
Sahabat Satu Atap
7. Malam Pertama
8. Adu Desah (18+)
9. Gigit, Nih!
***
Jika sudah meembeli novel cetaknya, tidak perlu lagi membeli bab di KaryaKarsa. Soalnya isinya sama saja.
Bab 1-9 bisa dibaca gratis seperti di Wattpad. Happy reading!
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penulis.
***

[SSA: 7. Malam Pertama]
SATRIA berjingkat kaget persis di depan pintu rumah yang ditutup dari dalam. Baru saja, Bunda menutup pintu dengan sekuat tenaga. Setelah itu, ia mendengar suara pintu terkunci dua kali. Sambil menatap nanar pintu rumahnya, Satria menghela napas pasrah.
“Bun, Satria ngantuk banget, mau tidur,” rengek Satria sambil menempelkan keningnya dengan frustrasi di pintu. Tangannya mengetuk-ngetuk kecil tanpa tenaga, berharap Bunda mau membukakan pintu untuknya.
Wajah Bunda muncul di balik kaca jendela yang belum tertutup gorden. “Ya udah, sana. Tidurnya di rumah Nay. Jangan di sini!”
Satria merengek kesal seraya mengentak-entakkan kaki. Persis saat kesal karena dilarang main sepeda siang-siang sama Bunda waktu SD. Tubuhnya sudah sangat lelah. Harapannya setelah mandi dan ganti baju, ia bisa segera merebahkan tubuh ke kasur. Apalah daya sekarang ia justru diusir dari rumah oleh bundanya sendiri.
“Memangnya kenapa, sih, kalau Satria mau tidur di kamar Satria?” protesnya dengan bibir manyun 5 senti.
“Kamu sama Nay udah nikah, Satria. Masa tidurnya misah? Udah, sana. Bunda mau tidur, capek seharian nyambut tamu.”
Dalam sekali tarikan, kain gorden langsung menutup jendela yang tadi memperlihatkan rupa Bunda. Satria menunduk dan menghela napas pasrah. Tidak punya pilihan lain lagi, ia segera melangkah gontai ke rumah sebelah.
Seperti biasa, Satria akan langsung masuk ke rumah Kanaya tanpa mengetuk pintu—beruntungnya belum terkunci, padahal sudah tengah malam. Sejak kecil, Satria bebas keluar masuk rumah itu karena sudah menganggapnya seperti rumah sendiri. Namun kali ini, ada yang aneh. Entah apa, Satria bingung. Ada rasa sungkan ketika memasuki rumah itu, sekalipun kini langkahnya sudah hampir sampai di tangga menuju lantai dua. Tujuannya saat ini, ada di atas sana.
“Satria?”
Satria menoleh. Ia mendapati mama mertuanya baru saja mengunci pintu kaca yang memisahkan ruang keluarga dengan taman samping. Oh, rupanya Mama memang baru akan mengunci-ngunci pintu rumah.
“Ma,” sapa Satria kikuk. Lidahnya masih saja kaku dengan panggilan baru itu.
“Loh, Mama pikir kamu udah di kamar Kanaya,” seru Mama sambil menghampiri Satria. “Udah makan belum? Mau Mama buatin teh hangat?”
“Oh, nggak usah, Ma. Makasih. Satria nggak lapar,” tolak Satria selembut mungkin.
“Kalau mau minum teh atau kopi, langsung bikin aja di dapur, ya. Harusnya Nay yang siapin buat kamu, tapi anak itu nggak keluar kamar lagi sejak sampai rumah.”
“Nggak apa-apa, Ma. Nay capek banget pasti, apalagi semalam baru tidur jam dua pagi.” Satria menoleh dan menunjuk dapur, lalu berujar, “Nanti biar Satria bikin sendiri kalau mau minum teh.”
“Iya, deh.” Mama tersenyum. “Meskipun kamu udah terbiasa dengan rumah ini, Mama tetap mau bilang selamat datang sebagai anggota baru keluarga kami. Semoga betah di sini. Kamu pasti udah hafal dengan keributan-keributan di rumah ini.”
Satria mengangguk sambil mengulum senyum. “Makasih, Ma. Satria jadi sungkan kalau Mama ngomong gitu.”
Mama menepuk lengan Satria. “Eh, jangan sungkan. Kamu tuh kayak sama siapa saja. Sekarang kita semua benar-benar resmi jadi keluarga. Mama titip Nay, ya. Kamu harus banyak sabar ngadepin dia. Terutama kalau bangunin dia pagi-pagi. Bawain air segayung aja kalau nggak bangun-bangun.”
Satria tertawa. Mana tega ia melakukan itu pada Kanaya? Tidak perlulah. Cukup Satria cium, Kanaya pasti langsung bangun. “Siap, Ma.”
“Ya udah, sana langsung istirahat ke kamar Nay. Mama juga mau istirahat, tapi mau kunci pintu depan dulu.”
Satria melongok kiri dan kanan. “Papa udah tidur, Ma?”
“Udah. Rania juga udah. Kenapa?”
“Oh, nggak. Nggak apa-apa.”
Mama tersenyum jail. “Takut ganggu yang lain, ya? Tenang aja. Kamu sama Nay, kan, tidurnya di lantai atas. Jadi, suara kalian nggak akan kedengaran sampai lantai bawah kok, apalagi kamar Mama.”
Satria berdeham kecil beberapa kali seraya mengusap tengkuknya salah tingkah. Ia paham betul maksud ucapan mama mertuanya barusan. Namun, sebaiknya Satria tidak menanggapinya supaya obrolan satu itu tidak semakin panjang.
Telanjur malu untuk bertemu tatap dengan Mama lagi, Satria bergegas menaiki tangga, menuju lantai dua. Sejujurnya, Satria tidak mengerti apa yang sedang ia lakukan saat ini. Jika biasanya datang ke kamar Kanaya adalah hal biasa—cenderung membosankan, sekarang terasa berbeda.
Satria berulang kali mengembuskan napas kuat-kuat, setiap kali menyadari kakinya tengah melangkah menuju kamar Kanaya, yang statusnya bukan hanya sekadar sahabat lagi, melainkan naik level menjadi istri. Malam ini, kamar Kanaya punya nama lain, yaitu kamar pengantin. Sial. Teringat malam ini adalah malam pertama mereka setelah menikah, Satria jadi keringat dingin dan gugup setengah mati.
Membayangkan tidur satu ranjang dengan Kanaya, membuat Satria panas dingin. Tidur bersama memang bukanlah hal asing bagi keduanya. Sejak kecil, mereka sering tidur siang bersama—dalam arti yang sesungguhnya. Beranjak dewasa, kebiasaan tidur bersama itu hanya sebatas berbaring sambil curhat di kamar, tidak sampai benar-benar terlelap dan menginap.
Namun malam ini, Satria harus menginap di kamar Kanaya. Jantung Satria berdebar hebat. Ia sampai harus bersandar di dinding samping pintu kamar Kanaya yang tertutup, saking gugupnya dan butuh sandaran segera. Lututnya terasa lemas seiring dengan tangannya yang gemetar saat hendak menggapai gagang pintu.
Untuk sejenak, Satria menarik napas dalam-dalam seraya memejamkan mata. Meyakinkan diri sendiri bahwa semua akan baik-baik saja. Ia hanya akan masuk, lalu tidur sampai pagi. Tidak akan terjadi apa-apa antara ia dengan Kanaya malam ini, meski seharusnya sah-sah saja jika mereka melakukannya, kan?
Cukup, Satria! Kamu mikir apa, sih? Sadar! Jangan ngaco! Satria bermonolog dalam hati seraya menjitak kepala sendiri.
Setelah yakin dan siap dengan rencananya, Satria segera membuka pintu. Perlahan, tetapi pasti. Pintu terbuka lebar seiring dengan matanya yang terbelalak, begitu melihat Kanaya sedang berdiri memunggunginya sembari menyingkap selimut dan bersiap naik ke ranjang untuk tidur, dengan gaun tidur satin sepaha, berdada rendah, dan tali tipis.
Mendadak, otak Satria seperti hilang fungsi. Darahnya seketika mendidih dan kepalanya pusing. Rencananya buyar. Ia pastikan, tidurnya akan sulit nyenyak malam ini. Perlahan, ada yang terasa sesak ... di bawah sana.
“Astaga! Satria?”
***
SETELAH menjalani resepsi pernikahan yang begitu panjang, akhirnya acara berakhir juga pukul sepuluh malam. Sesampainya di rumah saat hampir tengah malam, Kanaya bergegas masuk kamar dan membersihkan diri.
Badannya sudah terasa sangat lengket. Seharian berdiri di pelaminan membuatnya amat lelah, apalagi semalam ia begadang hingga jam dua pagi. Jadi malam ini, ia ingin balas dendam. Tidur secepatnya dan bangun sesiang mungkin, mumpung besok tidak masuk kantor.
Kanaya berdiri di depan lemari yang terbuka. Ia mengernyit heran, mendapati sebagian baju rumahnya menghilang. Raib, entah ke mana. Kaus-kaus oversize atau setelan piyamanya pun tidak ada. Hanya ada kemeja-kemeja yang biasa ia kenakan ke kantor. Ia butuh pakai baju segera, tetapi tidak mungkin memakai kemeja dan celana kerja untuk tidur malam ini, bukan?
Seingatnya, isi lemarinya masih normal semalam. Ah, mungkin masih tertahan sebagian di tempat laundry, mengingat menjelang hari H, Mama sibuk tak sempat mengurus cucian. Terlebih di rumah ini tidak ada asisten rumah tangga. Bukan karena Papa tidak sanggup menyewa ART, melainkan karena Mama merasa masih sanggup mengerjakannya sendiri. Sesekali, Kanaya dan Rania pun ikut membantu—kalau ingat dan mood.
Jika sebagian tertahan di tempat laundry, berarti sisanya mungkin masih di ruang setrika di lantai bawah. Pupus sudah harapannya tidur memakai kaus oblong dan celana pendek. Namun, juga jelas tidak mungkin jika ia tidur hanya mengenakan pakaian dalam. Ingin pinjam Rania pun, rasanya sudah terlalu lelah untuk menuruni tangga menuju kamar adiknya.
Dengan sangat terpaksa, Kanaya melirik salah satu pakaian di antara tumpukan kemeja yang sejak tadi tertangkap matanya, lalu mengambilnya. Setahun lalu, Mama membelikan gaun tidur tipis ini untuk Kanaya, tetapi tidak pernah dipakai sama sekali karena Kanaya tidak suka. Lagi pula, bisa memicu masuk angin juga.
Dan, mengapa di saat kaus-kausnya menghilang, justru gaun berdada rendah dan tali tipis ini yang tersisa untuk dipakai? Astaga! Tubuhnya mulai kedinginan dan terlalu lelah untuk memikirkan solusi lain. Jadi, dengan terpaksa Kanaya memakai gaun tidur itu daripada memilih outfit ngantornya.
“Ah ..., akhirnya ketemu kasur juga!” seru Kanaya senang usai berpakaian. Tanpa menyisir rambut yang masih setengah basah, ia bergegas naik ke ranjang. Baru saja ia berniat untuk berbaring, tetapi tiba-tiba matanya hampir melompat keluar begitu melihat seseorang berdiri di pintu kamar.
“Astaga! Satria?” pekik Kanaya.
Untuk sesaat, tatapan mereka saling bertemu. Tidak biasanya Kanaya sekaget ini hanya dengan kehadiran Satria di pintu kamar. Lalu, mengapa saat ini, ia begitu memusingkan jawaban atas pertanyaan-pertanyaan di kepalanya?
Sejak kapan pintu kamarnya terbuka? Sejak kapan Satria berdiri mematung dan memandanginya di sana? Bagaimana bisa Kanaya tidak sadar saat ada seseorang membuka pintu kamar, sementara tadi ia baru selesai mandi dan sibuk pakai baju.
Ada satu gerakan dari mata Satria yang Kanaya tangkap dengan jelas. Menyadari pandangan Satria turun ke bawah, Kanaya buru-buru menarik selimut dan menutupi bagian depan dadanya yang agak terbuka malam ini gara-gara gaun sialan ini.
“Ka-kamu ngapain di situ, Sat?” tanya Kanaya panik campur gugup.
Alih-alih menjawab, Satria justru melangkah masuk, menutup pintu di belakangnya, dan ... menguncinya. Sejak kapan Satria mengunci pintu kamar segala saat memasuki kamar Kanaya?
Degup jantung Kanaya semakin melompat-lompat tak karuan, seiring dengan langkah Satria yang semakin mendekat, juga dengan kesadaran akan status mereka yang sudah berubah sekarang. Terlebih, malam ini, malam pengantin mereka.
“Wowowowoooo, kamu mau ngapaiiin—”
Teriakan histeris Kanaya terhenti seketika, begitu Satria ambruk persis di sebelahnya, dengan posisi tengkurap di atas ranjang. Kanaya mengerjap, tubuhnya seketika menegang dan cengkeraman pada selimutnya semakin kencang. Terlebih saat melihat tangan kekar Satria menjatuhkan diri persis di atas pangkuannya yang tertutupi selimut.
Kanaya melirik horor Satria yang sama sekali tidak bergerak di sebelahnya. “S-Sat?”
Satria membuka matanya yang terlihat begitu berat. “Hm?”
“Kamu ... ngapain di sini? Di kamarku?” tanya Kanaya sambil meremas selimut yang semakin naik sampai ke lehernya.
Dengan mata kembali terpejam, Satria bergumam, “Tidur, lah. Aku, kan, suami kamu sekarang. Jadi, ya ... aku tidur di sini.”
Kanaya meneguk ludahnya kasar. Tenggorokannya seketika terasa tercekat. Belum lagi, detak jantung yang di atas normal membuatnya makin sesak. Kanaya pusing dan syok secara bersamaan melihat Satria tertidur di sebelahnya, di atas ranjangnya, di malam pertama setelah mereka menikah, dengan lengan yang seperti memeluk pangkuannya.
Nggak! Nggak boleh begini. Satria nggak boleh tidur di sini! Kanaya menggeleng perlahan seraya berteriak dalam hati. Meskipun mereka sudah menikah, Kanaya tidak mengizinkan Satria tidur satu kamar, apalagi satu ranjang dengannya seperti ini.
Aku nggak akan bisa tidur kalau Satria ada di sebelahku kayak gini. Astaga!
“Sat, bangun!” Kanaya memukul punggung Satria satu kali, lalu buru-buru mencengkeram selimut di dadanya lagi. Seperti sedang berusaha menyenggol kucing, tetapi takut dicakar. Namun, Satria tidak bergerak sama sekali.
“Satria!” bentak Kanaya sambil menjambak rambut pria itu.
“Astaga, Nay! Apaan, sih?” kesal Satria. Laki-laki itu berusaha membuka mata dan sedikit mengangkat kepalanya. Menatap Kanaya dengan bersungut sambil masih tengkurap.
“Kamu jangan tidur di sini. Tuh, di sofa sana!” usir Kanaya sambil menujuk sofabed kamarnya.
“Nggak mau!” Satria merebahkan kepalanya lagi. Bahkan kali ini, dia menutupi sebagian wajahnya dengan lengan yang ia tarik dari pangkuan Kanaya.
“Hiiih! Cepat pindah!” Kanaya mendorong-dorong tubuh Satria dengan kakinya yang ada di balik selimut. Pria itu tidak bergerak dan terganggu sama sekali. “Resek banget, sih!”
“Nay, aku ngantuk banget. Please, biarin aku tidur!” oceh Satria.
Heh, aku juga ngantuk! Ngajak ribut banget, sih! batin Kanaya.
Dengan napas memburu menahan kesabaran, Kanaya turun dari tempat tidur. Lalu, menarik selimut dengan sekuat tenaga, hingga Satria harus ikut terseret sampai ke pinggir ranjang. Menyadari tidurnya terganggu, ia melirik sebentar, lalu membiarkan Kanaya menarik selimut seutuhnya.
“Kamu mau ke mana?” tanya Satria dengan suara serak, khas orang yang sudah mengantuk berat.
“Tidur di sofa!”
Tanpa menoleh, Kanaya segera bergegas pindah ke sofa. Hancur sudah bayang-bayang balas dendam tidur nyenyak sampai besok siang karena ia harus tidur di sofabed malam ini. Dengan kesal, Kanaya lekas berbaring dan membelit tubuhnya dengan selimut. Ia harus memastikan bahwa tidak ada sedikit pun bagian tubuhnya yang tidak tertutup selimut.
Sejenak, Kanaya memejamkan mata, menyesalkan gaun tidur yang ia kenakan malam ini. Jika tahu akan ada kejadian seperti ini, ia lebih memilih tidur pakai kemeja dan celana kerja sekalian. Ia akan pastikan, gaun ini tidak akan pernah ada lagi di lemarinya mulai besok. Lihat saja nanti!
Dari tempatnya berbaring, Kanaya memandang lurus ke arah tempat tidur. Di sana, ada sosok pria yang tadi pagi melakukan akad nikah, mempersuntingnya sebagai istri. Kanaya menghela napas sambil menggeleng heran. Ia masih tidak menyangka, jika sekarang sudah bersuami. Terlebih, suaminya ada di atas ranjangnya, terlelap dengan tenang dalam posisi tengkurap, yang mungkin bisa membuatnya pegal saat bangun besok pagi.
Namun, Kanaya tidak mau memedulikan itu, hingga mengharuskannya untuk bersikap perhatian, lalu menghampiri Satria, dan membenarkan posisi tidur pria itu. Tidak, Kanaya tidak akan pergi dari sofa ini, apalagi sampai pindah tidur di sebelah Satria.
Pikiran-pikiran menyebalkan di kepala Kanaya pun semakin lama semakin penuh, semakin membuatnya lelah dan mengantuk. Sambil masih memandangi Satria dengan waspada, Kanaya pun tak tahan lagi untuk menahan rasa kantuk. Tak lama kemudian, matanya pun terpejam dan terlelap.
***
Dengan perlahan dan hati-hati, Satria membaringkan tubuh Kanaya di tengah-tengah ranjang. Ia tersenyum memperhatikan selimut tebal yang membelit tubuh gadis itu, yang membuatnya terlihat seperti kepompong. Jelas terlihat, gadis itu tidak main-main membentuk sebuah perlindungan terhadap dirinya sendiri.
Kira-kira satu jam lalu, Satria hanya pura-pura tidur saat Kanaya pindah ke sofa. Ia terpaksa melakukan itu supaya tidak ada perdebatan panjang malam ini. Mereka butuh istirahat setelah seharian di pelaminan. Terutama Kanaya. Satria tahu betul gadis itu kelelahan. Buktinya terlihat jelas, gadis itu tidak terusik saat ia menggendong dan memindahkannya ke tempat tidur. Pulas.
Lagi pula, Satria mana tega membiarkan Kanaya tidur di sofa sampai pagi. Tubuh gadis itu akan pegal-pegal. Biar saja, nanti Satria yang tidur di sofa. Namun, untuk sesaat, Satria ingin menikmati waktunya memandangi gadis ini lebih lama.
Satria berbaring miring seraya menopang kepala, menghadap Kanaya yang berbaring terlentang. Dengan sepuas hati, Satria memandangi wajah istrinya yang terlelap, nyaris tanpa suara, dengan posisi mulut setengah terbuka. Ekspresi khas Kanaya saat tidur.
Ternyata begini rasanya ngelihatin istri tidur, batin Satria geli. Sejak dulu, ia selalu penasaran dengan pengalaman yang sering diceritakan oleh Yudhis dan beberapa teman kantor yang sudah menikah. Satria menghela napas dan tersenyum tipis. Jantungnya kembali berdebar hebat menyadari ia sudah bukan lagi pria lajang seperti kemarin.
Di sebelahnya, ada seorang perempuan cantik yang selama dua puluh tahun ini dianggap sebagai sahabat, kini resmi menjadi istrinya. Wajah damai Kanaya saat tidur sungguh membuat Satria candu. Rasa kantuknya bahkan sudah menghilang entah ke mana, berganti dengan keinginan untuk menatap Kanaya dalam diam seperti ini sampai pagi.
Tidak pernah Satria bayangkan, ia benar-benar akan menikahi sahabatnya sendiri. Tidak pernah terlintas dalam benaknya, bisa tidur satu ranjang seperti ini dengan Kanaya. Selama ini, bisa bertemu dengan Kanaya setiap hari saja sudah cukup bagi Satria. Setidaknya ia tenang, saat tahu gadis itu masih bisa mengomel dan cerewet padanya. Artinya, Kanaya sehat dan baik-baik saja.
Tangan kanan Satria tidak tahan lagi untuk terus berdiam diri. Sedetik kemudian, tangannya sudah mengusap lembut pipi Kanaya dengan sangat pelan dan hati-hati. Satria tidak ingin sentuhannya mengganggu tidur gadis itu.
Lagi-lagi, helaan napas di antara senyum binar Satria terembus dari bibirnya. Debaran jantung dan perasaan bahagialah yang menjadi penyebabnya menghela napas berulang kali dalam sekian detik. Pasalnya, berbaring di ranjang yang sama dengan Kanaya, sukses membuatnya tidak bisa bernapas dengan normal.
“Emmh ...,” gumam Kanaya dengan kepala yang sedikit bergerak-gerak.
Satria langsung siaga. ia harus siap-siap pindah ke sofa, jika sewaktu-waktu Kanaya terbangun. Rupanya, gadis itu hanya terusik sebentar, lalu kembali tenang.
Satria pun menghela napas lega. Namun, tiba-tiba ia terkesiap saat Kanaya bergerak membebaskan diri dari selimut yang membungkus tubuhnya, lalu mengubah posisi tidur menjadi miring menghadap Satria, dengan tangan yang tiba-tiba tersampir tanpa beban ke atas pinggangnya.
Mata Satria melebar, begitu menyadari jarak wajah Kanaya teramat dekat dengan wajahnya. Rasanya, hidung mereka nyaris bersentuhan. Embusan napas Kanaya bahkan terasa menerpa wajahnya. Susah payah, Satria menelan ludah. Jantungnya terasa ingin meledak sekarang.
Perlahan, tangan Satria terulur lagi. Ia mengusap lembut rambut Kanaya dan berhenti di pipi kiri gadis itu. Ia menatap lekat-lekat wajah Kanaya yang terlelap. Dengan degup jantung yang berantakan, Satria bergerak mendekat. Mengikis senti demi senti yang masih membentang di antara wajah mereka. Dengan harap-harap cemas, takut-takut gadis itu terbangun, Satria mendaratkan satu kecupan di pipi Kanaya.
Lalu, dengan berani Satria berbisik, “Good night, Istriku.”
***
Detik yang sama, di depan pintu kamar Kanaya, Mama dan Bunda saling berdiri berhadapan dengan telinga menempel ke pintu. Hampir sejam menunggu, berharap mendengar sesuatu. Sampai sesekali menepuk lengan dan kaki karena digigiti nyamuk.
“Kamu dengar sesuatu, Rul?” Mama berbisik.
Bunda menggeleng, lalu balas berbisik, “Nggak. Mereka langsung tidur kali, ya?”
“Ih, masa langsung tidur, sih?”
“Mungkin mereka capek?”
“Oh! Jangan-jangan ... mereka melakukannya tanpa suara?”
Bunda membekap mulutnya sendiri, tertawa geli tanpa suara. “Nggak. Aku yakin mereka tidur, nggak malam ini lepas segelnya.”
Mama bersungut seraya menjauhkan telinga dari pintu. “Duh, dua anak itu memang dasar pelor kalau udah ketemu kasur. Masa iya, udah tidur satu kamar, nggak terjadi apa-apa? Anak kamu beneran normal, kan, Rul?”
“Ya iyalah, Sin! Meski Satria jomlo dan nggak pernah bawa cewek ke rumah, aku yakin anak itu masih doyan cewek.”
Mama tersenyum cengengesan, tidak enak hati karena sepertinya kata-katanya sedikit menyentil perasaan sahabatnya sebagai seorang ibu. “Oke, oke. Iya, aku percaya kok. Kamu merawat Satria dengan baik selama ini. Aku cuma nggak habis pikir aja. Masa iya Satria nggak tergoda sama Kanaya? Aku yakin banget, Kanaya pakai daster seksi di dalam.”
Bunda mengerjap. “Kamu beneran jalanin rencana yang kamu ceritain waktu itu?”
Mmama mengangguk semangat, lalu kembali bersuara dengan masih berbisik, “Tadi pas Kanaya lagi mandi, aku buru-buru ambil baju-bajunya, cuma aku sisain kemeja kerjanya sama daster mini. Jadi, aku yakin dia pasti pakai daster, nggak mungkin pakai kemeja buat tidur.”
“Ya ampun, niat banget sih kamu?” Bunda geleng-geleng.
“Demi cucu kita, Rul!”
“Iya juga, sih. Tapi, ya udahlah. Biarin aja mereka. Kalau nggak kejadian malam ini, masih ada besok pas mereka honeymoon. Mending sekarang kita juga istirahat. Aku udah ngantuk banget!”
Mama berdecak kesal, masih tak rela jika pengantin baru di balik kamar itu langsung tertidur pulas daripada melakukan malam pertama.
“Nay harusnya aku tutor dulu, Rul. Dulu, aku sama Mas Rama aja langsung, loh. Sampai dua ronde malah,” cerita Mama dengan tangan bersedekap.
“Itu, sih, kamu sama Rama aja dua-duanya udah nggak tahan!” cebik Bunda seraya melangkah menuruni tangga.
Mama menyusul langkah sahabatnya. Ia mencolek lengan Nurul. “Halah, kamu juga. Malu-malu kucing, tapi ujungnya mau juga. Langsung jadi Yudhis pula.”
“Ish, udah, ah. Kok jadi bahas malam pertama kita, sih.” Bunda mengibaskan tangan begitu sampai di lantai bawah. “Aku pulang dulu, ah. Nanti Mas Mirza marah kalau tahu aku ngerecokin malam pengantin anak-anak.”
Mama tersenyum menggoda. “Ah, bilang aja iri sama Satria, pengin ikutan mengulang malam pertama lagi. Makanya kamu buru-buru pulang. Hehehe.”
Bunda menjitak kepala sahabatnya dengan gemas begitu sampai pintu depan, lalu berkata sebelum akhirnya melangkah menuju rumahnya di sebelah. “Jangan lupa kunci pintu rumah, Sin. Dah, besan!”

[SSA: 8. Adu Desah]
SAYUP-SAYUP, kicau burung terdengar menyapa telinga. Dengan sempurna, sorot cahaya matahari menelusup dari balik celah gorden yang tidak menutupi jendela. Membuat Kanaya terusik dari tidurnya yang lelap, sebab cahaya itu persis menyorot wajahnya.
Kanaya menggeliat pelan di balik selimut yang agak berantakan. Dengan mata yang masih terpejam, ia mencoba menarik dan merapatkan kembali selimut ke tubuhnya. Rasanya masih ingin bermalas-malasan di ranjang kesayangannya, kembali tidur, dan bangun siang. Sayangnya, ia harus bergegas berangkat ke kantor hari ini. Banyak pekerjaan yang menantinya untuk diselesaikan.
Namun, tunggu sebentar.
Berangkat ke kantor? Sepertinya Kanaya melewatkan sesuatu dalam ingatannya. Seingatnya, ia sudah berhasil meminta jatah cuti pada Mbak Galuh karena ada acara pernikahan dan jadwal liburan yang harus ia tempuh.
Perlahan, tetapi pasti. Kesadaran Kanaya kembali penuh. Seketika, ia membuka mata bersamaan dengan ingatannya yang semakin jelas tentang pernikahan yang baru ia jalani, dengan seorang pria yang selama ini menjadi sahabatnya.
Satria Bagas Hadinata.
Laki-laki itu ... ada di sebelah Kanaya. Benar-benar ada di sebelahnya. Berbaring miring ke arahnya, dengan satu tangan berada di atas perutnya, dan bergelung di balik selimut yang sama dengannya.
Astaga! Gimana bisa aku ... Satria ..., histeris Kanaya terbata dalam hati. Ia panik, tetapi mendadak tubuhnya kaku tak bisa bergerak. Ia terlalu syok, padahal mereka sering berbaring bersama seperti ini. Sejak kecil malah. Namun, tidak dengan posisi seintim ini.
Sungguh, Kanaya ingin bergerak sekarang juga. Setidaknya, bergeser sedikit agar mereka bisa sedikit berjarak. Namun, sialnya Kanaya justru seperti terhipnotis dengan pemandangan paginya. Ia tidak tahu, sejak kapan Satria jadi terlihat semanis ini saat tidur. Pria itu bahkan tidak terganggu sedikit pun dengan semburat cahaya pagi yang bermuara di wajahnya.
Tangan Kanaya bergerak perlahan. Entah dari mana keberanian itu datang sehingga kini tangannya sudah terulur mendekati wajah Satria. Ada satu titik yang sejak tadi menarik perhatiannya, memusatkan fokusnya, dan membuatnya terlena.
Tanpa sadar, telunjuk Kanaya menyentuh bibir Satria, yang entah kenapa terlihat begitu seksi dan menggoda pagi ini. Dulu, bibir ini pula yang pernah memberikannya pengalaman akan sebuah ciuman pertama.
Sepagi ini, detak jantung Kanaya bergemuruh hebat, bersamaan dengan rasa ingin tahunya yang berlebih dan tak terkendali. Kanaya penasaran, apa rasanya masih sama jika dia kembali mengulangnya? Ia pasti sudah hilang akal sampai-sampai melantur sepagi ini.
Dan, Kanaya hampir bergerak maju, hendak menyatukan kembali bibirnya dengan bibir Satria, membiarkan rasa ingin tahunya terpuaskan, saat tiba-tiba mata Satria terbuka. Untuk sesaat, keduanya saling bersitatap, mengerjap dalam diam, berusaha mencari tahu apa yang sebenarnya terjadi karena waktu seolah berhenti berputar. Sebelum akhirnya, waktu kembali menarik mereka pada kenyataan.
“AAA—hmmpp!”
Satria membekap mulut Kanaya yang tiba-tiba terbuka lebar dan menjerit seperti baru saja melihat setan. Dalam hati, Satria sempat merutuki diri sendiri mengapa bisa ketiduran sampai pagi, padahal seharusnya ia pindah tidur di sofabed semalam. Parahnya lagi, ia sudah sebodoh itu, tertidur di sebelah Kanaya dengan satu tangan memeluk perut gadis itu.
Rasanya Satria ingin membenturkan kepalanya ke tembok berkali-kali gara-gara kebodohannya. Namun, mengingat jari telunjuk Kanaya yang menyentuh bibirnya, juga wajah Kanaya yang tergerak seperti hendak menciumnya, bolehkah Satria besar kepala? Ia tidak salah menerka, kan? Tadi itu ... Kanaya hendak menciumnya?
“Nay, ssstt! Astaga, ini masih pagi, Nay! Jangan teriak-teriak!” panik Satria dengan suara tertahan.
Kanaya terbelalak. Dengan sekuat tenaga, ia menarik tangan Satria agar menjauh dari mulutnya, lalu menendang Satria hingga jatuh ke lantai.
“Akh!” Satria meringis seraya mengusap bokongnya yang sakit. Ia cemberut menatap Kanaya. “Sakit, Nay. Tega banget, sih. Masa suami sendiri ditendang.”
“Berisik! Dasar cowok mesum!” bentak Kanaya. Matanya memelotot sembari berdiri berkacak pinggang di atas kasur.
Cowok mesum katanya? Satria tertawa jengkel dalam hati. Jelas-jelas, dia yang mau nyium aku tadi. Kenapa jadi dia yang marah juga?
“Ngapain kamu tidur di sebelah aku?” sungut Kanaya, lengkap dengan jari telunjuk menuding ke arah Satria. Alih-alih menjawab, Kanaya melihat Satria tiba-tiba berdiri dan hendak duduk di tepi ranjang. Ia pun kembali histeris, “Mau ngapain? Jangan duduk di situ! Stop!”
“Nay, kamu bisa tenang sedikit nggak, sih?” decak Satria kaget sampai berjingkat, batal duduk di tepi ranjang.
“Nggak bisa! Kamu duduk di bawah!”
“Nggak mau.” Tanpa mengindahkan perintah Kanaya, Satria kembali menjatuhkan tubuh di ranjang. Berbaring miring menghadap Kanaya, dengan satu tangan menopang kepala. Satria menepuk kasur yang kosong di depan perutnya seraya tersenyum menggoda. “Sini, Nay.”
Kanaya membelalak tak percaya, tak siap dengan respons Satria yang dengan kurang ajar membuat detak jantungnya semakin menggebu. Sumpah, demi Tuhan. Kanaya tidak paham, mengapa dirinya jadi lemah jantung begini? Bukankah seharusnya ia biasa-biasa saja menghadapi seorang pria yang bertahun-tahun bersahabat dengannya ini? Yang kebetulan saja ... telah resmi menjadi suaminya.
Nggak. Nggak boleh, batin Kanaya sambil memejamkan mata sejenak, lalu menggeleng kasar. Pernikahan ini nggak sungguhan. Kami bukan suami-istri, tetapi sahabat. Jadi, nggak boleh ada sesuatu—apa pun itu—di antara aku sama Satria.
“Kenapa aku bisa tidur di ranjang? Seingatku semalam, aku tidur di sofa,” ketus Kanaya. Ia memilih duduk berlutut di sisi ranjang yang bersebrangan dengan Satria, lengkap dengan bola mata yang terus bergerak waspada.
Satria mengedikkan bahu dan tersenyum remeh. “Nggak tahu. Aku juga bingung kenapa pas bangun, lihat kamu tidur di sebelahku sambil ngelihatin aku. Segala pegang-pegang bibirku.”
Kanaya menggigit bagian dalam bibir bawahnya, menggeram tertahan sekaligus malu karena seperti baru saja kepergok mesum. Ingin protes, tetapi Satria sudah lebih dulu melanjutkan ucapannya.
“Bisa jadi semalam, justru kamu yang diam-diam pindah karena pengin tidur di sebelah aku. Ngaku aja deh, Nay.”
“Wah!” Kanaya menghela napas kasar seraya tertawa jengkel. “Jangan ngada-ngada, deh, Sat! Astaga ..., bahkan ini masih pagi, tetapi kepalaku udah pusing ngadepin kamu di hari pertama kita nikah!”
Satria mengulum senyum. “Makanya, Nay. Daripada pusing, mending sini.” Satria menepuk kasur lagi, mengundang Kanaya untuk mendekat. “Rebahan di sebelah aku.”
“Tambah sakit kepalaku kalau nurutin omongan kamu!” Kanaya berdecak. Hatinya gusar. Kedua tangannya terlipat di bawah dada seraya menatap Satria sinis, yang tanpa sadar, tingkah Kanaya itu justru membuat tatapan Satria sedikit menurun dan fokus pada belahan dadanya yang agak terkespos pagi ini.
“Kita nggak bisa kayak gini, Sat!”
Satria mengernyit, mengalihkan fokusnya kembali menatap wajah Kanaya. “Kayak gini gimana?”
“Ya kayak gini. Tidur di kamar yang sama, satu ranjang, satu selimut—astaga!” Kanaya memijat pelipisnya saat teringat belum lama mereka sempat berlindung di balik selimut yang sama.
“Memangnya kenapa? Kita udah halal, kok. Bahkan sah-sah aja kalau mau melakukan yang lebih dari sekadar tidur seranja—”
“Stop! Diam nggak?” pekik Kanaya.
Satria berdecak protes. Dengan segera, ia bergerak bangun dan menarik lengan Kanaya, bersamaan dengan jeritan Kanaya yang terdengar melengking nyaring. Dalam sekali sentakan, Kanaya sudah terbaring di bawah kungkungan Satria sekarang.
“Satria!” Rasanya, jantung Kanaya ingin melompat keluar sekarang juga. Matanya bahkan sudah terbuka lebar menatap Satria yang dalam hitungan detik, sudah ada di atasnya, menahan kedua tangannya di sisi kiri dan kanan kepalanya.
“Kamu yang diam,” desis Satria sambil mengunci tatapan mereka.
Kanaya gelagapan. Mulutnya terbuka dan menutup bergantian mirip ikan yang terdampar di daratan. Jantungnya terasa ingin meledak saat perlahan wajah Satria bergerak turun, mendekat ke arahnya. Takut menghadapinya, Kanaya langsung memejamkan mata panik.
Satria tersenyum geli melihat ekspresi Kanaya, lalu berbisik ketika bibirnya sampai di dekat telinga gadis itu. “Lain kali, kalau suami lagi ngomong, jangan dipotong, apalagi dibantah.”
Kanaya tercekat. Pasalnya, bisikan Satria barusan menimbulkan efek yang tidak main-main. Sekujur tubuhnya sampai meremang merasakan desah napas Satria saat berbisik di telinganya.
Setelah beberapa saat, Kanaya memberanikan diri membuka mata. Ia yakin Satria pasti sudah kembali memberi jarak. Sialnya, ia jutsru mendapati Satria hanya sedikit menjauh tanpa berniat melepas cengkeraman di pergelangan tangannya.
Mau sampai kapan, mereka saling tatap dengan posisi seperti ini?
“Nay,” panggil Satria lembut.
“A-apa?” Dalam hati, Kanaya merutuki diri sendiri saat menyadari suaranya terdengar segugup itu. Ia sungguh mati gaya melihat kedua mata Satria dengan jarak sedekat ini, dalam posisi seekstrem ini.
“Bisa nggak, kalau berantemnya ditunda dulu? Sekali-sekali, adu debatnya diganti jadi ... adu desah, gitu.”
Benar-benar, deh, Satria! Kanaya terbelalak untuk kesekian kalinya. Belum sempat ia berteriak murka, hidung Satria sudah mengendus ceruk lehernya. Kanaya berusaha tetap sadar dan tidak terbuai, meski sensasi yang Satria berikan nyaris membuatnya mabuk kepayang.
“Kamu baru bangun tidur dan belum mandi, kan, Nay? Kok bisa sewangi ini, sih?”
“Sat, lepasin aku!”
Alih-alih menuruti perintah Kanaya, Satria justru semakin dalam menenggelamkan wajah, menghirup aroma tubuh Kanaya yang terasa candu, berhasil membuatnya lupa diri. Hingga tanpa sadar, tangan kanannya sudah pindah ke bawah, bergerak naik meraba paha istrinya.
Di saat yang bersamaan, Kanaya segera memanfaatkan tangan kirinya yang terbebas dari Satria, untuk mendorong kuat-kuat dada Satria agar menjauh dari lehernya. Sebelum tangan pria itu benar-benar menyingkap gaun tidurnya.
“Sat, berhenti! Kita harus bicara!”
Satria mengerjap, menatap Kanaya bingung. Lebih tepatnya, ia seperti baru kembali sadar dan terheran-heran dengan yang tadi ia lakukan. Mengimpit Kanaya, mengendus gadis itu, bahkan meraba pahanya juga.
Astaga! Aku barusan ngapaiiin? pekik Satria dalam hati seraya buru-buru menjauh dari Kanaya. Kembali membentang jarak di antara mereka.
“Ma-maaf, Nay. Ehem,” gumam Satria sambil menatap ke arah lain dan mengusap tengkuk lehernya. “Kayaknya ... aku kesurupan barusan.”
Kesurupan? Kesurupan arwah perjaka apa gimana? Kanaya tersenyum sinis sekaligus geli di saat bersamaan. Ia segera bangun dan duduk, ikut mengusap lehernya yang tadi diendus Satria dengan kedua tangan. Sial! Sentuhan bibir dan hidung Satria tadi masih terngiang-ngiang rasanya, rutuknya dalam hati.
Kanaya menghela napas kasar, mengabaikan soal kesurupan Satria. “It's okay.”
“Hm? Kamu nggak marah?” senyum Satria kembali terbit perlahan.
Kanaya menggeleng. “Setidaknya, aku jadi tahu sekarang kalau kamu beneran laki-laki normal. Nggak belok.”
“Berarti boleh dilanjut, dong?” timpal Satria dengan senyum miring dan alis yang naik-turun menggoda. Ia bahkan sudah siap merangkak maju.
Sebuah bantal berhasil Kanaya lempar dan mengenai tepat ke wajah Satria. “Sekaligus, aku jadi tahu kalau kamu berbahaya buat aku. Bisa-bisanya, ya, ngelunjak!”
“Kok bahaya, sih?” cicit Satria sambil cemberut manyun memeluk bantal yang Kanaya lempar.
“Aku sudah bilang, ya. Kamu jangan macem-macem!”
Satria menghela napas. “Macem-macem juga sama istri sendiri,” cebiknya.
“Tapi tujuan pernikahan kita, bukan untuk … itu, Satria. Kita nggak akan pernah melakukannya. Dan, kalau kamu tetep maksa, aku laporin kamu ke polisi dengan tuduhan pemerkosaan dan pelecehan seksual!”
Satria tertawa keras, Kanaya sampai kaget mendengarnya. Diancam kok malah ketawa, cibir Kanaya dalam hati.
“Heh, Nay. Mana ada, suami grepe-grepe istri sendiri itu disebut pelecehan? Pemerkosaan? Ngawur banget, sih. Polisi mana mau percaya.” Saking gemasnya, Satria sampai bergerak maju dan mencubit hidung Kanaya sambil melanjutkan tawanya.
“Satria, sakit!” jerit Kanaya. Satria pun segera menjauhkan tangannya sambil masih cengengesan. “Kamu dengerin aku sekarang. Aku mau kita buat perjanjian. Ada syarat yang harus kita sepakati, supaya pernikahan ini nggak menghancurkan persahabatan kita, Sat.”
Satria menaikkan sebelah alisnya. “Perjanjian?”
Kanaya mengangguk yakin. “Aku mau kita sepakat sama syarat yang aku ajukan. Pertama, pernikahan ini bukan pernikahan sungguhan. Nggak ada istilah suami-istri di antara kita. Adanya hanya kita saling bersahabat.”
Kening Satria mengernyit, padahal baru syarat pertama.
“Kedua, kita nggak tidur seranjang. Kita buat jadwal untuk gantian tidur di ranjang dan sofa.”
Mata Satria membola, mulutnya menganga.
“Ketiga, nggak ada kontak fisik di antara kita, apalagi ... ehem, itu.” Kanaya menggerakkan jari sebagai tanda kutip saat menyebut kata itu. Ia harap Satria sudah cukup paham maknanya agar ia tidak perlu menjelaskan lebih rinci apa maksudnya. Lagi pula, risi juga. “Kecuali di depan keluarga, memang harus pura-pura mesra, tapi cuma sebatas gandengan tangan. Nggak lebih.”
Kali ini, Satria hendak protes, tetapi Kanaya mengayunkan jari telunjuk menyuruhnya diam karena masih ada syarat lain yang mau disampaikan. Satria pun berdecak kesal dan membiarkan Kanaya melanjutkan ucapannya.
“Keempat, kehidupan kita akan berjalan masing-masing seperti biasa, seperti sebelum menikah. Kamu urus hidup kamu, aku urus hidup aku. Kamu nggak perlu kasih gaji kamu ke aku seperti suami-suami pada umumnya. Aku pun nggak perlu izin kamu untuk pulang malam karena lembur kerja atau pergi hangout macam istri-istri di luar sana.”
“Udah?” tanya Satria agak sedikit kesal.
“Satu lagi!”
“Astagaaa!” Satria langsung kembali berbaring dan menutup wajahnya dengan bantal. Buru-buru, Kanaya menarik bantal itu, menuntut Satria agar mau mendengarkannya.
“Sat, aku belum selesai. Kok kamu tidur lagi, sih?”
“Syarat kamu banyak banget! Males dengerinnya, bikin ngantuk lagi.”
“Dengar dulu syarat yang terakhir ....” Kanaya merangek sambil menggoyang-goyangkan bahu Satria. Pasalnya, pria itu sudah menutup wajahnya lagi dengan bantal.
Merasa terganggu, akhirnya Satria menyingkirkan bantal dari wajahnya, lalu melirik sebal. “Ck. Apa syaratnya?”
Kanaya tersenyum semringah. “Kelima, setiap sebulan sekali, kita harus melakukan perjalanan jarak dekat. Setiap ada kesempatan untuk keluar kota, kita harus segera berangkat! Jangan bikin aku nyesel udah nikah sama kamu, terus lebih milih jadi janda gara-gara kamu nggak sering-sering ngajak aku liburan.”
Satria kembali duduk bersila persis di hadapan Kanaya. “Boleh aku yang ngomong sekarang?”
“Oke.” Kanaya mengedikkan dagu mempersilakan Satria.
“Aku nggak setuju sama semua syarat kamu.”
“Hah?” Kanaya melongo heran. “Sat, kamu harus setuju. Kalau kamu setuju—”
“Nggak mau,” potong Satria tegas. Kanaya sampai tercengang menatapnya. “Pernikahan ini nggak pura-pura. Selain sahabat, kamu itu istri aku sekarang. Dan aku, suami kamu. Jadi, semua hak dan kewajiban antara suami-istri tetap berlaku.”
“Tapi, Sat—”
“Maka gugurlah syarat kamu yang kedua, ketiga, dan keempat. Kecuali syarat kelima, aku menyanggupi sepenuh hati karena itu memang kewajiban aku untuk bahagiain istri aku.”
“Sat, kamu jebak aku?”
“Nggak.”
“Tapi sanggahan kamu bikin aku merasa terjebak sama pernikahan ini. Tujuan awal kita nikah nggak gini, ya. Astaga ...,” geram Kanaya. Ia menyisir kasar rambutnya ke belakang dan meremasnya. Bikin Satria semakin panas dingin melihat semua gerakan Kanaya yang eksotis.
Satria buru-buru memejamkan mata, mengusir semua pikiran tak berfaedah di kepalanya. Berusaha fokus dengan percakapan mereka. “Nay, harusnya kamu tuh bersyukur, bukan terjebak karena nikah sama youtuber ganteng dan keren kayak aku. Di luar sana, banyak cewek pengin jadi pacar aku, loh!”
“Bodo amat! Aku nggak cinta sama kamu dan merasa terjebak nikah sama kamu kalau kayak gini!”
Satria tersenyum menggoda. “Ah, nanti lama-lama juga kamu jatuh cinta sama aku.”
Kanaya memutar bola mata berlagak ingin muntah. “Sat ..., ayolah .... Setuju, ya?” rengeknya.
“Nggak.” Satria menggeleng sambil tersenyum.
Kanaya mengentakkan kakinya kesal. Ia bahkan sengaja mengarahkannya ke paha Satria, hingga pria itu hampir limbung ke pinggir ranjang.
“Kamu nyebelin banget, sih.” Kanaya menghela napas pasrah. Bahunya merosot lesu. Satria hanya cengengesan tak peduli. “Pokoknya aku tetap nggak mau tidur satu ranjang sama kamu!” putusnya.
“Ya udah, berarti kita tidur satu sofa berdua. Simpel, kan?” timpal Satria cuek.
Kanaya berdecak dan melirik murka. “Ogah!”
“Memangnya kenapa, sih, nggak mau tidur seranjang sama aku? Waktu kecil, kita sering tidur siang bareng.”
“Please, deh. Waktu kecil, isi kepala kamu nggak kotor kayak sekarang, ya.”
Satria tergelak. “Seperti kata kamu, aku laki-laki dewasa yang normal, kan?”
Kanaya menghela napas kasar seraya melirik Satria sinis. “Kasih aku waktu, lah. Aku tuh belum siap.”
“Belum siap apa?”
“Ya ... belum siap.” Kanaya terbata mencari alasan yang tepat. Namun, justru terdengar seperti pengantin baru yang belum siap melakukan malam pertama mereka gara-gara jawabannya barusan. “Aku—”
“Belum siap malam pertama sama aku? Gitu, maksudnya?” terka Satria.
“Eh, nggak gitu maksudnya ....” Kanaya menggembungkan kedua pipi, menahan malu. Detak jantungnya kembali bergemuruh gara-gara ucapan Satria.
Sungguh, Kanaya tidak berpikir ke arah sana sama sekali. Ia hanya risi dan butuh waktu untuk tidur satu ranjang dengan sahabatnya sendiri.
Bagaimanapun, Kanaya juga perempuan dewasa yang punya rasa canggung terhadap Satria, sekalipun pria itu sahabatnya sejak kecil. Terlebih, situasinya sekarang mereka sudah menikah. Keduanya berada dalam ikatan resmi dan sah di mata hukum dan agama, yang bisa membuat segala hal menjadi halal untuk dilakukan.
Satria tersenyum geli. Tangannya terulur mengacak-acak rambut Kanaya yang tampak gundah. “Tenang, Nay. Aku nggak bakal nyentuh kamu kalau kamu belum siap. Kita harus sama-sama sepakat dan siap kalau mau melakukannya. Sebab bercinta itu butuh kerjasama antara dua belah pihak. Kalau cuma sepihak, namanya solo karir pakai sabun di kamar mandi.”
Kanaya menggeram kesal tertahan. Tak habis pikir dengan ucapan Satria yang melantur, seolah-olah mereka akan melakukannya suatu hari nanti. “Sat, kamu pikir kita bakal melakukan itu? Jangan gila! Bukan itu, ya, maksud jawabanku tadi.”
Satria mengedikkan bahu tak peduli. “Ya ... siapa tahu kamu yang bikin aku khilaf.”
“Aku bikin kamu khilaf?” ulang Kanaya tak percaya. “Ya nggak bakal, lah. Otak kamu, tuh—hiiih!” Kanaya menoyor kepala Satria saking gemasnya. “Periksa ke dokter THT sana! Congek sama upil kamu kesumbat semua di kepala kayaknya.”
“Oh, ya?” Satria tertawa seraya menerima perlakuan semena-mena Kanaya dengan hati lapang, seperti biasanya. Sejak dulu hingga sekarang. Toyoran Kanaya bagaikan makanan sehari-hari bagi Satria.
Kanaya mengernyit melihat Satria tersenyum menyeringai. Kok Satria horor gini, sih? batinnya sambil menanti apa yang akan Satria katakan lagi.
“Kalau kamu memang nggak pernah niat bikin aku khilaf, terus ngapain kamu tidur pakai daster pendek dan berdada rendah kayak gitu, Nay?” Dagu Satria bergerak menunjuk persis tepat ke dada Kanaya.
Sontak, Kanaya terbelalak dan langsung menyilangkan kedua tangan di depan dada. Ia lupa kalau gaun tidurnya ini banyak kekurangan bahan, apalagi bagian depan. Betapa bodohnya ia membiarkan tubuhnya terekspos menjadi pemandangan Satria pagi ini. Buru-buru Kanaya menarik selimut untuk menutupi dadanya.
“Hmm, Sat, kamu mau ke mana?” tanya Kanaya begitu melihat Satria beranjak dari tempat tidur dan berjalan mendekati pintu kamar mandi. Bukankah pembicaraan mereka belum selesai?
“Showeran. Bisa khilaf beneran aku kalau kelamaan lihat kamu pakai daster seksi kayak gitu, Nay. Ck.”

[SSA: 9. Gigit, Nih!]
JAKUN Satria naik turun karena kesulitan mengalihkan tatapannya dari Kanaya sejak tadi. Persis di hadapannya, Kanaya tampak sibuk melepas satu per satu kancing kemejanya sendiri. Tatapan Satria menurun seiring dengan kemeja Kanaya yang dibiarkan jatuh oleh pemiliknya. Satria menelan ludahnya kasar. Jantungnya mendadak ingin lepas mendobrak tulang-tulang rusuk saat tiba-tiba Kanaya mendekat dan meraih ujung kausnya.
“Sat, ayo, cepat. Buka kaus kamu!” suruh Kanaya dengan semangat.
Satria menggeleng. Tangannya refleks menahan kausnya. “Ng-nggak usah, Nay.”
“Ish, mana asyik kalau pakai baju?” Kanaya menarik paksa kaus Satria ke atas hingga perut pria itu sedikit terlihat.
“Nay. Malu, Nay,” risi Satria sambil terus berjuang menahan kausnya agar tidak berhasil dilepas Kanaya. “Kamu ... mending pakai baju kamu lagi, deh. Itu ..., ehem, dada kamu ..., kelihatan ke mana-mana!”
Tadi pagi, gadis itu protes saat Satria menuduh sudah berusaha membuatnya khilaf karena daster berdada rendah yang Kanaya pakai. Namun, sekarang ini apa? Kanaya melepas kemejanya sendiri dengan sukarela di hadapannya, menyuguhkan pemandangan indah, tetapi sekaligus mendorong Satria untuk—benar-benar—berbuat khilaf.
Satria ini pria normal yang punya batas kesabaran menahan hasratnya dan Kanaya tidak lupa fakta itu, kan? Atau Kanaya memang sengaja mancing-mancing agar Satria membuktikan kenormalannya? Satria menggeram dalam hati dengan tangan terkepal, Astaga, Kanaya sengaja mau bikin aku mimisan apa gimana, sih?
Kanaya tertawa jengkel mendengar ucapan Satria, lalu melirik tubuhnya sendiri. Bagian mana dari dadanya yang terumbar ke mana-mana? Ia hanya mengenakan tanktop, bukan bikini dengan tali tipis seperti yang sering cewek-cewek pakai saat berkunjung ke pantai.
“Pakai lagi!” Satria melempar kemeja Kanaya yang baru saja dipungutnya, persis ke dada gadis itu. “Jangan mentang-mentang nggak ada Mama sama Bunda, kamu jadi nggak kontrol pakaian kamu pas liburan ke pantai, ya!”
Kanaya tersenyum menang sambil kembali melempar kemejanya pada Satria. “Justru karena Mama sama Bunda nggak ikut liburan bareng kita, aku mau puas-puasin main di pantai pakai tanktop, dong!”
Sudah cukup bagi Kanaya, sejak kecil hingga belasan tahun kemudian, para ibu mengatur pakaiannya saat main di pantai, yaitu mengenakan kaus oversize dan celana selutut. Kanaya bahkan tidak pernah tahu rasanya berenang di pantai pakai baju renang, apalagi bikini. Maka pada liburan kali ini, ia tidak akan membiarkan siapa pun menghalangi keinginannya untuk pakai tanktop di pantai. Satria sekalipun.
“Ya terus? Kalau sekarang nggak ada Mama sama Bunda, kamu pikir aku bakal izinin kamu pakai tanktop di sini?” omel Satria. Dengan menyebalkan, Kanaya sama sekali tak mengindahkan omelannya. Dengan cuek, gadis itu justru melakukan hal yang membuat Satria terbelalak. “Heh, kamu mau ngapain?”
Mendengar Satria memekik histeris, Kanaya urung melucuti celana kulot panjangnya, lalu mendongak. “Mau copot celanaku.”
“NGGAK USAH!” Fiks, aku nggak jamin nggak bakal mimisan kalau begini! Tuhan, lindungi mataku, hasratku, khilafku!
Kanaya berdecak dan kembali berdiri tegap sambil bersedekap. “Kamu kenapa, sih, Sat? Ribet banget dari tadi.”
“Kamu nggak usah copot celana dan sekarang pakai lagi kemeja kamu!” perintah Satria sambil membentangkan kemeja Kanaya ke bagian belakang tubuh gadis itu.
“Nggak mau.” Dengan cuek, Kanaya meraih kemejanya dan melemparnya lagi ke wajah Satria.
Satria mengempaskan kemeja Kanaya dari wajahnya dengan kesal. “Tapi dada kamu—”
“Please, deh, Sat! Tanktop aku masih jauh lebih tertutup dibanding cewek-cewek itu, ya!” Kanaya menunjuk gerombolan cewek-cewek berbikini di kejauhan. “Dan aku pakai hot pants sepaha,” gerutunya sambil buru-buru melepas dan melempar celana kulotnya ke pasir. “Se-pa-ha, loh! Nih, lihat! Bukan kancut segitiga kayak mereka.”
Satria menggeram kesal. Tidak terima dengan tatapan sinis Kanaya yang begitu menantangnya. Tanpa aba-aba, Satria segera melepas kaus putihnya dan membuangnya ke sembarang arah. Mendapati Kanaya terkesiap hingga bola mata gadis itu melebar melihatnya bertelanjang dada, Satria tersenyum miring. Balas menggoda sekalian.
Kanaya mengumpat dalam hati begitu melihat betapa seksinya Satria bertelanjang dada di hadapannya. Ini bukan kali pertama Kanaya melihat Satria topless, tetapi sejak kapan tubuh Satria jadi seatletis ini? Apa selama ini ia terlalu banyak menghabiskan waktu di kantor sampai tidak lagi memperhatikan sahabatnya berhasil merawat diri dengan baik? Meskipun tidak sekotak-kotak para bintang iklan susu L-Men, perut Satria cukup rata dan sixpack-nya nyaris sempurna.
Tanpa sadar, Kanaya menatap Satria dengan tatapan penuh damba, mulut menganga, dan jantung berdebar kencang membayangkan rasanya menyentuh dada dan perut Satria yang tampak liat. Yakin, nih, dengan tubuh seseksi ini, Satria masih jomlo dan malah memilih menikah dengannya—sahabat kecil Satria yang tidak punya keindahan dari sisi mana pun sebagai perempuan? Jangankan berdandan, mandi saja Kanaya jarang-jarang.
Namun, sedetik kemudian Kanaya tersadar telah melakukan kesalahan fatal—menatap Satria tanpa berkedip macam ABG labil baru pertama kali lihat cowok tidak pakai baju. Belum sempat ia memalingkan wajah dan menetralkan ekspresi mupengnya, Kanaya memekik keras saat tiba-tiba tubuhnya seperti melayang. Satria meraih punggung dan belakang lututnya, lalu menggendongnya tanpa izin dan dengan kurang ajar, pria itu membawanya ke tengah laut mengejar ombak.
“Satria, kamu mau ngapain? Turunin aku nggak!” teriak Kanaya panik. Buru-buru ia mengalungkan kedua tangannya di leher Satria saking takut terjatuh.
Satria tersenyum jail. Wajahnya mendekat dan berbisik di telinga Kanaya, “Nggak! Kamu boleh kok pakai tanktop dan hot pants, tapi ... di dalam laut.”
“Hah? Kamu mau tenggelemin aku ke laut? Gila kamu!”
Kanaya memberontak hendak melarikan diri. Namun, Satria semakin erat menggendongnya, tak membiarkannya lari begitu saja. Bukan seperti ini rencana liburan di pantai yang ada dalam khayalan Kanaya. Ia hanya ingin main air di pinggir pantai, bukan ke tengah laut seperti yang Satria lakukan.
“Sat, balik ke tepi pantai sekarang! Sumpah, aku takut. Ombaknya gede banget, Satriaaa!”
Alih-alih mengiyakan omelan Kanaya, Satria malah tertawa puas menggodanya. Menyadari langkah Satria semakin menjauh dari garis pantai, Kanaya refleks memeluk leher Satria semakin erat, mencari pegangan sekuat mungkin agar tidak jatuh dan tenggelam.
Sumpah. Bercandanya Satria keterlaluan banget!
“Siap-siap, Nay. Ombaknya dataaang!” sorak Satria dengan menyebalkan. Tak lama kemudian, gemuruh ombak pun terdengar semakin kuat. Kanaya segera memejamkan mata, membenamkan wajahnya dalam-dalam ke ceruk leher Satria, dan bersiap, jika sewaktu-waktu ombak menghantam mereka.
“Mamaaa!” Kanaya menjerit tepat saat ombak menerpa bagian belakang punggung Satria. Kanaya tertegun saat menyadari ombak tidak sepenuhnya membasahi tubuhnya. Rupanya, Satria buru-buru berbalik dan menukar posisi agar ombak mengenai punggungnya, bukan langsung ke Kanaya.
“Hehehe. Ombaknya udah pergi lagi, kok,” ucap Satria cengengesan. Dibanding Kanaya, Satria jauh lebih basah kuyup sekarang. Tetes-tetes air laut tampak memenuhi ujung rambut dan sebagian wajahnya.
“Sumpah, kamu nyebelin banget!” Kanaya memukul gemas dada telanjang Satria yang juga basah.
Tak sengaja, Kanaya mengintip ke bawah saat merasa ujung kaki dan sebagian bokongnya seperti terendam air. Ternyata air laut setinggi pinggang Satria. Jelas, Kanaya tidak akan melepas pegangannya di leher Satria, apalagi turun dari gendongan pria itu. Bisa tenggelam kalau ia nekat turun sekarang.
“Pegangan mulu. Turun, dong? Tadi katanya mau berenang pakai tanktop sama hot pants?” ledek Satria sambil ancang-ancang melepaskan gendongannya.
“Sat! Satriaaa!” pekik Kanaya saat merasa air laut mulai merendam perutnya. Sontak, ia semakin mengeratkan pelukan di leher Satria. Histeris dan terlonjak mirip kucing yang menolak dimandikan.
“Hahaha! Senang banget aku lihat kamu ketakutan gitu, Nay.”
“Puas kamu ngusilin aku? Dari dulu nggak tobat-tobat jailnya!”
Seharusnya Kanaya banyak belajar dari pengalaman, sebab Satria selalu usil tiap kali mereka liburan ke pantai. Sejak kecil, Kanaya sudah kenyang dijaili Satria seperti tadi, tiba-tiba digendong dan dibawa ke laut, sengaja agar Kanaya basah kuyup terkena ombak. Sialnya, Kanaya selalu tertipu dan Satria selalu pintar mencari celah untuk melakukan aksinya.
“Mumpung nggak ada Bunda sama Mama yang selalu ngomel tiap aku jailin kamu, makanya aku bebas ngerjain kamu sekarang. Hahaha!” Satria tertawa puas. Sepuas hatinya yang bisa terus-terusan mengusili Kanaya tanpa harus takut diomeli para ibu seperti liburan-liburan sebelumnya.
“Suami nggak ada akhlak, ya, kamu!” Telunjuk Kanaya kembali menoyor pelipis Satria.
“Heh, jadi istri nggak ada sopan-sopannya. Suami sendiri ditoyor-toyor terus! Aku lempar ke laut, nih?” ancam Satria.
“Jangan macem-macem kamu!” geram Kanaya kesal sambil menarik kasar rambut Satria. “Cepetan balik ke pinggir. Itu tas sama baju kita nanti diambil orang kan, nggak lucu, Sat!”
“Aman, kok. Tenang aja,” sahut Satria enteng.
Pantai Pok Tunggal, Gunung Kidul, Yogyakarta merupakan destinasi pertama Satria dan Kanaya untuk memulai liburan. Beruntung kondisi pantai tidak terlalu ramai pengunjung saat mereka datang. Meskipun begitu, Satria membenarkan ucapan Kanaya tadi, mereka tetap harus waspada dengan sekitar. Sekalipun Satria berusaha mencari spot paling tersembunyi dan jauh dari kerumunan pengunjung agar liburan mereka terasa lebih privat, tetap saja tindak kriminal bisa terjadi kapan saja, di mana saja.
Demi kenyamanan dan keamanan saat liburan, keduanya pun kembali ke tepi pantai. Padahal, jika boleh memilih, Satria lebih suka berlama-lama di tengah laut bersama Kanaya seperti ini. Memandangi Kanaya yang setengah basah tersiram air laut itu eksotis, apalagi ditambah dengan cantiknya background pemandangan pantai selatan Jogja. Hasilnya, sempurna.
“Itu ... kamera kamu dari tadi nyala, ya?” tanya Kanaya ketika mereka hampir sampai ke bibir pantai. Ia baru sadar kalau kamera Satria sudah berdiri tegap dengan tripod dan lampu merah kecil di sudut kamera tampak menyala.
“Iya. Niatnya mau videoin pantai. Eh, kamu tiba-tiba lepas kemeja. Aku, kan, jadi gagal fokus.”
“Otak kamu aja yang mesum!”
“Berani toyor aku lagi, aku lepas kamu dari gendongan, ya!” ancam Satria lebih dulu saat melihat tangan Kanaya bergerak hendak menoyor kepalanya lagi. Sontak, gadis itu tertawa cengengesan. Merasa rencananya telanjur ketahuan, Kanaya pun mencubit gemas pipi Satria.
Sesampainya di pinggir pantai, Satria mengatur timer di kamera untuk berfoto bersama Kanaya dengan ratusan gaya. Seperti biasa, Kanaya tidak pernah puas dengan satu foto, sehingga mereka harus memasang pose berkali-kali. Padahal, bagi Satria, apa pun posenya, bagaimanapun bentuk senyum dan ekspresinya, Kanaya tetap terlihat cantik tanpa cela.
Usai beberapa kali merekam diri sendiri sambil bertestimoni tentang bagaimana suasana dan pengalaman berlibur ke Pantai Pok Tunggal, Satria kembali membiarkan kamera berdiri di atas tripod dengan pengaturan video yang menyala. Sebentar lagi matahari terbenam, Satria harus dapat moment pergantian waktu itu untuk keperluan konten YouTube-nya.
Sementara kamera berdiri tak jauh di belakang punggung Satria dan Kanaya, mereka duduk berdampingan sambil sama-sama menekuk lutut. Bedanya, kedua tangan Satria terlipat dan berada di atas lutut, sementara Kanaya memeluk kedua lututnya. Tatapan keduanya lurus ke depan, menuju langit pantai yang mulai menguning, menanti sunset dalam hening.
Tak jauh dari sisi kiri Satria, sebuah istana pasir berdiri megah, hasil karyanya bersama Kanaya. Seperti liburan yang selalu mereka lewati bersama, membangun istana pasir berdua adalah hal wajib yang tidak boleh dilewatkan saat ke pantai. Keduanya akan bekerjasama membuat istana pasir hingga selesai, meski tetap diselingi keusilan Satria dengan tiba-tiba merubuhkan istana pasir buatan Kanaya, atau menimbunnya dengan badai pasir.
Kanaya menghela napas panjang. Senyumnya merekah di antara cahaya matahari terbenam yang kuningnya mulai temaram. “Akhirnya ... aku bisa lihat sunset lagi.”
Satria menoleh. Memandangi Kanaya dari samping. Gadis itu menampilkan senyum tipis yang sedikit pun tidak mengurangi kadar kecantikannya. Ah, sejak kapan Satria jadi betah berlama-lama memuji dan menatap kecantikan sahabatnya ini?
“Kamu senang, Nay?”
Kanaya balas menoleh dan mengangguk semringah. “Senang bangeeet, apalagi kalau liburannya gratis dibayarin kamu semua kayak gini. Hehehe.”
Jika biasanya Kanaya selalu repot memikirkan segala hal sebelum berangkat liburan, kali ini ia hanya terima beres. Semuanya—mulai dari berapa lama mereka akan stay liburan, tiket pesawat, tempat menginap, kendaraan yang akan disewa untuk mereka bepergian, mau makan apa dan di mana, hingga berapa jumlah total biaya yang harus dikeluarkan—sudah beres diurus Satria. Bagaimana Kanaya tidak senang?
Satria tertawa kecil sambil mengalihkan tatapan sebentar ke arah laut, mendengarkan gemuruh ombak yang hampir membuat suara Kanaya tenggelam. Ia kembali menatap Kanaya. “Syukurlah kalau kamu senang. Aku juga ikut senang.”
“Makasih, ya, Suamiku,” tutur Kanaya lembut dan manja, persis seorang istri yang paling bahagia di dunia saat diajak liburan oleh suaminya.
Satria tersenyum sinis dan mencebik, “Giliran begini, baru deh ngomongnya bawa-bawa suami.”
“Kan, biar diajak liburan gratis lagi,” sahut Kanaya sambil cengengesan. Sebelah tangan Satria pun terulur mengacak rambutnya.
“Kalau gitu suaminya dicium dulu, dong? Masa udah bikin istrinya senang, nggak dikasih hadiah?” goda Satria sambil menunjuk pipi kanannya.
Kanaya mengambil sandalnya yang berada tak jauh dari duduknya. “Mau dicium, kan? Sini!” serunya sambil ancang-ancang mengarahkan sandal di tangannya ke arah pipi Satria. Sontak, pria itu berusaha menghindar dan melindungi diri, menahan tangan Kanaya sambil tertawa bersama gadis itu.
“Meskipun sebenarnya, aku nggak berhak dapetin ini semua dari kamu tahu, Sat.”
Satria menoleh lagi. Dahinya mengerut mendapati Kanaya menatap ujung jari-jari kakinya yang bermain-main dengan pasir. “Berhak, lah, Nay. Kamu, kan, istri aku.”
Kanaya tersenyum tipis. “Ada yang lebih berhak mendapatkan ini semua dari kamu.”
“Siapa?”
“Seseorang yang seharusnya nikah sama kamu karena kalian sama-sama jatuh cinta, bukan pura-pura kayak kita gini.”
Satria hanya bisa menghela napas sambil menggeleng abai. Merasa obrolan Kanaya tidak penting dan semakin tidak penting baginya saat gadis itu melontarkan satu pertanyaan.
“Sat, kamu nggak kepengin punya pacar apa?” Keduanya pun salin menoleh dan menatap.
Satria tertawa kesal. “Pertanyaanmu kok aneh bin ajaib, ya, Nay? Gigit, nih!”
Kanaya tergelak. “Ih, aku serius. Aku penasaran aja kenapa kamu nggak pacaran lagi setelah putus dari mantan kamu waktu kelas 3 SMA dulu. Betah banget ngejomlo.”
“Dosaku udah banyak, Nay. Setidaknya dosaku nggak bertambah banyak dengan ngejomlo sejak lulus SMA.”
“Ck, sok suci. Aku buka kemeja saja, otak kamu udah oleng. Mana olengnya sama sahabat sendiri! Apa namanya kamu nggak dosa kalau kayak gitu? Hello ....”
Satria mencubit pipi Kanaya gemas. “Beda kasus, Markonah! Kamu, kan, istri aku sekarang. Aku lihat kamu nggak pakai baju itu ibadah, bukan nambah dosa.”
Satu tepukan pun berhasil mendarat di bibir Satria untuk kesekian kalinya, hingga membuatnya terpejam sesaat. Begitu membuka mata, Kanaya tengah memicingkan mata kesal sambil menyilangkan tangan di depan dada, kembali membuat perlindungan diri dari mata jelalatan Satria.
“Aku nggak masalah kalau kamu mau punya pacar, Sat. Cari, gih, sana. Biar masa mudamu nggak sia-sia. Biar kamu nggak menyesal gara-gara nggak bisa pacaran lagi karena nikah sama aku.”
“Duh, Nay!” Satria menggeram sambil menggaruk rambutnya kasar. Sejujurnya ia malas meladeni Kanaya, tetapi lama-lama ia tersulut juga jika Kanaya terus-terusan membahas hal tidak penting ini. “Gini, ya, Nay. Sebelum nikah aja aku males cari pacar, kenapa setelah nikah aku harus repot-repot cari pacar kalau udah ada istri? Udah ada kamu?”
Kanaya mengedikkan bahu. “Siapa tahu kamu butuh sayang-sayangan atau apapun itu namanya yang biasa dilakukan pasangan kalau pacaran. Sementara sama aku, kan, kamu belum tentu bisa dapat itu semua.”
Istriku sinting apa gimana, ya? ”Daripada aku punya pacar yang jelas-jelas nambahin dosa, ya mending aku sayang-sayangan sama kamu, lah, Nay. Sama-sama dapet pahala pula. Bonusnya, bisa dapet anak.”
“Hiiih!” Kanaya melirik tajam Satria yang cengengesan. Helaan napas terdengar setelahnya, tatapannya kembali berpusat pada ujung kaki. “Aku benar nggak masalah kalau kamu mau pacaran sama seseorang, Sat. Silakan. Syukur-syukur yang sesuai tipe kamu ..., yang sayang sama kamu ..., yang bisa bikin kamu bahagia.”
“Kalau aku maunya pacaran sama kamu aja gimana? Biar nggak repot nyari-nyari lagi.”
“Aku yang nggak mau,” timpal Kanaya.
Satria tertawa jengkel. Kanaya memang cewek paling tega yang menolak pria tanpa basa-basi. “Ya udah, aku tunggu sampai kamu mau.”
Kanaya mendengkus. “Kalau aku nggak mau-mau sama kamu, gimana?”
“Aku bikin kamu mau pacaran sama aku.”
“Dih, maksa,” cibir Kanaya. Geregetan, tangannya mencekal lengan Satria, lalu mendaratkan sebuah gigitan gemas di sana. Sontak, Satria menjerit kesakitan.
Satria mengusap lengannya yang kini terdapat cetakan bekas gigitan Kanaya, sementara gadis di sebelahnya tertawa cengengesan tanpa rasa bersalah. Selain saling toyor, jambak, cubit pipi, mereka juga sering saling menyiksa dengan mengigit gemas seperti yang Kanaya lakukan tadi.
“Coba, ada obrolan yang lebih absurd dari ini nggak, Nay?”
Kanaya tertawa terbahak-bahak melihat Satria bertanya dengan nada geram dan senyum jengkel. “Kasih tahu aku kalau nanti kamu beneran punya pacar, yaaa.”
Masih lanjut ternyata! Nyari perkara! batin Satria geram. Dengan segera ia memiting leher Kanaya, membenamkan wajah gadis itu dengan paksa ke ketiaknya. “Nih, hirup dalam-dalam bau ketekku, Nay. Biar ocehan kamu nggak ngawur lagi!”
“Iyuuuh, bau! Satria, jijik!” Kanaya berontak dan berhasil melepaskan diri. Ia menutup hidungnya rapat-rapat sambil menatap Satria jijik.
“Siapa suruh semangat banget nyuruh aku cari pacar, hah? Biar apa, sih?” celetuk Satria.
“Ya biar aku bisa cari pacar juga, lah! Hahaha!” Tawa Kanaya pun semakin pecah saat Satria tidak lagi menyerangnya dengan pitingan, melainkan gelitikan di sekitar pinggang dan ketiaknya.
Keduanya larut dalam canda, berteman gemuruh debur ombak. Kanaya terbaring di atas pasir dengan gelak tawa, sementara Satria menjulang di atasnya sembari tanpa ampun menggelitikinya. Sungguh, Kanaya sangat bahagia hari ini. Berkat Satria, ia bisa kembali menghirup aroma pantai yang hangat, menyapa lembutnya pasir pantai yang selalu ia rindukan.
Maka, sekembalinya mereka duduk berdampingan seperti sebelumnya, tampaknya bukan masalah besar jika sekarang Kanaya menyelipkan satu lengannya untuk bisa memeluk lengan kanan Satria sebagai wujud lain caranya mengungkap kebahagiaan. Juga menyandarkan kepalanya di bahu pria itu sambil menikmati detik-detik terakhir sunset.
Satria memilih menatap lurus ke arah pantai, membiarkan Kanaya memeluk lengannya, menyandarkan kepala di bahunya. Perlahan, perasaan hangat menjalar ke setiap sudut hatinya. Senyum tersipunya terbit di antara sinar matahari yang semakin redup tanpa bisa dicegah. Inginnya mendaratkan satu kecupan yang telanjur menggebu-gebu dalam hatinya, tetapi Satria memilih menempelkan pipinya di puncak kepala gadis itu.
“Mau dengerin lagu nggak, Nay?” tanya Satria memecah keheningan yang sempat tercipta beberapa puluh detik. Kali ini, ia memberanikan diri untuk menatap Kanaya yang mendongak ke arahnya. “Ada satu lagu yang pas banget sama suasana hatiku sekarang.”
“Oh, ya? Lagu apa?”
Satria tidak langsung menjawab. Ia segera memasangkan earphone ke telinga kiri Kanaya dan telinga kanannya, lalu mencari judul lagu tersebut di playlist ponselnya. Begitu ketemu, Satria mengeklik tombol play.
Sebuah melodi terdengar, yang Kanaya kenal betul siapa penyanyi dan apa judul lagunya. Kanaya tersentak, sementara Satria tersenyum ke arahnya. Keduanya saling bersitatap, dengan segenap kata yang tak terungkap, di antara langit senja yang akhirnya menggelap.
“Wanna dance with me, My Beautiful Wife?”
Tawa Kanaya pecah seketika mendengar Satria berbisik dan mengedipkan sebelah mata dengan jenaka padanya. Dipikir-pikir, tak ada salahnya menari bersama pria ini. “Yes, please.”
Keduanya bangkit bersama, berdiri berhadapan dengan tangan saling bertaut siap berdansa. Mengikis jarak setipis mungkin. Bergoyang pelan ke kiri dan kanan seirama tanpa memutus tatap. Dan, Kanaya lagi-lagi tertawa begitu mendengar suara pas-pasan Satria ikut menyanyikan lirik lagu yang mereka dengar dari earphone yang sama.
“Darling, just hold my hand. Be my girl and I’ll be your man. I see my future in your eyes ....”
Well, I found a woman, stronger than anyone I know
She shares my dreams, I hope that someday I'll share her home
I found a love, to carry more than just my secrets
To carry love, to carry children of our own
We are still kids, but we're so in love,
Fighting against all odds, I know we'll be alright this time
Darling, just hold my hand, be my girl, I'll be your man
I see my future in your eyes
Baby, I'm dancing in the dark, with you between in my arms
Barefoot on the grass, listening to our favorite song
When I saw you in that dress, looking so beautiful
I don't deserve this, darling, you look perfect tonight
[Perfect—Ed Sheeran]
***
Spoiler bab selanjutnya:
“Aku pikir ... nggak ada salahnya kalau kita sekamar. Dan, aku nggak keberatan kalau kita ... tidur seranjang malam ini."
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
