Pukul Tiga Pagi [13. Tempat Bersembunyi; 14. Buka-Bukaan]

11
0
Deskripsi

Bab 13. Tempat Bersembunyi

Bab 14. Buka-Bukaan

Namun yang terjadi begitu Hanin memasuki Kaldera adalah, jantungnya seperti mencelus terjun bebas, ketika menemukan Ilham ada di salah satu sudut Kaldera, tampak berbincang dengan Riza, entah tentang apa.

[BAB 13. Tempat Bersembunyi]

Suasana Pukul Tiga Pagi sedang tidak terlalu ramai saat Hanin datang. Namun, kedatangannya cukup membuat kaget beberapa karyawan di sana, terutama Adam. Laki-laki itu sampai menghampirinya dengan langkah terburu dan wajah terheran-heran. 

“Mbak? Lho? Eh, bukannya Mas Ilham lagi cuti honeymoon? Mbak Hanin kok di sini?” Kira-kira begitulah pertanyaan penuh nada kebingungan yang Adam lontarkan.

Dan, Hanin sambut dengan senyuman, tanpa perlu menjelaskan apa-apa tentang ia yang tidak ikut Ilhamnaik gunung—cuti honeymoon.

Meski sebetulnya, Hanin tahu betul, Adam dan karyawan lainnya pasti sangat butuh penjelasan tentang mengapa Ilham akhirnya malah menikah dengannya, bukan dengan Ruby. Hanin yakin sekali, Ruby pasti sering ke sini dan orang-orang tahu bagaimana rupa calon istri Ilham.

“Aku cuma mampir sebentar, kok. Mau nyumbang buku ke sini.”

“Oh? Iya, iya.” Adam tampak masih linglung. “Silakan, Mbak. Oh iya, Mbak Hanin mau minum apa? Saya buatin.”

“Hmm,” Hanin bergumam sebentar sambil melihat papan daftar menu yang tertulis di bagian dinding atas bar, “Hot choco, deh.”

Setelah menyampaikan pesanannya, Hanin menoleh lagi ke arah bar. Ia tersenyum ramah seraya mengangguk kecil pada beberapa karyawan yang pernah membuat cookies dengannya beberapa hari lalu. Mereka sama seperti Adam, tampak terheran-heran memandanginya. 

Hanin pun permisi, lalu melangkah menuju rak-rak buku di salah satu sudut kafe. Sekilas, ingatannya tentang bagaimana ia memohon agar Ilham mau menikah dengannya tempo hari berkelebat lagi dalam kepalanya. 

Permohonan yang ia pikir membawa hal baik, yang ternyata malah menyeretnya pada situasi serba salah dan … sedikit membuatnya susah. 

Namun, tidak apa. Hanin tidak menyesal melakukannya. Setidaknya, acara pernikahan berjalan lancar dan “keributan” yang sempat terjadi tidak diketahui para tamu.

Terpenting, Bude Yuni dan Pakde Danang tidak menjadi bulan-bulanan gosip jelek tetangga karena hajatnya batal.

Begitu juga Mami dan Papi, yang kehormatan keluarganya tetap terpandang oleh seluruh rekan dan kerabat karena puteranya tidak batal melangsungkan akad pernikahan karena ditinggal calon istri.

Biar Hanin menyimpan segala sedihnya sendiri. Biar Hanin mengurus segala susahnya sendiri.

Seperti sekarang, Hanin mengeluarkan novel pemberian Adrian dari tasnya. Perlahan, ia membuka plastik segel buku itu, lalu menatapnya lama.

Izinkan Hanin menikmati waktu yang sebentar ini untuk memandangi hadiah dari laki-laki yang akhir-akhir ini mengisi tiap sudut ruang hatinya dengan getar kebahagiaan dan debar jatuh cinta. Karena setelah ini, Hanin berjanji akan melepas semuanya yang tidak ditakdirkan menjadi miliknya.

Karena sekarang, Hanin harus sadar diri, meski terpaksa, ia tetap seorang perempuan bersuami. Ada seorang laki-laki bernama Ilham Kavi Samudera yang memilikinya, seluruh hidupnya, dengan sah di mata Tuhan. Ilham punya kuasa paling tinggi atas dirinya.

Jadi, Hanin meletakkan novel itu ke sela-sela di antara jejeran buku di kolom rak yang sejajar dengan dadanya. Ia membaca sekali lagi judul dan nama penulis novel yang sama sekali belum pernah ia baca isinya, lalu mengenang lagi bagaimana Adrian memberikannya kala itu.

Hanin masih ingat rasa bahagianya, antusiasme saat menerimanya, juga binar tatap dan senyuman Adrian malam itu padanya. Sampai-sampai dalam hati, Hanin menjerit, “Mas, saya suka sama kamu. Suka banget. Mau pacaran sama saya nggak?”

Semalam, tanpa sepengetahuan Bude Yuni, Hanin diam-diam mengambil novel itu dari rak buku dan membawanya ke rumah Ilham. Ide menyumbangkan buku ini ke Pukul Tiga Pagi terlintas begitu saja saat masih packing di kamar. 

Setidaknya, Hanin juga ingin Bude Yuni tidak ikutan terlalu lama berlarut masih teringat Adrian jika melihat buku ini masih ada di kamarnya.

Ya, bukan hanya Hanin yang patah hati. Setahunya, Bude Yuni juga menyukai Adrian dan berharap ada takdir baik untuk Hanin dengan Adrian ke depannya.

“Maafin saya, Mas,” ucap Hanin pelan. Sangat pelan, sebab ada nyeri yang mengimpit dadanya kala ia terus-terusan mengingat Adrian, sedangkan kondisinya tidak lagi boleh mengharapkan pria itu. “Saya nggak bisa simpan novel dari Mas lagi. Novelnya saya taruh di sini supaya dibaca banyak orang yang datang, ya. Supaya lebih bermanfaat.”

Hanin buru-buru menunduk saat genangan air matanya tumpah tanpa perintah. Telunjuknya menyeka sudut-sudut matanya yang basah. Sambil berulang kali menarik napas dalam-dalam. Sambil mengingat-ingat janjinya, ia tidak boleh menangis pada segala hal yang ia terima saat ini. Segala risiko atas pilihannya sendiri. 

Tolong, jangan datang ke mimpi saya lagi. Atau jangan nyapa saya lagi kalo kita ketemu. Saya … udah nikah, Mas. Saya nggak boleh masih suka sama Mas. Kalo Mas masih nawarin saya pulang bareng terus, saya takut nggak bisa move on dari Mas.

Hanin tidak mampu lagi menyuarakan kata-katanya karena sekarang isaknya nyaris meledak lepas. Sebelum sesaknya yang tertahan mulai memancing banyak perhatian, ia menarik napas dalam dan menengadah. 

“Udah, Hanin. Udah, yuk?” Hanin menepuk lembut dadanya sendiri, menyemangati diri sendiri.  “Kenyatannya, kamu tuh nggak jodoh sama Mas Adrian. Jadi, berhenti nangis, berhenti ngarep! Oke?”

Beruntung lorong rak-rak buku sedang sepi. Beruntung rak buku mampu menyembunyikan wajah menyedihkan Hanin. Beruntung musik di kafe berjalan nonstop sehingga cicit tangisnya teredam sempurna.

“Astaga? Hanin? Beneran Hanin?”

Suara keras itu membuat Hanin refleks menoleh ke kiri, lalu menunduk dan menyeka air matanya secara asal dan terburu-buru. Seorang wanita dengan setelan celana jeans, kaus salem dan cardigan warna senada tengah melangkah tergesa menghampirinya, wajahnya tampak kaget campur bingung. 

Usai yakin sisa-sisa air matanya terhapus sempurna, Hanin segera tersenyum ceria seperti biasanya. Mengabaikan begitu saja bulu matanya yang masih basah. 

“Hai, Mbak Alin! Kamu—”

“Demi Tuhan! Kamu kok di sini?” cerocos Alina seraya menggapai kedua lengan Hanin, masih dengan wajah bingung menuntut banyak penjelasan. “Bukannya kamu sama Ilham lagi honeymoon? Naik gunung berdua? Makanya Mami nginep di rumahku karena kesepian?”

***

Katakanlah, sejak pagi suasana hati Hanin tidak baik-baik saja. Namun, seperti biasa, Hanin berusaha mengabaikannya dengan sibuk bekerja di klinik.

Hanin pikir, dengan bertemu beberapa anabul lucu yang membutuhkan perhatiannya bisa menghibur perasaanya menjadi lebih baik. Nyatanya, itu hanya sementara. Begitu jam kerjanya selesai, Hanin masih merasa sesak.

Hanin bingung, mengapa beberapa hari terakhir ia seperti kehilangan kekuatan untuk berpura-pura baik-baik saja?

Beberapa kali rekan kerjanya memergokinya sedang melamun dengan wajah murung di klinik. Atau seperti saat jam istirahat tadi, saat Bu Lavina—dokter hewan senior sekaligus pimpinan Rumah Bulu—mentraktir dan membagikan yakiniku beef bowl Yoshinoya ke seluruh staff dan Hanin ketahuan lebih banyak diam daripada menyantap makan siangnya.

Sampai-sampai Bu Lavina menyuruhnya datang ke ruangan usai makan siang, lalu Hanin mendengar wanita berusia 40 tahunan itu berkata, “Dokter Hanin kayaknya butuh cuti, deh. Rehat sejenak, nikmati waktu buat … honeymoon. Seminggu, cukup?”

Dengan baik hati, Bu Lavina memberikan Hanin jatah cuti sebagai pengantin baru. Sekalipun Hanin tidak mengiakan tawaran tersebut. Sekalipun Hanin tidak menanggapi apa-apa saat Bu Lavina menggodanya dengan kalimat, “Saya maklum, pengantin baru emang butuh banyak waktu untuk penyesuaian. Pasti masih banyak kagetnya, apalagi ngatur waktu di kehidupan yang baru. Termasuk ngatur waktu tidur dan bangun tidur, seringnya suka kesiangan karena malemnya begadang berdua.”

Haha. Benar. Hanin terhitung selalu begadang setelah menikah. Untuk menangis tanpa suara sendirian.

Setelah menggenggam jatah cuti itu, Hanin belum kepikiran apa-apa harus menggunakan waktu libur kerjanya dengan bagaimana. Namun, setidaknya, ia bersyukur Tuhan memberikan cara terbaik untuknya berjarak dengan Adrian.

Pria itu … mungkin akan datang lagi ke sini, menitipkan anabulnya sekalian menemui Hanin sepulang jam kerja.

Lalu, Hanin memilih mengunjungi Pukul Tiga pagi sebagai langkah pertamanya membereskan segala hal yang mendadak jadi berantakan dalam hidupnya. Ia harus merelakan semua yang berhubungan dengan Adrian, salah satu caranya dengan tidak menyimpan apa pun yang pernah Adrian beri untuknya.

Setelahnya, Hanin pikir hatinya akan sedikit lebih membaik, karena satu rasa bersalah pada suaminya sudah terlepas. Karena jika Hanin masih terbayang dan terhubung dengan Adrian jelas kesalahan, bukan? Lalu, mengapa yang terjadi justru lebih sesak?

“Mami ada di rumahku.” 

Dan … ucapan Alina menjadi pembuka rasa sesak yang kian bertambah dalam hati Hanin. 

“Sejak kemarin pagi, Mami ke rumah, lalu bilang mau nginep,” lanjut Alina. “Aku pikir, Mami bilang mau nginep karena Papi ada dinas ke Surabaya dan kamu pergi bulan madu sama Ilham. Jadi Mami pasti kesepian di rumah sendirian. Demi Tuhan, aku nggak tahu kalau kamu nggak jadi pergi sama Ilham, Nin.” 

Entah bagaimana, saat mendengar cerita kakak iparnya, telinga Hanin terasa berdenging. Ia sampai merasa pusing. 

Diam-diam, tangan Hanin mengepal di bawah meja, saat denyut nyeri itu datang menghantam dadanya. Saat dengan sendirinya menyadari, jadi ini alasannya mengapa semalam Hanin sendirian di rumah besar yang masih asing itu?

Hanin terjaga semalaman, gelisah sendirian. Namun, sesekali ia juga bertanya-tanya, kenapa Mami belum pulang? Lalu berujung dengan, Mami pergi ke mana, ya, kok nggak pulang? 

Pertanyaan-pertanyaan itu terus tercetus dalam kepala Hanin, berjubelan dengan niatnya yang ingin sekali menghubungi Bude Yuni dan mengaku takut berada di rumah besar itu sendirian. Namun, berakhir urung. Hanin memilih menelan ketakutannya sendirian, karena teleponnya malam-malam hanya akan membuat bude dan pakdenya cemas.

Hingga akhirnya, Hanin meringkuk terlelap dengan sendirinya di sofa ruang tengah karena kelelahan menghadapi takutnya. 

“Kalo tahu kamu ada di rumah—sendirian, aku pasti suruh Mami pulang, Nin. Atau malah, aku ikut nginep di rumah Mami.”

Hanin lekas menampilkan senyum, berusaha memberi tahu Alina bahwa kesendiriannya semalam bukanlah masalah besar. “Nggak apa-apa, Mbak. Mami pasti belum nyaman ada orang asing di rumahnya.”

“Orang asing?” Alina mengangkat kedua alisnya tak percaya. “Kamu maksudnya?”

Hanin hanya tersenyum tipis. 

“Hanin, kamu bukan orang asing.” Alina menekankan suaranya, berharap Hanin tahu ia sedang marah dan tersinggung dengan ucapan Hanin tadi. “Kamu itu menantu di keluarga kami. Bukan orang asing. Jangan ngomong kayak gitu lagi. Oke?”

“Maaf, Mbak.”

“Nggak, nggak. Kamu nggak perlu minta maaf, ya Tuhan. Justru aku yang harusnya minta maaf.”

Hanin menggeleng, masih sambil tersenyum. “Lho, kok jadi Mbak—”

“Aku mewakili Mami, minta maaf sama kamu.” Alina menghela napas sebentar, jadi resah sendiri menyadari sikap buruk ibunya. “Nggak seharusnya Mami ninggalin menantunya sendirian di rumah kayak gitu. Maafin Mami, ya, Nin?”

“Mbak, aku nggak apa—”

“Biar nanti aku yang bicara sama Mami, supaya Mami mau pulang.”

“Nggak usah, Mbak. Aku serius, aku nggak apa-apa. Biar aja kalau Mami masih pengin nginep di rumah kamu.”

“Tapi kamu sendirian, Nin. Terus, Ilham kapan pulang? Anak itu benar-benar, ya!” Alina berdecak kesal. “Bisa-bisanya ninggalin istri sendirian.”

Ilham nggak salah kok, Mbak. Aku yang nggak bisa ikut karena nggak sempat ngurus cuti. 

Hanin ingin sekali menyuarakan itu semua untuk menimpali ucapan kakak iparnya, tetapi tidak jadi karena ia seperti kehabisan tenaga untuk melakukannya. Jadi, Hanin memilih diam saja. Entah mengapa, tiba-tiba ia merasa begitu lelah.

Ketika selama ini Hanin merasa sanggup menyimpannya sendirian, tetapi untuk yang satu ini, ia tidak sanggup mengabaikannya begitu saja. Hanin butuh teman untuk bicara, atau setidaknya menemaninya menangis sepuas-puasnya tanpa banyak ditanyai macam-macam. 

Mbak Alina:

Barusan aku telepon Mami, 

dan aku udah dengar pengakuan Mami. 

Nin, sekali lagi aku minta maaf, mewakili Mami. 

Mami memang menghindari kamu, 

tapi bukan karena Mami benci sama kamu, Nin. 

Trust me. 

Kalo kamu udah sampe rumah, kabari aku, ya?

Hanin sedang menepi di tepi jalan sekitar beberapa meter dari Pukul Tiga Pagi. Ia mendadak harus berhenti mengendarai motornya karena sangat linglung. Ia tidak tahu ma uke mana karena enggan kembali sendirian di rumah Ilham.

Lalu, pesan singkat dari Alina barusan semakin memperburuk suasana hatinya. Ia semakin tidak baik-baik saja. Hatinya seperti diremat hebat menyadari Mami pergi karena sengaja menghindarinya.

Ya, Mami pasti enggan berada satu atap dengan orang asing sepertinya. Mami jelas benci padanya. Jika Mami tidak membenci Hanin, kenapa Mami tetap pergi menginap di rumah Alina?

Jadi, bisakah beritahu Hanin caranya agar percaya pada ucapan kakak iparnya?

Ya Tuhan, apa sesulit ini membangun hubungan baik dengan suami dan mertua?

Maka, di sinilah Hanin berada. Ia berhasil mengendarai motor matic-nya dan tiba di parkiran Kaldera dengan wajah kering. Karena sepanjang jalan ia berjanji akan menahan tangis dan menumpahkan kesedihannya bersama Aira nanti. 

Untuk malam ini, ia tidak mau menangis sendirian. 

Namun yang terjadi begitu Hanin memasuki Kaldera adalah, jantungnya seperti mencelus terjun bebas, ketika menemukan Ilham ada di salah satu sudut Kaldera, tampak berbincang dengan Riza, entah tentang apa. 

Sampai akhirnya seruan karyawan Kaldera membuat Ilham menoleh ke arah tempat Hanin yang berdiri terdiam, mematung, lalu bertanya dengan kebingungan.

“Ilham? Kok kamu … di sini?”

Dan, semua terjadi begitu saja. Alih-alih mencari Aira, Hanin melangkah cepat—setengah berlari—seiring dengan kedua tangannya terulur maju, lalu tangisnya pecah begitu saja, begitu wajah Hanin menemukan tempat bersembunyi untuk menangis paling tepat, di dada Ilham.

“Nin?” Refleks satu tangan Ilham terangkat, menyentuh punggung rapuh Hanin yang berguncang dengan ragu. Namun, Hanin sibuk dengan erangnya, yang entah bagaimana terdengar begitu pilu dan menyakitkan secara bersamaan di telinga Ilham. 

Maka, Ilham pun mengurungkan niat untuk menyerbu perempuan dalam dekapannya ini dengan banyak tanya. Telapak tangannya bergerak, mencoba memberi tepukan lembut di punggung Hanin sambil menyimpan bingungnya dalam diam. 

Lalu, tolong katakan pada Ilham, jika degup jantungnya yang berantakan saat ini hanya efek karena rasa terkejutnya, kan?

***

[BAB 14. Buka-Bukaan]

[Grup Mendaki Gunung Lewati Lembah]

Riza:

[Riza mengirim foto Ilham dan Hanin pelukan di Kaldera]

Bahaya banget pengantin baru satu ini, brooo.

Udah berani peluk-pelukan di depan umum.

Budi:

Weh? Gue nggak salah lihat nih?

Itu Ilham?

Arief:

Tailah yg kemaren galau sampe kabur-kaburan

dan nggak mau pulang ketemu bini.

Budi:

@Arief Tahan, Rif. Sabar. Wkwk

Tapi ini seru, anying. Hahaha.

Riza:

@Arief Sampe bikin gue nyaris adu jotos sama lo, ye, Rif.

Arief:

Tahu gitu kemaren gue cekokin miras beneran. 

Budi:

@Riza Jadi pasutri barunya masih di Kaldera, Za?

Riza:

[Riza mengirim foto Ilham dan Hanin duduk di pantry Kaldera]

Tuh, malah deeptalk di pantry, bukannya buruan pulang,

terus buka-bukaan.

Riza:

Buka-bukaan hati satu sama lain gitu, maksudnya :p

Budi:

Wkwkwk!

Buka-bukaan yang laen juga boleh, Ham. 

Halal.

Riza:

[Riza mengirim foto Ilham dan Hanin pelukan lagi di parkiran Kaldera]

Kayaknya sih lancar aman jaya kalo lihat udah tebar kemesraan begini.

Tuh, masih lanjut di parkiran, brooo!

Budi:

Gas terooos, Ham. Wkwk!

Anying. Gue jadi pengin punya bini juga T.T

Arief:

Bener-bener nggak tahu malu.

Awas aja abis ini masih galauin mantan.

Gue bakar kafe lo, Ham. Terus bini lo gue bawa kabur 

kalo kagak lo urusin!

Ilham:

@Arief Berisik sekali, Anda.

Berantem dulu aja sini sama gue.

***

Ada yang seru di part depan ^^

Karya ini GRATIS! Tapi kamu boleh kok kasih tip biar kreator hepi 🥰

Kategori
Pukul Tiga Pagi
Selanjutnya Pukul Tiga Pagi [15. Salah Tingkah]
12
2
Bab 15. Salah TingkahMau ke mana? Turun. Udah, kan, nangisnya?Tunggu, duduk dulu. Hanin menarik Ilham sampai laki-laki itu duduk lagi. Kamu nggak mau cerita apa-apa sama aku kenapa kamu ada di sini?
Apakah konten ini melanggar ketentuan yang berlaku sesuai syarat dan persetujuan? Laporkan