
Sahabat Satu Atap
1. Pengin Nikah
2. Bikin Cucu
3. Belajar Ciuman
***
Haiii. Sebelumnya terima kasih untuk antusias teman-teman sama cerita Sahabat Satu Atap. Setelah 1 tahun terbit cetak, rupanya permintaan ebook-nya masih buanyaaak. Aku terharu jadinya :")
Jadi, setelah mempertimbangkan banyak hal, serta ingin memberikan hiburan untuk kalian yang penasaran banget karena belum baca cerita ini, aku memutuskan untuk mem-publish cerita Sahabat Satu Atap di KaryaKarsa.
PENTING! Buat yang sudah beli novel...
Hak cipta dilindungi oleh undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis ini dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penulis.
***

[SSA: 1. Pengin Nikah]
MENJELANG detik-detik pergantian tahun baru, di taman samping sebuah rumah tampak ramai berpesta. Sinta dan Nurul, dua orang ibu yang bersahabat sejak SMA dan sekarang tinggal bersebelahan, tengah asyik bergosip sambil memotong dadu daging kambing.
Sementara itu, para kepala keluarga alias Rama—suami Sinta—dan Mirza—suami Nurul—saling bekerjasama menusuk satu per satu potongan daging ke bilah bambu. Tak jauh dari posisi mereka, Satria tengah mempersiapkan perapian untuk memanggang sate dibantu Yudhis, kakaknya. Di dapur pun tak kalah seru. Rania dan Arini—istri Yudhis—bersama-sama mengupas dan mencuci jagung untuk dibakar sambil membahas drama Korea terbaru.
Ketika semua orang sibuk di lantai bawah, hanya satu orang yang belum terlihat batang hidungnya. Kanaya Maharani, anak sulung pemilik kamar di lantai dua rumah ini.
“Satria, sini, Nak.”
Satria yang sedang mengipasi arang, menoleh ke teras. Tempat para orang tua berkumpul. “Kenapa, Bun? Dagingnya udah siap?”
“Sini dulu. Kamu dipanggil Tante Sinta,” desak Nurul.
“Udah, sana. Biar aku yang kipasin.” Yudhis menawarkan diri.
Satria mengangguk pada Yudhis, lalu beranjak ke teras. Para orang tua masih sibuk memotong dan menusuk daging. Sudah jam 11 malam, tetapi sate belum matang. Satria hanya bisa menghela napas pasrah karena perutnya harus menahan lapar lebih lama.
“Dari tadi baru dapat segini satenya? Gosip mulu deh pasti,” cibir Satria sembari duduk di sebelah ayahnya. Menatap miris baskom berisi tusuk sate yang jumlahnya tidak sampai tiga puluh.
“Nungguin yang motong daging. Lama banget, Sat,” cibir Rama, menyindir para ibu.
“Nah, kan. Betul.” Satria menjentikkan jari saat dugaannya disetujui oleh Rama. Keduanya saling melempar tos.
“Ya, justru itu Tante panggil kamu, Satria,” elak Sinta.
“Buat bantuin motong daging, ya, Tante?” tanya Satria.
“Bukan. Kamu panggil Kanaya, deh. Biar bantu Tante sama bunda kamu motong daging. Daripada dia di kamar terus. Liburan kok, ya masih kerja aja,” oceh Sinta.
“Oke, Tante. Satria panggil Kanaya, tapi tolong pegang pisaunya jangan diarahin ke Satria. Ya?” Satria meringis ngeri melihat Sinta mengoceh sambil menudingkan pisau ke sana kemari. Dibanding bundanya yang lemah lembut, mamanya Kanaya ini memang lebih ekspresif dan ceplas-ceplos. Menurun ke anaknya yang sulung.
“Udah sana, panggil Nay dulu,” titah Nurul.
“Siap, Bun. Satria ke atas dulu.”
Satria beranjak dari teras. Meninggalkan para orang tua bersama daging kambing mentah yang aroma prengusnya makin lama kian menyengat. Juga Yudhis yang mulai kewalahan mengipas-ngipas bara api sendirian. Untuk menuju lantai dua, Satria harus melewati dapur.
“Ini juga, dari tadi nggak kelar-kelar ngupas jagung doang. Mending cepetan dibawa ke Mas Yudhis, deh. Biar cepet dibakar,” celetuk Satria sambil lalu.
“Iya, Mas. Iya,” sahut Rania, lalu bergegas membawa baskom berisi jagung mentah. Arini hanya cekikikan mengekori Rania dengan sebungkus mentega di tangannya.
Sesampainya di depan kamar Kanaya, Satria melihat pintu kamar terbuka. Ia baru saja akan mengetuk pintu dan memanggil sahabatnya, tetapi langkahnya terhenti. Satria justru memilih menyandarkan bahu ke daun pintu, memandangi Kanaya dengan dua tangan terlipat di dada.
Di atas ranjang, Kanaya berbaring tengkurap membelakangi pintu kamar. Tidak, Kanaya tidak benar-benar tertidur. Gadis itu sedang sibuk menatap layar laptop yang menyala. Sesekali tangannya bergerak lincah di atas keyboard, lalu terdiam lagi. Begitu terus hingga sepuluh menit Satria memandangi dari belakang.
“Astagaaa. Argh!” Kanaya mengerang tiba-tiba. Membuat Satria mengangkat sebelah alis, menatap Kanaya yang kini berbaring telentang frustrasi.
“Jam berapa ini, Nay?”
Kanaya tertegun. Ia bangun setengah duduk, menahan tubuh dengan kedua siku. “Sejak kapan kamu di situ?”
Alih-alih menjawab, Satria melangkah masuk dan menjatuhkan diri di kasur, ikut berbaring di sebelah Kanaya seperti biasa jika mengobrol bersama. Tangannya menepuk-nepuk sisi kiri-kanan ranjang yang empuk.
“Baru aja.” Satria menoleh ke samping kiri, menatap Kanaya. “Turun, yuk? Kerja mulu, sih. Tahun baru, nih.”
Kanaya berdecak, lalu merebahkan tubuhnya lagi di sebelah Satria. Tatapannya lurus ke arah langit-langit kamar. “Lagi deadline, nih. Harusnya naskah ini udah masuk tahap layouting, tapi penulisnya ngaret banget revisinya. Jadi, sekarang aku yang susah.”
“Ya, tapi istirahat sebentar, kan nggak apa-apa. Kumpul sama keluarga juga penting, jangan kerja mulu.”
Kanaya menghela napas panjang. Sampai-sampai Satria heran melihatnya. “Kalau lagi capek kerja gini, rasanya aku pengin nikah aja, Sat.”
“Nikah, tinggal nikah,” sahut satria cuek. Lalu, ikut menatap langit-langit kamar Kanaya.
Dengan geram, Kanaya menoleh dan menjambak rambut Satria tanpa beban. “Kamu pikir nikah itu gampang?”
Satria meringis kesakitan seraya mengusap kepala. Benar, kan? Anak sulungnya Tante Sinta sama barbar kayak mamanya.
“Gampang, lah. Tinggal ke KUA, ijab kabul, selesai, kan? Malemnya blaem-blaem.”
“Ish!” Kanaya makin sebal saja mendengar ocehan ngawur sahabatnya. “Masalahnya aku mau nikah sama siapa? Pacar aja nggak punya,” sungut Kanaya.
“Siapa suruh kerja mulu? Jadi lupa cari pacar, kan?” timpal Satria sambil meletakkan tangan kanannya untuk menjadi bantal.
Kanaya mencibir, “Kamu tuh sama-sama jomlo aja, sok!”
Satria tertawa pelan. Sedetik kemudian, ia menghela napas. Matanya melirik prihatin Kanaya yang terdiam lesu dan laptop yang menyala secara bergantian, lalu menatap langit-langit kamar lagi.
“Resign aja,” saran Satria, untuk kesekian kalinya. Dan, ia yakin jawaban Kanaya pasti sama.
“Nggak mau.”
Tuh, benar, kan? “Cita-cita kamu, kan, jadi penulis. Bukan jadi editor. Aku nunggu buku kamu terbit, nih.”
“Tapi dalam kasusku, jadi editor lebih menjanjikan untuk punya penghasilan daripada penulis.”
Kanaya menghela napas berat. Satria benar. Cita-citanya menjadi penulis, bukan penyunting naskah. Namun, begitu ia lulus S1 Sastra Indonesia dan magang di kantor penerbitan, ia dikontrak menjadi editor tetap enam bulan kemudian. Kini, terhitung sudah 3,5 tahun ia bekerja menyunting naskah. Dari subuh ketemu subuh. Hingga akhirnya, ia pun mengubur dalam-dalam cita-citanya yang ingin menerbitkan naskahnya sendiri.
“Ya udah kalau nggak mau resign. Cari proofreader freelance biar bisa bantu kamu. Jadi, kamu nggak capek-capek amat. Setidaknya, jam tidur kamu sedikit lebih normal,” saran Satria.
Lagi-lagi, Kanaya menghela napas. Seberat itukah beban pekerjaannya? Sudah beberapa bulan ini, jam tidurnya berantakan gara-gara atasannya yang tidak tahu diri. Menetapkan deadline seenak udelnya sendiri. Namun, Kanaya lebih bodoh lagi karena mau-maunya menerima pekerjaan itu.
Terlalu cinta dengan profesinya, Kanaya jadi tidak peduli dengan jadwal tidur dan makan yang berantakan. Terkadang, Kanaya baru selesai menyunting naskah jam dua atau tiga dini hari, sementara jam 7 pagi, ia sudah harus bergegas absen ke kantor. Selama gajinya tidak dipotong dan upah lemburnya bisa membuat saldo ATM-nya terus bertambah, ia tidak keberatan dan tidak akan mudah berpaling.
Sehingga rasanya, Kanaya masih kurang setuju untuk mencari proofreader lepas seperti saran Satria tadi. Terkadang, ia sulit cepat percaya dengan kemampuan orang lain untuk membantunya menyunting naskah. Bisa kacau kalau ternyata proofreader yang ia pekerjakan justru tidak seprofesional yang ia harapkan.
“Atau cuti,” tambah Satria. Pasalnya, Kanaya terlalu lama berpikir, membuatnya gemas dan menyarankan usul ketiga.
“Nah, boleh juga, tuh,” sahut Kanaya. “Cuti ..., terus liburan.”
“Nah!” Satria ikut bersorak setuju.
“Sama kamu.”
“Eh?” Satria seketika menoleh menatap Kanaya.
Senyum Kanaya mengembang. Ia memiringkan tubuh menghadap Satria dengan antusias. “Kamu ambil cuti juga, ya, Sat.”
“Aku juga?” Satria menunjuk diri sendiri dengan kebingungan. Gimana, sih? Perasaan yang stres kerja itu Kanaya, bukan aku. Kenapa jadi aku ikut-ikutan disuruh ambil cuti?
“Kamu nggak mau nemenin aku liburan? Katanya sahabat,” cebik Kanaya sambil menonjok pelan dada Satria.
“Eh, bukan gitu.” Satria tergagap. Masalahnya, minta cuti di kantornya tidak semudah menulis surat izin tidak masuk sekolah—yang keterangannya tertulis sakit, padahal pulang kampung ke rumah nenek.
“Coba, deh. Kamu inget-inget lagi, Sat. Kapan terakhir kali kita liburan? Tahun ini, kita belum liburan lagi, loh. Bahkan, sebentar lagi udah mau ganti tahun.”
Satria mencoba mengingat-ingat. Memorinya jatuh pada liburan terakhirnya ke Malang. “Waktu kita ke Malang. Itu kapan, ya?”
“Astaga, Satria! Liburan ke Malang itu setahun yang lalu. Itu pun bareng-bareng keluarga besar. Sampai segala Rania, Mas Yudhis, dan Mbak Arini ikutan,” histeris Kanaya.
Satria ikut memiringkan posisi tidurnya menghadap Kanaya. Dengan posisi ini, mereka saling menatap dalam jarak dekat. Saking dekatnya, kedua tangan yang terlipat di dada masing-masing, sampai saling menyentuh.
Satria menatap Kanaya serius. “Jadi, maksud kamu kali ini, kita liburan berdua doang?” tanyanya memastikan.
Kanaya mengangguk. “Tapi jangan bilang-bilang Mama sama Bunda. Kalau mereka tahu kita mau liburan, pasti mereka heboh minta ikut. Di rumah kita, cuma Mama sama Bunda yang paling doyan liburan.”
Satria mengakui ucapan Kanaya. Sejak kecil, Satria sering kali diajak berlibur bersama orang tuanya. Terlebih, mereka tidak pernah liburan sendiri, melainkan selalu mengajak keluarga Kanaya. Begitu pun sebaliknya. Di lain kesempatan, saat keluarga Kanaya hendak liburan, pasti selalu memboyong keluarga Satria.
Lama kelamaan, Satria maupun Kanaya mulai paham. Persahabatan antara kedua ibu mereka sudah mendarah daging. Akhirnya, Satria dan Kanaya pun ikut-ikutan bersahabat hingga dewasa. Meski sering berselisih dan bertengkar, keduanya saling mencari saat tak bertemu. Meski saat dewasa sudah sibuk dengan pekerjaan masing-masing, keduanya saling berlomba meramaikan aplikasi ruang obrolan untuk menanyakan kabar atau curhat tentang beban hidup.
“Mikir apaan, sih? Serius banget,” celetuk Kanaya sambil menyentil dahi Satria.
Satria menggeram gemas. “Kamu pikir gampang minta cuti di kantorku?”
“Bukannya content writer kerjanya santai, ya?” sindir Kanaya cengengesan.
“Sembarangan kalau ngomong!” Satria menepuk jidat Kanaya dengan telapak tangan hingga berbunyi keras.
“Akh! Sakit, Satria!” pekik Kanaya.
“Eh, iya, maap-maap. Kekencengan,” sahut Satria cengengesan sambil kembali menyentuh kening Kanaya. Kali ini, mengusapnya agak lembut.
Kanaya berdecak kesal, lalu menepis tangan Satria jauh-jauh. “Kamu bahkan sekarang jadi youtuber. Kerjanya jalan-jalan mulu. Berarti kerjaan kamu di kantor santai dong?”
Selain bekerja menjadi content writer di Akasia—perusahaan marketplace yang bergerak di bidang tour and travel wilayah domestik, Satria juga punya cita-cita terpendam ingin berkeliling Indonesia yang kebetulan didukung dengan hobi travelling dan pintar menulis blog dalam dirinya. Kini, ia mulai merambah ke dunia per-YouTube-an untuk mendalami bakatnya menjadi vlogger. Dan, sejauh ini, tampaknya Satria cukup sukses dengan jumlah subscriber yang tidak sedikit.
Melihat Satria berkembang dan begitu menikmati kesibukannya yang terlihat menyenangkan, Kanaya iri. Sangat iri, sampai-sampai ia sering insecure sendiri. Jangankan jalan-jalan seperti Satria, menyempatkan menulis bukunya sendiri pun Kanaya tidak bisa. Bagaimana cita-citanya akan segera terealisasikan?
Namun, Kanaya memilih bahagia dengan caranya sendiri, yaitu harus banyak bersyukur karena bisa bekerja dan menjadi salah satu bagian penting di Cinnamon Publishing. Pasalnya, tidak mudah mendapatkan pekerjaan di sini, seleksinya cukup bersaing ketat. Terlebih, gaji yang ditawarkan memang jadi rebutan.
“Ya, nggak gitu juga, Nay.” Satria mencubit sebelah pipi Kanaya gemas, yang langsung ditepis pemiliknya. “Video jalan-jalan yang aku upload, kan video lama. Pas liburan bareng keluarga juga. Kalau video yang baru-baru, cuma jalan-jalan sekitaran Jakarta-Bogor aja bareng Dimas. Kontennya juga kuliner.”
Dimas, teman satu tim divisi kreatif yang sering kerja bareng Satria untuk liputan kuliner di kantor. Kubikel mereka bersebelahan dan Satria merasa cocok setiap kali berdiskusi dengan Dimas sejak awal bekerja. Terlebih, Dimas ahli videography yang akhirnya Satria ajak untuk menjadi cameraman dalam pembuatan konten YouTube-nya.
“Nah, justru itu!” sorak Kanaya bersemangat.
Satria sampai tersentak kaget mendengarnya. Melihat Kanaya bangun duduk bersila secara tiba-tiba, ia pun mengikuti, lalu terkesiap menghadapi Kanaya yang menyentuh kedua bahunya dengan tatapan serius.
“Konten YouTube kamu perlu sesuatu yang baru, Sat. Kamu bisa sambil bikin vlog terbaru kalau nemenin aku liburan. Iya, kan?”
Satria mengerjap. Menatap lurus kedua mata Kanaya yang berkobar penuh semangat persis di hadapannya. Bahkan sepertinya, jarak wajah mereka terlalu dekat hanya untuk berdiskusi merencanakan sebuah liburan.
“O-oke,” gugup Satria. Di depannya, Kanaya tertawa bahagia. Saat itu juga, Satria tersenyum menatapnya, menyadari untuk kesekian kalinya bahwa tidak ada yang lebih penting selain melihat Kanaya berbahagia.
Seraya menghela napas lega, tangan Satria terulur mengacak-acak rambut sahabatnya dengan gemas dan tidak akan berhenti sebelum Kanaya berteriak mengomel. Begitulah cara Satria mengalihkan diri dari degup jantung yang berdentum tidak seberes biasanya.
Sementara itu, di balik dinding dekat pintu kamar Kanaya yang terbuka, seseorang mendengar semua rencana yang seharusnya jadi hal paling rahasia malam itu. Merasa punya kabar bagus, orang itu tersenyum menyeringai dan kembali ke lantai bawah. Melupakan tugasnya untuk memanggil Kanaya dan Satria.
***
SEMUA orang tengah berkumpul dekat alat panggang saat Rania datang. Para pria memanggang sate, para wanita membakar jagung. Rania menghampiri kubu para wanita.
“Loh, kok sendirian? Mbak Nay sama Mas Sat mana?” tanya Sinta.
“Ma, Rania punya berita penting,” seru Rania dengan wajah serius dan setengah berbisik. Mengundang wajah-wajah penasaran haus akan gosip milik Sinta, Nurul, dan Arini.
Sinta mengernyit. “Berita apa?”
Rania pun menceritakan semua yang ia dengar di depan kamar kakaknya. Sontak, wajah penuh protes dan tak suka muncul di wajah Sinta dan Nurul. Sementara Arini hanya senyum-senyum melihat tingkah ketiga perempuan di hadapannya. Apapun topiknya, semua terdengar begitu seru bagi mereka.
“Masa mereka mau liburan tanpa kita, Ma?” cebik Rania memanas-manasi.
“Wah, nggak bisa begitu dong. Setahun ini, kita bahkan nggak liburan sama sekali gara-gara siapa coba? Gara-gara mereka kerja terus, nggak pernah libur,” sewot Sinta.
“Aku nggak setuju mereka berangkat liburan, apalagi cuma berdua,” tambah Nurul sambil geleng-geleng.
“Ma, biar aja Satria sama Kanaya pergi liburan,” timpal Rama. Sinta dan Rania semakin bersungut-sungut. Buru-buru Rama menambahkan, “Nanti Mama sama Rania, Papa ajak liburan sendiri.”
“Nggak. Kan, kita kalau liburan selalu sama-sama,” ngotot Sinta.
“Pokoknya kalau anak-anak itu pergi liburan, kita semua juga berangkat,” putus Nurul.
“Bunda,” tegur Mirza. Pria itu menggeleng, memperingatkan bahwa sikap istrinya kelewatan.
“Ayah, Satria sama Kanaya itu udah dewasa. Bahaya kalau mereka liburan berdua doang,” cemas Nurul.
“Iya, betul. Aku setuju,” sepakat Sinta.
Rania mengernyit bingung. “Bahaya kenapa emangnya?”
“Kamu masih kecil, nggak usah nanya-nanya,” larang Sinta. Rania langsung merengut manyun mencari pertolongan pada Arini.
“Nah, itu mereka datang,” seru Yudhis yang posisi berdirinya menghadap ke pintu teras.
Semua orang menoleh ke arah teras. Kanaya dan Satria berjalan berdampingan. Sesekali mereka tertawa-tawa, bahkan saling merangkul untuk menjitak atau mengusili satu sama lain. Biasanya, para ibu tidak khawatir menatap pemandangan akrab antara Satria dan Kanaya. Namun, hari ini, Sinta dan Nurul saling berpandangan cemas satu sama lain.
“Gimana, Rul? Sepakat?” bisik Sinta.
“Kalau mereka nggak mau gimana?” tanya Nurul balik.
“Ya, nggak boleh berangkat liburan. Mereka tinggal pilih, mau liburan atau nggak. Lagi pula, mereka kan udah saling mengenal sejak kecil, pasti nggak akan masalah.”
Nurul mengangguk. “Oke, deh. Kita kasih mereka pilihan dulu kalau gitu.”
Satria menghampiri kerumunan lebih dulu. Menghampiri Yudhis dan kembali membantu mengipas-ngipas. “Wah, akhirnya dipanggang juga satenya. Aku pikir masih ditusukin.”
“Mas Satria kelamaan manggil Mbak Nay, sih,” timpal Rania. Dalam hati, ia bermaksud menyindir. “Ngobrol apaan sih, Mas? Lama banget.”
“Berisik banget anak kecil,” celetuk Kanaya yang sudah berdiri dekat Arini, mengabaikan Rania yang mencibir tanpa suara. “Hai, Mbak Arini.”
“Hai, Nay. Lagi banyak kerjaan, ya? Baru muncul seharian,” balas Arini.
Kanaya mengambil satu tusuk sate yang masih setengah matang, lalu melahapnya setelah meniupnya beberapa kali. “Ya gitu, deh, Mbak. Kalau nggak dicicil, nggak selesai-selesai. Nasib jadi editor.”
“Jangan kerja mulu, Nay. Kalau kamu kerja mulu, kapan kamu punya pacar?” sindir Sinta.
“Ma, jangan mulai, deh,” protes Kanaya. Kalau tahu begini, mending tadi ia di kamar saja.
“Loh, tapi benar, kan? Sejak kamu ditinggal nikah sama yang waktu itu, Mama belum pernah lihat ada cowok datang main lagi ke rumah ini,” lanjut Sinta.
Kanaya menghela napas. Haruskah mamanya membahas soal itu sekarang? Mamanya ingin Kanaya malu di depan banyak orang atau bagaimana? Lihat, semua orang sudah pasang telinga untuk menyimak topik ini untuk lanjut diperbincangkan.
“Tante, Satria juga cowok. Tiap hari mondar-mandir ke rumah Kanaya, kan?” Satria cengengesan, berusaha membela Kanaya.
“Iya, Ma. Satria, kan, sering main ke rumah,” sambung Rama membenarkan.
“Kamu naksir sama Kanaya, Satria?” tanya Sinta.
“Uhuk!” Satria tersedak asap bakaran yang terhirup tanpa sengaja. Sontak, semua orang menatapnya. Satria jadi merinding. Pertanyaan macam apa ini?
“Kalau kamu naksir Kanaya, berarti kamu masuk hitungan kategori cowok-cowok yang datang main ke rumah, seperti si Damara-Damara itu,” jelas Sinta.
“Ma ...!” rengek Kanaya kesal bukan main saat Sinta harus menyebut nama laki-laki dalam masa lalunya. Laki-laki yang pernah ia cintai sepenuh hati, tetapi memilih menikah dengan perempuan lain. Ah, kenapa jadi bahas Damara?
“Sorry, Mama kelepasan,” sesal Sinta. Tangannya menepuk bibirnya sendiri beberapa kali.
Melihat suasana mulai tidak nyaman antara Sinta dan Kanaya, buru-buru Nurul mengalihkan topik lain. “Satria, kamu juga, Nak. Kenapa sampai sekarang belum bawa perempuan ke rumah?”
“Uhuk-uhuk!” Satria terbatuk lagi. Yudhis tergelak tanpa suara menepuk punggung adiknya prihatin. “Ya, mau ngapain bawa cewek ke rumah, Bun?”
“Ya, buat dikenalin sama Bunda, dong. Mau sampai kapan kamu sendirian, nggak punya pacar, jadi bujangan? Apa perlu Bunda cariin jodoh buat kamu?”
“Satria masih sanggup cari sendiri, Bun. Cuma memang belum ada yang cocok aja,” sahut Satria selembut mungkin. Ini harus banget bahas tentang hidup sendiri, nggak punya pacar alias jomlo di depan orang banyak begini? Malu, woy, malu ....
“Jangan-jangan kamu penyuka sesama jenis, ya, Nak?” tuduh Nurul.
“Bunda, kok jadi kelewatan?” tegur Mirza. Nurul langsung menunduk.
“Duh, salah ngomong aku, Sin. Jadi kena omel, kan?” bisik Nurul, sedankan Sinta sedang susah payah menahan tawa.
“Astaga ...,” desis Satria sambil mengelus dada. Ia melirik Kanaya yang tertawa cekikikan meledeknya.
“Udah, udah. Jangan dibahas lagi,” tegas Rama berusaha menengahi.
“NGGAK BISA!” ucap Sinta dan Nurul secara bersamaan. Semua orang menoleh bingung pada keduanya.
Sinta dan Nurul saling berpandangan, lalu keduanya saling mengangguk yakin. Seolah inilah waktu yang tepat untuk memutuskan. Sinta menarik napas dalam-dalam. Sambil saling bergenggaman tangan, Nurul ikut menarik napas banyak-banyak.
“Satria, Kanaya,” panggil Sinta. Satria dan Kanaya pun menatapnya, menantikan kata-kata selanjutnya.
Sedetik kemudian, Nurul yang bicara. “Kalian harus menikah.”
Bersamaan dengan itu, letusan kembang api terdengar bersahutan. Selamat datang, tahun baru. Dan, masalah baru.

[SSA: 2. Bikin Cucu]
DENGAN terpaksa, acara malam tahun baru harus pindah ke ruang keluarga karena tiba-tiba hujan mengguyur cukup deras. Semua orang berkumpul. Para orang tua duduk di sofa, sedangkan anak-anak duduk lesehan di karpet. Di tengah-tengah mereka, ada sate kambing dan jagung bakar yang tidak lagi terlihat berselera.
Mendadak, rasa lapar berubah kenyang. Suasana di antara mereka pun agak tegang. Kanaya duduk bersila di sebelah Satria. Sesekali mereka saling lirik, lalu menatap gelisah orang tua mereka. Terutama, para ibu.
“Untung Rania kasih tahu Mama soal rencana liburan kamu sama Satria, jadi kami bisa ambil keputusan. Coba kalau nggak? Kalian pasti nekat pergi berdua,” ucap Sinta.
“Apa salahnya sih, Ma, kalau Nay pergi liburan sama Satria? Sesekali boleh dong, kami pergi liburan cuma berdua,” seru Kanaya tak mau kalah.
“Oh, ya jelas salah,” sahut Sinta cepat. Kanaya hampir membalas ucapannya, tetapi dengan segera ia melanjutkan, “Kalian ini sudah dewasa. Bukan anak-anak lagi. Kalau kalian pergi berdua, terus nanti pulang jadi bertiga. Gimana?”
Seketika Satria tersedak udara di sekitarnya, sedangkan Kanaya tertawa jengkel tak menyangka pikiran mamanya akan sejauh itu. Lebih tepatnya, sekolot itu.
“Kamu baik-baik aja, Satria?” tanya Rama. Senyum tipisnya muncul di sudut bibir melihat respons sahabat putrinya.
“Iya, nggak apa-apa, Om,” sahut Satria cepat sambil berdeham. Perbincangan malam ini sungguh berat. Sampai-sampai ia terlalu sering menghela napas.
“Mama jangan bercanda, deh. Garing, sumpah,” sewot Kanaya.
“Bunda, jangan aneh-aneh, lah. Ya?” rayu Satria dengan senyum dan tatapan puppy eyes.
“Lagi pula, gila aja Kanaya kepikiran kayak gitu sama Satria. Nggak mungkin, lah. Duh, amit-amit,” sambung Kanaya lagi.
Satria tertegun, lalu menatap Kanaya yang bersungut-sungut. Segitu jijiknya Kanaya sama aku sampai bilang amit-amit?
“Mungkin kamu nggak kepikiran, Nay. Tapi, Satria?” Kali ini, Nurul angkat bicara. Ia mendapati putra bungsunya sedang memandangi Kanaya tanpa kedip.
Kanaya kebingungan ketika semua orang menatap Satria. Akhirnya, ia menoleh ke kiri dan baru menyadari Satria tengah menatap ke arahnya. “Kamu ngapain, Sat?”
“Eh? Nggak. Anu ...,” gagap Satria. Pasalnya, ia sudah tertangkap basah tengah memandangi Kanaya. Bukan hanya oleh Kanaya, tetapi seluruh manusia di ruangan ini.
“Kamu ...,” pekik Kanaya dengan tatapan bengis. “Dasar mesum! Bisa-bisanya kamu kepikiran kayak gitu sama sahabat kamu sendiri!”
Satria berusaha menangkis semua pukulan Kanaya yang datang bertubi-tubi ke arahnya. Bahkan dengan tega, tak ada satu pun orang di rumah ini yang mau menolongnya. Minimal, menahan serangan yang Kanaya berikan. Bukan malah tertawa-tawa melihat Kanaya melampiaskan kekesalannya.
Mengapa nasib Satria selalu berakhir menjadi samsak Kanaya sejak SD? Kanaya kesal karena cintanya bertepuk sebelah tangan saat SMP, Satria yang dipukuli. Kanaya patah hati karena gebetannya menikah dua tahun lalu, Satria juga yang dipukuli.
“Astaga, Nay. Sumpah, nggak, Nay. Bayangin nikah sama kamu aja nggak pernah, apalagi begituan.”
Kanaya menepuk mulut Satria hingga pria itu terkaget sambil memegangi bibirnya. “Ish. Mulut kamu, tuh. Rem dikit, dong! Di sini banyak orang tua, Satria,” desisnya.
“Ya, kamu main nuduh aku aja. Aku, kan, harus bikin klarifikasi supaya orang-orang nggak salah paham,” balas Satria.
“Masa, sih, nggak kepikiran, Sat?” goda Mirza.
Satria tertawa sumbang. “Ayah, jangan mancing-mancing, deh. Makin keruh suasananya nanti.”
“Kamu nggak tergoda sama sekali sama Nay, Sat?” Rama ikut-ikutan bertanya. Sekilas para ibu mendelik, merasa pertanyaan Rama tidak pantas untuk dilontarkan.
“Sumpah, Om. Nggak,” jawab Satria yakin.
“Maksud kamu apa? Aku nggak punya daya tarik gitu?” protes Kanaya.
“Eh, nggak gitu maksud aku, Nay. Aku—”
“Kalau nggak gitu, jadi maksudnya kamu suka sama aku? Kamu diam-diam naksir sama aku selama ini, Sat?” cecar Kanaya.
Astaga, help! Satria ingin gantung diri rasanya. Sementara para bapak senyum-senyum menggodanya, ia menggaruk kepalanya frustrasi. Bicara dengan wanita memang rumit dan serba salah.
“Udah jujur aja. Mumpung saksinya banyak,” goda Yudhis sambil mendorong bahu adiknya. Di sebelahnya, Arini tertawa-tawa tanpa suara.
Satria menggeleng seraya menggeram tertahan. Rasanya asap keluar dari hidungnya. Tangannya mengepal di atas pahanya yang bersila.
“Mas Sat, kok bisa sih naksir sama Mbak Nay? Mbak Nay, kan, galak, Mas,” sambung Rania.
“Heh! Anak kecil diem aja, deh!” Kanaya menoyor Rania. “Gara-gara mulut ember kamu, nih. Jadi ribet gini sekarang. Sana, masuk kamar! Ini obrolan orang dewasa tahu!”
“Dih, Mbak Nay cemburu, ya, aku deketin calon suaminya? Sewot banget,” ledek Rania. Ia bahkan dengan sengaja memeluk lengan Satria sambil menjulurkan lidah ke arah Kanaya.
Kanaya menghela napas kesal. Telinganya risi, bulu kuduknya sampai meremang mendengar kata calon suami. Terserah Rania sajalah. Ia tidak peduli jika adik perempuannya itu bermanja-manja dengan Satria.
“Mas Sat, nanti kalau udah nikah sama Mbak Nay, masih tetap mau nemenin aku curhat, kan, Mas?” cicit Rania.
“Iya, siap,” jawab Satria sekenanya. Lalu, ia tersadar ada yang salah dengan ucapannya.
“Tuh, Yah, Bun. Katanya Satria siap nikah sama Kanaya!” heboh Yudhis.
Eh, bangke! murka Satria dalam hati sambil mendelik ke arah kakaknya. Yudhis tampak terpingkal-pingkal. Rania juga ikut cekikikan.
“Ayah, Bunda—” Belum selesai Satria menyampaikan maksud hatinya, ucapannya sudah terpotong oleh diskusi para bapak.
“Ram, aku nggak nyangka kita bakal besanan,” ujar Mirza sambil merangkul bahu Rama.
“Ya, siapa sangka Satria bakal jadi menantuku? Tapi, syukurlah kalau memang Satria orangnya,” sahut Rama.
“Papa, apaan sih? Ih!” kesal Kanaya.
“Udah, udah. Sekarang, biar Mama yang bicara.” Sinta kembali mengambil alih perundingan malam ini. “Nay, Mama rasa sudah waktunya, ya, kamu menikah. Selain karena memang kamu nggak pernah kelihatan punya pacar lagi setelah ditinggal nikah sama Damara—”
“Ma!” Astaga, nama itu disebut lagi!
Sinta pun masa bodoh. “Mama tenang kalau kamu nikahnya sama Satria, Nay.”
“Tapi, Ma—”
“Nay, umur kamu itu sudah dua enam. Umur segini belum punya pacar, terus kamu mau nikah umur berapa? Kamu mau jadi perawan tua? Iya?” potong Sinta.
Kanaya mendengkus sebal. Ia paling benci jika mamanya sudah menyebut-nyebut perawan tua. Siapa bilang Kanaya tidak ingin menikah? Bahkan beberapa menit lalu, ia bilang pada Satria tentang keinginannya untuk menikah. Ia memang ingin menikah supaya tidak lelah bekerja, tetapi bukan Satria juga suaminya.
Lagi pula, apa yang salah dengan belum menikah di usia ke-26? Segitu aibnya jika punya anak gadis berusia 26 tahun, tetapi belum menikah?
“Kamu ingat Aira, kan? Anaknya Budeh Tyas, kakak kelas kamu pas SMA? Usia kalian cuma selisih setahun, tapi dia udah nikah tahun lalu. Pas usia 26 tahun dan sekarang lagi hamil. Masa kamu nggak kepingin nikah, sih, Nay? Mama aja pengin bisa gelar hajatan nikahan kamu,” lanjut Sinta.
Kanaya berdecak pelan. Aira, kakak kelasnya saat SMA, sekaligus tetangga blok sebelah komplek rumah. Waktu SD, Kanaya dan Satria sering main bersama Aira dan anak-anak seumuran mereka di lapangan komplek. Sementara ibunya Aira—Kanaya biasa memanggilnya Budeh Tyas—masih satu perkumpulan ibu-ibu arisan komplek dengan Sinta dan Nurul.
Kebetulan setahun yang lalu, Aira menikah bukan dengan pacarnya, melainkan dengan Riza —setelah 10 tahun lose contact. Bagaimana bisa Aira dan Riza menikah? Satria yang cukup akrab karena pernah satu organisasi ekskul pencinta alam dengan Riza saat SMA, tahu betul jika Riza bukan berpacaran dengan Aira. Pun setahu Kanaya, pacar Aira bukan Riza.
Menghadiri pernikahan Aira dan Riza, Kanaya sempat merenung. Kok bisa jodoh sebercanda itu. Pacarannya dengan siapa, nikahnya justru sama siapa. Atau jangan-jangan ... Kanaya juga sedang dalam tahap menuju fenomena dari jodoh suka bercanda? Jodohnya selama ini ternyata berada tak jauh di sebelah rumahnya?
“Kak Aira juga dadakan nikahnya, Ma. Kebetulan aja ada yang lamar. Makanya Budeh Tyas langsung buru-buru hajatan,” sahut Kanaya.
“Mau dadakan atau nggak, tetap aja Aira menikah di usia ke-26. Harusnya kamu contoh Aira, Nay. Dia berani menerima lamaran suaminya dan move on dari pacarnya yang nggak tegas itu. Masa kamu yang udah dua tahun ditinggal nikah, nggak move on-move on?”
Wow, Mama tahu dari mana coba, pacarnya Kak Aira nggak tegas sampai ditinggal nikah sama Kak Aira? Oh, jangan lupakan tentang the power of emak-emak saat bergosip, batin Kanaya heran.
“Ya, makanya Nay sibuk kerja, Ma. Bukan mikirin cowok, apalagi pacaran. Buang waktu aja kalau ujung-ujungnya bikin patah hati lagi.”
“Uhuk! Curhat!” celetuk Satria.
Tangan Kanaya menarik rambut Satria. “Nggak usah resek, deh!”
“Satria, kamu juga, Nak,” tembak Nurul. Suaranya terdengar begitu cemas. Seakan-akan besok akan kiamat.
“Apa, Bunda?” Satria beralih pada bundanya, berusaha melempar senyum seakan tidak ada hal yang perlu Nurul cemaskan.
“Selama ini, Bunda selalu nunggu kamu bawa pacar kamu ke rumah untuk dikenalin ke Bunda. Tapi sampai hari ini, kamu tetep single. Bujangan. Padahal, umur kamu juga sama-sama 26 kayak Kanaya.”
Satria memejamkan mata seraya tertawa miris pada diri sendiri ketika mendengar Nurul mengucapkan kata single dan bujangan dengan penuh penekanan. “Kalau cowok, kan nggak harus nikah pas umur 26, Bun. Atasan Satria aja udah 33 tahun belum menikah, tapi happy-happy aja, Bun.”
“Ya, itu namanya perjaka tua, Nak. Terus kamu mau samaan kayak atasan kamu. Begitu?” sewot Nurul. Helaan napasnya terdengar berat. “Kamu itu terlalu sibuk kerja atau gimana, sih? Atau nggak ada cewek cantik di kantor kamu yang bisa kamu seriusin?”
“Bukan nggak ada, Bun. Tapi, ya memang belum ada yang cocok aja. Lagi pula, punya pacar ribet, Bun. Makanya—”
“Makanya kamu nikah aja sama Nay kalau gitu,” putus Nurul.
“Eh, bukan gitu maksudnya, Bun. Satria belum selesai ngomong. Ya ampun,” gemas Satria. Padahal, ia ingin bilang daripada ribet pacaran, lebih baik ia fokus dengan kegiatan barunya menjadi youtuber.
“Berarti benar dugaan Bunda selama ini kalau begitu,” tukas Nurul.
Satria menghela napas, mati kutu. Pasalnya, ia tidak pernah sampai hati menyela ucapan bundanya. Ia melirik Kanaya sekilas, gadis itu masih terdiam dengan wajah kesal.
Nurul kembali bersuara, “Cuma Nay satu-satunya perempuan yang dekat sama kamu selama ini.”
Satria bergeming menatap bundanya. Ibu dan anak itu saling tatap, berusaha saling menyampaikan kata hati masing-masing. Perlahan, Kanaya menatap Satria dan Nurul bergantian. Begitu juga yang lainnya.
“Nak, kamu bisa bantah ucapan Bunda kalau ucapan Bunda tadi salah.”
“Nggak, Bunda. Semua yang Bunda bilang itu benar. Satria memang nggak punya pacar dan Kanaya ....” Satria menoleh, membalas tatapan Kanaya. “Satu-satunya perempuan yang dekat sama Satria.”
Kanaya menghela napas di tengah mulutnya yang terbuka gelagapan. Ia menggeleng, berharap Satria tidak lagi mengatakan apapun yang bisa membuat semua orang makin salah paham.
Kanaya memukul lengan Satria gemas seraya berdesis, “Sat, jangan aneh-aneh dong ngomongnya. Makin nggak selesai-selesai jadinya.”
“Kanaya?” panggil Nurul.
“Eh, iya, Tante Nurul?” sahut Kanaya cepat sambil menegakkan posisi duduknya. Ia bahkan sudah berhenti memukuli putra kesayangan Nurul.
Nurul tersenyum menatap Kanaya. “Mulai sekarang panggil Bunda, ya?”
“Eh? I-iya, Bun ... da?” Rasanya aneh memanggil Nurul dengan sebutan Bunda seperti yang biasa Satria lakukan. Mau menolak, ia tak sampai hati melakukannya. Sahabat mamanya ini sangat baik padanya sejak kecil. Bukan hanya Nurul yang menganggapnya seperti anak sendiri, Kanaya pun menganggap Nurul seperti ibunya sendiri.
“Nay, Bunda kenal kamu sejak kecil. Bunda bakal senang banget kalau kamu betulan jadi menantu Bunda, Nay. Mungkin Satria banyak kurangnya, tapi Bunda yakin Satria bisa kasih yang terbaik buat kamu.”
Aduh, gimana, nih? Kanaya semakin gelisah. Ia hanya bisa tersenyum kikuk seraya mengangguk-angguk, sementara lidahnya berubah kelu tak mampu berucap apa-apa. Padahal, ia ingin sekali menolak pernikahan ini. Astaga, masa aku nikah sama Satria? Aku pengin liburan, bukan pengin nikah sama dia!
Sedetik kemudian, Sinta menambahkan, “Nay, cuma Satria satu-satunya laki-laki yang bisa Mama percaya buat jagain kamu selama ini. Kalau kamu nikah sama Satria, Mama bakal tenang banget, Nay. Dari dulu, Satria nggak pernah mengecewakan setiap kali Mama minta tolong.”
“Minta tolong apa?” cecar Kanaya. Ia melirik Satria yang menggaruk kepalanya salah tingkah. Ada yang tidak beres. Apa yang Kanaya lewatkan dan tidak ia ketahui selama ini?
“Dari kamu SD, Mama sering ngerepotin Satria buat jagain kamu. Makanya, kamu sering berangkat-pulang sekolah bareng Satria. Kalau kamu pulang kuliah malam-malam, Mama juga yang minta tolong supaya Satria jemput kamu. Cuma pas kalian kerja aja, Mama nggak pernah minta tolong Satria lagi karena kantor kalian berjauhan. Tapi, ternyata Satria masih mau sesekali jemput kamu pulang kantor,” jelas Sinta. Tatapannya beralih dan tersenyum pada Satria.
Kanaya melongo tak percaya dengan cerita mamanya, sedangkan Satria semakin salah tingkah. Pria itu sempat membalas tatapan Sinta dengan senyum tipis, lalu menoleh dan menyengir kaku pada Kanaya.
Apa ini semua ada hubungannya dengan kegagalan Kanaya untuk punya pacar semasa sekolah? Sebab Satria selalu menempelinya setiap saat seperti kuntilanak, hingga ia tidak punya kesempatan tebar pesona sama cowok-cowok. Entah mengapa, sekarang terasa lebih jelas. Satria pasti penyebab mengapa banyak cowok mundur mendekati Kanaya dan batal jadian.
Mata Kanaya menatap Satria dengan supertajam. Memberi isyarat bahwa setelah ini, Satria utang penjelasan padanya. Namun, sahabat laki-lakinya itu malah tak berhenti cengengesan sambil mengangkat dua jari simbol perdamaian.
“Satria, makasih, ya. Udah jagain putri Om selama ini,” tutur Rama.
Satria berdeham kecil. “Eh, iya. Sama-sama, Om. Namanya sahabat pasti saling jaga, Om. Syukurlah, semasa sekolah, Kanaya aman dari cowok-cowok alay. Cuma pas kuliah aja, nih, Om. Satria masih kecolongan jagain Kanaya dari cowok buaya yang bisanya PHP doang.”
Kanaya mendengkus sebal mendengar Satria menyindir masa lalunya dengan Damara. Satria benar-benar, ya! Sahabat sialan.
“Cukup, ya. Tolong banget deh, Ma, Pa.” Kanaya berusaha sabar dengan menghela napas perlahan. “Mama sama Papa dengar sendiri, kan, Satria bilang apa barusan? Kanaya sama Satria itu cuma sahabatan. Jadi, kami nggak mungkin menikah.”
Kanaya memukul gemas lengan Satria. Pria itu menoleh kaget. “Bantuin dong. Nolak, Sat. Nolak!” omelnya sambil berbisik.
“Iya, iya!” sahut Satria sambil mengusap lengannya yang nyeri dipukul Kanaya. “Kanaya benar. Kami cuma sahabatan, jadi nggak mungkin menikah.”
“Kenapa nggak mungkin?” tanya Nurul. Kanaya dan Satria pun tertegun sejenak, lalu gelagapan mencari jawaban. “Kamu nggak suka sama Kanaya, Nak?”
Satria menegang. Mampus. Pertanyaan menjebak. Kalau aku jawab iya, terpaksa dikawinin. Kalau jawab nggak, Kanaya yang tersinggung. Pura-pura ayan aja gimana? batin Satria frustrasi.
“Bukannya nggak suka, Bun—”
“Jadi, kamu beneran suka sama aku, Sat?” sela Kanaya.
Satria ingin berteriak sebebas Tarzan sambil pukul-pukul dada sekarang juga rasanya. “Ah, nggak tahu, deh. Mumet.”
Sontak, Yudhis tergelak keras sampai-sampai Arini harus membekap mulut suaminya. Di sofa, para bapak juga ikut-ikutan tertawa-tawa menanggapi kemumetan Satria.
“Ih, kok mumet, sih. Ya, kamu tinggal jawab, suka sama aku atau nggak?” desak Kanaya.
“Stop, stop, stop! Kok jadi kalian yang ribut, sih,” potong Sinta. Kanaya dan Satria pun tidak lagi berdebat macam Tom and Jerry. “Sekarang kalian tinggal pilih, deh. Mau tetap berangkat liburan berdua, tapi menikah dulu. Atau kalian nggak nikah, tapi kita semua ikut liburan bareng.”
Kanaya menutup wajahnya geram dan frustrasi, sedangkan Satria hanya bisa tertawa hambar tak berdaya. Mau liburan aja kok begini amat, ya?
“Udahlah. Kalian nikah aja,” seru Mirza. “Lagi pula, kalian itu sudah waktunya juga berumah tangga.”
“Ayah—”
“Satria, jadilah laki-laki yang tegas. Berani ambil keputusan, berani ngomong jujur,” pesan Mirza.
“Jujur apaan, sih?” Satria makin geregetan.
“Benar kata Ayah, tuh. Lagi pula, Nay cantik, loh, Sat. Yakin nggak mau nikah sama Nay?” Yudhis ikut menimpali.
Yang bilang Nay jelek siapa, sih? Dari dulu juga dia cantik, cuma ketutup aja sama hobinya yang jarang mandi. Masalahnya sekarang bukan itu, loh, Pak-Bapak, Bu-Ibu. Tapi Nay yang kayaknya jijik banget mau nikah sama aku, geram Satria dalam hati.
Nurul bangkit dan menghampiri putranya. Duduk di hadapan Satria dan Kanaya, menatap keduanya serius. Walau Nurul lebih sering menatap Satria, seperti sekarang. “Nak, dengerin Bunda. Siapa tahu, kalau kamu nikah sama Nay, terus Nay hamil—”
“Uhuk-uhuk!” Satria pura-pura batuk salah tingkah.
“Ehem! Hem!” Kanaya pun pura-pura berdeham keras. Berusaha mengusir rasa ketidaknyamanannya akan topik obrolan Nurul. Berharap dehamannya bisa mengakhiri perbincangan tidak berfaedah ini.
Nurul menggeleng heran, lalu melanjutkan, “Maksud Bunda, siapa tahu kalau Nay hamil, bisa mancing Mbak Arini untuk hamil juga.” Nurul melirik Yudhis dan Arini sekilas, melempar senyum, lalu beralih pada Satria dan Kanaya lagi. “Kalau menantu-menantu Bunda hamil barengan, Bunda kan langsung punya cucu dua.”
Kanaya tersenyum meringis seraya mengusap tengkuk lehernya salah tingkah. Ia melirik Satria, membayangkan mereka menikah dan bikin an—astaga, stop! Kanaya merinding seketika. Sampai kapan pun, ia tidak akan bisa membayangkan Satria jadi suaminya. Satria ini sudah belasan tahun jadi sahabatnya. Semua keburukan Satria, Kanaya tahu semua.
Sinta ikut menyusul duduk lesehan di sebelah Nurul. “Eh, kamu benar, Rul. Pasti seru banget kalau bisa ngurusin cucu bareng, ya.”
“Iya, Sin. Bisa ganti-gantian gendong, nyuapin, mandiin. Terus selfie bareng buat update status Whatsapp. Masa kita kalah balap lagi sama anaknya Bu RT? Dia sudah mau punya cucu kedua, loh.”
“Wah, iya. Kita nggak bakal sebel lagi lihat status temen-temen gendong cucu mereka! Kita juga bisa bales nanti kalau Nay sama Satria punya anak. Enaknya punya cucu berapa, ya, Rul? Jangan cuma dua, ah. Sepi banget.”
“Lima ramai, tuh,” usul Nurul.
Lima? Gila! Memangnya aku kucing. Satu aja nggak terbayang, apalagi lima, batin Kanaya sambil memelotot dengan mulut ternganga. Kepalanya semakin pening dan ingin pecah.
“Eh, betul banget. Kayak cucunya Bu Lilis, tuh ada empat. Kita punya cucu lima, bisalah, ya. Itu baru anak dari Nay sama Satria. Belum dari Yudhis sama Arini, kan? Cucu kamu banyak banget nanti, Rul,” histeris Sinta.
“Wah, rumah bakal rame banget, Sin,” sambut Nurul dengan riang gembira.
“Jadi, sepakat, ya.” Tidak jelas, Sinta barusan melontarkan pertanyaan atau pernyataan. Baru saja Kanaya maupun Satria hendak protes, tetapi Sinta telanjur celingukan mencari-cari sosok Rama. Rupanya, Rama dan Mirza sudah pindah tempat ngobrol sambil ngopi di meja makan.
“Pa, nanti venue nikahan Nay dan Satria di restoran kita aja, ya. Jadi nggak usah sewa gedung. Temanya garden party aja.”
Nurul tidak mau kalah dan ikut bersuara pada suaminya. “Ayah, besok toko kainnya Mbak Ita buka nggak, ya? Bunda mau cari bahan buat seragam nikahan.”
“Ah, akhirnya aku bisa hajatan juga kayak Jeng Tyas, Rul! Bisa foto bareng ibu-ibu arisan komplek di pelaminan nanti,” pekik Sinta senang yang langsung ditanggapi acungan jempol Nurul. “Nay, gimana kalau nuansa dekorasinya warna ungu?”
“Terserah!” Dengan segera, Kanaya bangkit dari duduknya. Ia pusing mendengarkan obrolan Mama dan Bunda. Ia atau Satria bahkan belum menyetujui pernikahan ini, tetapi khayalan para ibu sudah berkeliaran ke mana-mana.
Satria mendongak saat menyadari lengan kausnya ditarik Kanaya. Buru-buru ia berdiri. “Kenapa, Nay?”
“Ayo, ikut aku. Kita harus bicara,” desis Kanaya sambil menyeret Satria.
“Aduh-duh. Pelan-pelan, Nay. Astaga!” pekik Satria sambil melangkah buru-buru mengekori Kanaya.
“Eh, eh, kalian mau ke mana?” teriak Mama begitu sadar kedua calon pengantin justru beranjak dari ruang keluarga.
“Bikin cucu!” teriak Kanaya.
Eh, serius? Langsung, nih? batin Satria.

[SSA: 3. Belajar Ciuman]
SETELAH memastikan tidak ada seorang pun mengikuti mereka, Kanaya berhenti di depan kamarnya. Satria mengernyit bingung melihat Kanaya juga melepas dan tak lagi menarik tangannya.
“Kok berhenti? Katanya mau bikin cucu?” tanya Satria.
Kanaya mendelik marah. “Ish! Kamu, tuh!”
Satria tertawa seraya menghindari Kanaya yang ancang-ancang mau memukul kepalanya.
“Kita ngobrol di sini aja,” putus Kanaya.
Sebelah alis Satria meninggi. Senyum miringnya muncul sesaat. Kedua tangannya menyentuh bahu Kanaya dan mendorong gadis itu berjalan mundur memasuki kamar. “Di dalam aja. Ngapain ngobrol sambil berdiri di depan kamar?”
“Nggak!” Kanaya menepis tangan Satria dan balas mendorong dada pria itu hingga mereka kembali ke luar kamar. “Aku nggak akan pernah izinin kamu masuk-masuk ke kamarku lagi!”
“Kenapa, sih?”
“Pikiran kamu nggak sesuci yang aku sangka selama ini. Gila kamu, Sat! Ternyata selama ini, kamu jadiin aku fantasi liar kamu. Kok kamu tega, sih? Aku, kan, sahabat kamu!” omel Kanaya.
Satria kembali tertawa. “Heh, aku juga mikir-mikir kali mau jadiin kamu objek fantasi aku. Apa yang mau dibanggain dari kamu, coba? Depan belakang rata semua kayak triplek gitu—akhhh!”
Mulut sialan! decak Kanaya dalam hati sambil terus memelintir daging pinggang Satria yang berhasil ia cubit. Seenaknya saja Satria bilang aset depan belakang miliknya rata seperti triplek. Sesekali sahabatnya ini memang perlu diberi pelajaran. Apa perlu Kanaya tunjukkan seberapa seksi dan montok tubuhnya ini pada Satria?
“A-ampun, Nay,” rintih Satria sambil memegangi tangan Kanaya yang mencubit pinggangnya.
Kanaya mengehela napas kesal. Dengan berat hati, ia melepaskan Satria yang kini sibuk mengusap pinggangnya. Pria itu sampai membungkuk dan bergerak tak tentu arah mirip cacing kepanasan menahan sakit.
“Eh, eh, eh! Siapa yang suruh kamu masuk?” histeris Kanaya. Sial, ia kecolongan. Satria hanya berpura-pura merintih kesakitan, lalu bergerak mundur agar bisa masuk ke kamarnya.
Satria tampak cengengesan, lalu mengempaskan diri ke sofa yang ada di kamar Kanaya. “Sini, Nay. Kita ngobrol di sofa.”
“Nggak mau! Kamu duduk di sofa, aku di sini.” Kanaya duduk di ujung ranjang yang menghadap ke sofa sambil melipat kedua tangan di depan dada.
Satria berdecak. “Apaan sih, Nay? Aneh banget kita ngobrol, tapi duduknya jauh-jauhan gini. Biasanya malah ngobrol sambil tiduran bareng di kasur, kamu nggak heboh.”
“Ya sekarang aku harus waspada sama kamu. Aku lupa kalau selama ini aku sahabatan sama laki-laki dewasa, yang ternyata diam-diam suka jadiin aku sebagai objek fantasinya,” sinis Kanaya.
Satria tersenyum miring. “Itu artinya aku cowok normal, Nay.”
Kanaya terbelalak. “Jadi, benar? Kamu suka berfantasi sama aku, Sat? Dasar mesum!”
Satria tertawa keras sambil terus menangkis bantal yang Kanaya pukul ke arahnya. Ia segera menangkap bantal itu dan menahannya. “Katanya kamu mau ngomong sama aku? Mending ngomong sekarang, deh. Aku ngantuk, nih. Pengin buru-buru pulang terus tidur.”
Kanaya menghela napas dan berhenti memukuli Satria. Ia kembali teringat dengan obrolan tidak berfaedah bersama para orang tua di lantai bawah beberapa menit lalu. Perlahan, ia duduk di sebelah Satria sambil memeluk bantalnya.
“Sat, masa kita disuruh nikah?” keluh Kanaya.
“Bukannya itu mau kamu tadi?”
Kanaya kebingungan. “Sejak kapan aku bilang mau nikah sama kamu?”
“Kamu nggak bilang gitu, sih. Tapi kamu bilang tadi pengin nikah aja, capek sama kerjaan,” cibir Satria mengingatkan ucapan Kanaya dua jam lalu.
“Ish! Aku emang bilang pengin nikah, tapi nggak secepat ini juga,” rengek Kanaya.
“Ya tinggal bilang sama mama kamu kalau nikahnya beberapa bulan lagi aja. Sambil kamu urus jadwal cuti dan resign sekalian.”
“Terus aku nikah sama siapa setelah repot ngurusin semua itu? Sama kamu?”
“Ya, iyalah. Kan, kamu disuruh nikahnya sama aku. Masa sama Damara? Dia, kan, udah ninggalin kamu nikah sama dedek gemes,” timpal Satria.
Kanaya geram karena semua orang tidak berhenti mengungkit nama Damara malam ini. Tangannya langsung menjambak kuat-kuat rambut Satria. “Amit-amit, ya, Sat. Males banget aku punya suami kayak kamu. Tukang narsis, suka tebar pesona, tukang ngeyel, susah diatur.”
“Aaakh! Sakit, sakit, sakit,” cemberut Satria sambil memegangi kepalanya.
“Nih, buktinya!” Kanaya mencengkeram asal helai-helai poni rambut Satria yang berantakan menutupi sebagian mata pria itu, lalu mengempasnya kasar. “Rambut gondrong acak-acakan kayak gini masih dipelihara, nggak dicukur-cukur. Sampai capek aku ngingetin kalau rambut kamu udah kepanjangan.”
“Kalau poniku dipotong, pesonaku hilang, Nay,” sahut Satria tanpa beban.
“Bisa darah tinggi aku kalau setiap hari ngadepin suami kayak kamu, Sat. Kok bisa, ya, Bunda sabar banget ngurusin kamu?” sungut Kanaya.
Satria mencondongkan wajahnya ke arah Kanaya sambil tersenyum menggoda. Telunjuknya menjawil ujung hidung Kanaya. “Jangan sembarangan kalau ngomong. Nanti dicatet Tuhan, loh. Kamu jodohnya sama aku.”
Kanaya memutar bola matanya, berlagak mual ingin muntah. “Amit-amit!”
“Dih, segitunya. Ya udah, aku pulang ajalah. Pembicaraan ini selesai. Kan, kamu nggak mau nikah sama aku,” putus Satria seraya bangkit dari duduknya.
Kanaya menangkap pergelangan tangan Satria, menahan lelaki itu pergi. Begitu Satria menoleh, Kanaya bertanya, “Terus liburan kita gimana?”
“Batal, lah.”
“Nggak mau. Aku pengin liburan, Sat,” rengek Kanaya.
Satria menghela napas. Tangan kirinya yang bebas menggaruk kepala gelisah. “Pergi liburan sama temen-temen kamu aja, deh. Sama Maya.”
“Ih! Maya, kan, lagi hamil muda. Suaminya nggak bakal kasih izin liburan.”
“Ajak Nita kalau Maya nggak bisa.”
“Duh, Nita lagi. Dia, kan, ngajar di kampus hampir setiap hari. Susah kalau mau diajak liburan,” cicit Kanaya putus asa.
Satria berlutut di depan Kanaya duduk. Ia meraih kedua tangan Kanaya dan menggenggamnya. “Ya sudah, kamu nikah sama aku. Biar aku bisa temenin kamu liburan.”
“Nggak mau. Kita, kan, sahabatan, Satria,” ngotot Kanaya.
“Terus kenapa? Memangnya kalau sahabatan, nggak boleh nikah?”
“Memangnya kamu mau nikah sama aku?”
Satria mengangguk. “Mau-mau aja. Kenapa nggak?”
Kanaya menganga lebar. “Jadi benar? Kamu cinta sama aku, Sat?”
“Ini bukan soal cinta atau nggak, Nay. Tapi, aku pikir omongan Bunda tadi ada benarnya juga.”
“Maksudnya?”
Satria menghela napas sebentar, lalu kembali duduk di sebelah Kanaya. Tatapan jailnya menghilang, berubah lebih serius menatap Kanaya. Sampai-sampai Kanaya tertegun menatapnya.
“Bunda benar, aku udah nggak punya waktu buat cari pacar sekarang. Selain karena sibuk kerja, aku juga pengin fokus sama YouTube. Daripada aku repot-repot cari cewek yang belum pasti, lebih baik aku nikah sama kamu yang udah jelas bibit, bebet, bobot-nya. Kamu itu udah pasti tipe menantu idaman Bunda, udah pasti dapat restu. Kalau cewek lain, belum tentu.”
Kanaya mengerjap. Ia memandang lurus wajah Satria, menerobos masuk ke manik coklat pria itu. Bukankah ini konyol? Mengapa Satria tampak begitu tenang menyetujui rencana pernikahan konyol ini, bukan malah protes menentang?
Saat kegelisahan itu semakin menyerang, Kanaya segera memutus kontak mata dengan Satria. Mendadak hawa udara di sekitarnya terasa memanas. Mungkin karena suhu AC terlalu tinggi. Padahal di luar sedang hujan, seharusnya suhu ruang tidak segerah ini hanya karena mendengar ucapan Satria yang cukup menyentuh.
“Jadi, menurut kamu, kita bisa nikah meski nggak saling cinta?” tanya Kanaya.
Satria mengangguk. “Terkadang pernikahan nggak melulu soal cinta, sih. Selama kita punya tujuan yang sama, aku percaya kita juga bisa nikah kok. Bahkan pernikahan ini sama-sama menguntungkan buat kita, loh, Nay.”
Kanaya tertawa remeh. “Menguntungkan dari mananya? Jelas-jelas kita nggak saling cinta dan pernikahan ini bukan kemauan kita.”
Satria tersenyum simpul. “Daripada pusing mikirin pentingnya cinta dalam pernikahan ini, mending kita renungin beberapa keuntungan yang bisa kita dapat kalau kita menikah.”
“Keuntungan?” heran Kanaya.
Satria mengangguk antusias. “Satu, mama kamu bakal berhenti singgung soal Damara kalau kamu nikah sama aku. Secara, ya. Aku, kan, memang menantu idaman Tante Sinta, dijamin topik soal Damara akan berganti dengan betapa bangganya mama kamu punya menantu kayak aku.”
“Narsis!”
“Dan di sisi lain, Bunda juga akan berhenti curiga kalau aku suka sesama jenis. Sumpah, risi banget dengarnya, Nay. Jadi, tolong saling bantulah biar namaku nggak tercemar lagi.”
Kanaya ngakak seketika. “Percuma ganteng kalau jomlo, Sat. Ujung-ujungnya disangka homo. Keseringan main sama Dimas, sih. Bunda jadi curiga kamu belok.”
“Ck. Malah diketawain,” gerutu Satria sambil mengacak rambut Kanaya. “Lanjut, nih. Kita ... bisa liburan berdua terus, Nay. Benar-benar cuma ber-du-a.”
“Tanpa Mama dan Bunda?”
Satria mengangguk. “Mereka pasti mikir kita mau bulan madu dan sungkan buat ikut karena nggak mau ganggu pengantin baru.”
“Ide kamu cemerlang juga, ya?”
Loh, iya dong! Biar cepet kamu iyain pernikahan ini, Nay.
“Aku jamin kamu nggak bakal nyesel ikut liburan ke semua tempat yang aku kunjungi untuk bikin konten, Nay. Nanti aku yang bayarin tiket kamu, deh.”
“Serius?” Kanaya memekik senang. Mendadak ia merasa bersemangat mengetahui banyak keuntungan yang menggiurkan jika menikah dengan Satria.
“Serius. Bahkan ada satu keuntungan yang paling wow dari yang lain.”
“Oh, ya? Apa? Apa?” Kanaya menepuk paha Satria beberapa kali dengan antusias karena sangat penasaran.
“Kita punya anak kalau khilaf.” Satria tersenyum lebar.
“Satria!” teriak Kanaya kesal. Tangannya pun tak tinggal diam, memukuli bahu Satria sekuat tenaga.
“Loh, omonganku nggak salah, kan? Kalau kita khilaf, ya bisa punya anak. Syukur-syukur punya lima biar kayak maunya Tante Sinta sama Bunda.”
Kanaya memejamkan mata dan menggeram tertahan. Ingin marah dan menendang Satria sejauh mungkin sekarang juga, tetapi Satria adalah satu-satunya solusi untuk mewujudkan liburan impiannya.
“Kamu jangan kebanyakan ngarep, deh. Kamu pikir aku mau gituan sama kamu? Ih, bayanginnya aja aku udah geli duluan,” jijik Kanaya sambil bergidik geli.
Satria mencebik. “Awas kamu. Aku bikin khilaf nanti, sampai kamu nagih nggak mau berhenti.”
“Argh, astaga, Satriaaa!” Telinga Kanaya panas dan terbakar sudah. Ucapan Satria benar-benar mencemari indera pendengarannya malam ini.
Satria menjawil lengan Kanaya. “Nay, jangan lupa. Kalau kita udah nikah, kamu pakai daster seksi pas mau tidur sama aku.”
“Ih, kamu tuh mesum banget, sih! Keluar sana!”
“Mau di mana? Di luar atau di dalam?” timpal Satria dengan senyum berkilat.
“Hihhh! Mamaaa!” teriak Kanaya mengadu. Kesal bukan main rasanya. Meski tidak semesum Satria, tetapi Kanaya tidak polos-polos amat untuk memahami maksud ucapan Satria barusan. Dan, itu benar-benar menganggu.
“Dih, udah tua masih ngaduan!” cibir Satria.
“Bodo amat! Pokoknya aku nggak bakal mau nikah sama kamu, apalagi tidur satu kamar sama kamu!” ketus Kanaya.
“Terserah. Toh, kamu yang rugi. Kan, yang pengin liburan itu kamu, bukan aku. Weeek,” ledek Satria. Kanaya bersungut menatapnya. “Udah sana, lemburan lagi. Sampai butek!”
“Saaat...,” rengek Kanaya. Bibirnya melengkung ke bawah seperti balita yang hendak menangis karena tidak dituruti keinginannya.
“Apa? Weeek.”
Ck, calon suamiku Satria banget, nih? Dia tuh nyebelin banget, astaga. Yakin akur, nih kalau kami berdua nikah? Tiap hari aja kami adu mulut terus, apalagi nikah nggak pakai cinta? batin Kanaya.
“Kok diem? Mikirin apa kamu sambil ngelihatin aku kayak gitu? Aku tahu aku ganteng, biasa aja lihatnya,” celetuk Satria.
Kanaya tak menyahut. Suara hatinya masih berperang, Ya kali, baru sehari nikah terus cerai sama Satria gara-gara berantem mulu? Aku beneran bisa hipertensi, deh, kalau harus nikah sama dia. Tapi, kalau nggak sama Satria, aku nikah sama siapa? Cuma Satria yang bisa bawa kabur aku liburan.
Kanaya menghela napas pasrah. “Mama sama Bunda kenapa, ya, Sat? Kok bisa-bisanya mikir kita bakal khilaf kalau liburan berdua doang. Sampai-sampai, Mama ngotot banget mau nikahin aku sama kamu. Kesannya aku susah jodoh banget sampai pilihannya cuma kamu,” cebik Kanaya.
“Setidaknya ambil sisi positifnya, Nay. Aku adalah seseorang yang diutus untuk melenyapkan kutukan susah jodoh kamu,” bangga Satria dengan senyum Pepsodent.
“Dih, bangga amat merasa jadi pahlawan kayak Spiderman?”
Satria mencebik. “Spiderman mah enak, ya. Jodohnya sama cewek cantik, seksi, dan hot kayak Marie Jane. Lah, kamu? Duh, depan belakang—”
“Mulut kamu minta dijejelin racun tikus banget, sih, Sat!” marah Kanaya sambil menendang-nendang betis dan paha Satria. Sialnya, pria itu malah tertawa-tawa. “Marie Jane juga mikir-mikir kali kalau Spiderman-nya modelan kayak kamu. Pengalaman ciuman aja baru sekali. Itu pun belajarnya sama aku. Hahaha!”
Tawa Kanaya menggema sesaat, kemudian perlahan hening. Menyadari ada yang salah dengan kalimat terakhirnya, Kanaya berhenti tertawa. Ucapannya tadi begitu sensitif jika diungkit saat ini. Satria juga sempat berdeham kecil beberapa kali. Keduanya saling melengos ke arah berlawanan. Berusaha saling menghindari tatapan.
“Seingat aku, kamu tuh yang minta aku buat jadi partner belajar ciuman waktu itu,” timpal Satria.
Kanaya memejamkan mata penuh sesal. Dasar lidah tak bertulang, seenaknya kalau bicara. Sekarang, ia sendiri yang terjebak dalam suasana awkward ini.
Kanaya tidak akan pernah melupakan peristiwa bersajarah saat SMP dulu. Kepolosan membuatnya tidak berpikir panjang. Kanaya pikir, ia harus belajar ciuman dulu sebelum akhirnya benar-benar mempraktikkannya dengan seseorang yang akan jadi pacar pertamanya. Kebetulan, hanya Satria yang Kanaya percaya untuk bisa menjadi teman berlatih ciuman waktu itu.
“Nay.”
Kanaya tersentak, saat tiba-tiba Satria menggapai pergelangan tangannya. Membuat Kanaya menoleh kebingungan karena Satria mendadak mengunci tatapannya.
“Ke-kenapa, deh, Sat? Ya-ya udah, sih. Tanpa perlu kamu ingetin, a-aku juga masih inget kalau dulu aku yang minta tolong sama kamu buat latihan—”
Satria menyela, “Seingatku setelah belajar ciuman sama aku, kamu kan gagal jadian sama kakak kelas pas SMP dulu.”
Kanaya berdecak sebal. Harus banget diingetin lagi? ”Mohon maaf, Bapak Satria Yang Terhormat. Calon pacar saya waktu itu nggak jadi nembak dan pacaran sama saya, kan gara-gara Bapak juga! Dari dulu, kamu tuh selalu ngikutin aku sampai nggak ada cowok-cowok yang berhasil pedekate terus pacaran sama aku. Kamu apain mereka, sih? Kamu ancam-ancam, ya?”
“Nggak. Kurang kerjaan amat.”
“Nggak mungkin. Pasti kamu melakukan sesuatu sampai mereka mundur nggak jadi nembak aku. Selalu begitu dari SMP sampai SMA. Satu sekolah sama kamu, tuh, bikin kisah percintaanku nggak ada manis-manisnya, Sat!”
“Aku cuma bilang sama mereka kalau aku pacar kamu,” aku Satria enteng.
Kanaya terbelalak. “Hah? A-aku nggak salah dengar, nih?” Setelah bertahun-tahun meninggalkan dunia sekolah, Kanaya baru dengar pengakuan terkutuk ini.
“Tanpa aku bilang pun, orang-orang mikir kalau aku itu pacar kamu, Nay. Lah, kita aja tiap hari berangkat pulang sekolah barengan. Gimana orang-orang nggak mikir kita pacaran?”
Kanaya menggeram tertahan sambil meremas udara persis di depan wajah Satria. Ternyata benar. Satria memang penghalang semua calon pacar datang menghampirinya. “Kamu tuh .... Ugh!”
Satria cengengesan. Mana rela aku biarin kamu ciuman sama yang lain, Nay?
“Sekarang aku tanya. Sama Damara pernah ciuman nggak?” tanya Satria tanpa basa-basi. Wajahnya serius menatap Kanaya yang kaget bukan main mendengar pertanyaannya.
“Kenapa harus sebut-sebut nama dia lagi, sih?” Kanaya gelagapan.
Satria merapatkan duduknya dengan Kanaya. Menghadapkan tubuh sahabatnya ke arahnya. “Selama kuliah, aku nggak pernah bisa sering-sering bareng kamu karena kita beda kampus. Kamu lebih sering bareng si Voldemort, bahkan kamu berangkat dan pulang kuliah juga sama dia. Aku sampai susah cari waktu ketemu kamu karena kamu sibuk kasmaran sama dia.”
“Sat—”
“Tapi, sekarang aku perlu tahu. Dari dulu aku selalu pengin tanya ini, tapi nggak tega bikin kamu yang baru ditinggal Damara nikah, makin patah hati.”
Kanaya tertawa jengkel. Ia menepis kasar tangan Satria dan bangkit. Namun, Satria langsung menariknya kembali duduk di sofa. Astaga! Satria benar-benar, deh!
“Jawab dulu, Nay.”
“Pentingnya buat kamu apa?” balas Kanaya dengan ketus.
“Ya ..., ya karena aku sahabat kamu. Aku perlu tahu, apalagi ternyata sekarang cowok itu dengan seenaknya nyakitin hati kamu.”
“Kenapa harus bahas dia lagi? Bukannya kamu males ngomongin dia?”
“Aku tebak, kamu pernah ciuman sama Damara.”
Kanaya menghela napas lelah melihat Satria justru mengabaikan pertanyaannya. Ia benar-benar ingin marah sekarang. Seenaknya Satria membuat kesimpulan sendiri. “Bukan urusan kamu, lah!”
“Seberapa sering, Nay?”
Kanaya menganga tak percaya Satria jadi mengiterogasinya seperti maling yang baru ketahuan mencuri. “Apaan, sih!”
“Berarti sering,” terka Satria semena-mena. “Pantas kamu patah hati dan susah move on dari dia. Habis manis, sepah dibuang. Sering ciuman, tapi nggak jadian. Iya, kan?”
Kanaya hilang semangat. Satria sudah membuat mood-nya yang kurang baik gara-gara rencana pernikahan konyol, menjadi semakin terjun bebas. Ia segera berdiri dan siap melangkah pergi, tetapi tiba-tiba Satria menahannya lagi.
Keduanya saling bertemu pandang. Satria ikut berdiri. Tiba-tiba kedua tangannya terulur menangkup pipi Kanaya, lalu mendaratkan satu kecupan di bibir gadis itu. Sedangkan, Kanaya hanya bisa memelotot terkesiap, tanpa bisa berbuat apa-apa ketika merasakan bibir Satria menempel di bibirnya. Hanya beberapa detik, tetapi seperti mampu membawanya kembali ke masa lalu—saat pertama kali merasakan ciuman pertamanya dengan Satria.
Dalam jarak yang sangat tipis, keduanya saling memandang. Kanaya mengerjap, menyadari debaran jantung yang masih sama heboh seperti dulu. Entah karena tiba-tiba mendapatkan satu kecupan atau ... karena Satria yang melakukannya?
“Aduh!” pekik Satria ketika tangan Kanaya menepuk keras bibirnya. “Astaga, sakit, Nay!”
“Ngapain kamu cium bibir aku?” Kanaya sadar ia sudah terlambat jika baru protes sekarang. Satria memang suka usil menciumnya tiba-tiba sejak masih SD, tetapi di pipi, bukan bibir seperti tadi. Kata Satria, pipinya menggemaskan seperti bakpau.
“Iseng, bosen cium pipi kamu mulu,” sahut Satria di sela cengiran lebarnya. “Hitung-hitung, DP dulu sebelum nikah, Nay. Siapa tahu kamu mau latihan lagi, biar lebih jago kalau udah nikah nanti.”
“Arghhh, Mamaaa! Satria nak—”
Satria membekap mulut Kanaya. “Sssttt, ah. Kamu tuh teriak-teriak mulu. Nggak lucu kali, Nay, besok kamu teriak-teriak ngadu sama mama kamu pas kita malam pertama.”
Astaga, cukup sudah! “Keluar!” usir Kanaya. Ia pasti sudah gila jika benar-benar setuju menikahi lelaki tengik seperti sahabatnya ini.
“Oke, oke. Aku keluar sekarang. Lumayan, udah dapet kiss sebelum pulang,” tutur Satria sambil tertawa-tawa dan berjalan mundur.
Kanaya langsung menghujani Satria dengan bantal, guling, boneka, apapun yang bisa ia lempar. Bersamaan dengan lemparan terakhirnya, Satria berhenti di pintu kamar dan bicara sebelum benar-benar pergi.
“Inget nggak, Nay, aku pernah bilang sesuatu sama kamu waktu SMP? Tepat seminggu setelah kita belajar ciuman, pas kamu nangis-nangis gara-gara ditolak sama kakak kelas yang kamu suka.”
Kanaya tidak menyahut. Lebih tepatnya ia menanti apa lagi yang akan Satria katakan. Di pintu kamarnya, Satria tersenyum, yang entah bagaimana terlihat manis di matanya.
“Dulu, aku pernah bilang sama kamu. Kalau nanti kamu dewasa, kamu nikahnya sama aku. Sebab di luar sana, nggak ada laki-laki yang lebih mengenal kamu daripada aku.”
Kanaya bergeming. Jantungnya—entah mengapa—berdebar lagi. Jantungku kenapa, sih?
“Kita akan tetap jadi sahabat selamanya kalau menikah, Nay. Entahlah, menurutku kayaknya bakal seru kalau bisa nikah sama sahabat kayak kamu. Jadi, besok kita berangkat jam sepuluh, ya.”
Alis Kanaya naik sebelah. “Berangkat ke mana?”
“Beli cincin nikah.”
***
Spoiler bab selanjutnya:
“Aku nggak masalah, terserah mama kamu mau pake WO atau nggak. Yang penting mah, kamu nikahnya sama aku.”
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
