ilham hanya bisa terdiam di tempat duduknya karena merasa berhutang budi pada Hilman.

*

Ilham mengecek ponselnya, melihat pesan dari Ola yang menginformasikan hari ini Warung Ninik tidak akan beroperasional karena event launching yang akan berlangsung hingga pukul 2 siang dan setelahnya karena jadwalnya kosong Ia ingin mengajak Ilham untuk makan malam merayakan acara pertama di Warung Ninik. Ilham tersenyum membaca pesan Ola, selama dua minggu ini dirinya selalu bertukar pesan dengan Ola, sekedar menginformasikan jika dirinya sudah tiba di kantor, Ola menceritakan customer Warung Ninik atau bertanya apakah dirinya sudah makan siang, lalu jika dirinya tidak ada meeting atau lembur, Ia akan menjemput Ola lalu menyempatkan untuk makan malam bersama sebelum mengantarkan Ola ke rumah. Dua hari terakhir karena Ola tidak dapat istirahat dengan tenang karena menjelang acara, Ia menawarkan untuk sleep call, menemani hingga Ola akhirnya tertidur. Ilham hampir lupa jika saat ini hubungan mereka hanya sekedar ‘pura-pura’ jika tidak diingatkan dengan cerita Ola mengenai pesan yang dikirimkan oleh Rama kepadanya setiap hari. Mereka masih memiliki rencana terakhir yang Ilham tolak mentah-mentah ketika pertama kali mendengar ide gila tersebut dari Ola. Sejak saat itu Ola tidak pernah mengungkit ide gilanya, namun Ilham bisa melihat bahwa Ola merasa rencana mereka tidak terlalu berhasil karena Rama masih terus mencoba melihat tidak ada yang salah dengan hubungan antara Ilham dan Ola. Ilham tahu bahwa sebenarnya Rama sudah merasa terancam dan tidak nyaman dengan kedekatan Ilham dengan Ola, melihat dari reaksi Rama terakhir kali mereka bertemu tapi dirinya tidak dapat menceritakan pemikirannya tersebut karena itu artinya Ia juga harus cerita tentang pertemuan antara dirinya dan Rama dua minggu lalu. 

Ilham langsung menekan nomor telepon gadis tersebut, 
“Halo…”
“Hai~” Terdengar suara Ola membalas sapaan Ilham, 
How’s the preparation?” Tanya Ilham, 
Good, semua bahan makanan udah siap, warga-wargi sudah standby. Aca sama Teh Anin semangat banget, sampai Ninik juga dari tadi nggak berhenti bolak balik. Warung Ninik juga udah cantik banget, kamu liat kan foto yang tadi aku kirim?” Seru Ola penuh semangat, “Sumpah aku deg-degan banget. Sayang banget acaranya nggak weekend, jadi kamu nggak bisa langsung di sini.” Ucap Ola, 
“Bilang aja kamu mau perbudak aku, nggak usah akting sedih deh,” 
“Ehehe, by the way, kamu bisa kan malam ini? Nggak ada meeting, kah?” 
“Bisa kok, nanti aku jam lima langsung ke toko ya, aku jemput.” 
“Nanti naik mobil aku aja gimana? Mobil kamu kalau ditinggal di kantor aman nggak? Biar kamu nggak kejebak macet, kamu naik MRT aja ke sininya. Besok pagi aku anterin ke kantor!”
“Wah? Tawaran menarik nih besok aku dianterin ke kantor, berasa dianter istri?” Pancing Ilham, hatinya sedikit takut Ola merasa tidak nyaman namun Ia mendengar sebuah tawa panjang dari Ola, 
“Ngarepnya!” Jawab Ola, “Yaudah, kamu kerja lagi gih, biar bisa pulang cepet.”
“Sukses ya hari ini, jangan lupa harus tetep makan.”
“Iyaa, tadi buburnya udah dimakan sama aku, kata Ninik makasih untuk buburnya.” 
“Salam buat Ninik, jangan terlalu capek ya.”
“Hmm~ Bye…”
“L...Bye!” Tutup Ilham, lalu mengutuk dirinya yang hampir saja kelepasangan ingin mengucapkan kata ‘love’, dirinya memang sudah berencana untuk menunjukkan cintanya secara ugal-ugalan pada Ola tapi masalahnya dia terlalu takut, takut kehilangan kedekatan mereka saat ini jika dirinya salah langkah terutama di situasi hubungan Ola dan Rama yang masih belum jelas. Dirinya juga masih takut untuk mengetahui bagaimana perasaan Ola saat ini pada Rama, kekasihnya. Ilham menarik napasnya mencoba untuk kembali fokus pada pekerjaannya, first thing first, Ia harus bisa menyelesaikan pekerjaannya agar dapat pulang tepat di pukul lima.

Drrt..Drrrt…Drrt…Ponselnya yang berada di saku celananya bergetar, terdapat pesan dari Ola yang menanyakan apakah dirinya dapat pulang tepat waktu di jam 5. Ia langsung mengecek jam tangannya yang telah menunjukkan pukul 04.45, Ilham langsung memandang ke arah seniornya yang masih berada di cubiclenya. Dirinya sudah memberikan data yang diminta sejak siang tadi, namun belum mendapatkan feedback sedari tadi. Ia mengetuk-ngetuk mejanya dengan pulpen lalu memberanikan diri untuk menghampiri seniornya, Mas Yusuf. 

“Mas Yusuf. Sorry, untuk laporan dan data yang tadi siang saya kasih kira-kira feedbacknya gimana ya mas?” Tanya Ilha setelah mengetuk pelan cubicle Mas Yusuf, yang langsung menoleh ke arah Ilham, 
“Oh iya, sorry sorry, gue lupa mau infoin ke lo. Ini udah gue check hitungannya udah oke sih tapi ada beberapa yang mau gue minta lo cari data tambahan tentang area sekitar, gue udah kasih notesnya langsung di excelnya ya. Abis lo kasih data tambahannya tolong buat presentasi untuk proposalnya.” 
“Hari ini juga, Mas?” Tanya Ilham pelan, Mas Yusuf mengecek jam di laptopnya, 
“Lah udah mau jam 5 ya? Deadlinenya lusa, lo kerjainnya besok aja. Lusa pagi tapi ya, kita ada meeting sama klien hari Jumat soalnya.”
“Oke Mas, siap! Mas, gue sekalian ijin tenggo ya mas…”Pinta Ilham, 
“Jemput cewek lo ya?” Ledek Mas Yusuf yang dijawab Ilham dengan sebuah cengiran lebar, “Tau banget gue muka lo dari tadi nggak tenang ngeliatin jam. Gih, buru biar nggak kena macet!” 
“Sumpah, Mas Yusuf, gue doain lo selalu dikasih kesehatan, kebahagiaan, dan rejeki yang berlimpah!” Seru Ilham, 
“Giliran gini lo doain gue baik-baik! Udah sana kalau mau cabut.” Ilham memasang gaya hormat sebelum berlari kecil ke arah mejanya dan mulai merapihkan barang-barangnya, tangan kirinya dengan lincah langsung menekan nomor Ola, 
“La, aku otw ya, kamu siap-siap ya!” Ujar Ilham tanpa menunggu Ola mengucapkan salam, 
“Iya, hati-hati yaaa…”
“Tadi selesai jam berapa? Toko udah rapih? Kamu sama siapa? Nggak nunggu sendirian, kan?” 
“Selesai jam 2, toko udah rapih. Teteh Anin baru aja balik, kalau Aca tadi langsung kusuruh balik duluan pas makan siang udah ke serve semua, kasian soalnya kalau Ninik harus nungguin. Aku liat tadi kayaknya udah kecapean.”
“Berarti kamu ini cuma sendirian dong? Apa aku naik gojek aja, ya?” 
“Masih terang kali baru juga jam 5, aku juga udah biasa sendirian kalau rapihin toko malem. Lagian kan ada Pak Budi yang jagain area toko. Kamu jangan naik gojek, MRT aja biar lebih tenang, nggak usah buru-buru.” 
“Ya, abisnya belakangan ini ada berita serem mulu, takut aja akunya. Ini aku lagi jalan turun ke lobby, tunggu yaaa…”
“Iya, Ilhaaaam. Udah ah, tutup teleponnya aja, kalau jalan sambil teleponan bahaya." Ucap Ola, yang dibalas oleh Ilham dengan sebuah kekehan, 
“Sampai ketemu 15 menit lagi ya!” 
“Hmmm…bye~”
“Bye~” 
Ilham tersenyum, berharap dirinya memiliki pintu kemana saja agar dapat tiba di Warung Ninik lebih cepat.

Setelah lima belas menit perjalanan dari kantor menuju Warung Ninik, akhirnya Ilham tiba di depan Warung Ninik. Ia dapat melihat Ola yang sedang asik membaca buku. Ilha berjalan ke arah jendela besar, lalu mengetuknya, mencoba mengalihkan fokus Ola dari bukunya. Ola yang mendengar suara jendela diketuk langsung menoleh ke asal suara dan langsung tersenyum lebar begitu melihat Ilham sedang berdiri sambil melambaikan kedua tangannya. Ilham berjalan masuk ke dalam Warung Ninik, 
“Gimana acara hari ini?” Tanya Ilham sambil menghampiri Ola, menaruh ranselnya lalu duduk di samping Ola, 
“Kalau ngeliat reaksi tamu-tamunya pada suka, teruuuuus tadi ada ownernya juga, bule Inggris, aku udah deg-degan banget karena makanan yang aku sediain buat acara ini Indonesia banget, tapi ternyata dia suka banget sampe nyamperin ke aku pas acaranya udah selesai. Nanyain chef nya siapa, terus minta kontak pribadi aku.”
“Naksir kamu, kah?” Tanya Ilham, 
“Ibu-ibu! Masa cemburu sama ibu-ibu, sih!” Seru Ola sambil menepuk bahu Ilham, melihat reaksi Ola, Ilham langsung memandang Ola lekat-lekat, “Kenapa ngeliatin aku kayak gitu sih?” Tanya Ola,
“Emang aku boleh cemburu sama kamu?” Tanya Ilham pelan, Ola membuka mulutnya, lalu kembali menutupnya, mata bulat Ola berulang kali mengerjap, bingung harus menjawab apa. Terlihat semburat merah di pipi gembil Ola, membuat Ilham semakin mendekatkan wajahnya. 
“Aku boleh pegang pipi kamu?” Tanya Ilham lagi, Ola kembali membuka mulutnya, terkejut dengan permintaan Ilham dan hanya dapat menganggukan kepalanya pelan. Ilham tersenyum sambil mengelus lembut pipi Ola, tidak melepaskan pandangan matanya pada Ola yang berulang kali mencoba mengalihkan pandangannya, 
“Kayak mochi.” Ucap Ilham, sambil mencubit pipi Ola pelan, terlalu gemas terutama karena semburat merah yang semakin terlihat di wajah Ola. 
“Aku bukan mochi ya!” Seru Ola, yang akhirnya balas menatap Ilham, dan sepertinya menyadari hal tersebut adalah kesalahan karena Ilham semakin mendekatkan wajahnya ke arah wajah Ola, meninggalkan jarak satu jengkat antara wajah Ilham dan Ola. Ilham kembali mengulang pertanyaannya, 
“Aku boleh cemburu sama kamu?” Tanya Ilham, yang akhirnya dijawab oleh Ola dengan sebuah anggukan pelan. Melihat anggukan tersebut entah bagaimana membuat sebuah keberanian muncul pada dirinya, “Kalau gitu, aku boleh cium kamu?” Tanya Ilham lagi, Ola hanya balas menatap Ilham tidak menjawab pertanyaannya sama sekali. 

Melihat reaksi Ola membuat Ilham menyadari dirinya terlalu melewati batas, baru saja Ia mau menjauhkan wajahnya, tiba-tiba Ola mendekat dan mengecup bibirnya dengan lembut dan cepat. Cup!

Kali ini giliran Ilham yang membulatkan matanya, terkejut dengan hal yang baru saja dilakukan oleh Ola. Menyadari apa yang baru saja Ia lakukan, Ola langsung memundurkan wajahnya sambil menutup bibir mungilnya dengan kedua tangannya.

Braaak! 
Pintu Warung Ninik terbuka dengan kencang, membuat Ola dan Ilham menoleh ke arah pintu masuk terkejut, dan semakin terkejut ketika melihat siapa yang baru saja masuk ke dalam. 
“Apa-apaan kalian?” Tanya orang tersebut,
“Ram…” Ola berdiri dari duduknya, diikuti oleh Ilham yang langsung berdiri menghalangi Ola dari Rama. 
“Ola, kamu sadar apa yang kamu lakuin tadi? Kamu sadar nggak saat ini posisi kamu apa? Aku tahu kita lagi berantem tapi kamu masih pacar aku!” Teriak Rama, “Dan lo! Kemarin gue masih nahan emosi gue karena gue tau gue salah, tapi kali ini gue nggak bisa diem aja, Anjing! Ini maksud lo mau bikin Ola ngeliat ke arah lo?” Rama menarik kerah kemeja Ilham, tangannya sudah mengepal bersiap untuk melayangkan tinjunya ke arah wajah Ilham namun terhenti karena teriakan Ola
“Rama! STOP!” Teriak Ola, Ia menarik tangan Rama dari kerah Ilham, “Stop!”
“La…”
“Ram, stop. Kamu tadi nanya sama aku kan, aku sadar atau nggak sama apa yang aku lakuin? Aku sadar. Dan aku tahu kalau aku masih pacar kamu, karena itu…” Ola menarik napasnya panjang sebelum akhirnya Ia melontarkan tiga kata tersebut, “Aku mau putus.” 
“Terserah kamu mau mandang aku kayak gimana, kamu bilang aku apapun, nggak tau diri, tukang selingkuh, dan semua hinaan atau kata kasar yang ada di otak kamu saat ini. Tapi, kalau aku nggak ngomong sekarang, selamanya aku nggak akan bisa ngomong, dan selamanya aku hanya nyakitin hati kamu dan nyakitin hati aku sendiri.”
“Aku udah nggak cinta sama kamu. Aku nggak pernah berpikir hubungan kita selama sepuluh tahun ini bisa, perasaan aku ke kamu selama sepuluh tahun ini bisa hilang gitu aja, tapi ternyata aku salah. Dua minggu ini ternyata bisa ngubah perasaan aku ke kamu, ternyata bisa bikin aku lupa sama kamu. Aku tahu kalau aku salah karena aku masih pacar kamu, tapi kamu juga salah. Maaf kalau aku mau egois, tapi kamu harus tahu, kamu yang bikin aku dengan mudah ngelupain kamu.” 
“Aku udah nggak sayang sama kamu. Aku…” Ola memotong kalimatnya, Ilham melihat tangan Ola gemetar, tampak mencoba mencari pegangan untuk menyangga tubuhnya, sebelum Ia sempat meraih tangan Ola, Ola menoleh ke arah Ilham lalu meraih dan mengenggam tangannya. “Aku cinta Ilham.” 

Belum sempat Ilham bereaksi, sebuah tonjokan kencang melayang ke arah wajahnya diikuti oleh jeritan dari Ola. “STOP! RAMA!” Ola menarik baju Rama yang terus menerus memukul Ilham, sedangkan Ilham hanya menghalangi wajah dan kepalanya dari pukulan Rama dengan kedua lengannya, mendengar teriakan Ola membuat Rama akhirnya menghentikan pukulannya lalu berjalan menjauh dan menarik kursi kemudian duduk sambil menangkupkan kepalanya. Ola dengan cepat namun tetap pelan, mengangkat tubuh Ilham dan memeriksa area wajah dan sekitar kepala Ilham, 
“Aku nggak kenapa-napa. Dia cuma nonjok wajah aku sekali, setelahnya dia cuma mukul lengan aku aja.” 
Ola menggelengkan kepalanya, “Nggak bisa, lebih baik kita check ke dokter.” Ola mencoba mencari ponselnya, bertepatan dengan ponsel milik Ola berdering. Ola menarik napas panjang, mencoba menenangkan dirinya, tangannya yang gemetar mulai berkurang dalam genggaman Ilham. 

“Halo, Ca? Ada apa?” Tanya Ola begitu merasa dirinya lebih tenang, “Teteh masih di toko, sama Ilham. Ada apa, kamu kenapa kedengaran panik banget? Coba ngomong pelan-pelan, ada apa?” Melihat wajah Ola yang merah karena amarah tiba-tiba berubah pucat pasi, tangan yang Ia genggam langsung mencengkram tangan Ilham dengan keras sedangkan tangan yang memegang ponsel tiba-tiba terasa lemas hingga Ia tidak dapat memegang ponselnya lagi, 
“Ninik jatoh…Ilham…Ninik…Aku harus gimana.”

Ilham langsung memeluk Ola dengan erat.

*

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya All alright
0
0
Semuanya terjadi begitu saja pada hidup Ola. Mulai dari kondisi Ninik yang memburuk, Rama yang terus menerus mencoba memperbaiki hubungan mereka yang sudah terlalu jauh untuk diperbaiki, dan Ilham. Ilham. Ola mencoba mencari kata yang tepat untuk mengartikan rasa yang muncul di hatinya. Apa yang harus Ia lakukan? Apakah Ia harus menutup mata dan hatinya? Apakah Ia harus membuka hatinya untuk yang baru? Atau mencoba memperbaiki yang sudah ada? 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan