
Sahabat Satu Atap
Bab 4. Cuti Nikah?
Bab 5. Jadi Tambah Sayang
Bab 6. Sahabat Rasa Pacar
***
Jika sudah membeli novel cetaknya, tidak perlu membeli lagi bab yang ada di Karyakarsa, ya. Soalnya isinya sama.
Bab 1-9 bisa dibaca gratis seperti di Wattpad. Happy reading!
Hak cipta dilindungi undang-undang. Dilarang memperbanyak karya tulis dalam bentuk dan dengan cara apa pun tanpa izin tertulis dari penulis.
***

[SSA: 4. Cuti Nikah?]
PONSEL Kanaya bergetar saat sedang berjalan menuju ruangan Mbak Galuh, pemimpin redaksi Cinnamon Publishing. Satu notifikasi muncul menampilkan nama Satria. Sambil memelankan langkah, ia membaca dan berbalas pesan dengan Satria.
Satria:
Doain, Nay.
Aku lagi otw minta cuti, nih.
Ih, sama dong.
Aku juga udah di depan
pintu ruangan si bos.
Satria:
Tuh, kan.
Tuh kan, apa?
Satria:
Kita sama-sama mau
ke ruangan bos buat minta izin cuti.
Artinya kita emang jodoh, Nay.
Maaf, salah sambung.
Satria:
Wkwkwk! Bikin jadi semangat
pengin cepet-cepet nikahin kamu.
Kanaya berdecak dan memutar bola matanya sebal. Ia mengabaikan pesan terakhir Satria dan tidak membalasnya. Tangannya segera mengetuk pintu setelah beberapa kali menarik napas. Kanaya harus segera menemui si bos dan minta izin cuti.
“Cuti nikah? Saya nggak salah dengar, nih, Nay?”
Kanaya menggeleng seraya tersenyum kikuk, sedangkan Mbak Galuh menatapnya dengan keheranan. Sesungguhnya, kabar pernikahan ini tidak hanya mengejutkan Mbak Galuh, tetapi juga Kanaya sendiri.
Mbak Galuh tertawa heran setengah mengejek. “Kamu mau nikah sama siapa?”
“Ya, sama calon suami saya, lah, Mbak,” sahut Kanaya.
Mbak Galuh berdecak. “Iya, saya juga tahu sama calon suami kamu, tapi bukan itu maksud pertanyaan saya. Bukannya selama ini kamu nggak punya pacar, makanya selalu lemburan di kantor? Kok sekarang tahu-tahu minta cuti nikah.”
“Oh, itu. Sama Sa—”
“Dadakan pula kamu ngajuin cutinya. Kapan, Nay? Dua minggu lagi? Haduh,” sela Mbak Galuh seraya memijat pelipisnya. Seakan-akan permintaan cuti Kanaya adalah musibah.
Kanaya tersenyum meringis seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal menanggapi ocehan Mbak Galuh. Ia memang tidak tahu malu, mengajukan cuti mendadak seperti ini. Mau bagaimana lagi? Kanaya tidak punya pilihan. Di rumah, semua orang sudah heboh mempersiapkan acara pernikahannya yang akan diselenggarakan dua minggu lagi.
Awalnya, Kanaya ingin menolak menikah secepat ini. Namun, urung niat karena ternyata Satria sudah bernegoisasi pada para orang tua—berharap pernikahan akan dilangsungkan satu atau dua bulan lagi, tetapi ditolak. Keputusan ini sudah mutlak dan tidak bisa diganggu gugat tepat seminggu setelah malam tahun baru.
Kedua orang tua mereka sepakat, bulan depan terlalu lama untuk melangsungkan pernikahan. Jika bisa menikah dua minggu lagi, buat apa menunda sampai bulan depan. Lebih cepat, lebih baik.
Namun, ini bukan soal menikah cepat atau satu bulan lagi, tetapi tentang pengajuan cuti yang tidak bisa dilakukan secara mendadak. Jika nekat, Kanaya dan Satria terancam hanya mendapat jatah cuti untuk menikah tanpa honeymoon—ralat, liburan terselubung. Jelas para orang tua—terutama para ibu—tidak peduli soal ini.
Bukan hanya Kanaya, sekarang Satria pasti juga sedang kena semprot atasannya karena tiba-tiba mengajukan cuti dadakan. Jika berhasil menjalankan tantangan pengajuan cuti ini, sepertinya mereka harus merayakannya nanti malam. Mampir ke Cut The Crab boleh juga. Sudah lama Kanaya tidak makan seafood sambil pukul-pukul kepiting bareng Satria.
“Kamu hamil, ya, Nay? Makanya buru-buru nikah?” tuduh Mbak Galuh. Matanya sempat melirik perut Kanaya. Buyar sudah khayalan makan kepiting yang terlintas di kepala Kanaya.
“Ih, Mbak Galuh. Sembarangan banget kalau ngomong,” sungut Kanaya.
Mbak Galuh cengengesan tanpa beban. “Bercanda, Kanaya.”
Kanaya tersenyum jengkel dalam hati. Bosnya ini tengah hamil tua, tetapi masih saja suka nyinyir. Bukankah lebih baik mendoakan calon pengantin sepertinya agar kelak persalinannya dipermudah? Bagaimana jika orang yang dinyinyiri sakit hati, lalu mengucap sumpah serapah, sehingga ia kesulitan untuk mengejan saat melahirkan nanti? Kan, repot.
Sedetik kemudian, Kanaya mengerjap seraya menggeleng kuat. Ia harus sabar. Tidak boleh ikutan nyinyir agar kelak pengajuan cutinya bisa dipermudah. Sumpah demi apapun, ia hanya ingin segera pergi liburan. Deru ombak dan angin pantai bahkan sudah terngiang-ngiang di telinganya, memanggilnya untuk segera datang.
“Jadi, gimana, Mbak? Boleh, kan?” Kanaya berusaha mengembalikan arah pembicaraan mereka yang sudah melenceng terlalu jauh ke topik awal.
Mbak Galuh menghela napas seraya mengempaskan punggung ke sandaran kursi. Jelas terlihat dari raut wajahnya, pengajuan cuti Kanaya mengandung banyak rasa keberatan. Sekarang Kanaya jadi berdebar. Bisa gagal rencana liburannya kalau Mbak Galuh tidak mengizinkan.
“Jujur, dua minggu lagi itu seharusnya jadi jadwal saya buat cuti melahirkan,” singgung Galuh.
Kanaya menyimak sambil melirik sekilas ke arah perut Mbak Galuh yang kian hari kian besar. Terkadang Kanaya penasaran rasanya membawa perut sebesar itu setiap hari. Ia yang melihat Mbak Galuh saja rasanya engap, apalagi Mbak Galuh yang hamil.
Namun, Kanaya salut dengan wanita ini. Meski sedang hamil besar, geraknya tetap gesit saat bekerja. Hingga orang-orang yang melihatnya justru merasa ngilu dan ngeri jika Mbak Galuh terlalu aktif bergerak.
Mbak Galuh melanjutkan, “Rencananya, selama saya cuti melahirkan tiga bulan ke depan, saya mau mengalihkan semua penulis-penulis saya ke kamu. Saya pengin fokus urus anak dulu, terus kamu yang handle beberapa kerjaan saya.”
Kanaya mengangguk-angguk, mencoba memahami keresahan Mbak Galuh. Kanaya tidak tahu seperti apa rasanya hamil dan melahirkan, sampai-sampai calon ibu seperti Mbak Galuh harus rela cuti kerja beberapa minggu dari perkiraan tanggal melahirkan. Bahkan berencana akan melimpahkan pekerjaannya pada Kanaya selama tiga bulan ke depan.
“Harus saya, Mbak?”
“Iya, harus kamu, Nay. Cuma kamu editor yang paling bisa dipercaya meng-handle semua kerjaan saya.”
Tim redaksi Cinnamon Publishing tahu bahwa selain menjadi pemimpin redaksi, Mbak Galuh juga memegang naskah beberapa penulis. Biasanya, penulis yang Mbak Galuh handle adalah penulis best seller yang sudah punya fans club di seluruh Indonesia dan beberapa penulis senior yang jam terbangnya sudah menahun. Akhirnya, Mbak Galuh sering kali bolak-balik keluar kota untuk mendampingi para penulisnya menghadiri acara talkshow dan launching buku.
Liburan belum sempat Kanaya lihat tanda-tandanya, tetapi kepadatan jadwal tambahan kerjanya sudah menanti di depan mata. Dapat ia bayangkan betapa ribetnya menggantikan semua pekerjaan Mbak Galuh nanti. Berarti Kanaya harus menikmati waktu liburan sepuas-puasnya, sebelum kembali berhadapan dengan realita.
“Nay, jujur saya agak keberatan mau kasih kamu cuti dua minggu lagi. Tapi, saya nggak boleh egois sama hari bahagia orang lain, kan?”
Mbak Galuh memang sesekali terasa sangat menyebalkan, tetapi Kanaya tahu betul wanita itu berhati selembut kapas. Bosnya ini masih punya hati nurani mengizinkan Kanaya cuti, meski keberatan jatah cuti lahirannya harus tertunda. Semangat Kanaya yang tadi sempat redup, kini perlahan merekah. Tampaknya ia melihat ada secercah harapan untuk rencana liburannya.
“Sebelumnya, saya mau ucapin selamat, ya, Kanaya. Akhirnya kamu ketemu sama jodoh kamu. Ada juga yang mau nikahin kamu.”
Kanaya tersenyum, meski mendengkus sebal dalam hati. Niat ngasih selamat nggak, sih? Baru juga aku puji baik hati, sekarang udah nyinyir lagi.
“Calon suami saya baru sadar kalau saya cantik, Mbak. Jadi buru-buru mau nikahin saya,” sahut Kanaya asal.
“Jadi kamu beneran punya pacar selama ini? Nggak jomlo?” tanya Mbak Galuh penasaran.
“Jomlo kok, Mbak.”
“Terus kamu nemu calon suami di mana?”
Nemu? Kucing kali nemu di jalan, pikir Kanaya. Mbak Galuh memang suka ada-ada saja. “Di sebelah rumah saya, Mbak. Saya nikah sama sahabat saya.”
“Serius? Ya ampun. Jodoh kamu nggak kreatif amat sih, Nay. Orang-orang tuh nyari jodoh mereka pakai seni sampai keliling Indonesia, bahkan luar negeri. Nah, kamu? Keluar pintu rumah, langsung ketemu jodoh. Nggak ada seni-seninya.” Mbak Galuh tertawa puas.
Kanaya berdecak. “Itu namanya beruntung, Mbak. Jadi, saya nggak perlu repot-repot cuti kerja buat nyari jodoh keliling Indonesia.”
“Dasar! Otak kamu mah, isinya gajian doang.”
Kanaya cengengesan. “Kalau sempat dan nggak repot, nanti datang ke acara nikahan saya, ya, Mbak. Jangan lupa amplopnya. Lumayan buat saya pakai bayar tiket honeymoon.”
Mbak Galuh mendengkus, lalu tersenyum seraya mengangguk mengiyakan. Tidak bisa ia pungkiri, ia ikut bahagia melihat salah satu anggota timnya akan menikah.
“Oke, berhubung saya tahu gimana ribetnya ngurus pernikahan dan indahnya bulan madu, jadi saya izinin kamu cuti nikah,” putus Mbak Galuh. Tanpa sadar, Kanaya menghela napas lega seraya mengusap wajah mengucap syukur.
“Duh, senang banget, sih. Tapi, cuma seminggu cutinya, ya, Nay.”
“Eh? Seminggu doang, Mbak?” kaget Kanaya. Wajahnya memucat lagi. Mau protes, tetapi ....
“Seminggu itu lumayan lama, loh, Nay. Banyak naskah bisa molor terbit kalau kamu cuti lebih dari seminggu. Saya nggak mau kamu lama-lama ninggalin kantor.”
Lama gimana? Kalau cuma seminggu cutinya, bisa-bisa aku cuma kebagian tiga atau empat hari doang buat liburan, batin Kanaya sebal.
“Dua minggu nggak boleh, Mbak?” nego Kanaya.
Mbak Galuh menggeleng. Tangannya terlipat di atas perut besarnya. “Seminggu, atau kamu langsung masuk kantor lagi sehari setelah nikah.”
“Eh, jangan, Mbak!” seru Kanaya cepat. Bibirnya langsung melengkung ke bawah, wajahnya tampak sedih sekali. “Ya sudah, deh.” Ia pun pasrah.
Galuh yang melihat raut wajah Kanaya berubah sedih, hanya bisa tertawa geli. “Ih, Kanaya. Segitunya pengin honeymoon lama sama suami, ya? Memang, sih …. Kalau habis nikah tuh bawaannya pengin di kamaaar terus. Liburan jauh-jauh ke Bali, Lombok, Raja Ampat sekalipun, kasur hotel memang lebih menggoda.”
Kanaya tersedak tiba-tiba, padahal tidak sedang minum atau makan. Andai saja Mbak Galuh tahu bahwa pernikahannya dengan Satria hanya kedok agar bisa pergi liburan. Pasti wanita itu tidak akan bicara ngawur seperti tadi.
Kanaya berusaha merayu lagi. “Sepuluh hari deh, Mbak?” Kesepuluh jari tangannya terbuka lebar selebar senyumannya.
Galuh menggeleng tegas. “Pokoknya saya nggak mau tahu. Seminggu setelah kamu cuti, kamu harus balik ngantor lagi. Saya nggak terima pengajuan resign dari kamu.”
“Eh? Kok Mbak Galuh tahu ... saya ada rencana mau re—”
“Tahulah,” potong Galuh, “seringnya begitu, sih. Udah tahu enaknya kelonan sama suami setelah nikah, terus pengin rehat sejenak dari kerjaan alias resign.”
Galuh sedikit mencondongkan tubuhnya ke arah Kanaya, lalu menambahkan, “Saya nggak akan lepasin kamu dari Cinnamon karena kamu editor kesayangan saya, Nay.”
Kanaya mencebik dalam hati. Jelas Kanaya editor kesayangan Mbak Galuh, sebab hanya ia satu-satunya editor yang tidak pernah menolak kerjaan tambahan dari si bos. Bagi Kanaya, menolak pekerjaan dari Mbak Galuh sama saja melewatkan kesempatan untuk menambah angka saldo di rekening tabungannya. Itulah mengapa selama ini Sinta selalu bawel melihat Kanaya seperti tidak punya hari libur dan selalu bekerja sepanjang hari.
“Ya sudah, oke, Mbak. Seminggu setelah cuti, saya pasti balik kantor. Tenang aja,” ujar Kanaya.
“Oke. Jadi selama kamu cuti nanti, mau nggak mau saya harus tetap masuk kantor. Semoga saya nggak keburu lahiran pas kamu honeymoon, deh.”
“Iya, semoga, Mbak. Baby-nya diajak ngobrol, Mbak. Supaya keluarnya nunggu Aunty Kanaya balik kerja dulu,” ucap Kanaya sambil cengengesan.
“Oke, Aunty. Pokoknya baby tunggu, ya, kado yang paling mahal dari Aunty. Kan, dapat banyak uang lemburan dari Mommy,” balas Mbak Galuh sambil tersenyum menyeringai. Tangannya tampak bahagia mengusap-usap perutnya yang besar.
“Ya, ya, ya. Belum lahir aja udah matre, ya, Dek,” cibir Kanaya.
“Hush, sembarangan!” omel Mbak Galuh. “Ya sudah. Nanti saya kasih tahu kamu semua agenda penulis-penulis saya, ya. Ada yang bukunya udah siap cetak, ada juga yang masih proses editing. Satu yang paling penting, ada penulis best seller yang bukunya lagi proses cetak. Kebetulan pas saya cuti lahiran nanti, kamu harus gantiin saya untuk handle acara launching bukunya di luar kota.”
“Jadi, saya harus ikut keluar kota juga, Mbak?”
“Ya iya, dong. Kamu yang bakal dampingin dia sebagai editor sekaligus asistennya selama acara. Lumayan, Nay, sekalian jalan-jalan.”
“Penulisnya siapa sih, Mbak? Best seller banget, ya? Sampai-sampai sudah ada jadwal launching buku, padahal masih proses cetak. Penulis baru?” tanya Kanaya penasaran. Ia jadi bersemangat, sebab selain dapat cuti nikah lalu liburan sama Satria, ia juga akan bepergian keluar kota berkat pekerjaannya. Jelas, sangat sayang untuk dilewatkan.
“Sebenarnya dia bukan terkenal sebagai penulis, sih. Tapi, sebagai influencer gitu. Awalnya, dia anak Twitter. Terus booming juga di YouTube, bikin konten tentang relationship dan travelling. Di Instagram, dia suka update quotes-quotes gitu,” cerita Mbak Galuh.
“Hmm, terus Mbak Galuh ajak dia kerja sama buat nulis buku, ya?” tanya Kanaya dengan senyum penuh arti. Sudah jelas bosnya ini sangat pandai melihat peluang agar eksistensi penerbit tetap berdiri tegak. Menggandeng influencer yang punya banyak followers tentu akan sangat menjanjikan hasilnya.
“Itu namanya strategi marketing, Nay. Kalau ini berhasil, bakal jadi projek rutin Cinnamon. Mumpung orangnya mau diajak kerjasama buat nulis buku, ya kenapa nggak? Antusias banget malah. Nah, bukunya tentang relationship gitu, Nay. Dia nulis sajak dan beberapa senandika yang biasanya cuma jadi narasi di video YouTube-nya.”
Kanaya manggut-manggut. “Saya jadi penasaran. Orangnya sekeren apa, sih? Sampai bisa segitu berpengaruhnya buat banyak orang.”
Kanaya sudah sibuk dengan ponselnya, lalu membuka aplikasi Instagram yang sangat jarang ia gunakan. Ia memang punya akun Instagram, tetapi bukan pengguna aktif. Foto yang memenuhi feed Instagram-nya tak lebih dari enam foto bertema pemandangan alam dan makanan restoran papanya. Bahkan fotonya sendiri pun tidak muncul di sana. Seringnya, Kanaya membuka Instagram untuk menonton video-video kucing atau melihat foto-foto rekomendasi kuliner dan tempat liburan.
Mungkin akan lain cerita, jika Kanaya punya banyak waktu untuk bepergian. Feed Instagram-nya pasti lebih berwarna. Tidak seusang sekarang.
“Apa nama akun Instagram penulisnya, Mbak?” tanya Kanaya.
“DJ Baskara. Hurufnya kecil semua. Di-je-titik-baskara.”
Jempol Kanaya bergerak di atas layar ponsel mengetik ejaan nama yang Mbak Galuh sebutkan. Tidak perlu menunggu lama, sebuah laman profil Instagram dengan nama akun dj.baskara pun muncul. Kanaya men-scroll down akun tersebut dan mencari satu foto yang menampilkan bentuk wajah penulisnya. Sayangnya, akun tersebut hanya berisi tulisan-tulisan puitis dengan tema background hitam putih.
“Nggak ada foto penulisnya,” kecewa Kanaya. “Followernya banyak juga, ya.”
Mbak Galuh mengangguk. “Padahal, katanya baru setahunan ini Baskara aktif nulis di akun itu.”
“Panggilannya Baskara?”
“Iya, kalau nggak salah seusia kamu juga, Nay. Jadi, pasti kalian cepat akrab dan nyambung kalau diskusi. Siapa tahu kalian cocok buat bikin projek bareng setelah ini.”
Kanaya manggut-manggut lagi. “Asal orangnya nggak ribet dan disiplin sama deadline sih, saya oke-oke aja. Mbak Galuh pernah ketemu orangnya?”
“Pernah waktu tanda tangan kontrak, tapi nggak di kantor ketemunya waktu itu. Di restoran sambil makan siang.”
“Ganteng nggak, Mbak?”
“Heh! Udah mau nikah, masih aja nanya-nanya cowok lain,” semprot Mbak Galuh.
Kanaya cengengesan. “Kan nikahnya masih dua minggu lagi, Mbak. Artinya saya masih single, nggak apa-apa kayaknya kepo dikit sama Baskara.”
“Bisa-bisanya. Tapi ganteng, sih, Nay. Semoga aja baby saya kayak Baskara gantengnya.”
“Inget suami, Mbak. Gimana bisa Mbak Galuh bikinnya sama suami, tapi baby-nya mirip Baskara. Suka ngawur, nih.”
Mbak Galuh terbahak, puas dan bahagia sekali. Membuat Kanaya ikut bahagia melihatnya. Setidaknya, ibu hamil satu ini memang harus terus berbahagia, jangan sampai stres dan banyak pikiran.
“Jadi, Nay. Nanti selain jadwal talkshow Baskara, akan saya kirimin nama-nama penulis lain dan jadwal terbit bukunya. Juga ....”
Samar-samar, suara Mbak Galuh tak lagi menjadi fokus Kanaya karena satu notifikasi dari Satria menggetarkan dan membuat nyala layar ponselnya. Alih-alih mendengarkan ocehan Mbak Galuh, Kanaya justru segera membaca pesan dari Satria.
Satria:
Calon istriku, siap-siap, ya.
Dua minggu lagi, kita berangkat ke Jogja :*
Kanaya mencebik sesaat sebelum akhirnya senyum simpulnya terbit. Memang, honeymoon ini hanya kedok untuknya berangkat liburan. Namun, ternyata Kanaya sudah sangat tak sabar menanti hari keberangkatannya tiba. Dalam hati, ia sudah berteriak senang, menggemakan kebahagiaan, dan berseru, Jogja, I'm coming!
“Kamu mau saya kirimin nomornya Bas—”
Kanaya bangkit dari duduknya dengan tergesa. “Mbak, calon suamiku telepon. Aku angkat dulu, ya?” Tanpa menunggu persetujuan Mbak Galuh, Kanaya langsung berlari kecil keluar ruangan. Meninggalkan atasannya yang mencibir tanpa suara seraya menatap kepergiannya.
“Halo, Sat?”
“Gimana pengajuan cuti kamu?”
“Aman, sih. Tapi, cuma dikasih seminggu aja,” sahut Kanaya dengan tak semangat.
“Nggak apa-apa. Lumayan, lah, daripada nggak sama sekali.” Dan, Satria selalu bisa menanggapi segala hal dengan menyenangkan. Terdengar dari nada bicaranya yang riang.
“Berarti kita jadi liburan?” Kanaya ikutan semringah kali ini.
“Jadi dooong!” seru Satria antusias di seberang sana. Andai mereka saling bertemu, pasti sudah bergandengan tangan sambil berputar melompat-lompat kegirangan seperti anak kecil.
“Kita rayain, yuk? Udah lama kita nggak makan kepiting bareng, nih. Kangen Cut The Crab nggak?” ajak Kanaya.
“Wah, boleh, boleh. Apa pun buat calon istriku.”
“Nggak usah gombal, deh. Geli!”
“Sekarang geli, besok-besok kamu kangen digombalin aku, Nay.”
Kanaya tertawa muak mendengar Satria begitu percaya diri bicara. Tak henti-hentinya Kanaya berdecak heran menanggapi kelakuan sahabat yang kebetulan menjadi calon suaminya sekarang.
“Ya udah, aku mau balik kerja kalau gitu. Biar cepet beres kerjaan sebelum nikah,” pamit Kanaya.
“Duh, semangat banget, sih, yang mau nikah sama aku?” ledek Satria.
Kanaya berdecak, lagi. Baru saja ia ingin memutus telepon secara sepihak, tetapi urung karena Satria menyampaikan hal penting.
“Nay, mumpung inget. Aku mau bilang, kayaknya nanti MC nikahan kita biar di-handle Raka aja, deh.”
“Raka? Raka sepupu kamu?” tebak Kanaya. Ia lupa-lupa ingat. Namun, seingatnya Satria memang punya sepupu bernama Raka yang tinggal tak jauh dari daerah rumah mereka. Masih satu kecamatan.
“Iya, Raka, sepupu aku. Dia, kan, udah sering nge-MC acara nikahan sama temen-temennya. Daripada ribet cari orang atau nggak cocok sama MC dari pihak WO, Bunda pengin sama Raka aja.”
“Oh, ya udah. Oke. Ngomong-ngomong soal WO, aku juga mau bilang sesuatu.”
“Apa?”
“Mama dapat rekomendasi vendor WO buat acara nikahan kita dari Budeh Tyas. Jadi, kayaknya Mama bakal pakai Sriwedari WO yang waktu itu sempat ngurus acaranya Kak Aira sama Kak Riza. Katanya sih pelayanannya bagus, harganya juga terjangkau. Timnya friendly banget dan kalau nggak salah, Kak Aira lumayan kenal sama owner-nya. Gimana, Sat?”
“Aku nggak masalah, terserah mama kamu aja mau pakai WO atau nggak. Yang penting mah, kamu nikahnya sama aku.”
Kanaya menggigit bibir bawahnya, berusaha mati-matian untuk tidak membiarkan senyumnya mengembang bebas. Sepertinya ada yang salah dengan pertahanan hatinya akhir-akhir ini. Semakin dekat dengan hari H, Kanaya merasa Satria semakin menebar banyak bunga dalam hatinya.

[SSA: 5. Jadi Tambah Sayang]
“MBAK, ganteng nggak?” tanya Rania heboh.
Kanaya melirik layar ponsel Rania. Tampak adiknya berfoto di sebelah Raihan yang seusia dengannya.
“Genit banget gandeng-gandeng lengan Raihan segala,” cibir Kanaya. Adiknya ini memang lebih agresif terhadap cowok ganteng dibanding dirinya. Selagi bisa, pasti akan dipepet, diajak kenalan, dan foto bareng sama Rania.
“Raihan tuh ganteng banget, Mbak. Mana tahan aku nggak ngajakin dia foto bareng. Kerennya lagi, dia anak kedokteran UGM, jomlo pula! Mas Raka—kakaknya Raihan juga ganteng sih, tapi dia udah punya pacar. Ceweknya seumuran loh sama aku, Mbak. Ck, kenapa aku baru sadar sih, kalau Mas Satria punya adik sepupu ganteng-ganteng begini? Kalau tahu kan, pasti udah aku pepet dari dulu, Mbak.”
Kanaya hanya menggeleng heran tak menanggapi, sementara adiknya terlihat berjalan menjauh dan duduk di kursi dekat pintu ruang rias dari bayangan cermin. Tak lama kemudian, pintu terbuka. Mama dan bundanya Satria muncul bersamaan.
Dengan panik, Mama mencolek Rania dan bertanya, “Rania, kakak kamu belum selesai?”
“Itu, masih dirias, Ma,” jawab Rania sambil menunjuk sang kakak dengan dagunya, lalu kembali menatap foto Raihan.
Dari cermin, Kanaya bisa melihat Mama bersama bundanya Satria tampak cemas dan gelisah. Berhubung Mbak Fitri—sang MUA khusus pengantin—sedang memoles wajah Kanaya dengan make up, jadi ia tak bisa bergerak banyak dan hanya bisa melirik kedua wanita bersanggul itu melangkah tergesa menghampirinya.
“Mbak, bisa dipercepat nggak make up-nya?” tanya Mama pada Mbak Fitri.
“Mohon sabar, ya, Bu. Saya usahain cepat selesai. Kalau buru-buru, nanti pengantinnya nggak cantik, gimana?” jawab Mbak Fitri tanpa menoleh. Matanya fokus mewarnai kelopak mata Kanaya dengan eye shadow.
“Eh, jangan. Calon menantu saya harus cantik dong, Mbak.”
“Pasti cantik, Bu. Tunggu sebentar, ya?” kata Mbak Fitri lagi sambil tersenyum.
Mama berdecak dan menghela napas kesal. “Kamu juga, sih, Nay!”
Kanaya melirik jengkel mamanya yang mulai mengomel dengan mata kiri yang tidak terpejam. Mbak Fitri sedang mempercantik kelopak mata kanannya.
“Kok bisa kesiangan, sih? Mama, kan, udah bangunin kamu dari jam empat subuh. Pasti kamu tidur lagi, deh. Kebiasaan banget, sih.”
Kanaya hanya diam. Ia kembali memejamkan mata menikmati gerakan lihai tangan Mbak Fitri di wajahnya, padahal itu hanya alasan agar ia bisa menghindari tatapan maut mamanya.
Diam-diam, Kanaya menghela napas lelah. Demi apapun, ia sangat mengantuk pagi ini. Semalam, ia baru tidur jam dua pagi karena ada naskah yang harus diselesaikan dan segera dikirim lewat email ke Mbak Galuh. Kanaya punya target harus membereskan beberapa deadline sebelum menikah, supaya bisa liburan dengan tenang.
Akhirnya, pagi ini Kanaya kesiangan. Saat ia terbangun—untuk kedua kalinya, rumahnya sudah sepi. Hampir saja ia lupa jika hari ini adalah hari pernikahannya. Beruntung ia mendengar ponselnya berdering berkali-kali di tengah lelapnya, lalu menemukan ada banyak daftar panggilan tak terjawab dari mama, papa, dan adiknya. Tak ketinggalan, Satria. Pria itu yang paling sering menelepon dan mengiriminya pesan. Kanaya langsung terbelalak begitu membaca pesan Satria.
Satria:
Kanaya, bangun!
Astaga, kebo banget, sih! Kita mau nikah, Nay!
Cepetan berangkat atau liburan kita batal
dan aku nggak mau sahabatan
sama kamu lagi seumur hidup!
Nay! Ah! Banguuuun!
Aku nikah sama Chika aja deh
kalo kamu nggak bangun-bangun!
Kanaya berdecak dalam hati jika ingat kejadian menyebalkan tadi pagi. Terutama ancaman Satria yang berhasil membuatnya panik memelotot dan lompat dari tempat tidur. Dan, kenapa pula Satria segala membawa-bawa Chika—kucing anggora putih milik tetangga depan rumah—sebagai bahan merajuk. Sahabatnya stres!
Kanaya pun tidak habis pikir dengan mama dan adiknya yang begitu antusias menyambut pesta pernikahan ini. Sampai tega berangkat tanpanya ke lokasi acara agar bisa segera dirias sejak subuh. Papanya juga, bagaimana bisa tidak sadar anak gadisnya belum terangkut mobil hanya gara-gara beliau berpikir, Kanaya melanjutkan tidur di mobil selama perjalanan. Keluarganya edan!
Pantas saja, Kanaya bisa kembali tidur nyenyak sampai kesiangan. Mendadak suasana rumahnya begitu tentram dan damai tanpa omelan sang mama yang biasanya selalu berisik membangunkan tidurnya. Ternyata semua orang sudah berangkat ke KEMANGI Food and Venue—restoran tradisional milik papanya yang memiliki lahan outdoor sangat luas, sejuk, asri, dan akan menjadi venue acara pernikahan dengan tema garden party hari ini.
Tepat jam tujuh, Kanaya berangkat naik ojek online tanpa sempat mandi, bahkan masih mengenakan setelan piyama yang ia tutupi sweater hoodie abu-abu. Kanaya pikir, lebih baik mandi sesampainya di restoran daripada terlambat dan batal nikah. Bisa buyar semua rencana liburannya. Apalagi kalau batalnya gara-gara Satria nikah sama Chika. Hah, enak saja! Masa Kanaya kalah cantik sama kucing? Yang benar saja!
Sepertinya Kanaya ikut-ikutan gila sekarang.
Waktu menunjukkan hampir jam sembilan. Acara sudah dimulai, tetapi Kanaya belum selesai dirias.
Para ibu bersikeras agar Satria tidak mengucap ijab kabul jika Kanaya belum selesai make up. Mereka tidak peduli dan mengutus panitia WO agar penghulu bisa ceramah lebih lama. Terserah, mau ceramah apapun, yang penting bisa mengulur waktu sampai Kanaya selesai dirias.
Di satu sisi, Kanaya sebal dengan Mama dan calon ibu mertuanya yang begitu antusias mengurus acara pernikahan. Terlebih acara ini memang keinginan mereka, bukan pengantinnya. Saking antusiasnya, acara ini harus tampak sempurna versi mereka.
Namun di sisi lain, Kanaya juga beruntung acara pernikahan ini ditangani oleh para ibu, di saat ia dan Satria sama sekali tidak sempat mengurusnya. Terpenting bagi Kanaya dan Satria adalah tanggal nikah yang sudah ditentukan tidak berubah dan disetujui oleh pihak KUA, sehingga tidak akan mengganggu jadwal cuti alias liburan.
“Halo, Pa?” Mama menjawab ponselnya yang berdering. “Tung-gu, Pa-pa!” Suaranya memekik gemas. “Kanaya belum selesai dirias. Anak kamu tuh kesiangan. Mbak periasnya juga lelet dandaninnya. Terserah, deh. Penghulunya suruh ceramah lagi aja. Tentang sejarah 25 para Nabi atau apa kek.”
Kanaya membuka mata dan melirik mamanya heran. Sejarah dua puluh lima para Nabi? Ya kali, ceramah acara nikahan temanya begitu, batin Kanaya.
Kini, semua orang tengah memandangi Mama dengan tegang. Kanaya pun jadi tidak enak hati pada Mbak Fitri karena ucapan sembarangan mamanya tadi, apalagi saat mendengar Mbak Fitri menghela napas sambil geleng-geleng kepala.
“Mbak, maafin mama saya, ya?” bisik Kanaya. “Omongan Mama jangan diambil hati.”
Mbak Fitri tersenyum. “Santai, Mbak. Saya udah biasa lihat orang-orang panik pas acara nikahan gini. Mamanya Mbak Kanaya sih masih terbilang kalem. Ada, loh, yang lebih cerewet dan bawel sampai bikin mood saya anjlok saat merias.”
Kanaya tersenyum meringis seraya mengangguk-angguk. Ia pun buru-buru mengikuti perintah Mbak Fitri ketika diminta untuk memejamkan mata, sebab Mbak Fitri akan memakaikan eyeliner.
“5 menit lagi, deh. Kasih tahu penghulunya!” Mama mematikan ponsel, lalu kembali menoleh pada Mbak Fitri. “Mbak, anak saya nggak usah tebal-tebal riasannya. Kanaya sudah cantik dari lahir kok.”
“Ma, sabar dulu, ih,” decak Kanaya, sementara Mbak Fitri memilih tidak membalas ocehan Mama.
Kanaya jadi ikutan gemas sekarang. Andai saja Mama tahu, periasnya ini bahkan sudah superngebut merias wajahnya. Kanaya bahkan tak yakin jika wajahnya akan secantik para pengantin pada umumnya.
“Sabar gimana, sih, Nay? Penghulunya udah selesai ceramah kata Papa. Satria udah waktunya ijab kabul,” semprot Mama.
“Ya udah, Satria ijab kabul aja tanpa Nay. Nanti Nay keluar kalau udah sah!” timpal Kanaya.
“Nggak mau!” Mama bersikeras dan nada suaranya agak meninggi. “Mama mau lihat kamu sama Satria jejeran pas ijab kabul.”
“Hadeh. Rempong banget deh ibu-ibu satu ini. Banyak maunya,” sungut Kanaya pelan dan dibalas senyum oleh Mbak Fitri yang mendengarnya.
Bunda mengusap punggung Mama seraya berujar, “Sinta, udah-udah. Kamu tenangin diri dulu. Nggak lucu kalau darah tinggi kamu kumat terus pingsan. Sia-sia dirias dari jam empat subuh, dong.”
Kanaya menghela napas pasrah, sedangkan Mama kembali menggerutu cemas. Dari bayangan cermin, Kanaya hanya bisa mencibir tanpa suara melihat Rania cekikikan menertawakannya. Lalu, ia segera memejamkan mata lagi karena Mbak Fitri baru selesai memakaikan eyeliner di salah satu mata Kanaya.
“Bunda?”
Semua orang menoleh ke arah pintu. Meski tidak bisa membuka mata dan melihat siapa yang hadir, Kanaya bisa tahu yang datang adalah calon ayah mertuanya. Ia sangat hafal dengan suara lembut milik ayahnyya Satria, yang selalu terdengar tenang meski suasana genting sekalipun. Pria itu selalu bisa meredam kepanikan dengan tidak menunjukkannya secara terang-terangan, menyamarkannya dengan terus menebar senyuman. Bikin adem yang lihat, serius.
Sekarang Kanaya tahu dari siapa sifat lembut dan murah senyum Satria diwariskan. Pada dasarnya, kedua orang tua Satria memang jauh lebih kalem dan perhatian daripada kedua orang tuanya. Sifat dan kepribadian keluarga Kanaya lebih ceplas-ceplos, bawel, dan keras kepala. Sepertinya, sifat Kanaya yang bawel dan keras kepala jelas turunan dari kedua orang tuanya, terutama mamanya.
“Ya, Ayah?” balas Bunda.
“Kanaya belum selesai?” tanya Ayah.
“Sebentar lagi, Pak,” jawab Mbak Fitri. Semua orang menoleh ke arah Kanaya. “Tinggal pakai lipstik sama blush on.”
“Mbak Fitri, tolong dipercepat, ya?” titah Ajeng, owner Sriwedari WO yang tadi datang bersama Ayah. Setelah melihat Fitri mengacungkan jempol sebagai jawaban, ia beralih pada para orang tua. “Ibu, Bapak, pengantinnya sudah hampir selesai dirias. Bagaimana kalau Bapak dan Ibu kembali ke tempat akad? Biar nanti Rania yang mengiringi pengantin ke meja akad.”
“Iya, Bun. Kita balik lagi ke tempat acara, yuk?” ajak Ayah sambil menggandeng Bunda. “Kita tunggu Kanaya sambil duduk. Kasihan Satria sendirian. Pasti gugup duduk berhadapan sama papanya Kanaya.”
Kanaya tersenyum simpul membayangkan ucapan Ayah. Ya kali, Satria gugup. Tiap hari juga ketemu sama Papa di rumah, celetuknya dalam hati.
Sedetik kemudian, Kanya menghela napas. Nikahanku begini amat, ya? Udah nikahnya sama sahabat dari kecil, nggak pakai cinta, kesiangan pula. Nay, Nay. Niat nikah nggak, sih?
“Eh, eh, Mbak, tunggu dulu! Itu pipinya belum dikasih blush on,” panik Mbak Fitri ketika Kanaya tiba-tiba berdiri.
“Kelamaan, Mbak.” Kanaya menghampiri para orang tua. “Ayo, Ma, Bunda, Ayah, kita susul Satria sekarang.”
“Aku nggak diajak?” protes Rania sambil berdiri di sebelah Kanaya dan cemberut.
“Iya, buruan. Kamu juga. Main hape mulu, sih. Bukannya ngambilin aku minum kek, apa kek. Aku lapar, nih. Mana haus banget,” sungut Kanaya. Rania lagi-lagi cuma cengengesan sambil melipir bersembunyi di belakang Mama.
“Loh, Nay, tapi—”
Kanaya tidak peduli pada tanggapan protes dari mama dan calon mertuanya. Ia bergegas keluar ruangan sambil bertelanjang kaki. “Rania, sepatu aku mana?”
“Nih!” Rania bergegas mengejar dan memberikan sepatu sneakers pada kakaknya.
***
SATRIA duduk tegang di kursinya. Sesekali menunduk menatap jemari tangannya yang saling meremas, juga berulang kali melirik jam tangan. Bahkan telapak tangannya sudah dingin dan basah keringat. Tidak biasanya ia segugup ini hanya karena duduk berhadapan dengan papanya Kanaya.
Satria mengusap keningnya yang agak berkeringat dengan tisu. Lalu, melempar tatap yang untuk kesekian kalinya beserobok dengan tatapan Papa. Pria berkacamata yang mulai ditumbuhi uban di bagian samping rambutnya itu juga tidak banyak bicara sepanjang mereka duduk berhadapan. Mungkin, Papa juga tegang karena ini pengalaman pertamanya menjadi wali nikah.
“Tegang, Sat?” tanya Papa.
Satria terkesiap dan langsung menegakkan duduknya, padahal pertanyaan Papa sederhana. “Eh, nggak, Om. Tapi, iya, sih. Sedikit.”
Papa tersenyum remeh. “Heh, kok masih panggil Om, sih?”
“Eh, iya, lupa, Om—eh, Papa,” sahut Satria gelagapan.
Sejak dua minggu yang lalu, Satria dan Kanaya resmi mengganti kata panggilan terhadap calon mertua masing-masing. Tidak ada lagi om dan tante, tetapi adanya Mama Sinta, Papa Rama, Bunda Nurul, dan Ayah Mirza. Hanya saja, mereka masih kaku dan sering lupa karena belum terbiasa.
“Kamu udah hafal kalimat balasannya, kan, Sat?” tanya Papa lagi.
Satria berdeham kecil sebentar. “Harusnya udah hafal, sih, Pa. Satria hafalin dari dua minggu lalu.”
“Niat amat?”
“Biar nggak lupa, Pa.”
“Biar nggak lupa atau telanjur senang nikah sama anak Papa?” goda Papa.
Satria hanya bisa tertawa. Ia tidak tahu jawaban apa yang tepat untuk membalas candaan Papa. Namun yang pasti, ada yang lebih mengalihkan fokus Satria saat ini. Di ujung sana, seorang perempuan bergaun putih tulang tampak melangkah cepat nyaris berlari tanpa alas kaki.
Perempuan itu … calon istri Satria.
Sambil menjinjing sepatu sneakers di tangan kirinya, Kanaya tergesa menuju meja akad. Satria jadi ingat, saat Kanaya bersikeras tidak mau pakai high heels di hari pernikahan. Katanya, ia tidak suka pakai heels dan kakinya akan terasa sakit. Setelah melewati perdebatan panjang, akhirnya Kanaya mendapat izin mamanya untuk mengenakan sneakers saat menikah.
Satria juga ingat keesokan harinya, ia langsung membeli sneakers yang selama ini menjadi wishlist Kanaya. Beruntung stoknya masih ada dan tidak pre order. Berhubung sejak dua minggu lalu mereka dilarang bertemu alias harus pingitan, akhirnya Satria hanya bisa menitipkan sepatu itu pada Rania.
Entah apa yang terjadi, kini Kanaya tidak memakai sneakers pemberiannya dan justru menjinjingnya. Gadis itu tampak cantik sekali mengenakan gaun brukat prancis pada bagian atas hingga lengan siku, sementara roknya berbahan tile berlapis selutut. Satria paham betul mengapa gadis ini memilih gaun pernikahan sederhana dan pendek seperti ini. Kanaya tidak suka pakai baju yang bikin ribet sampai susah jalan atau bergerak.
Sneakers dan gaun selutut adalah perpaduan yang pas untuk Kanaya yang cuek dan tidak suka jika geraknya dibatasi. Sahabatnya ini paling jarang pakai dress dan lebih memilih celana kulot atau jeans. Gaya berpakaiannya jauh dari kata feminin. Namun, sekalinya pakai dress, Kanaya terlihat sangat manis dan Satria pangling melihatnya.
“Kanaya?” Satria melongo tak percaya begitu Kanaya hampir sampai menghampirinya. Sontak, Papa yang duduk memunggungi arah datang Kanaya ikut menoleh. Begitu juga penghulu dan saksi nikah yang duduk satu meja dengan mereka.
Di belakang Kanaya, tampak Mama, Bunda, Ayah, dan Rania yang cukup jauh tertinggal tampak tergesa mengejar sang pengantin wanita. Kain batik yang melilit di tubuh bagian bawah para wanitalah yang menahan langkah lebar mereka. Sementara itu, Mbak Fitri yang paling menakjubkan karena begitu totalitas mengikuti langkah Kanaya dan masih berusaha mengoles blush on di pipinya.
“Nay? Kok nggak pakai sepatu?” tegur Papa. Ia juga melirik ke arah istri dan calon besannya yang tampak kelelahan, duduk di kursi yang sudah disediakan.
Kanaya tertawa cengengesan. “Nggak sempat pakai tadi di ruang rias, Pa.” Ia segera duduk di kursi kosong sebelah kiri Satria. “Pak Penghulu, sebentar, ya. Saya pakai sepatu dulu.”
Satria tertawa pelan sambil geleng-geleng melihat tingkah calon istrinya. Ia bahkan sempat panik tadi pagi saat mendengar kabar Kanaya kesiangan dan tidak berangkat bersama keluarganya. Sampai-sampai harus mengancam akan menikahi kucing tetangga agar sahabatnya itu bisa segera datang. Namun, kini Satria memandangi Kanaya tampak nyata hadir di sebelahnya, cukup mengalihkan rasa gugupnya menjelang akad.
“Ngapain lihat-lihat aku?” celetuk Kanaya sambil melirik Satria, sedangkan tangannya mengikat tali sepatu.
“Suka nggak sepatunya?” tanya Satria dengan tatapan berbinar.
“Suka dong. Kok kamu tahu sih aku ngincer model yang ini? Sudah lama banget aku mau—”
“Nay, cepetan,” bisik Papa gemas, “kok malah ngobrol.”
“Iya, Papaaa. Sabaaar. Ya ampun, Nay sampai gerah loh ini habis lari-lari,” decak Kanaya sambil sesekali mengikat tali sepatu, sesekali mengusap keringat di lehernya.
Dengan sigap, Satria mengambil tisu dan membantu Kanaya mengelap keringat di sekitar kening dan leher gadis itu. “Udah, biar aku yang lap. Kamu pakai sepatunya, buruan!”
“Siapa suruh kamu tidur lagi terus kesiangan?” balas Papa.
“Ya Papa juga tega amat Nay ditinggal.”
“Enak aja. Papa pikir kamu udah naik ke mobil terus tidur lagi di kursi belakang. Mana tahu kalau kamu molor lagi di kamar!”
“Papa nggak tahu, kan? Nay tuh baru tidur jam dua pagi tahu. Demi supaya bisa nikah dengan tenang tanpa dikejar deadline kerjaan,” gemas Kanaya.
Satria tergelak tanpa suara mendengarkan ayah dan anak perempuannya saling debat. Terlebih lagi, Mbak Fitri tetap gesit mempercantik wajah Kanaya, meski sejak tadi calon istrinya itu terus bergerak tidak bisa diam.
Diam-diam, Satria memandangi Kanaya dari ujung kepala hingga kaki. Kanaya bukan cewek yang hobi dandan. Gadis itu hanya tahu bedak tabur bayi dan akan memakainya—jika ingat—sebelum bepergian. Memoles bibirnya dengan lipstik pun jarang.
Namun hari ini, perias memoles wajah Kanaya sedemikian rupa. Satria sangat suka dengan riasan flawless di wajah Kanaya. Beberapa tangkai bunga baby breath juga sudah terpasang manis menghiasi sanggul kepangnya. Beberapa sisa helai rambut yang terurai di bagian belakang leher, membuat gadis itu tampak seksi. Sekaligus bikin tangan Satria terasa gatal ingin menyentuh dan membelainya. Gemas banget!
“Mas Satria, kedip!” goda Mbak Fitri sebelum pamit pergi karena tugasnya sudah selesai. Sontak semua orang di meja akad menoleh ke arah Satria.
Satria mengerjap. Ia baru sadar jika sejak tadi memandangi Kanaya cukup lama. Ia hanya tersenyum simpul seraya menggaruk kepalanya yang tidak gatal untuk menyamarkan rasa malu.
Kanaya menatap Satria yang duduk di sebelahnya. Hari ini, sahabatnya tampak berbeda. Setelan jas biru dongker membalut tubuhnya, membuatnya terlihat lebih gagah.
Satu hal yang paling membuat Kanaya takjub dan tanpa sadar merekahkan senyuman, ketika menyadari Satria mencukur rambutnya. Kini, rambut Satria lebih pendek dan rapi. Poninya tidak berantakan seperti sebelumnya, tertata dengan model belah pinggir. Entah bagaimana, Satria terlihat sangat tampan di mata Kanaya hari ini.
“Wah, Pak Rama. Pengantinnya belum ijab Kabul, tapi sudah pandang-pandangan. Bagaimana ini, Pak?” goda Pak Penghulu.
“Nikahkan aja sekarang, Pak!” Papa berseru dengan lantang, seolah sedang membalas pantun seorang pelawak. Lantas gelak tawa para tamu undangan terdengar menyambutnya.
Dengan masih setengah takjub, Satria bertanya, “Ini beneran kamu bukan, sih, Nay? Sahabat aku yang dekil dan jarang mandi itu?”
Kanaya melirik sebal. “Pa, masa Satria bilang Nay dekil,” adunya.
Papa hanya geleng-geleng sambil tertawa pelan. Tak menyangka putri sulungnya sudah dewasa dan sebentar lagi akan menikah. Namun, sampai kapan pun Kanaya akan tetap menjadi putri kecil Papa yang suka mengadu setiap kali diganggu Satria. Mendadak Papa butuh tisu untuk menahan genangan air mata di sudut matanya.
“Kok kamu bisa cantik gini sih, Nay?” heran Satria.
“Ciyeee!” Seruan paling keras datangnya dari mulut Rania dan Yudhis yang berdiri tak jauh dari meja akad. Mereka tengah bersiap mengabadikan momen sakral dengan kamera di tangan masing-masing.
Apaan sih, Satria? Resek banget. Gombalannya bikin senyum-senyum gini, batin Kanaya gemas, kesal, dan senang secara bersamaan. Dan, urusan mengikat tali sepatu pun selesai sudah.
Kanaya semakin fokus menatap Satria. “Sat, kamu potong rambut, ya?”
“Kan, kamu yang nyuruh,” jawab Satria sambil tersenyum dan kedua alis naik-turun jenaka.
“Nggak takut pesona kamu hilang?” cebik Kanaya.
Satria menggeleng. “Kan, aku udah punya kamu. Jadi, nggak perlu tebar pesona di luar lagi.”
“Ciyeee!”
“Sat!” tegur Kanaya. Lama-lama, ia malu juga kalau Satria terus menggombal seperti ini di depan papanya, penghulu, dan saksi nikah. Andai nggak banyak orang, udah aku tabok bibir kamu, Sat. Gombal mulu! geramnya dalam hati.
Satria masih senyum-senyum. Tiba-tiba ia mendekatkan bibirnya ke telinga Kanaya dan berbisik, “Jangan cantik-cantiklah, Nay. Nanti aku jadi tambah sayang.”
Kanaya gemas dan tidak tahan lagi. Ia menoyor kepala sahabatnya itu tanpa peduli banyak tamu yang melihat perbuatannya barusan. Bahkan di depan sana, mamanya sudah memelototinya.
Dasar Satria, ditoyor malah ketawa-ketawa, batin Kanaya geregetan.
“Jangan gombal mulu, Sat! Ijab kabul yang benar!” desis Kanaya sambil mencubit lengan Satria. Ia tidak ingin pipinya semakin memerah hanya karena gombalan receh sahabatnya.
“Hahaha. Ampun! Iya, iya!” seru Satria. Ia segera membenarkan posisi duduknya.
“Bagaimana, Mas Satria dan Mbak Kanaya sudah siap?” tanya Raka, sepupu Satria sekaligus MC acara pernikahan, berdiri di sisi kanan tak jauh dari meja akad.
Satria mengacungkan jempol ke arah Raka. “Yuk, Pak Penghulu. Saya udah siap.”
Raka kembali bersuara, “Baiklah. Para hadirin dan keluarga dari kedua mempelai, mari kita saksikan acara akad nikah Mas Satria dan Mbak Kanaya pagi ini. Waktu dan tempat, saya persilakan kepada Pak Ibrahim selaku penghulu.”
Kanaya kaget saat tiba-tiba tangan kiri Satria yang sangat dingin menggenggam tangan kanannya, membawanya ke atas pangkuan Satria. Ia melirik protes, tetapi Satria sudah fokus pada penghulu. Dengan terpaksa, akhirnya Kanaya membiarkannya.
“Sekarang jabat tangan Pak Rama, ya,” titah Pak Penghulu.
Beberapa detik lalu, kehadiran Kanaya membuat Satria lupa dengan rasa gugupnya. Begitu Satria berjabat tangan dengan Rama, mendadak ketegangan itu kembali menyerangnya.
Kini, senyum Satria menghilang, berubah dengan wajah serius saling bertatapan dengan Papa. Di balik dadanya, jantung Satria seakan mau meledak. Tidak pernah ia bayangkan, pria yang sering ia temui setiap hari selama belasan tahun akan menjadi papa mertuanya sebentar lagi.
Begitu pula Kanaya. Melihat Satria akan mengucap ijab kabul, jantungnya jadi berdebar-debar. Beberapa detik lagi, masa lajangnya akan berakhir. Sebentar lagi, ia akan menikah dan menjadi istri Satria Bagas Hadinata, sahabatnya sejak ia pindah rumah di sebelah rumah laki-laki itu, tepat kelas satu SD.
Terlintas dalam pikiran Kanaya, apa ia sudah siap? Menikah tanpa cinta dengan sahabatnya? Jangankan cinta, membayangkan untuk hidup selamanya dengan Satria pun tak pernah terlintas sama sekali dalam benaknya.
Mungkinkah ini takdir Kanaya? Bagaimana jika pernikahan ini tidak akan berjalan dengan baik-baik saja seperti yang Satria katakan malam itu? Hati Kanaya tiba-tiba meragu. Masih ada beberapa menit jika ia ingin membatalkan pernikahan konyol ini.
Kanaya memejamkan mata dan menarik napas dalam-dalam. Tanpa sadar, ia balas meremas tangan Satria yang menggenggamnya. Meski mereka menikah, Satria dan Kanaya tetaplah sahabat seperti sebelumnya. Ia segera tersenyum meyakinkan diri sendiri bahwa ia siap dan semua akan baik-baik saja. Jadi, tak ada yang perlu dikhawatirkan.
“Saya terima nikah dan kawinnya, Kanaya Maharani binti Ramadhana Mahendra dengan mas kawin tersebut, tunai.”

[SSA: 6. Sahabat Rasa Pacar]
ACARA resepsi berlangsung cukup meriah. Sebuah pelaminan bertema rustic tampak berdiri megah di area taman belakang restoran. Tamu undangan terus berdatangan. Sebagian berbaris menunggu giliran untuk naik ke pelaminan, sebagian lainnya sudah menyebar menyicipi hidangan.
Di tengah pelaminan, Kanaya dan Satria berdiri bersebelahan. Senyum keduanya selalu merekah saat menyalami para tamu—yang sebagian besar tidak mereka kenal. Hampir delapan puluh persen, tamu yang datang merupakan kenalan dan kolega orang tua mereka. Sisanya dari keluarga besar masing-masing, sedangkan Kanaya dan Satria hanya mengundang beberapa teman kantor dan sahabat dekat. Itu pun beberapa sudah terlihat datang dan pulang.
“Pipiku pegal, Nay,” bisik Satria di sela-sela senyuman saat menyalami tamu undangan. Pada titik ini, ia merasa pipinya nyaris seperti kaku saking terlalu lama dipaksa senyum.
Kanaya balas berbisik ketika ada jeda agak jauh antara satu tamu dengan yang lain. “Sama, Sat. Acaranya sampai jam berapa, sih?”
Satria mengangkat kedua bahu, masih sambil melebarkan senyum dan mengucapkan terima kasih pada tamu undangan. “Nggak tahu. Harusnya sih, sudah selesai dari tadi, ya. Biasanya acara nikahan cuma dua jam.”
Kanaya berdecak. “Itu, kan, kalo acaranya di gedung. Kita, kan, nggak nyewa gedung, Sat.” Dia meraih tangan kiri Satria, melirik jam tangan pria itu. “Gila. Nggak terasa udah hampir empat jam kita di pelaminan, salaman sama tamu.”
Ucapan Kanaya membuat Satria tertawa pelan dan sumbang, tetapi berusaha untuk tetap terus tersenyum ramah pada ibu-ibu dan bapak-bapak yang bersalaman dengannya. Ia mendekatkan bibirnya lagi ke telinga Kanaya.
“Kayaknya Bunda sama Mama memang sengaja bikin acara nikahan di sini, deh. Biar acaranya bisa sampai malam dan tamunya nggak terbatas begini.”
“Aji mumpung banget, ya? Mentang-mentang restoran punya sendiri, ngundang tamu nggak kontrol begini,” decak Kanaya.
Satria tertawa. “Pasti mereka nyebar undangan lewat grup Whatsapp, deh. Sekali klik, terundang semua. Grup di Whatsapp Bunda banyak pula, aku pernah nggak sengaja lihat notifnya. Ada grup arisan RT, ibu-ibu komplek, grup tukang sayur langganan, grup kuliah, SMA, SMP, bahkan SD juga ada.”
Kanaya menghela napas. “Gila kalau ternyata orang-orang di grup itu datang samua. Aku nggak sanggup kalau harus berdiri salaman sama tamu sampai malam!”
Pernikahan macam apa ini? Pengantinnya bahkan tidak tahu berapa orang tamu yang diundang dan jam berapa acara akan berakhir. Ternyata salah juga terlalu mempercayakan para ibu untuk mengurus acara ini. Sepertinya, Kanaya dan Satria akan terjebak sampai malam di pelaminan.
“Satria, Kanaya, kalian boleh duduk dulu,” kata Ajeng saat tiba-tiba naik ke pelaminan dan terburu-buru menghampiri pengantin.
“Eh, serius?” tanya Kanaya memastikan. Ia melirik ke sudut pelaminan. Salah seorang kru WO sedang menahan tamu di barisan paling depan agar tidak naik dulu ke pelaminan memberi selamat.
Ajeng tersenyum. “Iya, pengantin break dulu buat salaman sama tamu. Aku kasih waktu 15 menit, ya.”
“Tapi, itu antreannya panjang banget?” ujar Satria sambil menunjuk barisan tamu yang mengular di depan pelaminan.
“Nggak apa-apa, Satria. Tim WO sudah handle supaya tamu ditahan naik dulu. Orang tua kalian juga capek pasti, jadi mereka bisa break makan atau minum dulu,” jelas Ajeng.
“Oh, iya, benar. Tolong, orang tua kami disuruh makan dulu aja, Jeng. Kalau aku sama Kanaya nanti aja, gampang.”
“Iya, sip. Setelah ini, orang tua kalian akan aku ajak ke meja VIP untuk istirahat dan makan. Nih, kalian minum dulu.” Ajeng memberikan dua gelas air putih dan jus sirsak yang dibawakan oleh asistennya. “Kalian mau dibawakan makanan apa, gitu? Biar nanti diambilkan.”
“Oh, aku mau somay, sate ayam, dimsum juga, dawet ireng, es kriiim, sama zuppa soup,” sahut Kanaya cepat. Satria sampai melongo mendengar pesanan istrinya.
“Oke. Kamu mau diambilkan apa, Sat?” tanya Ajeng sambil melirik ke balik tubuh Kanaya, yang membuat gadis itu ikutan menoleh ke belakang. Di sofa khusus pengantin, rupanya Satria telah duduk bersandar sambil merentangkan kedua kaki dan tangannya. Benar-benar jauh dari kata gagah-able. Dan, Ajeng baru kali ini bertemu dengan pasangan pengantin sebebas dan secuek Satria dan Kanaya.
“Aku nebeng Nay aja, sepiring berdua sama istri lebih romantis,” sahut Satria sambil tersenyum miring dan melirik Kanaya.
“Ih, nggak mau. Nanti kamu ngabisin makanan aku!” protes Kanaya.
“Pelit banget, sih. Pesenan kamu juga banyak banget itu tadi. Yakin sanggup ngabisin sendiri?”
“Sanggup, lah.”
Ajeng dan asistennya pun tersenyum sambil menggeleng samar, lalu memutuskan untuk melipir dari pelaminan, meninggalkan pengantin baru yang masih berdebat.
Lelah meladeni Satria, akhirnya Kanaya mengempaskan bokongnya ke sofa, duduk di sebelah kanan Satria dengan sama tidak anggunnya. Tak tanggung-tanggung, ia juga menyandarkan kepala ke bahu Satria. Keduanya saling menghela napas, menatap pemandangan di depan pelaminan dengan lelah. Puluhan tamu tampak berlalu lalang dari satu meja prasmanan ke meja lainnya, sebagian lagi tampak bertahan berkerumun di sekitar panggung, menunggu pengantin selesai istirahat dan bisa bersalaman lagi.
“Geser dikitlah, Nay. Gerah, nih.”
“Duh, mager, Sat.”
Satria berdecak. Ia mengguncang-guncangkan bahunya beberapa kali, berusaha mengenyahkan kepala Kanaya. “Kepala kamu berat, Nay.”
“Ish.” Kanaya menoleh dan memukul lengan Satria. “Diam kenapa, sih. Jangan gerak-gerak! Nanti rambut aku berantakan.”
“Sakit, Nay,” protes Satria. “Belum ada sehari jadi istri, kamu udah KDRT sama aku.”
“Makanya ngalah sama istri. Itu baru namanya suami pengertian.”
Kanaya telanjur memunggungi Satria lagi ketika tawa lelaki itu terdengar. Ia segera bergerak mencari posisi paling nyaman untuk bersandar pada Satria, yang ternyata pria itu justru memberikan dada kanannya untuk tempat Kanaya merebahkan kepala sejenak.
Ah, nyaman, batin Kanaya sambil memejamkan mata. Namun, belum satu menit ia melakukannya, sebuah suara membuatnya kembali membuka mata.
“Belum juga malam, masa udah tepar gini pengantinnya?”
Kanaya dan Satria menoleh dan langsung menyambut kehadiran pasangan suami istri yang bergandengan tangan.
“Kak Aira!” pekik Kanaya sambil menyambut Aira yang merentangkan tangan menghampirinya. Keduanya saling memeluk dan mencium pipi.
“Selamat, Nay!” seru Aira, lalu mengurai pelukan. “Kamu cantik banget, sih.”
“Makasih, Kak. Hehe.”
“Kamu tuh nggak dandan aja cantik, pas nikah jadi makin cantik.” Rupanya pujian Aira masih berlanjut. Membuat Kanaya tersipu malu. “Dan, beruntung kru WO-nya Ajeng masih inget aku. Jadi, aku dibolehin naik pelaminan duluan, deh.”
Kanaya tersenyum menatap perut Aira yang membuncit, lalu mengusapnya lembut penuh kasih sayang. “Kamu kan lagi hamil, Kak, jadi pasti boleh duluan. Rejekinya dedek bayi, nih. Jadi, boleh ketemu Tante Nay duluan, deh.”
“Aku doain kamu sama Satria lekas dapat momongan juga, ya, Nay. Ngidam seru, loh. Bisa minta apa aja sama suami, pasti diturutin.”
Kanaya tersenyum kikuk seraya mengangguk-angguk. Bukan karena tertarik dengan topik obrolan Aira, melainkan sekadar menghargai doa tamunya. Beruntung, Satria sedang asyik ngobrol dengan Riza, jadi tidak mendengar doa Aira barusan yang bisa saja langsung ditanggapi dengan heboh.
Aira beralih menatap Satria yang anteng terlibat obrolan seru dengan suaminya. Ia mencolek lengan Satria, hingga sang pengantin pria itu menoleh. “Selamat ya, Sat. Ini kalian sweet banget sih bisa jodoh begini.”
“Thanks, Kak Ai,” balas Satria dengan senyum lebar.
“Aku pikir kamu sama Kanaya cuma sahabatan pas SMA, Sat. Kaget aku pas dengar Aira cerita kalau kalian tetanggaan dari SD,” sambung Riza sambil menepuk bahu Satria yang cengengesan.
“Padahal dulu waktu kecil, Satria hobi banget ngusilin Kanaya sampai nangis, Yang,” cerita Aira dengan tangan di dekat bibir, seolah-olah berbisik pada suaminya.
“Sampai sekarang juga masih usil kok, Kak. Udah kebal aku mah diusilin Satria,” cebik Kanaya. Satria tertawa kecil, lalu mencubit gemas pipi Kanaya.
“Wah, jangan-jangan kamu naksir Kanaya dari SD, ya, Sat? Cowok kalau caper, kan suka usil, Nay,” ledek Riza.
“Ehem-hem! Hem! Jangan kompor ....” geram Satria sambil tersenyum menyeringai pada Riza.
Riza terbahak sejenak, lalu melempar tanya, “Jadi, kalian udah ada rencana mau honeymoon ke mana, nih? Butuh rekomendasi nggak?”
“Yang, ih. Kepo banget,” tegur Aira sambil memeluk sebelah lengan Riza.
“Kenapa memangnya? Kaldera mau sponsorin?” tantang Satria balik mengingat Riza punya toko peralatan naik gunung bernama Kaldera.
Melihat pasangan di hadapannya begitu mesra, Satria tak mau kalah. Dengan gerakan halus, ia meraih pinggang Kanaya dan menarik gadis itu agar lebih merapat dengannya. Meski dari ekor mata ia bisa melihat Kanaya terkejut, Satria tidak peduli. Apapun yang terjadi, pengantin tidak boleh kalah romantis sama tamunya.
“Boleh aja. Asal kamu bisa review seberapa kedap suaranya tenda punya Kaldera pas malam pertama,” jawab Riza.
“Astaga! Riza!” pekik Aira sambil buru-buru membekap mulut suaminya. Sementara Kanaya memelotot syok dan Satria ancang-ancang memukul kepala Riza yang tergelak-gelak.
“Tolong, ya, Kak. Suaminya dikondisikan,” cibir Kanaya. Meski kadar kemesuman masih dimenangkan oleh Satria, sekali lagi Kanaya tekankan bahwa ia tidak polos-polos amat untuk memahami ucapan seniornya barusan, yang cukup membuat risi dan panas telinganya.
Buru-buru Aira berpesan pada Satria. “Pokoknya aku cuma bisa bilang, tolong, ya, Satria. Aku tahu kamu anak gunung kayak Riza, tapi nggak usah ngajak istri honeymoon di pinggir pantai sama tengah hutan! Kamu kan youtuber, duitnya pasti banyak dan bisa sewa hotel bintang sepuluh!”
“Hahaha! Sarkas banget, sih? Masih nggak terima banget diajak honeymoon di tenda.” Riza menjawil dagu istrinya.
“Please, deh, Yang. Kamu jangan ngeracunin pengantin baru buat honeymoon pakai gaya kamu!” sungut Aira.
“Dih, seru tahu honeymoon di alam bebas, tuh. Kamu juga pasrah aja waktu itu, malah keenakan,” balas Riza.
Sementara pasangan yang baru menikah setahun itu debat kusir, Satria dan Kanaya saling menelengkan kepala dan mendekat. Satria berbisik, “Nay, mereka mau sampai kapan berantem di pelaminan?”
“Tau, ih. Ngerusuh aja sih senior kamu!”
“Lah, mereka senior kamu juga, Nay.”
Kanaya pun memutuskan untuk turun tangan. Jangan sampai keributan pasangan ini terekam oleh seseorang, lalu viral di dunia maya.
Cukup sekali saja, ya, pasangan ini bikin heboh di acara nikahan orang tahun lalu. Kanaya masih ingat beberapa senior SMA yang berteman dengannya di Instagram, memposting video Riza bernyanyi untuk Aira di resepsi pernikahan teman seangkatan mereka. Dan, itu heboh banget! Jangan sampai hal macam itu terulang lagi oleh pasangan ini, apalagi di acara pernikahannya.
“Kak Riza, Kak Aira, mending foto aja yuk, daripada berantem di acara nikahan orang!” ajak Kanaya sedikit menyindir. Pasangan itu pun berhenti berdebat dan menoleh. “Lagian Kak Riza juga, nih. Nggak kasihan apa sama Kak Aira. Istri lagi hamil, diajak ribut mulu.”
“Eh, justru ngajak ribut pas istri lagi hamil tuh dianjurkan dokter, loh,” timpal Riza dengan wajah serius. Aira sudah memutar bola matanya, lalu mengibaskan tangan pada Kanaya dan Satria agar jangan mendengarkan ocehan Riza.
“Serius, Kak?” tanya Kanaya dengan wajah sama seriusnya.
Riza mengangguk. “Tapi ributnya di kasur, Nay. Hehehe.” Dan, saat itu juga, Aira mencubit pinggangnya, Satria mengumpat tanpa suara sambil melengos, sementara dirinya tertawa puas.
Lalu, Kanaya? Gadis itu tampak berpikir keras seraya menatap ketiganya secara bergantian. Kebingungan. “Kenapa ributnya harus di kasur, deh? Biar apa gitu, Kak? Oh, astaga!” pekiknya kemudian, saat baru paham maksud dari istilah ribut di kasur.
Duh, otaknya para laki-laki semuanya memang sama aja, ya!
***
“Selamat, Mas, Mbak. Semoga langgeng sampai kakek nenek.”
Satria dan Kanaya tersenyum seraya mengucapkan terima kasih pada Raka yang seharusnya berdiri di sisi kanan pelaminan menjadi MC, tetapi tahu-tahu naik pelaminan sambil menggandeng cewek manis berambut panjang yang mengenakan kebaya senada dengan seragam keluarga Satria, dan mendahului para tamu yang berbaris antre. Beberapa jam lalu, Raihan—adik Raka—pun sudah mengucapkan selamat lebih dulu ditemani Rania.
“Ini calon kamu, Ka?” tanya Satria.
Raka tersenyum pongah. “Doain, ya, Mas. Kemarin pas tahun baru, aku baru aja minta restu sama kakaknya. Mudah-mudahan beberapa bulan lagi, nyusul kalian berdiri di pelaminan,” cerita Raka, sedangkan kekasihnya tersipu malu di sebelahnya. “Eh, iya. Kenalin namanya Khinan, Mas, Mbak. Nah, Khinan, Mas Satria ini sepupuku. Mamanya Mas Satria itu kakaknya Mama.”
Khinanti mengangguk paham, lalu menyalami pengantin satu per satu. “Khinan, Mas, Mbak. Selamat untuk pernikahannya. Mbak Kanaya cantik banget.”
Mendengar kekasih Raka memujinya, Kanaya tersenyum malu-malu sekaligus menikmati. Khinanti mungkin orang kesekian ratus yang mengatakannya cantik hari ini. Riasan Mbak Fitri memang luar biasa. “Khinan juga cantik, manis.”
“Ini Khinan sekalian mau pamitan katanya, soalnya mau siap-siap balik ke Jogja sama Raihan nanti malam,” terang Raka.
“Oh, satu kampus sama Raihan?” tanya Satria.
“Iya. Padahal, udah aku suruh kuliah di Jakarta aja biar deket sama aku. Eh, dia nggak mau. Malah milih deketan sama mantannya.”
“Dih, curhat,” celetuk Khinanti sambil tertawa-tawa.
Satria dan Kanaya kembali saling berpandangan. Keduanya seperti berpikir hal yang sama. Oke, baiklah. Setelah Aira dan Riza, lalu pasangan Raka dan Khinanti merusuh di pelaminan.
“Sudah mulai masuk semester baru, ya, Khinan?” tanya Satria agar pasangan di hadapannya teralihkan dari debat tidak penting mereka.
“Eh, iya, Mas. Besok udah masuk kuliah,” sahut Khinanti.
“Kalau gitu aku turun, ya, Mas. Nganter Khinan sebentar ke Raihan, terus lanjut nge-MC lagi. Ayo, Sayang,” pamit Raka, lalu menarik lembut Khinanti menuruni panggung pelaminan.
“Hati-hati ya, Khinan. Semangat kuliahnya!” pesan Satria yang dibalas anggukan dan senyuman Khinanti. Manis banget, sih. Oke juga seleranya Raka.
Sepeninggalan Raka dan Khinanti turun dari pelaminan, Kanaya mencolek Satria dan bertanya, “Ceweknya Raka masih kuliah?”
“Iya. Di UGM, seangkatan sama Raihan.”
“Kedokteran juga kayak Raihan?”
“Nggak tahu. Nah, itu kok kamu tahu Raihan kuliah kedokteran? Kapan ngobrolnya?”
“Tahu dari Rania. Itu anak nempelin Raihan mulu dari pagi. Ih, bikin aku malu jadi kakaknya.”
Satria tertawa. “Namanya juga Rania.”
“Terus itu Raka bilang tadi mau nyusul kita berdiri di pelaminan, jadi dia mau nikah sama ceweknya yang masih kuliah?” tanya Kanaya lagi, seakan rasa ingin tahunya belum terpuaskan.
“Iya.”
“Mereka mau nikah muda?”
“Ya ... iya. Kenapa, sih?”
“Khinan nggak pengin senang-senang dulu apa? Dipikir kuliah sambil nikah gampang? Kalau nanti dia hamil terus punya anak, kuliahnya gimana?” celetuk Kanaya.
“Biar itu jadi urusan Raka. Aku cukup ngurusin masa depan kamu aja.” Satria mengusap kepala Kanaya sambil tersenyum manis. Kanaya pun angkat tangan, hanya bisa mengigit bibir bagian dalam menahan senyum yang timbul dari butterfly effect di perutnya.
Kenapa hari ini aku melelehan gini sih hatinya sama gombalan Satria? Ckckck, batin Kanaya heran, sekaligus kesal.
Keduanya pun memutuskan untuk kembali duduk di sofa sembari menunggu kedatangan Ajeng membawakan makanan mereka. Namun, belum juga Ajeng datang, keduanya dikejutkan oleh suara langkah dan teriakan histeris dua perempuan.
“Kanayaaa!”
“Maya? Nita?” Kanaya buru-buru bangkit dan menyambut pelukan kedua sahabatnya.
Maya dan Nita datang bersamaan mengenakan seragam bridesmaid biru muda yang Kanaya kirim lewat ojek online beberapa hari lalu gara-gara Kanaya tidak sempat untuk mengantarnya secara langsung.
“Ya ampun, kalian datang? Aku pikir kalian nggak datang,” histeris Kanaya. Tangannya merengkuh erat dua punggung sahabat semasa kuliah, yang ternyata awet selama bertahun-tahun, meskipun sudah lulus dan beda tempat kerja.
Melihat tiga cewek berpelukan sambil lompat-lompat gemas di pelaminan, Satria ikut berdiri. Ia berinisiatif meraih piring somay, sate ayam, dan dua cup es krim yang dibawa Maya dan Nita. Sebaiknya ia mengamankan itu semua daripada jatuh dan mubazir. Cewek sering lupa segalanya jika sudah saling bertemu seperti ini.
Sedetik kemudian, para cewek pun sedikit mengurai pelukan dan melirik ke arah Satria.
“Eh, kok pada nengok, sih?” Satria meringis cengengesan. “Kalian pelukan lagi aja. Biar piring somay sama satenya, aku yang pegangin. Nanti jatuh, mubazir. Hehehe.”
Maya dan Nita langsung tertawa.
“Sorry, sorry, Sat. Makanannya memang buat kalian kok. Lapar banget, ya?” Maya segera membiarkan Satria mengambil piring di tangannya.
Satria mengangguk sambil tersenyum. Ia juga mengambil alih piring dari tangan Nita, lalu membawanya ke sofa. “Kalian ngobrol aja, aku makan dulu.”
“Untung tadi, aku sama Nita nggak sengaja lihat kru WO bawa makanan buat kalian. Terus aku minta izin supaya kami saja yang bawain ke pelaminan, biar bisa cepat-cepat ketemu kamu, Nay,” jelas Maya.
Nita mengangguk menambahkan, “Sisanya nanti dianterin lagi sama mereka. Aku nggak sabar kalau harus ikutan ngantre kayak tamu yang lain. Antreannya panjang banget kayak mau kondangan ke kawinan artis.”
Kanaya tertawa. “Makasih, ya. Kalian udah datang.”
“Oh iya, suamiku titip salam. Dia minta maaf nggak bisa datang karena masih ada kerjaan di Palembang,” lanjut Maya. Kanaya tersenyum tak masalah.
“Gila, gila, gila! Kamu sahabat macam apa, sih, Nay? Nggak ada angin nggak aa hujan, tiba-tiba abang ojek nganterin paperbag isinya seragam bridesmaid sama undangan nikah. Aku syok tahu nggak?” cerocos Nita.
Kanaya nyengir. Baru saja ingin menanggapi ucapan Nita, tetapi kalah cepat dengan Maya.
“Ini gimana ceritanya, sih? Kalian bukannya sahabatan dari kecil? Kok sekarang bisa nikah begini?” cecar Maya. Tatapannya melompat-lompat melirik Kanaya dan Satria bergantian dengan penasaran.
“Kalian munafik banget, deh. Ngakunya sahabatan, terus sekarang nikah,” cibir Nita. Kanaya mulai gelagapan kesulitan mendapat kesempatan untuk menyela. “Jadi, kalian sahabatan apa pacaran, sih?”
Kanaya buru-buru menjawab, “Sahabatan, lah.”
Bersamaan dengan itu, Satria menimpali, “Pacaran, dong.”
Kanaya menoleh dan menatap Satria penuh protes. Pasalnya saat ini, kedua sahabatnya semakin menatap curiga. “Sat! Apaan, sih?”
Di sofa, Satria hanya tersenyum tanpa beban sambil mengangkat kedua bahunya.
Maya menangkup kedua pipinya sendiri. Menatap Kanaya dan Satria dengan wajah tak percaya. “Wah, wah. Aku nggak nyangka. Jadi, selama ini kalian pacaran diam-diam?”
“Eh, nggak gituuu,” rengek Kanaya sambil menggeleng cepat. Telapak tangannya sudah sibuk bergerak ke kiri dan kanan di hadapan Maya.
“Nggak gitu gimana, sih, Nay? Kamu mau ngelak kalau kamu sama Satria cuma sahabatan selama ini?” tanya Nita lagi. Kanaya mengangguk cepat dengan wajah berbinar. “Sahabat rasa pacar, gitu?”
Sementara Kanaya berdecak kesal, kedua sahabatnya tampak puas tertawa-tawa menggodanya. Kemudian ia menoleh, ternyata Satria sudah berdiri di sebelahnya, dengan satu tangan yang siap menyuapkan satu potongan somay ke mulutnya.
“Apa?” Kanaya bertanya bukan karena tidak paham dengan yang Satria lakukan. Ia hanya malu jika Satria menyuapinya di depan kedua sahabatnya.
“Ayo, makan. Kamu pasti lapar. Aku suapin,” kata Satria. Tangannya semakin maju mendekat ke arah Kanaya, tetapi gadis itu seperti ragu dan berkali-kali melirik sahabatnya.
“Duh, romantisnya pengantin baru. Serasa dunia milik berdua, yang lain bayar cicilan seumur hidup,” cebik Nita.
“Aku jadi kangen suami, Nit,” ujar Maya sambil memeluk lengan Nita dengan gemas.
Nita tertawa sinis. “Bagus. Sebentar lagi, kalian bakal sibuk sama suami masing-masing, terus lupa sama aku.”
“Ih, ya nggak gitu juga, laaah,” timpal Maya.
“Nita, Maya, meskipun Nay udah nikah sama aku, kalian jangan sungkan untuk main ke rumah, ya. Nay pasti tetap butuh kalian buat gosipin suaminya yang tampan ini.” Satria tersenyum lebar sambil melirik Kanaya, meskipun gadis itu balas menatapnya sengit.
“Oh, dengan senang hati. Kami pasti akan segera main ke rumah Nay untuk nagih cerita malam pertama kalian!”
“Uhuk, uhuk!” Kanaya tersedak somay yang ia kunyah mendengar ucapan Maya yang tidak terduga. Di sebelahnya, Satria juga tengah sibuk berdeham-deham mirip orang sakit tenggorokan.
“Ciyeee, salting!” ledek Maya, lalu tawanya meledak kemudian.
Beruntung, Ajeng dan asistennya datang membawa makanan lain dan dua gelas air. Kanaya maupun Satria segera menenggak habis isi gelas. Keduanya pun mengucapkan terima kasih saat Ajeng pamit setelah meletakkan piring makanan di sofa.
Nita menggeleng frustrasi. “Duh, aku kok geli, ya, bayangin kalian yang udah bertahun-tahun sahabatan terus malam pertama. Astaga, astaga ....”
Kanaya menggeram tertahan. Ingin sekali menyumpal mulut Maya dan Nita dengan uang seratus ribuan. Biasanya, cara itu ampuh sekali. Sayangnya, dompet Kanaya ada di ruang rias.
“Tapi ... aku sama Kanaya cocok, kan?” Satria merangkul pundak Kanaya. Merapatkan jarak di antara keduanya. Tidak peduli jika Kanaya sudah menggoyangkan bahu berusaha menyingkirkan tangannya.
Maya dan Nita mengacungkan jempol mereka sambil tersenyum bahagia.
“Kalian ternyata serasi banget!” puji Maya.
“Aku benar-benar masih nggak nyangka, loh, sampai saat ini. Kalau Satria yang jadi suami kamu, Nay,” sambung Nita dengan senyum yang berubah lebih tulus dan lembut. Tidak seperti sebelumnya saat berulang kali menggoda Kanaya.
“Eh, iya. Aku belum bilang makasih sama kalian karena udah datang ke acara sederhana ini. Makasih, ya, Nita dan Maya udah hadir,” ucap Satria sambil tersenyum.
“Ah, iya. Sama-sama, Satria. Kalian langgeng-langgeng, ya!” balas Maya.
“Jagain Kanaya ya, Sat,” pesan Nita.
“Pasti!” ucap Satria dengan yakin dan mantap. Kanaya mencebik, merasa geli dengan akting Satria yang begitu menjiwai menjalani perannya sebagai pengantin baru dan suami idaman.
“Nay,” panggil Nita.
“Hm?” Kanaya menatap Nita.
“Ini baru namanya laki-laki. Talk less, do more,” sambung Nita.
Sementara Satria semakin melebarkan senyum bangga, bahkan berdeham-deham sambil merapikan posisi dasi kupu-kupunya, Kanaya justru tersenyum kecut. Ia paham sekali Nita sedang menyindirnya karena pernah salah memilih seorang laki-laki untuk diperjuangkan. Demi agar kedua sahabatnya tidak curiga, ia terpaksa mengangguk-angguk setuju.
Maya mengacungkan jempol dan dengan semangat ikut menimpali, “Betul banget! Nggak kayak yang dulu, tuh. Kebanyakan ngasih harapan, ujung-ujungnya nikah sama yang lain. Duh, sampai sekarang aku masih gemes, deh, kalau inget Damara ninggalin Kanaya ni—”
Nita menyikut Maya. “Maya, nggak usah disebut juga namanya,” bisiknya geram.
Maya membekap mulutnya segera, lalu melirik Satria tidak enak. “Eh, maaf, Satria. Keceplosan.”
“Santai aja. Mau disebut namanya juga nggak apa-apa. Nggak ada pengaruhnya buat aku,” ucap Satria enteng.
Kanaya tersenyum mengejek mendengarnya. Lalu, tanpa aba-aba, Satria meraih tangan Kanaya, menggenggamnya hangat, dan meletakkannya di dada pria itu. Kanaya bergeming, sedangkan Maya dan Nita telanjur histeris menatap genggaman yang tidak biasa dilakukan oleh sepasang sahabat itu.
“Sekarang, Kanaya udah jadi milik aku. Jadi, Damara nggak akan bisa ganggu, apalagi nyakitin Kanaya lagi.”
Dan, satu kecupan, mendarat di pelipis kanan Kanaya.
***
Spoiler bab selanjutnya:
Langsung baca aja, masih gratis babnya :D
Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰
