Comfort Crowd

2
1
Deskripsi

"Kamu mikir gak apa yang bakalan terjadi kalau rencana kamu berhasil? Apa yang bakalan terjadi sama hubungan kita? Apa yang orang-orang pikir tentang kita?” 

Pertanyaan dari Ilham yang tidak dapat dijawab oleh Ola, tidak ketika hanya ada satu jawaban yang muncul dalam benaknya dan itu bukan Ilham.

Ola

comfort crowd

This hurt that I’m holding’s getting heavy 
But I’ma keep a smile on my shoulders ‘til I’m sweaty 
Begging on my knees, screamin’, 
“Someone come and help me”

Ola mencoba menghindari pandangan dari laki-laki di hadapannya yang sedang berulang kali bolak-balik sambil mengurut pelipis dengan mata memandangi dirinya. Ola paham bahwa apa yang Ia minta pada Ilham adalah hal yang tidak masuk akal sama sekali, tapi…

“Ham, kamu bisa gak sih berhenti bolak-balik dan stop ngeliatin aku kayak gitu?” Tanya Ola, akhirnya bersuara setelah sedari tadi Ia mengunci mulutnya setelah menjatuhkan bom kepada Ilham, yang kini berjalan mendekati Ola. Ilham berdiri di hadapannya, tatapannya sangat tajam dan serius, tatapan yang belum pernah dirinya lihat karena selama ini Ilham selalu memberikan tatapan jahil untuknya. Ilham memegang kedua bahu Ola dengan pelan, 
“Kamu paham sama yang tadi kamu minta? Kamu ngerti apa resikonya? Kamu sadar apa yang kamu ucapin?” 
“Paham, ngerti, dan sadar.” Jawab Ola, balik menatap sepasang mata hitam pekat yang dinaungi alis tebal itu, “Aku mau kamu jadi selingkuhan aku.” Ilham memejamkan matanya mencoba menahan emosinya, Ia melepaskan genggaman tangannya di kedua bahu Ola, kembali mengurut pelipisnya.
“Cuma pura-pura, supaya Rama bisa ninggalin aku.” 
“Kamu bisa putusin dia tanpa harus pura-pura selingkuh sama aku, Ola.”
“Terus, alasan aku mutusin dia apa? Bosen? Menurut kamu dia terima alasan itu? Yang ada Rama bakalan makin berusaha untuk ngubah semuanya sesuai sama keinginan aku.”

Ola tahu betul sifat pacarnya itu, apalagi jika berhubungan dengan dirinya pasti Rama akan mengusahakan segalanya, “Atau aku harus jujur karena Mama dia dateng dan minta kita putus sampai nampar aku? Terus bikin dia berantem sama Mamanya dan semakin memperkeruh keadaan dan yang akan kena imbasnya ya aku lagi. Aku nggak mau sampai Tante Ratna dateng lagi ke toko atau ke rumah terus ketemu Ninik dan harus denger semua hinaan dari dia. Aku nggak mau.” Dan dirinya pun tahu bahwa meskipun Ola merupakan prioritas utama dalam hidup Rama tapi Mamanya tetap menjadi nomor nol.

Mama over Ola

Rama itu anak laki-laki satu-satunya di keluarganya, merupakan anak terakhir dengan jarak antara Rama dengan kakak keduanya 10 tahun sedangkan dengan kakak pertamanya 15 tahun. Kedua orang tua Rama selalu ingin punya anak laki-laki, sehingga ketika akhirnya Ia lahir, kedua orang tuanya terutama Tante Ratna mencurahkan segalanya untuk Rama dan itulah mengapa Rama tidak pernah bisa tegas jika berhubungan dengan Mamanya, dan satu-satunya cara agar Ola bisa mengakhiri hubungan mereka dengan cepat tanpa melibatkan Tante Ratna ya cuma dengan bantuan Ilham.

Ilham menghela napasnya, “Dan menurut kamu dengan kita pura-pura selingkuh bisa jadi alasan yang bisa diterima oleh Rama? Menurut kamu dia bisa langsung, ‘Oh, kamu selingkuh sama Ilham, ok kita putus!’ Kayak gitu?” Ola memandang sebal Ilham yang sedang meniru gaya bicara Rama yang sialnya sangat mirip, meskipun Ilham melihat tatapan kesal dari Ola tampaknya Ilham tidak peduli karena Ia tetap melanjutkan ucapannya, “Dia bisa aja tetep maafin kamu karena dia pikir aku cuma selingan karena kamu bosen sama hubungan kalian atau malah dia nggak akan percaya karena hubungan kita udah kayak kakak-adek? Dia tahu banget gimana hubungan kita, nggak mungkin banget dia bakalan percaya kamu selingkuh sama aku!” 

Ola menggelengkan kepalanya, dia tahu kalau Rama tidak akan semudah itu memaafkannya, tidak jika Ilham adalah orang yang akan menjadi selingkuhannya. Entah mengapa Rama selalu tidak suka dan sangat sensitif dengan Ilham, meskipun tidak pernah secara terang-terangan menunjukkan rasa tidak sukanya tapi Ola tahu bahwa Rama selalu memberikan reaksi tidak nyaman dan tidak suka setiap kali Ia tahu Ola sedang bersama Rama, terutama jika mereka hanya berdua saja. Rama pernah hampir membentaknya ketika tahu bahwa Ilham menginap untuk menemani dirinya ketika Ninik, Pio, dan Aksa sedang pergi ke Bandung. Meskipun dirinya sudah berulang kali menjelaskan bahwa baginya Ilham adalah adik kecil seperti Pio dan Aksa namun Rama tetap menunjukkan bahwa dirinya tidak suka jika Ola terlalu dekat dengan Ilham. 

“Nggak, percaya sama aku.” Jawab Ola, Ilham hanya menggelengkan kepalanya berkali-kali, masih tidak percaya dengan jawaban Ola, 

“Oke, oke, kita anggap Rama akan percaya, menurut kamu dia nggak akan nanya ke Pio? Aksa? Atau cari tahu tentang kita, cari bukti? Nanya ke Kak Tita atau Mas Raka? Menurut kamu orang-orang di sekitar kita bakalan mau ikutan bohongin Rama? Kalau kamu minta ke mereka, pasti mereka bakalan nanya alasan kamu kenapa harus sampe pura-pura, kamu mau bilang apa ke mereka?” 
“Kita bukan cuma bohongin Rama.”
“Hah?”
“Kita bohongin semua orang, pastiin semua orang percaya kalau aku selingkuh sama aku, pastiin semua orang percaya kalau emang aku udah nggak cinta lagi sama Rama, tapi sama kamu.” 
Ilham menutup mulutnya yang menganga karena kaget, tiba-tiba tidak bisa berkata apapun, Ilham menarik napas panjang sebelum berkata, 

“…Kamu mikir nggak sih apa yang bakalan terjadi sama hubungan kita gara-gara rencana gila kamu ini?” Tanya Ilham, tatapan tajamnya berbeda dengan tatapan sebelumnya, terlihat sangat sangat dingin dan nada bicaranya menjadi lebih tinggi membuat Ola menegakkan tubuhnya, sedikit terkejut karena Ilham tidak pernah berbicara dengan nada dan tatapan seperti itu pada dirinya, “Kamu mikir gak apa yang bakalan terjadi kalau rencana kamu berhasil? Apa yang bakalan terjadi sama hubungan kita? Apa yang orang-orang pikir tentang kita?” 

Ola terdiam lama, sesungguhnya dirinya tidak dapat berpikir apapun, “Nggak. Aku nggak kepikiran apa-apa, aku nggak mikirin apa yang bakalan terjadi nantinya. Yang aku pikirin cuma aku. Aku nggak mau ngerasa insecure dengan diri aku, aku nggak mau ngerasa kecil, aku nggak mau nyalahin orang tua aku kenapa mereka meninggal duluan, kenapa mereka ninggalin aku, Ninik, Pio dan Aksa begitu aja.” Ucap Ola dengan suara bergetar, mengeluarkan semua isi hatinya yang selama ini selalu Ia pendam sendiri.

Dirinya tidak tahu mengapa Ia dapat mencurahkannya kepada Ilham, mungkin karena kondisinya saat ini yang memang sudah tidak dapat lagi membendung semua rasa sakit di hatinya atau mungkin karena kini tatapan dingin dari Ilham berubah menjadi lembut seakan Ia akan menerima semua isi hati Ola, bahkan isi hatinya yang terburuk, “Aku nggak mau ngerasa jadi orang paling jahat sedunia karena setiap kali aku ketemu Rama dan keluarganya, aku selalu berpikir keluarga aku beban, aku jadi selalu nyalahin keadaan, aku kayak stuck di masa lalu, selalu ngerasa mama dan papa jahat karena kalau mereka nggak meninggal aku bisa lanjutin S2 di kampus yang aku selalu mimpiin dari kecil, aku bisa jalanin mimpi dan cita-cita aku bukan buka toko untuk biayain hidup aku dan keluarga aku, nggak mesti bingung gimana caranya bayar obat-obatnya Ninik atau gimana caranya biar Om Ikhsan nggak dateng dan minjem duit, nggak harus mikir gimana caranya supaya Aksa bisa kuliah di tempat yang paling bagus tanpa harus mikirin biaya. Kalau Mama sama Papa masih ada, keluarga Rama nggak akan ngerendahin aku, Mamanya gak akan dateng ke toko untuk ngehina aku dan keluarga aku kayak gitu. Dia nggak akan perlakuin aku serendah itu dan aku nggak akan ngerasa benci sama diri aku dan kondisi aku saat ini. Aku cuma mikirin diri aku…” Air mata kembali keluar dari ujung matanya, yang segera dihapus dengan ibu jari Ilham,

“Aku cuma mikirin diri aku, dan aku tau aku salah, aku egois…”
“Maafin aku…” Ucap Ilham pelan, mencoba menghapus air mata yang terus menerus mengalir dari matanya, Ilham semakin mendekatkan jarak dengan dirinya, “Maafin aku, maaf, maafin aku, maafin aku nggak coba untuk ngelihat dari sudut pandang kamu…” Ilham merengkuh Ola dalam pelukannya, mencoba menenangkan Ola yang semakin mengencangkan tangisannya, berulang kali Ilham hanya mengulang kata maaf, tangannya mengelus punggung Ola dengan lembut mencoba menenangkannya namun tidak sekalipun Ilham meminta Ola untuk berhenti menangis dan mungkin memang ini yang Ola butuhkan. Tempat Ia bersandar untuk menangis.

Telling you I’m fine 
I don’t really need nobody 
But you say through a sigh 
That I said that lie already

*

Ola memandang pantulan wajahnya di cermin, matanya terlihat begitu sembap karena menangis semalaman. Ibarat kolam yang dibuka sumbatnya, air matanya tidak berhenti mengalir. Sepertinya seluruh air mata yang Ia tahan semenjak kepergian orang tuanya Ia habiskan semuanya kemarin. 

Ola menghela napas panjang sambil mengambil eye mask pemberian Pio dari dalam kulkas mini yang juga merupakan pemberian dari adik perempuannya itu. Ia kembali memandangi mata sembapnya, mencoba mengosongkan isi otaknya yang penuh namun tiba-tiba teringat dengan permintaan gila dan bodohnya yang masih belum dijawab oleh Ilham. Laki-laki jangkung itu hanya bilang Ia akan mencoba memikirkannya dan memberikan jawaban di pagi hari. Apakah dirinya harus menghubungi Ilham untuk memastik-

Brakk…Pintu kamar Ola terbuka dengan kencang, membuyarkan pikirannya, Ia menoleh ke arah pintu dan mendapati adik perempuannya, Pio, sedang memandangi dirinya sambil berkacak pinggang. Ola mengalihkan pandangannya kembali ke cermin, lalu mulai memasang masker mata untuk meredakan sembap di kedua matanya.

“Lo nggak mau ngomong sesuatu ke gue?”
“Selamat pagi?” Jawab Ola, tahu sebenarnya bukan ucapan selamat pagi yang diinginkan oleh Pio darinya. Adiknya masih memandanginya, meskipun Ia tidak dapat melihat ekspresi Pio tapi sudah pasti adiknya saat ini sedang memasang wajah penuh amarah,
“Lo mau gue jelasin apa?” Tanya Ola, 
“Kenapa lo sama Ilham nggak bisa dihubungin kemaren? Lo sama dia kenapa? Kenapa Rama nelponin dan chat gue berkali-kali? Lo balik ke rumah jam berapa karena sampe jam 12 gue check kamar lo masih kosong. Kenapa Ilham pas gue tanya cuma bales untuk nanya ke lo? Lo ada apa sama Rama atau sama Ilham? Kenapa tiba-tiba ada Ilham di antara lo sama Rama?” Tanya Pio, tidak memberikan jeda sedikitpun, 
“Banyak amat pertanyaannya kayak polisi aja…” Ujar Ola menoleh ke arah adiknya, mencoba mencairkan suasana dengan candaan namun Pio tetap memandang Ola dengan tatapan kesal. “Kemaren kayaknya gue bener-bener kecapean sampe gue nggak sengaja ngelukain tangan gue sendiri pas lagi masak dan pas banget lagi ada Ilham di toko terus dia maksa gue buat nutup toko lebih cepet dan ke dokter. Kita nggak ngeh kalau HP gue sama Ilham sama-sama mati dan mungkin itu yang bikin Rama chat sama nelpon lo berkali-kali. Kalau kenapa Ilham bilang gitu…” Ola terdiam sebentar mencoba menganalisa ucapan Ilham ke Pio, apakah mungkin ini merupakan jawaban Ilham untuk permintaannya kemarin malam? Bahwa dia setuju untuk menjalankan skenario mereka? Setelah terdiam beberapa lama akhirnya Ola menjawab, “Abis dari dokter gue ke apartement Ilham dan kayaknya gue ketiduran…”
“HAH? Lo ngapain ke apartemen Ilham?” Tanya Pio yang tadinya hanya berdiri di depan pintu kini masuk ke dalam kamar Ola dan mengambil tempat duduk di kasur Ola, “Apartemen? Bukan rumahnya?”
“…Apartemennya soalnya sekalian dia mau ngambil sesuatu…” Ola mencoba merangkai jawaban agar tidak terdengar seperti sebuah kebohongan, “Terus gue nonton netflix, dia ngerjain kerjaannya dia dan gue kayaknya ketiduran terus bangun-bangun udah malem dan dia baru bisa nganterin gue malem karena gue sama dia makan dulu terus…” 
“Kak, lo…gue gak tau deh kalau sampe Rama tau gue nggak ikutan ya…”
“…Rama tau kok…”
“HAH?”
“Kemaren pas Ilham nganterin gue pulang ketemu sama Rama di depan rumah.”
“Terus Ilham ditonjok nggak sama Rama?”
“Kenapa tiba-tiba main tonjok-tonjokan sih, ya enggalah. Lagian kalau mereka berantem sampe tonjok-tonjokan pasti kamu juga denger lah.” Ola mengalihkan pandangannya kembali ke cermin, mencoba menghindari tatapan mata Pio, tangannya terasa dingin dan jantungnya berdebar begitu kencang. Ola nggak sanggup harus berbohong lebih panjang ke Pio. 
“Udah ah, gue mau siap-siap, hari ini mau ke toko lebih pagi. Lo juga bukannya katanya ada meeting?”
“Santai, gue meetingnya di luar jam 11 jadi nggak mesti ke kantor dulu. Lo tumben banget pake eye mask, itu kayaknya gue udah kasih lama deh, belum expired kan?”
“Belum, gue udah check. Mata gue sembap kayaknya gara-gara kemaren gue nonton film sedih deh…” Ujar Ola, mencoba membuat alibi mengapa matanya terlihat sembap dan bengkak. Pio mendekatkan dirinya ke arah wajah Ola agara dapat lebih jelas melihat kondisi mata Ola,
“Dih iya, mata lo kenapa dah?”
“Gue abis nonton…P.S I Love You?”
“Pantesan lo kan kalau nonton itu bakalan nangis 7 hari 7 malem, eh tapi emang P.S I Love You ada di Netflix ya?” 
“…Nggak tau pokoknya kemaren disetelin sama Ilham.” Jawab Ola cepat, 
“Tumben tuh anak punya film gituan…gue ledekin ah nanti! Eh, Kak, mending lo kompres aja deh, gue kasih kompres mata gue deh. Kalau pakai eye mask yang itu nggak akan ngaruh. Bentar gue ambil dulu…” Ujar Pio sambil berjalan ke luar kamar untuk mengambil kompres mata miliknya, Ola menghela napas panjang karena jantungnya benar-benar berdebar begitu kencang saking takutnya. Ia lalu mengambil ponselnya dan mengirimkan sebuah pesan untuk Ilham. Ola memandangi layar ponselnya menunggu balasan dari Ilham, lalu sebuah pesan muncul yang hanya berisikan dua huruf dan satu tanda baca: Ok.

Ola mendengus kesal melihat jawaban Ilham yang super singkat tapi karena dirinya membutuhkan bantuan Ilham, Ia mengurungkan niatnya untuk membalas pesan singkat Ilham dengan omelan panjang dan hanya membalasnya dengan emoticon smiley dan thumbs up. Pertanyaan Ilham padanya masih terus terngiang-ngiang di telinganya,

“Kamu mikir gak apa yang bakalan terjadi kalau rencana kamu berhasil? Apa yang bakalan terjadi sama hubungan kita?”

Dirinya tidak dapat menjawab pertanyaan Ilham.

I just needed company now 
Yeah, I just needed someone around 
Yeah, I don’t care what song that we play 
Or mess that we make

*

“Terima kasih, ditunggu kedatangannya kembali…” Ucap Ola sambil memberikan bukti pembayaran kepada pelanggan terakhir Warung Ninik hari ini, begitu toko kosong Ola beranjak keluar dari meja kasir sambil meregangkan kedua tangannya. Kondisi toko hari ini sangat ramai dibandingkan hari biasanya hingga dirinya, Teh Anin dan Aksa bahkan tidak sempat untuk beristirahat sama sekali.

Ia melihat Aksa dan Teh Anin yang juga meregangkan kaki dan tangan mereka,
“AAAAAAA, capek banget!” Seru Aksa, “Ada apaan dah hari ini rame banget, Teh? Orang-orang tiba-tiba pada pengen makan sehat apa begimana sih? Teteh atau Kak Pio lagi bikin ads apa gitu?” Tanya Aksa sambil mengambil ponsel dari sakunya lalu mengecek akun instagram dan twitter Warung Ninik sedangkan Ola mencoba mengingat media plan mereka dan seingatnya minggu ini dirinya dan Pio sedang tidak memasang iklan apapun di Instagram karena mereka berencana untuk menahan budget iklan untuk menambah budget promosi ketika mereka launching menu baru Warung Ninik di bulan depan. 
“Nggak ada apa-apa sih seinget Teteh…” Jawab Ola, Ia berjalan menuju tempat Aksa dengan tangannya memegang kumpulan bon dan uang yang baru saja Ia selesai rapihkan, “Atau mungkin Pio ngebuat sesuatu, ya?” 
“Teh…” Aksa tiba-tiba menegakkan punggungnya, matanya masih terpaku pada layar ponselnya namun terlihat ekspresi Aksa begitu kaget dengan apa yang Ia lihat. “Siapa tadi pagi yang jaga di depan?” Tanya Aksa, masih memasang wajah terkejut, 
“Gue, kenapa Ca?...Kok gue jadi takut, ada apaan sih?” Ucap Teh Anin, ikutan menegakkan tubuhnya, 
“Tau, ada apaan sih kamu tiba-tiba kayak gitu? Bikin panik tau nggak!” 
“Teh, Liat ini, Teh…” Ola mengambil ponsel Aksa untuk melihat apa yang membuat adiknya hingga terkejut seperti itu, begitu melihatnya Ola langsung memasang wajah kaget sambil menutup mulutnya dengan tangan, 
“Ini aku nggak salah liat, kan?”
“Apaan, ada apaan!” Teh Anin ikut menghampiri mereka dan mengambi ponsel Aksa dari tangan Ola, penasaran dengan apa yang dilihat oleh Ola dan Aksa hingga mereka bereaksi seperti itu, matanya ikut membulat, dan langsung, “DEMI ALLAH INI MEIRA POSTING WARUNG NINIK????? Bukan cuma di IG dia tapi di Twitternya dia juga?” Teriak Teh Anin, 
“Gue lemes…” Ucap Ola, menarik salah satu kursi agar dirinya tidak terjatuh saking kagetnya. 
“Meira…MEIRA KE WARUNG NINIK DAN GUE GA KETEMU DIA?” Aksa mengacak-acak rambutnya, “Meira...”

Ola membuka akun Warung Ninik dari ponselnya, berulang kali melihat postingan Instagram story dan membaca tweet yang dibuat oleh Meira, memperlihatkan dirinya sedang makan di Warung Ninik, dan bukan hanya 1 tweet saja tapi Meira membuat 1 thread khusus tentang Warung Ninik. Ola tidak menyangka bahwa penyanyi solo muda yang sedang sangat naik daun di Indonesia itu datang ke Warung Ninik dan memposting makanannya, bahkan dengan review yang sangat detail tentang betapa suka dirinya dengan semua menu di Warung Ninik, bahwa ternyata Meira merupakan pelanggan tetap di Warung Ninik dan menu favoritnya adalah Roasted Carrot Soup

“Gila Meira Carrot Soup sampe trending di twitter…Pantesan dari tadi orang-orang pesen Carrot Soup kita…” Ucap Ola pelan, “Teh Anin…Aksa…ini nggak mimpi kan ya, Meira ternyata langganan di toko kita?”
“Gue masih kesel kenapa gak gue yang jaga tadi pagi, kalau gue yang jaga pasti gue bisa ngeh kalau Meira ke toko buat take away…”
“Yakin banget kalau Meira yang dateng, paling managernya! Gak usah mimpi kamu.” Ledek Teh Anin sambil menyentil dahi Aksa, “Mendingan bantuin Gue rapihin kitchen sini.” Aksa menggelengkan kepalanya, 
“Ntar dulu Teh, ini Aku lagi bales-balesin DM nih, banyak banget yang nanya soalnya. Emang bebeb Aku luar biasa banget pengaruhnya.” Ucap Aksa membuat Teh Anin menggelengkan kepalanya, 
“Abis balesin DM langsung bantu Teteh ya.”
“Iyaaa…” Jawab Aksa dengan mata masih tertuju pada layar ponselnya,

Trrt…Trrrt…Trrt… Ola yang sedang merapihkan area meja langsung berjalan menuju kasir dan mengangkat ponsel Warung,
“Halo, dengan Warung Ninik ada yang bisa dibantu? Sebelumnya mohon maaf sekali karena saat ini kita sudah di luar jam operasional.” Jawab Ola, “Oh, baik…betul…Ah…baik…Sabtu akhir bulan ini? Bisa, maksimal tempat kita cukup untuk 15 orang. Baik. Bisa, besok bisa dilakukan pengecekan. Baik, Kak. Terima kasih.” 
Ola menaruh ponsel, lalu berjalan menuju tempat Aksa sedang duduk, 
“Aksa…Teh Anin…” Panggil Ola, “Guys…cubit tangan aku…” Ola mengarahkan lengannya untuk dicubit oleh Aksa dan Teh Anin yang baru saja menghampiri mereka, mencoba meyakinkan bahwa hal yang baru saja Ia dengar bukan mimpi, yang dengan tidak segan-segan segera dilakukan oleh Aksa. “Aw, sakit! Ini bukan mimpi ternyata.”
“Ada apaan, sih?” Tanya Teh Anin, 
“Tadi aku dapat telepon, ada brand yang mau bikin acara di tempat kita akhir bulan ini, mereka mau ngadain private event untuk mini launching produk mereka. Untuk 25 orang termasuk tim mereka, untuk tamunya sendiri 15 orang. Besok katanya tim nya mau dateng untuk check lokasi.” Jelas Ola, Teh Anin membuka mulutnya kaget, sedangkan Aksa hanya menatap Ola, “Event pertama kita, guys. Kayaknya ini karena postingannya Meira…Warung Ninik bakalan jadi tempat event untuk pertama kalinya…” Ola tiba-tiba berdiri dari duduknya, tangannya mengarah ke Teh Anin, mengajaknya untuk ikut berdiri dari duduknya. 
“Ola!”
“Teh Anin!”
“Olaa!”
“Teh Aninn!”
“AAAAAAA” Keduanya berteriak bersamaan, membuat Aksa hanya menggelengkan kepala sambil tersenyum melihat Kakak perempuannya yang belakangan ini terlihat begitu lelah dan murung menjadi sangat bersemangat dan dapat tertawa dengan lepas.

Ola menarik lengan Aksa agar ikut berdiri, “Ayo kita berdoa bareng. Bismillah semoga kita deal sama brandnya dan acaranya berjalan dengan lancar di Warung Ninik.” Ucap Ola, 
“Aamiin!” Seru Teh Anin dan Aksa bersamaan, keduanya juga ikut menutup mata, 
“Warung Ninik makin dikenal, makin rame!" Tambah Ola, 
“Aamiin”
“Buka cabang di seluruh Indonesia!” Tambah Teh Anin, 
“AAMIIN” 
“Meira dateng lagi ke Warung Ninik, terus aku bisa ketemu sama ayang bebeb…” Ujar Aksa yang sama sekali tidak ditanggapi oleh Ola dan Teh Anin yang kini saling berhadapan, 
“Event pertamanya Warung Ninik! Aaaaaaaaaaaa~” Seru Ola dan Teh Anin bersamaan sambil melonjak-lonjak dengan gembira, “AAAAAAAAAAAAAAA” Teriak keduanya membuat Aksa menutup kedua telinganya, 
“Stop!!! Teriaknya nanti aja, ayo kita rapih-rapih! Udah jam segini.” Seru Aksa,

Klinting… Suara lonceng pintu toko terdengar dan entah kenapa membuat Ola terkejut dan melepaskan tangan Teh Anin. Ola menoleh ke arah pintu dan mendapati Ilham sedang mengamati mereka bertiga dengan tatapan antara bingung dan ingin meledek mereka, 

“Bang Ilham!” Aksa menghampiri Ilham dengan senyuman sumringah, sejak kecil Aksa sangat dekat dengan Ilham dan menjadi panutan Aksa dari segala sisi, salah satunya panutan untuk gaya baju dan musik. “Tumben kesini hari biasa, nggak bareng sama Hilman?” Tanya Aksa sambil merangkul Ilham dan mengajaknya untuk ikut ke dalam, 
“Kayaknya ada hal menarik, nih. Gue liat dari parkiran pada loncat-loncat, ada yang menang lotre?” Tanya Ilham sambil mengambil tempat duduk, menatap ke arah Ola yang entah mengapa mengalihkan pandangannya dari Ilham. Dirinya tiba-tiba tidak dapat memandang Ilham seperti biasanya.
“Lo liat postingan Meira nggak? Dia nge-post di twitter sama instagram, sampe jadi trending di twitter! Terus tadi ada brand yang mau ngadain event akhir bulan ini, besok mau ke sini. Gila nggak?” Cerocos Aksa sambil menunjukkan postingan Meira di kedua platform social media, “Lo bayangin Meira! Nggak nyangka gue kalau Meira ternyata langganan Warung Ninik.” Ujar Aksa masih terkekeh senang, 
“Si Meira emang suka banget, apalagi Carrot Soup, sama Chicken Lettuce Wraps nya. Selalu nitip ke gue kalau mau ketemu.” Ujar Ilham, membuat Aksa, Ola, dan Teh Anin memandang Ilham, takut salah dengan apa yang baru saja diucapkan oleh Ilham. 
“Lo lagi ngomongin Meira yang sama kan, Bang?” Tanya Aksa
“Meira, kan?”
“Iya, Meira Asmara…” Ulang Aksa yang dibalas Ilham dengan anggukan kepalanya, bingung dengan reaksi Aksa yang tiba-tiba berdiri dari duduknya, “…Lo kenal, Bang?”
“Meira adeknya temen kuliah gue, si Ibnu. Lo pernah ketemu sama Ibnu kan waktu kita mancing bulan lalu.” 
“HAH? Ibnu? Bang Ibnu yang kemaren bawa Range Rover itu? Yang tinggi banget itu? Bang Ibnu yang itu?” 
“Iyeeeee, buset!” 
“Lo kok nggak bilang kalau kenal Meira??? Gue kan nge-fans banget sama dia!”
“Mana gue tau lo nge-fans sama dia.” 
“Bang Ilham, gue sayang banget sama lo, please pertemukan gue dengan Meira.”
“Ogah, Ibnu nyeremin kalo urusan adeknya. Lo langsung sama Ibnu aja, gue takut sama dia. Udah ah sana jauh-jauh dari gue, Kak Ola ini adek lo tolong lepasin dari gue!” Pinta Ilham pada Ola yang hanya memandangi Ilham dan Aksa dari kejauhan, lalu mengalihkan pandangannya tidak memedulikan teriakan Ilham dan melanjutkan membantu Teh Anin menyiapkan bahan-bahan untuk menu sarapan besok pagi. 
“Teteh masih suka lupa kalau Ilham temen-temennya emang orang terkenal…” Ujar Teh Anin sambil membagi dua kentang untuk menu sarapan besok, “Ternyata dia kenal sama Meira, bulan lalu main bareng model yang terkenal itu, siapa namanya Jennifer? Itu pacarnya atau bukan, sih?” Tanya Teh Anin, Ola melirik ke arah Ilham yang sedang menghindari Aksa yang terus menerus bertanya dan meminta untuk dapat dipertemukan dengan Meira. Ola teringat kembali dengan permintaannya kemarin malam dan menyadari betapa egois dirinya yang tidak memikirkan posisi Ilham, bisa saja saat ini Ilham memiliki pacar atau mungkin sedang dekat dengan orang lain. Entah kenapa Ola merasa Ilham seperti menjaga jarak darinya, apalagi tadi dia memanggil Ola dengan Kakak, padahal selama ini nggak pernah sama sekali. 
“Pikirin nanti aja…” Ucap Ola dalam hatinya. Iya, pikiran nanti aja setelah dirinya dan Ilham melanjutkan pembicaraan mereka.

Aksa menarik shutter toko lalu membersihkan kedua telapak tangan setelah menggemboknya, Ola melihat bahwa Aksa sedang memandangi dirinya yang sedang mengamati Ilham berbicara dengan Teh Anin, pandangan Aksa penuh tanya namun memilih untuk tidak mencari tahu, 
“Teteh pulang bareng sama Bang Ilham?” Tanya Aksa, 
“Iya, Teteh udah bilang sama Nenek. Kamu langsung pulang ya, jangan mampir-mampir ke tempat aneh-aneh.” Ucap Ola, “Hati-hati di jalan, jangan ngebut-ngebut. Teh Anin, hati-hati di jalan yaaa…” Seru Ola sambil melambaikan tangannya ke arah Teh Anin yang sudah mengenakan helm. Melihat Ola sudah berdiri di samping mobil, Ilham berjalan ke arah mobilnya,
“Bang, gue balik ya. Teh, awas jangan apa-apain Abang kesayangan gue!” Teriak Aksa sebelum motornya melaju meninggalkan Ola dan Ilham. Ola menggelengkan kepalanya, 
“Kenapa dia lebih khawatir sama kamu daripada aku, kakak perempuannya?” Ola membuka pintu mobil dan masuk ke dalam, diikuti oleh Ilham yang langsung menyalakan mobilnya. “Kita mau ke mana?” Tanya Ola, 
“Apartemen aku aja gimana? Jam segini lagian café udah pada tutup juga dan kayaknya kita bakalan ngobrol panjang.” 
“Oke…” Jawab Ola singkat dan keduanya kembali terdiam, Ola memandang ke arah jendela sedangkan Ilham fokus dengan jalanan. 

Meskipun mereka tidak selalu sering bertemu atau berkomunikasi dengan intens seperti Ilham dan Pio tapi dirinya dan Ilham selalu memiliki bahan obrolan yang dapat dibahas, bahkan ketika Ilham business trip selama tiga bulan ke Hong Kong atau bahkan ketika Ilham kuliah di London meski selama itu keduanya tidak saling berkomunikasi tidak pernah ada momen canggung di antara mereka berdua. Bahkan ketika tidak ada hal yang perlu mereka ucapkan dan hanya diam sibuk dengan kegiatan mereka masing-masing, bagi keduanya diam di antara mereka tetap terasa nyaman, tapi sepertinya tidak untuk saat ini. Rasanya Ola ingin membuka pintu mobil dan menjatuhkan tubuhnya keluar dari mobil Ilham agar dapat melarikan diri dari kesunyian di antara mereka, hanya suara radio yang menemani mereka sepanjang jalan sampai tiba-tiba ponsel Ola berbunyi dengan kencang. Layar ponselnya menunjukan nama seseorang yang sedari pagi, chat dan teleponnya tidak dibalas dan diangkat, Ola hanya memandang nama Rama hingga ponselnya berhenti berbunyi dan beberapa menit kemudian sebuah pesan muncul di layar namun Ola tetap mengacuhkan pesan dari Rama dan sepertinya Ilham menyadari hal tersebut karena akhirnya Ia membuka suara,

“Kenapa nggak diangkat?” Tanyanya,  
“Males…” Jawab Ola singkat, dan Ilham hanya menganggukan kepalanya kemudian mereka kembali diam. 

Ola memejamkan matanya, pertanyaan Ilham terus terngiang-ngiang di telinganya, pertanyaan yang sejak kemarin takut Ola jawab dan kini Ia sepertinya menemukan jawabannya, mungkin ini yang akan terjadi pada mereka jika Ola tetap memaksakan permintaannya. Mereka akan menjadi dua orang asing. Apakah dirinya rela kehilangan Ilham demi egonya? Sebuah sentuhan pelan di bahunya membuat Ola terbangun, Ia membuka matanya dan mendapati bahwa sepertinya dirinya sudah tiba di area apartement Ilham, Ia menoleh ke arah Ilham yang saat ini sudah mengalihkan pandangannya, lalu ke luar mobil dan sibuk mengambil barang-barang miliknya dari kursi belakang. Ola masih memandangi Ilham, enggan beranjak sedikitpun dari duduknya. Ilham yang saat ini sudah mengenakan ranselnya, menutup pintu belakang, lalu kembali membuka pintu pengemudi karena sadar bahwa Ola masih belum keluar dari mobil, 

“Ayo, turun…” Ajak Ilham singkat, mendengar suara ajakan Ilham membuat Ola menoleh dan memandangi Ilham yang hanya melihatnya dari pintu. Biasanya jika melihat Ola seperti ini, Ilham akan masuk ke dalam dan duduk kembali di sampingnya kemudian menunggu hingga dirinya dapat meng tapi saat ini Ilham hanya berdiri di luar. Ola masih terdiam dan tiba-tiba pandangannya terasa kabur tertutup oleh air mata yang menetes begitu saja, melihat dirinya tiba-tiba menangis Ilham terkejut dan segera masuk ke dalam mobil. “Loh, loh, loh…Kok tiba-tiba nangis, sih?”

Ola hanya menggelengkan kepalanya, “Nggak tau, tiba-tiba ngerasa sedih. Aku kepikiran sama pertanyaan kamu, aku ngerasa makin egois, aku tau kalau permintaan aku bisa bikin hubungan kita jadi berantakan. Aku tau itu tapi aku tetep butuh bantuan kamu, tapi aku nggak mau hubungan kita jadi berubah. Dari tadi aja kamu jadi kayak cuek, kalau nggak diajak ngomong duluan diem aja, manggilnya Kak Ola, ngeliatin aku juga jutek banget,” Isak Ola sambil menghapus air matanya dengan punggung tangannya, Ilham hanya terdiam dan membuat Ola semakin mengencangkan tangisnya, membuat Ilham yang semakin panik, dirinya langsung kembali masuk ke dalam mobil karena panik dan bingung lalu memegang tangan Ola, mencoba untuk menenangkannya.

“Maafin ya, Aku pikir kamu lagi butuh waktu dulu untuk mikir, aku juga mikir malah kamu yang nggak mau ngomong dulu karena pas tadi aku dateng kamu langsung buang muka. Aku juga bingung mau ngomong apa karena nggak ngerti salah aku di mana, harus mulai ngomong apa, terutama tentang permintaan kamu. Aku nggak berpikir untuk diemin kamu, Ola.” Jelas Ilham, melepaskan genggaman tangannya dan kini menghapus air mata dari pipi Ola.
“Jadi kamu nggak marah kan gara-gara aku?” Tanya Ola, 
“Nggak, maunya sih marah, tapi nggak bisa, apalagi tiba-tiba nangis kayak gini gimana mau marah.” Jawab Ilham, “Cup ah, matanya udah bengkak ntar makin bengkak, aku nggak tanggung jawab!” 
Ola memandang Ilham sambil menghapus air matanya dengan punggung tangan,

Just company now
Comfort crowd, comfort crowd
We rot, thinkin’ lots about nothing 
Yeah, I could spend a lifetime 
Sitting here talkin’ 

*

Ola memandangi area ruang tengah apartemen milik Ilham, ini kali pertamanya Ia masuk ke apartemen Ilham yang sudah ditempati oleh dirinya sejak 3 tahun yang lalu. Kalau kata Pio, Ilham pulang ke apartemen kalau lagi banyak kerjaan aja, selebihnya di rumah karena nggak tega ninggalin Mami sendirian. Meskipun jarang ditempati, apartemen Ilham terlihat bersih, dan jauh dari bayangan Ola yang mengira kondisi apartemen Ilham akan sangat berantakan. Ola masih suka lupa kalau Ilham merupakan anak dari keluarga yang sangat berada dan berada di apartemen jenis loft dengan 2 kamar yang berlokasi di pusat kota Jakarta membuat Ola tersadar dengan perbedaan antara dirinya dan Ilham, semakin membuat dirinya menyesal sudah meminta bantuan Ilham. Jika dirinya sudah menjadi benalu bagi Rama, tidak seharusnya Ia juga menjadi benalu untuk Ilham. Lamunannya terpecah karena suara mengeong dari kakinya, Ia menunduk dan mendapati seekor kucing berbulu hitam dan putih sedang memutari kedua kakinya,

“Momoooooo!” Seru Ola sambil menggendong kucing milik Ilham yang diberi nama Mamoru Chiba karena bulu di area mata Momo membuatnya seperti mengenakan topeng, meskipun kelamin Momo perempuan tapi Ilham tetap ngotot memberinya nama seperti Tuxedo Bertopeng karena Momo terlihat sangat tampan, elegan, dan tenang, kalau kata Ilham, Momo itu KuCeGan alias Kucing Cewe Ganteng. Melihat kondisi Momo yang begitu sehat, dengan bulu yang sangat bersih dan badan yang montok, sepertinya Ola tidak salah ketika Ia memperbolehkan Ilham mengadopsi salah satu anak Haku, kucing milik Ola. “Halo sayang, kamu apakabar?” Tanya Ola sambil mengelus bulu Momo dengan lembut,
“Momo udah lama nggak ketemu Neneknya, dia nggak inget sama kamu. Makanya sering main, kasih jajanan dong buat cucunya…” Ucap Ilham yang datang membawa gelas berisikan teh hangat untuk Ola, menaruhnya di meja depan sofa tempat Ola saat ini sedang duduk dan mengambil tempat duduk tepat di samping Ola. 
“Momo udah nggak perlu jajanan dari neneknya, dia udah kayak princess pasti dimanjain ya kamu sama bapak kamu yang nyebelin itu. Eh, Ham, kamu ninggalin Momo di apartemen kamu? Kata Pio kamu jarang di sini, lebih sering di rumah?” 
“Ya enggalah, Momo aku bawa kalau aku harus ke apartemen. Kali deh aku ninggalin sayangnya aku sendirian, ya Momo ya…” Jawab Ilham sambil mengambil Momo dari pelukan Ola, lalu mengusap wajahnya ke perut Momo yang tampaknya hal tersebut sangat disukai olehnya karena terdengar suara dengkur lembut dari Momo.
“Momo nggak stress gitu kalau dia pindah-pindah rumah? Haku kalau aku ajak pergi suka stress soalnya.”
“Kalau aku tinggal malah lebih stress dia, nggak bisa dia kalau sehari aja nggak ngeliat muka papanya. Waktu aku tinggal tiga bulan ke Hong Kong, Momo kan sempet sakit, diem aja, makan cuma sedikit sampe Mami harus bawa ke dokter dan ternyata kata dokter Momo stress. Begitu denger suara aku katanya Momo baru semangat, jadinya setiap hari aku harus video call biar dia nggak stress. Ya, sayang ya, manjanya Papa ya, hmmm…hmmm…”

Ola tertawa saking gemasnya melihat Ilham yang berulang kali mencium Momo, yang tampak sangat menikmati atensi dari Ilham. Ilham menoleh ke sampingnya, ikut tersenyum ketika melihat Ola sedang tertawa, menyadari Ilham sedang memandangi dirinya membuat Ola tiba-tiba merasa canggung membuatnya mengalihkan pandangannya ke tempat lain, bertepatan dengan ponselnya yang ada di dalam tas berbunyi. Ola mengambil ponselnya, berpikir bahwa mungkin Rama yang saat ini sedang menghubunginya kembali, namun ternyata sebuah nama lain yang terpajang di layar ponselnya, nama yang membuat dirinya mengingat kembali kejadian kemarin, nama yang membuat rasa tidak nyaman di hatinya kembali muncul. Ilham yang sedari tadi memandangi Ola langsung bergerak mendekat untuk melihat siapa yang membuat dirinya terdiam seperti itu, 

“Kalau kamu nggak mau angkat gapapa…Kalau kamu mau angkat, kamu bisa loudspeaker kalau nggak keberatan. Yang pasti, aku di sini.” Ucap Ilham ketika melihat nama ‘Tante Ratna’ terpampang di layar ponsel Ola, tangannya memegang bahu Ola seakan memberikan dirinya keberanian yang membuat Ola akhirnya menggeser tombol berwarna hijau, lalu menyapa lawan bicaranya, 
“Halo, Assalamualaikum tante…”
“Anak saya sedang sama kamu?” Tanya Tante Ratna tanpa membalas salam dari Ola, “Dari tadi saya telepon tapi tidak dia angkat. Hari ini seharusnya dia hadir di pertemuan penting tapi tiba-tiba tidak ada kabar sama sekali. Apa ini ada hubungannya dengan percakapan kita kemarin sore?” 
“…Rama nggak sama saya tante, dan saya nggak tau dia di mana, satu hari ini saya nggak komunikasi apapun dengan Rama. Tentang kemarin sore Rama sama sekali nggak tahu, Tante.” Jawab Ola, mencoba agar suaranya tidak bergetar karena takut. Rasa tidak nyaman semakin menjalar ke seluruh tubuhnya diikuti keringat dingin di punuk lehernya.
“Hari ini seharusnya Rama bertemu dengan perempuan yang akan menjadi tunangannya karena Saya anggap kamu sudah paham dengan apa yang saya minta kemarin, jadi tolong jangan mengacaukan keluarga saya dan masa depan Rama.” Ucap Tante Ratna ketus sebelum menutup telepon. 

Ola menyandarkan kepalanya ke sofa, kepalanya terlalu penuh membuat dirinya sama sekali tidak dapat berpikir. Seharusnya mendengar bahwa kedua orang tua Rama saat ini sedang menjodohkan Rama dengan wanita lain akan membuat hatinya terasa sakit namun tampaknya hatinya sudah lelah, hal yang sama untuk tubuhnya karena untuk menangis dirinya sudah terlalu lelah. Ola mencoba mengingat kembali segala kenangannya dengan Rama, mencoba mencari hal yang mampu membuatnya berani untuk berjuang tapi sepertinya apapun yang terjadi, seberapa besar cintanya untuk Rama dan sebaliknya sebesar apapun rasa cinta Rama untuknya tidak akan membawa mereka pada akhir yang bahagia. Melawan restu kedua orang tua tidak akan pernah berakhir dengan baik, terutama jika yang mereka lawan adalah restu Tante Ratna. Sebuah sentuhan lembut di bahu membuat Ola membuka matanya, 

“Kamu mau meluk Momo?” Tanya Ilham, “Supaya lebih tenang.” Tambahnya sambil mengenggam kedua tangannya yang tanpa Ola sadari saat ini sedang mengepal dengan keras. Ola tidak menjawab pertanyaan Ilham dan hanya mengamati Ilham yang mencoba membuka kepalan kedua tangannya dengan lembut kemudian mengecek kondisi kedua telapak tangannya yang untungnya tidak semakin parah. Ilham menghela napas lega begitu melihat kondisi telapak tangannya tidak menjadi lebih parah, setelah itu Ia menaruh Momo di pangkuan Ola yang langsung meringkuk di pangkuan Ola, suara purring yang dihasilkan oleh Momo mampu membuatnya sedikit lebih tenang. 

“Kamu masih bantuan aku?” Ucap Ilham tiba-tiba, membuat Ola yang sedang mengelus Momo langsung menolehkan kepalanya ke arah Ilham, “Ayo, jadiin aku selingkuhan kamu.”

And even if I cry all over your body
You don't really mind
Say you like your shirt soggy

*

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Selanjutnya I loved you first
2
0
“Ayo, jadiin aku selingkuhanmu!” Selama sembilan tahun Ilham mencoba menyimpan rasa cintanya pada Ola rapat-rapat, membiarkan hal tersebut hanya untuk diketahui oleh dirinya dan Tuhan. Namun, sepertinya rasa cinta tersebut tidak lagi dapat Ia simpan ketika wadahnya, hatinya, tidak lagi sanggup menyimpan rasanya yang begitu meluap. Tidak, ketika setiap kali Ia menoleh, kini Ola ada di sebelahnya. Tidak, ketika setiap kali Ia mencoba meraih, Ola menarik tangannya. Apa yang Ia harus lakukan padahal ini semua hanya pura-pura?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan