Pukul Tiga Pagi [9. Satu Rasa; 10. Saling Menyakiti]

10
0
Deskripsi

Bab 9: Satu Rasa

Bab 10: Saling Menyakiti

"Boleh saya tahu, kenapa kamu yang menikah kemarin?"

Haruskah Hanin menceritakan masalahnya pada Adrian? "Ruby ... mendadak harus pergi." Oke, Hanin menyerah.

Bab 9: Satu Rasa

Selesai memasukkan beberapa baju ke ransel, Hanin beralih ke rak buku. Ia butuh membawa beberapa novel dan buku-buku medis ke rumah Ilham agar pikiran ruwetnya bisa-sedikit-teralihkan. Bagaimana pun, hanya diri sendiri yang bisa menolong agar ia menemukan kenyamanan tinggal di sana.

Lalu, Hanin terdiam kala jarinya menarik satu novel berjudul Not a Perfect Wedding karya Asri Tahir. Novel itu ... pemberian Adrian bulan lalu. Laki-laki itu tahu kalau wishlist bacaan Hanin satu itu belum sempat Hanin beli karena kesibukan di klinik membuatnya belum sempat berkunjung ke toko buku.

Seraya menatap sendu novel dalam gengamannya, Hanin menghela napas lesu. Ia teringat pertemuan dengan Adrian siang tadi.

"Sejujurnya, saya nggak tahu harus mulai dari mana." Adrian tertawa kecil—sekilas tampak putus asa. Ia duduk berhadapan dengan Hanin di sebuah rumah makan yang sebagian pengunjungnya mulai pergi karena jam istrahat hampir habis. "Banyak yang mau saya tanyain sama kamu, Nin."

Hanin hanya mampu bergeming seraya menatap embun di dinding gelas es teh manis miliknya. Tak jauh dari sisi gelasnya, ada mangkuk soto Betawi yang masih tersisa banyak. Pertemuannya dengan Adrian bikin Hanin kesulitan menelan lebih dari tiga sendok meskipun belum makan apa pun sejak pagi.

"Saya harus kasih kamu selamat dulu nggak, sih?"

Hanin menarik napas dalam-dalam, semampu yang ia bisa. Sebab sejak bertemu Adrian di klinik, seperti ada yang menyekat jalur pernapasannya. "Mas boleh tanya apa pun."

"Saya suka sama kamu, Hanin. Kamu tahu itu, kan?"

Hanin memejam sejenak seraya menghela napas. Kali ini agak berat dan menyiratkan lelah penuh sesal.

"Saya pikir kita satu rasa, Hanin."

Mendengar kelanjutan ucapan Adrian, dada Hanin sesak bukan main. Sejak lama ia menantikan saat-saat Adrian mengakui perasaan padanya, yang ternyata tidak membuat cintanya bertepuk sebelah tangan. Namun, ketika semua itu terjawab sudah, Hanin tidak bisa bersorak bahagia.

Jangan nangis, Hanin. Senyum! "Saya ..." juga suka sama kamu, Mas, "minta maaf. Kemarin, Mas Adrian jadi nggak keurusan pas acara."

Adrian tersenyum tipis. Mungkin laki-laki itu lelah dan akhirnya menyerah karena Hanin tidak menggubris pengakuan cintanya barusan. "Boleh saya tahu, kenapa kamu yang menikah kemarin?"

Haruskah Hanin menceritakan masalahnya pada Adrian? "Ruby ... mendadak harus pergi." Oke, Hanin menyerah. Ia janji hanya akan bercerita sampai situ.

"Secara tiba-tiba?" Raut wajah Adrian jelas menunjukkan kebingungan—juga tidak terima—seolah-olah alasan Hanin tak masuk akal. Melihat Hanin mengangguk, ekspresi wajahnya kemudian berubah. "Ah, sekarang saya paham."

Hm? Paham apa?

"Kamu terpaksa nikah sama Ilham karena harus gantiin Ruby yang tiba-tiba pergi. Iya?"

Hanin mengerjap. Tidak menyangka Adrian akan semudah itu menerka tingkah gilanya kemarin.

"Jadi, kamu menikah bukan karena cinta sama Ilham. Tebakan saya salah nggak?"

Hanin masih diam. Ia kehabisan kata-kata. Lalu, perasaan waswas perlahan menyergap. Takut sekali jika rencana 'menikah lalu berpisah tahun depan' terbongkar dengan sendirinya.

"Hanin?" Adrian mencondongkan tubuh hingga dadanya menyentuh sisi meja. Lalu, tangannya perlahan meraih jemari Hanin hingga perempuan itu sedikit tersentak kaget. "Salah nggak kalau saya berpikir ... saya nggak jatuh cinta sendirian di sini?"

"Mas—"

"Perasaan kita saling berbalas, kan?"

Hanin menggigit bibir bawahnya, berusaha menahan diri agar tidak bicara aneh-aneh. Bagaimana pun, ia harus ingat dengan statusnya sebagai istri orang. Ia harus menjaga sikap agar tidak mencoreng kehormatan suaminya, kan?

Maka, Hanin terburu menarik tangannya dari genggaman Adrian. Meski akhirnya rasa bersalah dan kecewa berjubelan memenuhi hatinya. Adanya cincin di jari manisnya membuatnya jadi seperti seorang istri yang berkhianat pada suaminya jika tidak menghindari Adrian.

"Mas Adrian, saya harus kembali ke klini—"

"Boleh saya nunggu kamu, Nin?"

"Nunggu?" Hanin tidak mengerti. "Nunggu ... gimana?"

"Nunggu kamu lepas dari Ilham."

Adrian tampak serius kali ini. Bikin Hanin jadi berdebar tidak karuan.

"Maaf, kalau ucapan saya kedengarannya jahat, tapi saya nggak sembarangan bicara dan ambil keputusan." Adrian berkata lagi. "Udah banyak kasus serupa yang saya temui di sekitar saya. Dan seringnya, hubungan yang nggak dilandasi cinta dua arah itu nggak akan bertahan lama, Hanin. Ehem. Maaf, maaf. Saya nggak bermaksud doain pernikahan kamu yang jelek-jelek, tapi maksud saya ... boleh kita tetap berteman?"

Hanin masih bergeming menatap Adrian yang tampak begitu emosional mengeluarkan setiap kata dari mulutnya.

"Boleh kita tetap ketemu seperti biasanya? Kamu boleh cerita apa pun sama saya kalo seandainya ... hidup kamu lagi nggak baik-baik aja. Kalau misalnya Ilham ... bikin kamu kecewa. Kalau misalnya ... pernikahan kalian nggak berjalan dengan semestinya. "

"Mas—"

"Saya cuma nggak mau kamu sedih sendirian, Hanin. Janji sama saya, kamu harus selalu dikelilingi dengan kebahagiaan. Ya? Kalau Ilham nggak bisa kasih itu semua, kamu bisa minta sama saya."

"Ndhuk?"

Panggilan Bude Yuni di pintu kamar berhasil menyentak dan mengusir lamunan Hanin. "Eh, ya, Bude?"

Buru-buru Hanin berdiri, menyambut kehadiran Bude Yuni yang memasuki kamar. Jujur, Hanin masih agak sedikit linglung.

"Udah selesai beres-beresnya? Kok melamun?" Bude Yuni mengajak Hanin duduk di pinggir ranjang.

"Oh, itu. Tadi Hanin lagi mikir mau bawa novel yang mana aja," jawab Hanin sekenanya sambil tersenyum. "Kebetulan ada beberapa yang belum Hanin baca." Novel dari Adrian salah satunya, yang kini berada dalam dekapannya dan sepertinya jadi buku terpilih untuk Hanin bawa.

"Mau bawa yang itu?"

Hanin melirik novel yang Bude Yuni tunjuk, lalu mengangguk.

"Hmm, baiknya yang lain saja, Ndhuk." Perlahan, Bude Yuni mengambil novel pemberian Adrian. Meletakkannya kembali ke rak dan menukarnya dengan satu novel yang masih bersegel pada Hanin. "Bude ingat gimana senangnya kamu akhirnya bisa beli novel ini. Ada baiknya bawa yang ini saja."

Novel Dear, Nathan yang sedang booming itu pun mendarat dalam genggaman Hanin.

"Biar nggak keingetan terus sama kenangannya kalau kamu bawa novel yang tadi, Ndhuk."

Mendengar ucapan Bude Yuni barusan, Hanin langsung balas menatap Bude Yuni. Ia gelagapan seperti sedang tertangkap basah ketahuan memikirkan pria yang bukan suaminya.

Bude Yuni ikut tersenyum. "Belajar mengikhlaskan, Ndhuk. Meskipun Bude tahu kamu ahli dalam urusan satu itu. Tapi kamu dan Adrian—"

"Hanin ngerti, Bude." Jadi, jangan bahas Mas Adrian lagi, ya?

Bude Yuni akhirnya mengangguk, paham. "Bawa bukunya beberapa aja dulu, biar ndak berat. Bajunya juga jangan dibawa semuanya, ya, Ndhuk. Biar nanti kalau nginap di sini, masih ada buat ganti."

Hanin lega akhirnya Bude Yuni mengalihkan topik obrolan. Ia pun mengangguk. Ia memang berniat hanya membawa beberapa baju dan bukunya. "Iya, Bude. Biar Hanin bisa bolak-balik ke rumah, pulang ketemu Bude sama Pakde."

"Ya tapi jangan sering-sering, Ndhuk. Nanti Nak Ilham jadi repot kalo istrinya nggak ada."

Haha. Kayaknya Ilham malah lebih senang kalo Hanin nggak ada, Bude.

"Biar Hanin juga makin akrab sama mertua." Bude Yuni tersenyum dengan mata yang sedikit berkaca-kaca. "Hanin harus sering ngobrol sama orang tua Nak Ilham sepulang kerja, ya? Kalau bisa, mulai dikurangi jaga malamnya. Maminya pasti senang kalau ditemani ngobrol."

Hanin kehabisan kata-kata. Ia hanya bisa mengangguk pelan. Perasaannya masih belum senyaman itu membiacarakan tentang suami dan mertuanya.

Setelah sesak karena garis takdirnya dengan Adrian sedikit berantakan, kini semakin bertambah tak karuan hingga membuat matanya memanas saat menyadari ia kesulitan berada di tengah-tengah keluarga Ilham.

Bude .... Hanin sedih. Hanin takut nggak bisa diterima di keluarga mereka, walau cuma sementara. Sayangnya, Hanin tidak bisa menyuarakan isi hatinya. Ia justru mengangguk dan tersenyum untuk menanggapi ucapan Bude Yuni. Air matanya tidak boleh buyar di hadapan Bude Yuni sekarang.

"Ya udah, dilanjut beres-beresnya. Nanti makan dulu, ya, sebelum pulang."

"Iya, Bude." Hanin akhirnya memasukkan beberapa buku ke kardus karena ranselnya penuh. Melihat Bude Yuni bangkit hendak keluar, Hanin teringat sesuatu. "Hmm, Bude?"

Bude Yuni berbalik lagi. "Ya, Ndhuk?"

"Maaf, Hanin belum dapat kabar dari Ruby." Hanin menghela napas lesu. "Chat dan telepon Hanin masih belum dibalas sama Ruby."

Namun, Bude Yuni tersenyum, reaksi yang bikin Hanin kebingungan. Seingat Hanin, Bude Yuni kemarin masih sangat stress memikirkan anak perempuannya yang kabur dan belum jelas ke mana tujuannya.

"Bude udah dapat kabar tentang Ruby, Ndhuk."

Alis Hanin terangkat. Kaget. Takjub. Bingung juga. "Ruby hubungin Bude?"

"Oh, nggak. Ruby belum chat atau telepon Bude juga, tapi Nak Ilham yang cerita selesai resepsi kemarin, kalau Ruby dapat tawaran kerja di New York. Makanya ... dia pergi."

Hanin tercengang. Hatinya seperti mencelus terjun bebas mengetahuinya. Antara lega karena akhirnya tahu keberadaan Ruby, tapi juga sekaligus kesal pada Ilham. Laki-laki itu tahu tujuan kepergian Ruby, tetapi diam saja saat maminya bertanya-mencecar Hanin habis-habisan-semalam?

Ilham, sumpah, ya? NGESELIN BANGET!

"Ya walaupun Bude sama Pakde cukup lega setelah tahu Ruby pergi ke mana, tapi tetap aja, Bude nggak membenarkan keputusan Ruby yang pergi tiba-tiba gitu." Bude Yuni menghela napas lelah penuh sesal. "Bikin mbaknya jadi susah. Maafin anak Bude, ya, Ndhuk?"

Bab 10: Saling Menyakiti

"Saya masih cuti, Bu. Paling baru bisa mulai minggu depan," ucap Ilham sambil berpikir, mengingat-ingat sesibuk apa jadwalnya minggu depan. Namun, sepertinya Pukul Tiga Pagi tidak akan membuatnya terlalu sibuk. Jadi, Ilham bisa ambil tawaran untuk mengajar les privat lagi.

"Boleh, deh. Secepatnya, aku pengin Elena segera dapat les tambahan. Aku merinding lihat hasil UTS-nya kemarin. Masa ngepas KKM semua. Jadi, aku pikir, les privat lagi aja deh sama kamu. Soalnya tahun lalu belajar sama kamu, nilai Elena bagus-bagus."

Ilham sedikit tersanjung dengan pujian itu, ternyata jasanya membawa kebaikan. Sampai-sampai seorang ibu muda yang berbincang di telepon dengannya dan pernah memakai jasanya untuk mengajar keponakannya tahun lalu, memanggilnya lagi.

"Mungkin Elena masih kaget dengan transisi mata pelajaran dari SD ke SMP, Bu. Coba nanti saya lihat dulu rapor bayangan Elena dan bab-bab yang dipelajari, ya."

"Oke. Dan ..., tolong, ya, Ilham. Aku cuma lebih tua dua tahun dari kamu, berhenti manggil aku ... 'Bu'."

Ilham mengernyit sebentar. "Tapi, kamu kan emang udah ibu-ibu." Terus, salahnya di mana?

Usai terjadi perdebatan kecil, telepon pun berakhir. Bikin Ilham berpikir, ia harus mulai mengatur jadwal untuk minggu depan.

Tahun kemarin Ilham hanya bisa mengambil waktu mengajar les privat seminggu sekali karena Ruby keberatan kalau Ilham terlalu sibuk. Jadi, sekarang ia ingin mengambil jadwal sesering mungkin untuk mengajar lagi. Tiga kali pertemuan dalam seminggu sekalipun, Ruby pasti tidak akan protes lagi padanya.

Ah, bicara tentang Ruby, belum ada kabar apapun lagi dari gadis itu. Semua chat Ilham belum juga mendapat balasan hingga hari ini dan segala informasi tentang ke mana Ruby pergi masih jadi sebatas dugaan Ilham.

Terakhir kali Ruby cerita, gadis itu memang mendapat tawaran job ke New York. Seperti apa detail pekerjaannya pun Ilham tidak begitu tahu, sebab Ruby tidak menceritakaannya sejauh itu.

Yang akhirnya bikin Ilham sempat tertegun semalamam, bahwa ternyata akhir-akhir ini, tanpa ia sadari, entah sejak kapan pastinya, Ruby layaknya orang asing—sibuk sendiri dan jarang melibatkan Ilham dalam urusannya.

Banyak hal yang Ilham tidak benar-benar tahu tentang kekasihnya.

Bikin Ilham jadi sadar kalau ternyata mereka ... tidak sedekat itu.

Hingga akhirnya, Ilham kini kehilangan jejak gadis itu. Kebingungan sendirian, tidak tahu harus bagaimana, atau ke mana untuk mengejar dan mencari kekasihnya.

Namun, hidup Ilham harus terus berjalan—ada atau tanpa Ruby, kan? Dan ia tidak mungkin diam saja. Apalagi, sekarang ada Hanin yang dengan sukarela menyeret dirinya sendiri untuk masuk dalam kehidupannya.

Helaan napas Ilham terembus kasar saat bayang-bayang wajah rapuh Hanin melintas dalam kepalanya. Lalu, wejangan-wejangan yang teriring wajah sendu dan basah air mata orang tua Hanin padanya semakin menambah pusing kepala.

Mau tidak mau, pernikahan ini membuat Ilham memiliki tanggung jawab besar atas kehidupan Hanin. Padahal, gadis itu yang menyerahkan diri sendiri untuk jadi pengantin pengganti.

Mungkin, untuk sementara waktu, dengan sering mengajar privat, bisa jadi solusi terbaik untuk menghindar, agar Ilham tidak perlu terlalu sering bertemu Hanin. Jadi, kemungkinan untuknya terus menyakiti Hanin bisa terminimalisir.

Percayalah, Ilham tidak benar-benar ingin bersikap acuh tak acuh pada Hanin. Terlebih, ia mengenal Hanin sebagai teman yang baik. Itulah mengapa Ilham memilih pergi. Ia hanya belum mampu mengendalikan kecewa yang menganga dalam hatinya, yang ia tidak tahu harus bagaimana cara melampiaskannya karena Ruby tidak ada.

Hanya ada Hanin di hadapan Ilham, dengan segala penyerahan diri untuk perbuatan yang sebetulnya bukan tanggung jawabnya. Bikin Ilham jadi kesal, kenapa Hanin harus melakukan itu semua. Yang artinya merelakan diri juga untuk menjadi pelampiasan amarah dan kecewanya. Apalagi Hanin adalah kakak sepupu Ruby, yang merasa berhak dan harus bertanggung jawab atas semua kesalahan Ruby.

"Nggak seharusnya lo pergi ninggalin dia, Ham. Harusnya lo berterima kasih sama Hanin. Kalau dia nggak menawarkan diri kayak gini, mungkin yang terjadi bisa lebih buruk dari ini. Dan, mungkin kondisi lo nggak lebih baik diri ini."

Ucapan Riza semalam saat Ilham baru tiba di Kaldera terngiang-ngiang lagi. Sejujurnya, tanpa Riza berkata demikian, Ilham tahu akan hal itu. Ia mengerti. Hanya saja, egonya masih tidak terima karena terlalu menginginkan Ruby yang ada di sampingnya, menjadi istrinya.

"Gue paham lo kecewa karena cewek lo pergi dan bikin kacau semuanya. Tapi, lo nggak berhak nyakitin Hanin yang jelas-jelas udah mengorbankan masa depannya sendiri, Ham."

Lagi, kata-kata Riza berdengung dalam telinga Ilham.

"Lo pikir Hanin seneng nikah sama lo, Ham? Gue rasa, sih, nggak. Secara kita semua tahu, dia juga lagi deket sama cowok, kan? Bukan Cuma lo yang punya planning masa depan, Hanin juga punya planning nikah dan gue yakin pasti sama cowok itu. Tapi, demi keluarganya, demi lo dan keluarga lo, dia rela nggak bisa nikah sama cowok itu. Hanin juga patah hati, Ham."

Hanin juga patah hati. Kalimat itu, mengapa begitu mengganggu Ilham? Bikin rasa bersalah—sedikit—menggelitik hatinya hingga detik ini.

"Tanpa perlu saling menyakiti, kalian berdua udah sama-sama tersakiti sama keadaan. Jadi, kenapa kalian nggak berdamai aja, jalanin yang harus dijalanin. Apa adanya. Minimal, supaya hubungan pertemanan kalian nggak rusak gara-gara ini."

Bikin Ilham sempat-sempatnya berpikir untuk pulang dan menyerah—melanjutkan hidup dengan Hanin sebagaimana mestinya. Toh, hanya satu tahun, lalu berpisah, kan?

"Mending besok pulang, Ham."

Suara barusan membuyarkan lamunan Ilham akan ucapan Riza semalam. Ilham refleks menoleh ke kiri. Entah sejak kapan, Arif menyusul keluar ruang karaoke dan berdiri di sebelahnya. Ikut bersandar sepertinya di dinding lorong yang pencahayaannya minim dan remang-remang.

"Jangan nginep lagi di Kaldera," lanjut Arif, "atau di kosan gue sama Budi."

"Nggak semudah itu, Rif."

"Ya dibikin mudah, lah." Arif memasukkan kedua tangan ke saku celana.

Ilham berdecak. "Gue pamitnya nanjak ke Rinjani seminggu. Nggak lucu kalau baru kemarin pergi, besok udah pulang."

"Tinggal bilang lo nggak jadi nanjak. Beres, kan?"

Ilham hanya bisa menghela napas, berulang-ulang tanpa bosan. Rumit. Takdir hidupnya terlalu kusut.

"Daripada lo galau nggak jelas, padahal cewek lo jelas-jelas nggak peduli sama lo."

Ilham berdecak lagi. Kali ini agak kesal.

Arif melirik seraya tersenyum remeh. "Sori. Tapi, itu emang kenyataan, kan?"

Ilham memilih diam saja. Melengos. Ia malas memberi tanggapan pada ucapan Arif yang mungkin ... memang benar.

"Mending lo pulang, ketemu sama bini lo, Ham." Arif menghela napas seraya menatap lurus dinding di hadapannya. "Banyak laki-laki di luar sana nggak bisa nikah karena nggak tahu kapan ketemu jodohnya, Ham. Karena bingung harus cari jodoh ke mana. Tapi, lo yang udah dikasih pendamping hidup malah minggat."

Ilham melirik sekilas saat menyadari Arif curhat colongan. Sejak putus dengan pacar terakhir, sahabatnya itu masih betah sendiri. Padahal, sudah bertahun-tahun lalu. Atau mungkin, memang seperti kata-katanya barusan, Arif belum menikah karena tidak tahu kapan dan di mana bertemu dengan jodohnya?

"Bangsat! Beneran ke sini lo berdua?"

Suara itu membuat Ilham dan Arif refleks menoleh. Riza—dengan wajah panik, cemas, campur syok—melangkah lebar menghampiri, bersama Budi yang mengekorinya.

"Rif!" Tiba-tiba Riza mencengkeram kerah kaos Arif begitu jarak mereka dekat. Hal itu sontak membuat Ilham, Budi, bahkan Arif terlonjak kaget. "Lo ngapain ngajak Ilham ke sini? Lo ngajak Ilham mabok, hah? Rif, lo tahu, kan, kalo Ilham nggak minum?"

"Za, lepas, Za." Ilham berusaha menenangkan Riza.

Budi juga membantu menjauhkan Riza dari Arif. Sayangnya, tidak semudah itu. "Za, kalem, Za. Ngobrolnya baik-baik, lah."

"Lo kalo mau mabok, mabok sendiri, Rif! Nggak usah ngajak-ngajak Ilham!" Riza benar-benar murka.

"Za, Arif nggak nggak ngajak gue mabok!" seru Ilham, cukup lantang hingga membuat Riza tertegun dan mengendurkan cengkeramannya di kerah kaus Arif.

"Beneran?" Riza masih belum yakin.

Ilham dan Arif sempat saling lirik. "Ya ... Arif sempet ngajak, sih, tapi—"

"Tuh, kan! Emang nggak bisa dipercaya lo, Rif!" semprot Riza. Makin kesal karena Ilham juga sempat-sempatnya membela Arif.

"Arif cuma bercanda nawarin gue, Za. Lo juga pasti pahamlah, gue nggak bakal nyentuh miras. Nggak level lambung gue minum gituan." Ilham melanjutkan kalimatnya yang belum selesai.

Dengan kesal, Arif menepis tangan Riza dari kausnya. "Kalo gue emang niat bikin Ilham beneran mabok, gue nggak bakal telepon lo buat ngasih tahu kalo Ilham di sini sama gue, Za!"

"Ya terus ngapain lo ngajak dia ke tempat ginian, Bangsat?"

Arif mulai terbawa emosi juga karena sejak tadi nada bicara Riza terus meninggi padanya. "Eh, Za! Gue tahu gue pernah hancur karena patah hati, terus ngelampiasin itu semua dengan minum-minum. Mabok-mabokan" Nyaris make juga. "Tapi, gue masih sadar buat nggak ngejerumusin sahabat gue sendiri buat ikutan mabok kalo emang dia nggak mau! Gue nggak seberengsek itu sama sahabat gue sendiri! Gue cuma ngajak Ilham karaoke. Salah? Siapa tahu dia butuh tempat buat teriak-teriak! Ngelampiasin semua unek-unek dalam hatinya!"

Terakhir, Arif mengumpat kesal. Bikin lorong berubah makin ribut dan bising.

Usai mendengar pengakuan Arif, Riza melirik Ilham yang mengangguk mengiakan. Ia menghela napas, sedikit menyesal telah marah-marah pada Arif.

"Sori, Rif. Sori. Gue emosi."

Arif masih agak kesal, terdengar dari dengkusannya dan enggan menatap teman-temannya. "Lo sama gue pernah gagal dalam hubungan, Za. Kita berdua tahu rasanya ditinggalin dan patah hati. Gue cuma nggak pengin Ilham berlarut sedih sendirian. Jangan kayak gue, jangan kayak lo."

"Eh, gue nggak minum-minum waktu putus sama Vinda, ya!" Riza mendadak protes.

"Hampir, Za" ralat Budi. "Kalo gue sama Ilham nggak nemenin lo, pasti lo udah teler bareng Arif."

Ilham menipiskan bibir, susah payah menahan tawa. Pasalnya, saat ini suasananya masih tegang. Nggak sopan kalau ia tiba-tiba cekikikan, kan?

Riza berdecak. "Oke, oke. Gue ngaku salah. Sori." Ia buru-buru memeluk Arif. Budi dan Ilham memperhatikan sambil berulang kali menghela napas.

"Lagian kita semua udah dewasa, Za. Mau mabok atau nggak, tanggung jawab masing-masing. Sah-sah aja. Lo jangan mentang-mentang udah punya jodoh, jadi sok lurus hidup lo!" gerutu Arif.

Riza menghela napas. Menepuk-nepuk punggung Arif. "Kalo gue nggak lurus, siapa yang bakal ngontrol temen sesat kayak lo, Rif."

"Babi."

"Ham?" panggil Budi seraya menyikut Ilham pelan. Ilham pum balas melirik. "Perasaan lo yang lagi galau ditinggal cewek lo, kenapa jadi Arif yang melankolis begini?"

Ilham mengangkat kedua bahu sekilas. Mungkin, Arif jadi teringat masa lalu, saat-saat ia terpuruk karena patah hati, saat ia dan kekasihnya memilih untuk berpisah setelah dua tahun pacaran karena perbedaan keyakinan.

"Udah, udah. Mumpung telanjur sama-sama di sini, kita karaokean bareng?" Ilham menarik fokus ketiga temannya. "Temenin gue nyanyi." Kayaknya nyanyi sambil teriak-teriak, seru juga.

"Lo bisa nyanyi, Ham?" tanya Budi.

"Karaokean mah nggak perlu keahlian harus bisa nyanyi, Bud!" celetuk Arif seraya mengekori Ilham yang masuk ke ruang karaoke duluan. "Yang penting nyanyi."

Budi dan Riza akhirnya menyusul masuk. Diam-diam, Riza sempat memperhatikan isi meja. Hanya ada kaleng-kaleng cola, piza, dan benerapa camilan. Sama sekali tidak ada botol miras.

Ilham sudah memegang mic, intro lagu yang ia pilih pun mulai terdengar. Begitu ia mulai bernyanyi, ketiga sahabatnya sontak mengernyit bersama.

"Nggak salah, nih, lagunya?" Riza mengernyit.

"Lah, si kambing, lawas bener lagunya," komentar Arif sambil berkacak pinggang.

Budi tertawa-tawa melihat Ilham menyanyi dengan suara jauh dari kata merdu. Nada ke mana, suara ke mana. "Kayak bukan Ilham kalo lihat dia nyanyi begitu."

Riza geleng-geleng. "Ham, Ham. Lagu mellow, tapi nyanyinya kayak rocker. Mending nyanyi lagu Ipank atau Seurius sekalian, sih."

"Udah biarin aja, suka-suka yang patah hati, dah," sahut Budi cengengesan.

Dan, selanjutnya, Riza dan Arif yang kisah cintanya pernah sama-sama mengalami kegagalan pun menghampiri Ilham. Ketiganya menggila bersama, menghabiskan suara dengan satu album Ungu, lalu lanjut ke band-band lawas yang pernah begitu terkenal saat mereka SMA. Dengan Budi sebagai penonton yang duduk di sofa sambil menikmati cola.

"Semuanya telah berakhir, antara hatiku dan hatimu .... Takkan ada cinta, seperti yang dulu .... Semuanya telah berakhir, antara diriku dan dirimu .... Takkan ada rindu, seperti yang dulu ...."


 

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Pukul Tiga Pagi
Selanjutnya Pukul Tiga Pagi [11. Masak Berdua]
10
1
Bab 11: Masak Berdua Hanin hanya tersenyum tipis. Sejak resmi menikah, nafsu makannya memang terjun bebas. Padahal, ia tahu melewatkan jam makan hanya memperburuk kondisinya. Sebab, ia harus punya banyak tenaga untuk berpura-pura bahagia, untuk menghadapi mertua dan ... pernikahannya setahun ke depan. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan