Pukul Tiga Pagi [3. Tiga Jari; 4. Satu Tahun]

15
5
Deskripsi

Bab 3. Tiga Jari 

Bab 4. Satu Tahun

Katanya, masa SMA adalah masa paling indah. Ilham sempat percaya itu saat melihat satu per satu sahabatnya jatuh cinta dan memiliki kekasih. 

Ilham pikir, pacaran lama akan menjamin pasangan itu langgeng sampai pelaminan, sampai selamanya. Nyatanya, perpisahan Riza dengan Vinda setelah 8 tahun pacaran, tanpa sadar membuatnya cemas dan akhirnya memilih langkah besar yang cukup gila. 

Gaes, rekomendasiin drakor yg sedih-sedih dong

BAB 3. Tiga Jari

Katanya, masa SMA adalah masa paling indah. Ilham sempat percaya itu saat melihat satu per satu sahabatnya jatuh cinta dan memiliki kekasih. 

Di antara mereka berempat: Ilham, Riza, Budi, dan Arief; hanya Riza yang paling awet pacaran hingga 8 tahun dengan sesama anggota ekskul pencinta alam bernama Vinda. Iya, Vinda, bukan Aira. 

Lalu, Budi bertahan dengan seorang adik kelas bernama Citra, tapi hanya satu tahun. 

Sementara itu, Arief sama seperti Ilham, jomlo selama SMA.

Kalau Arief jomlo karena selalu ditolak cewek, beda dengan Ilham yang hampir tiap bulan dapat pengakuan cinta: lewat surat maupun secara langsung. Hanya saat itu, Ilham merasa pacaran bukan hal yang begitu membuatnya tertarik, apalagi jika sampai menerima salah satu cewek yang terang-terangan mengaku suka. 

Bagi Ilham, seluruh waktunya hanya boleh dihabiskan untuk belajar, membaca buku, mendaki gunung, dan bercengkerama dengan teman-teman.

Begitulah cara Ilham melukis masa SMA-nya, yang ternyata malah keterusan hingga jadi mahasiswa. Jurusan Geografi memang tidak serumit dan sesibuk anak kedokteran, tetapi tetap saja pacaran bukan pilihan Ilham untuk mengisi waktu luang. 

Ilham lebih suka menelusuri setiap rak buku di perpustakaan kampus, menghadiri seminar-seminar ilmiah, acara seni dan budaya, menulis artikel tentang alam dan lingkungan, aktif terjun menjadi anggota mapala dan sukarelawan, hingga mengajar les privat.

Ilham suka kesibukannya dan selalu mendukung hubungan percintaan sahabat-sahabatnya. Hingga suatu hari, sudut pandangnya berubah. 

Ilham pikir, pacaran lama akan menjamin pasangan itu langgeng sampai pelaminan, sampai selamanya. Nyatanya, perpisahan Riza dengan Vinda setelah 8 tahun pacaran, tanpa sadar membuatnya cemas dan akhirnya memilih langkah besar yang cukup gila. 

Ilham mencetak tebal dan menggaris bawahi prinsip barunya: ia tidak mau seperti Riza. Jadi, sesegera mungkin ia melamar Ruby setelah hampir setahun berpacaran. 

Ilham tidak peduli sekesal apa Mami dan Papi saat ia tiba-tiba bilang ingin menikah dan meminta tolong agar kedua orang tuanya mau melamar Ruby untuknya, asalkan Ruby tidak ke mana-mana, selalu dan akan selamanya menjadi miliknya.

“Mas, kayaknya … aku nggak bisa lanjutin ini semua, deh.”

“Nggak bisa lanjutin apa maksudnya?”

“Nikah. Sama kamu.” Ruby menjeda sebentar untuk menghela napas, yang terdengar begitu … resah. “Mas, kamu cinta sama aku, kan? Kalo cinta, tolong jangan tahan aku pergi, ya? Aku … mau kejar cita-citaku, Mas.”

Namun, sejak Ilham mendengar susunan kalimat Ruby malam ini, Ilham bergeming kaku. Ia seperti ditertawakan oleh prinsip yang ia pertahankan mati-matian. Nyatanya, secepat apapun ia ‘mengikat’ Ruby, tetap bukan jaminan Ilham bisa menikahi Ruby.

Sebenarnya, apa yang salah? 

Apa doa Ilham setiap malam untuk kelanggengan hubungan mereka berdua masih kurang khusuk? 

Apa perasaan Ilham untuk Ruby masih kurang besar? 

Apa pengorbanan Ilham untuk menjadi suami Ruby masih kurang banyak? 

Besok, kamu nggak perlu datang ke rumah. Percuma, Mas. Aku nggak bakal ada. Aku udah otw ke bandara.”

Ilham hanya bisa diam mendengarkan Ruby. Bukan karena terlalu rindu dan ingin terus mendengar suara kekasihnya, melainkan lidahnya mendadak gagu. Ada yang terus-terusan berkelebat di kepalanya: wajah lelah Mami dan Papi.

“Aku nggak berharap kamu ngerti, tapi aku yakin kamu pasti inget aku pengin banget bisa go international. Dan, kamu pernah bilang sama aku, supaya aku jangan kayak kamu yang pernah gagal untuk meraih target-target dalam berkarier. Jadi, aku pikir, aku nggak mau lewatin kesempatan ini, Mas.”

“Berapa lama?” Akhirnya, Ilham bisa bersuara juga. Meski berujung dengan nyeri yang menekan kuat dadanya.

“Aku nggak tahu. Mungkin sebulan, dua bulan? Bisa nggak, untuk jangan nunggu aku pulang? Kamu tahu, aku nggak suka diburu-buru, apalagi soal pekerjaan. Aku pasti pulang, kok.”

“Ya tapi, apa harus berangkat sekar—”

“Mas, udah dulu, ya. Nanti, aku kabari lagi.”

Lalu, suara Ruby tidak terdengar lagi. Sambungan telepon benar-benar terputus. Ilham hanya bisa menunduk, menatap nanar layar ponselnya yang mati.

Ibu jarinya bergerak lemah mengusap layar saat satu notifikasi pesan muncul kemudian.

Ruby My Sweetheart

Batreku low :(

Satu yang harus kamu tahu, Mas.

Aku pergi bukan karena nggak sayang sama kamu.

Kalo aku berhasil dapetin job ini, kan kamu juga

yang bangga bisa punya calon istri sehebat aku :)

Oh iya. Selama aku nggak ada, kamu boleh

naik gunung ke mana pun yang kamu mau.

Sialnya, semesta seperti belum mengizinkan Ilham meraung dan menggila gara-gara calon istrinya menggagalkan pernikahan, sebab tiba-tiba salah satu pegawainya datang dengan wajah pucat.

“Mas Ilham, barusan Lintang telepon.” Iren, pegawai Pukul Tiga Pagi yang tidak tahu menahu jika bosnya sedang diserang syok, menyampaikan hal penting yang menurutnya harus segera Ilham ketahui. “Katanya, Lintang baru inget kalo minggu lalu ada pesanan cookies 100 pieces. Buat besok.”

Sementara Adam menganga lebar menatap Iren, Ilham memejam matanya kuat-kuat dengan ekspresi lelah campur kesal. Ia meremas sebagian rambutnya dengan frustrasi, lalu mengumpat berkali-kali dalam hati. 

“Mas Ilham? Mas baik-baik aja, kan?” Adam memberanikan diri bertanya, sebab ia melihat Ilham mulai meremas kemeja bagian dada. “Mas?”

“Saya baik-baik aja,” jawab Ilham lemah. Masih memejam dan enggan menatap Adam. “Tolong tinggalin saya sendiri.”

“Hah? Terus pesanan cookies-nya gimana, Mas?” Iren panik.

Adam langsung membekap mulut Iren. “Ssstt, udah nanti dulu, Ren!” Adam menatap Ilham lagi. “Kalo ada apa-apa, langsung panggil saya, ya, Mas.”

Meski Ilham tidak menjawab, Adam lekas mendorong Iren untuk kembali ke kitchen. Meninggalkan Ilham di sudut ruang baca dekat kaca jendela besar yang menghadap ke taman belakang, yang para pegawai menyebutnya dengan singgasana si bos. 

Sejak awal Pukul Tiga Pagi dibangun, Ilham merancang sudut ruangan itu dengan sedemikian rupa. Senyaman mungkin untuk ia jadikan tempatnya bekerja, lama-lama menatap laptop, atau mengawasi suasana kafe dari kejauhan sambil membaca buku. 

Dan, ternyata sudut favorit ini juga punya fungsi lain, yaitu menjadi tempat terbaik untuknya bersembunyi dan menyendiri saat dirundung stress dan patah hati.

Rasanya waktu seperti berhenti dan sunyi. Hanya ada memori-memori bersama Ruby yang begitu berisik dalam kepalanya, yang bahkan sampai saat ini terdengar begitu indah dan membahagiakan. 

Bagaimana bisa semua itu seperti semu semata sekarang?

“Ilham, pernikahan kamu nggak boleh batal.”

Suara itu muncul dan kembali membawa Ilham pada riuh pengunjung di ruangan, juga bising dialog para pegawai yang beradu dengan bunyi mesin kopi di area bar, sekaligus menyadarkannya bahwa ia tidak lagi duduk di kursinya.

Ilham tertegun, sejak kapan ia menjatuhkan diri duduk bersandar di depan rak buku seperti orang kehilangan semangat hidup begini? 

“Aku. Aku yang bakal gantiin Ruby.”

Apa Ilham tidak salah dengar? Saking kagetnya, ia tidak lagi menunduk dan berani balas menatap seseorang yang berdiri dengan napas tersengal seperti habis berlari ribuan kilometer. 

Namun, sayangnya statement Hanin barusan sungguh gila dan Ilham tidak habis pikir bisa-bisanya Hanin menawarkan diri jadi pengganti.

“Kamu gila, Nin?”

“Pokoknya, kamu harus tetap nikah, Ham. Sama aku.”

“Beneran gila ternyata.” Ilham tertawa jengkel. Dengan gerakan cepat, ia berdiri.

“Ha-Ham?” Refleks, Hanin kaget dan sedikit mundur karena Ilham berdiri terlalu dekat. “Astaga! Ilham, kamu ngapain?” 

Hanin menjerit kaget karena tiba-tiba Ilham mendorong dan menyudutkannya ke rak buku. Lalu, ia terbelalak seraya menahan napas ketika wajah Ilham mendekat hingga jarak hidung mereka hanya sebatas sekitar tiga jari. 

“Kaget?”

Hanin mengerjap. Pertanyaan macam apa itu? “Di-dikit.” YA IYALAH KAGET! Astaga. Pake ditanya.

“Aneh. Kamu pengin kita nikah, tapi baru diginiin doang, udah panik.” Ilham mendengkus sinis. “Nggak usah ngide aneh-aneh, Nin. Kamu pikir aku mau nikah sama kamu?”

“Nggak.”

“Ya terus kenapa ngasih saran segila itu?”

“Mundur dulu, ih!” Aku nggak bisa napas, ya ampun. Hanin mendorong Ilham agar mereka kembali berjarak normal. Saat itu juga, ia mengambil napas banyak-banyak.

“Pulang sana, Nin!”

“Dengerin alasan aku dulu, please.

Ilham menghela napas kesal. Ia bersedekap seraya menatap Hanin tanpa selera, tetapi Hanin tetap merasa terintimidasi.

“Aku ….”

“Aku apa?” timpal Ilham tidak sabaran.

Hanin mendadak ciut, tetapi terus berusaha mengutarakan maksudnya walau dengan wajah tertunduk. Ia sudah duga Ilham tidak akan suka dengan ide yang tiba-tiba muncul dalam kepalanya ini, tetapi nyatanya Hanin tidak seberani itu menghadapi amarah Ilham. 

“A-aku cuma lebih nggak sanggup lihat Bude sama Pakde sedih dan malu karena jadi gunjingan para tetangga. Dan, aku yakin …,” Hanin memberanikan diri menatap Ilham, “kamu juga nggak bakal mau kehormatan orang tua kamu jadi hilang saat tahu putranya gagal nikah karena ditinggal kabur calon istrinya.”

Tawa sinis Ilham muncul lagi. Ia melengos, menarik napas dalam-dalam. Menahan diri untuk tidak menyuarakan umpatannya di depan Hanin. Ia ingin sekali marah pada Hanin yang notabene masih keluarga dekat Ruby, tapi sialnya ucapan Hanin tadi benar semua dan tidak bisa dibantahnya.

Ingatan Ilham melayang pada momen dialog saat ia meminta Mami agar pernikahan sesegera mungkin dilangsungkan dan jelas-jelas membuat Mami marah besar. Ini gara-gara Ilham saking takutnya kehilangan Ruby.

Apa ini balasan dari Tuhan atas pertengkarannya dengan Mami kala itu? Salahkah jika Ilham ingin segera menjadikan Ruby miliknya selamanya?

“Ham? Besok tetap datang ke rumah, ya?” pinta Hanin dengan wajah begitu memohon.

Ilham melirik dan berkata, “Nggak.”

“Ilham ….” Hanin merengek lelah, lalu menghela napas sedih dan frustrasi saat permintaannya diabaikan. Ilham meninggalkannya begitu saja.

**

Hanin cukup lama berdiri di depan pelaminan yang telah selesai dihias, bertema rustic kekinian sesuai dengan request Ruby. 

Kain-kain tenda bernuansa putih-peach juga sudah terpasang rapi, lengkap dengan rangkaian bunga segar warna putih yang terhias di beberapa sudut ruangan. Pandangan Hanin menunduk, lalu menemukan meja akad nikah yang juga sudah tertata lengkap dengan kursi-kursinya.

Semuanya sudah siap. Bagaimana mungkin Ruby semudah itu pergi meninggalkan pernikahan impiannya?

Hanin melangkah lesu menuju kamar Bude Yuni. Kehadirannya pertama kali disadari oleh Pakde Danang yang tengah memijati kaki Bude Yuni. Sesuai dengan rencana—juga keahliannya dalam berpura-pura berlaku baik-baik saja, Hanin tidak akan menampilkan wajah putus asanya. Ia tidak boleh menambah pikiran bude dan pakdenya.

Hari ini pasti hari yang berat untuk keduanya.

“Kamu dari mana aja baru pulang jam segini?” tanya Pakde Danang, masih sambil memijat kaki Bude Yuni. “Cari Ruby?”

Ah, Pakde Danang pasti sudah tahu tentang insiden beberapa jam lalu.

Hanin melirik jam tangan, jarum panjangnya menujuk pada angka 11. Ia pun tersenyum seraya menatap Bude Yuni. Senang rasanya mendengar Pakde Danang masih mencemaskannya ketika semua orang memusatkan perhatian pada Ruby.

“Gimana keadaan Bude, Pakde?”

Pakde Danang menghela napas. “Bude nggak mau makan dari tadi, Nin. Adikmu itu benar-benar tega karo ibune.” (sama ibunya)

Sepertinya, percapakan singkat Hanin dengan Pakde Danang mengganggu istirahat Bude Yuni, sampai-sampai Bude Yuni terbangun dan menangis lagi begitu melihat Hanin.

“Bude, jangan nangis lagi,” pinta Hanin seraya menggenggam tangan Bude. 

“Ruby mana, Ndhuk?”

Hanin menghela napas panjang dan berat agar bisa menahan air matanya tetap berada di tempatnya, tidak ikut jatuh dan menambah sesak Bude Yuni. “Bude, maaf. Hanin … belum bisa ajak Ruby pulang.”

Tangis Bude Yuni pun terdengar lebih menderu-deru. Tangan Hanin tidak lagi digenggam Bude Yuni karena sekarang wanita paruh baya itu sibuk mengusap sisi kiri dan kanan wajahnya dengan begitu nelangsa. 

Melihat hal itu, air mata Hanin tidak kuat bertahan dan akhirnya lebur juga. 

“Bu, wis tho.” Pakde Danang pindah posisi guna merangkul istrinya, menyemangati. 

Meskipun Hanin bisa lihat Pakde Danang juga sedih dan tidak berdaya, pasangan paruh baya itu seperti sedang sama-sama saling mengadu dan menguatkan, seakan-akan menghadapi bencana bersama esok hari. 

“Percuma nangis sampe besok. Anakmu ora bakal mulih.” (Anakmu nggak bakal pulang)

“Ruby pasti pulang kok, Bude. Tapi …, mungkin bukan besok.” Hanin menyela di antara percakapan Pakde Danang. “Ada yang harus Ruby urus dan … Bude sama Pakde cuma perlu doain supaya Ruby baik-baik aja. Nggak ada masalah apa pun.” 

“Hanin tahu Ruby pergi ke mana?”

Hanin mengangguk menjawab pertanyaan Pakde Danang. “Bude sama Pakde jangan sedih lagi, ya? Mau kasih kepercayaan buat Hanin sekali lagi nggak?” Hanin berusaha tersenyum di antara bibir yang bergetar menahan perih di dada melihat orang tua yang merawatnya sejak kecil tampak begitu terluka. “Acara pernikahannya nggak batal kok.”

“Maksud kamu gimana?” Lagi, Pakde Danang bertanya. Sebab isak terlalu hebat menyerang Bude Yuni hingga membuatnya kesulitan bicara.

“Besok, Hanin yang bakal gantiin Ruby.”

Piye, Ndhuk?” Kali ini, Bude Yuni yang bertanya. Saking kagetnya sampai-sampai duduknya menegak dan mencengkeram lembut tangan Hanin. 

Namun, setidaknya Hanin senang akhirnya Bude Yuni bisa berhenti menangis. 

Hanin tersenyum seraya balas menggenggam erat kedua tangan budenya. “Tolong restui Hanin, ya, Bude?”

“Hanin,” Bude tampak gusar menatap Hanin, “Bude … bukannya ndak mau merestui kamu, tapi ini bukan tanggung jawabmu, Ndhuk. Kamu nggak perlu menggantikan Ruby, kamu nggak perlu membela kesalahan Ruby dengan cara kayak gini.”

Hanin menggeleng. “Hanin lakuin ini semua bukan buat Ruby, tapi buat Bude dan Pakde. Lagi pula, semua akan terasa lebih gampang kalau Hanin yang gantiin. Kita nggak perlu repot nanya persetejuan Ayah sama Ibu, kan? Hehe. Soal wali nikah pun, bisa langsung diwakilikan oleh penghulu.” Hanin menoleh pada Pakde Danang. “Nanti tolong dibantu ngomong sama penghulunya, ya, Pakde?”

“Duh Gusti ….” Pakde Danang mengusap air matanya yang tiba-tiba menetes. Perasaannya tidak karu-karuan jika Hanin sudah menyinggung almarhum kedua orangtuanya.

“Jadi, Bude sama Pakde nggak boleh sedih lagi, ya? Bude sama Pakde harus bahagia lihat Hanin nikah. Oke?”

“Tapi, Ndhuk—

“Bude, Hanin beneran nggak apa-apa. Percaya sama Hanin.” Lalu, Hanin tersenyum lebar agar Bude Yuni dan Pakde Danang semakin percaya. 

Lagi pula, itu benar. Hanin sudah memikirkannya matang-matang. Kondisinya yang sebatang kara menjadi satu-satunya pilihan yang mudah agar pernikahan besok tetap berlangsung.

Hanin—maupun bude dan pakdenya—tidak perlu repot mencemaskan kesedihan orang tuanya yang akan merasa rugi jika ia menjadi pengantin pengganti. 

Hanin ikhlas, terpenting Bude Yuni, Pakde Danang, dan keluarga besarnya tetap bisa bersuka cita menyambut hajat pertama ini. 

Bude Yuni dan Pakde Danang sempat saling berpandangan dengan gurat cemas dan bingung. Mereka memang pusing dan stress sekali menghadapi Ruby yang tiba-tiba pergi dan membatalkan pernikahan. Namun, mereka juga tidak sepenuhnya bisa lega saat tahu Hanin harus mengorbankan diri demi acara tetap berjalan.

Tidak bisa dipungkiri, perasaan bersalah menelusup ke dalam hati Bude Yuni dan Pakde Danang. Namun, Hanin seperti begitu yakin dan bersikukuh jika niatnya harus terlaksana. 

Di antara kebimbangan yang lebih condong untuk akhirnya menerima ide Hanin, Bude Yuni memberanikan diri untuk bertanya.

“Hanin, Ilham gimana? Dia sudah tahu soal ini? Kamu yakin Ilham setuju?”

Dan Hanin hanya bisa menampilkan senyum tipis yang beriring dengan helaan napas resah.

Gaes, rekomendasiin drakor yg sedih-sedih dong

BAB 4. Satu Tahun

Melihat Ilham masih berkeliaran di kafe hingga selarut ini, Adam berhenti memasukkan cookies ke mika kemasan. “Mas, mending Mas pulang, istirahat. Nggak ada yang perlu Mas Ilham cemasin lagi. Cookies juga udah ready semua, tinggal dikemas. Besok bisa diantar sama Lutfi jam 8 pagi.”

Tatapan tajam Ilham tidak berhenti mengawasi area kitchen. Pesanan cookies sebanyak 100 pieces untuk diambil besok pagi yang sempat membuatnya stress bukan main beberapa jam lalu, kini sudah matang semua. Bahkan para pegawainya bilang, rasanya jauh lebih enak dari buatan Lintang. 

“Mas Ilham, cookies-nya masih sisa banyak. Mau bawa pulang nggak?” tanya Iren yang tengah membantu Adam. “Atau, buat Mbak Hanin.” 

Helaan napas Ilham terembus berat dan disusul dengan decakan pelan begitu mendengar nama Hanin disebut-sebut. Namun, ia sedang tidak mau ambil pusing. “Simpan aja buat stok besok. Siapa tahu ada pengunjung yang order. Saya pulang dulu.”

“Oh gitu?” Iren masih kebingungan, merasa kurang puas dengan keputusan bosnya. 

Pasalnya, Hanin yang bukan pegawai dan tadi datang dalam keadaan kacau dan terlibat pertengkaran singkat dengan Ilham, malah sempat-sempatnya membantu membuat cookies hingga jadi sebanyak ini—lebih dari jumlah pesanan.

Jadi, maksud Iren, sepertinya tidak apa-apa jika Hanin mendapat beberapa pieces cookies buatannya untuk dinikmati di rumah sebagai ganti dari jasanya yang tidak dibayar. 

Btw, semangat buat besok, ya, Mas! Kita pasti datang ke acara nikahan Mas Ilham kok,” seru Adam, yang hanya mendapat balasan senyum tipis sebelum Ilham benar-benar keluar pintu kafe.

Sepanjang perjalanan pulang, Ilham mengendarai motor dengan pelan, sebab suasana hatinya sedang berantakan sekali. Setelah tadi dibuat sibuk dengan banyak hal di kafe sampai tidak sempat memikirkan patah hatinya, kini ia baru merasa begitu lelah dan … sedih sendiri.

Ruby, calon istrinya pergi. Gadis itu membatalkan pernikahan dengan alasan yang memaksa Ilham untuk paham dan mengerti.

Sungguh, Ilham bahagia melihat Ruby bersemangat meraih cita-citanya. Hanya saja, apa harus sampai mengorbankan pernikahan mereka begini?

Ah, bukan. Namun, mengapa Ruby harus berubah pikiran untuk lanjut menerima job yang sudah ia tolak jauh-jauh hari itu, di H-1 pernikahan?

Apa Ruby tidak percaya dengan janji Ilham yang tidak keberatan dan akan terus mengizinkan Ruby berkarier sebagai model setelah menikah? 

Jadi, Ilham salah di bagian mana sampai Ruby tega mengambil keputusan sepihak seperti ini?

“Kamu nggak lupa, kan, besok mau nikah, Ilham?” 

Pertanyaan Mami sontak menyadarkan Ilham dari lamunan. Bayang-bayang Ruby saat bersamanya perlahan sirna. Tergantikan dengan wujud Mami yang berdiri di depan sofa ruang tengah.

Ada yang Ilham tidak tahu, jika sejak tadi sang mami menunggu putranya pulang. Ibu manapun akan cemas memikirkan mengapa anaknya belum juga pulang hampir tengah malam, sedangkan besok pagi akan melangsungkan akad nikah.

“Mami belum tidur?”

“Mami nunggu kamu.” Mami menghela napas. Sedikit lega akhirnya Ilham sampai rumah. “Bukannya Mbak Alin yang bakal gantiin kamu sementara di kafe, Nak? Kenapa masih kerja sampai jam segini? Kamu harus lekas istirahat, persiapkan diri untuk besok. Nggak lucu dong besok anak Mami punya mata panda pas ijab kabul?” 

“Iya, Mi.” Ilham tersenyum tipis. Kalimat terakhir Mami lumayan berhasil menggelitik hatinya. “Ilham permisi ke kamar dulu kalo gitu, Mi.” Usai mencium punggung tangan Mami, ia segera meluncur ke kamar.

“Kamu nggak apa-apa? Sakit, ya?” Mami jadi tambah cemas begitu melihat Ilham lebih dekat. Wajah putranya lesu. Sangat tidak menggambarkan ekspresi bahagia seseorang yang besok akan menikah.

“Ilham sehat kok, Mi. Cuma agak capek aja.” Lagi, Ilham tersenyum. Berusaha terlihat baik-baik saja, seperti biasa Mami melihatnya.

“Mami buatin teh hangat, ya? Atau susu?”

Ilham menggeleng. “Tadi udah banyak minum teh sama cokelat di kafe, Mi. Ilham mau langsung tidur aja.”

Mami mengangguk. “Ya udah. Besok, perias bakal datang pagi-pagi. Rombongan keluarga yang nganter ngebesan juga. Jadi, jangan sampai bangun kesiangan, ya?” 

Ilham dan Mami pun akhirnya masuk kamar masing-masing. Begitu Ilham menutup pintu dan menguncinya, tubuhnya merosot terduduk di balik pintu. Air matanya tiba-tiba meledak dan sesak menyerang dadanya dengan begitu hebat.

Bukan, ini bukan sesak akibat asma yang Ilham derita. Ini sesak karena ia sadar Ruby tidak lagi ada dalam jangkauannya. Jika tahu sesaknya sampai sesakit ini gara-gara ditinggal calon istri, Ilham lebih memilih hampir mati karena inhaler kadaluwarsa. 

Ilham mendongak, menatap langit-langit kamar dengan wajah basah air mata. Kemudian, tatapannya bergeser sedikit dan tanpa sengaja malah bertemu dengan beskap putih yang menggantung gagah di hadapannya. Sontak, ia memejamkan mata dengan perasaan putus asa. 

Erang tangis yang seharusnya bisa lepas, terpaksa Ilham tahan dan bekap kuat agar jangan sampai kedengaran Mami dan Papi di luar.

Saat Ilham sedang sibuk menepuk-nepuk dadanya dengan isak yang mulai membuatnya lelah, ia merasakan ponselnya bergetar. Nama Hanin muncul lagi dan lagi di layar ponselnya. Lalu, sama seperti sebelumnya, telepon dari Hanin akan berhenti dengan sendirinya sebelum Ilham menjawabnya.

Lagi pula, Ilham memang benar-benar tidak berniat menjawabnya.

Sebuah pesan dari Hanin pun kembali Ilham terima, untuk kesekian kalinya.

Hanina Gauri

Besok, aku tetap bakal nunggu kamu dateng, Ham.

Tolong pikirin lagi kata-kataku tadi.

Ilham menghela napas lelah dan berat dengan bibir bergetar. Ia memegangi kepalanya, memejamkan mata dan menggeram tertahan ketika tahu tidak punya pilihan selain menyepakati penawaran Hanin.

“Ren, telepon customer. Coba kasih penawaran supaya mau ganti pesanan. Kita jelas nggak bisa bikin cookies 100 pieces malam ini.” Begitulah perintah Ilham pada Iren saat Hanin datang menyerahkan diri menjadi pengganti Ruby beberapa jam lalu. “Kalau tetap nggak mau, kita refund aja. Mau gimana lagi, cuma Lintang yang bisa bikin cookies.”

Cookies?” Hanin bukan bermaksud tidak sopan, ikut campur ke urusan dapur bisnis Ilham. Namun, suara Ilham cukup lantang sampai-sampai Hanin bisa mendengarnya. “Refund? Kenapa? Nggak sayang kalau pesanan segitu banyaknya dibatalin?”

Pattisier kami lagi opname, Mbak,” jawab Iren.

“Ren, siapa yang suruh kamu cerita-cerita masalah kafe sama orang lain?”

“Eh, maaf, Mas.” Teguran Ilham barusan langsung membuat Iren merasa bersalah. Dalam hati ia merapal doa agar gajinya jangan sampai kena potong!

“Hmm, gitu.” Hanin mengangguk-angguk. “Padahal bikin cookies gampang, loh.”

“Mbak bisa bikin cookies?” Adam tiba-tiba antusias. 

“Bisa,” jawab Hanin. “Mau aku bantu nggak?”

“MAU, MBAK—”

“Nggak!” Ilham berdiri di depan Hanin, menghalangi pandangan Hanin dengan para pegawainya yang menatap penuh harap. 

Ilham segera menarik Hanin kembali ke sudut ruang baca, menatap sang calon kakak ipar dengan kesal. 

“Aku tahu, ya, niat kamu, Nin. Kamu mau bikin aku balas budi dengan nikah sama kamu karena kamu udah bantu bikin cookies di sini, kan?”

“Ilham memang selalu cerdas dari dulu.” Hanin tersenyum, lalu menghela napas sebentar. “Kalo kamu pikir … aku mau nikah sama kamu, kamu salah, Ilham. Kalo boleh milih, aku juga nggak mau kita nikah.”

Jangan lupakan soal Adrian yang diam-diam Hanin harapkan bisa menjadi pendamping hidupnya. 

“Tapi, kita nggak punya pilihan, Ham. Semua demi orang tua kita kok. Memangnya kamu siap, nanggung malu karena mami papi kamu terus-terusan digibahin sekeluarga besar dan temen-temennya yang datang besok, gara-gara kamu gagal nikah? Gara-gara putra mereka ditinggal sama calon istrinya?”

Ilham memejamkan matanya erat, menunduk. Pening kepalanya berdenyut saling bergantian dengan nyeri hatinya. Namun, kedua tangannya tetap bertahan untuk berkacak pinggang daripada memperlihatkan wajah pusingnya dengan sibuk menekan pelipis.

“Ilham, please.” Hanin mencengkeram lengan kemeja Ilham yang terlipat sebatas siku. “Tolong bantu aku. Kamu tetap jadi pengantin laki-laki dan sebut nama aku saat ijab kabul. Ya?”

“Nggak. Kalo aku nikah sama kamu, sama aja aku berkhianat sama Ruby. Apalagi Ruby pergi karena ngejar cita-cita, bukan selingkuh atau apa pun itu.”

Hanin tertegun. Merasa ada yang janggal dengan ocehan Ilham.

“Aku tahu job yang bikin Ruby pergi. Sebelum nikah, dia sempat nolak tawaran itu dan lebih pilih nikah sama aku. Tapi, ternyata … dia berubah pikiran. Gimana bisa aku tetep nikah sama orang lain, sedangkan seharusnya aku dukung pilihannya, kariernya? Iya, kan?”

“Ruby cuma bilang soal job itu sama kamu?”

Ilham mengangguk. 

“Nggak ada lagi yang lain?” Tentang dia yang balikan sama Dikta? 

“Nggak ada.”

Hanin mengerjap heran. Jadi, Ruby menyembunyikan soal balikan dengan si mantan pada calon suaminya? Astaga, jadi Ilham tidak tahu kalau dia sedang dibohongi habis-habisan?

Ruby benar-benar keterlaluan. Meskipun sepupu, Hanin tetap tidak setuju dengan ketidakjujuran yang Ruby lakukan.

“Ilham—"

“Nin. Berhenti maksa aku!” 

Tapi Ruby udah mengkhianati kamu lebih dulu, Ham. Itu yang ingin Hanin utarakan. Namun, Hanin akhirnya memilih diam dan menghela napas lelah. Ia mengusap wajahnya kasar, putus asa. Percuma kayaknya memberi tahu Ilham sekarang. 

“Aku nggak minta kamu lupain Ruby, Ham.” Namun, Hanin tidak mau menyerah begitu saja. Ia menatap wajah marah Ilham dengan segenap keberanian yang ia punya. “Aku nggak minta kamu berhenti cinta sama Ruby. Aku sadar diri, aku cuma pengganti. Tapi, tolong kasih aku waktu, satu tahun, sampai keadaan membaik. Sampai orang tua kita siap buat dengar kabar perceraian kita.”

“Satu tahun? Gila.”

Namun, beberapa detik kemudian Ilham tertegun dan terdiam kala menatap Hanin begitu serius bicara. Seolah-olah kata demi kata yang terucap memang Hanin persiapkan dengan sematang mungkin. 

Melihat mata teman seangkatannya itu tampak berkaca-kaca, bahkan sekilas bibir Hanin terlihat berkedut agar mampu menahan senyumnya tidak terukir ke bawah, entah bagaimana, Ilham seperti diberitahu bahwa Hanin juga sakit sepertinya.

“Aku janji, semua ini hanya sementara.” Hanin menunduk, sebab ia tidak mau Ilham melihat air matanya menitik. “Dan, aku janji, bakal kembaliin sebagian biaya pernikahan yang udah kamu keluarin buat Ruby, karena aku nggak berhak menerimanya.”

Ilham masih bergeming saat Hanin kembali menatapnya sambil tersenyum. Seolah-olah gadis itu baik-baik saja. Seolah-olah kejadian hari ini bukanlah masalah besar. 

Ilham bahkan tidak lagi menahan atau melarang kala Hanin melangkah menuju bar, berputar memasuki area kitchen dan siap membantu pegawainya membuat cookies.

“Mempelai laki-laki sudah siap? Saksi siap?” 

Suara penghulu pada microphone membuyarkan lamunan panjang Ilham tentang semalam. Tentang lukanya yang belum menemukan obat untuk sembuh, tetapi dipaksa untuk tetap kuat dan terlihat baik-baik saja.

“Mari kita mulai akadnya, ya.” Aba-aba itu semakin menyadarkan Ilham bahwa tidak ada lagi waktu untuk melamun pada hal yang sudah-sudah. 

Ilham telah memilih untuk datang, untuk duduk di hadapan wali, saksi, dan penghulu, untuk membuat Mami dan Papi kebingungan karena bukan nama Ruby yang tersebut saat ijab kabul.

Tidak berapa lama kemudian, Ilham mendengkus sebal ketika melihat Hanin melangkah pelan, keluar dari ruangan dengan wajah semringah, seolah-olah hari ini memang hari pernikahannya. 

Harusnya kamu yang ada di samping aku, By. Bukan kakak kamu.

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Pukul Tiga Pagi
Selanjutnya Pukul Tiga Pagi [5. Keos]
14
0
Bab 5. KeosKedua tangan Ilham mengepal erat selama bersimpuh di hadapan orang tuanya. Tatapannya hanya mampu tertuju pada lutut Mami yang tertutup kain songket, menghindari kontak mata orang tuanya yang menuntut sebuah penjelasan.Acaranya bisa cepat selesai nggak, sih? keluh Ilham dalam hati. Ia benar-benar tidak nyaman berada di tengah keramaian hari ini. Sebab hatinya merasa sepi, kosong. Ruby seperti berhasil membawa jauh seluruh bahagia setengah hidupnya. 
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan